Disusun Oleh:
dr. Rebecca Novityana
Pembimbing:
dr. Putu Sri Wardani
Penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
karunia dan restu-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Dengue
High Fever” tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Laporan kasus ini disusun dalam rangka menjalani Program Internsip Dokter
Indonesia (PIDI) di RSU Negara. Dalam penyusunan laporan kasus ini penulis dibantu oleh
banyak pihak. Sehingga melalui kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih
kepada:
1. dr. Putu Sri Wardani selaku pembimbing dokter internsip di RSU Negara
2. Dokter jaga di IGD RSU Negara yang memberikan kesempatan dan
pendampingan dalam diagnosis dan tatalaksana kasus ini
3. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan responsi kasus ini yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu,
kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan dalam
rangka penyempurnaannya. Akhirnya penulis mengharapkan semoga laporan kasus ini dapat
bermanfaat di bidang ilmu pengetahuan dan kedokteran.
Penulis
BAB I
ILUSTRASI KASUS
I. IDENTITAS
Data Pasien Ayah Ibu
Nama An. F Tn. D Ny. M
Umur 4 tahun 27 tahun 26 tahun
Jenis Kelamin Laki-Laki Laki-laki Perempuan
Alamat Loloan Timur
Agama Islam Islam Islam
Suku bangsa Jawa Jawa Jawa
Pendidikan - SMA SMA
Pekerjaan - Karyawan Swasta IRT
Penghasilan - 3.000.000 -
Hubungan dengan
Keterangan orang tua : Anak
kandung
Tanggal masuk RS 06/01/2023
II. ANAMNESIS
Dilakukan secara Alloanamnesis kepada orang tua pasien pada hari Kamis, 06 Januari
2023 pukul 13.30 WIB di IGD
a. Keluhan Utama
Demam
b. Keluhan Tambahan
Muntah, nyeri ulu hati, linu pada sendi.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien anak laki-laki datang ke IGD RSU Negara dengan keluhan demam sejak
kurang lebih 3 hari yang lalu. Demam muncul tiba-tiba pada malam hari dan
berlangsung terus menerus dengan suhu mencapai 38.5 derajat celcius. Pasien sudah
minum obat Paracetamol namun demam tidak kunjung turun, Keluhan disertai
muntah sebanyak kurang lebih 5 kali sejak 1 hari yang lalu. Muntah berisi cairan.
Pasien juga merasa nyeri ulu hati, badannya pegal-pegal dan linu pada sendi. Pasien
merasa tidak nafsu makan. BAB dan BAK tidak mengalami gangguan. Keluhan
mimisan dan gusi berdarah disangkal..
h. Riwayat Makanan
Umur (bulan) ASI/PASI Buah/biskuit Bubur susu Nasi tim
0-2 +
2-4 +
4-6 +
6-8 + + + +
8-9 + + + +
10-12 + + + +
12-24 +
RESUME
a. Anamnesis
Pasien anak laki-laki datang ke RSUD Bekasi dengan keluhan demam sejak kurang
lebih 3 hari yang lalu. Demam muncul tiba-tiba pada malam hari dan berlangsung
terus menerus dengan suhu mencapai 38.5 derajat celcius. Pasien sudah minum obat
Paracetamol namun demam tidak kunjung turun, Keluhan disertai muntah sebanyak
kurang lebih 5 kali sejak 1 hari yang lalu. Muntah berisi cairan. Pasien juga merasa
nyeri ulu hati, badannya pegal-pegal dan linu pada sendi. Pasien merasa tidak nafsu
makan. BAB dan BAK tidak mengalami gangguan.. Tanda vital TD 90/75,
pemeriksaan fisik: mata tampak cekung, nyeri ulu hati (+).
b. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium 06/01/2023
V. DIAGNOSIS KERJA
Dengue High Fever Grade III
VI. PENATALAKSANAAN
• Pro rawat inap
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
2.2 EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan WHO, Indonesia dilaporkan sebagai negara ke-2 dengan kasus DBD
terbesar diantara 30 negara wilayah endemis. Pada tahun 2017 kasus DBD di Indonesia
tercatat sebanyak 68.407 kasus, angka tersebut mengalami penurunan signifikan sejak
tahun 2016 sebanyak 204.171 kasus. Provinsi dengan jumlah kasus tertinggi terjadi di 3
provinsi di piulau Jawa, masing-masing Jawa Barat dengan 10.016 kasus, Jawa Timur
dengan 7.838 kasus, dan Jawa Tengah dengan 7400 kasus.2
Gambar 1. Kasus DBD di Indonesia
Sementara untuk angka kematian akibat DBD pada 2017 berdasarkan data
Kementrian Kesehatan RI sebanyak 493 kasus kematian. Angka tersebut menurun
tiga kali lipat dibandingkan tahun 2016 sebanyak 1598 kasus kematian akibat DBD.
