Anda di halaman 1dari 13

BAB 1

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Penyakit enterobiasis disebabkan oleh cacing Enterobius vermicularis atau
Oxyrus vermicularis. Nama umum cacing ini di Indonesia adalah cacing kremi
atau cacing peniti (pinworm). Cacing ini tersebar luas di seluruh dunia, baik di
daerah tropis maupun subtropis. Di daerah dingin lebih banyak dijumpai, karena
orang jarang mandi dan tidak sering berganti pakaian dalam. Cacing ini
diperkirakan merupakan penyebab infeksi parasit pada manusia yang paling
sering di dunia, terutama pada anak-anak.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Mengapa gatal di dubur terjadi pada malam hari ?
2. Mengapa nafsu makan dan berat badan turun ?
3. Mengapa perut nyeri dan diare ?
4. Apakah hubungan antara jari yang kotor dan kuku panjang dengan penyakit
yang diderita ?
5. Mengapa mata terlihat sayu dan berkantung ?
6. Apakah ada gejala yang ditimbulkan dengan hygiene dan sanitasi ?
7. Bagaimanakah pemeriksaan anal swab dengan menggunakan scoth adhesive
tape ?
8. Bagaimanakah morfologi telur, cacing betina, dan cacing jantan Enterobius
vermicularis ?
9. Bagaimana daur hidup Enterobius vermicularis ?
10. Apakah fungsi pirantel pamoat dan bagaimanakah cara kerjanya ?
11. Bagaimanakah cara penularan enterobiasis ?
12. Bagaimanakah etiologi penyakit enterobiasis ?
13. Bagaimanakah patogenesis penyakit enterobiasis ?
14. Bagaimanakah manifestasi klinis penyakit enterobiasis ?
15. Apakah diagnosis banding penyakit dalam enterobiasis ?
16. Bagaimanakah penatalaksanaan penyakit enterobiasis ?
17. Bagaimanakah komplikasi penyakit enterobiasis ?

18. Bagaimanakah cara pencegahan penyakit enterobiasis ?


19. Bagaimanakah prognosis penyakit enterobiasis ?
C. TUJUAN
1. Mengetahui etiologi enterobiasis.
2. Mengetahui morfologi telur, cacing betina, dan cacing jantan Enterobius
3.
4.
5.
6.

vermicularis ?
Mengetahui patogenesis enterobiasis.
Mengetahui cara penularan enterobiasis.
Mengetahui manifestasi klinis enterobiasis.
Mengetahui pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menegakkan

diagnosis enterobiasis.
7. Mengetahui diagnosis dan diagnosis banding enterobiasis.
8. Mengetahui penatalaksanaan enterobiasis.
9. Mengetahui komplikasi pada enterobiasis.
10. Mengetahui cara pencegahan pada enterobiasis.
11. Mengetahui prognosis enterobiasis.
D. MANFAAT
1. Mahasiswa dapat mengetahui gambaran umum mengenai enterobiasis.
2. Mahasiswa mampu menegakkan diagnosis enterobiasis dengan benar.
3. Mahasiswa dapat mengetahui cara penatalaksanaan dan pencegahan pada
enterobiasis.

BAB II
STUDI PUSTAKA

A. ETIOLOGI
Penyakit cacing kremi disebut juga oxyriasis atau enterobiasis. Penyebab penyakit
ini adalah Oxyruris vermicularis atau Enterobius vermicularis atau cacing kremi
atau pinworm. Parasit ini kosmopolit tetapi lebih banyak ditemukan di daerah
dingin. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia. Di Indonesia mempunyai frekuensi
tinggi terutama pada anak-anak.

