Anda di halaman 1dari 51

MINI PROJECT

LAPORAN KEGIATAN PENYULUHAN, PENJARINGAN DAN


PEMBERIAN OBAT CACING DI WILAYAH PUSKESMAS KARAWANG

PERIODE SEPTEMBER 2017 – JANUARI 2018

Penyusun:
dr. Vinson Hartoyo

Pembimbing:
dr. Elis Sopiani

PUSKESMAS KARAWANG KABUPATEN SUKABUMI


JAWA BARAT
2017 – 2018

0
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 1
BAB I. PENDAHULUAN 3
A. Latar Belakang 3
B. Pernyataan Masalah 4
C. Tujuan 4
D. Manfaat 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 6
A. Epidemiologi 6
B. Etiologi 6
1. Cacing Gelang 6
2. Cacing Cambuk 8
3. Cacing Tambang 9
C. Faktor Risiko 10
D. Diagnosis 11
1. Pemeriksaan feses 11
2. Pemeriksaan biomolekuler 12
E. Tata Laksana 14
1. Usaha Pencegahan 14
2. Farmakoterapi 14
a. Ascaris lumbricoides 14
b. Trichiuris trichiura 15
c. Ancylostoma duodenale dan Necator americanus 15
F. Komplikasi dan Prognosis 16
BAB III. LAPORAN KEGIATAN 17
A. Bentuk Kegiatan 17
B. Kriteria Keberhasilan 19
C. Pelaksanaan Kegiatan 19
BAB IV. HASIL 24
A. Data Umum Puskesmas Karawang 24

1
1. Kondisi Geografis 24
2. Kondisi Demografis 24
3. Gambaran Umum Puskesmas Karawang 26
B. Data Primer 27
BAB V. DISKUSI 36
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 41
A. Kesimpulan 41
B. Saran 42
DAFTAR PUSTAKA 44
LAMPIRAN 46

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Helminthiasis (infestasi cacing) merupakan suatu penyakit infeksi yang
disebabkan oleh cacing. Prevalensi, manifestasi klinis dan siklus hidup dari setiap
spesies berbeda satu sama lain. Di antaranya, soil transmitted helminth (STH,
infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah) menjadi salah satu penyebab infeksi
kronik terbesar secara global. Dengan estimasi angka kejadian sebesar 2 miliar
jiwa, Asia Selatan, Afrika dan Amerika Selatan menjadi daerah dengan angka
infeksi cacing terbesar di dunia. Sementara untuk Indonesia, angka infeksi cacing
bervariasi antar daerah dengan kisaran antara 60% hingga 90%, namun secara
umum masih tergolong sangat tinggi. Hal ini terutama berhubungan dengan
masalah sanitasi pada kelompok penduduk dengan kondisi ekonomi menengah ke
bawah, didukung oleh kondisi iklim tropis dan subtropik yang sesuai bagi daur
hidup cacing.
Populasi anak sekolah terutama menjadi kelompok dengan risiko terbesar
mengalami infeksi cacing. Penelitian menunjukkan, di Asia terdapat 93% anak
usia sekolah positif terinfeksi salah satu dari 4 jenis cacing tersebut. Secara
umum, pada perjalanan penyakitnya infeksi oleh cacing jarang menimbulkan
kematian dengan gejala seperti diare, nyeri perut dan anemia sebagai manifestasi
klinis akut awal. Namun demikian efek jangka panjang dari infestasi cacing
memiliki dampak yang lebih tinggi, menyebabkan penurunan level kognitif,
kapasitas intelektual dan produktivitas kerja yang di bawah standar. Hal ini
menyebabkan perkembangan anak usia sekolah yang submaksimal.
Berbagai usaha telah dilakukan untuk tercapainya eradikasi infestasi cacing
baik secara global, nasional maupun regional. Walaupun fakta menunjukkan
bahwa infestasi cacing dapat diatasi dengan penggunaan obat cacing seperti
Albendazole atau Mebendazole, eradikasi dari infestasi cacing masih terbukti sulit
untuk dilakukan baik secara nasional maupun global. Hal ini disebabkan oleh

3
jalur transmisi fekal-oral dan penetrasi kulit, mengakibatkan angka infeksi ulang
yang tinggi pada daerah yang endemis. Untuk mencapai kontrol, dibutuhkan
integrasi antara penggunaan obat, perbaikan dalam sistem sanitasi individu dan
lingkungan, serta aplikasi dari gaya hidup yang higienis.
Mini project ini dilakukan untuk berusaha mengintegrasikan hal tersebut
dengan evaluasi tingkat edukasi masyarakat mengenai infestasi cacing melalui
penyuluhan yang dikombinasikan dengan pemberian obat pencegahan massal
pada anak usia sekolah. Penyuluhan dipusatkan pada populasi guru sekolah
sebagai sasaran. Dengan peningkatan pengetahuan para guru akan infestasi cacing
dan perilaku hidup sehat, diharapkan mereka dapat meningkatkan kualitas
perilaku hidup sehat pada anak melalui proses pengajaran.

B. Pernyataan Masalah
Berdasarkan Permenkes RI no.15 tahun 2017 tentang penanggulangan cacingan di
Indonesia, prevalensi infeksi cacing di Indonesia pada umumnya masih sangat
tinggi. Namun untuk data, belum ada data mendetail tentang prevalensi per
daerah. Diperkirakan prevalensi nasional berkisar pada 2,5-90%. Faktor yang
paling berpengaruh terhadap tingginya angka infeksi cacing adalah kurangnya
pengetahuan masyarakat tentang cacingan dan bagaimana cara melakukan
pencegahan yang efektif untuk menanggulangi masalah ini.

C. Tujuan
Tujuan dari dilakukannya program ini antara lain:
1. Melakukan evaluasi terhadap tingkat pengetahuan masyarakat akan infestasi
cacing, terutama pada populasi guru sekolah di daerah Puskesmas Karawang.
2. Memberikan edukasi tentang infestasi cacing (penularan, bahaya dan
pencegahan yang dapat dilakukan) pada masyarakat yang berfokus pada
populasi guru sekolah di daerah Puskesmas Karawang.
3. Melakukan evaluasi terhadap tingkat kesehatan jasmani dari anak usia sekolah
di daerah Puskesmas Karawang.

4
4. Melakukan pemberian obat pencegahan secara massal (POPM) pada
kelompok anak – anak usia sekolah di daerah Puskesmas Karawang.

D. Manfaat
Manfaat dari dilakukannya program ini antara lain:
1. Dapat mengevaluasi tingkat pengetahuan masyarakat (terutama populasi guru
sekolah) tentang infestasi cacing, dan tingkat keberhasilan metode penyuluhan
dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat di daerah Puskesmas
Karawang.
2. Meningkatkan pengetahuan masyarakat (terutama pada populasi guru
sekolah) tentang cara penularan, bahaya dan cara pencegahan dari infestasi
cacing di daerah Puskesmas Karawang.
3. Memperoleh data tentang kesehatan jasmani anak – anak usia sekolah di
daerah Puskesmas Karawang.
4. Melakukan upaya pencegahan dengan pemberian obat cacing secara massal
(POPM).

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Epidemiologi
Secara global, soil transmitted helminth (cacing dengan penyebaran melalui
tanah) menjadi salah satu penyebab dari infeksi kronis dengan angka tertinggi,
berkisar antara 1,5 hingga 2 miliar jiwa.1–3 Secara lebih detail, A. lumbricoides
memiliki angka kasus sebesar 1,221 miliar jiwa, diikuti dengan T. trichiura
sebesar 795 juta jiwa, dan cacing tambang sebesar 740 juta jiwa.3
Asia timur, selatan, Afrika, China, India dan Amerika selatan merupakan
daerah dengan angka infeksi tertinggi.1–3 WHO memperkirakan pada tahun 2017
terdapat 267 juta jiwa anak usia pra-sekolah dan 568 juta jiwa anak usia sekolah
yang tinggal di daerah endemis dengan risiko tinggi mengalami infeksi cacing. 1
Di Indonesia sendiri, data secara detil mengenai prevalensi nasional untuk infeksi
cacing belum ada namun diperkirakan bervariasi dan berkisar antara 2,5% - 90%.
Hasil survei subdit Diare pada tahun 2003 pada 40 SD di 10 provinsi
menunjukkan prevalensi berkisar antara 2,2% - 96,3%.4,5

B. Etiologi
1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)
Cacing gelang memiliki ukuran 10 – 30 cm untuk cacing jantan dan
22-35 cm untuk cacing betina, yang umumnya dapat memproduksi telur
sebanyak 100.000 hingga 200.000 sehari.
Manusia dapat tertular cacing ini jika mengkonsumsi telur yang telah
dibuahi, yang kemudian akan menetas dan menembus dinding usus halus.
Larva cacing ini kemudian akan masuk ke dalam aliran darah ke paru,
menembus alveolus dan naik ke saluran nafas atas. Setelah mencapai saluran
pernafasan atas, larva akan tertelan sehingga kembali masuk ke usus. Pada
fase ini larva cacing akan berkembang menjadi cacing dewasa.