Angka kematian tertinggi terjadi di Provinsi Jawa Timur yaitu sebanyak 105 kematian
dan tertinggi kedua terjadi di Provinsi Jawa Tengah dengan 92 kasus kematian akibat
DBD.2
Penyakit DBD merupakan salah satu penyakit menular berbahaya yang dapat
mengakibatkan kematian dalam waktu singkat dan sering menimbulkan wabah.
Penyakit ini pertama kali ditemukan di Manila Filipina pada tahun 1953 dan
selanjutnya menyebar ke berbagai negara, di antaranya Hanoi (1958), Malaysia
(1962-1964), Calcutta (1963), dan Saigon (1965). Selanjutnya, dari kawasan Asia
Tenggara DBD menyebar ke India, Maldivia, dan Pakistan, serta ke arah Timur ke
Republik Rakyat Tiongkok. Pada saat ini DBD telah menyebar luas di kawasan
Pasifik Barat dan daerah Karibia.3
Virus dengue adalah penyebab penyakit DBD. Jumlah rataan kasus yang
dilaporkan ke World Health Organization setiap tahunnya adalah 0,4-1,3 juta pada
1996-2005. Kejadian Luar Biasa terjadi setiap tahun di beberapa provinsi di
Indonesia, yang terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004. Laporan pertama kali untuk
penemuan penyakit Dengue di Indonesia adalah di Kota Jakarta dan Kota Surabaya
pada tahun 1968. Kemudian pada tahun 2010 penyakit dengue tersebut telah
menyebar di 440 Kabupaten/ Kota. Sejak ditemukan pertama kali kasus demam
berdarah dengue terus mengalami peningkatan bahkan sejak tahun 2004 terjadi
peningkatan kasus. Kenaikan tersebut berbanding terbalik dengan angka kematian
atau case fatality rate (CFR) akibat DBD, dimana saat awal penemuannya dilaporkan
bahwa CFR sekitar 40% selanjutnya terus turun di angka 0,87% pada tahun 2010.4
1. Morfologi
Virus Dengue ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk Aedes (Ae). Ae
aegypti merupakan vektor epidemi yang paling utama.1
Morfologi tahapan Aedes aegypti sebagai berikut:
a. Telur
Telur berwarna hitam dengan ukuran ± 0,80 mm, berbentuk oval yang mengapung
satu persatu pada permukaan air yang jernih, atau menempel pada dinding tempat
penampung air. Telur dapat bertahan sampai ± 6 bulan di tempat kering
d. Nyamuk dewasa
Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata
nyamuk lain dan mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada
bagian badan dan kaki.
e. Habitat Perkembangbiakan
Habitat perkembangbiakan Aedes sp. ialah tempat-tempat yang dapat menampung
air di dalam, di luar atau sekitar rumah serta tempat-tempat umum. Habitat
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti: drum,
tangki reservoir, tempayan, bak mandi/wc, dan ember.
2. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari seperti: tempat
minum burung, vas bunga, perangkap semut, bak kontrol pembuangan air,
tempat pembuangan air kulkas/ dispenser, talang air yang tersumbat, barang-
barang bekas (contoh : ban, kaleng, botol, plastik, dll).
3. Tempat penampungan air alamiah seperti: lubang pohon, lubang batu, pelepah
daun, tempurung kelapa, pelepah pisang dan potongan bambu dan tempurung
coklat/karet, dll.1
2.4 ETIOLOGI
Infeksi virus dengue ditularkan melalui gigitan vektor nyamuk Stegomiya aegepty
dan Stegomya albopticus. Transmisi tergantung dari faktor biotik dan abiotik. Faktor
biotik meliputi virus, vektor nyamuk, dan pejamu manusia. Sedangkan faktor abiotik
meliputi suhu lingkungan, kelembaban, dan curah hujan. 5
Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari family Flaviviridae. Virus ini
termasuk virus RNA. Melalui aktifitas dari berbagai enzim dari virus maupun sel pejamu,
terbentuk protein-protein yang salah satunya adalah protein NS1. Protein ini merupakan
satu-satunya protein non-struktural yang dapat disekresikan oleh sel pejamu mamalia tapi
tidak oleh nyamuk, sehingga dapat ditemukan dalam darah pejamu sebagai antigen NS1.
