Anda di halaman 1dari 23

1

I. PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan


berbagai sel inflamasi, sehingga menimbulkan gejala yang berhubungan luas
dengan inflamasi, hiperresponsif jalan napas dan obstruksi jalan nafas reversibel.
Prevalensi asma di dunia sangat bervariasi dan penelitian epidemiologi
menunjukkan bahwa kekerapan asma semakin meningkat terutama di negara maju.
Di Indonesia prevalensi asma diperkirakan 2-5%, dan mengalami peningkatan dari
4,2% menjadi 5,4% dalam jangka waktu 5 tahun. Faktor predisposisi pencetus
serangan asma berupa adanya alergen, infeksi saluran penafasan atas, stress dan
aktivitas fisik berlebih.
Menururt GINA, asma dikelompokkan menjadi asma intermitten, asma
persisten ringan, asma persisten sedang dan asma persisten berat. Sementara itu,
berdasarkan jenis serangannya, dikelompokkan menjadi asma serangan ringan,
asma serangan sedang dan asma serangan berat. Diagnosis asma dapat ditegakkan
melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan pada asma berupa pemeriksaan spirometri, pemeriksaan APE, uji
provokasi maupun rontgen thoraks. Prinsip tatalaksana asma diklasifikasikan
menjadi tatalaksana serangan asma dan tatalaksana asma jangka panjang.
2

II. IDENTITAS PASIEN

A. Identitas Pasien
1. Nama : Nn. G
2. Jenis kelamin : Perempuan
3. Umur : 20 tahun
4. Alamat : Gebug RT 1 RW 9, Kalisidi, Ungaran
5. Agama : Islam
6. Pekerjaan : Karyawan Swasta
7. Pendidikan terakhir : SMA
8. Status : Belum menikah
9. Masuk Rumah Sakit : 25 Februari 2018 pukul 18.30 WIB

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama : sesak nafas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Ungaran dengan keluhan sesak nafas.
Saat datang kondisi pasien tampak sesak nafas berat dan datang dengan
posisi membungkuk dan sulit diajak bicara. Alloanamnesis dari orangtua
pasien, pasien mengalami sesak nafas sejak tadi pagi. Pasien juga sempat
mengkonsumsi obat salbutamol yang dibeli di Apotek saat pagi hari, namun
belum ada perubahan. Setiap jam hingga malam hari, sesak nafas yang
dirasakan pasien semakin memberat dan tidak membaik dengan obat minum
salbutamol. Pasien juga sempat mengeluhkan nyeri dada namun tidak
menjalar. Pasien juga mengalami batuk dahak sejak 2 hari yang lalu, dahak
berwarna putih kental. Serta mengalami pilek dan demam yang naik turun
sejak 2 hari yang lalu. Pasien juga sempat mengeluhkan pusing dan badan
terasa lemas.
Keluhan batuk berdarah, keringat dingin di malam hari, penurunan
berat badan, penurunan nafsu makan disangkal oleh keluarga pasien.
Keluhan mual, muntah, nyeri perut disangkal oleh keluarga pasien. BAB
dan BAK pasien dalam batas normal. Pasien memiliki riwayat penyakit
3

asma sejak kecil. Terakhir kambuh sekitar dua minggu yang lalu dan sempat
dilakukan nebulizer di IGD RSUD Ungaran. Pasien juga sering bersin
bersih saat pagi hari terutama saat udara dingin dan banyak debu.
3. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan karyawan swasta SPG disalah satu supermarket di
Kota Semarang. Pasien bekerja dalam bentuk shift. Ruangan kerja pasien
menggunakan AC. Waktu kerja pasien 8 hingga 10 jam dalam satu hari.
Pendidikan terakhir pasien adalah SMA. Pasien berasal dari ekonomi
cukup. Biaya kesehatan pasien ditanggung oleh jaminan kesehatan berupa
BPJS.
4. Riwayat Pengobatan
Pasien mengkonsumsi obat salbutamol apabila pasien mengalami
sesak nafas. Obat salbutamol biasa dibeli di Apotek. Pasien juga sering
nebulizer di RS apabila obat yang diminum tidak ada perubahan terhadap
sesak nafas yang dialaminya. Riwayat pengobatan 6 bulan disangkal oleh
pasien.
5. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Pasien memiliki riwayat asma dan kambuh terakhir dua minggu yang
lalu dan di nebulizer di RSUD Ungaran.
b. Pasien sering bersin-bersin saat pagi hari dan memiliki riwayat alergi
terhadap debu dan udara dingin.
c. Riwayat alergi makanan dan obat-obatan disangkal.
d. Riwayat penyakit tuberculosis, penyakit paru lainnya, hipertensi, ginjal,
diabetes mellitus, stroke dan jantung disangkal.
6. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Terdapat keluarga yang memiliki riwayat penyakit asma seperti pasien,
yaitu bapak pasien.
b. Riwayat penyakit tuberculosis, pneumonia ataupun penyakit paru
lainnya didalam keluarga disangkal.
4

