Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Cacingan masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di

Indonesia. Prevalensi penyakit cacingan berkisar 60% – 90% tergantung lokasi

higienis, sanitasi peribadi dan lingkungan penderita. Tingginya prevalensi ini

disebabkan oleh iklim tropis dan kelembaban udara yang tinggi di Indonesia.

Lokasi yang tidak higienis dan sanitasi yang rendah menjadi lingkungan yang

baik untuk perkembangan cacing. Beberapa daerah di Indonesia terutama di

daerah pedalaman belum semua mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak,

kasus infeksi cacing yang kronik banyak ditemukan di daerah pedalaman yang

secara latar belakang pengetahuan kesehatan dan pendidikan rendah.

Infeksi cacing ini Apabila dicermati lebih lanjut pengaruhnya bisa sangat

mengganggu, terutama pada anak-anak yang dalam masa pertumbuhan, infeksi

ringannya, dapat mengakibatkan anemia dengan berbagai manifestasi kilinis, baik

yang terlihat secara nyata maupun yang tidak terlihat. Kasus infeksi yang sedang

sampai berat bisa mengakhibatkan adanya gangguan penyerapan pada usus dan

gangguan beberapa fungsi organ dalam. Gangguan yan ditimbulkan mulai dari

yang ringan tanpa gejala hingga sampai yang berat bahkan sampai mengancam

jiwa. Secara umum gangguan nutrisi atau anmeia dapat terjadi pada penderita. Hal

ini secara tidak langsung akan mengakibatkan gangguan kecerdasan pada anak.
Karena itu, cacingan masih menjadi masalah kesehatan mendasar di negeri

ini. Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan suatu upaya bersama dan juga

kesadaran dalam menanggulangi penyakit ini. Salah satunya dengan Penggunaan

antihelmintik atau obat anti cacing yang merupakan salah satu upaya

penanggulangan infeksi cacingan. Sebagian besar antihelmintik efektif terhadap

satu macam jenis cacing, sehingga diperlukan diagnosis yang tepat sebelum

menggunakan obat tertentu. pemberian antihelmintik haruslah mengikut indikasi-

indikasi tertentu. Untuk mengobati cacingan, banyak obat anti cacing diberikan

yang bertujuan untuk mengeluarkan cacing segera bersama tinja hanya dalam

dosis sekali minum. Obat anti-cacing yang dipilih harus diperhatikan benar karena

tidak semuanya cocok pada anak maupun orang dewasa.

Pemberian obat anti cacing tanpa dasar justru akan merugikan penderita

yang mana akan memperberat kerja hati. Diagnosis harus dilakukan dengan

menemukan telur/larva dalam tinja, urin, sputum dan darah atau keluarnya cacing

dewasa melalui anus,mulut atau lainnya. Maka dari itu penggunaan antihelmintik

sangat diperlukan dalam memberantas dan mengurangi cacing dalam organ atau

jaringan tubuh.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis membuat tugas mata kuliah yang

berjudul “Anti Cacing”.

B. RUMUSAN MASALAH

Adapun masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah sebagai berikut

1. Apa pengertian cacingan?


2. Bagaimana patofisiologis atau etiologi cacingan?

3. Apa sajakah penggolongan obat anti cacing?

4. Apa indikasi obat anti cacing?

5. Berapa dodis obat anti cacing?

6. Apa sajakah efek samping obat anti cacing?

7. Apa kontra indikasi obat anti cacing?

8. Apa sajakah obat anti cacing yang beredar dipasaran?

C. TUJUAN

Adapun tujuan dari makalah ini diharapkan dapat :