Masing-masing protein punya peran yang berbeda alam patogenisitas, replikasi virus, dan
aktivitas respon imun baik humoral maupun seluler.5
Dikenal empat serotipe virus dengue berdasarkan sifat antigennya, yaitu DENV-1,
DENV-2, DENV-3, dan DENV-4. Serotipe yang beredar di suatu negara berbeda-beda.
Di Indonesia, keempat serotipe virus dapat ditemukan, dan DENV-3 adalah serotipe yang
paling virulen.
Nyamuk yang mengggit manusia hanya nyamuk betina. Stegomya aegepty
mempunyai afinitas tinggi untuk menggigit manusia serta dapat menggigit lebih dari satu
individu (multiple-bite) untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Pola hidup ini menjadikan
nyamuk tersebut sangat potensial untuk menularkan virus dengue dari satu individu ke
individu lain.
Saat nyamuk menghisap darah manusia yang sedang mengalami viremia, virus
masuk ke dalam tubuh nyamuk, yaitu dua hari sebelum timbul demam sampai 5-7 hari
fase demam. Kerentanan untuk timbulnya penyakit pada individu antara lain ditentukan
oleh status imun dan faktor genetik pejamu. Selain itu perubahan iklim secara global
dilaporkan juga membuat nyamuk mengalami dehidrasi sehingga untuk mempertahankan
diri nyamuk akan lebih sering menggigit manusia. Peningkatan curah hujan, terutama saat
peralihan dari musim kemarau ke musim penghujan dilaporkan berpengaruh terhadap
peningkatan kasus penyakit dengue.5
2.5 PATOGENESIS
Patogenes virus dengue berhubungan dengan faktor virus, faktor pejamu, dan
faktor lingkungan. Faktor virus yaitu serotipe, jumlah, and virulensi. Faktor pejamu
berkaitan dengan genetik, usia, status gizi, penyakit komorbid dan interaksi antara virus
dan pejamu. Sedangkan faktor lingkungan berubungan musim, curah hujan, suhu udara
kepadatan penduduk, mobilitas penduduk dan kesehatan lingkungan.5
Pada sistem imun humoral, limfosit B menghasilkan antibodi spesifik untuk virus
dengue. Antibodi yang dibentuk dapat berperan untuk melindungi dari terjadinya
penyakit namun juga dapat memicu terjadinya infeksi berat (antibody dependet
enhancement). Antibodi yang dibentuk umumnya berupa IgG. Infeksi virus dengue oleh
salah satu serotipe tertentu akan menimbulkan kekebalan yang menetap terhadap serotipe
tersebut (antibody homotipik). Pada saat bersamaan, terbentuk pula kekebalan terhadap
serotipe lainnya (antibody heterotipik). Saat terjadi infeksi oleh serotipe virus yang
berbeda, maka antibodi heterotipik yang bersifat non-neutralisasi berikatan dengan virus
serotipe yang baru dan membentuk kompleks autoimun. Kompleks imun kemudian akan
berikatan dengan reseptor Fcy yang terdapat pada monosit dan makrofag. Virus kemudian
bermultiplikasi dalam sel dan keluar dari sel menyebabkan viremia. Selain itu kompleks
virus juga mengaktifkan kaskade sistem komplemen untuk menghasilkan C3a dan C5a
yang berperan terhadap peningkatan permeabilitas vaskular.5
Pada sistem imun seluler, sel T spesifik untuk virus dengue dapat mengenali sel
yang terinfeksi virus dengue. Sel T CD4 berperan lebih berperan dalam menghasilkan
sitokin dibandingkan dengan lisis sel yang terinfeksi. Sedangkan. CD8 lebih berperan
dalam lisis sel yang terinfeksi dibandingkan menghasilkan sitokin. Pada infeksi sekunder
virus dengue oleh serotipe yang berbeda, sel T memori mempunyai aviditas yang lebih
besar terhadap serotipe yang sebelumnya dibandingkan serotipe yang kedua. Sehingga,
fungsi lisis terhadap virus yang baru tidak optimal, namun sitokin dihasilkan dalam
jumlah banyak. Produksi sitokin yang banyak dapat menyebabkan peningkatan
permeabilitas vaskular.5
Diantara protein virus dengue yang berperan terhadap reaksi antibodi spesifik,
protein yang paling berperan dalam mekanisme autoimun dalam patogenesis virus dengue
adalah protein NS1. Protein NS1 menunjukan reaksi antigen-antibodi dengan sel endotel
dan trombosit, sehingga dapat memacu terbentuknya respon inflamasi pada kedua sel
tersebut. Sel endotel yang terinflamasi akan menghasilkan sitokin, kemokin dan molekul
adhesi. Selain protein NS1, protein prM juga dapat menunjukan reaksi dengan sel endotel
dan trombosit karena diduga memiliki komponen yang mirip dengan NS1. Adanya
mekanisme autoantibodi akan menyebabkan sel yang mengandung ikatan antigen-
antibodi tersebut dihancurkan oleh makrofag, sehingga pada trombosit akan terjadi
penghancuran sel yang menyebabkan trombositopenia. Sedangkan pada sel endotel akan
terjadi peningkatan permeabilitas yang menyebabkan perembesan plasma.
Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi dengue
adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) dan hipotesis
immune enhancement. Menurut hipotesis infeksi sekunder yang sebagai akibat infeksi
sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan
terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan titer tinggi
IgG antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga menyebabkan
tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks
virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya
cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar hematokrit,
penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa.5,6,7
Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak langsung
bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko berat
yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi herterolog yang telah ada akan
mengenali virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan
dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari
proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan
hipovolemia dan syok.5,6,7
Beberapa faktor pejamu juga dilaporkan dapat menjadi faktor risiko terjadinya
infeksi virus dengue yang berat, antara lain usia, status gizi, faktor genetik, dan
penyakit-penyakit yang berhubungan dengan sistem imun. Anak-anak diduga
memiliki sistem mikrovaskular yang mudah mengalami peningkatan permeabilitas.
Bayi usia 6-12 bulan memiliki risiko infeksi berat yang lebih besar meskipun pada
infeksi primer. Hal tersebut karena IgE antidengue yang bersifat non-neutralisasi
diturunkan dari ibu pada saat kehamilan.5
Pada bayi, anak-anak, dan dewasa yang terinfeksi virus dengue, manifestasi yang
muncul dapat berupa demam sederhana yang tidak khas dan sulit dibedakan dengan
infeksi lain, ruam mukopapular dan keluhan saluran pernafasan juga seringkali
ditemukan.
Pada kasus demam dengue, setelah melalui masa inkubasi rata-rata 4-6 hari,
timbul gejala berupa demam, myalgia, sakit punggung, malaise, anoreksia, dan gangguan
rasa kecap. Demam biasanya muncul mendadak tinggi (39-40oC) terus-menerus, bifasik,
biasanya berlngsung antara 2-7 hari. Keluhan biasanya disertai atralgia, nyeri retroorbital
dan fotofobia. Pada hari ke-3 atau 4, muncul ruam mukopapular dan petechie diselingi
bercak-bercak putih (white island in the sea of red).
Manifestasi klinis DBD dimulai dengan demam yang mendadak tinggi, kontinu,
kadang bifasik, terjadi selama 2-7 hari. Demam juga dapat disertai keluhan lain seperti
pada demam dengue. Manifestasi perdarahan dapat berupa uji tourniquet yang positif,
petechie spontan pada daerah ekstremitas, muka, dan palatum mole. Perdarahan spontan
dapat digambarkan dengan adanya gusi berdarah dan mimisan. Hepatomegali dapat
ditemukan sejak fase demam. Pada DBD, kebocoran plasma secara klinis berbentuk efusi
pleura, pada kasus berat dapat disertai dengan asites. Peningkatan nilai hematokrit (≥
20% dari data dasar) dan penurunin serum albumin (> 0,5 g/dL dari data dasar)
merupakan tanda indirect kebocoran plasma.
Demam dengue sering terjadi pada anak besar, remaja dan dewasa. Pada bayi
ataupun anak kecil, kemungkinan tidak dapat didiferensiasikan ataupun berkarakteristik
dengan demam 1-5 hari, peradangan faring, rhinitis, dan batuk ringan. Sedangkan pada
anak besar atau orang dewasa akan terjadi demam tinggi secara mendadak, dapat sampai
suhu 39,4oC hingga 41,1oC.Demam terjadi secara terus menerus, berlangsung 2 -7 hari.
