Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

ASMA BRONKHIAL EKSASERBASI AKUT

Disusun oleh:
dr. Anna Rahmania Sari

Pendamping:
dr. Rundy Hardianto

Diajukan guna memenuhi syarat tugas Program Internsip Dokter di


RS Mitra Siaga Tegal, Jawa Tengah periode IV tahun 2022

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RS MITRA SIAGA TEGAL
2023
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : dr. Anna Rahmania Sari


Universitas : Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung
Judul : Asma Bronkhial Eksaserbasi Akut
Pembimbing : dr. Rundy Hardianto

Tegal, 3 Mei 2023


Penyusun, Pembimbing,

dr. Anna Rahmania Sari dr. Rundy Hardianto

BAB I
LAPORAN KASUS

Nama dokter internsip: dr. Anna Rahmania Sari


Dokter Pembimbing : dr. Rundy H

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. K Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 30 tahun Suku Bangsa : Jawa
Status Perkawinan : Menikah No. CM : 36***
Alamat : Tegal Tgl Masuk RS : 24 Januari 2023

II. ANAMNESIS (SUBJEKTIF)


Dilakukan autoanamnesis dengan pasien tanggal 24 Januari 2023 pukul 15.00
di ruang IGD RSMS dan didukung dengan data rekam medik pasien.
A. Keluhan Utama
Sesak napas
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSMS dengan keluhan sesak napas sejak 3
hari SMRS. Sesak napas disertai bersin-bersin dan pilek. Keluhan batuk
(-), mual (-), muntah (-), demam (-). BAK dan BAB dalam batas
normal.
C. Riwayat Pengobatan
Pasien sudah membeli obat di apotik, namun belum ada perbaikan
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Pasien memiliki
riwayat asma, alergi debu dan dingin. Riwayat diabetes, hipertensi,
jantung disangkal.
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah pasien memiliki riwayat asma dan alergi terhadap dingin. Riwayat
diabetes, hipertens, jantung disangkal.
F. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan karyawan swasta. Pengobatan pasien saat ini dengan
BPJS.
G. Riwayat asupan nutrisi
Nafsu makan pasien baik.
H. Riwayat kebiasaan
Pasien tidak mengonsumsi rokok dan alkohol

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. STATUS GENERALIS (Tanggal: 24 Januari 2023)
Status Generalis (Pada 24 Januari 2023, Pukul: 15.00 WIB)
 Keadaan Umum : Tampak sesak
 Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital
 Tekanan Darah : 130/80 mmHg
 Nadi : 121 kali/menit, regular
 Suhu : 36,5 oC
 Pernapasan : 34 kali/menit
 SpO2 : 90%
Kepala
Mesocephal, rambut berwarna hitam, tidak mudah dicabut, kulit kepala
tidak ada kelainan, alopesia (-), UUB tidak cekung.
Mata
Bentuk simetris, pupil ODS bulat, isokor, reflex cahaya (+/+),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), cowong (-/-)
Hidung
Bentuk normal, sekret (-/-), perdarahan (-/-), deviasi septum (-/-),
tampak sekret darah kering (+/+)
Telinga
Bentuk normal, darah (-/-), sekret (-/-).
Mulut
Lidah tidak ada kelainan, uvula di tengah, faring tidak hiperemis, tonsil
T1/T1, mulut tidak tampak kering.
Leher
Tidak tampak luka, Pembesaran KGB (-)
Thorax
Inspeksi : Normochest, dada simetris (+/+), retraksi (-/-)
Palpasi : stem fremitus sama kuat pada seluruh lapang paru
Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : suara napas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (+/+)
Jantung
Inspeksi : pulsasi iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba pada apex jantung
Perkusi : pekak
Batas kiri : ICS V, linea midclavicula sinistra
Batas kanan : ICS IV, linea sternalis dextra
Batas atas : ICS II linea parasternal kiri
Auskultasi : BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Kulit
Akral hangat (+), turgor kulit < 2 detik
Regio Abdomen
Inspeksi : tidak tampak kelainan, ptekie (-)
Auskultasi : bising usus (+), normal
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani di seluruh kuadran abdomen
Ekstremitas Atas
Akral hangat (+/+), edema (-), CRT < 2 detik, ptekie (-)
Ekstremitas Bawah
Akral hangat (+/+), edema (-), CRT < 2 detik, ptekie (-)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium
Tidak dilakukan
B. Pemeriksaan Radiologi
Tidak dilakukan

V. RESUME
Pasien pada tanggal 24 Januari 2023 datang ke IGD RSMS pada pukul 15.00
WIB datang dengan keluhan sesak napas sejak 3 hari SMRS. Sesak napas
disertai bersin-bersin dan pilek. Keluhan batuk (-), mual (-), muntah (-),
demam (-). BAK dan BAB dalam batas normal. Hasil pemeriksaan fisik
auskultasi thorax didapati wheezing di kedua lapang paru.