C. Pemeriksaan Fisik
1. Status Present
a. KU : tampak sesak nafas (pasien datang dengan kondisi
membungkuk dan sulit diajak berbicara)
b. Kesadaran : E3V5M6
c. Nadi : 140 x/menit, teratur, kuat
d. Suhu : 36,4oC
e. Respiratory rate : 40x/menit
f. Tekanan Darah : 160/100 mmHg
g. Saturasi Oksigen : 84%
h. Status gizi : cukup
2. Pemeriksaan Generalis
a. Kulit
1) Warna : kecoklatan
2) Turgor : < 2 detik
3) Sianosis : (+)
4) Ikterus : (-)
5) Edema : (-)
b. Kepala
1) Bentuk : mesocephal
2) Rambut : warna hitam, lurus, panjang
3) Mata : reflek cahaya (+/+) 3mm/3mm isokor, konjungtiva
anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
4) Telinga : simetris, sekret (-/-), otorrhea (-/-)
5) Hidung : nafas cuping hidung (+/+), deviasi septum nasal (-),
discharge (+/+), rinorrhea (-/-), epistaksis (-/-)
6) Mulut : mulut merot (-), deviasi lidah (-), tonsil T2/T2, faring
hiperemis (+).
c. Leher
1) Pulsasi vena jugularis : tidak ada peningkatan JVP
2) Kuduk kaku : tidak ada
5

d. Thoraks
1) Inspeksi : gerakan dinding dada simetris, otot bantu nafas
intrabdominal (+/+), retraksi (+)
2) Palpasi : vocal fremitus raba simetris (+/+)
3) Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
4) Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah kasar (+/+),
ronki basah halus (-/-), wheezing (+/+)
e. Jantung
1) Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
2) Palpasi : ictus cordis tidak teraba
3) Perkusi :
batas jantung kanan atas di SIC 2 LPSD
batas jantung kiri atas di SIC 2 LPSS
batas jantung kanan bawah di SIC 4 LPSS
batas jantung kiri bawah di SIC 5 LMCS
4) Auskultasi : BJ I > BJ II, bising jantung (-)
f. Abdomen
1) Inspeksi : cembung
2) Palpasi : teraba hangat, nyeri tekan (-) hepatomegali (-)
3) Perkusi : timpani
4) Auskultasi : bising usus (+) normal
g. Ekstremitas atas : akral hangat (+/+), CRT >2 detik (+/+)
h. Ekstremitas bawah: akral hangat (+/+), CRT >2 detik (+/+)

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan EKG :
Sinus takikardi
2. Pemeriksaan Laboratorium tanggal 25 Februari 2018
Parameter Uji Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hemoglobin 14,4 11,7 – 15,5 gr/dL
Leukosit 17,87 3,6 – 11 103 /uL
Trombosit 309 150 – 440 103 /uL
Hematokrit 44,82 35 – 47 %
Eritrosit 4,81 3.8 – 5,2 106 /uL
Granulosit 93,9 43,7 – 73,4 %
Limfosit 3,6 25 – 40 %
6

Monosit 2,5 2–8 %


MCV 93 80 – 100 Fl
MCH 30 26 – 34 Pg
MCHC 32,2 32 – 36 g/dL
RDW 12,7 11,5 – 14,5 %