Pada hari ketiga perjalanan penyakit, suhu tubuh turun, namun masih diatas normal,
kemudian naik dan tinggi kembali, dimana ini dinamakan pola demam bifasik. Demam
disertai denganmialgia, sakit punggung, athralgia, muntah, fotofobia, dan nyeri
retroorbital saat mata digerakkan ataupun ditekan. Gejala lain yang dapat ditemukan
berupa gangguan pencernaan, nyeri perut, sakit tenggorokan. Pada hari sakit ke-3 atau
ke-4, ditemukan ruam makulopapular atau rubeliformis, yang akan segera berkurang.
Pada masa penyembuhan juga akan timbul ruam di kaki dan tangan berupa ruam
makulopapular dan petechie diselingi bercak-bercak putih, disertai rasa gatal yang
disebut ruam konvalesens. Bila ada manifestasi perdarahan, pada umumnya sangat
ringan denga berupa uji tourniquet yang positif (>10 petechie dalam area 2,8 X 2,8 cm)
atau beberapa petechie spontan. Pemeriksaan laboratorium leukosit akan normal, pada
awal demam akan ditemukan leukositosis namun akan terjadi leukopenia dengan jumlah
PMN yang turun, hingga dapat mencapai jumlah <2.000/mm3 pada hitung leukosit.
Jumlah trombosit juga dapat normal ataupun turun (100.000-150.000/mm3), jarang
ditemukan jumlah trombosit kurang dari 50.000/mm3, terjadi peningkatan nilai
hematokrit sampai 10% akibat dehidrasi karena demam tinggi, muntah, ataupun asupan
cairan yang kurang. Pemeriksaan serum biokimia pada umumnya normal, SGOT dan
SGPT dapat meningkat.
Pemeriksaan serologi baru dapat terdeteksi setelah hari kelima, karena disitu
kemungkinan besar konsentrasi antibodi cukup di atas batas deteksi alat. Sedangkan
pemeriksaan antigen NS1 dapat dilakukan dari H-1 sampai dengan hari keempat, kadar
optimal NS1 adalah pada hari ketiga. Pemeriksaan antigen NS1 ada dua, yaitu dengan ELISA
dan rapid test. Pemeriksaan dengan ELISA lebih akurat tetapi membutuhkan waktu yang
lama (4 jam). Sedangkan pemeriksaan dengan rapid test hanya mebutuhkan waktu 5 menit.
NS1 merupakan non structure protein yang terdapat pada permukaan virus,
merupakan antigen yang letaknya paling luar sehingga paling mudah terdeteksi dan
merupakan penyebab utama manifestasi respon imun yang telah diterangkan sebelumnya.
Menurut penemu alat rapid test untuk NS1 ini, hari ketiga merupakan puncak kadar NS1
sehingga paling memungkinkan deteksi NS1 pada hari itu. Akan tetapi setelah hari kelima,
jumlah antigen sudah menurun sampai tidak bisa terdeteksi. Untuk antibodi, dapat dideteksi
setelah kelima demam.
Pemeriksaan NS1 tidak bisa menggantikan pemeriksaan antibodi. Akan tetapi tidak
dapat menentukan infeksi yang terjadi primer atau sekunder. Kita juga telah melupakan uji
tourniquet. Padahal uji tourniquet merupakan uji yang paling sederhana dan spesifik untuk
DBD. Perbedaan antara demam dengue dengan demam berdarah dengue, pada DBD sudah
pasti terjadi plasma leakage, sedangkan pada demam dengue tidak terjadi.5
2.7 DIAGNOSIS
Infeksi virus dengue dapat asimptomatik atau dapat menyebabkan demam tidak
berdiferensiasi, demam berdarah (DF) atau demam berdarah dengue (DBD) dengan
kebocoran plasma yang dapat menyebabkan syok hipovolemik (sindrom syok dengue,
DSS)6.9
Klinis
Pengamatan klinis berikut adalah indikator penting dari DBD / DSS:
Demam akut yang tinggi
Manifestasi hemoragik (setidaknya tes tourniquet positif)
Hepatomegali (diamati pada 90-96% orang Thailand dan 67% anak Kuba dengan
DBD)
Syok.
Laboratorium
Temuan laboratorium ini mendukung pengamatan klinis di atas:
Trombositopenia (100.000 sel per mm 3 atau kurang)
Hemokonsentrasi (hematokrit meningkat setidaknya 20% di atas rata-rata untuk
usia, jenis kelamin, dan populasi).
Dua pengamatan klinis pertama, ditambah satu dari temuan laboratorium (atau
setidaknya peningkatan hematokrit), cukup untuk menegakkan diagnosis sementara
DBD. Dalam memantau hematokrit, orang harus mengingat kemungkinan efek anemia
yang sudah ada sebelumnya, perdarahan hebat, atau terapi penggantian volume dini.