VI. DAFTAR MASALAH/DIAGNOSA


Diagnosis Kerja
 Asma Bronkhial Eksaserbasi Akut
Terapi Farmakologi
 Rawat Jalan
 Nebulisasi Lasal com 1 respul : Pulmicort 1 respul
 Salbutamol 2x4mg
 Methylprednisolon 2x4mg
 Cetirizine 2x1 tab
Terapi Non Farmakologi
 Hindari alergen pencetus asma
 Apabila gejala semakin memberat kontrol ke spesialis paru

VII. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Global Initiative Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai suatu
penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi kronik saluran respiratori.
Inflamasi kronik ini ditandai dengan riwayat gejala-gejala pada saluran respiratori
seperti wheezing atau mengi, sesak napas, dan batuk yang bervariasi dalam waktu
maupun intensitas, disertai dengan limitasi aluran udara ekspiratori.

2.2 Epidemiologi asma


Penelitian mengenai prevalensi asma di Indonesia sudah dilakukan sejak
awal tahun 1990an di berbagai senter pendidikan. Hampir semua peneliti
menggunakan kuesioner yang dirancang masing-masing sehingga hasilnya
berbeda. Namun setelah dilakukan penelitian ISAAC fase I, penelitian di
Indonesia dan berbegai tempat di dunia menggunakan kuesioner yang sama dari
studi ISAAC. Penelitian tahun 2005 menggunakan kuesioner ISAAC di beberapa
kota di Indonesia menunjukkan hasil 3% di Bandung sampei 8% di Palembang
pada kelompok usia 6-7 tahun. Sedangkan pada kelompok 13-14 tahun kisaran
2.6% di Bangund dan tertinggi di Subang 24.4%. Asma merupakan penyakit
saluran respiratori kronik yang sering dijumpai pada anak maupun dewasa.
Prevalens asma pada anak sangat bervariasi di antara negara-negara di dunia,
berkisar antara 1-18%. Meskipun tidak menempati peringkat teratas sebagai
penyebab kesakitan atau kematian apda anak, asma merupakan masalah
kesehatan yang penting. Jika tidak ditangani dengan baik, asma dapat
menurunkan kualitas hidup anak, membatas aktvitas sehari-hari, menggangu
tidur, meningkatkan angka absensi sekolah dan menyebabkan prestasi akademik
di sekolah menurun.
Definisi asma pada anak masih diperdebatkan dan belum ada yang diterima
secara universal. Definisi asma yang ada pada berberapa pedoman memasukkan
gejala klinis dan karakterisiknya, serta mekanisme yang mendari denan rincian
yang berbeda antara satu pedoman dengan lainnya. Global Initiative Asthma
(GINA) mendefinisikan asma sebagai suatu penyakit heterogen, biasanya ditandai
dengan inflamasi kronik saluran respiratori. Inflamasi kronik ini ditandai dengan
riwayat gejala-gejala pada saluran respiratori seperti wheezing atau mengi, sesak
napas, dan batuk yang bervariasi dalam waktu maupun intensitas, disertai dengan
limitasi aluran udara ekspiratori. International Consensus on (ICON) Pediatric
Asthma mendefisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronik yang berhubungan
dengan obstruksi saluran respiratori dan hiperresponsif bronkus yang secara klinis
ditandai dengan adanya wheezing, batuk, dan sesak napas yang berulang.
UKK Respirologi IDAI mendefinisikan, asma adalah penyakit saluran
respiratoru dengan dasar inflamasi kronik yang mengakibatkan obstruksi dan
hiperreaktivitas saluran respiratori dengan derajat bervariasi. Manifestasi klinis
asma dapat berupa batuk, wheezing, sesak napas, dada retekan yang timbul secara
kronik dan atau berulang, reversible, cenderung memberat pada malam atau dini
hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus. Astha Predictive Index (API) dapat
membantu menentukan program apabila seorang anak dengan gejala wheezing
kelak akan berisiko menjadi asma. Beberapa pemeriksaan seperti uji
bronkodilator, uji metakolin, variabilitas harian atau diurnal dari peak expiratory
flow (PEF) dapat meningkatkan akurasi diagnosis, akan tetapi pemeriksaan ini
hanya dapat dilakukan pada anak-anak usia sekolah. (4) Pada paruh abad ke 20,
prevalens asma di negara industry meningkat bermakna, namun penyebab
kenaikan prevalens in itidak jelas. Kini diketahui bahwa penyakit asma sering
ditemukan baik di negara berpendapatan tinggi maupun rendah, dan prevalens
asma ringan sedang dan asma berat meningkat lebih cepat di negara dengan
pendapatan rendah dan menengah. Diperkirakan prevalens asma di berbagai
negara dengan pendapatan rendan dan menengah terus meningkat.(5)
Secara umum, hasil penelitian menunjukkan peningkatan prevalens asma
pada anak sampai tahun 1990-an. Akan tetapi, sejak akhir 1990-an, beberapa
penelitian melaporkan bahwa prevalens asama naka cenderung stabil atau bahkan
menurun. Untuk mendapatkan data prevalens asama naak di dunia yang lebih
akurat, para ahli asma anak mencoba melakukan penelitian multisenter
menggunakan kuesioner dan metodologi yang sama, yaitu dengan mengadakan
penlitian International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC).
Mortalitas penyakit asma meningkat adari tahun 1980 sampai 1995, dari 14.3
menjadi 20.6 per juta. Sedangkan anak antara tahun 2000 sampai 2004 menurun
dari 16.1 menjadi 12.8 per juta. Faktor risiko untuk penyakit asma dapat
dikelompokkan menjadi genetik dan non genetik. Penelitian ISAAC mendapatkan
beberapa faktor risiko yaitu polusi udara, asap rokok, makanan cepat saji, berat
lahir, cooking fuel, rendahnya pendidikan ibu, ventilasi rumah yang tidak
memadai, merokok di dalam rumah, dan tidak adanya ventilasi.(6)

