Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

“PROLONG FEVER EC TYPHOID FEVER ”

Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Kesehatan


Anak Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng

Disusun Oleh :
Muliaty Mardiani Putri

112021179

Pembimbing :
dr. Dini Lailani, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CENGKARENG
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
PERIODE 30 JANUARI 2023 – 8 APRIL 2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan karunia-
Nya penulis dapat menyelesaikan makalah Laporan Kasus yang berjudul “Tetraparase et
causa Hipokalemia” ini. Makalah ini merupakan salah satu syarat dalam memenuhi tugas
Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit Umum Daerah
Cengkareng.
Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Dini Lailani Sp. A. selaku pembimbing yang
telah membimbing dan meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran sehingga makalah ini dapat
tersusun dengan baik. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada orang tua dan
seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan makalah ini.
Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat dalam menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai dengan tema penulisan. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah
ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun agar dapat menjadi lebih baik di kemudian hari.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga makalah ini dapat memenuhi tujuan
penulisan dan bermanfaat bagi semua pihak.

Jakarta, Maret 2023

Penulis

2
BAB I
STATUS PASIEN

I.1 Identitas Pasien


Nama : An. N.
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 29 November 2016
Usia : 6 Tahun
Alamat : Jl. KP Utan, Cengkareng Barat, Jakarta Barat
Agama : Islam
Suku : Jawa
Tanggal Masuk RS : 28/03/2023, pukul 10.45 (IGD RSUD Cengkareng)
(Bangsal Melon)
Tanggal Pemeriksaan : 30 Maret 2023

I.2 Anamnesis
Data anamnesis diperoleh melalui :
1. Alloanamnesis dengan ibu pasien (Ny.S) di Bangsal Melon RSUD Cengkareng
2. Catatan rekam medis pasien

a. Keluhan Utama
Pasien demam sejak 7 hari SMRS.
b. Keluhan Tambahan
Terdapat keluham BAB cair sejak 7 hari SMRS dengan frekuensi 1-2 kali dalam sehari,
pasien juga merasa mual namun tidak disertai muntah.

c. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien dibawa ke IGD RSUD Cengkareng dengan keluhan demam sejak 7 hari
SMRS, pada saat diukur suhu mencapai 39oC, pasien juga merasa menggigi pada saat
demam. Keluhan BAB cair juga ada sejak 7 hari SMRS dengan frekuensi 1-2 kali
dalam sehari. Terdapat keluhan mual namun tidak disertai dengan muntah. Pasien juga
sudah merasa lemas. Terjadi penurunan nafsu makan saat sakit namun pasien masih
kuat untuk minum. Keluhan seperti batuk, pilek, nyeri kepala, mimisan, serta gusi
berdarah disangkal.

3
d. Riwayat Penyakit Dahulu
 Pasien belum pernah mengalami atau merasakan keluhan seperti ini sebelumnya.

 Riwayat perawatan TB paru selama 6 bulan dan tuntas

 Tidak ada Riwayat kejang demam.

 Riwayat Asma (-)

 Riwayat pengobatan paru (-)

 Riwayat penyakit jantung bawaan (-)

e. Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak memiliki keluhan serupa.
f. Riwayat Pengobatan
Pasien sudah datang ke klinik terdekat namun tidak ada perubahan , lalu pasien
datang ke RS. Berkah dan dirujuk ke RSUD Cengkaren.
g. Riwayat Nutrisi
Pasien makan sebanyak 3 kali/hari, sekali makan porsi nasi banyak dengan,
ayam/daging/ikan tiap kali makan. Pasien kurang menyukai sayur-sayuran.
h. Riwayat Sosial dan Ekonomi
Pasien berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi menengah. Ayah pasien
bekerja sebagai kurir dan ibu pasien seorang ibu rumah tangga. Pasien tinggal di
tempat yang cukup padat penduduk. Dengan lingkungan yang cukup bersih.
i. Riwayat Kelahiran
Selama kehamilan, ibu pasien mengaku rutin melakukan pemeriksaan antenatal
(ANC). Pasien lahir secara Spontan dengan masa kehamilan cukup bulan. Bayi lahir
dengan berat badan lahir 3200 gram dan panjang badan 42 cm. Saat lahir bayi
menangis kuat, spontan dan tidak ada riwayat kebiruan, pucat ataupun kuning. Tidak
ada riwayat kelainan bawaan.

4
j. Riwayat Imunisasi
Umur (Bulan)
Imunisasi
Lahir 1 2 3 4 9 18
Hepatitis B √ √ √ √ √
Polio √ √ √ √ √
BCG √
DPT √ √ √ √
Campak √ √
Kesan : Riwayat imunisasi dasar pasien lengkap sesuai panduan IDAI

k. Riwayat Tumbuh Kembang


- Tumbuh gigi : usia 8 bulan
- Tengkurap : usia 4 bulan
- Merangkak : usia 6 bulan
- Duduk : usia 8 bulan
- Berdiri : usia 8 bulan
- Berjalan : usia 9 bulan
- Berbicara : usia 2 tahun
Kesan : Riwayat tumbuh kembang pasien baik sesuai usia.