3. Gambar Rontgen Thoraks tanggal 25 Februari 2018

Gambar 2.1. Rontgen Thoraks Nn. G

E. Diagnosis Kerja
Asma Serangan Berat

F. Tatalaksana
1. O2 10 liter per menit NRM
2. Nebu ventolin 1
3. Nebu flexotide 1
4. Masker nebulizer O2 dewasa
7

5. Infus RL 20 tpm
6. Pada pukul 19.50 kondisi pasien menurun :
S : sesak nafas, lemas, muntah dan mual, penurunan kesadaran
B : GCS = E1V2M6
A : status asmatikus
P : Konsul dr Yuni, SpPD via telepon :
a. O2 10 lpm NRM
b. Nebu ventolin dan flexotide diulang lagi dan deprogram setiap 4 jam
c. Infus D5% plus drip aminofilin 240 mg 20 tpm
d. Inj Metilprednisolon 1A (Ekstra)  besok program Injeksi
Dexametasone 1A/12 jam
e. Inj Ceftriaxon 1 gram/12 jam skin test
f. Inj Ranitidin 1A/12 jam
g. Inj Ondansentron 1 A/12 jam
h. Epinefrin 0.3 cc subcutan
i. Cek GDS : 142 mg/dl
j. Rawat ruang intensif ICU
8

III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Asma
Asma merupakan suatu penyakit saluran pernapasan kronik dan bersifat
heterogenous. Penyakit ini dikatakan mempunyai kekerapan bervariasi yang
berhubungan dengan peningkatan kepekaan sehingga memicu episode mengi
berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada tertekan, dispnea, dan
batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari (GINA, 2014; Widodo et al.,
2012).
Menurut Persatuan Dokter Paru Indonesia tahun 2011, asma adalah
penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai sel inflamasi,
sehingga menimbulkan gejala yang berhubungan luas dengan inflamasi,
hiperresponsif jalan napas dan obstruksi jalan nafas reversible baik secara
spontan maupun dengan pengobatan.

B. Epidemiologi Asma
Sekitar 300 juta manusia di dunia menderita asma dan diperkirakan akan
terus meningkat hingga mencapai 400 juta pada tahun 2025. Prevalensi asma di
dunia sangat bervariasi dan penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa
kekerapan asma semakin meningkat terutama di negara maju. Studi di
Australia, New Zealand dan Inggris menunjukkan bahwa pervalensi asma anak
meningkat dua kali lipat pada dua dekade terakhir. Di Amerika, National Health
Survey tahun 2001 hingga 2009 mendapat prevalensi asma meningkat dari
7,3% (20,3 juta orang) di tahun 2001 menjadi 8.2% (24,6 juta) di tahun 2009
(Rosamarlina et al., 2010; PDPI, 2011).
Di Indonesia prevalensi asma diperkirakan 2-5%, dan mengalami
peningkatan dari 4,2% menjadi 5,4% dalam jangka waktu 5 tahun. DKI Jakarta
memiliki prevalensi asma yang lebih besar yaitu 7,5% pada tahun 2007. Anak
dan bayi memiliki angka kejadian yang lebih tinggi yaitu sekitar 10-85%
dibandingkan pada orang dewasa yang berkisar 10-45%. Jenis kelamin, pada
pria merupakan faktor risiko asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi
asma pada anak laki-laki meningkat 1,5-2 kali lipat dibanding anak perempuan.
9

Menjelang dewasa perbandingan tersebut kurang lebih berjumlah sama dan


bertambah banyak pada perempuan usia menopause (PDPI, 2011).

C. Etiologi Asma
Terdapat beberapa proses etiologi yang menyebabkan pasien mengalami
asma yaitu sebagai berikut (James et al., 2007; Widodo et al., 2012) :
1. Sensitisasi
Sensitasi yaitu individu dengan risiko genetik dan faktor resiko lingkungan
apabila terpajan dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan
menimbulkan sensitisasi pada dirinya. Faktor resiko genetik dapat berupa
riwayat alergik atau atopi, hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin dan ras.
Sementara itu faktor resiko lingkungan dapat berupa alergen, sensitisasi
lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet,
status sosioekonomi dan besarnya keluarga. Faktor pemicu tersebut adalah
alergen dalam ruangan seperti tungau, debu rumah, binatang berbulu
(anjing, kucing, tikus), jamur, ragi dan pajanan asap rokok.
2. Inflamasi
Inflamasi, yaitu individu yang telah mengalami sensitisasi namun belum
tentu menjadi asma. Apabila telah terpajan dengan pemacu (enhancer) akan
terjadi proses inflamasi pada saluran pernapasan. Proses inflamasi yang
berlangsung lama atau berat secara klinis berhubungan dengan
hiperreaktivitas. Faktor pemacu tersebut adalah rinovirus, ozon dan
pemakaian β2 agonis.
3. Serangan asma, yaitu setelah mengalami inflamasi maka bila individu
terpajan oleh pencetus (trigger) maka akan terjadi serangan asma.