2.3 Patogenesis asma


Konsep terkini pathogenesis asma adalah asma merupakan suatau proses
inflamasi kronik yang khas, melibatkan dinding saluran respiratoru kronik yang
khas, melibatkan dinding saluran respiratori, peningkatan reaktivitas asaluran
respiratori dan menyebabkan terbatasnaya aliran udara. Hiperraktivitas ini
merupakan predisposisi terjadi penyempitan saluran respiratori sebagai response
terhadap berbagai macam rangsang. Gambaran khas adanya inflamasi saluran
respiratori adalah aktivasi eosinophil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T pada
mukosa dan lumen saluran respiratori. Perubahan ini dapat terjadi meskipuns
ecara klinis asmanya tidak bergejala. Permunculan sel-sel tersebut secara luas
berhubungan dengan derajat beratnya penyakit secara klinis sejalan dengen proses
inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus merangasan proses reparasi saluran
respiratori. Proses tersebut menghasilkan perubahan structural dan fungsional
yang menimpang pada saluran respiratori, dikenal dengan istilah remodelling.(7)

2.3.1 Mekanisme imunologis inflamasi saluran respiratori


Pada banyak kasus, terutama pada anak dan dewasa muda, asma
dihubungkan dengan manifestasi atopi melalui mekanisme igE-
dependent. Pada populasi diperkirakan faktor atopi memberikn
kontribusi pada 40% penderita asma anak dan dewasa. Sedikitnya ada
2 jenis T-helper (Th1 dan Th2), limfosit subtype CD4 telah dikenal
profilnya dalam produksi ditokin. Meskipun kedua jenis limfosit T
mensekresi interleukin-3 (IL-3) dan granulocyte macrophage colony-
stimulating factor (GM-CSF_, Th1 terutama memproduksi IL-2, IF-ϒ,
dan TNF-β. Sedangkan Th2 terutama memproduksi sitokin yang
terlibat dalam asma, yaitu IL-4. IL-5 IL-9, IL3, dan IL-6.
Sitokin yang dihasilkan oleh Th2 bertanggung jawab atas
terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat ataupun cell-mediated.
Langkah pertama terbentuknya respons imun adalah aktivasi limfosti
T oleh antigen yang di presentasikan oleh se-sel aksesorism yaitu
suatu proses yang melibatkan molekul major hiscompatibility complex
(MHC kelas II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8+).
Sel dendritik merupakan antigen presenting cells (APC) yang utama
dalam saluran respiratori. Sel dendritic tebrentuk dari prekursornya di
dalama usmsum tulang, membentuk jaringan luas, dan sel-selnya
saling berhubungan pada epitel saluran respiratori. Kemudian, sel-sel
tersebut bermigrasi ke kumpulan sel-sel limfoid di bawah pengaruh
GM-CSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel,
fibroblas, sel T, maksrofag, dan sel mast. Setelah antigen ditangkap,
sel dendritic pindah ke daerah yang banyak mengandung limfosit. Di
tempat tersebur, dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritic
menjadi matang sebagai APC yang efektif. Sel dendritic juga
mendorong polariasai sel T naïve- Th0 menuju Th2 yang
mengkoordinasi sekresi sitokin-sitokin yang termasuk dalam klaster
gen 5q31-33 (IL-4 genecluster). Patogenesis asma dalam dilihat secara
skematis pada gambar1.(8)
Gambar 1. Patogenesis asma

Adanya eosinophil dan limfosit yang teraktivasi apda biopsy


bronkus pasien asma atopi dan nonatopi wheezing mengindikasikan
bahwa interaksi sel limfosit T-eosinofil sangan penting. Hipotesis in
ilebih jauh diperkuat dengan ditemukannya sel yang mengekspresikan
IL-5 pada biopsy bronkus pasien asma atopi. IL-5 merupakan sitrokin
yang penting dalam reglasi eosinophil. Tingkat keberadaannya pada
mukosa saluran respiratori pasien asma berkolerasi dengan aktivasi sel
limfosit T dan eosinophil.