I.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan IGD pada tanggal 28 Maret 2023
- Keadaan umum : Tampak sakit sedang
- Kesadaran : E4M6V5, GCS: 15
- Tanda Vital
 Nadi : 111 x/menit, reguler, kuat angkat
 Suhu : 37,8 °C
 Pernapasan : 21 x/menit, reguler
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 30 Maret 2023
- Keadaan umum : Tampak sakit sedang
- Kesadaran : E4M6V5, GCS: 15
- Tanda Vital
 Nadi : 93 x/menit, reguler, kuat angkat

5
 Suhu : 36,6 °C
 Pernapasan : 21 x/menit, reguler
 SpO2 : 99%

Status Antropometri :
- Berat Badan : 12.8 kg
- Panjang Badan : 116 cm

6
 BB/U = 12.8/20x100%=64%  BB kurang
 TB/U = 115/115x100%= 100% Tinggi badan normal
 BB/TB = 12.8/20x100%= 64% Gizi buruk

Status Generalis
 Kepala : Normocephal, rambut hitam, tidak mudah dicabut.

7
 Mata : Mata tidak cekung, pupil bulat isokor, refleks cahaya langsung
+/+, refleks cahaya tidak langsung +/+, konjungtiva tidak pucat,
sklera tidak ikterik.
 Hidung : Bentuk normal, nafas cuping hidung tidak ada, sekret -/-.
 Telinga : Normotia, serumen -/-, sekret -/-.
 Bibir : lembab, tidak ada kelainan bentuk, tampak pucat
 Mulut : lidah tidak kotor, mukosa faring tidak hiperemis, uvula letak di
tengah, tonsil tidak hiperemis, ukuran T1-T1, kripta tidak
melebar.
 Leher : KGB leher tidak teraba membesar, kelenjar tiroid tidak teraba
membesar, trakea letak normal.
 Toraks
Paru
Inspeksi : retraksi otot dinding dada (-), lesi (-)
Palpasi : vocal fremitus (+/+), simetris
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-

Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba linea axilaris anterior sinistra ICS 5
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : BJ I/II normal reguler, Murmur (-) Gallop (-)
 Abdomen
Inspeksi : Perut datar
Palpasi : Supel, turgor baik, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan di
seluruh kuadran abdomen (-)
Perkusi : Timpani di seluruh kuadran abdomen, Shifting dullness (-)
Auskultasi : Bising usus (+)
 Ekstremitas : akral hangat, sianosis (-), edema (-),petekie (-)
 Tulang Belakang : tidak ada kelainan, deformitas (-)
 Sistim Saraf : Tanda rangsang meningeal (-), Refleks fisiologis (+), Refleks
patologis (-)
 Kulit : Turgor dan elastisitas normal, kelembaban normal, edema (-),
tidak ada ruam, pucat (-) sianosis (-).

8
I.4 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium 28/03/2023

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Hema 1
Hemoglobin 11.1 10.7-14.7
Hematokrit 32 31-43
Leukosit 7.9 5.0-14.5
Trombosit 184 184-488
Elektrolit
Natrium 134 136-146
Kalium 3.4 3.5-5.0
Chlorida 104 98-106
Glukosa Sure Step 90 <100
Pemeriksaan Laboratorium 29/03/2023
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hema 1
Hemoglobin 10.3 10.7-14.7
Hematokrit 31 31-43
Leukosit 8.7 5.0-14.5
Trombosit 186 184-488
Pemeriksaan Serologi 28/03/2023
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Widal
S. typhi O >1:320 Negatif
S. paratyphi AO 1:160 Negatif
S. paratyphi BO Negatif Negatif
S. paratyphi CO Negatif Negatif
S. typhi H >1:320 Negatif
S. paratyphi AH 1:80 Negatif
S. paratyphi BH Negatif Negatif
S. paratyphi CH Negatif Negatif

b. Pemeriksaan Radiologi  Pemeriksaan Radiologi tidak dilakukan

9
S O A P
Tanggal
(Subjective) (Objective) (Assessment) (Planning)
Kamis Terdapat BAB cair Px. Fisik - Prolong fever Tata laksana yang
30/03/23 namun sudah ada - KU : Tampak sakit ec demam diberikan :
sedikit ampas 2 kali, sedang typhoid - Kaen 3B 800
demam (-) pasien juga - Kesadaran : CM cc/24jam.
sudah mau makan dan - Tanda Vital : - Cefotaxim
minum dengan baik. HR : 96 x/menit 2x600mg
Demam sudah tidak ada RR : 21x/menit - Omeprazole
selama 24 jam terakhir. Suhu : 36.6oC 1x12mg
- Kepala : mata cekung - Ondancentron
-/-, CA -/-, SI -/- 3x1,3mg
- Hidung : deformitas - Paracetamol
(-), PCH (-/-), sekret 3x130mg
(-/-) - Zink 1x1 tab
- Paru : VBS +/+, Rh
-/-, Wh -/-
- Jantung : BJ I/II
reguler, murmur (-),
gallop (-)
- Abdomen : Supel,
BU (+), NT (-)
- Akral : hangat (+),
telapak tangan dan
kaki pucat (-) nadi
teraba kuat.

