PRAKTIKUM V
“ASMA”
Step 1
(Intermitten) Gejala perhari ≤ 2X dalam seminggu. Nilai PEF normal
dalam kondisi serangan asma. Exacerbasi: Bisa berjalan ketika
bernapas, bisa mengucapkan kalimat penuh. Respiratory Rate (RR)
meningkat. Biasanya tidak ada gejala retraksi dinding dada ketika
bernapas. Gejala malam ≤ 2X dalam sebulan. Fungsi paru PEF atau
PEV 1 Variabel PEF ≥ 80% atau < 20%.
Step 2 (Mild Intermitten)
Gejala perhari ≥ 2X dalam seminggu, tapi tidak 1X sehari. Serangan
asma diakibatkan oleh aktivitas. Exaserbasi: membaik ketika duduk,
bisa mengucapkan kalimat frase, RR meningkat, kadang-kadang
menggunakan retraksi dinding dada ketika bernapas. Gejala malam ≥
2X dalam sebulan. Fungsi paru PEF tau PEV1 Variabel PEF ≥ 80%
ATAU 20%-30%.
Step
Steep 3 (Moderate Persistent)
Gejala perhari bisa setiap hari, serangan asma diakibatkan oleh
aktivitas. Exaserbasi: Duduk tegak ketika bernapas, hanya dapat
mengucapkan kata per kata, RR 30x/menit, biasanya menggunakan
retraksi dinding dada ketika bernapas. Gejala malam ≥ 1X dalam 12
seminggu. Fungsi paru PEF atau PEV1 Variabel PEF 60%-80% atau >
30%
Step 4 (Severe Persistent)
Gejala perhari, sering dan aktivitas fisik terbatas. Eksacerbasi:
Abnormal pergerakan thoracoabdominal. Gejala malam sering
muncul. Fungsi paru PEF atau PEV1 Variabel PEF ≤60% atau >30%.
a. Ringan sampai sedang: mengi atau batuk tanpa distress berat, dapat
berbicara atau mengobrol secara normal, nilai aliran pendek lebih dari
50% nilai terbaik.
b. Sedang sampai berat: mengi atau batuk dengan distress, berbicara dalam
kalimat atau frasa pendek, nilai aliran puncak kurang dari 50% dan
beberapa derajat saturasi oksigen jika diukur dengan oksimetri nadi.
Didapatkan nilai saturasi 90% - 95% jika diukur dengan oksimetri nadi
perifer.
c. Berat, mengancam nyawa: Distress pernapasan berat, kesulitan berbicara,
sianosis, lelah dan bingung, usaha respirasi buruk, sedikit mengi (silent
chest) dan suara napas lemah, takipnea, bradikardi, hipotensi, aliran
puncak kurang dari 30% angka prediksi atau angka terbaik, saturasi
oksigen kurang dari 90%. Jika diukur dengan oksimetri perifer.
2.3. PATOFISIOLOGI
Pada alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-
15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan
respon terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja merupakan
respon terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung
pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam
pajanan alergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang
sampai beberapa minggu.
Sel-sel eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC)
merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma. Pada jalur saraf otonom,
inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast dan makrofag alveolar, nervus
vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan
reflek bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast
dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan
memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan
reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada
hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2.
Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui reflek saraf. Ujung
saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neuropeptida A dan Calcito-min Gene-
Related
Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang dapat menyebabkan terjadinya
bronkokontriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan
aktivitas sel-sel inflamasi. Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma,
besarnya hiperaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung,
yang merupakan parameter objektif beratnya hiperaktivitas bronkus. Berbagai
cara digunakan untuk mengukur hiperaktivitas bronkus tersebut, antara lain
dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, maupun inhalasi zat
non spesifik (Rengganis, 2018).
2.4. DIAGNOSIS
Tanda dan Gejala Asma
Beberapa tanda dan gejala lain yang mungkin menyertai asma, antara
lain:
Dilakukan untuk mencari faktor alergen yang dapat bereaksi positif pada asma
secara spesifik.
1. Elektrokardiografi
a. Terjadi right axis deviation
b. Adanya hipertropo otot jantung Right Bundle Branch Bock
c. Tanda hipoksemia yaitu sinus takikardi, SVES, VES, atau terjadi depresi
segmen ST negatif
4) Scanning paru
Pemeriksaan laboratorium
1. Pemeriksaan Sputum Pemeriksaan untuk melihat adanya:
a. Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dan kristal
eosinopil.
b. Spiral curshman, yakni merupakan castcell (sel cetakan) dari cabang
bronkus.
c. Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus
d. Netrofil dan eosinofil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat
mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat muscus plug.