2.3.2 Inflamasi akut dan kronik

Paparan allergen inhalasi pada pasien alergi dapat menimbulkan


respons alergi fase cepat pada beberapa kasus dapat diikuti dengan
respons fase lambat. Reaksi cepat dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang
sensitive terhadap allergen IgE-spesifik terutama sel mast dan
makrofag. Pada pasien-pasein dengan komponen alergi yang kuat
tehadap timbulnya asma, basophil juga ikut berperan. Ikatan antara sel
dan igE mengawali reaksi biokimia serial yang menghasilkan sekresi
mediator-mediator seperti histamine, proteolitik, enzim glikolitik, dan
heparin serta mediator newly generated seperti prostaglandin,
eukotrien, adenosine, dan oksigen reaktif. Bersama-sama dengan
mediator lainnya, mediator ini menginduksi kontraksi otot plos
saluran respiratori dan menstimulasi saraf aferen, hipersekresi mukus,
vasodilatasi, dan kebocoran mikrovaskuler.(9)

2.3.3 Remodelling saluran respiratori

Remodelling saluran respiratori merupakan serangkaian proses


yang menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah
strukrue saluran respiratori emlalui proses dediferensiasi, migrasi, dan
meturasia struktur sel. Kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan
epitel yang berlanjut, produksi berlebih faktor pertumbuhan
profibrotik/ transforming growth factor (TGF- β) dan proliferasi serta
diferensiasi fibroblast menjadi miofibroblas diyakini merupakan
proses yang penting pada remodeling. Miofibroblas yang teraktivasi
akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan, kemokin,d an sitokin
yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran respiratori,
meningkatkan premeabilitas mikrovaskular, serta memperbanyak
vaskularisasi, neovaskularisasi, dan jaringan saraf. Peningkatan
deposisi matriks molekul, termasuk kompleks proteoglikan pada
dinding saluran respiratori,d apat diamati pada pasien yang meninggal
karena asman dan hal ini secara langsung berhubungan dengan
lamanya penyakit.

Hipertofi dan hyperplasia otot polos saluran respiratori serta sel


goblet kelenjar submukosa timbul pada bronkus pasien asma terutama
pada yang kronik dan berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori
pada pasien asma memperlihatkan penebalan dinding saluran
respiratori. Pada sebagian besar pasien, reversibilitias yang
menyeluruh dapat diamati pada pengukuran dengan spirometeri
setelah diterapi dengan inhalasi steroid. Akan tetapi, beberap apasien
asam amengalami obstruksi saluran respiratori residual yang dapat
terjadi pada pasien yang tidak menunjukkan gejela. Hal ini
menunjukkan adanya remodeling saluran respiratori. Remodelling
juga merupakan hal penting pada pathogenesis hiperreaktivitas saluran
respiratori yang nonspesifik, terutama pada pasien yang waktu
penyembuhannya lama (lebih dari satu hingga dua tahun) atau yang
tidak sembuh sempurna setelah terapi steroid inhalasi.(10)

2.4 Patofisiologi asma


Obstruksi saluran respiratori
Inflamasi saluran respiratori yang ditemukan pada pasien asma diyakini
merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi. Obstruksi saluran respiratori
menyebabkan keterbatasan aliran udara yang dapat kembali baik secara spontan
meupun setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang terjadi dihubungkan
dengan gejala khas pada asma, yaitu batuk, sesak, wheezing, dan hiperreaktivitas
saluran respiratori terhadap berbagai rangasangn. Batuk sangat mungkin
disebabkan oleh stimulasi saraf sensori pada saluran respiratori oleh mediator
inflamasi. Penyempitans aluran respiratori pada asma dipengaruhi oleh banyak
faktor.
Penyebab utama penyempitan saluran respiratori adalah kontraksi otot
polos bronkus yang diprovokasi oleh pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi.
Yang termasuk agonis adalah histamine, triptase, prostaglandin D2, dan
leukotriene C4 dari sel mast, neuropeptide dari sara aferen setempat, dan
asetilkolin dari saraf eferan postganglionic. Kontraksi otot polos saluran
respiratori akibat edema akut, infiltrasi sel-sel inflamasi dan remodeling,
hiperplasi dan hipertrofi kronik otot polos, vascular, dan sel-sel sekretori. Selain
itu, hambatan saluran respiratori juga akan bertambah akibat produksi secret yang
banyak, kental, dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar submukosa dan protein
plasma yang keluar melalui mikrovaskular bronkus, dan debris selular. Perubahan
patologis pada bronkus (airway remodeling) terjadi pada saluran respiratori.
Inflamasi dicetuskan oleh berbagai faktor, termasuk allergen, virus, olahraga, dan
lains ebagaina. Faktor tersebut jug adapat menimbukan reaksi hipersensitivitas
pada saluran respiratori penderita. Inflamasi dan hipersensitivitas menyebabkan
obstruksi saluran respiratori.
Hiperrekativitas saluran respiratori
Penyempitan saluran respiratori secara berlebihan merupakan patofisiologu
yang secara klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme yang
bertanggung jawab terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas in
ibelum diketahui. Kemungkinan berhubungan dengan perubahan otot polos
saluran respiratori (hyperplasia dan hipertrofi) yang terjadi secar sekunder, yang
menyebabkan perubahan kotnraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran
respiratori terutama daerah peribronkial dapat memperberat obstruksi saluran
respiratori selama kontraksi otot polos. Hiperreaktivitas bronkus secara klinis
sering diperiksa dengan memberikan stimulus aerosol histamine atau metakolin
yang dosisnya dinaikkan secar aprogresif, kemudain dilakukan pengukuran
perubahan fungsi paru (PFR atau FEV1). Provokasi/stimulus lain seperti latihan
fisis, hiperventilasi, udara kering, aerosol garam hipertonik, dan adenosine tidak
mempunyai efek langsung terhadap otot polos, namun dapat merangsang
pelepasan mediator dari sel mast, ujung serabut sarad, atau sel-sel lain pada
saluran respiratori.
Dikatakan hiperreaktif bila dengan cara pemberian histamine didapatkan
penurunan FEV1 20% pad akonsentrasi histamine kurang dari 8mg%.
Patofisiologi asma bronkial secara skematis dapat dilihat pada gambar 2. (11)
Gambar 2. Patofisiologi asma bronkial.