(Sudoyo,2007)
B. MORFOLOGI
Telur berbentuk lonjong dan lebih datar pada satu sisi (asimetrik). Dinding
telur bening dan agak lebih tebal dari dinding telur cacing tambang. Telur menjadi
matang dalam waktu 6 jam setelah dikeluarkan. Telur resisten terhadap desinfektan
dan udara ringin. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari. Telur
jarang dikeluarkan di usus, sehingga jarang ditemukan di dalam tinja.
Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,4 mm. pada ujung anterior ada
pelebaran kutikulum seperti sayap yang disebut alae. Bulbus esophagus jelas
sekali. Ekornya panjang dan runcing. Uterus cacing yang gravid melebar dan
penuh telur. Cacing betina yang gravid mengandung 11.000-15.000 butir telur,
bermigrasi ke daerah perianal untuk bertelur dengan cara kontraksi uterus dan
vaginanya.
Cacing jantan berukuran 2-5 mm, juga mempunyai sayap dan ekornya
melingkar sehingga bentuknya seperti tanda Tanya (?); spikulum pada ekor jarang
ditemukan. Habitat cacing dewasa biasanya di rongga sekum, usus besar, dan di
usus halus yang berdekatan dengan rongga sekum. Makanannya adalah isi usus.
Kopulasi cacing jantan dan betina mungkin terjadi di sekum. Cacing jantan
mati setelah kopulasi dan cacing betina mati setelah bertelur.
(Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI, 2007)
C. PATOGENESIS
Cara infeksi terjadi karena tertelannya telur yang dibuahi melalui jari yang kotor,
makanan yang terkontaminasi, inhalasi udara yang mengandung telur dan kadangkadang retroinfeksi melalui anus. Telur menetas di dalam duodenum, kemudian
larva cacing bergerak dan menetap sebagai cacing dewasa di jejunum dan bagian
atas ileum. Waktu yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelannya
telur matang sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke daerah
perianal, berlangsung kira-kira 2 minggu sampai 2 bulan.

Cacing betina yang hamil, pada waktu malam bergerak kearah anus dan
meletakkan telurnya dalam lipatan-lipatan kulit sekitar anus. Hal ini yang
menyebabkan pruritus ani.
(Sudoyo,2007)
D. CARA PENULARAN
Cara penularan infeksi enterobiasis :
1. Langsung dari anus ke mulut, melalui tangan yang terkontaminasi oleh telur
cacing. Hal ini terjadi karena anak merasa gatal di sekitar dubur, digaruk dan
telur cacing lengket di kuku anak dan sewaktu makan telur ikut tertelan.
2. Orang yang satu tempat tidur dengan pasien, yang mana terkena infeksi
melalui telur yang ada di alas tempat tidur, sarung bantal, ataupun pada benda
yang terkontaminasi.
3. Melalui udara, dalam hal ini telur cacing yang berada di udara terhirup oleh
orang lain (misalnya pada saat membersihkan tempat tidur).
4. Retroinfection, pada keadaan yang memungkinkan telur cacing segera menetas
di kulit sekitar anus, dan larva yang keluar masuk kembali ke dalam usus
melalui anus.
(Poorwo Soedarmo, 2002)
E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis yang menonjol disebabkan iritasi di sekitar anus, perineum dan
vagina oleh cacing betina gravid yang bermigrasi ke daerah anus dan vagina
sehingga menyebabkan pruritus lokal. Karena cacing bermigrasi ke daerah anus
dan menyebabkan pruritus ani, maka penderita menggaruk daerah sekitar anus
sehingga timbul luka garuk di sekitar anus. Keadaan ini sering terjadi pada waktu
malam hari hingga penderita terganggu tidurnya dan menjadi lemah. Kadangkadang cacing dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal
sampai ke lambung, esophagus, dan hidung sehingga menyebabkan gangguan di
daerah tersebut. Cacing betina gravid mengembara dan dapat bersarang di vagina
dan di tuba fallopii sehingga menyebabkan radang di saluran telur. Cacing sering
ditemukan di apendiks tapi jarang menyebabkan apendiksitis. Beberapa gejala

infeksi Enterobius vermicularis yaitu kurang nafsu makan, berat badan turun,
aktivitas meninggi, enuresis, cepat marah, gigi menggeretak, insomnia, dan
masturbasi (Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI, 2007). Cacing dewasa
dalam usus dapat menyebabkan gejala nyeri perut, rasa mual, muntah, mencretmencret yang disebabkan karena iritasi cacing dewasa pada sekum, apendiks, dan
sekitar muara anus besar (Sudoyo,2007).
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah tepi umumnya normal, hanya ditemukan sedikit eosinofilia.
Diagnosis ditegakkan dengan cara menemukan telur atau cacing dewasa di daerah
perianal dengan swab atau di dalam tinja. Anal swab ditempelkan di sekitar anus
pada waktu pagi hari sebelum anak buang air besar dan mencuci pantat (cebok)
(Sudoyo,2007).
Anal swab adalah suatu alat dari batang gelas atau spatel lidah yang pada
ujungnya didekatkan scoth adhesive tape. Bila adhesive tape ditempelkan di
daerah sekitar anus, telur cacing akan menempel pada perekatnya. Kemudian
adhesive tape diratakan pada kaca benda dan dibubuhi sedikit toluol untuk
pemeriksaan mikroskopik. Sebaiknya pemeriksaan dilakukan tiga hari bertirutturut (Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI, 2007).
G. DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
Jika anak-anak mengalami gatal-gatal di sekitar anus pada waktu malam hari
menjelang pagi, apalagi jika disertai enuresis, maka kemungkinan ia menderita
enterobiasis. Untuk menetapkan diagnosis pasti, telur cacing atau cacing dewasa
harus dapat ditemukan (Soedarto, 2009).
Rasa gatal pada pada anus (pruritus ani) yang timbul pada malam hari harus
dibedakan dengan rasa gatal yang disebabkan oleh infeksi jamur, alergi, dan
pikiran (Sudoyo,2007).
H. PENATALAKSANAAN
Pengobatan spesifik
Mebendazol. Diberikan dosis tunggal 500 mg, diulang setelah 2 minggu.
Albendazol. Diberikan dosis tunggal 400 mg, diulang setelah 2 minggu.
Piperazin sitrat. Diberikan dengan dosis 2 x 1 g/hari selama 7 hari berturutturut, dapat diulang dengan interval 7 hari.

Pirvium pamoat. Obat ini diberikan dengan dosis 5 ng/kgBB (maksimum 0,25
g) dan diulangi 2 minggu kemudian. Obat ini dapat menyebabkan rasa mual,
muntah, dan warna tinja menjadi merah. Bersama mebendazol efektif terhadap
semua stadium perkembangan cacing kremi.
Pirantel pamoat (Combantrin). Diberikan dengan dosis 10 mg/kgBB sebagai
dosis tunggal dan maksimum 1 gram
(Sudoyo,2007)
I. KOMPLIKASI
Salpingitis (peradangan saluran indung telur).
Vaginitis (peradangan vagina).
Apendiksitis.
(Sudoyo,2007)
J. PENCEGAHAN
1. Seluruh anggota keluarga atau yang sering berhubungan dengan pasien
sebaiknya diberikan pengobatan bila ditemukan salah seorang anggota
mengandung cacing kremi.
2. Kesehatan pribadi perlu diperhatikan terutama kuku jari-jari dan pakaian tidur.
3. Toilet sebaiknya dibersihkan dan disiram dengan desinfektan, bila mungkin
setiap hari.
4. Makanan hendaknya dihindarkan dari debu dan tangan yang mengandung telur.
5. Pakaian dan alas kasur hendaknya dicuci bersih dan diganti setiap hari.
(Sudoyo,2007 dan Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI, 2007)
K. PROGNOSIS
Baik dan biasanya tidak menimbulkan bahaya, terutama dengan pengobatan
yang baik. Yang perlu diperhatikan adalah kebersihan dan pencegahan auto atau
hetero-infection kembali

(Staf Pengajar IKA FK UI, 2007). Infeksi cacing ini

biasanya tidak begitu berat, dan dengan pemberian obat-obat yang efektif maka
komplikasi dapat dihindari. Yang sering menjadi masalah adalah infeksi intra
familiar, apalagi dengan keadaan higienik yang buruk (Sudoyo,2007). Infeksi cacing
kremi dapat sembuh sendiri (self limited) bila tidak ada reinfeksi, tanpa
pengobatanpun infeksi dapat berakhir.

BAB III
PEMBAHASAN
Satrio, umur 8 tahun, BB 24 kg.
Keluhan: gatal di dubur terutama saat malam hari, nafsu makan dan berat badan
menurun, nyeri perut dan diare.
Hasil pemeriksaan fisik: kuku jari tangan Satrio panjang dan kotor, matanya sayu
dan berkantung, di daerah perianal terlihat kemerahan bekas luka garukan karena
pruritus ani.
Riwayat kebiasaan: setiap hari bermain kelereng di kebun dan bermain di sungai,
susah bila disuruh potong kuku dan jarang cuci tangan sebelum makan.
Berdasarkan anamnesis dan hasil pemeriksaan fisik di atas Satrio menderita
penyakit enterobiasis, yaitu penyakit yang disebabkan oleh cacing Enterobius
vermicularis. Terjadinya infeksi cacing kremi pada Satrio dikarenakan tertelannya
telur infektif Enterobius vermicularis yang terdapat di dalam kuku jari tangan Satrio
karena dia tidak pernah memotong kuku dan jarang cuci tangan sebelum makan.
Telur dapat bersarang di kuku jari tangan Satrio karena dia suka bermain di tempattempat yang kotor dimana terdapat telur Enterobius vermicularis. Sanitasi dan
hygiene mempengaruhi penyebaran telur. Bila sanitasi dan hygiene buruk maka telur
Enterobius vermicularis mudah ditemukan dimana-mana.