D. Faktor Predisposisi
Secara umum faktor pencetus serangan asma adalah sebagai berikut (Anderson
et al., 2009; Yuliasri, 2010) :
1. Alergen
Alergen merupakan zat-zat tertentu yang apabila dihisap atau dimakan
dapat menimbulkan serangan asma seperti debu rumah, tungau, spora
10

jamur, kecoa, serpihan kulit binatang seperti anjing ataupun kucing. Begitu
pula dengan serbuk sari dan spora jamur yang terdapat di luar rumah. Faktor
lainnya yang berpengaruh diantaranya alergen makanan seperti susu, telur,
udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan
penyedap, pengawet, dan pewarna makanan. Selain itu pula bahan iritan
seperti parfum, household spray, asap rokok, cat dan sulfur dapat menjadi
faktor pencetus asma.
2. Infeksi Saluran Pernapasan
Infeksi saluran napas terutama disebabkan oleh virus. Diperkirakan dua
pertiga pasien asma dewasa serangan asmanya ditimbulkan oleh infeksi
saluran pernapasan. Asma yang muncul pada saat dewasa dapat disebabkan
oleh berbagai faktor seperti adanya sinusitis, polip hidung, sensitivitas
terhadap obat aspirin, golongan Anti-Inflamasi Non Steroid (AINS), beta
blocker. Selain itu juga dapat terjadi karena mendapatkan pemicu seperti
debu dan bulu binatang di tempat kerja (occupational asthma) yang
mengakibatkan infeksi saluran pernapasan atas berulang.
3. Stres
Stres dapat mencetuskan serangan asma terutama pada orang dengan
kepribadian belum konsisten atau labil. Hal ini lebih sering terjadi pada
wanita dan anak-anak. Ekspresi emosi yang dimunculkan secara berlebihan
dapat menjadi faktor pencetus asma.
4. Aktivitas Fisik Berlebih
Serangan asma karena exercise (Exercise Induced Asthma/EIA) terjadi
segera setelah olahraga atau aktivitas fisik yang cukup berat. Lari cepat dan
bersepeda merupakan dua jenis kegiatan paling mudah menimbulkan
serangan asma.

E. Klasifikasi Asma
Tidak mudah membedakan antara satu jenis asma dengan jenis asma
lainnya. Dahulu asma dibedakan menjadi asma alergi (ekstrinsik) yang muncul
pada waktu kanak-kanak dengan mekanisme serangan melalui reaksi alergi tipe
1 terhadap alergen dan asma non-alergik (intrinsik) apabila tidak ditemukan
11

reaksi hipersensitivitas terhadap alergen. Namun, dalam prakteknya seringkali


ditemukan seorang pasien dengan kedua sifat alergi dan non-alergi, sehingga
Mc Connel dan Holgate membagi asma kedalam 3 kategori yaitu asma alergi
(ekstrinsik), asma non-alergi (intrinsik) dan asma yang berkaitan dengan
penyakit paru obstruksif kronik.
Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) tahun 2014 asma dibagi
menjadi 4 antara lain :
1. Asma Intermitten :
a. Gejala kurang dari 1 kali seminggu
b. Eksaserbasi singkat
c. Gejala malam tidak lebih dari 2 kali sebulan
d. Bronkodilator diperlukan bila ada serangan
e. Jika serangan agak berat mungkin memerlukan kortikosteroid
f. APE atau VEP1 ≥ 80% prediksi
g. Variabiliti APE atau VEP1 < 20%
2. Asma Persisten Ringan :
k. Gejala asma malam >2x/bulan
l. Eksaserbasi >1x/minggu, tetapi <1x/hari
m. Eksaserbasi mempengaruhi aktivitas dan tidur
n. Membutuhkan bronkodilator dan kortikosteroid
o. APE atau VEP1 ≥ 80% prediksi
p. Variabiliti APE atau VEP1 20-30%
3. Asma Persisten Sedang :
a. Gejala hampir tiap hari
b. Gejala asma malam >1x/minggu
c. Eksaserbasi mempengaruhi aktivitas dan tidur
d. Membutuhkan steroid inhalasi dan bronkhodilator setiap hari
e. APE atau VEP1 60-80%
f. Variabiliti APE atau VEP1 >30%
4. Asma Persisten Berat :
a. APE atau VEP1 <60% prediksi
b. variabiliti APE atau VEP1 >30%
12