2.5 Klasifikasi dan diagnosis asma


Berdasarkan timbulnya gejala, asma dibagi menjadi 4 jenis yaitu asma
intermiten, asma persisten ringan, asma persisten sedang, dan asma persisten
berat. Berdasarkan derajat beratnya serangan, asma diagi menjadi 3 jenis yaitu
asma serangan ringan-sedang, asma serangan berat, dan serangan asma dengan
ancaman henti napas. Berdasarkan derajat kendali, maka dibagi menjadi 3 jenis
yaitu asma terkendali penuh (well controlled), asma terkendali sebagian (partly
controlled), dan asma tidak terkenali (uncontrolled). Asma terkendali penuh
dibagi menjadi 2 yaitu tanpa obat pengendali (asma intermitten) dan dengan obat
pengendali (asma persisten). (12)
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting
bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat
asma sekain tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan
berdasakan gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai. Pada umumnya
penderita sudah dalam pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan
berdasarkan gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai. Pada umumnya
penderita suadah dalam pengobatan; pengobatan yang telah berlangsung
seringkali tidak adekuat. Dipahami pengobatan akan mengubah gambaran klinis
bahkan faal paru, oleh karen itu penilaian berat asma pada penderita dalam
pengobatan juga harus mempertibangkan pengobatan itu sendiri. Gambar 3
menunjukkan bagaimana melakukan penilaian berat asama pada penderita yang
sudah dalam pengobatan.
Gambar 3. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran

Bila pengobatan yang sedang dijalani sesuai dengan gambaran klinis yang
ada, maka derajat berat asma pada pendertia yang sudah dalam pengobatan.
Gejala yang timbul bersifat episodik, eringkali reversible dengan atau tanpa
pengobatan. Gejala berupa batuk, sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak.
Gejala timbul atau memburuk terutama malam atau dini hari, serta diawali oleh
faktor pencetus yang bersifat individu dan atau respons terhadap pemberian
bronkodilator. Penderita yang gambaran klinis menunjukkan asma persisten berat
maka jenis pengobatan apapun yang sedang dijalani tidak mempengaruhi
penilaian berat asma, dengan kata lain penderita dengan gambaran klinis asma
intermitten yang mendapat pengobatan sesuai dengan asma intermitten, maka
derajat asma adalah intermitten.

2.6 Tatalaksana asma


Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Tujuan penatalaksanaan asma
adalah menghilangkan dan mengendalikan gejala asma, mencegah eksaserbasi
akut, meningkatkan dan mempertahanakan faal paru seoptimal mungkin,
mengupayakan aktivitas normal termasuk excersise, menghindari efek samping
obat, mencengah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) irreversible,
dan mencegah kematian karena asma. Penatalaksanaan asma berguna untuk
mengontrol asma. Asma dikatakan terkontrol jika gejala minimal (sebaiknya tidak
ada), termasuk gejala malam, tidak ada keterbatasan aktiitas termasuk exercise,
kebutuhan bronkodilator (agonis b2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan), variasi harian APE kurang dari 20%, nilai APE normal atau
mendekati normal, efek samping obat minimal (tidak ada), dan tidak kunjungan
ke unit darurat gawat.