Tatalaksana dan Follow

10
S O A P
Tanggal
(Subjective) (Objective) (Assessment) (Planning)
Jumat Pasien BAB dipagi hari Px. Fisik - Prolong fever Tata laksana yang
31/03/23 1 kali namun sudah - KU : Tampak sakit ec demam diberikan :
typhoid I.5 D
tidak cair, keadaan sedang - Kaen 3B 800
i
pasien juga sudah mulai - Kesadaran : CM cc/24jam. a
membaik dan tampak - Tanda Vital : - Cefotaxim g
sedikit lemas HR : 110 x/menit 2x600mg n
RR : 21x/menit - Omeprazole o
Suhu : 36.7oC 1x12mg s
- Kepala : mata cekung - Ondancentron i
-/-, CA -/-, SI -/- 3x1,3mg s
- Hidung : deformitas - Paracetamol K
(-), PCH (-/-), sekret 3x130mg e
(-/-) - Zink 1x1 tab r
- Paru : VBS +/+, Rh j
-/-, Wh -/- a
- Jantung : BJ I/II
reguler, murmur (-),
gallop (-)
- Abdomen : Supel,
BU (+), NT (-)
- Akral : hangat (+),
telapak tangan dan
kaki pucat (-) nadi
teraba kuat.

Prolong fever ec typhoid fever


I.6 Diagnosis Banding
DHF (Dengue Haemorragic Fever)

I.7 Tatalaksana
 Kaen 3B 800 cc/hari
 Cefotaxime 2x600mg
 Omeprazole 1x12 mg
 Ondancentron 3x1,3mg
 PCT 3x130 mg
 Zink 1x1 tab
Prognosis
a. Ad vitam : ad bonam
b. Ad Functionam : ad bonam
c. Ad Sanationam : dubia ad bonam

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan
Demam tifoid merupakan penyakit yang berkaitan erat dengan kualitas dari hygiene
pribadi dan sanitasi lingkungan seperti hygiene penjamah makanan yang rendah, lingkungan
kumuh, kebersihan tempat-tempat umum (rumah makan, restoran) yang masih rendah, sumber air
dan sanitasi yang buruk, kepadatan penduduk serta perilaku masyarakat yang tidak mendukung
untuk hidup sehat. Di Indonesia demam tifoid bersifat penyakit endemik dan merupakan masalah
kesehatan masyarakat. Dari tahun ke tahun kejadian demam tifoid meningkat dengan rata-rata
kesakitan 500/100.000 penduduk dengan kematian antara 0,6-5%. 1
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai dengan panas yang berkepanjangan, diawali dengan
bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus
multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyer’s
patch. Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid. Demam paratifoid
secara patologik maupun klinis merupakan demam yang sama dengan demam tifoid namun
biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis yaitu
bioserotipe paratyphi A, paratyphi B (S. Schotsmuelleri) dan paratyphi C (S. Hirschfeldii).1
Epidemiologi
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai negara
sedang berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia ini sangat sukar
ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinisnya sangat luas. 2
Sebagian besar kasus terjadi pada anak berusia >5 tahun tetapi gejala dan tanda klinisnya masih
sangat luas sehingga sukar didiagnosis. Sekitar 95% kasus demam tifoid di Indonesia disebabkan
oleh S. typhi, sementara sisanya disebabkan oleh S. parathypi. Keduanya merupakan bakteri
Gram-negatif. Masa inkubasi sekitar 10-14 hari.3
Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17
juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.
negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95%
merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar
dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh
provinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan
760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun.4 Diperkirakan
angka kejadian dari 150/100.000/tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000/tahun di Asia. Umur
penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91%
kasus. Angka yang kurang lebih sama juga dilaporkan dari Amerika Selatan.2
Etiologi
Penyebab demam tifoid adalah Salmonella typhi dan paratyphi dari genus Salmonella. Basil
ini bakteri Gram-negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, bersifat
aerob dan anaerob fakultatif. Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian
ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini
tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau fili dari kuman.
Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid
tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi
kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula
pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin. Suhu optimum untuk tumbuh
adalah 37°C dengan ph 6-8. Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat
mengekskresikannya melalui secret saluran nafas, urin dan tinja dalam jangka waktu yang
sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada di luar tubuh manusia dapat hidup untuk
beberapa minggu apabila berada di dalam air, es, debu atau kotoran yang kering maupun pada
pakaian. Sedangkan reservoir satu satunya adalah manusia yaitu seorang yang sedang sakit atau
carrier. Basil ini dibunuh dengan pemanasan (suhu 60°C) selama 15-20 menit, pasteurisasi,
pendidihan, dan khlorinisasi. Masa inkubasi tifoid 10-14 hari dan pada anak masa inkubasinya
ini bervariasi berkisar 5-40 hari dengan perjalanan penyakit kadang-kadang juga tidak teratur.
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multiple antibiotik.2 Salmonella typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia (manusia
sebagai natural reservoir). Akan tetapi S.typhi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada
raw sewage, dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (suhu 63oC).2
Cara Penularan dan Faktor yang Berperan
Salmonella typhi menular ke manusia melalui makanan dan minuman. Jadi makanan atau
minuman yang dikonsumsi manusia telah tercemar oleh komponen feses atau urin dari pengidap
tifoid biasanya keluar bersama-sama dengan tinja (melalui rute oral fekal = jalur oro-fekal) dan
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakteremia
kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari seorang ibu pembawa kuman pada
saat proses kelahirannya kepada bayinya dan sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.
Beberapa kondisi yang berperan dalam penularan, seperti:1
- Hygiene perorangan yang rendah, seperti cuci tangan yang tidak terbiasa.
- Hygiene pada makanan dan minuman yang rendah
Faktor ini paling berperan dalam penularan demam tifoid. Contohnya : makanan yang dicuci
dengan air yang terkontaminasi (seperti sayur-sayuran dan buah-buahan), makanan yang tercemar
dengan debu, sampah yang dihinggap oleh lalat, air minum yang tidak dimasak, dsb.
- Sanitasi lingkungan yang kumuh, yaitu pengelolaan air limbah, kotoran dan sampah yang
tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.
- Penyediaan air bersih untuk warga tidak memadai.