Klasifikasi berdasarkan derajat berat serangan asma menurut GINA,


dibagi menjadi tiga kategori yaitu asma serangan ringan, asma serangan sedang
dan asma serangan berat. Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada Tabel dibawah
ini :

Tabel 3.1. Derajat Serangan Asma (GINA, 2014).

F. Patofisiologi Asma
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi
berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel
epitel. Faktor lingkungan dan faktor lain berperan sebagai pencetus inflamasi
saluran napas pada pasien asma. Inflamasi saluran napas pada pasien asma
merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi yaitu terdapatnya obstruksi
saluran napas yang menyebabkan hambatan aliran udara yang dapat kembali
secara spontan atau setelah pengobatan. Obstruksi pada pasien asma dapat
disebabkan oleh kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronkus yang
13

menyempitkan jalan napas, pembengkakan membran yang melapisi bronkus


dan pengisian bronkus dengan mukus yang kental (Widodo et al., 2012;
Nugraha et al., 2016).
Asma dapat terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf
otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE yang merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat.
Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk
sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah yang besar, golongan ini disebut
atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel
mast pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan
bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka akan terjadi fase
sensitisasi yang menyebabkan antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen
kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan
menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator
(James et al., 2007; Widodo et al., 2012).

Gambar 3.1. Patofisiologi Asma (Widodo et al., 2012).


14

Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor


kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Ini akan menimbulkan efek edema lokal
pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen
bronkiolus dan spasme otot polos bronkiolus yang menyebabkan inflamasi
saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi
segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi
merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja
langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8
jam pajanan alergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang
sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan
Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis
asma (James et al., 2007; Widodo et al., 2012).
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel
jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam
submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel
bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma
dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi
udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi
melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang
menyebabkan pelepasan neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan
Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,
hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi. Sistem saraf otonom
mempersarafi paru, tonus otot bronkial diatur oleh impuls saraf vagal melalui
sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik, ketika ujung saraf pada jalan napas
dirangsang oleh faktor pencetus maka akan meningkatkan pelepasan jumlah
asetilkolin. Ini menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan
mediator kimiawi (Widodo et al., 2012).
15

G. Diagnosis Asma
Diagnosis asma dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Berikut ini penjelasannya (PDPI, 2011;
GINA, 2014) :
1. Anamnesis :
a. Sesak nafas
b. Batuk kronik berulang
c. Nyeri dada
d. Gejala memburuk terutama saat malam dan dini hari
e. Respons terhadap bronkodilator
f. Bersifat episodik, seringkali reversible dengan atau tanpa pengobatan
g. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
h. Riwayat penyakit seperti riwayat atopik atau alergi, riwayat keluarga
atopik dan riwayat penyakit lain yang memberatkan.
2. Pemeriksaan Fisik
Penemuan tanda klinis pada pemeriksaan fisik pasien asma tergantung
dari episode gejala dan derajat obstruksi saluran napas. Berikut ini
pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan pada pasien asma :
a. Pemeriksaan Tanda Vital
Dapat didapatkan peningkatan laju respirasi.
b. Pemeriksaan Saturasi Oksigen
Dapat didapatkan penurunan saturasi oksigen pada tubuh.
c. Pemeriksaan Bibir
Dapat ditemukan tanda bibir sianosis.
d. Pemeriksaan Pulmo, meliputi :
1) Inspeksi : penggunaan otot napas tambahan di leher, perut dan dada.
Serta dapat ditemukan pula adanya tanda retraksi.
2) Palpasi : vocal fremitus hemithoraks dextra et sinistra simetris
3) Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
4) Auskultasi : didapatkan adanya ekspirasi memanjang dan mengi
(wheezing).
16