Tatalaksana nonmedikamentosa
Pemberian edukasi yang baik akan menurunkan morbidity dan mortalitas,
menjaga penderita agar tetap masuk sekolah/kerja dan mengurangi biaya
pengobatan karena berkurangnya serangan akut terutama bila memburuhkan
kunjungan ke unit gawat darurat/perawatan rumah sakit. Tujuan pemberian
edukasi kepada penderita dan dan keluarga bertujuan untuk meningkatkan
pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola penyakit asma
sendiri), meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma),
meningkatkan kepuasaan, meningkatkan rasa percaya diri, meningkatkan
kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri. Dengan kata lain, tujuan dari
seluruh edukasi adalah membantu penderita agar dapat melakukan
penatalaksanaan dan mengontrol asma.
Materi mengenai asma adalah mengenai pengertian penyakit, mengontrol
faktor risiko asma, tujuan pengobatan, dan penilaian berat asma. Penilaian klinis
berkala antara 1-6 bulan dan monitoring asma oleh penderita sendiri mutlak
dilakukan pada penatalaksanaan asma. Hal tersebut disebabkan berbagai faktor
antara lain gejala dan berat asma berubah, sehingga membutuhkan perubahan
terapi, pajanan pencetus menyebabkan penderita mengalami perubahan pada
asmanya, daya ingat (memori) dan motivasi penderita yang perlu di review,
sehingga membantu penanganan asma terutama asma mandiri. Frekuensi
kunjungan bergantung kepala berat penyakit dan kesanggupan penderita dalam
memonitor asmanya. Umumnya tindak lanjut (follow-up) pertama dilakukan <1
bulan (1-2 minggu) setelah kunjungan awal. Pada setiap kunjungan layak
ditanyakan kepala penderita; apakah keadaan asmanya membaik atau memburuh
dibandingkan kunjungan terakhir. Kemudian dilakukan penilaian pada keadaan
terakhir atau 2 minggu terakhir sebelum berkunjung dengan berbagai pertanyaan.
Setiap penderita sebaiknya diajarkan bagaimana mengenal gejala dan tanda
perburukan asma; serta bagaimana mengatasinya termasuk menggunakan
medikasi sesuai anjuran dokter. Gejala dan tanda asma dinilai dan dipantai setiap
kunjungan ke dokter melalui berbagai pertanyaan dan pemeriksaan fisik.
Pertanyaan yang rinci untuk waktu yang lama (≥ 4 minggu) sulit dijawab dan
menimbulkan bias karena keterbatasan daya ingat (memori) penderita. Karena itu,
pertanyaan untuk jangka lama umumnya bersifat global, dan untuk waktu yang
pendek misalnya ≤ 2 minggu dapat diajukan pertanyaan yang rinci. Segala
pertanyaan mengenai gejala asma penderita sebaiknya meliputi 3 hal yaitu; gejala
asma sehari-hari (mengi, batuk, rasa berat di dada dan sesak napas), asma malam
terbangun malam karena gejala asma, gejala asma pada dini hari yang tidak
menunjukkan perbaikan setelah 15 menit pengobatan agonis beta-2 kerja singkat.
(13)

Tatalaksana medikamentosa
Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut
sebagai asma terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam
waktu satu bulan. Dalammenetapkan atau merencanakan pengobatan jangka
panjang untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang tekrontrol,
terdapat 3 fktor yang perlu dipertimbangkan; medikasi (obat-obatan), tahapan
pengobatan, dan penanganan asma mandiri. Medikasi asma ditujukan untuk
mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas, terdiri atas pengontrol dan
pelega. Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma
terkontrol pada asma persisten.
Obat pengontrol adalah kortikosteroid inhalasi, kortikosteroid sistemik,
sodium kromoglikat, nedokromil sodium, metilsantin, agonis beta-2 kerja lama.
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos memperbaiki
dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti
mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau
menurunkan hiperesponsif jalan napas. Obat obat pelega atau reliever adalah
agonis beta2 kerja singkat, kortikosteroid sistemik, antikolinergik, aminofilin, dan
adrenalin. Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi,
oral dan perenteral (subkutan, intramuscular, intravena). Kelebihan pemberian
medikasi langsung ke jalan napas (inhaasi) adalah lebih efektif untuk dapat
mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas, efek sistemik minimal atau
dihindarkan, dan beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi karena
tidak terabsorbsi pada pemberian oral (Antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja
bronkodilator adalah lebih cepat bila diberikan inhalasi daripada oral.
Medikamentosa pengontrol salah satunya adalah glukokortikoid inhalasi,
yang merupakan medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol
asma. Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi
menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas,
mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki
kualitas hidup. Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma persisten
(ringan sampai berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik dan aman pada
dosis yang direkomendasikan. Dosis glukokortikoid dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Dosis glukokortikosteroid inhalasi dan perkiraan kesamaan potensi