Selain itu, efusi pleura yang diamati pada rontgen dada, atau hipoalbuminaemia, dapat
memberikan bukti yang mendukung kebocoran plasma, ciri khas DBD.
Perdarahan yang paling umum adalah tes tourniquet positif, mudah memar dan
berdarah. dalam kebanyakan kasus adalah petekie halus yang tersebar di ekstremitas,
aksila, wajah, dan langit-langit lunak, yang biasanya terlihat selama fase awal demam.
Epistaksis dan perdarahan gingiva jarang terjadi; perdarahan gastrointestinal ringan dapat
diamati selama periode demam.
Hati biasanya teraba pada awal fase demam dan ukurannya bervariasi dari yang
teraba sampai 2-4 cm di bawah batas kosta. Meskipun ukuran hati tidak berkorelasi
dengan tingkat keparahan penyakit, hati yang membesar diamati lebih sering pada syok
dari pada pada kasus yang tidak syok. Hati lunak, tetapi penyakit kuning biasanya tidak
diamati. Splenomegali jarang ditemukan pada bayi namun, limpa mungkin menonjol
pada pemeriksaan rontgen
Tahap kritis dari perjalanan penyakit tercapai pada akhir fase demam. Setelah 2-7
hari demam, penurunan suhu yang cepat sering disertai dengan tanda-tanda gangguan
peredaran darah dengan berbagai tingkat keparahan. Pasien mungkin berkeringat,
gelisah, memiliki ekstremitas dingin dan menunjukkan beberapa perubahan dalam
denyut nadi dan tekanan darah. Dalam kasus yang kurang parah, perubahan ini minimal
dan sementara, mencerminkan tingkat kebocoran plasma yang ringan. Banyak pasien
pulih secara spontan, atau setelah terapi cairan dan elektrolit dalam waktu singkat. Dalam
kasus yang lebih parah, ketika kehilangan plasma sangat penting, syok terjadi dan dapat
berkembang dengan cepat menjadi shock dan kematian yang parah jika tidak ditangani
dengan benar.
Sedangkan untuk grading dari demam berdarah dengue sendiri dibagi menjadi 4
Grade, dimana grade III dan IV dipertimbangkan masuk ke tahap DSS. Keadaan
trombositopenia dengan keadaan hemokonsentrasi membedakan grade I dan grade II
DBD dari DD, yaitu:
Grade I: Demam disertai dengan gejala konstitusional non-spesifik;
manifestasi perdarahan yang terlihat hanya tes tourniquet positif dan/atau
mudah memar
Grade II: Perdarahan spontan ditambah manifestasi grade I, dalam bentuk di
kulit ataupun perdarahan lain
Grade III: Kegagalan sirkulasi dimanifestasikan dengan nadi yang cepat dan
lemah, dan tekanan nadi yang sempit atau hipotensi, dengan adanya akral
dingin dan gelisah.
Grade IV: Profound shock dengan tidak terdeteksinya tekanan darah ataupun
pulsasi nadi
Laboratorium
Trombositopenia dan hemokonsentrasi adalah temuan konstan pada DBD.
Penurunan jumlah trombosit di bawah 100.000 per mm 3 biasanya ditemukan antara hari
ketiga dan kedelapan penyakit, sering sebelum atau bersamaan dengan perubahan
hematokrit. Peningkatan kadar hematokrit, yang mengindikasikan kebocoran plasma
selalu terjadi, bahkan pada kasus yang tidak syok, tetapi lebih jelas pada kasus syok.
Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit 20% atau lebih dianggap sebagai bukti
definitif peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan kebocoran plasma. Perlu dicatat
bahwa tingkat hematokrit dapat dipengaruhi oleh penggantian volume awal atau
perdarahan. Hubungan jalur waktu antara penurunan jumlah trombosit dan peningkatan
hematokrit yang cepat untuk DBD , kedua perubahan terjadi sebelum penurunan suhu dan
sebelum timbulnya syok.