6
Gambar 1. Daur hidup Ascaris Lumbricoides, beserta organisme dan telurnya.

Secara umum pada pasien yang terinfeksi oleh cacing ini, terdapat
manifestasi klinis yang berbeda dan tergantung pada fase mana. Pada fase
larva, pasien mengalami Sindrom Loeffler berupa batuk, demam dan
eosinofilia sebagai bagian dari respon alergi pasien. Pada fase dewasa,
umumnya pasien menunjukkan gejala yang lebih ringan seperti mual, nafsu
makan yang berkurang, diare atau konstipasi. Tetapi pada keadaan infeksi
yang berat, cacing yang menggumpal dapat menyumbat aliran usus
menimbulkan obstruksi sehingga terkadang dibutuhkan tindakan operatif.
Diagnosis umumnya ditegakkan dengan menemukan telur cacing pada
pemeriksaan tinja, atau ditemukannya cacing dewasa yang keluar dari mulut
atau bersama dengan tinja melalui anus. Pengobatan umumnya dengan
konsumsi Albendazol 400 mg atau Mebendazol 500 mg dosis tunggal.
Dengan pengobatan, tingkat kesembuhan pasien berkisar di angka 90% ke
atas. Selain itu, dilaporkan juga tingkat reduksi dari telur cacing yang
dideteksi melalui pemeriksaan tinja berkisar antara 86,5% hingga 100%.6

7
2. Cacing Cambuk (Trichiuris trichiura)
Cacing cambuk memiliki ukuran 4 cm untuk cacing jantan dan 5 cm
untuk cacing betina. Cacing ini dapat dibedakan dengan cacing jenis lainnya
oleh bagian anterior tubuhnya yang langsing seperti cambuk. Berbeda dengan
cacing betina, cacing cambuk jantan memiliki sebuah spikulum pada bagian
posterior tubuhnya.
Sama seperti pada infeksi cacing pita, manusia dapat tertular cacing ini
jika mengkonsumsi telur yang telah dibuahi, yang kemudian akan menetas.
Namun cacing cambuk tidak memiliki siklus paru seperti halnya pada cacing
pita. Setelah menetas, larva akan berkembang menjadi cacing dewasa dan
berpindah ke daerah usus besar (colon), lebih spesifiknya pada sekum.

Gambar 2. Daur hidup Trichiuris trichiura, beserta organisme dan telurnya.

Penderita yang mengalami infeksi oleh Trichiuris trichiura umumnya


menunjukkan gejala diare yang diselingi sindrom disentri, anemia dan berat
badan turun atau sulit naik. Pada keadaan infestasi berat, mukosa rektum
dapat mengalami prolapsus akibat pengejanan saat defekasi.

8
Diagnosis umumnya ditegakkan dengan menemukan telur cacing pada
pemeriksaan tinja, atau ditemukannya cacing dewasa yang tampak bersama
dengan mukosa rektum yang mengalami prolapsus. Pengobatan umumnya
dengan konsumsi Albendazol 400 mg dosis tunggal atau Mebendazol 100 mg
2 kali sehari selama 3 hari berurut-turut. Berbeda halnya dengan infeksi
cacing pita, studi yang ada menunjukkan dengan pengobatan, tingkat
kesembuhan pasien berkisar di angka 8,6 hingga 43,6%, sementara tingkat
reduksi telur cacing berada di angka 89,7%.6

3. Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)


Terdapat 2 spesies cacing yang berada dalam kelompok cacing
tambang yaitu Ancylostoma duodenale dan Necator americanus. Kadua
spesies ini memiliki ukuran yang sama yaitu ±1 cm untuk cacing betina dan ±
0,8 cm untuk cacing jantan. Cacing betina N. americanus dapat bertelur
sebanyak 5000 – 10.000 sehari sedangkan untuk A. duodenale sebanyak
10.000 hingga 25.000. Keduanya dapat dibedakan berdasarkan bentuk tubuh
di mana N. americanus menyerupai huruf S dan A. duodenale seperti huruf C.

Gambar 3. Daur hidup cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus),
beserta organisme dan telurnya.

9
Berbeda dengan halnya pada cacing pita dan cacing cambuk, cacing
tambang masuk menginfeksi tubuh manusia dalam bentuk larva yang dikenal
dengan nama larva filariform. Larva ini dapat masuk ke dalam tubuh manusia
dengan cara tertelan atau menembus langsung ke dalam kulit. Jika masuk
melalui kulit, larva cacing akan ikut peredaran darah ke paru dan seperti pada
cacing pita dan cambuk akan naik ke trakea dan kemudian tertelan ke usus. Di
usus halus, cacing akan tumbuh menjadi cacing dewasa.
Gejala yang ditimbulkan dari infeksi cacing tambang juga berbeda dan
tergantung dari stadium cacing saat itu. Pada stadium larva terutama pada saat
larva baru menembus kulit, pasien akan mengeluhkan gatal pada kulit
(dikenal dengan nama ground itch). Pada saat larva telah mencapai paru,
pasien akan mengeluhkan gejala mual, muntah, iritasi dari saluran nafas atas
disertai oleh batuk dan suara serak. Namun gejala ini lebih ringan
dibandingkan dengan infeksi cacing pita. Pada stadium dewasa, pasien akan
mengeluhkan lemas yang disebabkan oleh anemia. Seekor cacing N.
americanus dapat menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,005 – 0,1 cc
darah per hari sedangkan A. duodenale sebanyak 0,08 – 0,34 cc.
Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara menemukan telur atau
larva dalam pemeriksaan tinja. Pengobatan umumnya dengan konsumsi
Albendazol 400 mg dosis tunggal, Mebendazol 100 mg 2 kali sehari selama 3
hari berurut-turut, atau dengan pirantel pamoat 10mg/Kg selama 3 hari.
Dengan pengobatan, tingkat kesembuhan pasien berkisar antara 78,4% hingga
87,9% dengan tingkat reduksi telur sebesar 64,2% hingga 100%.

C. Faktor Risiko
Terdapat banyak faktor yang berpengaruh terhadap tingginya angka infeksi
cacing di suatu daerah antara lain kondisi iklim, tingkat sanitasi dari masyarakat,
kualitas kebersihan air, dan status sosial ekonomi masyarakat tersebut. 2,7 Di antara
berbagai faktor yang ada, masalah kebersihan dan tingkat pendidikan dari
masyarakat terbukti menjadi salah satu faktor risiko yang berperan penting dalam

10
tingginya angka infeksi cacing di suatu daerah. Sebuah penelitian oleh Wobo et al
di Nigeria menunjukkan pada daerah dengan angka infeksi cacing yang tinggi,
sebanyak 92% penduduk masih melakukan praktek sanitasi lingkungan yang
salah. Hal ini juga didukung oleh tingkat pendidikan yang rendah di mana sekitar
79,6% dari penduduk hanya menjalani pendidikan setingkat sekolah dasar atau
tidak sekolah sama sekali.7 Umur pasien juga menjadi salah satu faktor risiko
penting pada populasi anak-anak dengan angka infeksi yang lebih tinggi
ditemukan pada usia yang lebih muda, meskipun faktor ini tidak tampak terlalu
berpengaruh pada populasi pasien dewasa. Hal ini dikaitkan dengan tingkat
pengetahuan dan usaha sanitasi diri yang belum berkembang dengan baik.8,9
Selain itu terdapat juga faktor iklim di mana iklim dengan humiditas dan
temperatur yang hangat menyediakan lingkungan yang ideal untuk
keberlangsungan dari telur cacing di tanah yang lembab.10

D. Diagnosis
Berbagai metode yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis infeksi cacing pada
seorang pasien antara lain:
1. Pemeriksaan feses
Terdapat berbagai reagen yang digunakan dalam prosedur pemeriksaan feses
untuk mendiagnosis terdapatnya infeksi cacing pada seorang pasien. Tidak
adanya suatu prosedur sstandar yang menjadi baku emas untuk pemeriksaan
diagnostik mengakibatkan terjadinya perbedaan antar instansi. Di antara
berbagai macam prosedur diagnostik yang ada, metode Kato-Katz dan
FLOTAC menjadi prosedur dengan tingkat keberhasilan tertinggi.11,12
Metode Kato-Katz memiliki angka sensitivitas yang cukup tinggi, yaitu
mencapai 84,2%. Metode ini menjadi rekomendasi utama WHO sebagai
prosedur yang digunakan untuk mendiagnosis infeksi cacing. Sebuah studi
yang dilakukan di Swiss oleh Knopp et al menunjukkan peningkatan
sensitivitas dari pemeriksaan diagnostik feses dengan metode Kato-Katz yang
digabung dengan metode lain (BM dan KAP) yaitu pada Trichuris trichiura

11
sebesar 47,9%, cacing tambang 22,5%, Ascaris lumbricoides 16,5% dan
Strongiloides stercoralis sebesar 10,8% yang mendekati angka prevalensi
yang sesungguhnya. Penelitian ini juga menemukan sensitivitas yang
meningkat pada pemeriksaan menggunakan 3 sampel feses.11

Gambar 4. Perbedaan antara metode

Dibandingkan dengan metode Kato-Katz, metode FLOTAC memiliki angka


sensitivitas yang tinggi. Tetapi di sisi lain, metode ini memiliki beberapa
kekurangan antara lain biaya yang lebih mahal dan diperlukannya mesin
sentrifugasi untuk mengelola sampel.12

Tabel 1. Perbandingan angka sensitivitas setiap prosedur diagnostik

2. Pemeriksaan biomolekuler
Pemeriksaan biomolekuler yang dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi
cacing yaitu qPCR (quantitative polymerase chain reaction), sebuah prosedur

12
dengan tingkat spesifisitas yang tinggi dengan cara kerja mendeteksi antigen
spesifik yang dimiliki oleh cacing. Tingkat kesensitifan yang tinggi dari
prosedur ini menjadikan qPCR menjadi pertimbangan untuk diaplikasikan
dalam mendiagnosis dan memonitor respon terapi.13

Gambar 5. Mekanisme diagnosis infeksi cacing menggunakan qPCR

Namun demikian, prosedur ini dinilai belum praktis untuk dapat digunakan.
Selain memerlukan biaya yang cukup besar, prosedur ini juga memerlukan
tenaga ahli khusus yang sudah terlatih.13,14

Tabel 2. Jenis pemeriksaan qPCR spesifik sesuai dengan jenis cacing

13
E. Tata Laksana
1. Usaha Pencegahan
Seperti yang telah tercantum dalam Permenkes RI No.15 tahun 2017 tentang
penanggulangan cacingan dipusatkan untuk memutus rantai penularan, maka
berbagai usaha pencegahan yang dapat dilakukan antara lain:
a. Meningkatkan koordinasi lintas program, lintas sektor dan peran serta
masyarakat dengan mendorong kemitraan baik dengan kelompok usaha
maupun lembaga swadaya masyarakat.
b. Mengintegrasikan POPM, penjaringan anak sekolah, dan usaha kesehatan
sekolah.
c. Perbaikan kualitas air.
d. Melakukan sosialisasi perilaku hidup bersih dan sehat di pendidikan anak
usia dini dan sekolah dasar.

2. Farmakoterapi
Secara umum, tata laksana farmakoterapi untuk infeksi cacing yang
disebabkan oleh cacing (soil transmitted helminth) relatif sama, namun untuk
beberapa jenis cacing tertentu, terdapat perbedaan agen dan regimen.
a. Ascaris lumbricoides
Untuk lini pertama dapat digunakan:
- Albendazole 400 mg dosis tunggal, atau
- Mebendazole 500 mg dosis tunggal, atau
- Mebendazole 100 mg 2 kali sehari selama 3 hari.
Untuk alternatif dapat digunakan ivermectin 150 – 200 µg/Kg BB dosis
tunggal. Albendazole memiliki efektivitas yang sedikit lebih tinggi
dibandingkan dengan Mebendazole. Pada pasien dengan obstruksi usus,
dapat diberikan obat-obatan dengan dosis yang sama ditambah dengan
antibiotik. Pada obstruksi ringan, pemberian cairan kontras secara oral
dapat mengeluarkan cacing dengan lebih cepat, sedangkan untuk kasus
obstruksi yang berat disarankan untuk laparotomy.

14
b. Trichiuris trichiura
Untuk lini pertama dapat digunakan:
- Albendazole 400 mg selama 3 hari, atau
- Mebendazole 500 mg selama 3 hari, atau
- Mebendazole 100 mg 2 kali sehari selama 3 hari.
Terapi alternatif lain yang dapat digunakan yaitu:
- Ivermectin 200 µg/Kg BB sekali sehari selama 3 hari
- Pyrantel pamoate 11 mg/Kg (maksimal 1 g) sekali sehari selama 3
hari.
Berbeda dengan pada askariasis, albendazole dan mebendazole memiliki
efektivitas yang terbatas. Pada infeksi yang berat, tingkat kesembuhan
maksimal yang dapat tercapai hanya sekitar 83%.

c. Ancylostoma duodenale dan Necator americanus


Untuk infeksi cacing tambang, regimen yang disarankan sama dengan
pada infeksi Ascaris lumbricoides, walaupun pada studi yang lebih
mendalam ditemukan bahwa untuk mencapai tingkat kesembuhan yang
lebih tinggi dapat dibutuhkan hingga 3 dosis albendazole (regimen
diperpanjang hingga 3 hari). Salah satu dari obat anti cacing spektrum
luas, Tribendimidine menunjukkan efektivitas yang cukup tinggi dalam
menangani infeksi cacing tambang.
Tabel 3. Regimen terapi yang disarankan untuk soil transmitted helminth

15
F. Komplikasi dan Prognosis
Pasien yang telah mengkonsumsi obat anti cacing memang memiliki angka
kesembuhan yang tergolong cukup tinggi. Namun satu hal yang perlu
diperhatikan bahwa pasien – pasien tersebut masih memiliki risiko untuk
mengalami infeksi kembali, terutama pada daerah yang endemic. Sebuah studi
yang dilakukan di Ethiopia menunjukkan bahwa dalam waktu tiga bulan, angka
reinfeksi mencapai 93,4%. Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura menjadi
spesies cacing dengan angka infeksi tertinggi. Hal ini mengindikasikan
diperlukannya suatu usaha yang terintegrasi untuk menurunkan angka infeksi
cacing di Indonesia.15

16
BAB III
LAPORAN KEGIATAN

A. Bentuk Kegiatan
Kegiatan yang dilakukan berupa:
1. Pemberian materi dan sosialisasi program POPM
Kegiatan pemberian materi dan sosialisasi program POPM dilakukan di ruang
rapat puskesmas Karawang dengan sasaran guru-guru PAUD, TK, MI dan SD
di wilayah kerja puskesmas Karawang. Kegiatan ini dilakukan dengan
berkoordinasi bersama dengan penanggung jawab program pencegahan
cacingan dari puskesmas Karawang.
Pemberian materi dilakukan dengan bentuk presentasi menggunakan media
power point yang berisi tentang materi disertai dengan gambar untuk
memudahkan dalam penyampaian materi (gambar). Dalam pelaksanaan,
penyuluhan diawali dengan pretest untuk menilai pengetahuan awal para guru
mengenai gambaran umum cacingan termasuk di dalamnya tentang cara
penularan, gejala dan pencegahannya. Setelah pemberian materi, dilakukan
lagi post test untuk menilai keberhasilan penyampaian materi dan daya
tangkap para guru (lihat lampiran).

A B

17
C D

E F

Gambar 6. Gambaran materi yang diberikan dalam bentuk power point, A. Gambaran umum tentang
cacingan, epidemiologi dan landasan hukum; B. Cara penularan infeksi cacing dan siklus hidupnya; C.
Gejala yang ditunjukkan oleh pasien dengan infeksi cacing; D. Cara pencegahan infeksi cacing
termasuk program pemerintah POPM; E. Detail tentang cara pencegahan yang berpusat dalam
menjaga kebersihan dan; F. Jumlah kasus infeksi cacing dan umur yang rentan terserang.

2. Program penjaringan
Program penjaringan dilakukan di 22 sekolah dasar yang terdiri dari SD dan
MI yang berada di wilayah kerja puskesmas Karawang dengan sasaran anak-
anak usia sekolah dasar.
Proses penjaringan dilakukan melalui pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan (dokter, bidan atau tenaga medis lainnya) pada murid SD di
sekolah masing-masing sesuai dengan formulir yang telah disediakan.
Berbagai kelainan atau kondisi medis yang ditemukan kemudian dicatat pada
formulir dan apabila orang tua murid hadir di sana dapat segera dilakukan
edukasi untuk penanganan selanjutnya.

18
3. Program Pemberian Obat Pencegahan secara Massal (POPM)
Program POPM, seperti halnya penjaringan juga dilakukan di 22 sekolah
dasar yang terdiri dari SD dan MI yang berada di wilayah kerja puskesmas
Karawang dengan target anak usia rawan cacingan (1-12 tahun).
Proses POPM dilakukan dengan memberikan Albendazole 400mg dalam
sediaan tablet kunyah. Sebelum pemberian obat, murid-murid didata untuk
riwayat konsumsi obat cacing sebelumnya. Pada anak yang ditemukan riwayat
konsumsi obat cacing dalam waktu kurang dari 6 bulan maka tidak diberikan
obat lagi.

B. Kriteria Keberhasilan
Pemberian materi dan sosialisasi dianggap berhasil apabila hasil yang didapatkan
oleh para responden menunjukkan peningkatan atau responden dapat menjawab 4
dari 6 pertanyaan dengan benar.
Untuk program POPM dapat dianggap berhasil apabila cakupan pemberian obat
mencapai angka minimal 75%. Sedangkan untuk indikasi keberhasilan jangka
panjang yaitu diharapkan dapat mengurangi angka cacingan sebanyak minimal
10%.

C. Pelaksanaan Kegiatan
1. Pemberian materi dan sosialisasi program POPM
Terdapat 3 kali pemberian materi dan sosialisasi program POPM yang
dilakukan antara lain pada:

a. Pemberian materi dan sosialisasi POPM 1


Hari/tanggal pelaksanaan : Senin, 9 Oktober 2017
Waktu pelaksanaan : 09.00 – 11.00 WIB
Jumlah peserta : 21 orang

19
Gambar 7. Pemberian materi dan sosialisasi POPM sesi 1 pada Senin, 9 Oktober 2017

b. Pemberian materi dan sosialisasi POPM 2


Hari/tanggal pelaksanaan : Rabu, 11 Oktober 2017
Waktu pelaksanaan : 09.00 – 11.00 WIB
Jumlah peserta : 24 orang

Gambar 8. Pemberian materi dan sosialisasi POPM sesi 2 pada Rabu, 11 Oktober 2017

c. Pemberian materi dan sosialisasi POPM 3


Hari/tanggal pelaksanaan : Kamis, 12 Oktober 2017
Waktu pelaksanaan : 09.00 – 11.00 WIB
Jumlah peserta : 21 orang

20
Gambar 9. Pemberian materi dan sosialisasi POPM sesi 3 pada Kamis, 12 Oktober 2017

2. Program penjaringan dan POPM


Program penjaringan dan POPM dilakukan secara bersamaan dalam kurun
waktu 2 minggu yaitu pada:
Tanggal : 9 Oktober 2017 hingga 20 Oktober 2017
Tempat : dilakukan pada 22 SD dan MI antara lain:
1) SD Selabintana 1
2) SD Selabintana 2
3) SD 1 Parungseah
4) SD 2 Parungseah
5) SD Parungseah Gede
6) SD Selaawi
7) SDN Sukajaya
8) SDN Palasari
9) SDN Cisarua 4
10) SDN Nangewer
11) SDN Baksit
12) SDN Sugir
13) SDN Tenjolaya

21
14) SDN Perbawati
15) SDN Peundeuy
16) SD Selabintana Wetan
17) SDN Binong
18) MI Darunnajah
19) MI Azzaniyah
20) MI Bojong Duren
21) MI Cisarua GD
22) MI Nyangsang

Gambar 10. Proses penjaringan melalui pemeriksaan fisik pada murid SD

22
Gambar 11. Proses pemberian obat pencegahan secara massal pada murid SD dan MI

23
BAB IV
HASIL

A. Data Umum Puskesmas Karawang


1. Kondisi Geografis
Puskesmas Karawang (PKM Karawang) terletak di wilayah Kabupaten Sukabumi

dengan luas wilayah ± 2389,48 Ha2. Jarak puskesmas dengan ke pusat kota
Sukabumi sekitar 5 km dan jarak ke ibukota provinsi sekitar 65 km. Tingkat
kepadatan penduduk wilayah PKM Karawang sebesar 21.37 jiwa/km 2.

Wilayah kerja PKM Karawang mencakup 6 desa antara lain:


- Desa Perbawati
- Desa Sudajaya Girang
- Desa Karawang
- Desa Warnasari
- Desa Parungseah
- Desa Sukajaya
Batas-batas wilayah kerja PKM Karawang antara lain sebagai berikut:
- Sebelah utara berbatasan dengan Gn. Gede Pangrango
- Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja
- Sebelah selatan berbatasan dengan Kotamadya Sukabumi
- Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Kadudampit

2. Kondisi Demografis
Pada tahun 2016, jumlah penduduk di wilayah kerja PKM Karawang
mencapai 48.289 jiwa, dengan laki-laki berjumlah 24.510 jiwa dan perempuan
berjumlah 23.779 jiwa. Desa Parungseah merupakan desa dengan jumlah
penduduk terbanyak dalam wilayah kerja PKM Karawang dengan jumlah
12.657 jiwa, terdiri dari 6.135 jiwa penduduk laki-laki dan 6.522 jiwa
penduduk perempuan. Desa Parungseah memiliki kepadatan penduduk

24
14.53/km2 dan rata-rata jiwa per rumah tangga 3.79. Penduduk desa
Parungseah ini terbagi menjadi beberapa kelompok umur yaitu:
- Kelompok usia 0-4 tahun : 759 jiwa
- Kelompok usia 5-14 tahun : 1.728 jiwa
- Kelompok usia 15-44 tahun : 6.598 jiwa
- Kelompok usia 45-64 tahun : 3.001 jiwa
- Kelompok usia ≥65 tahun : 571 jiwa

Tabel 4. Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Karawang tahun 2016

No D esa

1 W arn asari

2 P aru n gseah

Berdasarkan status pendidikan, mayoritas penduduk di wilayah kerja PKM


Karawang merupakan lulusan SD dengan jumlah jiwa 19.921 jiwa, diikuti
dengan lulusan SLTA/SMA dengan jumlah jiwa 8.319 jiwa, dan SLTP/SMP
dengan jumlah jiwa 7.782 jiwa. Sedangkan yang tidak atau belum pernah
sekolah berjumlah 4.163 jiwa, yang tidak atau belum tamat SD berjumlah
2.903 jiwa, yang lulus diploma 2.827 jiwa dan lulus universitas berjumlah
2.169 jiwa.

Dari data yang ada dapat ditemukan bahwa sebagian besar penduduk memiliki
tingkat edukasi yang relatif masih rendah yaitu di tingkat sekolah dasar.
Selain itu ditemukan pula bahwa desa Warnasari memiliki jumlah penduduk
dengan tingkat edukasi rendah terbanyak di antara semua desa. Apabila

25
dijumlahkan, total penduduk yang tidak pernah sekolah dan tidak tamat
sekolah dasar berjumlah 1.926 jiwa.

Tabel 5. Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Karawang berdasarkan status pendidikan
Tdk/Blm Tdk/Blm
N Pernah tamat SD SLTP SLTA Dipl. Univ.
Desa Sekolah SD
o
L P L P L P L P L P L P L P
330 1.91 1.77 49 31
603 613 28 829 856 713 284 339
1 Warnasari 380 5 5 2 4

1.36 1.33 12
Parungsea 289 305 167 179 619 629 421 561 89 121 95
2 9 5 2
h

1.36 1.35 1.31 18


249 248 111 176 999 909 769 966 60 249
3 Karawang 4 2 1 1

1.69 1.59 11
Sudajaya 464 541 164 202 619 544 431 313 79 70 124
4 1 8 8
Gr.

2.33 2.16 1.17 10


336 273 98 225 723 872 932 115 70 302
5 Sukajaya 1 9 6 4

1.56 1.46
371 377 135 230 545 555 611 570 75 60 142 80
6 Perbawati 1 1

203 212 127 162 471 467 528 87 127 89


7913 8175 5544 2152
9 4 8 5 4 0 6 4 7 2
Jumlah
4163 2903 19.921 7782 8319 3026 2169

3. Gambaran Umum Puskesmas Karawang


PKM Karawang terletak di Jalan Selabintana Km 5, Desa Karawang (5 Km
dari kota Sukabumi). Lokasi puskesmas yang terletak di tengah-tengah
wilayah Kecamatan Sukabumi memudahkan akses dari 6 desa yang termasuk
ke dalam wilayah kerja PKM Karawang. Puskesmas Karawang memiliki luas
tanah sebesar 120 m2 dan luas bangunan sebesar 100 m2. PKM Karawang juga
memiliki 3 buah puskesmas pembantu (pustu), yaitu pustu Parungseah, pustu
Sukajaya dan pustu Karawang Kulon. Total jumlah karyawan PKM Karawang
sebanyak 43 orang dengan 2 orang dokter gigi, 2 orang dokter umum, 1 orang
Sarjana Kesehatan Masyarakat, 15 orang bidan, 7 orang perawat, 1 orang

26
sanitarian, 1 petugas gizi, 1 perawat gigi, 1 asisten apoteker, 1 analis
kesehatan dan 11 orang administrasi.

B. Data Primer
Data primer diperoleh dari pretest dan post test yang dilakukan sebelum dan
sesudah dilakukannya penyuluhan dan sosialisasi. Dari 3 kali program
penyuluhan, didapatkan responden sebanyak 66 orang yang terdiri dari guru
PAUD, TK, MI, dan SD yang merupakan perwakilan dari setiap sekolah yang
berada di wilayah kerja puskesmas Karawang. Dari hasil pretest yang dilakukan
ditemukan data-data sebagai berikut:

Pretest
100.0% 97.00%
90.90%
90.0%
78.80%
80.0%

70.0%
62.10%
59.10%
60.0% 56.10%

50.0% 43.90%
40.90%
40.0% 37.90%

30.0%
21.20%
20.0%
9.10%
10.0%
3.00%
0.0%
Soal 1 Soal 2 Soal 3 Soal 4 Soal 5 Soal 6

Benar Salah

Grafik 1. Hasil pretest

1. Separuh dari responden (56.1%, N:37) tidak mengetahui tentang media


penularan infeksi cacing yaitu tanah. Terlihat pada grafik (grafik 2) bahwa
39.4% reponden masih memiliki pengetahuan yang keliru tentang cara

27
penyebaran infeksi cacing di mana media utama penyebaran infeksi cacing
adalah melalui tanah yang terinfeksi oleh telur atau larva cacing, bukan
makanan.

Detail hasil jawaban soal 1 pretest


50.00%

45.00% 43.90%
39.40%
40.00%

35.00%
Kontak kulit
30.00% Tanah
Udara
25.00%
Makanan
20.00%
16.70%
15.00%

10.00%

5.00%

0.00%
Soal nomor 1

Grafik 2. Detail hasil jawaban soal nomor 1

2. Hampir separuh dari responden (40.9%, N:27) juga tidak mengetahui dengan
benar gejala dari infeksi cacing. Pada pertanyaan, disediakan 4 pilihan
jawaban di mana responden diminta untuk memilih jawaban yang salah. Dua
pilihan pertama merupakan gejala umum cacingan. Dapat diamati bahwa
sebagian responden keliru menganggap tidak nafsu makan bukan merupakan
gejala dari infeksi cacing. Tidak hanya itu, ketika dihadapkan pada pilihan
gejala infeksi cacing yang lebih lanjut, sebagian responden mengalami
kesulitan. Dari hasil pretest, tampak bahwa pengetahuan responden tentang
gejala infeksi cacing berat masih kurang. Responden yang salah sebagian
besar memilih pilihan ketiga (penyumbatan usus) sebagai gejala yang tidak
termasuk ke dalam manifestasi klinis infeksi cacing.

28
Detail hasil jawaban soal 2 pretest
70.00%

59.10%
60.00%

50.00%
Tidak nafsu makan
Lemas, tidak bertenaga
40.00%
Penyumbatan usus
BAB berdarah
30.00%

19.70%
20.00% 16.70%

10.00%
4.50%

0.00%
Soal nomor 2

Grafik 3. Detail hasil jawaban soal nomor 2

3. Hampir seluruh responden (97%, N:64) mengetahui tentang upaya


pencegahan infeksi cacing dengan pemberian obat cacing yaitu 1-2 kali dalam
1 tahun. Hanya terdapat 2 orang responden yang menjawab dengan salah.
Seorang responden menjawab 1-2 kali per bulan sementara seorang responden
lain menjawab dengan 1-2 kali per hari selama 1 minggu.
4. Sama halnya dengan pada soal nomor 1, pengetahuan responden mengenai
cara penularan infeksi cacing dinilai masih kurang. Hal ini terlihat dari angka
keberhasilan menjawab pada soal nomor 4 di mana hanya sekitar 62.1%
responden (N:41 orang) yang menjawab dengan benar. Soal nomor 4 berisi
tentang pertanyaan mengenai bagian tubuh mana yang paling sering menjadi
tempat tersimpannya telur cacing. Sebagian besar dari responden yang
menjawab salah memilih kulit atau telapak tangan.

29
Detail hasil jawaban soal 4 pretest
70.00%
62.10%
60.00%

50.00%
Kulit
Telapak tangan
40.00%
Kuku jari
Kaki
30.00%

20.00%
15.20% 15.20%

10.00% 7.50%

0.00%
Soal nomor 4

Grafik 4. Detail hasil jawaban soal nomor 4

5. Dalam hal pengetahuan mengenai pencegahan infeksi cacing, sebagian besar


responden juga dapat memilih pilihan yang benar (90.9%, N:60). Sebagian
besar responden mengetahui bahwa kunci dari pencegahan infeksi cacing
adalah dengan menjaga kebersihan lingkungan dan pribadi, dibandingkan
dengan pilihan lainnya yang berpusat pada terapi farmakologis dan konsultasi
dokter.
6. Sebagian besar responden (78.8%, N:52) mengetahui tentang adanya program
pemerintah yang dilakukan dengan tujuan pencegahan infeksi cacing yaitu
dengan pemberian obat pencegahan secara massal. Sebagian besar dari
responden yang memilih jawaban dengan tidak tepat menganggap bahwa
program pemerintah untuk pencegahan cacingan adalah dengan pemberian
vaksin.

Dari pretest maka dapat disimpulkan bahwa responden, dalam hal ini adalah para
guru masih memiliki pengetahuan yang kurang akan gejala umum dan cara
penularan infeksi cacing.

30
Setelah dilakukan post-test pada akhir pemberian materi, maka ditemukan:

Post test
100.00% 98.50%
100.0% 95.50% 93.90%
90.0% 87.90%
84.80%
80.0%

70.0%

60.0%

50.0%

40.0%

30.0%

20.0% 15.20%
12.10%
10.0% 4.50% 6.10%
0.00% 1.50%
0.0%
Soal 1 Soal 2 Soal 3 Soal 4 Soal 5 Soal 6

Benar Salah

Grafik 5. Hasil post test

1. Jumlah responden yang menjawab dengan benar di setiap pertanyaan


mengalami peningkatan yang cukup signifikan dengan peningkatan 51.9%
pada soal pertama, 25.7% pada soal kedua, 3% pada soal ketiga (menjadi
100%), 25.8% pada soal keempat, 3% pada soal kelima dan 19.7% pada soal
keenam.
2. Pada post test, hanya 3 orang yang masih menjawab pertanyaan nomor 1
dengan salah di mana ketiga responden tersebut memilih makanan sebagai
media penyebaran infeksi cacing. Kondisi ini mengalami perbaikan dari
jumlah jawaban salah sebanyak 26 responden.
3. Untuk soal kedua, masih terdapat 10 orang responden yang menjawab
pertanyaan dengan tidak tepat. Dari seluruh responden yang menjawab
dengan salah, terdapat 7 orang yang menjawab “lemas dan tidak bertenaga”
sebagai gejala yang bukan merupakan manifestasi klinis dari cacingan. Hal ini

31
mengalami peningkatan jumlah dari yang sebelumnya hanya 3 orang yang
menunjukkan terdapatnya kekurangan dalam hal penyampaian materi.

Detail jawaban post test


120.0%
100.00% 98.50%
100.0% 95.50% 94%
84.90% 85%
80.0%

60.0%

40.0%

20.0%

0.0%
Soal 1 Soal 2 Soal 3 Soal 4 Soal 5 Soal 6
-20.0%

A B C D

Grafik 6. Detail jawaban post test

4. Untuk waktu dan frekuensi pemberian obat cacing, semua responden dapat
menjawab dengan benar pada post test (100%). Semua responden telah
mengetahui bahwa pencegahan terhadap infeksi cacing dapat dilakukan
dengan mengkonsumsi obat profilaksis dengan frekuensi 1-2 kali per tahun.
5. Pada soal keempat tentang bagian tubuh yang paling sering menjadi tempat
yang menyimpan telur cacing, masih terdapat 8 orang yang menjawab dengan
tidak tepat. Mayoritas responden yang menjawab dengan salah memilih kulit
sebagai jawaban (7 dari 8 responden, 87.5%).
6. Masih terdapat 4 orang yang menjawab pertanyaan keempat dengan tidak
tepat (mengenai upaya pencegahan infeksi cacing). Dari 4 orang, 3 di
antaranya memilih penggunaan obat cacing sebagai langkah pencegahan
utama. Walaupun masih merupakan jawaban yang benar, namun jawaban

32
responden masih dianggap kurang tepat karena langkah pencegahan utama
adalah dengan menjaga kebersihan individual dan lingkungan.
7. Pada soal terakhir mengenai program pemerintah untuk pencegahan infeksi
cacing, hanya terdapat 1 responden yang menjawab salah dengan jawaban
imunisasi sebagai program resmi pemerintah dalam pencegahan infeksi cacing
di Indonesia.

Setelah membandingkan hasil pretest dengan post test, maka dapat ditemukan bahwa
terdapat perubahan yang signifikan dari rata-rata nilai yang didapatkan oleh
responden.

Tabel 6. Kumulatif hasil pretest dan post test


N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Statistic Statistic Statistic Statistic Std. Error Statistic
Kumulatif pre test 66 33.3 100.0 71.971 2.1024 17.0803
Kumulatif post test 66 66.7 100.0 93.430 1.3405 10.8905

Rata-rata nilai dari total 66 responden pada pretest sebelum pemberian materi dan
sosialisasi adalah 71.9%. Secara umum hal ini menunjukkan bahwa rata-rata
responden dapat menjawab 4 dari 6 pertanyaan dengan benar. Pada pretest, nilai
terendah yaitu 33.3% (hanya 2 jawaban benar dari total 6 soal). Dibandingkan dengan
hasil post test, rata-rata nilai responden adalah 93.4% (terdapat peningkatan 21.5%),
yang menunjukkan bahwa rata-rata responden dapat menjawab seluruh pertanyaan
dengan benar. Pada post test, nilai terendah yang dicapai yaitu 66.7% (4 jawaban
benar dari total 6 soal).

Tabel 7. Persentase perbaikan hasil tes yang dilakukan


Frequency Percent
Valid ya 49 74.2
menurun 0 0.0
tetap 17 25.8
Total 66 100.0

33
Ditemukan juga bahwa setelah pemberian materi, skor yang didapatkan oleh
responden membaik atau metetap (tidak mengalami peningkatan). Dari total 66 orang
responden, sebanyak 74.2% (N: 49 orang) mengalami peningkatan hasil tes
sementara 25.8% (N: 17 orang) tidak mengalami perubahan dalam hasil tes. Tidak
ada responden yang mengalami perburukan dalam hasil tes. Responden yang tidak
mengalami perubahan dalam hasil tes terlihat memiliki tingkat pengetahuan yang
cukup tinggi di mana 47.1% (N:8 orang) menjawab semua pertanyaan dengan benar,
6 orang (35.3%) menjawab 5 dari 6 pertanyaan dengan benar dan hanya 3 orang
dengan 4 dari 6 jawaban benar.

Tabel 8. Detail dari partisipan dengan hasil tes yang tetap


Frequency Percent
Valid 66.7 3 17.6
83.3 6 35.3
100.0 8 47.1
Total 17 100.0

34
Pada program penjaringan ditemukan data sebagai berikut:
Tabel 9. Rekap hasil program penjaringan pada anak sekolah dasar
Jumlah murid Pemberian
N Strata
Nama Sekolah Karies / % Rujuk obat
o L P T UKS
cacing
1 Selabintana 1 37 37 74 25 (33.8%) 25 74 Madya
2 Selabintana 2 28 27 55 43 (78.2%) 43 55 Madya
3 SD 1 Parungseah 20 18 38 12 (31.6%) 12 38 Pratama
4 SD 2 Parungseah 16 18 34 9 (26.5%) 9 34 Pratama
5 SD Parungseah Gede 27 27 54 20 (37.0%) 20 54 Madya
6 SD Selawi 9 8 17 8 (47.1%) 8 17 Pratama
7 SDN Sukajaya 17 9 26 23 (88.5%) 23 26 Pratama
8 SDN Palasari 7 9 16 13 (81.3%) 13 16 Pratama
9 SDN Cisarua 4 9 10 19 17 (89.5%) 17 19 Pratama
10 SDN Nangewer 15 28 43 24 (55.8%) 35 43 Pratama
11 SDN Baksit 7 9 16 14 (87.5%) 14 16 Pratama
12 SDN Sugir 16 18 34 15 (44.1%) 15 34 Pratama
13 SDN Tenjolaya 14 13 27 23 (85.2%) 23 27 Pratama
14 SDN Perbawati 15 25 40 28 (70.0%) 28 40 Pratama
15 SDN Peundeuy 28 30 58 21 (36.2%) 21 58 Pratama
16 SD Selabintana Wetan 17 19 36 28 (77.8%) 28 36 Madya
17 SDN Binong 6 1 7 7 (100%) 7 7 Pratama
18 MI Darunnajah 18 11 29 17 (58.6%) 17 29 Pratama
19 MI Azzaniyah 17 10 27 23 (85.2%) 23 27 Pratama
20 MI Bojong Duren 22 25 47 40 (85.1%) 40 47 Pratama
21 MI Cisarua GD 55 51 106 80 (75.5%) 80 106 Pratama
22 MI Nyangsang 15 8 23 20 (86.9%) 20 23 Pratama
Jumlah 415 411 826 521 (63.1%) 521 826

1. Terdapat total 826 anak kelas 1 SD dari total 22 sekolah dasar di wilayah
kerja puskesmas Karawang.
2. Seluruh anak yang menjalani program penjaringan memiliki status kebugaran
jasmani yang tergolong baik dan tidak ada yang menggunakan alat bantu
dalam beraktivitas.
3. Karies merupakan permasalahan kesehatan utama yang dialami oleh murid-
murid kelas 1 SD yang menjalani penjaringan dengan total 521 siswa
(63.1%). Sekolah yang memerlukan perhatian mengenai masalah kesehatan
ini antara lain SDN Binong dengan 100% murid mengalami karies (7 siswa),
MI Cisarua GD dengan 75.5% (80 dari 106 siswa), dan MI Bojong Duren
dengan 85.1% (40 dari total 47 siswa). Seluruh kasus yang dirujuk merupakan
kasus karies.

35
4. Sebagian besar UKS di sekolah dasar memiliki strata Pratama (77.3%).

36
Pada program POPM ditemukan data-data sebagai berikut:
Tabel 10. Rekapitulasi program POPM pada anak balita, pra-sekolah dan anak sekolah dasar.

Obat Jumlah obat yang diterima Jumlah obat yang digunakan Sisa
Albendazole (400mg) 7535 7374 161

Sasaran Cakupan
Persentase
No Nama desa 1-4 tahun 5-6 tahun 7-12 tahun 1-4 tahun 5-6 tahun 7-12 tahun
Total Total cakupan POPM
total L P Total L P Total L P Total L P Total L P Total L P
1 Karawang 1070 217 101 116 225 132 93 578 288 290 907 121 69 52 237 124 113 549 273 276 85%
2 Sudajaya Girang 1340 378 167 211 266 139 12 746 373 373 1150 273 138 13 203 105 98 674 330 344 86%
7 5
3 Warnasari 1039 369 193 176 129 77 52 541 265 276 934 326 154 17 104 63 41 504 245 259 90%
2
4 Parungseah 1948 440 212 228 318 165 15 1190 617 573 1740 339 172 16 245 123 122 1156 597 559 89%
3 7
5 Sukajaya 1689 316 151 165 239 127 11 1134 576 558 1574 249 147 10 200 102 98 1125 570 555 93%
2 2
6 Perbawati 1169 197 101 96 303 148 15 669 359 310 1069 168 76 92 243 111 132 658 354 304 91%
5
Jumlah 8255 1917 925 992 1480 788 69 4858 2478 2380 7374 1476 756 72 1232 628 604 4666 2369 229 89%
2 0 7

1. Terdapat total 7535 butir obat jenis Albendazole 400 mg (tablet kunyah) untuk program POPM di wilayah kerja
puskesmas Karawang. Dari seluruh obat yang diterima, 7374 digunakan sehingga tersisa 161 butir obat.
2. Terdapat total 8255 jiwa anak usia balita, pra-sekolah dan anak sekolah dasar di wilayah kerja puskesmas
Karawang yang menjadi target program POPM. Dari keseluruhan anak-anak tersebut, program POPM puskesmas
Karawang berhasil mencakup 7374 jiwa dengan angka cakupan sebesar 89%.

37
3. Cakupan tertinggi dicapai pada desa Sukajaya dengan total cakupan sebesar 93% dan terendah pada desa Karawang
yaitu sebesar 85%.

38
BAB V
DISKUSI

Berdasarkan Permenkes RI No.15 tahun 2017, diketahui bahwa infeksi cacing


masih menjadi salah satu masalah yang dihadapi oleh Indonesia. Prevalensi dari infeksi
cacing di Indonesia sendiri masih tergolong cukup tinggi dan beragam dari satu daerah ke
daerah lain dengan kisaran antara 2,2% - 96,3%. Tidak adanya data yang lengkap mengenai
prevalensi dari infeksi cacing di Indonesia membuat pemerintah tidak dapat menentukan
daerah yang endemis infeksic cacing. Hal ini mendorong dilakukannya program POPM
yang dilaksanakan secara umum di seluruh daerah Indonesia. Tetapi seperti yang telah
dijabarkan di atas bahwa terapi farmakologis prreventif sendiri tidak dapat mengurangi
angka infeksi cacing dengan efektif sehingga dibutuhkan langkah preventif lain yaitu
melalui promosi kesehatan (melalui pentuluhan). Dari evaluasi yang telah dilakukan pada
pretest dan post test ditemukan beberapa masalah seperti yang telah disebutkan di atas. Hal-
hal yang dapat menjadi bahan evaluasi antara lain:
1. Secara umum dapat terlihat bahwa pengetahuan dasar responden masih kurang
dibandingkan dengan post test, yaitu secara rata-rata responden hanya dapat
menjawab sekitar 4 pertanyaan dengan benar dari seluruh 6 pertanyaan yang ada.
Hal ini menjadi salah satu masalah karena untuk pemberantasan infeksi cacing,
dibutuhkan proses yang terintegrasi antara pencegahan dengan perubahan gaya
hidup dan terapi preventif farmakologis. Sebuah studi yang dilakukan oleh Quihui
di Meksiko menemukan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat berpengaruh
terhadap angka infeksi cacing yang dialami oleh anak-anak di daerah tersebut. Studi
tersebut menemukan bahwa anak-anak yang berada pada kelompok masyarakat
dengan tingkat pengetahuan yang rendah memiliki risiko 6 kali lipat untuk
mengalami infeksi cacing.16 Ini membuktikan bahwa faktor pengetahuan memegang
peranan yang cukup vital dalam usaha mengurangi angka infeksi cacing. Pada post
test ditemukan bahwa terdapat peningkatan yang signifikan dalam hasil tes yang

39
dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian materi dengan media presentasi
aplikatif dan efektif dalam menyampaikan materi kepada responden. Pada post-test
secara rata-rata responden dapat menjawab seluruh pertanyaan dengan benar.
2. Pada pretest yang dilakukan terhadap tenaga pengajar yang meliputi guru PAUD,
TK, SD, dan MI (dalam kondisi responden belum menerima materi yang diberikan)
ditemukan bahwa lebih dari separuh responden (56.1%, N:37) tidak mengetahui
mengenai media utama penyebaran infeksi cacing. Hal ini menjadi suatu masalah
dikarenakan dalam proses pemberantasan infeksi cacing tidak hanya dapat
bergantung pada pemberian obat pencegahan saja. Dibutuhkan proses yang
terintergrasi antara usaha pencegahan personal, lingkungan dan pemberian obat.
Dalam hal ini, responden (guru-guru) diharapkan dapat mengajarkan kepada anak
muridnya tentang pencegahan infeksi cacing dengan tidak bermain tanah atau
mencuci tangan setiap kali selesai bermain di tanah. Dari grafik yang telah
disediakan sebelumnya terlihat sebagian besar responden yang menjawab dengan
keliru memilih makanan sebagai media penyebaran. Mungkin pilihan makanan
tidak dapat dikatakan salah total, namun apabila pengetahuan para responden hanya
terbatas pada konsep tersebut, maka yang dipikirkan hanya bahwa pencegahan
dapat dilakukan dengan makan makanan yang dimasak dengan matang. Hal yang
perlu diketahui adalah bahwa masakan yang sudah matang sekalipun dapat
terinfeksi apabila seseorang yang membawa telur cacing tidak mencuci tangan
sebelum makan.
3. Selain media penyebaran infeksi cacing, ditemukan pula bahwa hampir separuh dari
responden menjawab salah dalam hal pengetahuan mengenai gejala dari infeksi
cacing (40.9%, N:27). Melihat distribusi jawaban dari responden, dapat terlihat
bahwa pengetahuan responden baik tentang gejala awal maupun gejala lanjut infeksi
cacing masih kurang. Hal ini membuat kesadaran dalam mendeteksi gejala cacingan
dapat menjadi terlambat sehingga juga dapat mempengaruhi cepat lambatnya
seorang anak mendapatkan pertolongan oleh dokter. Sebanyak 16.7% responden

40
menjawab tidak nafsu makan sebagai gejala biasa yang tidak termasuk dalam gejala
infeksi cacing.
4. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa pengetahuan responden dapat tergolong
kurang dalam hal pencegahan, yang dapat teramati juga pada soal nomor 4 di mana
terdapat sebanyak 37.9% responden yang menjawab dengan keliru. Pertanyaan
nomor 4 menilai pengetahuan responden tentang organ tubuh yang paling sering
menjadi tempat tersembunyinya telur cacing. Sebagian besar jawaban salah memilih
kulit dan telapak tangan, yang dapat mengakibatkan kekeliruan dalam hal
pencegahan. Seperti yang telah diketahui bahwa salah satu cara pencegahan adalah
dengan menjaga kebersihan melalui cuci tangan. Apabila konsep yang dipegang
demikian, maka proses cuci tangan menjadi tidak terfokus pada kuku jari yang
justru menjadi salah satu bagian tubuh yang paling sering terlewatkan (atau tidak
dibersihkan dengan lebih seksama).
5. Masih terdapat responden yang belum mengetahui tentang program POPM oleh
pemerintah. Sebagian besar jawaban salah yang diberikan oleh responden adalah
bahwa cacingan dapat dicegah dengan pemberian vaksin. Meskipun tidak
memberikan dampak yang tinggi, pengetahuan yang salah ini dapat mengakibatkan
kebingungan pada masyarakat. Hal ini mendukung pernyataan bahwa untuk ke
depannya masih diperlukan sosialisasi yang lebih giat lagi mengenai program ini.
6. Mengevaluasi hasil dari post test yang dilakukan setelah pemberian materi,
ditemukan peningkatan yang signifikan dari rata-rata nilai responden yaitu sebanyak
21.5% dari 71.9% menjadi 93.4%. Hal ini menunjukkan terdapatnya peningkatan
dalam tingkat pemahaman responden terhadap topik yang diberikan. Soal dengan
persentase jawaban salah yaitu soal nomor 2 mengenai gejala cacing yaitu 84.8%
diikuti oleh soal nomor 4 mengenai organ tubuh tersering yang menjadi tempat
tersimpannya telur cacing dengan angka keberhasilan 87.9%. Kekeliruan dalam
pemahaman ini bisa saja disebabkan oleh gejala cacingan sendiri yang tidak terlalu
jelas (cacingan tidak memiliki gejala yang khas selain keluarnya cacing dari anus)

41
dan sulit dibedakan dari gejala penyakit lain yang secara umum lebih berbahaya
dibandingkan dengan cacingan. Kembali lagi jika kekeliruan ini dibiarkan akan
menyebabkan kesalahan dalam memahami konsep prevensi yang seharusnya
diterapkan.
7. Pada post test terdapat 1 hal penting yang perlu menjadi perhatian yaitu mengenai
soal nomor 2 yang menanyakan mengenai gejala dari cacingan. Secara umum
memang terdapat penurunan jumlah jawaban yang salah dari 40.9% menjadi 15.1%.
Tetapi, terdapat perubahan pada persentase jawaban yang salah di mana sebelumnya
mayoritas responden yang memilih jawaban salah umumnya memilih pilihan A
(tidak nafsu makan) dan C (penyumbatan usus) dan setelah post test justru
mayoritas responden yang salah memilih jawaban B (lemas dan tidak bertenaga). Ini
mengindikasikan terdapatnya kekurangan dalam hal penyampaian materi sehingga
terdapat beberapa responden yang tidak dapat memilih dengan tepat. Dengan
pengulangan penyampaian materi, diharapkan untuk selanjutnya kekurangan ini
dapat diminimalisir.

Pada program penjaringan, terjaring sebanyak 826 siswa kelas 1 SD. Pada program
penjaringan ini, dilakukan berbagai pemeriksaan mulai dari kebersihan kuku dan tangan
hingga masalah kesehatan yang ada. Secara umum, tingkat kebersihan tangan dan kuku
anak-anak kelas 1 SD yang menjalani program penjaringan dapat dikatakan baik dengan
tingkat kebugaran jasmani secara umum baik. Masalah kesehatan utama yang dihadapi
yaitu karies dental yang masih ditemukan pada 521 (63.1%) siswa dari jumlah keseluruhan.

Program POPM yang telah dilakukan puskesmas Karawang dapat digolongkan


berhasil karena jumlah capaian yang terwujud yaitu 89%, melebihi target sasaran yang
ditetapkan oleh pemerintah yaitu 75%. Adapun beberapa kendala yang ditemui dalam
pelaksanaan program POPM ini antara lain:

42
1. Terdapat beberapa sekolah (Terutama PAUD) yang siswanya telah menerima obat
cacing dalam kurun waktu kurang dari 6 bulan sebelum dilakukannya program
POPM ini. Beberapa sekolah bekerja sama dengan perusahaan obat cacing sebagai
sponsor dalam salah satu acaranya sehingga sebelum program POPM, sudah
dilakukan pembagian obat pencegahan secara massal di beberapa sekolah. Hal ini
mungkin dapat menjadi evaluasi untuk tahun depan bahwa pihak sekolah
diinformasikan mengenai adanya program POPM yang akan dilakukan rutin 1 tahun
sekali selama 5 tahun agar jadwal dari POPM sendiri teratur dan seragam.
2. Terdapat penolakan dari beberapa murid. Hal ini dikarenakan beberapa orang tua
yang menolak pemberian obat cacing. Alasan yang diberikan adalah
ketidakpercayaan terhadap obat, takut akan efek samping yang ditimbulkan oleh
obat dan tradisi keluarga yang menggunakan herbal dibandingkan zat kimia (obat).
Permasalahan ini timbul umumnya disebabkan oleh pengetahuan masyarakat yang
masih kurang tentang obat. Beberapa hal yang dapat dijadikan evaluasi antara lain:
- Sosialisasi dari program POPM yang masih kurang terutama pada
masyarakat awam. Survey lapangan yang dilakukan oleh petugas
menunjukkan bahwa terdapat orang tua murid yang tidak mengetahui
tentang program POPM ini. Hal ini dapat diperbaiki melalui koordinasi
dengan pejabat desa masing-masing untuk membantu dalam sosialisasi
program POPM.
- Pengetahuan masyarakat umum mengenai pemberian obat cacing yang
masih kurang. Hal ini ditunjukkan dengan masih adanya reaksi penolakan
dari beberapa orang tua murid terhadap pemberian obat. Hal ini dapat
diperbaiki dengan komunikasi yang lebih efektif dengan pihak keluarga
mengenai manfaat yang dapat diberikan melalui program pemberian obat
ini, dan bahwa tidak semua obat menimbulkan efek samping yang berat
(dalam hal ini Albendazole contohnya memiliki efek samping yang relatif

43
lebih ringan). Komunikasi ini dapat dilakukan dengan bantuan beberapa
media seperti gambar atau video.

44
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Secara umum, infeksi cacing masih menjadi masalah yang serius di Indonesia.
Belum terdapatnya pendataan yang komprehensif menyebabkan data prevalensi yang
tidak lengkap. Akibatnya, pemerintah tidak dapat memusatkan program prevensi pada
daerah yang digolongkan endemis infeksi cacing. Untuk mencapai tujuan nasional
dalam mengurangi angka infeksi cacing, dibutuhkan usaha yang terintegrasi antara
langkah prevensi yang termasuk di dalamnya promosi kesehatan individu, lingkungan
dan kemopreventif dengan langkah kuratif serta langkah rehabilitatif.
Melalui program mini project yang telah dilakukan dalam mengevaluasi
pengetahuan guru-guru PAUD, TK, SD dan MI di wilayah kerja puskesmas Karawang,
ditemukan bahwa pengetahuan responden masih kurang dalam hal pengetahuan umum
infeksi cacing (media penyebaran dan gejala) serta tentang adanya program pencegahan
dari pemerintah. Hal ini mencerminkan masih kurangnya sosialisasi pada masyarakat
baik mengenai infeksi cacing ataupun terdapatnya program nasional tersebut.
Pemberian materi melalui media multimedia (presentasi) dapat menjadi salah satu cara
yang efektif dalam memberikan materi tersebut kepada masyarakat yang terbukti dari
peningkatan hasil post test dibandingkan dengan pretest.
Pada program penjaringan ditemukan bahwa siswa SD 1 di wilayah kerja
puskesmas Karawang memiliki tingkat kebugaran jasmani yang secara umum baik,
dengan tingkat kebersihan tangan dan kuku yang baik. Masalah kesehatan utama yang
menjadi masalah saat ini adalah karies yang ditemukan pada 62.1% anak. Sedangkan
program POPM yang dilakukan puskesmas Karawang dapat tergolong sukses dengan
angka 89%. Beberapa masalah yang masih dihadapi antara lain masih adanya penolakan
dari beberapa orang tua murid dan kurangnya koordinasi dan sosialisasi program ini
pada sekolah-sekolah yang ada. Dengan adanya koordinasi yang lebih baik antara

45
puskesmas dengan pihak sekolah dan perangkat desa, maka ke depannya program ini
dapat berjalan dengan lebih baik lagi.

B. Saran
Terdapat beberapa saran dan masukan yang dapat diberikan untuk pencapaian
program yang lebih baik di masa depan antara lain:
1. Meningkatkan koordinasi dan komunikasi yang lebih efektif dengan
sekolah-sekolah yang ada di wilayah kerja puskesmas Karawang.
Komunikasi ini dapat dilakukan untuk membangun kerja sama antara
puskesmas dengan sekolah dan perangkat desa untuk sosialisasi program
POPM. Program POPM ini akan dilakukan selama 5 tahun berturut-turut.
Untuk itu diharapkan perangkat desa dan sekolah dapat mendukung
keberhasilan program ini dengan meneruskan informasi kepada orang tua
murid. Dengan adanya komunikasi yang lebih efektif, diharapkan respon
penolakan yang diberikan juga menurun.
2. Meningkatkan frekuensi pemberian materi kepada masyarakat. Pada
program ini telah dilakukan pemberian materi sebanyak 1 kali kepada guru-
guru sekolah. Melalui evaluasi ditemukan bahwa penyampaian materi
melalui media presentasi efektif dalam menyampaikan informasi. Namun
melihat tingkat keberhasilan yang belum mencapai 100%, kemungkinan
dibutuhkan lebih dari 1 sesi presentasi. Sasaran penyampaian materi juga
dapat diperluas dari guru sekolah menjadi masyarakat awam karena terlihat
pengetahuan dasar mengenai media penyebaran dan gejala infeksi cacing
masih kurang.
3. Pada program penjaringan, masalah utama yang digaris bawahi adalah
jumlah karies yang masih tinggi. Untuk itu disarankan untuk lebih
meningkatkan promosi kesehatan mengenai kesehatan mulut dan gigi. Hal
ini dapat dimulai dengan penyampaian materi dengan media presentasi

46
seperti yang telah dilakukan sebelumnya atau dengan melakukan
pemeriksaan secara berkala pada anak-anak sekolah jika memungkinkan.
4. Melakukan pendataan terhadap anak-anak yang dicurigai menderita
cacingan dan merujuk ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan
penunjang konfirmatif. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan data yang
komprehensif mengenai prevalensi dari cacingan di wilayah kerja
puskesmas Karawang yang juga dapat memberikan kontribusi data nasional.
Jika prevalensi detail tersedia, maka akan lebih mudah bagi puskesmas
untuk mengatur prioritas dari program kerja yang akan dikerjakan.

47
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. WHO fact sheets: Soil-transmitted helminth infections.


Geneva: World Health Organization; 2017.
2. Salam N, Azam S. Prevalence and distribution of soil-transmitted helminth
infections in India. BMC Public Health. 2017;17(1):201.
3. Brooker S, Clements AC a, Bundy D a P. Global epidemiology , ecology and control
of soil-transmitted helminth infections. Adv Parasitol. 2007;62(5):1–33.
4. Depkes. PERMENKES RI No.15/MenKes/Per/III/2017. Jakarta: Depkes RI; 2017.
5. Hairani B, Waris L, Juhariyah. Prevalence of soil-transmitted helminths ( sth ) in
primary school children in subdistrict of Malinau Kota , District of Malinau , East
Kalimantan Province Prevalensi soil transmitted helminth ( sth ) pada anak sekolah
dasar di Kecamatan Malinau Kota Kabu. J Buski. 2014;5(1):43–8.
6. Scott JD, Gretch DR. Efficacy of current drugs against soil-transmitted helminth
infections. JAMA. 2008;299(16):1937–48.
7. Wobo SOS, Ashade AA, Mafiana CF. Ascariasis and its impact in rural communities
near Abeokuta, Nigeria. Asset. 2007;6:152–62.
8. Campbell SJ, Nery S V., D’Este CA, Gray DJ, McCarthy JS, Traub RJ, et al. Water,
sanitation and hygiene related risk factors for soil-transmitted helminth and Giardia
duodenalis infections in rural communities in Timor-Leste. Int J Parasitol.
2016;46(12):771–9.
9. Menzies SK, Rodriguez A, Chico M, Sandoval C, Broncano N, Guadalupe I, et al.
Risk Factors for Soil-Transmitted Helminth Infections during the First 3 Years of
Life in the Tropics; Findings from a Birth Cohort. PLoS Negl Trop Dis. 2014;8(2).
10. Jourdan PM, Lamberton PHL, Fenwick A, Addiss DG. Soil-transmitted helminth
infections. Lancet. 2017;6736(17):1–14.
11. Knopp S, Mgeni AF, Khamis IS, Steinmann P, Stothard JR, Rollinson D, et al.
Diagnosis of soil-transmitted helminths in the era of preventive chemotherapy:

48
Effect of multiple stool sampling and use of different diagnostic techniques. PLoS
Negl Trop Dis. 2008;2(11).
12. Nikolay B, Brooker SJ, Pullan RL. Sensitivity of diagnostic tests for human soil-
transmitted helminth infections: A meta-analysis in the absence of a true gold
standard. Int J Parasitol. 2014;44(11):765–74.
13. O’Connell EM, Nutman TB. Review article: Molecular diagnostics for soil-
transmitted helminths. Am J Trop Med Hyg. 2016;95(3):508–14.
14. Pilotte N, Papaiakovou M, Grant JR, Bierwert LA, Llewellyn S, McCarthy JS, et al.
Improved PCR-Based Detection of Soil Transmitted Helminth Infections Using a
Next-Generation Sequencing Approach to Assay Design. PLoS Negl Trop Dis.
2016;10(3):1–18.
15. Zerdo Z, Yohanes T, Tariku B. Soil-Transmitted Helminth Reinfection and
Associated Risk Factors among School-Age Children in Chencha District, Southern
Ethiopia: A Cross-Sectional Study. J Parasitol Res. 2016;2016.
16. Quihui L, Valencia ME, Crompton DWT, Phillips S, Hagan P, Morales G, et al. Role
of the employment status and education of mothers in the prevalence of intestinal
parasitic infections in Mexican rural schoolchildren. BMC Public Health.
2006;6(1):225.

49
LAMPIRAN

Quisioner pre-test / post test pemberian materi Infeksi Cacing

1. Cacingan ditularkan melalui:


a. Kontak dari kulit ke kulit
b. Tanah
c. Udara
d. Makanan
2. Berikut adalah gejala dari cacingan kecuali:
a. Tidak nafsu makan
b. Lemas, tidak bertenaga
c. Penyumbatan usus
d. Buang air besar berdarah
3. Berapa kali obat cacing diminum untuk pencegahan cacingan?
a. 1-2 kali per tahun
b. 1-2 kali per bulan
c. 1-2 kali per minggu
d. 1-2 kali per hari selama 1 minggu
4. Penularan cacingan terjadi karena telur cacing dapat dengan mudah menempel pada:
a. Kulit
b. Telapak tangan
c. Kuku jari
d. Kaki
5. Di bawah ini merupakan hal yang paling penting dilakukan dalam pencegahan cacingan:
a. Minum obat cacing secara rutin
b. Memeriksakan diri ke dokter secara rutin
c. Perilaku hidup bersih dengan cuci tangan sebelum makan
d. Mengikuti kegiatan pencegahan dari pemerintah dengan menerima vaksin
6. Berikut adalah program pemerintah dalam pencegahan cacingan yaitu:
a. Pemberian obat pencegahan secara massal
b. Pemberian vaksin pencegahan secara massal
c. Pemberian imunisasi pencegahan secara massal
d. Pemberian alat pelindung pencegahan secara massal

50

Anda mungkin juga menyukai