3. Pemeriksaan Penunjang, meliputi :


a. Pemeriksaan Spirometri
Pemeriksaan spirometri merupakan cara yang paling cepat dan
sederhana untuk menegakkan diagnosis asma dengan melihat respon
respon pengobatan menggunakan bronkodilator. Pemeriksaan
dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator hirup
golongan adrenergik beta. Dinyatakan asma apabila didapat
peningkatan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) sebanyak ≥
12% atau ≥ 200 ml. Apabila respon yang didapat ≤ 12% atau ≤ 200 ml
belum pasti menunjukkan bahwa pasien tersebut tidak menderita asma.
Hal tersebut dapat dijumpai pada pasien yang sudah dalam keadaan
membaik atau mendekati normal.
b. Pemeriksaan APE (Arus Puncak Respirasi)
Peak expiratory flow atau volume ekspirasi paksa dapat diukur
menggunakan alat Peak flow meter (PFM) yang merupakan alat
penunjang diagnosis dan monitoring asma. Alat ini relatif murah,
praktis, dan ideal digunakan pasien untuk menilai obstruksi jalan napas
di rumah. Pemeriksaan spirometri tetap lebih diutamakan dibanding
PFM oleh karena PFM tidak begitu sensitif dibanding spirometer
sebagai alat diagnosis obstruksi saluran napas. PFM mengukur terutama
saluran napas besar, PFM dibuat sebagai alat monitoring asma bukan
sebagai alat diagnostik utama.
c. Uji Provokasi
Uji provokasi bronkus dilakukan untuk menunjukkan adanya
hipereaktivitas bronkus. Syarat pemeriksaan uji provokasi adalah
apabila pemeriksaan spirometri normal. Beberapa cara melakukan uji
provokasi diantaranya dengan histamin, metakolin, kegiatan jasmani,
larutan garam hipertonik ataupun dengan aqua destilata. Dianggap
bermakna apabila didapat penurunan VEP1 sebesar 20% atau lebih. Uji
kegiatan jasmani, dilakukan dengan meminta pasien berlari cepat
selama 6 menit sehingga mencapai denyut jantung 80-90% dari
maksimum. Dianggap bermakna bila menunjukkan penurunan APE
17

(Arus Puncak Respirasi) paling sedikit 10%. APE dapat digunakan


untuk diagnosis penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan
VEP1.
d. Rontgen Thoraks
Rontgen thoraks digunakan untuk menyingkirkan penyebab lain
obstruksi saluran napas seperti pneumonia ataupun tuberculosis. Serta
digubakan untuk menilai adanya kecurigaan terhadap proses patologis
di paru. Rontgen thoraks juga digunakan untuk menilai apakah terdapat
komplikasi asma seperti adanya pneumotoraks, pneumomediastinum
ataupun atelektasis.

H. Tatalaksana
Tujuan dari tatalaksana asma adalah sebagai berikut (Yawn et al., 2005; PDPI,
2011) :
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi asma
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru-paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara
7. Khusus anak, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai potensi
genetiknya.
Pada prinsipnya tatalaksana asma diklasifikasikan menjadi tatalaksana
asma akut atau saat serangan dan tatalaksana asma jangka panjang. Berikut ini
adalah penjelasannya (Yawn et al., 2005; PDPI, 2011; GINA, 2014; Nugraha
et al., 2016) :
1. Tatalaksana Asma Akut (Serangan Asma)
Serangan asma akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus
diketahui pasien dan keluarganya. Pada saat serangan asma, tatalaksana
harus dilakukan dengan cepat dan disesuaikan dengan derajat serangan.
Pada saat serangan asma obat yang digunakan berupa bronkodilator (β2
agonis kerja cepat dan ipratropium bromida) serta kortikosteroid sistemik.
18