2. Pemeriksaan Darah
a. Analisa Gas Darah pada umumnya normal akan tetapi dapat terjadi
hipoksemia, hipercapnia, atau sianosis.
b. Kadang pada darah terdapat peningkatan SGOT dan LDH
c. Hiponatremia dan kadar leukosit kadang diatas 15.000/mm3 yang
menandakan adanya infeksi. d) Pemeriksaan alergi menunjukkan
peningkatan IgE pada waktu serangan dan menurun pada saat bebas
serangan asma.
2.5. PENATALAKSANAAN
2.5.1. Pengobatan Farmakologi
a. Antihistamin
b. Antibiotik
c. Obat Batuk
3.2.BAHAN
1. Text Book ( Dipiro,Koda Kimble,DIH,ESC,JNC )
2. Data Nilai Normal Laboratorium
3. Evidence Terkait ( Journal,Systematic Review,Meta Analysis )
IV. KASUS
Ny.NJ, 33 Tahun, mengalami sesak nafas kurang lebih 6 jam yang lalu pasien
mengalami sesak nafas,sesak timbul saat cuaca dingin dan terkena debu,tidak
dipengaruhi oleh aktivitas dan posisi tidur. Pasien dibawa ke UGD RS, dokter
mendiagnosa pasien mengalami serangan asma. Mengi ( + ) , batuk berdahak ( + )
berwarna putih dan encer , darah tidak ada. Pasien memiliki Riwayat asma dan alergi
debu/ asap. Dokter meresepkan salbutamol 3 x 2 mg dan ambroxol 15 mg 3 x 1 cth.
PHARMACEUTICAL CARE
PATIENT PROFILE
Ny. NJ
Berat badan : 40 kg
Presenting Complaint
Pasien mengalami sesak nafas, sesak timbul saat cuaca dingin dan terkena debu.
Diagnosa banding : -
Tekanan darah -
Nadi -
Suhu -
RR -
MEDICATION
No NAMA OBAT INDIKASI DOSISYANG DOSIS TERAPI
DIGUNAKAN (LITERATUR)
1 Sabutamol .Sebagai 3x2 mg Dewasa : 3-4 kali
Bronkodilator sehari 2-4 mg
kerja cepat pada tablet.
penanganan
asma dan PPOK.
2 Ambroxol 15 Sebagai 3x1 cth Dewasa : 30 mg
Mg Mukolitik atau 2-3 kali sehari.
pengencer dahak
untuk gangguan
saluran nafas.
PHARMACEUTICAL PROBLEM
- Subjective (symptom)
Asma: Pasien mengalami sesak nafas, sesak timbul saat cuaca dingin dan terkena
debu, batuk berdahak
- Objective (signs)
ASMA
Mengi (+)
Batuk berdahak (+)
(berwarna putih atau encer)
Saturasi oksigen 80 %, FEV 60%
- Assesment (with evidence)
-Plan
2. Ranitidine
P (Problem/Population) : 48 pasien dengan asma sedang hingga berat
terdaftar dalam studi crossover buta ganda yang dirancang untuk
mengevaluasi efek pengobatan ranitidine, 150 mg dua kali sehari selama
empat minggu, pada refluks gastro-esofagus, kontrol asma, dan reaktivitas
bronkial.
I (Intervention) : Ranitidine 2 x 150 mg sehari
C (Comparator) : -
O (Outcome) : Gejala refluks membaik secara signifikan setelah pengobatan
ranitidin. Pengobatan ranitidine dikaitkan dengan perbaikan sederhana pada
asma nokturnal dan penggunaan obat bronkodilator inhalasi setiap hari tetapi
tidak ada perubahan signifikan dalam reaktivitas bronkial, fungsi paru-paru,
aliran puncak, atau jumlah eosinofil dalam darah. Hasil ini menunjukkan
bahwa pengobatan antirefluks hanya akan menghasilkan perbaikan kecil
dalam pengendalian asma pada pasien asma dengan riwayat refluks
gastroesofagus.
(BR Lindgren et al, 1989)
3. Ambroxol
P (Problem/Population) = Seratus dua puluh pasien asma bronkitis yang
dirawat di rumah sakit kami dari Juni 2017 hingga Agustus 2018 dipilih
sebagai subjek penelitian dan dibagi menjadi kelompok dan kelompok
observasi menurut metode tabel angka kontrol acak, 60 di setiap kelompok.
