Anda di halaman 1dari 56

PENGENDALIAN VEKTOR

D
I
S
U
S
U
N
OLEH : KELOMPOK 6

FITRIA SUSANTI
AIDA FITRIA
DEDI IRFANDI

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS ABULYATAMA


ACEH LAMPOH KEUDEE ACEH BESAR
TAHUN 2017
Bab 5

Pengendalian Vektor

A. Pengertian

Di Indonesia penyakit ditularkan serangga dan masih merupakan masalah

dalam kesehatan masyarakat adalah malaria, demam berdarah, penyakit kaki gajah

dan pes. Penyakit pes hanya terdapat di daerah Boyolali, sedang ketiga penyakit

lainnya ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Dalam siklus hidup nyamuk terdapat tingkatan-tingkatan di mana antara

tingkatan yang satu dan yang lainnya sangat jauh berbeda. Berdasarkan tempat

hidupnya/lingkungannya, dikenal dua tingkatan kehidupan nyamuk, yaitu:

1. Tingkatan di dalam air berupa telur  jentik  kepompong.

2. Tingkatan di luar tempat berair, yaitu di udara dan daratan sebagai nyamuk jantan

dan betina.

Data atau informasi yang menerangkan hubungan antara spesies tertentu

dengan lingkungannya, merupakan kunci penting dalam epidemiologi penyakit yang

ditularkan serangga. Penguasaan bionomik vektor sangat diperlukan dalam

perencanaan pengendalian vektor.

Usaha pengendalian vektor akan memberikan hasil maksimal apabila ada

kecocokkan antara perilaku vektor yang menjadi sasaran dan metode pengendalian

yang diterapkan. Bionomik vektor dan spesies tertentu hanya berlaku bagi spesies ini

di lingkungan yang sama. Adapun yang dimaksud lingkungan mencakup baik

lingkungan fisik maupun lingkungan biologi.


Meningkatnya populasi beberapa serangga menimbulkan masalah di berbagai

sektor. Di sektor pertanian misalnya, beberapa serangga seperti belalang, wereng,

ulat, merupakan hama yang merusak tanaman di pertanian rakyat dan mengakibatkan

kerugian yang tidak sedikit. Adapun di sektor kesehatan, beberapa penyakit yang

ditularkan melalui serangga sebagai vektor masih terus mewabah, seperti malaria,

DHF, filariasis, ataupun pes. Dengan demikian, pengendalian serangga mutlak

diperlukan baik untuk memberantas hama tanaman, maupun untuk menurunkan

insiden penyakit yang ditularkan oleh vektor. Beberapa pengertian dalam

pengendalian vektor:

a) Pengendalian adalah semua usaha yang dilakukan untuk menurunkan/menekan

populasi atau densitas vektor dengan maksud mencegah penyakit yang ditularkan

vektor atau gangguan-gangguan sang diakibatkan oleh vektor.

b) Binatang pengganggu adalah binatang yang dapat mengganggu, menyerang

ataupun menularkan penyakit terhadap manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan.

Contoh: tikus, kecoa, ngengat.

c) Vector borne disease adalah penyakit-penyakit yang ditimbulkan/ditularkan

dengan perantara vektor.

d) Vektor adalah Arthropoda yang dapat memindahkan/menularkan agent infection

dan sumber infeksi kepada host yang rentan.

e) Lingkungan fisik adalah lingkungan sekeliling manusia yang terdiri dari materi

yang tidak hidup.


f) Lingkungan kimia adalah lingkungan yang terdiri dari unsur kimia yang

menyusun alam ini, termasuk juga dalam lingkungan ini adalah proses-proses

kimia yang terjadi di dalamnya.

g) Lingkungan biologi adalah lingkungan yang terdiri dari komponen-komponen

makhluk hidup, termasuk dalam lingkungan ini adalah manusia, hewan,

tumbuhan, dan jasad renik.

h) Nyamuk adalah serangga yang termasuk dalam kelas insekta, ordo diphtheria, dan

famili culicidae.

i) Lalat adalah jenis serangga pengganggu yang termasuk dalam genus Musca sp.

j) Modifikasi lingkungan adalah suatu transformasi fisik yang permanen (jangka

panjang) terhadap tanah, air, dan tumbuh tumbuhan untuk mencegah menurunkan

habitat larva tanpa mengakibatkan kerugian bagi manusia.

k) Manipulasi lingkungan adalah suatu pengondisian sementara yang tidak

menguntungkan sebagai tempat berkembang biak vektor menjadi tempat dengan

kondisi yang tidak cocok untuk perkembangbiakan vektor.

l) Indeks vektor adalah populasi tertentu dan suatu vektor yang tidak dapat

menularkan penyakit.