Berikut ini adalah penjelasan tatalaksana derajat serangan asma :


a. Tatalaksana Asma Serangan Ringan
Pada asma serangan ringan obat yang digunakan hanya β2 agonis
kerja cepat yang sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi. Apabila
tidak memungkinkan dapat diberikan secara sistemik. Pada dewasa
dapat diberikan kombinasi dengan teofilin atau aminofilin oral. Pada
serangan tertentu seperti ada riwayat serangan berat sebelumnya
kortikosteroid oral (metilprednisolon) dapat diberikan dalam waktu
singkat 3-5 hari.
b. Tatalaksana Asma Serangan Sedang
Pada asma serangan sedang diberikan β2 agonis kerja cepat dan
kortikosteroid oral. Pada dewasa dapat ditambahkan ipratropium
bromide inhalasi, aminofilin intravena atau drip. Dapat pula diberikan
diberikan oksigen dan cairan intravena pada pasien. Serta tetap
dilakukan pemantauan tanda vital dan keadaan umum pasien.
c. Tatalaksana Asma Serangan Berat
Pada serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan
intravena, β2 agonis kerja cepat, ipratropium bromide inhalasi,
kortikosteroid intravena dan aminofilin intravena (bolus atau drip).
Apabila β2 agonis kerja cepat tidak tersedia dapat digantikan dengan
adrenalin subkutan. Pada serangan asma yang mengancam jiwa
langsung dirujuk ke ruang intensif untuk mendapatkan monitoring tanda
vital yang lebih baik.
2. Tatalaksana Asma Jangka Panjang
Tatalaksana asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma
dan mencegah terjadinya serangan asma. Pengobatan asma jangka panjang
disesuaikan dengan klasifikasi beratnya asma. Prinsip pengobatan jangka
panjang meliputi pemberian edukasi dan pemberian obat asma.
a. Edukasi
Edukasi yang diberikan mencakup :
1) Edukasi obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu
penggunaannya
19

2) Mengenali kapan pasien berobat/mencari pertolongan


3) Mengenali gejala serangan asma secara dini
4) Mengetahui dan menghindari faktor pencetus
5) Kontrol teratur
b. Obat Asma
Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega
diberikan pada saat serangan asma, sedangkan obat pengontrol
ditujukan untuk pencegahan serangan asma dan diberikan dalam jangka
panjang dan terus menerus. Berikut ini adalah tabel jenis obat asma :

Tabel 3.2. Jenis Obat Asma (PDPI, 2011).


20

I. Tingkat Kontrol Asma


Penatalaksanaan asma bertujuan mengontrol penyakit yang disebut
dengan asma terkontrol, di mana kondisi stabil minimal dalam waktu satu
bulan. GINA 2014 mengklasifikasikan asma berdasarkan tingkat kontrol asma
dengan penilaian meliputi gejala siang, aktivitas, gejala malam, pemakaian obat
pelega dan eksaserbasi. Berikut ini adalah tabel penjelasannya (GINA, 2014) :

Tabel 3.3. Tingkatan Asma Terkontrol (GINA, 2014)

Evaluasi kontrol asma membutuhkan metode untuk mempermudah bagi


pasien maupun putugas kesehatan. Penilaian yang telah divalidasi untuk menilai
kontrol klinis asma bertujuan sebagai variabel kontinu serta menyediakan nilai
numerik untuk membedakan tingkat kontrol asma yang berbeda-beda.
Instrumen yang dapat digunakan untuk menilai kontrol asma antara lain Asthma
Control Test (ACT), Asthma Control Questionnare (ACQ) dan Asthma Control
Scoring System (ACSS), Childhood Asthma Control Test (C-ACT), Asthma
Theraphy Assesment Questionnare (ATAQ). Berdasarkan beberapa alat ukur
yang digunakan untuk menilai tingkat kontrol asma, kuesioner yang paling
sering digunakan yaitu kuesioner Asthma Control Test (ACT) (Yuliasri, 2010;
GINA, 2014).
21