Beberapa glukokortikosteroid berbeda potensi dan bioavailibilitas setelah


inhalasi, pada tabel 11 dapat dilihat kesamaan potensi dari beberapa
glukokortikosteroid berdasarkan perbedaan tersebut. Kurva dosis-respons steroid
inhalasi adalah relative datar, yang berarti meningkatkan dosis steroid inhalasi
adalah relative datar yang berarti meingkatkan dosis steroid tidak akan benyak
menhasilkan manfaat untuk mengontrol asma (gejala, faal paru, hierresponsif
jalan napas), tetapi bahkan meningkatkan risiko efek samping. Sehingga, apabila
dengan steroid inhalasi tidak dapat mencapai asma terkontrol (walau dosis sudah
sesuai dengan derajat berat asma) maka dianjutkan untuk menambahkan obat
pengontrol lainnya daripada meningkatkan dosis steroid inhalasi tersebut.(14)
Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping lokal seperti
kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk karena iritasi saluran napas atas. Semua
efek samping tersebut dapat dicegah dengan penggunaan spacer, atau mencuci
mulut dengan berkumur-kumur dan membuang keluar setelah inhalasi. Absorpsi
sistemik tidak dapat dielakkan, terjadi melalui absorpsi obat di paru. Risiko terjadi
efek samping sistemik bergantung kepada dosis dan potensi obat yang berkaitan
dengan bioavailibiliti, absorbs di usu, metabolisme di hati (first-pass metabolism),
waktu paruh berkaitan dengan absorpsi di paru dan usus; sehingga masing-masing
obat steroid inhalasi berbeda kemungkinannya untuk meninmbulkan efek
sistemik.
Pemberian glukokortikosteroid sistemik dapat melalui oral atau parenteral.
Kemungkinan digunakan sebagai pengontrol pada keadaan asma persisten berat
(setiap hari atau selang hari), tetapi penggunaannya terbatas meningat risiko efek
sistemik. Kortikosteroid jangka panjang lebih efektif menggunakan steroid
inhalasi daripada steroid oral selang sehari. Jika steroid oral terpaksa harus
diberikan pada keadaan asma persisten berat yang dalam terapi maksimal belum
terkontrol, maka dibutuhkan steroid oral dalam jangka waktu tertentu. Efek
samping penggunaan glukokortikosteroid oral dan parenteral jangka panjang
adalah osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi aksis adrenal pituitari
hipotalamus, katarak, glaucoma, obesitas, penipisan kulit, striae, dan kelemahan
otot.
Golongan obat lainnya adalah kromolin (sodium kromoglikat dan
nedokromil sodium) yang merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat
penglepasan mediator dari sel mast melalui reaksi yang diperantarai IgE yang
bergantung kepada dosis dan seleksi serta supresi sel inflamasi tertentu (makrofag,
eosinophil, monosit); selain kemungkinan menghambat saluran kalsium pada sel
target. Pemberian secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada asma
persisten ringan. Studi klinis menunjukkan pemberian sodium kromoglikat dapat
memperbaiki faaal paru dan gejala, menurunkan hiperesponsif jalan napas walau
tidak seefektid glukokortikosteroid inhalasi. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu
pengobatan untuk menetapkan efek obat. Golongan obat lainnya adalah golongan
metilsantin yaitu teofilin. Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempuan efek
ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. Efek bronkodilatasi berhubungan dengan
hambatan fosfodiesterase yang dapat terjadi pada konsentrasi tinggi (>10 mg/dl),
sedangkan efek antiinflamasi melalui mekanisme yang belum jelas terjadi pada
konsentrasi rendah (5-10 mg/dl). Pada dosis yang sangat rendah efek
antiinflamasinya minim paa inflamasi kronik jalan napas dan studi menunjukkan
tidak berefek pada hiperesponsif jalan napas. Teofilin juga digunakan sebagai
bronkodilator tambahan pada serangan asma berat. Sebagai pelega,
teofilin/aminofilin oral diberikan bersama/kombinasi dengan agonis beta-2 kerja
singkat, sebagai alternative bronkodilator jika dibutuhkan.(15)
Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat
pengontrol, berbagai studi menunjukkan pemberian jangka lama efektif
mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru. Preparat lepas lambat mempunyai
aksi/waktu kerja yang lama sehingga digunakan untuk mengontrol gejala asma
malam dikombinasi dengan antiinflamasi yang lazim. Studi menunjukkan
metilsantin sebagai terapi tambahan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah atau
tinggi atau efektif mengontrol asma, walau disadasri peran sebagai terapi
tambahan tidak seefektif agonis beta-2 kerja lama inhalasi, tetapi merupakan suatu
pilihan karena harga yang jauh lebih murah. Efek samping berpotensi terjadi dosis
tinggi (≥ 10 mg/kgBB/hari atau lebih); hal itu dapat dicegah dengan pemberian
dosis yang tepat dengan monitor ketat. Gejala gastrointestinal nausea, muntah
adalah efek samping yang paling dulu dan sering terjadi.
Efek kardiopulmoner seperti takikardia, artimia, dan dapat merangsang
pusat napas. Intoksikasi teofilin dapat menyebabkan kejang bahkan kematian. Di
Indonesia, sering digunakan kombinasi oral teofilin/aminofilin dengan agonis
beta-2 kerja singkat sebagai bronkodilator; maka diingatkan sebaiknya tidak
memberikan teofilin/aminofilin baik tunggal ataupun dalam kombinasi sebagai
pelega/bronkodilator bila penderita dalam terapi teofilin/aminofilin lepas lambat
sebagai pengontrol. Dianjutkan memonitor kadar teofilin/aminofilin serum
penderita dalam pengobatan jangka panjang. Umunya efek toksik serios tidak
terjadi bila kadar dalam serum <14 ug/ml, walau terdapat variasi individual tetapi
umumnya dalam pengobatan jangka panjang kadar teofilin serum 5-15 ug/ml
adalah efektif dan tidak menimbulkan efek samping. Golongan obat agonis beta-2
kerja lama termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol
dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Seperti lazimnya
agonis beta-2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pebersihan
mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah, dan memodulasi
pelepasan mediator dari sel mast dan basophil. Kenyataannya pada pemberian
jangka lama, mempunyai efek antiinflamasi walau kecil. Inhalasi agonis beta-2
kerja lama yang diberikan jangka lama mempunyai efek protektif terhadap
rangsang bronkokontreiktor. Pemberian inhalasin agonos beta-2 kerja lama,
menghasilkan efek bronkodilatasi lebih baik dibandingkan preparat oral.
Golongan obat lain leukotriene modifiers merupakan obat anti asma yang
relative baru dan pemberiannya melalui oral. Mekanisme kerjanya menghamabat
5-lipooksigenase shingga memblok sintesis semua leukotrin (contoh zileuton) atau
memblok reseptor-reseptor leukotriene sisteinil pada sel target (contohnya
montelukas, pranlukas, zafirlukas). Mekanisme kerja tersebut menghasilkan efek
bronkodilator minimal dan menurnkan bronkokonstriksi akibat alergen,
sulfurdioksida, dan exercise. Selain bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek
antiinflamasi. Berbagai studi menunjukkan bahwa penambahan leukotriene
midifiers dapat menurunkan kebutuhan dosis glukokortikosteroid inhalasi
penderita asma persisten sedang berat, mengontrol asma pada penderita dengan
asma yang tidak terkontrol walau dengan glukokortikosteroid inhalasi. Saat ini
yang beredar di Indonesia adalah Zafirlukas (antagonis reseptor leukotriene
sisteinil).
Obat golongan pelega atau reliever yaitu agonis beta-2 kerja singkat,
diantara lain adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol yang telah
berada di Indonesia. Mempunyai waku mulai kerja (onset) yang cepat. Formoterol
mempunyai onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian dapat secara inhalasi
atau oral, pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping
minimal atau tidak ada. Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu
relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier,
menurunkan permeability pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator
dari sel mast. Merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat
sebagai preaterapi pada excersice-induced asthma. Penggunaan agonis beta-2
kerja singkta direkomendasikan bila diperlukan untuk mengatasi geala. Kebutuhan
yang meningkat atau bahkan setiap hari adalah petanda perburukan asma.
Tatalaksana asma sesuai berat asma dapat dilihat pada gambar 5 dan tatalaksana
serangan asma di rumah sakit dapat dilihat pada gambar 6.(16)
Gambar 5. Pengobatan sesuai berat asma
Gambar 6.