Manusia terinfeksi Enterobius vermicularis bila menelan telur infektif. Telur


kemudian menetas di sekum dan berkembang biak menjadi dewasa. Siklus hidup
cacing ini kurang lebih satu bulan. Setelah membuahi cacing betina, cacing jantan
akan mati dan dikeluarkan bersama tinja. Cacing betina yang gravid umumnya pada
malam hari akan turun ke bagian bawah kolon dan keluar melalui anus. Telur akan
diletakkan di perianal dan di kulit perineum. Setelah meletakkan telur, cacing betina
akan kembali ke usus (Poorwo Soedarmo, 2002).
Infeksi cacing kremi ditandai dengan gatal di dubur pada malam hari. Hal ini
dikarenakan cacing betina gravid, pada waktu malam bergerak kearah anus dan
meletakkan telurnya dalam lipatan-lipatan kulit sekitar anus sehingga menyebabkan
pruritus ani. Di daerah perianal anak terlihat kemerahan karena sering digaruk akibat
gatal yang timbul. Garukan ini dapat menimbulkan infeksi sekunder.
Nafsu makan menurun karena cacing dewasa muda bergerak ke usus halus
bagian proksimal sampai ke lambung, dan esophagus sehingga menimbulkan
perasaan ingin muntah. Karena perasaan ingin muntah maka anak kurang nafsu
makan.
Berat badan menurun dikarenakan ada faktor eksternal dan internal. Faktor
eksternalnya karena nafsu makan anak menurun sehingga berat badannya ikut
menurun. Sedangkan faktor internalnya karena cacing mengadsorbsi sari-sari
makanan di usus sehingga nutrisi anak tersebut akan berkurang dan berat badannya
menjadi menurun.
Perut terasa nyeri karena adanya gerakan hiperperistaltik. Gerakan
hiperperistaltik terjadi karena makanan yang diberikan tidak dapat dicerna dan
diabsorbsi dengan baik.
Diare terjadi karena parasit berkembang biak dalam usus halus lalu menempel
pada mukosa melalui antigen yang menyerupai vili. Kemudian melekat pada reseptor
permukaan usus sehingga menyebabkan penyerapan kapasitas berkurang. Parasit
mengeluarkan toksin yang menghambat fungsi sel epitel sehingga mengurangi

absorpsi natrium dari vili dan meningkatkan sekresi klorida dari kripta yang
menyebabkan sekresi air dan elektrolit meningkat sehingga terjadilah diare.
Mata terlihat sayu dan berkantung dikarenakan anak tidak bisa tidur pada
malam hari karena pruritus ani yang terjadi pada malam hari. Hal ini juga bisa terjadi
karena adanya dehidrasi. Dehidrasi terjadi karena meningkatnya sekresi air dan
elektrolit yang mengakibatkan diare.
Untuk menentukan diagnosis pasti enterobius dapat dilakukan pemeriksaan
anal swab. Diagnosis ditegakkan dengan cara menemukan telur atau cacing dewasa
di daerah perianal dengan swab atau di dalam tinja. Anal swab ditempelkan di sekitar
anus pada waktu pagi hari sebelum anak buang air besar dan mencuci pantat (cebok).
Anal swab adalah suatu alat dari batang gelas atau spatel lidah yang pada ujungnya
didekatkan scoth adhesive tape. Bila adhesive tape ditempelkan di daerah sekitar
anus, telur cacing akan menempel pada perekatnya. Kemudian adhesive tape
diratakan pada kaca benda dan dibubuhi sedikit toluol untuk pemeriksaan
mikroskopik. Sebaiknya pemeriksaan dilakukan tiga hari berturut-turut (Staf
Pengajar Departemen Parasitologi FKUI, 2007).
Pirantel pamoat terutama efektif terhadap cacing bentuk matur atau imatur
yang rentan terhadap saluran cerna, tetapi tidak efektif terhadap stadium migrasi
dalam jaringan. Pirantel pamoat dan analognya menimbulkan depolarisasi pada otot
cacing dan meningkatkan frekuensi impuls dan menghambat enzim kolinesterase
sehingga cacing mati dalam keadaan spastis. Absorbsi pirantel pamoat sedikit melalui
usus dan sifat ini memperkuat efeknya yang selektif pada cacing. Ekskresi pirantel
pamoat sebagian besar bersama tinja, dan kurang dari 15% disekresi bersama urin
dalam bentuk utuh dan metabolitnya. Efek samping pirantel pamoat jarang, ringan,
dan bersifat sementara, misalnya keluhan saluran cerna, demam, dan sakit kepala.
Pirantel pamoat merupakan obat terpilih untuk enterobiasis. Dengan dosis tunggal
angka penyembuhannya cukup tinggi. Untuk enterobiasis dianjurkan mengulang
dosis setelah 2 minggu (Staf Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