1. Memahami dan mengerti pengertian cacingan.

2. Memahami dan mengerti bagaimana patofisiologis obat anti cacing.

3. Memahami dan mengerti penggolongan obat anti cacing.

4. Memahami dan mengerti indikasi obat anti cacing.

5. Memahami dan mengerti berapa dosis obat anti cacing.

6. Memahami dan mengerti efek samping obat anti cacing.

7. Memahami dan mengerti kontra indikasi obat anti cacing.

8. Memahami dan mengetahui obat anti cacing yang beredar dipasaran.

D. MANFAAT

Adapaun manfaat dari makalah ini diantaranya :

1. Data dan informasi obat anti cacing dapat menjadi masukan bagi

penderita agar menggunakan obat anti cacing sesuai dengan prosedurnya.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. PENGERTIAN CACINGAN

Ascaris lumbricoides adalah parasit penyebab penyakit cacingan yang

paling umum. Siapa saja bisa mengalami cacingan akibat terinfeksi parasit cacing

ini. Meski begitu, penyakit ini lebih sering terjadi pada anak-anak yang tinggal di

daerah dengan sanitasi dan kebersihan yang buruk.

Ascaris lumbricoides adalah nama latin dari cacing gelang yang hidup di

usus manusia. Cacing ini merupakan penyebab penyakit ascariasis alias cacingan

pada manusia. Ascaris termasuk parasit dalam tubuh manusia dari

jenis roundworms. Cacing ini seringnya berada pada lingkungan yang tidak bersih

dan tinggal di wilayah yang beriklim hangat.

Panjang cacing Ascaris lumbricoides dewasa yang berkembang biak di usus

manusia bisa lebih dari 30 cm. Itu sebabnya, cacing gelang besar ini dapat dilihat

dengan mata telanjang.

Menurut estimasi CDC, sekitar lebih dari 1 juta orang di dunia terinfeksi

askariasis. Askaris lumbricoides (cacing gelang), Trichuris trichiura (cacing

cambuk) dan Ancylostoma duodenale - Necator americanus (cacing tambang)

merupakan kelompok STH yang paling banyak ditemukan di dunia dan Indonesia.

Di Indonesia sendiri program eradikasi cacingan diterapkan oleh Kementerian

Kesehatan melalui Program Pengendalian Cacingan 2012 dengan target

meningkatkan cakupan program pengendalian cacingan sampai 75% sasaran anak

sekolah usia sekolah dan pra sekolah di semua daerah endemis pada tahun 2020.
Gejala dari infeksi askariasis bermacam-macam, mulai dari asimptomatis,

simptomatis, hingga terjadi komplikasi. Gejala asimptomatis terjadi pada saat fase

migrasi larva dan jumlah cacing dewasa di dalam saluran pencernaan belum

menimbulkan masalah/gejala. Gejala simptomatis terjadi pada saat jumlah dan

migrasi cacing dewasa di dalam saluran intestinal sudah menimbulkan gejala

(keluarnya cacing dari anus, mulut, atau hidung). Komplikasi dari peningkatan

jumlah cacing dan migrasi cacing dewasa berupa obstruksi saluran pencernaan

yang menimbulkan gejala akut abdomen dan konsekuensi dari obstruksi itu

sendiri (perforasi, sepsis) serta komplikasi yang bersifat kronis seperti gangguan

malabsorbsi sehingga menyebabkan malnutrisi, gangguan tumbuh kembang,

defisiensi mikronutrien yang biasa terjadi pada anak kecil.

2. PATOFISIOLOGI CACINGAN

Patofisiologi askariasis dimulai dari masuknya telur Ascaris lumbricoides ke

saluran cerna manusia. Telur yang telah terfertilisasi akan menjadi bentuk infektif setelah

18 hari atau beberapa minggu jika didukung oleh lingkungan yang mendukung seperti

kelembapan yang tinggi, suhu yang hangat, dan tanah ditempat teduh. Telur infektif jika

secara tidak sengaja tertelan oleh manusia akan masuk ke saluran pencernaan, telur

menetas di duodenum akibat stimulasi dari asam gaster dan menghasilkan larva

rhabditiform yang kemudian bermigrasi ke sekum (usus besar).