Pada DBD jumlah sel darah putih mungkin bervariasi pada awal penyakit, mulai
dari leukopenia hingga leukositosis ringan, tetapi penurunan jumlah sel darah putih total
karena penurunan jumlah neutrofil hampir selalu diamati di dekat akhir fase demam
penyakit. Limfositosis relatif, dengan adanya limfosit atipikal adalah temuan umum
sebelum penurunan atau syok. Albuminuria ringan sementara kadang-kadang diamati,
dan darah sering ditemukan dalam tinja. Dalam kebanyakan kasus, uji faktor koagulasi
atau fibrinolitik menunjukkan penurunan faktor fibrinogen, protrombin6,9
Identifikasi dan isolasi Virus
Pada tahap awal infeksi, identifikasi dan isolasi virus dengue secara tradisional
adalah satu-satunya cara untuk mendiagnosis infeksi dengue saat ini. Dalam teknik ini,
serum dari pasien dipaparkan pada sel nyamuk. Setelah amplifikasi virus pada sel yang
terinfeksi, serotipe tersebut diidentifikasi dengan menggunakan antibodi mono-klonal
spesifik untuk setiap serotipe dengue.
Teknik ini hanya sensitif ketika ada partikel menular yang relatif tinggi di dalam
serum. Viremia untuk dengue berlangsung singkat biasanya dimulai dua atau tiga hari
sebelum serangan demam dan berlangsung sampai empat atau lima hari waktu sakit.
Sebagai pilihan dalam mendeteksi virus untuk diagnosis rutin adalah sampel serum
penderita, walaupun virus dengue dapat juga dideteksi dalam plasma, leukosit dan dalam
beberapa jaringan yang diperoleh dari otopsi.
MAC-ELISA telah menjadi banyak digunakan dalam beberapa tahun terakhir. Ini
adalah tes sederhana dan cepat yang membutuhkan sedikit peralatan canggih. MAC-
ELISA didasarkan pada pendeteksian antibodi IgM spesifik dengue dalam serum uji
dengan menangkap mereka dari larutan menggunakan IgM anti-manusia yang
sebelumnya terikat pada fase padat. Jika serum pasien memiliki antibodi IgM anti dengue
ini akan mengikat antigen dengue yang ditambahkan pada langkah berikutnya dan dapat
dideteksi dengan penambahan antibodi anti-dengue berlabel enzim yang mungkin
merupakan antibodi manusia atau monoklonal. Enzim-substrat ditambahkan untuk
menghasilkan reaksi warna. Antibodi IgM anti-dengue berkembang sedikit lebih awal
dari IgG, dan biasanya terdeteksi pada hari ke 5 penyakit, yaitu antibodi biasanya tidak
terdeteksi selama lima hari pertama penyakit. Namun, waktu penampilan antibodi IgM
sangat bervariasi di antara pasien. Titer antibodi IgM pada infeksi primer secara
signifikan lebih tinggi daripada infeksi sekunder, meskipun tidak jarang mendapatkan
titer IgM sebanyak 320 pada kasus terakhir. Pada beberapa infeksi primer, IgM yang
terdeteksi dapat bertahan selama lebih dari 90 hari, tetapi pada sebagian besar pasien,
tingkat ini menurun ke tingkat yang tidak terdeteksi hingga 60 hari
Reverse Transcriptase-Polymerase Chain
Reaction (RT-PCR) dari serum atau plasma RT-PCR dapat dilakukan dengan cara
one-step, nested RT-PCR atau nucleic acid sequence-based amplification (NASBA).
Dewasa ini di luar negeri telah banyak dilakukan pemeriksaan RT-PCR dengan
menggunakan alat real-time PCR, dimana hasil yang didapat lebih cepat dan bersifat
kuantitatif. Keberhasilan PCR juga tergantung dari tahapan pengambilan serum dan
variabilitas yang luas antar laboratorium dimana masih dibutuhkan standarisasi yang lebih
baik. Hasil positif akan didapatkan lebih banyak pada keadaan viremia.
Deteksi Antigen
Produk gen NS1 merupakan glikoprotein yang dihasilkan oleh semua flavivirus
dan penting untuk replikasi dan viabilitas virus. Selama replikasi virus, NS1 terlokalisir
dalam organel sel. Protein NS1 disekresikan oleh sel mamalia, tetapi tidak oleh sel-sel
serangga. Bentuk protein sekresi berupa heksamer, yang terdiri dari subunit dimer.
Glikosilasi protein ini diyakini penting untuk sekresi. Antigen NS1 muncul awal pada
hari pertama setelah seranga demam dan menurun ke tingkat tidak terdeteksi setelah 5-6
hari. Protein NS1 merupakan antigen yang memperbaiki dan saling melengkapi, serta
juga menghasilkan respon humoral yang sangat kuat. Penelitian telah banyak
didedikasikan untuk kegunaan NS1 sebagai alat diagnosis infeksi virus dengue, karena
disekresikannya protein ini.