Pirantel pamoat tidak efektif untuk membasmi telur Enterobius vermicularis


sehingga diperlukan dosis ulangan setelah dua minggu untuk membasmi sisa telur
yang sudah berkembang menjadi cacing dewasa setelah dua minggu.
Infeksi cacing kremi dapat sembuh sendiri (self limited) bila tidak ada
reinfeksi, tanpa pengobatanpun infeksi dapat berakhir.

BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Penyakit cacing kremi disebut juga enterobius atau oxyuriasis yang
disebabkan oleh cacin Enterobius vermicularis.
2. Bentuk infektif infeksi Enterobius vermicularis adalah stadium telur.
3. Cacing dewasa Enterobius vermicularis hidup di jejunum dan bagian atas
ileum.
4. Infeksi enterobius terjadi melalui mulut, melalui pernapasan, dan
retroinfeksi.
5. Gejala enterobiasis yaitu: pruritus ani pada malam hari, nafsu makan
berkurang, berat badan menurun, enuresis, nyeri perut, mual, muntah, dan
diare.
6. Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis enterobiasis dapat
dilakukan dengan metode Anal swab dengan menggunakan scoth adhesive
tape.
7. Pirantel pamoat efektif untuk membunuh cacing matur atau imatur, tetapi
tidak efektif untuk membunuh stadium telur.
8. Semua stadium cacing kremi dapat dibunuh dengan mebendazol.

9. Komplikasi enterobiasis: salpingitis, vaginitis, dan apendiksitis.


10. Infeksi cacing kremi dapat sembuh sendiri (self limited) bila tidak ada
reinfeksi, tanpa pengobatanpun infeksi dapat berakhir.
B. SARAN
1. Cucilah tangan sebelum makan dan setelah buang air besar.
2. Jangan lupa memotong kuku dan menjaga kebersihan kuku.
3. Anak yang mengandung cacing kremi sebaiknya memakai celana panjang jika
hendak tidur supaya alas kasur tidak terkontaminasi.
4. Makanan hendaknya dihindarkan dari debu dan dari tangan yang mengandung
telur.
5. Pakaian,

seprei, dan mainan

anak sebaiknya

sering dicuci

untuk

memusnahkan telur cacing yang tersisa.


6. Bersihkan toilet setiap hari.
7. Menghindari penggarukan daerah anus karena bisa mencemari jari-jari tangan
dan setiap benda yang dipegang atau disentuh.

DAFTAR PUSTAKA
Poorwo Soedarmo, Sumarmo S. 2002. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi
Kedua. Jakarta: Bagian IKA FKUI.
Soedarto. 2009. Penyakit Menular di Indonesia. Jakarta: CV Agung Seto.
Staf Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2007. Farmakologi dan Terapi
Edisi Kelima. Jakarta: Gaya Baru. PP 542-543.
Staf Pengajar Departemen Parasitologi Kedokteran FKUI. 2007. Parasitologi
Kedokteran Edisi Keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. PP 25-28.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. 2007. Buku Kuliah II Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta: Infomedika. PP 648-649.
Sudoyo, Aru W, dkk. 2007. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta : BP FK
UI. PP 1765.

Anda mungkin juga menyukai