Larva rhabditiform akan mempenetrasi epitelium usus untuk mencapai

pembuluh darah vena, vena portal dan kemudian liver. Larva bermigrasi lewat

pembuluh darah vena atau sistem limfatik untuk mencapai jantung dan paru-paru.

Terkadang larva juga bermigrasi ke ginjal atau otak. Di paru-paru larva

menembus dinding kapiler menuju rongga alveolus, masuk ke bronkiolus,


bronkus, trakea, kemudian laring dan memicu batuk. Dengan terjadinya batuk

larva akan tertelan kembali ke saluran pencernaan. Setibanya di saluran

pencernaan bagian atas larva sudah menjadi cacing dewasa (2-3 bulan). Cacing

dewasa kemudian diam di jejenum berkopulasi dan bertelur dengan masa hidup 6-

24 bulan. Dan kemudian siklus terulang kembali.

Ascaris lumbricoides akan menimbulkan masalah kesehatan pada manusia

melalui beberapa cara, yaitu dengan menimbulkan kerusakan jaringan secara

langsung, adanya respon imun host terhadap tempat infeksi, obstruksi orifisium

atau lumen traktus gastrointestinal, dan sekuele nutrisi yang disebabkan oleh

adanya infeksi.

3. PENGGOLONGAN OBAT CACINGAN

Menurut Holden-Dye dan Walker (2007), antelmintik dibagi menjadi 6

golongan berdasarkan struktur kimia dan mekanisme kerjanya yaitu:

1. Golongan piperazin

Piperazin bekerja sebagai agonis GABA pada otot cacing. Cara kerja

piperazin pada otot cacing ascaris lumbricoides adalah dengan

mengganggu permeabilitas membran sel terhadap ion-ion yang berperan

dalam mempertahankan potensial istirahat, sehingga menyebabkan

hiperpolarisasi dan supresi impuls spontan disertai paralisis. Piperazin

efektif terhadap Ascaris lumbricoides dan Enterobiasis vermicularis

(cacing kremi).

2. Golongan benzimidazol
Benzimidazol merupakan antelmintik berspektrum luas dengan mekanisme

kerja menghambat pembentukan sitoskeleton dengan berinteraksi secara

selektif dengan ß-tubulin. Derivat benzimidazol adalah tiabendazol,

mebendazol dan albendazol.

a. Tiabendazol

Merupakan antelmintik derivat benzimidazol berspektrum luas dan

efektif untuk mengobati infestasi berbagai nematoda pada manusia.

Tiabendazol mempunyai daya antelmintik yang luas, efektivitasnya

tinggi terhadap strongiloidiasis, askariasis dan larva migrans kulit;

berguna untuk mengobati trikuriasis dan trikinosis akut. Cara kerjanya

sama dengan derivat benzimidazol lainnya, misalnya dengan

menghambat enzim fumarat reduktase cacing.

b. Mebendazol

Mebendazol efektif untuk mengobati infeksi cacing gelang, cacing

kremi, cacing tambang dan T. trichiura, sehingga efektif untuk

mengobati infestasi campuran cacing-cacing tersebut. Mebendazol

bekerja dengan menyebabkan kerusakan struktur subselular dan

menghambat sekresi asetilkolinesterase cacing. Obat ini juga

menghambat pengambilan glukosa secara ireversibel sehingga akan

terjadi pengosongan (deplesi) glikogen pada cacing.


c. Albendazol

Albendazol efektif dalam dosis tunggal untuk infeksi cacing kremi,

cacing gelang, cacing trikuris, cacing S. stercoralis dan cacing

tambang. Juga merupakan obat pilihan untuk penyakit hidatid dan

sistiserkosis. Obat ini bekerja dengan cara berikatan dengan ß-tubulin

parasit sehingga menghambat polimerisasi mikrotubulus dan memblok

pengambilan glukosa oleh larva maupun cacing dewasa, sehingga

persediaan glukosa menurun dan pembentukan ATP berkurang dan

menyebabkan kematian cacing. Obat ini dapat membunuh larva

N.americanus dan juga dapat merusak telur cacing gelang, tambang

dan trikuris.