Patofisiologi
Demam tifoid disebabkan oleh kuman Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi.
Penularan ke manusia melalui makanan dan minuman yang tercemar dengan feses manusia.
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme, yaitu: (1)
penempelan dan invasi sel-sel pada Peyer’s patch, (2) bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di
makrofag Peyer’s patch, nodus limfatikus mesenterikus, dan organ-organ ekstra intestinal sistem
retikuloendotelial (3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, dan (4) produksi enterotoksin
yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air
ke dalam lumen intestinal.2
Bakteri awalnya masuk bersama makanan hingga mencapai epitel usus halus (ileum) dan
menyebabkan inflamasi lokal, fagositosis, serta pelepasan endotoksin di lamina propria. Bakteri
kemudian menembus dinding usus hingga mencapai jaringan limfoid ileum yang disebut Peyer’s
patch (plak Peyeri). Dari tempat tersebut, bakteri dapat masuk ke aliran limfe mesenterika hingga ke
aliran darah (bakteremia I) bertahan hidup dan mencapai jaringan retikuloendotelial (hepar, limpa,
sumsum tulang) untuk bermultiplikasi memproduksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP
di dalam kripta usus yang menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke lumen interstinal.
Selanjutnya, bakteri kembali beredar ke sirkulasi sistemik (bakteremia II) dan menginvasi organ
lain, baik intra maupun ekstraintestinal.3
1. Jalur Masuknya Bakteri ke Dalam Tubuh
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan/minuman masuk ke dalam tubuh melalui mulut.
Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH <2) banyak bakteri yang mati. Bakteri yang
masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan
kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan yeyunum. Sel-sel
M, sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s patch (jaringan limfoid) merupakan tempat
internalisasi/tempat predileksi untuk berkembang biaknya Salmonella typhi. Bakteri mencapai
folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati
sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa. Salmonella typhi mengalami
multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika,
hati dan limfe. Fase ini dianggap masa inkubasi (7-14 hari).2-3
Setelah masa inkubasi, yang lamanya ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respons
imun pejamu maka Salmonella typhi akan ke luar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus
masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ manapun,
akan tetapi tempat yang disukai oleh Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung
empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara
langsung dari darah atau penyebaran retrograde dari empedu. Ekskresi organism di empedu dapat
menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja.2-3

2. Peran Endotoksin
Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak
terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Salmonella typhi
menghasilkan endotoksin yang merupakan kompleks lipopolisakarida dan dianggap berperan
penting dalam pathogenesis demam tifoid. Endotoksin bersifat pirogenik serta memperbesar reaksi
peradanagan dimana kuman Salmonella berkembang biak. Selain itu, juga menstimulasi sel-sel
makrofag dan sel lekosit di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe
mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Sitokin ini merupakan mediator-mediator
untuk timbulnya demam dan gejala toksemia (proinflamasi) seperti menimbulkan nekrosis sel,
sistem vaskular yang tidak stabil, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologik. Oleh karena itu, kuman Salmonella bersifat intraseluler maka
hamper semua bagian tubuh dapat terserang dan kadang- kadang pada jaringan yang terinvasi dapat
timbul fokal-fokal infeksi. Kelainan patologis yang utama terdapat di usus halus terutama diileum
bagian distal terdapat kelenjar plak peyer. Pada minggu pertama, plak peyer terjadi hyperplasia
berlanjut menjadi nekrosis pada minggu ke 2 dan ulserasi pada minggu ke 3 akhirnya terbentuk
ulkus. Ulkus ini mudah menimbulkan perdarahan dan perforasi yang merupakan komplikasi yang
berbahaya. Hati membesar karena infiltrasi sel- sel limfosit dan sel mononuclear lainnya serta
nekrosis fokal. Proses ini juga terjadi pada jaringan retikuloendotelial lain seperti limpa dan kelenjar
mesentrika. Kelainan patologis lainnya juga dapat ditemukan pada organ tubuh seperti tulang, usus,
paru, ginjal, jantung dan selaput otak. Pada pemeriksaan klinis, sering ditemukan proses radang dan
abses pada banyak organ sehingga dapat ditemukan bronchitis, arthritis sepsis, pielonefritis,
meningitis, dll. Kandung empedu merupakan tempat yang di sukai oleh kuman Salmonella. Bila
penyembuhan tidak sempurna, basil salmonella ini akan tetap tahan di kandung empedu ini,
mengalir ke dalam usus sehingga menjadi carrier intestinal. Demikian juga ginjal dapat
mengandung basil dalam waktu lama sehingga juga menjadi carrier ( Urinary carrier). Adapun
tempat-tempat yang menyimpan basil ini, memungkinkan penderita mengalami kekambuhan
(relaps).2-3