Alogaritma penatalaksanaan asma di rumah sakit.


DAFTAR PUSTAKA
1. Pallapies. Trsnds in Childhood Disease. Mutat Res. 2006; 608: 100-11.
2. Eder W, Ege MJ, Mutius E. The Asthma Epidemic. N Engl J Med. 2006;
355: 1015.
3. Lawson JA, Senthilselvan A. Asthma Epidemiology: has the crisis
passed? Curr Opin Pulm Med. 2005; 11: p79-84.
4. Papadopoulus nG, Arakawa H, Carlsen KH, Custovic A, Gern J,
Lemanske R, dkk. International Consensus on (ICON) Pediatric Asthma. Allergy.
2012; 67: 976-97.
5. Devenny A, Wassall H, Ninan T, Omran M, Khan SD, Russell G.
Respiratory symptoms and atopy in children in Aberdeen: questionnaire studies of
a defined school population repeated over 25 years. BMJ. 2004L 329: p489-90.
6. Lai CK, Beasley R, Crane J, Foliaki S, Shah J, Weiland S. Global
Variation in The Prevalence and Severity of Asthma Symptoms: phase three of the
International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAC). Thorac. 2009;
64: 476-83.
7. Lenfant C, Khaltaev N. Global Iniviative for Asthma. NHLBI/WHO
Workshop Repost. 2002.
8. Bousquet J, Jeffery PK, Busse WW, Johnson M, Vignola AM. Asthma:
from bronchoconstriction to airwat remodeling. Am J Respir Crit Care Med.
2000:161: p17720-45.
9. Holgate ST, Davies DE, Lackie PM, Wilson SJ, Puddicombe SM, Lordan
JL. Epithelial-mesenchymal intractions in the pathogenesis of asthma. J Allergy
Clin Immunol. 2000; 105: 193-204.
10. Kay AB. Asthma and inflammation. J Allergy Clin Immunol 1991: 87: p
893-910.
11. Plats-Mils TAE, Sporik RB, Chapman MD, Heymann PW. The rolw of
domestic allergens. Dalam: The Rising Trenss in Asthma. New York: John Wiley
& sons; 1997. H 173-90.
12. ERS Task Force. Definition, Assessment, and Treatment of Wheezing
Disorders in Preschool children: an Evidence Based Approach. Eur Respir J. 2008;
32: p1096-110.
13. Mangunnegoro H, Syafiuddin T, Yunus F, Wiyono WH. Upaya
menurunkan hipereaktivitas bronkus pada penderita asma; perbandingan efek
budesonide dan ketotifen. Paru 1992; 12: 10-8.
14. Bousquet J, Jeffery K, Busse WW, Johnson M, Vignola AM. Asthma
fron Bronchoconstriction to Airway Inflammation and Remodeling. Am J Respir
Crit Care Med 2000; 161: P1720-45.
15. Yunus F, Anwar J, Fachrurodji H, Wiyono WH, Jusuf A. Pengaruh
Senam Asma Indonesia terhadap penderita asma. J Respir Indo 2001; 22: p118-25.

Anda mungkin juga menyukai