3. Golongan agonis reseptor nikotinik

Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah pirantel pamoat dan

morantel.

a. Pirantel pamoat terutama digunakan untuk memberantas cacing

gelang, cacing kremi dan cacing tambang. Pirantel pamoat dan

analognya menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan

meningkatkan frekuensi impuls, sehingga cacing mati dalam keadaan

spastis.

b. Morantel adalah antelmintik golongan tetrahidro pirimidin yang

berguna untuk mengatasi infeksi cacing gelang dan cacing pita.


4. Golongan spiroindol

Paraherquamide A dan marcfortine A adalah anggota golongan oxindol

alkaloid yang diisolasi dari Penicillum paraherquei dan P.roqueforti. Cara

kerja antelmintik golongan ini adalah menimbulkan paralisis flasid pada

cacing parasit dan sebagai antagonis kompetitif reseptor kolin.

5. Golongan lakton makrosiklik

Antelmintik yang termasuk golongan lakton makrosiklik adalah

avermektin dan ivermektin. Struktur avermektin dan ivermektin dapat

dilihat pada :

a. Avermektin

Avermektin dihasilkan lewat proses fermentasi dari Streptomyces

avermitilis. Obat ini efektif terhadap infeksi onchocersiasis dan

strongiloidiasis. Cara kerjanya yaitu memperkuat peranan GABA pada

proses transmisi di saraf tepi sehingga cacing mati dalam keadaan

paralisis.

b. Ivermektin

Ivermektin adalah antelmintik semisintesis dari avermektin yang lebih

efektif dan aman dibanding senyawa induknya.


6. Golongan emodepsid

Merupakan hasil fermentasi dari jamur Mycelia sterilia. Menyebabkan

paralisis otot dengan mengganggu pertukaran ion kalsium dan kalium pada

otot cacing.

4. INDIKASI

Jenis obat Antelmintik

Kandungan Pirantel pamoat

Pengobatan infeksi parasit pada saluran pencernaan seperti


Kegunaan
akibat cacing kremi, cacing gelang, cacing tambang

Kategori Obat bebas terbatas

Konsumen Dewasa dan Anak

Kehamilan Kategori C

sirup kering 125 gr/5 ml & 250 mg/5 ml, tablet 125 mg dan
Sediaan
250 mg

Obat cacing digunakan untuk mengatasi infeksi di saluran pencernaan yang


disebabkan oleh parasit cacing dari jenis:

 Cacing kremi (Enterobius vermicularis).

 Cacing tambang (Ancylostoma duodenale).

 Cacing gelang (Ascaris lumbricoides).

 Cacing tambang (Necator americanus).


 Cacing Trichostrongyfus colubriformis dan Trichostrongylus
orientalls.

Obat cacing ini dapat digunakan untuk mengatasi salah satu dari jenis

cacing di atas atau kombinasi dari beberapa jenis cacing tadi.

5. KONTRAINDIKASI

Tidak semua orang boleh menggunakan obat ini, penderita yang diketahui

memiliki kondisi di bawah ini tidak boleh menggunakan: Orang yang memiliki
riwayat hipersensitivitas atau alergi terhadap kandungan obat ini.

6. MEKANISME KERJA

Cara kerja obat cacing dapat dicermati dari kandungan bahan aktifnya yang

berupa pirantel pamoat. Senyawa obat ini merupakan bentuk garam dari pirantel

dengan kombinasi 34,7 % basis pirantel dengan asam pamoat. Dengan sifat yang

mirip dengan agen penghambat neuromuskular yang bekerja secara kompetitif

ataupun secara depolarisasi.