Uji serologi
Mac ELISA
Mac ELISA merupakan uji serologic klasik untuk dengue dengan menggunakan
antigen spesifik dengue dari seluruh serotip (DEN 1-4) untuk menangkap antibodi IgM
spesifik antidengue pada sampel serum. Sebagian besar antigen yang digunakan untuk
pengujian ini berasal dari protein envelope virus dengue. Keterbatasan uji ini termasuk
kekhususan dari antigen dan reaktivitas silang dengan flavivirus yang lainnya. Keterbatasan
ini harus dipertimbangkan ketika bekerja di daerah di mana terdapat beberapa jenis
flavivirus. Deteksi IgM tidak berguna untuk penentuan serotipe dengue karena reaktivitas
silang antibodi, bahkan selama infeksi primer.1,2,6
IgG ELISA
Pemeriksaan IgG ELISA klasik digunakan untuk mendeteksi infeksi dengue
sebelumnya yaitu dengan menggunakan antigen, sama halnya dengan Mac ELISA. Pengujian
biasanya dilakukan dengan pengenceran berulang dari serum, diuji untuk menentukan titik
akhir pengenceran. Uji ini berkorelasi dengan tes hemaglutinasi yang digunakan di masa lalu.
Semakin tinggi pengenceran pada titik akhir, respon yang diperoleh lebih kuat setelah infeksi.
Secara umum, IgG ELISA tidak memiliki kekhususan dalam kelompok-kelompok sero-
kompleks flavivirus, namun Cardosa et al,menunjukkan bahwa respon IgG untuk
premembran dari protein adalah spesifik untuk individu yang terinfeksi flavivirus.
2.8 TATALAKSANA
Penting untuk memverifikasi apakah tanda-tanda peringatan disebabkan oleh
sindrom syok dengue atau penyebab lain seperti gastroenteritis akut, refleks vasovagal,
hipoglikemia, dll. Kehadiran trombositopenia dengan bukti kebocoran plasma seperti
meningkatnya hemotokrit dan efusi pleura membedakan DHF / DSS dari penyebab lain.
Tingkat glukosa darah dan tes laboratorium lainnya dapat diindikasikan untuk
menemukan penyebabnya. Manajemen DBD / DSS cairan IV dan perawatan suportif dan
simptomatik harus diberikan saat pasien ini sedang diamati di rumah sakit. dapat pulang
dalam waktu 8 hingga 24 jam jika menunjukkan pemulihan yang cepat dan tidak dalam
periode kritis (yaitu ketika jumlah trombosit mereka> 100 000 sel / mm3).
Manajemen DBD kelas I, II (kasus non-shock)
1. Bila pasien masih dapat minum berikan cairan peroral 1-2 L / hari atau 1 sendok
makan setiap 5 menit. Jenis cairan adalah air putih, teh manis, jus buah, susu, atau
oralit.
2. Bila suhu tubuh >39OC maka berikan parasetamol.
3. Bila kejang berikan antikonvulsi sesuai berat badan.
4. Bila pasien tidak dapat minum pasang IV NaCl 0.9% dan dekstrosa 5% (1:3).
5. Pantau tanda – tanda syok, diuresis, palpasi hepar, awasi pendarahan.
6. Lakukan pemeriksaan Ht dan trombosit setiap 6 -12 jam. Bila tidak membaik masuk
algoritma bagan
Manajemen syok: DBD Kelas 3
DSS adalah syok hipovolemik yang disebabkan oleh kebocoran plasma dan
ditandai oleh peningkatan resistensi vaskular sistemik, dimanifestasikan oleh tekanan nadi
yang menyempit (tekanan sistolik dipertahankan dengan peningkatan tekanan diastolik,
misalnya 100/90 mmHg). Ketika hipotensi hadir, seseorang harus menduga bahwa
perdarahan hebat, dan perdarahan gastrointestinal yang tersembunyi, mungkin telah
terjadi di samping kebocoran plasma.
Perlu dicatat bahwa resusitasi cairan DSS berbeda dari jenis syok lainnya seperti
syok septik. Sebagian besar kasus DSS akan merespons 10 ml / kg pada anak-anak atau
300-500 ml pada orang dewasa lebih dari satu jam atau dengan bolus, jika perlu.
Selanjutnya pemberian cairan, sebelum mengurangi laju penggantian IV kondisi klinis,
tanda-tanda vital, keluaran urin, dan tingkat hematokrit harus diperiksa untuk memastikan
perbaikan klinis.