Asthma Control Test (ACT) adalah suatu uji skrining berupa kuesioner
tentang penilaian klinis seorang pasien asma untuk mengetahui asmanya
terkontrol atau tidak. ACT memiliki kelebihan yaitu lebih valid, reliable, mudah
digunakan dan lebih komprehensif dibandingkan jenis kuesioner lain sehingga
dapat digunakan secara luas. ACT terdiri dari lima pertanyaan yang dikeluarkan
oleh American Lung Association digunakan pada pasien berusia diatas 12 tahun,
sekaligus digunakan untuk menetapkan terapi pemeliharaannya. ACT tidak
memakai kriteria faal paru untuk menilai kontrol asma. Parameter yang dinilai
dalam kuesioner ACT adalah gangguan aktivitas harian akibat asma, frekuensi
gejala asma, gejala malam, penggunaan obat pelega dan persepsi terhadap
kontrol asma (Yuliasri, 2010; GINA, 2014).
Pertanyaan pada ACT berjumlah lima buah dan tiap pertanyaan diskor
mulai dari 1 sampai dengan 5. Interpretasi hasil yaitu apabila jumlah nilai sama
atau lebih kecil dari 19 adalah asma tidak terkontrol, apabila nilai 20-24 adalah
asma terkontrol sebagian dan apabila nilai 25 adalah asma terkontrol penuh.
Tujuan ACT adalah menyeleksi asma yang tidak terkontrol, mengubah
pengobatan yang tidak efektif menjadi lebih tepat, melaksanakan pedoman
pengobatan secara lebih tepat dan memberikan pendidikan atau pengetahuan
tentang bahaya keadaan asma yang tidak terkontrol (Yuliasri, 2010; GINA,
2014).

J. Komplikasi Asma
Terdapat berbagai komplikasi asma yang mungkin timbul, diantaranya
(Yuliasri, 2010) :
1. Status asmatikus
Status asmatikus adalah setiap serangan asma berat atau yang kemudian
menjadi berat dan tidak memberikan respon (refrakter) adrenalin dan atau
suntikan aminofilin. Pada kasus ini penderita harus dirawat dengan terapi
intensif.
22

2. Atelektasis
Atelektasis adalah pengerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat
penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) dengan tanda
klinis berupa pernafasan yang sangat dangkal.
3. Hipoksemia, yaitu kekurangan oksigen pada darah.
4. Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah terdapatnya udara pada rongga pleura yang
menyebabkan kolaps paru-paru dan obstruksi saluran nafas. Obstruksi
disebabkan karena kantung udara di paru-paru menggelembung secara
berlebihan dan mengalami kerusakan luas.
23

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, S. D., Charlton, B, Weiler, J. M., Nicols, S., Spector, S. L., Pearlman, D.
2009. Comparison Of Mannitol And Methacoline To Predict Exercice Induced
Broncoconstriction And A Clinical Diagnosis Of Asthma. Biomed Respirology
Journal. Volume 10(4) : 1-13.

Global Strategy for Asthma Management and Prevention. 2014. Pocket Guide For
Asthma Managements And Prevention (For Adults And Children Older Than 5
Years). Vancouver: National Institutes of Health. Page 1-114.

James, A.L., Wenzel, S. 2007. Clinical Relevance Of Airway Remodelling In


Airway Disease. Europa Respirology Journal. Volume 30: 134-155.

Nugraha, A., Suryana, K. 2016. Peranan Antibodi Anti-Imunoglobulin E dalam


Tatalaksana Asma Bronkial. Journal of CDK, Volume 43 (8) : 620-624.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011. Pedoman Diagnosis Dan Tatalaksana


Asma Di Indonesia. Jakarta: Balai penerbit FKUI.

Rosamarlina, Yunus, F., Dianiati, K. S. 2010. Prevalens Asma Bronkial


Berdasarkan Kuesioner ISAAC dan Perilaku Merokok pada Siswa SLTP di
Daerah Indistri Jakarta Timur. Jurnal Respirologi Indonesia. Volume 30 (2) :
75-84.

Widodo, R., Djajalaksana, S. 2012. Patofisiologi Dan Marker Airway Remodelling


Pada Asma Bronkial. Jurnal Respirologi Indonesia. Volume 32(2) : 110-119.

Yawn, B. P., Molen, T., Humbert, M. 2005. Asthma Management : GINA


Guidelines For Daily Clinical Practice. Elsevier Journal. Volume 14 : 294-302.

Yuliasri, N. 2010. Perbedaan Kontrol Asma Menurut Kriteria The National Asthma
Education And Prevention Program Dengan Asthma Control Questionnaire
Pada Penderita Asma. Skripsi. Fakultas Kedokteran UNS : Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai