Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI 2

PRAKTIKUM V
“ASMA”

OLEH : (KLP 3/A6A)

1. I Gusti Agung Putu Yudhayana (211021015)


2. I Kadek Diki Dwipayana (211021016)
3. I Komang Agus Merta Wira Jaya (211021017)
4. I Made Indra Prayoga (211021018)
5. I Made Wiyasa Teja Kusuma (211021019)
6. Ida Ayu Ketut Apriliyanti Dewi (211021021)
7. Ida Ayu Putu Dwi Ari Sunariyasih (211021023)
Tanggal Praktikum : Sabtu, 17 Juni 2023
Nama Dosen : apt. Ni Made Maharianingsih, S.Farm., M.Farm.
Nama Asisten Dosen : Ni Made Sri Hardani

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
DENPASAR
2023
PRAKTIKUM V
ASMA
I. TUJUAN

1.1. Mengetahui definisi Asma


1.2. Mengetahui patogenesis Asma
1.3. Mengetahui klasifikasi Asma
1.4. Mengetahui tatalaksana penyakit Asma
1.5. Dapat menyelesaikan kasus terkait Asma secara mandiri
dengan menggunakan metode SOAP

II. DASAR TEORI


2.1. DEFINISI ASMA

Asma adalah gangguan pada bronkus dan trakhea yang memiliki


reaksi berlebihan terhadap stimulus tertentu dan bersifat reversibel. Definisi
asma juga disebutkan oleh Reeves dalam buku Padila yang menyatakan
bahwa asma adalah obstruksi pada bronkus yang mengalami inflamasi dan
memiliki respon yang sensitif serta bersifat reversible (Padila, 2015).

Asma merupakan penyakit kronis yang mengganggu jalan napas


akibat adanya inflamasi dan pembengkakan dinding dalam saluran napas
sehingga menjadi sangat sensitif terhadap masuknya benda asing yang
menimbulkan reaksi berlebihan. Akibatnya saluran nafas menyempit dan
jumlah udara yang masuk dalam paru-paru berkurang. Hal ini menyebabkan
timbulnya napas berbunyi (wheezing), batuk-batuk, dada sesak, dan gangguan
bernapas terutama pada malam hari dan dini hari (Soedarto. 2017).

Alergen adalah zat yang menyebabkan gejala penyakit asma dengan


cara memunculkan reaksi alergi. Alergen penyakit asma yang umum di
antaranya: serbuk sari (bunga), hewan, dan tungau debu rumah. Iritan adalah
zat yang menyebabkan gejala penyakit asma dengan cara mengganggu saluran
pernapasan. Iritan penyakit asma yang umum di antaranya: udara dingin, asap
rokok, dan asap sisa pembakaran bahan kimia.

2.2. KELASIFIKASI ASMA

Menurut GINA, tahun 2017 Klasifikasi asma berdasarkan tingkat


keparahannya dibagi menjadi empat yaitu :

 Step 1
(Intermitten) Gejala perhari ≤ 2X dalam seminggu. Nilai PEF normal
dalam kondisi serangan asma. Exacerbasi: Bisa berjalan ketika
bernapas, bisa mengucapkan kalimat penuh. Respiratory Rate (RR)
meningkat. Biasanya tidak ada gejala retraksi dinding dada ketika
bernapas. Gejala malam ≤ 2X dalam sebulan. Fungsi paru PEF atau
PEV 1 Variabel PEF ≥ 80% atau < 20%.
 Step 2 (Mild Intermitten)
Gejala perhari ≥ 2X dalam seminggu, tapi tidak 1X sehari. Serangan
asma diakibatkan oleh aktivitas. Exaserbasi: membaik ketika duduk,
bisa mengucapkan kalimat frase, RR meningkat, kadang-kadang
menggunakan retraksi dinding dada ketika bernapas. Gejala malam ≥
2X dalam sebulan. Fungsi paru PEF tau PEV1 Variabel PEF ≥ 80%
ATAU 20%-30%.
 Step
 Steep 3 (Moderate Persistent)
Gejala perhari bisa setiap hari, serangan asma diakibatkan oleh
aktivitas. Exaserbasi: Duduk tegak ketika bernapas, hanya dapat
mengucapkan kata per kata, RR 30x/menit, biasanya menggunakan
retraksi dinding dada ketika bernapas. Gejala malam ≥ 1X dalam 12
seminggu. Fungsi paru PEF atau PEV1 Variabel PEF 60%-80% atau >
30%
 Step 4 (Severe Persistent)
Gejala perhari, sering dan aktivitas fisik terbatas. Eksacerbasi:
Abnormal pergerakan thoracoabdominal. Gejala malam sering
muncul. Fungsi paru PEF atau PEV1 Variabel PEF ≤60% atau >30%.

Menurut Francis (2008), asma akut dapat diklarifikasikan kedalam tiga


kelompok sebagai berikut:

a. Ringan sampai sedang: mengi atau batuk tanpa distress berat, dapat
berbicara atau mengobrol secara normal, nilai aliran pendek lebih dari
50% nilai terbaik.
b. Sedang sampai berat: mengi atau batuk dengan distress, berbicara dalam
kalimat atau frasa pendek, nilai aliran puncak kurang dari 50% dan
beberapa derajat saturasi oksigen jika diukur dengan oksimetri nadi.
Didapatkan nilai saturasi 90% - 95% jika diukur dengan oksimetri nadi
perifer.
c. Berat, mengancam nyawa: Distress pernapasan berat, kesulitan berbicara,
sianosis, lelah dan bingung, usaha respirasi buruk, sedikit mengi (silent
chest) dan suara napas lemah, takipnea, bradikardi, hipotensi, aliran
puncak kurang dari 30% angka prediksi atau angka terbaik, saturasi
oksigen kurang dari 90%. Jika diukur dengan oksimetri perifer.

2.3. PATOFISIOLOGI

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara


lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut.
Asma dapat terjadi dalam 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom.
Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe 1 (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat.
Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk
sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut
atopi. Pada asma alergi,
antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada intestitial paru,
yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil.

Bila seseorang menghirup allergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi


IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegenerasi
mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang
dikeluarkan adalah histamin, leukotrein, faktor kemotaktik eosinofil dan
bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding
bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus,
sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas.

Pada alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-
15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan
respon terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja merupakan
respon terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung
pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam
pajanan alergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang
sampai beberapa minggu.

Sel-sel eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC)
merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma. Pada jalur saraf otonom,
inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast dan makrofag alveolar, nervus
vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan
reflek bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast
dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan
memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan
reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada
hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2.

Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui reflek saraf. Ujung
saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neuropeptida A dan Calcito-min Gene-
Related
Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang dapat menyebabkan terjadinya
bronkokontriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan
aktivitas sel-sel inflamasi. Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma,
besarnya hiperaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung,
yang merupakan parameter objektif beratnya hiperaktivitas bronkus. Berbagai
cara digunakan untuk mengukur hiperaktivitas bronkus tersebut, antara lain
dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, maupun inhalasi zat
non spesifik (Rengganis, 2018).

2.4. DIAGNOSIS
 Tanda dan Gejala Asma

Tanda dan gejala yang muncul yaitu hipoventilasi, dispnea, wheezing


(mengi), pusing, perasaan yang merangsang, sakit kepala, nausea, peningkatan
napas pendek, kecemasan, diaforesis dan kelelahan. Hiperventilasi merupakan
salah satu gejala awal dari asma. Kemudian sesak napas parah dengan
ekspirasi memanjang disertai wheezing (pada apeks dan hilus). Gejala utama
yang sering muncul adalah dispnea, batuk dan mengi. Mengi sering dianggap
salah satu gejala yang ditandai selalu ada apabila serangan asma muncul
(Utama, 2018). Tanda dan gejala umum asma meliputi, antara lain :

a. Batuk dengan ataupun tanpa produksi sputum (dahak).


b. Kulit diantara tulang rusuk tampak tertarik ke dalam saat bernapas
(retraksi interkostalis).
c. Sesak napas yang semakin memburuk bila disertai dengan latihan atau
aktivitas
d. Wheezing (mengi) yang muncul secara episodik dalam periode tanpa
gejala lain, lebih buruk pada malam hari atau pagi hari, akan menghilang
dengan sendirinya, akan membaik bila minum obat yang membuka
saluran pernapasan (bronkodilator), semakin buruk saat menghirup udara
dingin, semakin buruk saat melakukan aktivitas fisik, semakin buruk bila
disertai
refluks, biasanya muncul secara tiba-tiba. Sedangkan tanda dan gejala
yang berat pada asma, antara lain:
a. Bibir dan wajah tampak kebiruan.
b. Penurunan tingkat kewaspadaan seperti mengantuk berat atau
kebingungan.
c. Kesulitan bernapas yang ekstrem.
d. Denyut nadi meningkat.
e. Timbul kecemasan berat karena sulit bernapas.
f. Berkeringat

Beberapa tanda dan gejala lain yang mungkin menyertai asma, antara
lain:

a. Pola pernapasan abnormal seperti perlu menarik dua tarikan napas


untuk menghirup napas dalam-dalam.
b. Kadang-kadang terjadi henti napas.
c. Nyeri dada dan rasa sesak di dada (Priyatna, 2012)
 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada pasien asma dapat dilakukan berdasarkan


manifestasi klinis yang terlihat, riwayat, pemeriksaan fisik, dan tes
laboratorium (Sujono riyadi & Sukarmin, 2019). Adapun pemeriksaan
penunjang yang dilakukan menurut (Wahid Suprapto, 2013) adalah:

1) Tes Fungsi Paru

Menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversible, cara tepat diagnosis


asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan
spirometri dilakukan sebelum atau sesudah pemberian aerosol bronkodilator
(inhaler atau nebulizer), peningkatan FEV1 atau FCV sebanyak lebih dari
20% menunjukkan diagnosis asma. Dalam spirometry akan mendeteksi:

a. Penurunan forced expiratory volume (FEV)


b. Penurunan paek expiratory flow rate (PEFR)
c. Kehilangan forced vital capacity (FVC) d) Kehilangan inspiratory
capacity (IC)
2) Pemeriksaan radiologi

Pada waktu serangan menunjukkan gambaran hiperinflamasi paru yakni


radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta
diagfragma yang menurun. Pada penderita dengan komplikasi terdapat
gambaran sebagai berikut:

a. Bila disertai dengan bronchitis, maka bercak-bercak di hilus akan


bertambah.
b. Bila ada empisema (COPD), gambaran radiolusen semakin bertambah.
c. Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrase paru.
d. Dapat menimbulkan gambaran atelektasis paru.
e. Bila terjadi pneumonia gambarannya adalah radiolusen pada paru.
3) Pemeriksaan Tes Kulit

Dilakukan untuk mencari faktor alergen yang dapat bereaksi positif pada asma
secara spesifik.

1. Elektrokardiografi
a. Terjadi right axis deviation
b. Adanya hipertropo otot jantung Right Bundle Branch Bock
c. Tanda hipoksemia yaitu sinus takikardi, SVES, VES, atau terjadi depresi
segmen ST negatif
4) Scanning paru

Melalui inhilasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan


asma tidak menyeluruh pada paru-paru.

 Pemeriksaan laboratorium
1. Pemeriksaan Sputum Pemeriksaan untuk melihat adanya:
a. Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dan kristal
eosinopil.
b. Spiral curshman, yakni merupakan castcell (sel cetakan) dari cabang
bronkus.
c. Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus
d. Netrofil dan eosinofil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat
mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat muscus plug.
2. Pemeriksaan Darah
a. Analisa Gas Darah pada umumnya normal akan tetapi dapat terjadi
hipoksemia, hipercapnia, atau sianosis.
b. Kadang pada darah terdapat peningkatan SGOT dan LDH
c. Hiponatremia dan kadar leukosit kadang diatas 15.000/mm3 yang
menandakan adanya infeksi. d) Pemeriksaan alergi menunjukkan
peningkatan IgE pada waktu serangan dan menurun pada saat bebas
serangan asma.

2.5. PENATALAKSANAAN
2.5.1. Pengobatan Farmakologi

Terapi farmakologi adalah pengobatan asma dengan memberikan obat-


obatan tertentu untuk meringankan, mencegah, mengurangi atau mengobati
rasa sakit yang ditimbulkan oleh penyakit asma. Derajat asma bervariasi, ada
yang ringan, sedang, dan berat, maka terapinya harus disesuaikan dengan
berat ringannya asma. Asma ringan mungkin cukup diobati pada saat serangan
dan tidak perlu terapi jangka panjang, sedangkan asma yang sedang sampai
berat perlu dikontrol dengan pengobatan jangka panjang untuk mencegah
serangan asma berikutnya (Bull dan Price, 2007). Adapaun obat penunjang
yang diberikan untuk penyakit asma, yaitu:

a. Antihistamin

Antihistamin tidak digunakan sebagai obat utama untuk mengobati


asma, biasanya hanya diberikan pada pasien yang mempunyai riwayat
penyakit
atopik seperti rhinitis alergi. Pemberian antihistamin selama tiga bulan pada
sebagian penderita asma dengan dasar alergi dapat mengurangi gejala asma
(Sundaru, 2018).

b. Antibiotik

Antibiotik hanya diberikan jika serangan asma dicetuskan atau disertai


oleh rangsangan infeksi saluran pernafasan, yang ditandai dengan suhu yang
meninggi. Pemakaian antibiotika tanpa didasari bukti infeksi dapat
menyebabkan meningkatnya insiden resistensi maupun potensi reaksi obat
berlawanan. Antibiotika hanya boleh digunakan untuk pasien yang memiliki
bukti presumtif adanya infeksi misalnya demam, neutrofilia dalam darah, dan
sputum (Sundaru, 2018).

c. Obat Batuk

Batuk adalah suatu refleks pertahanan tubuh untuk mengeluarkan


benda asing dari saluran nafas. Batuk juga melindungi paru dari aspirasi yaitu
masuknya benda asing dari saluran cerna atau saluran nafas bagian atas. Batuk
merupakan salah satu gejala asma dan batuk terjadi karena adanya dahak yang
merangsang saluran nafas. Pada penderita asma produksi dahak berlebihan
dan dahak akan berkurang bila asmanya membaik (MIMS, 2012).

d. Mukolitik dan Ekspektoran

Mukolitik merupakan obat yang dipakai untuk mengencerkan mukus


yang kental, sehingga mudah dieskpektorasi. Mekanisme kerjanya yaitu
dengan cara membuka ikatan gugus sulfidril pada mukoprotein sehingga
menurunkan viskositas mukus. Sedangkan, ekspektoran bekerja dengan cara
merangsang sekresi cairan saluran nafas yang mempermudah perpindahan
dahak dan ekspektorasinya. Tujuan pemberian mukolitik dan ekspektoran
ialah agar penderita asma dapat dengan mudah mengeluarkan dahak (MIMS,
2012).
 Pengobatan Non-Farmakologi
1. Menghindari faktor pencetus

Hal yang paling mungkin dilakukan penderita asma dalam mengurangi


gejala asma adalah menghindari faktor pencetus yang dapat meningkatkan
gejala asma. Faktor pencetus ini dapat berupa makanan, obat-obatan, polusi,
dan sebagainya (GINA, 2006).

2. Pola hidup sehat

Pola hidup sehat sangat dianjurkan dan sangat membantu dalam


pengendalian penyakit asma. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan
pemenuhan nutrisi yang memadai, menghindari stres, dan olahraga atau yang
biasa disebut latihan fisik teratur sesuai toleransi tubuh (Bull dan Price, 2007)

III. ALAT DAN BAHAN


3.1. ALAT
1. Form SOAP
2. Form Medication Record
3. Catatan Minum Obat
4. Kalkulator Scientific
5. Laptop Dan Koneksi Internet

3.2.BAHAN
1. Text Book ( Dipiro,Koda Kimble,DIH,ESC,JNC )
2. Data Nilai Normal Laboratorium
3. Evidence Terkait ( Journal,Systematic Review,Meta Analysis )

IV. KASUS
Ny.NJ, 33 Tahun, mengalami sesak nafas kurang lebih 6 jam yang lalu pasien
mengalami sesak nafas,sesak timbul saat cuaca dingin dan terkena debu,tidak
dipengaruhi oleh aktivitas dan posisi tidur. Pasien dibawa ke UGD RS, dokter
mendiagnosa pasien mengalami serangan asma. Mengi ( + ) , batuk berdahak ( + )
berwarna putih dan encer , darah tidak ada. Pasien memiliki Riwayat asma dan alergi
debu/ asap. Dokter meresepkan salbutamol 3 x 2 mg dan ambroxol 15 mg 3 x 1 cth.

4.1. FURTHER INFORMATION REQUIRED (FIR)

No Futher Information Required Jawaban Alasan


1 Berapakah nilai saturasi oksigen 80 Untuk
pasien ? menentukan terapi
yang tepat untuk
pasien
2 Apakah pasien ada alergi obat ? Ada,pasien alergi Untuk
obat memberikan
cotrimoxazole terapi obat yang
sesuai
3 Apakah saat pasien masuk Sudah diberikan Untuk
rumah sakit sudah diberikan menentukan terapi
terapi oksigen ? yang tepat untuk
pasien
4 Apakah sebelumnya pasien Sudah Untuk
sudah pernah minum obat asma mengkonsumsi memberikan
sebelumnya? Karena pasien obat asma terapi obat yang
menginap asma 1 tahun simbicort 2x1 sesuai
sebelumnya hirup
5 Bagimana gejala asma yang Gejala dalam 2 x Untuk mengetahui
dialami pasien seperti berapa sehari derajat asma yang
sering dalam sehari ? dialami pasien
6 Apakah pasien sudah melakukan Iya sudah,dan Untuk
pemeriksaan lab dan melakukan hasil lab sudah menentukan terapi
foto rontgent ? ditampilkan yang tepat kepada
pasien
7 apakah pasien mengalami Iya pasien Untuk
batuk,sesak dan mengi saat mengalami memberikan
malam hari ? sesak,batuk dan pengobatan yang
mengi saat malam sesuai kepada
pasien
8 Berapakah BB dan TB pasien ? BB paien = 40 kg Untuk
TB paisen = 160 menentukan dosis
cm yang tepat kepada
pasien
9 Bagaimana pola hidup pasien ? Pasien tidak Untuk mengetahui
merokok,suami penyebab
pasien yang penyakit penyakit
merokok, tidak pasien
minum alcohol
dan jarang
olahraga
10 Apakah setelah diberikan terapi Sesak mereda dan Untuk
salbutamol dan ambroxol sudah tidak memberikan
kondisi pasien membaik ? menggunakan terapi obat yang
kanul tepat
11 Apakah pasien sudah melakukan Saat ini belum Untuk
pemeriksaan faal paru? Dan ada tetapi terdapat mengetahui
bagaimana hasilnya hasil data 6 bulan kondisi paru
lalu pasien
12 Apakah pasien memiliki Pasien memiliki Untuk
Riwayat penyakit lain? Jika ada Riwayat penyakit memberikan
apakah sudah pernah diterapi ? lain yaitu terapi obat yang
gangguan sesuai
pencernaan,sering
mengalami mual
dan muntah
pasien minum
ranitidine
1 tab saat mual
13 Berapakah TD pasien ? Tekanan darah Untuk
pasien normal menentukan terapi
yang tepat untuk
pasien
14 Apakah keluarga pasien ada Ada Untuk mengetahui
mengalami Riwayat penyakit penyebab
yang sama ? penyakit pasien
V. FORM SOAP

PHARMACEUTICAL CARE

PATIENT PROFILE

Ny. NJ

Jenis Kelamin : Perempuan Tgl. MRS : -

Usia : 33 Tahun Tgl. KRS :

Tinggi badan : 160 cm

Berat badan : 40 kg

Presenting Complaint

Pasien mengalami sesak nafas, sesak timbul saat cuaca dingin dan terkena debu.

Diagnosa kerja : Asma

Diagnosa banding : -

1. Relevant Past Medical History


Ranitidine 1 tab
Symbicort
2xsehari
Drug Allergies: cotrimoxazole

Tanda-tanda Vital Tgl Tgl

Tekanan darah -

Nadi -

Suhu -

RR -

Problem List (Actual Problem)


Medical Pharmaceutical
1 Salbutamol ASMA
2 Ambroxol MUKOLITIK
3 Ranitidine GERD

MEDICATION
No NAMA OBAT INDIKASI DOSISYANG DOSIS TERAPI
DIGUNAKAN (LITERATUR)
1 Sabutamol .Sebagai 3x2 mg Dewasa : 3-4 kali
Bronkodilator sehari 2-4 mg
kerja cepat pada tablet.
penanganan
asma dan PPOK.
2 Ambroxol 15 Sebagai 3x1 cth Dewasa : 30 mg
Mg Mukolitik atau 2-3 kali sehari.
pengencer dahak
untuk gangguan
saluran nafas.

PHARMACEUTICAL PROBLEM

- Subjective (symptom)

Asma: Pasien mengalami sesak nafas, sesak timbul saat cuaca dingin dan terkena
debu, batuk berdahak

Gangguan Pencernaan: memiliki riwayat gangguan pencernaan, sering mengalami


mual dan muntah

- Objective (signs)
ASMA

 Mengi (+)
 Batuk berdahak (+)
(berwarna putih atau encer)
 Saturasi oksigen 80 %, FEV 60%
- Assesment (with evidence)

Problem Terapi Dosis DRP Plan


Medik
Asma Salbutamol 2mg (3x P1.2. Efek Switch terapi
(SABA) sehari) terapi salbutamol oral
obat tidak menjadi
optimal salbutamol
inhaler, dengan
dosis 2,5 mg.
C 2.1.
Bentuk/form
ulasi obat
yang tidak
tepat (untuk
pasien ini
Asma - - P1.3. Gejala Pemberian
(ICS) atau indikasi rekomendasi obat
yang tidak yaitu golongan
diobati ICS (budesonide-
C1.5. Tidak simbicort 2000 µ
ada atau (4ml)
pengobatan
obat tidak
lengkap
terlepas dari
indikasi
yang ada
Batuk Ambroxol 15mg ( 3x Tidak ada Terapi dapat
berdahak 1cth) DRP dilanjutkan
Gangguan Ranitidine Tidak ada Terapi dilanjutkan
Pencernaan DRP

-Plan

1. Salbutamol + budesonide (simbicort)


P (Problem/Population): 100 pasien dengan eksaserbasi asma ringan
hingga sedang, yang dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok A 50 pasien
menerima salbutamol, Kelompok B 50 pasien menerima
budesonide+salbutamol.
I (Intervention): Salbutamol tunggal 2,5 mg
C (Comparator): Budesonide 4ml + salbutamol 2,5 mg
O (Outcome): Setelah 30, 60 dan 90 menit kedua pasien yang diobati
dengan terapi budesonide plus salbutamol dan salbutamol menunjukkan
penurunan PIS (Pulmonary Index Score) yang signifikan (p<0,05)
dibandingkan dengan skor awal mereka. Setelah 30 menit sejak masuk IGD,
pasien yang diobati dengan kombinasi budesonide plus salbutamol
memiliki PIS yang lebih
rendah secara signifikan (5,96±2,23) dibandingkan mereka yang diobati
dengan salbutamol saja (7,32±2,18). Pada akhir 90 menit, terdapat 28 (56%)
pasien yang tersisa di UGD dari kelompok salbutamol dan hanya 14 (28%)
pasien dari kelompok kombinasi dengan perbedaan jumlah pasien antar
kelompok yang signifikan (p<0,05). ). Durasi rata-rata tinggal di UGD
secara signifikan lebih pendek pada pasien yang diobati dengan nebulisasi
budesonide plus salbutamol (p<0,05).

(Amir najim, 2021)

2. Ranitidine
P (Problem/Population) : 48 pasien dengan asma sedang hingga berat
terdaftar dalam studi crossover buta ganda yang dirancang untuk
mengevaluasi efek pengobatan ranitidine, 150 mg dua kali sehari selama
empat minggu, pada refluks gastro-esofagus, kontrol asma, dan reaktivitas
bronkial.
I (Intervention) : Ranitidine 2 x 150 mg sehari
C (Comparator) : -
O (Outcome) : Gejala refluks membaik secara signifikan setelah pengobatan
ranitidin. Pengobatan ranitidine dikaitkan dengan perbaikan sederhana pada
asma nokturnal dan penggunaan obat bronkodilator inhalasi setiap hari tetapi
tidak ada perubahan signifikan dalam reaktivitas bronkial, fungsi paru-paru,
aliran puncak, atau jumlah eosinofil dalam darah. Hasil ini menunjukkan
bahwa pengobatan antirefluks hanya akan menghasilkan perbaikan kecil
dalam pengendalian asma pada pasien asma dengan riwayat refluks
gastroesofagus.
(BR Lindgren et al, 1989)
3. Ambroxol
P (Problem/Population) = Seratus dua puluh pasien asma bronkitis yang
dirawat di rumah sakit kami dari Juni 2017 hingga Agustus 2018 dipilih
sebagai subjek penelitian dan dibagi menjadi kelompok dan kelompok
observasi menurut metode tabel angka kontrol acak, 60 di setiap kelompok.
I (Intervention) = Ambroxol 15mg
C (Comparator) = -
O (Outcome) = Tingkat keefektifan total kelompok observasi adalah 96,7%,
dan kelompok kontrol adalah 73,3%. Efek kelompok kontrol observasi
secara signifikan lebih baik daripada kelompok kontrol, menunjukkan
perbedaan yang signifikan (P<0,05). Untuk pasien bronkitis asma,
penambahan ambroxol pada pengobatan konvensional dapat meningkatkan
efek terapeutik, mempersingkat waktu hilangnya tanda dan gejala klinis, dan
mendorong pemulihan pasien, yang layak untuk diterapkan secara klinis
(Du, X., Zhao, C. 2020)

o MONITORING
Efektifitas:
 ASMA
Asma pasien berkurang setelah pemberian obat. Efek terapeutiknya didasarkan pada
sifat pelemas otot polosnya yang kuat, yang memungkinkan penghambatan
kontraksi otot polos bronkus dan bronkodilatasi. Efek terapi dapat dirasakan setelah
penggunaan beberapa menit dan bertahan 3-5 jam
 GERD
Terjadinya perbaikan kecil dalam pengendalian asma pada pasien asma dengan
riwayat refluks gastroesofagus. setelah pemberian ranitidine pasien tidak merasakan
mual lagi

Efek Samping:

1. Salbutamol
Gemetar pada otot rangka (5%), rangsangan kardiovaskular (3%), dan
hypokalemia. (PDPI, 2013).
2. Symbicort Turbuhaler
Gatal ringan di tenggorokan dan suara serak, infeksi candida (Candidiasis)
di mulut dan/atau tenggorokan, palpitasi, sakit kepal.
3. Ambroxol
Ambroxol memiliki efek samping di antaranya yaitu gangguan pencernaan,
sakit kepala, pusing, berkeringat, rhinorrhoea, lakrimasi dan reaksi alergi
(Kumar, 2014).
4. Ranitidine
Sakitkepala(3%<1%Sakitperut,Agitasi,Alopesia,Kebingungan,Sembelit,Diar
e,Pusing,Reaksi hipersensitivitas,Mual,Muntah

(Medscape, 2021)

o Terapi Non Farmakologi


Asma
Mengenali dan mengontrol faktor-faktor pemicu serangan asma, seperti
alergen (debu, bulu binatang, serbuk sari), polusi udara, infeksi saluran
pernapasan, stres, olahraga berlebihan, atau makanan tertentu.
Hal ini dapat dilakukan dengan cara menjaga kebersihan rumah dan
lingkungan, menghindari kontak dengan alergen, menggunakan masker
saat berada di tempat yang berdebu atau berasap, menjaga daya tahan
tubuh dengan pola hidup sehat, mengelola stres dengan baik, dan
menghindari makanan yang dapat memicu alergi atau refluks
Gerd
1. Meninggikan posisi kepala 15-20 cm saat tidur, untuk mencegah
refluks asam lambung ke esofagus dan saluran pernapasan
2. Menghindari makanan dan minuman yang dapat merangsang GERD,
seperti cokelat, kafein, alkohol, makanan berlemak, asam, pedas, atau
berkarbonasi
3. Mengelola stres dengan baik, karena stres dapat meningkatkan
produksi asam lambung dan memicu serangan asma
VI. PEMBAHASAN

Ny.NJ, 33 Tahun, mengalami sesak nafas kurang lebih 6 jam yang lalu pasien
mengalami sesak nafas,sesak timbul saat cuaca dingin dan terkena debu,tidak
dipengaruhi oleh aktivitas dan posisi tidur. Pasien dibawa ke UGD RS, dokter
mendiagnosa pasien mengalami serangan asma. Mengi ( + ) , batuk berdahak ( + )
berwarna putih dan encer , darah tidak ada. Pasien memiliki Riwayat asma dan alergi
debu/ asap. Dokter meresepkan salbutamol 3 x 2 mg dan ambroxol 15 mg 3 x 1 cth.

Berdasarkan data kasus diatas, dapat dilihat data subyektif dan obyektif dari
pasien Ny.NJ.33 tahun dimana data subyektif yang diperoleh adalah pasien
mengalami sesak nafas kurang lebih 6 jam yang lalu, sesak timbul saat cuaca dingin
dan terkena debu. Pasien juga memiliki Riwayat asma dan alergi debu/ asap.
Kemudian saat masuk rumah sakit dokter mendiagnosis pasien mengalami asma
dengan data obyektif pasien mengalami Mengi ( + ) , batuk berdahak ( + ) berwarna
putih dan encer, tidak ada darah pada dahak. Lalu dokter meresepkan obat salbutamol
3 x 2 mg dan ambroxol 15 mg 3 x 1 cth.

Kemudian saat masuk rumah sakit kadar saturasi oksigen pasien yaitu 80%
dimana menurut literatur saturasi oksigen normal untuk dewasa ada pada rentang
antara 95 – 100%. Sehingga pasien diberikan terapi oksigen nasal kanul namun terapi
oksigen dapat dihentikan hal ini ketika pasien menerima terapi salbutamol keadaan
pasien telah membaik sehingga pasien tidak lagi menggunakan nasal kanul.
Kemudian dari data yang diperoleh setelah dilakukan konsultasi oleh dokter pasien
sebelumnya sudah pernah menggunakan terapi simbicort 2x1 satu kali hirup untuk
terpai asma pasien.

Dari kasus tersebut pasien Ny.NJ, 33 Tahun, mendapatkan beberapa terapi


farmakologi sebagai berikut:

1. Salbutamol
Berdasarkan kasus pasien diberikan terapi salbutamol bentuk tablet. Salbutamol yang
merupakan bronkodilator golongan beta-2 agonis aksi cepat (short acting beta-2
agonist), adalah pilihan lini pertama untuk mengatasi eksaserbasi asma. Reseptor
agonis beta-2, bagian dari golongan Gprotein-coupled reseptor (GPCR), banyak
diekspresikan pada sel-sel otot polos bronkus, dan secara khusus mengikat dan
diaktifkan oleh kelas ligan dikenal sebagai katekolamin, khususnya epinefrin.
Aktivasi reseptor beta-2 agonis mengakibatkan perluasan saluran udara kecil
sehingga reseptor beta-2 agonis digunakan dalam terapi bronkodilator lini pertama
pada asma. Menurut kelompok kami, pemberian salbutamol dalam bentuk tablet oral
belum sesuai atau kurang efektif untuk tindakan pengobatan asma. Sehingga
kelompok kami menyarankan bahwa penggunaan salbutamol tablet oral diganti
dengan salbutamol nebulizer yang lebih efektif untuk mengobati asma. Karena cara
kerja nebulizer adalah dengan mengubah obat asma dalam bentuk cairan ataupun
serbuk menjadi uap, dan mengirimkan obat tersebut ke dalam saluran pernapasan
secara langsung dengan cara dihirup melalui mulut. Dan salbutamol dalam bentuk
nebulizer memiliki efek samping sistemik yang lebih ringan (Cates, 2013).

1. Ambroxol

Peresepan ambroxol pada pasien dilihat dari pasien yang mengalami batuk
berdahak berwarna putih dan encer sehinga peresepan ambroxol sudah benar hal ini
karena ambroxol dapat digunakan dalam pengobatan untuk gangguan saluran
pernafasan seperti bronchitis kronis dan berfungsi mengurangi kekentalan dahak dan
mengeluarkan dari efek batuk( Kumar, 2014)

2. Ranitidine

Peresepan ranitidine pada pasien merujuk pada riwayat penyakit yang dialami
pasien selain asma yakni gangguan pencernaan mual dan muntah sehingga dokter
meresepkan ranitidine untuk mengatasi keluhan pasien tersebut.

3. ICS
Peresepan ICS pada kasus ini bertujuan sebagai terapi control hal ini
dikarenakan obat anti – inflamasi lini pertama untuk asma adalah inhalasi
kortikosteroid atau inhaled corticosteroid (ICS). Pada beberapa pasien dengan gejala
dibutuhkan obat tambahan yaitu bronkodilator yang memberikan efek relaksasi otot
polos saluran pernafasan untuk mengurangi gejala serangan akut tersebut. Obat
golongan b- agonis merupakan bronkodilator yang paling efektif digunakan dalam
asma. Bronkodilator b2-agonis pada semua step dalam guideline terapi asma karena
dapat digunakan sebagai terapi control maupun terapi serangan asma akut ( global
initiative for astma, 2019).

Adapun terapi non farmakologi yang dapat disarankan pada pasien diantaranya:

o Hindari diri dari paparan pemicu asma seperti debu, asap rokok,
hama,dll.
o Usahakan jika dalam ruangan yang memiliki sistem ventilasi yang
baik seperti pembuangan dan pemasukan udara yang baik.

VII. KESIMPULAN

Asma merupakan penyakit kronis yang mengganggu jalan napas akibat


adanya inflamasi dan pembengkakan dinding dalam saluran napas sehingga menjadi
sangat sensitif terhadap masuknya benda asing yang menimbulkan reaksi berlebihan.
Akibatnya saluran nafas menyempit dan jumlah udara yang masuk dalam paru-paru
berkurang.

Klasifikasi asma berdasarkan etiologi dibagi menjadi dua yaitu asma intrinsik
yang ditandai dengan mekanisme yang bersifat non- alergi yang beraksi terhadap
pencetus yang tidak spesifik, dan asma ekstrinsik yang berhubungan dengan atropi,
predisposisi genetik yang berhubungan langsung dengan IgE sel mast dan respon
eosinophil terhadap allergen yang umum.

Tujuan penatalaksanaan asma adalah untuk meredakan penyempitan jalan


napas secepat mungkin, mencegah kekambuhan, untuk mencapai asma terkontrol
agar
memiliki kualitas hidup baik yang tidak menganggu aktivitas dan mencegah kematian
saat serangan.

Terapi pengobatan farmakologi yang disarankan kepada pasien yaitu,


salbutamol inhaler, dengan dosis 2,5 mg, ICS (budesonide-simbicort 2000 µ (4ml),
ambroxol 15mg ( 3x 1cth)

VIII. SARAN

Praktikum ini dilakukan secara online , dimana setiap mahasiswa memiliki


koneksi yang berbeda- beda. Sehingga informasi yang di dapat tiap mahasiswa
berbeda beda juga. Semoga praktikum ini bisa diselenggarkan secara offline.
DAFTAR PUSTAKA

Amir Najim Abood HA, Al-Musawi ZM, Hussein AM, Hameed RM. (2021). Effects
of nebulized budesonide plus salbutamol and nebulized salbutamol
monotherapy on mild to moderate acute exacerbation of asthma in children: A
comparative study. J Pak Med Assoc.

Bull, Eleanor & David Price. (2007). Simple Guide Asma. Jakarta: Penerbit Erlangga.

BR Lindgren et al, 1989. Efek pengobatan ranitidin pada pasien asma dan riwayat
refluks gastroesofagus: studi crossover buta ganda. Departemen
Kedokteran Paru, Rumah Sakit Universitas, Linköping, Swedia.

Cates C dan Cates N, 2013. Regular treatment with salmeterol for chronic asthma:
serious adverse events. Cochrane Database Syst Rev, 3

Francis, Caia. 2018. Perawatan Respirasi. Jakarta : Erlangga.

Global Initiatif for Asthma (GINA). 2017. Global strategy for asthma management
and Prevention

GINA (Global Initiative for Astma), 2019, Pocket Guide For Asthma Management
and Prevention.

Kumar, D., & Singh, G. (2014). Simultaneous estimation of ambroxol hydrochloride and cetirizine
hydrochloride in pharmaceutical tablet dosage form by simultaneous equation spectrophotometric method:

A quality control tool for dissolution studies. International Scholarly Research Notices, 2014.

Padila. (2015). Asuhan Keperawata Maternitas II. Yogyakarta: Nuha Medika.

Priyatna, Andri. 2012. Asthma in Motion. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.

Rengganis, Iris. 2018. Diagnosis Dan Tatalaksana Asma Bronkhial. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Sundaru, Heru. (2018). Asma Bronkial. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI.

Soedarto. (2017). Alergi dan penyakit sistem imun. Jakarta: Sagung Seto.

Utama, Saktya Yudha Ardi. (2018). Buku ajar keperawatan medikal bedah sistem
respirasi. Yogyakarta: Depublish.

Wahid & Imam Suprapto. (2013). Dokumentasi Proses Keperawatan. Yogyakarta:


Nuha Medika.

Du, X., Zhao, C., Liu, S., & Su, S. (2020). Value of ambroxol in the treatment of
asthmatic bronchitis. Pakistan journal of medical sciences, 36(3), 501–504.
https://doi.org/10.12669/pjms.36.3.1607

Anda mungkin juga menyukai