I (Intervention) = Ambroxol 15mg
C (Comparator) = -
O (Outcome) = Tingkat keefektifan total kelompok observasi adalah 96,7%,
dan kelompok kontrol adalah 73,3%. Efek kelompok kontrol observasi
secara signifikan lebih baik daripada kelompok kontrol, menunjukkan
perbedaan yang signifikan (P<0,05). Untuk pasien bronkitis asma,
penambahan ambroxol pada pengobatan konvensional dapat meningkatkan
efek terapeutik, mempersingkat waktu hilangnya tanda dan gejala klinis, dan
mendorong pemulihan pasien, yang layak untuk diterapkan secara klinis
(Du, X., Zhao, C. 2020)
o MONITORING
Efektifitas:
ASMA
Asma pasien berkurang setelah pemberian obat. Efek terapeutiknya didasarkan pada
sifat pelemas otot polosnya yang kuat, yang memungkinkan penghambatan
kontraksi otot polos bronkus dan bronkodilatasi. Efek terapi dapat dirasakan setelah
penggunaan beberapa menit dan bertahan 3-5 jam
GERD
Terjadinya perbaikan kecil dalam pengendalian asma pada pasien asma dengan
riwayat refluks gastroesofagus. setelah pemberian ranitidine pasien tidak merasakan
mual lagi
Efek Samping:
1. Salbutamol
Gemetar pada otot rangka (5%), rangsangan kardiovaskular (3%), dan
hypokalemia. (PDPI, 2013).
2. Symbicort Turbuhaler
Gatal ringan di tenggorokan dan suara serak, infeksi candida (Candidiasis)
di mulut dan/atau tenggorokan, palpitasi, sakit kepal.
3. Ambroxol
Ambroxol memiliki efek samping di antaranya yaitu gangguan pencernaan,
sakit kepala, pusing, berkeringat, rhinorrhoea, lakrimasi dan reaksi alergi
(Kumar, 2014).
4. Ranitidine
Sakitkepala(3%<1%Sakitperut,Agitasi,Alopesia,Kebingungan,Sembelit,Diar
e,Pusing,Reaksi hipersensitivitas,Mual,Muntah
(Medscape, 2021)
Ny.NJ, 33 Tahun, mengalami sesak nafas kurang lebih 6 jam yang lalu pasien
mengalami sesak nafas,sesak timbul saat cuaca dingin dan terkena debu,tidak
dipengaruhi oleh aktivitas dan posisi tidur. Pasien dibawa ke UGD RS, dokter
mendiagnosa pasien mengalami serangan asma. Mengi ( + ) , batuk berdahak ( + )
berwarna putih dan encer , darah tidak ada. Pasien memiliki Riwayat asma dan alergi
debu/ asap. Dokter meresepkan salbutamol 3 x 2 mg dan ambroxol 15 mg 3 x 1 cth.
Berdasarkan data kasus diatas, dapat dilihat data subyektif dan obyektif dari
pasien Ny.NJ.33 tahun dimana data subyektif yang diperoleh adalah pasien
mengalami sesak nafas kurang lebih 6 jam yang lalu, sesak timbul saat cuaca dingin
dan terkena debu. Pasien juga memiliki Riwayat asma dan alergi debu/ asap.
Kemudian saat masuk rumah sakit dokter mendiagnosis pasien mengalami asma
dengan data obyektif pasien mengalami Mengi ( + ) , batuk berdahak ( + ) berwarna
putih dan encer, tidak ada darah pada dahak. Lalu dokter meresepkan obat salbutamol
3 x 2 mg dan ambroxol 15 mg 3 x 1 cth.
Kemudian saat masuk rumah sakit kadar saturasi oksigen pasien yaitu 80%
dimana menurut literatur saturasi oksigen normal untuk dewasa ada pada rentang
antara 95 – 100%. Sehingga pasien diberikan terapi oksigen nasal kanul namun terapi
oksigen dapat dihentikan hal ini ketika pasien menerima terapi salbutamol keadaan
pasien telah membaik sehingga pasien tidak lagi menggunakan nasal kanul.
Kemudian dari data yang diperoleh setelah dilakukan konsultasi oleh dokter pasien
sebelumnya sudah pernah menggunakan terapi simbicort 2x1 satu kali hirup untuk
terpai asma pasien.
1. Salbutamol
Berdasarkan kasus pasien diberikan terapi salbutamol bentuk tablet. Salbutamol yang
merupakan bronkodilator golongan beta-2 agonis aksi cepat (short acting beta-2
agonist), adalah pilihan lini pertama untuk mengatasi eksaserbasi asma. Reseptor
agonis beta-2, bagian dari golongan Gprotein-coupled reseptor (GPCR), banyak
diekspresikan pada sel-sel otot polos bronkus, dan secara khusus mengikat dan
diaktifkan oleh kelas ligan dikenal sebagai katekolamin, khususnya epinefrin.