Pirantel bekerja dengan memicu pelepasan asetilkolin, menghambat

kolinestrase, dan menstimulasi neuron ganglionik. Senyawa obat ini akan

menghambat neuromuskular cacing secara depolarisasi. Dengan begitu membran

otot-otot cacing akan mengalami penegangan sehingga

menjadikannya lumpuh atau mati dan kemudian melepaskan diri dari saluran

cerna.
7. DOSIS DAN CARA PENGGUNAAN

Tersedia dalam bentuk sediaan suspensi (sirup kering) dan tablet dengan

kekuatan dosis seperti berikut:

 Suspensi: dosis 125 mg/5 ml dan dosis 250 mg/5 ml (satu sendok
takar).

 Tablet: dosis 125 mg dan 250 mg per tablet.

Dosis yang tepat sesuai dengan anjuran dokter berdasarkan berat

ringannya penyakit, berat badan, usia, dan lain-lain. Atau berdasarkan dosis yang

tertera di kemasan obat.

Adapun dosis yang lazim digunakan adalah sebagai berikut:

Dosis sediaan sirup 125 mg/5 ml untuk mengatasi cacingan

 Dosis dewasa: 1 kali sehari sebelum atau setelah makan 3 - 4 sendok takar
(satu sendok takar 5 ml) sekali minum.

 Dosis anak-anak:

1. Umur 2 - 6 tahun: 1 kali sehari 1 - 2 sendok takar sekali minum.

2. Umur 6 - 12 tahun: sekali sehari 2 - 3 sendok takar sekali minum.

3. Umur > 12 tahun: sama dengan dosis dewasa.


Dosis sediaan tablet untuk mengatasi cacingan

 Dosis dewasa: untuk tablet 250 mg 1 ½ - 2 tablet sekali minum, sekali


sehari atau untuk tablet 125 mg 3 - 4 tablet sekali minum sekali sehari.
 Dosis anak-anak:
1. Umur 2 - 6 tahun: dosis 250 mg, ½ - 1 tablet sekali minum, sekali
sehari. Untuk dosis 125 mg, 1 - 2 tablet sekali minum sekali sehari.
2. Umur 6 - 12 tahun: dosis 250 mg, 1 - 1 ½ tablet sekali minum, 1 kali
sehari. Sementara dosis 125 mg, 2 - 3 tablet sekali minum, sekali
sehari.

Petunjuk Penggunaan:

1. Gunakanlah obat ini sebelum atau setelah makan. Penuhi kebutuhan air
setelahnya dan tidak perlu ada pantangan makan.
2. Selalu ikuti anjuran dokter atau petunjuk penggunaan yang tertera pada
kemasan sebelum mulai mengonsumsinya.
3. Tidak perlu menggunakan pencahar untuk membantu mempercepat
pengeluaran feses.

8. EFEK SAMPING

Obat cacing umumnya ditoleransi dengan baik. Namun demikian, ada efek

samping yang perlu diperhatikan, antara lain sebagai berikut:

 Mual

 Muntah

 Hilang nafsu makan (anoreksia)

 Sakit kepala
 Mengantuk

 Banyak berkeringat atau berkeringat dingin

 Ruam kulit

 Pruritus

 Urtikaria

Efek Overdosis

Belum ada data yang menunjukkan adanya efek overdosis penggunaan obat

cacing pada manusia. Sementara uji di laboratorium pada hewan percobaan

menunjukkan LD50 pada tikus dengan dosis 535 mg/kg. Mengacu pada fakta tadi,

kemungkinan overdosis dapat terjadi jika obat ini dikonsumsi dalam jumlah yang

sangat banyak dan gejala yang ditimbulkan dapat berupa mual, muntah, diare,

sakit kepala dan ruam kulit. Segera bawa ke unit kesehatan terdekat jika kondisi

ini terjadi.

9. OBAT YANG BEREDAR DIPASARAN


1.
2.

3.
4.

5.

Anda mungkin juga menyukai