3. Respons Imunologik
Pada demam tifoid terjadi respons imun humoral maupun seluler baik di tingkat local
(gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi bagaimana mekanisme imunologik ini dalam
menimbulkan kekebalan maupun eliminasi terhadap Salmonella typhi tidak diketahui dengan pasti.
Diperkirakan bahwa imunitas seluler lebih berperan. Penurunan jumlah limfosit T ditemukan pada
pasien sakit berat dengan demam tifoid. Karier memperlihatkan gangguan reaktivitas seluler
terhadap antigen Salmonella ser. typhii pada uji hambatan migrasi leukosit. Pada karier, sejumlah
besar basil virulen melewati usus tiap harinya dan dikeluarkan dalam tinja, tanpa memasuki epitel
pejamu.2-3

Manifestasi Klinis

Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak
memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus dirawat. Masa inkubasi rata-
rata bervariasi antara 10 – 14 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan
jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status imunologis penderita.1,4,5
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar gejala-
gejala yang timbul dapat dikelompokkan :
 Demam satu minggu atau lebih.
 Gangguan saluran pencernaan
 Gangguan kesadaran
Fase invasi: demam ringan, naik secara bertahap, terkadang suhu malam lebih tinggi
dibandingkan pagi hari. Gejala lainnya adalah nyeri kepala, rasa tidak nyaman pada saluran
cerna, mual, muntah, sakit perut, batuk, lemas, konstipasi. Di akhir minggu pertama, demam telah
mencapai suhu tertinggi dan akan konstan tinggi selama minggu kedua. Tanda lainnya adalah
bradikardia relatif, pulsasi dikrotik, hepatomegali, splenomegali, lidah tifoid (di bagian tengah
kotor, di tepi hiperemis), serta diare dan konstipasi. Stadium evolusi: demam mulai turun
perlahan, tetapi dalam waktu yang cukup lama. Dapat terjadi komplikasi perforasi usus. Pada
sebagian kasus, bakteri masih ada dalam jumlah minimal (menjadi karier kronis).3
Demam dapat muncul secara tiba-tiba, Pagi lebih rendah atau normal, sore dan malam
hari lebih tinggi (demam intermitten). Dari hari ke hari intesitas demam makin tinggi yang
disertai banyak gejala lain seperti sakit kepala (pusing) yang sering dirasakan didaerah frontal,
nyeri otot, pegal-pegal, insomnia, mual dan muntah. Pada minggu kedua, intesitas demamnya
makin tinggi, kadang-kadang menerus (demam kontinu). Bila pasien membaik maka pada
minggu ketiga suhu badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada minggu ke-4.3
Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di
daerah endemis malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria. Namun demikian
demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat yang
menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S. typhi juga dapat
menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang
mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak
dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat
perforasi usus.2,5
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Pada era
pemakaian antibiotik belum seperti pada saat ini, penampilan demam pada kasus demam tifoid
sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat, seperti kesadaran
berkabut dan delirium atau obtundasi, atau penurunan kesadaran mulai apatis sampai koma.2
mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart yang ditandai dengan
demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi
pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4
demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi focus infeksi seperti kolesistitis, abses
jaringan lunak maka demam akan menetap. Banyak orang tua pasien demam tifoid melaporkan
bahwa demam lebih tinggi pada saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya.
Pada saat demam
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala, malaise,
anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut dan radang tenggorokan. Pada kasus yang berpenampilan
klinis berat, pada saat demam tinggi akan tampak toksik/sakit berat. Bahkan dapat juga dijumpai
penderita demam tifoid yang datang dengan syok hipovolemik sebagai akibat kurang masukan
cairan dan makanan. Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi. Pasien
dapat mengeluh diare, obstipasi, atau obstipasi kemudian disusul episode diare, pada sebagian
pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan. Banyak
dijumpai gejala meteorismus, berbeda dengan buku bacaan Barat pada anak Indonesia lebih
banyak dijumpai hepatomegali dibandingkan splenomegali.2
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1-5 mm sering
kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih,
tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7- 10 dan
bertahan selama 2-3 hari. Bronkitis banyak dijumpai pada demam tifoid. Bradikardia relatif
jarang dijumpai pada anak. Pada penderita tifoid peningkatan denyut nadi tidak sesuai dengan
peningkatan suhu, dimana seharusnya peningkatan 1°C diikuti oleh peningkatan denyut nadi
sebanyak 8 kali/menit. Bradikardi relatif adalah keadaan dimana peningkatan suhu 1°C tidak
diikuti oleh peningkatan nadi 8 kali/menit.2
Pemeriksaan Fisik
Sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu di bagian tengah kotor dan bagian
pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai daripada splenomegali.
Kadang-kadang terdengar ronki pada pemeriksaan paru.6
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi


dalam empat kelompok, yaitu :
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer, yang diduga
karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan
leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam
peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis,
terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung
jenis didapatkan limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to
the right bergantung pada perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali
meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan
SGPT tidak memerlukan penanganan khusus. Gambaran sumsum tulang menunjukkan
normoseluler, eritroid dan mieloid sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas
normal.1,4,6
2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi
antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL
yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. Metode pemeriksaan serologis
imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid.
Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas
pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis
spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi
yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen
(stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).6 Beberapa uji serologis yang dapat
digunakan pada demam tifoid ini meliputi :
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap
kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal
terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut
aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang
berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat
antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih
menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Maksud uji widal
adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam
tifoid yaitu:
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini. Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer
antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai
beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah
sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H
menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan
biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi,
antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap
S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai uji
widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit)
menunjukkan nilai ramal positif 96%. Banyak senter mengatur pendapat apabila
titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4
kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan
dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada
deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukanan bahwa
uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada
kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.
b) Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ® ini,
beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.
Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk
pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara
berkembang.6

Ada 4 interpretasi hasil :


 Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid.
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.
 Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
 Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid

Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:


 Immunodominan yang kuat
 Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi dan H
kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat kuat terhadap sel B.
 Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T sehingga respon
antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.
 Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan cepat
melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain.
 Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang ditemukan
baik di alam maupun diantara mikroorganisme
Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :
 Mendeteksi infeksi akut Salmonella
 Muncul pada hari ke 3 demam
 Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
 Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
 Hasil dapat diperoleh lebih cepat
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM
dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan
fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG
menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis
dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi
peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus
akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan
modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen
terhadap Ig M spesifik.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid
bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji
Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang
bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-
M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk
mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.

Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan


spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang
dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran
nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat
digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan
sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa
antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok
dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil
didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.6
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak
antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen
flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering
dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah
double antibody sandwich ELISA. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan,
terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga
perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.6,7
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana
dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan
menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai
pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol.
Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan
alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas
laboratorium yang lengkap.4
Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan
mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis
tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika
tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.
3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose
spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan
dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di
dalam urine dan feses. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa
faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang
diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan
darah.6,7
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur
hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi
oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa
kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah
walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi
antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah
media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan
positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media
tersebut.

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-
90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu
ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan
antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media
kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-
15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah
minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena
mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan
sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan.
Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi
atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif
sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan
kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang
cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama
pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi
kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang.6,7

Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang


digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam
darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang
tidak tepat. Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas
yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta
peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak
tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.

4. Pemeriksaan kuman secara molekuler


Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA
(asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam
nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui
identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi. Kendala yang sering dihadapi pada
penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif
palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan
dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam
spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup
tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih
belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas
dalam laboratorium penelitian.6
Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang
diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan
berbagai penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan
metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan gastrointestinal
dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, dengan kriteria ini maka seorang
klinisi dapat membuat diagnosis tersangka demam tifoid. Diagnosis pasti ditegakkan
melalui isolasi Salmonella typhi dari darah. Pada dua minggu pertama sakit, kemungkinan
mengisolasi Salmonella typhi dari dalam darah pasien lebih besar daripada minggu
berikutnya. Biakan yang dilakukan pada urin dan feses, kemungkinan keberhasilan lebih
kecil. Biakan specimen yang berasal dari aspirasi sumsum tulang mempunyai sensitivitas
tertinggi, hasil psoitif didapat pada 90% kasus. Akan tetapi prosedur ini sangat invasive,
sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan
biakan specimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup
baik.2
Akhir-akhir ini banyak dimunculkan beberapa jenis pemeriksaan untuk mendeteksi
antibody Salmonella typhi dalam serum, antigen terhadap Salmonella typhi dalam darah,
serum dan urin bahkan DNA Salmonella typhi dalam darah dan faeces. Polymerase chain
reaction telah digunakan untuk memperbanyak gen Salmonella ser. typhi secara spesifik
pada darah pasien dan hasil dapat diperoleh hanya dalam beberapa jam. Metode ini spesifik
dan lebih sensitif dibandingkan biakan darah. Walaupun laporan-laporan pendahuluan
menunjukkan hasil yang baik namun sampai sekarang tidak salah satupun dipakai secara
luas. Sampai sekarang belum disepakati adanya pemerksaan yang dapt menggantikan uji
serologi Widal.2
Penatalaksanaan
1.1. Non Medika Mentosa
a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien harus


diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.5
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi
usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan
perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair,
bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran
serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.
Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.
d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke
hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap
panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai
berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh
pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh
hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini
menyebabkan pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat
(berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden
(2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus.
Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya
begitu juga sebaliknya.7
1.2. Medika Mentosa
a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan
dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan
turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran
cerna yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin.
Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral, obat yang masih
dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin.

b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :1,4,5
 Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari.
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra
Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan
tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi sekunder
pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah
mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.

 Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan


sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan
Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik, Leukopenia, dan
granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah
dilaporkan resisten.
 Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.

 Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan pilihan


ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan
Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi. Ceftriaxone
merupakan prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis
(maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200
mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat
diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai syok
dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit untuk dosis awal,
dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.Untuk demam tifoid dengan penyulit
perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi
perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazol.
Kasus demam tifoid yang mengalami relaps diberi pengobatan sebagai kasus demam tifoid
serangan pertama.2
Indikasi Rawat
Demam tifoid berat harus dirawat inap di rumah sakit.6
a. Cairan dan Kalori
1. Terutama pada demam tinggi, muntah atau diare, bila perlu asupan cairan
dan kalori diberikan melalui sonde lambung.
2. Pada ensefalopati, jumlah kebutuhan cairan dikurangi menjadi 4/5
kebutuhan dengan kadar natrium rendah.
3. Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan.
4. Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik.
5. Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu diberikan O2.
6. Pelihara keadaan nutrisi.
7. Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit.
b. Antipiretik, diberikan apabila demam >39oC, kecuali pada pasien dengan riwayat kejang
demam dapat diberikan lebih awal.
c. Diet
1. Makanan tidak berserat dan mudah dicerna.
2. Setelah demam reda, dapat segera diberikan makanan yang lebih padat
dengan kalori cukup.
3. Transfusi darah: kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna
dan perforasi usus.
Pemantauan
1. Evaluasi demam dengan memonitor suhu. Apabila pada hari ke 4-5 setelah pengobatan
demam tidak reda, maka harus segera kembali dievaluasi adakah komplikasi, sumber
infeksi lain, resistensi S.typhi terhadap antibiotik, atau kemungkinan salah menegakkan
diagnosis.
2. Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu
makan membaik, klinis perbaikan, dan tidak dijumpai komplikasi. Pengobatan dapat
dilanjutkan di rumah.
Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2, yaitu: 3,8
1. Komplikasi pada usus halus
a. Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan gejala
akut, yaitu nyeri abdomen, muntah, nyeri tekan pada palpasi, bising usus menurun atau
menghilang, ditemukan defans muskular, dan pekak hati menghilang. Nyeri lepas lebih khas
untuk peritonitis.3

b. Perforasi intestinal
Perdarahan dan perforasi intestinal terjadi pada hari minggu kedua demam. Perdarahan
dengan gejala berak berdarah atau dideteksi dengan test perdarahan tersembunyi. Perforasi
intestinal ditandai dengan nyeri abdomen akut, tegang, nyeri tekan yang paling nyata di
kuadran kanan bawah abdomen. Suhu tubuh turun tiba tiba dengan peningkatan frekuensi nadi
dan berakhir syok. Pada pemeriksaan perut didapatkan tanda-tanda ileus, bising usus
melemah, dan pekak hati menghilang, perforasi dapat dipastikan dengan pemeriksaan foto
polos abdomen 3 posisi. Perforasi intestinal adalah komplikasi tifoid yang serius karena sering
menimbulkan kematian. Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5-3%, sedangkan
perdarahan usus pada 1-10% kasus demam tifoid anak. Penyulit ini biasanya terjadi pada
minggu ke-3 sakit, walau pernah dilaporkan terjadi pada minggu pertama. Komplikasi
didahului dengan penurunan suhu, tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi. Pada
perforasi usus halus ditandai oleh nyeri abdomen lokal pada kuadran kanan bawah akan tetapi
dilaporkan juga nyeri yang menyelubung. Kemudian akan diikuti muntah, nyeri pada
perabaan abdomen, defence muscular, hilangnya keredupan hepar dan tanda-tanda peritonitis
lain. Beberapa kasus perforasi usus halus mempunyai manifestasi klinis yang tidak jelas.
2. Komplikasi diluar usus halus
a. Ensefalopati tifoid (toxic typhoid)
Komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa kesadaran menurun, kejang –
kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak dalam batas normal. Bila disertai kejang –
kejang maka biasanya prognosisnya jelek dan bila sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai
dengan lokasi yang terkena.3

b. Hepatitis tifosa

Demam tifoid yang disertai dengan ikterus, hepatomegali, dan kelainan test fungsi hati
dimana didapatkan peningkatan SGPT, SGOT, dan bilirubin darah. Pada histopatologi hati
didapatkan nodul tifoid dan hiperplasi sel-sel kuffer. Hepatitis tifosa asimtomatik dapat
dijumpai pada kasus demam tifoid dengan ditandai peningkatan kadar transaminase yang
tidak mencolok. Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar transaminase, maupun
kolesistitis akut juga dapat dijumpai, sedang kolesistitis kronik yang terjadi pada penderita
setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan fenomena
pembawa kuman (karier).
c. Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis tidak khas.
Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering terjadi pada minggu
kedua

31
dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain : sinus takikardi, depresi segmen ST,
perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I, aritmia, supraventrikular takikardi.

d. Karier kronik

Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam tifoid, tetapi
mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya. Karier temporer- ekskresi S.typhi pada feces
selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10% pasien konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien
biasanya 2-3 minggu setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk
sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin
perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis. Pasien dengan traktus urinarius yang
abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang
lama.

Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat,
angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya karena
keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi
gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi.2
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S. ser. Typhi ≥ 3 bulan
setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan
meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insidens
penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi umum.
Walaupun karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan dijumpai terutama pada individu
dengan skistosomiasis.2

Pencegahan
Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:2
 Cuci tangan.

Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan demam tifoid
atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan air mengalir) dan sabun
terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau setelah menggunakan toilet.
Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak tersedia air.

 Hindari minum air yang tidak dimasak.

32
Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik tifoid. Untuk
itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian luar botol atau kaleng sebelum
anda membukanya. Minum tanpa menambahkan es di dalamnya. Gunakan air minum kemasan
untuk menyikat gigi dan usahakan tidak menelan air di pancuran kamar mandi.

 Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah.

Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada yang
telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut. Untuk
menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah buah dan sayuran tersebut dengan air
yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran tersebut masih segar atau tidak. Buah dan
sayuran mentah yang tidak segar sebaiknya tidak disajikan. Apabila tidak mungkin
mendapatkan air untuk mencuci, pilihlah buah yang dapat dikupas.
 Pilih makanan yang masih panas.
Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang. Yang terbaik
adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu 57°C beberapa menit dan secara
merata dapat membunuh kuman Salmonella typhi. Walaupun tidak ada jaminan makanan yang
disajikan di restoran itu aman, hindari membeli makanan dari penjual di jalanan yang lebih
mungkin terkontaminasi.

Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi

Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan mencegah dan


mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman, perbaikan sanitasi, dan perawatan medis
yang cukup, mungkin sulit untuk dicapai. Untuk alasan itu, beberapa ahli percaya bahwa vaksinasi
terhadap populasi berisiko tinggi merupakan cara terbaik untuk mengendalikan demam tifoid. 1,2 Di
Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni: 2,3

 Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)


Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per oral tiga kali dengan
interval pemberian selang sehari. Vaksin ini dikontraindikasikan pada wanita hamil,
menyusui, penderita imunokompromais, sedang demam, sedang minum antibiotik, dan anak
kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Lama proteksi
dilaporkan 6 tahun.

 Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)

Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang mengandung kurang
lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa 0,5 mL; anak 6-12 tahun 0,25

33
mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Cara
pemberian melalui suntikan subkutan. Efek samping yang dilaporkan adalah demam, nyeri
kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan. Vaksin ini di kontraindikasikan
pada keadaan demam, hamil, dan riwayat demam pada pemberian pertama. Vaksin ini sudah
tidak beredar lagi, mengingat efek samping yang ditimbulkan dan lama perlindungan yang
pendek.
 Vaksin polisakarida
Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella. Mempunyai daya proteksi
60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5 tahun selama 3 tahun. Vaksin ini tersedia
dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25 mikrogram antigen Vi dalam buffer fenol isotonik.
Vaksin diberikan secara intramuskular dan diperlukan pengulangan (booster) setiap 3 tahun.
Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam,
dan anak kecil 2 tahun.
Analisis Kasus
Seorang pasien berusia 6 tahun dibawa ibunya ke RSUD Cengkaren dengan keluhan demam
sudah sejak 7 hari SMRS. Pada alloanamnesis, ibu pasien mengaku demam biasanya naik waktu
siang hari sampai malam hari. Anaknya memiliki kebiasaan jajan dipinggir jalan. Ibunya mengatakan
anak lemas dan kurang nafsu makan. Pasien sudah pernah berobat diklinik namun tidak membaik.
Pasien akhirnya dibawa kerumah sakit bhakti dan dirujuk ke RSUD cengkareng .

Kesimpulan

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella
typhi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan pendukung
lainnya, pemeriksaan TUBEX direkomendasikan untuk menunjang penegakan diagnosis pada
penderita demam tifoid dengan sensitifitas dan spesifisitas yang cukup baik. Terapi yang diberikan
adalah pemberian makan dan cairan yang cukup, antibiotik, dan edukasi untuk menjaga higienitas.
Untuk menghindari terjangkit penyakit demam tifoid diperlukan pencegahan terhadap infeksi demam
tifoid dengan memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang baik dan dengan pemberian
vaksinasi terhadap penyakit tifoid

Daftar Pustaka

34
1. Supari, SF. Pedoman pengendalian demam tifoid. Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 364/Menkes/SK/V/2006. 2006. h. 1-26
2. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku ajar infeksi dan pediatri
tropis. Ed 2. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2015.h.338-45.
3. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran. Ed 4. Jakarta:
Media Aesculapius; 2014.h.74-5.
4. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S,
Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba
Medika, 2002:1-43.
5. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia: A
Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ; 2000.
6. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics
Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003. h. 2-20.
7. Ilham, Nugraha J, Purwanta M. Deteksi IgM Anti Salmonella Enterica Serovar Typhi
dengan pemeriksaan Tubex TF dan Typhidot-M. Jurnal Biosains Pascasajarna. 2017.
19(2).
8. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada anak.
Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10

35

Anda mungkin juga menyukai