Aktivasi reseptor beta-2 agonis mengakibatkan perluasan saluran udara kecil
sehingga reseptor beta-2 agonis digunakan dalam terapi bronkodilator lini pertama
pada asma. Menurut kelompok kami, pemberian salbutamol dalam bentuk tablet oral
belum sesuai atau kurang efektif untuk tindakan pengobatan asma. Sehingga
kelompok kami menyarankan bahwa penggunaan salbutamol tablet oral diganti
dengan salbutamol nebulizer yang lebih efektif untuk mengobati asma. Karena cara
kerja nebulizer adalah dengan mengubah obat asma dalam bentuk cairan ataupun
serbuk menjadi uap, dan mengirimkan obat tersebut ke dalam saluran pernapasan
secara langsung dengan cara dihirup melalui mulut. Dan salbutamol dalam bentuk
nebulizer memiliki efek samping sistemik yang lebih ringan (Cates, 2013).
1. Ambroxol
Peresepan ambroxol pada pasien dilihat dari pasien yang mengalami batuk
berdahak berwarna putih dan encer sehinga peresepan ambroxol sudah benar hal ini
karena ambroxol dapat digunakan dalam pengobatan untuk gangguan saluran
pernafasan seperti bronchitis kronis dan berfungsi mengurangi kekentalan dahak dan
mengeluarkan dari efek batuk( Kumar, 2014)
2. Ranitidine
Peresepan ranitidine pada pasien merujuk pada riwayat penyakit yang dialami
pasien selain asma yakni gangguan pencernaan mual dan muntah sehingga dokter
meresepkan ranitidine untuk mengatasi keluhan pasien tersebut.
3. ICS
Peresepan ICS pada kasus ini bertujuan sebagai terapi control hal ini
dikarenakan obat anti – inflamasi lini pertama untuk asma adalah inhalasi
kortikosteroid atau inhaled corticosteroid (ICS). Pada beberapa pasien dengan gejala
dibutuhkan obat tambahan yaitu bronkodilator yang memberikan efek relaksasi otot
polos saluran pernafasan untuk mengurangi gejala serangan akut tersebut. Obat
golongan b- agonis merupakan bronkodilator yang paling efektif digunakan dalam
asma. Bronkodilator b2-agonis pada semua step dalam guideline terapi asma karena
dapat digunakan sebagai terapi control maupun terapi serangan asma akut ( global
initiative for astma, 2019).
Adapun terapi non farmakologi yang dapat disarankan pada pasien diantaranya:
o Hindari diri dari paparan pemicu asma seperti debu, asap rokok,
hama,dll.
o Usahakan jika dalam ruangan yang memiliki sistem ventilasi yang
baik seperti pembuangan dan pemasukan udara yang baik.
VII. KESIMPULAN
Klasifikasi asma berdasarkan etiologi dibagi menjadi dua yaitu asma intrinsik
yang ditandai dengan mekanisme yang bersifat non- alergi yang beraksi terhadap
pencetus yang tidak spesifik, dan asma ekstrinsik yang berhubungan dengan atropi,
predisposisi genetik yang berhubungan langsung dengan IgE sel mast dan respon
eosinophil terhadap allergen yang umum.
VIII. SARAN
Amir Najim Abood HA, Al-Musawi ZM, Hussein AM, Hameed RM. (2021). Effects
of nebulized budesonide plus salbutamol and nebulized salbutamol
monotherapy on mild to moderate acute exacerbation of asthma in children: A
comparative study. J Pak Med Assoc.
Bull, Eleanor & David Price. (2007). Simple Guide Asma. Jakarta: Penerbit Erlangga.
BR Lindgren et al, 1989. Efek pengobatan ranitidin pada pasien asma dan riwayat
refluks gastroesofagus: studi crossover buta ganda. Departemen
Kedokteran Paru, Rumah Sakit Universitas, Linköping, Swedia.
Cates C dan Cates N, 2013. Regular treatment with salmeterol for chronic asthma:
serious adverse events. Cochrane Database Syst Rev, 3
Global Initiatif for Asthma (GINA). 2017. Global strategy for asthma management
and Prevention
GINA (Global Initiative for Astma), 2019, Pocket Guide For Asthma Management
and Prevention.
Kumar, D., & Singh, G. (2014). Simultaneous estimation of ambroxol hydrochloride and cetirizine
hydrochloride in pharmaceutical tablet dosage form by simultaneous equation spectrophotometric method:
A quality control tool for dissolution studies. International Scholarly Research Notices, 2014.
Priyatna, Andri. 2012. Asthma in Motion. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.
Rengganis, Iris. 2018. Diagnosis Dan Tatalaksana Asma Bronkhial. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Sundaru, Heru. (2018). Asma Bronkial. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI.
Soedarto. (2017). Alergi dan penyakit sistem imun. Jakarta: Sagung Seto.
Utama, Saktya Yudha Ardi. (2018). Buku ajar keperawatan medikal bedah sistem
respirasi. Yogyakarta: Depublish.
Du, X., Zhao, C., Liu, S., & Su, S. (2020). Value of ambroxol in the treatment of
asthmatic bronchitis. Pakistan journal of medical sciences, 36(3), 501–504.
https://doi.org/10.12669/pjms.36.3.1607