Permasalahan pengendalian yang timbul sehubungan dengan vektor yang ada

di lingkungan permukiman sebenarnya dapat digolongkan menjadi tiga kategori:

a) Masalah yang nyata, yaitu keadaan yang nyata-nyata menyimpang sebagai akibat

dan adanya vektor itu. Contohnya: Terjadinya kasus penyakit demam berdarah

yang ditularkan oleh nyamuk, atau kejadian meningkatnya populasi vektor


sedemikian rupa sehingga nyata-nyata merugikan dan mengganggu kenyamanan

pemukimnya.

b) Masalah yang potensial, artinya masalah sebenarnya belum tampak nyata tetapi

potensial untuk timbul setiap saat atau pada waktunya nanti apabila kondisinya

mendukung. Contohnya: Terdapatnya hama dan jumlah yang rendah di suatu

wilayah permukiman.

c) Masalah yang semu yang ditimbulkan lebih oleh si pemukim itu sendiri. Di sini

terlibat apa yang disebut “nilai ambang toleransi” pemukim terhadap keberadaan

vektor di sekitarnya. Suatu keadaan dapat dipermasalahkan oleh seseorang namun

tidak oleh orang lain.

Dari uraian di atas, dapat dirumuskan bahwa permasalahan vektor di

lingkungan permukiman timbul sebagai resultante dan faktor-faktor berikut ini:

1) Tingkat bahaya, kerugian atau gangguan yang mungkin ditimbulkan oleh vektor

tersebut.

2) Tingkat populasi vektor itu di lingkungan permukiman

3) Tingkat toleransi pemukim terhadap keberadaan sekitar di lingkungannya.

Berbeda dengan masalah vektor hama dalam dunia pertanian yang dampak

ekonominya dapat dihitung atau diperkirakan dalam dunia kesehatan pengertian

“bahaya”, “gangguan” atau “keterangan” jelas tidak dapat dinilai secara moneter.

Dengan demikian. dalam dunia kesehatan permasalahannya lebih sulit untuk

dirumuskan dibandingkan dengan permasalahan dalam dunia pertanian. Tetapi

bagaimanapun dengan pertimbangan yang wajar dapat dinyatakan bahwa tingkat

populasi hama itulah yang menjadi kunci bagi timbulnya masalah. Peluang
terjadinya bahwa atau gangguan agaknya amat kecil bilamana tingkat populasinya

amat rendah. Apabila pemikiran ini dapat diterima, maka kata kunci datum

menghadapi masalah hama permukiman itu adalah “bagaimana mengendalikan

populasinya’ sampai ke tingkat yang tidak membahayakan, tidak merugikan atau

tidak mengganggu.

Pada kenyataannya memang dunia entomologi terapan masa kini amat

berkiblat kepada konsep pengendalian populasi ini, tidak terkecuali entomologi

kesehatan meskipun dengan beberapa catatan. Oleh karena itu, sifat-sifat populasi

vektor di lingkungan permukiman berikut berbagai macam faktor yang

memengaruhinya perlu dipahami agar upaya pengendaliannya dapat lebih efektif

dan efisien.

B. Bionomik Vektor

1. Siklus Hidup Nyamuk

Nyamuk dalam siklus hidupnya mempunyai tingkatan-tingkatan yang

kadang-kadang antara tingkatan yang satu dan tingkatan berikutnya terlihat sangat

berbeda. Berdasarkan tempat hidupnya dikenal dua tingkatan:

1) Tingkatan di dalam air.

2) Tingkatan di luar tempat berair (darat-udara).

Jadi untuk kelangsungan hidup nyamuk sangat diperlukan air. Apabila tidak

terdapat air, maka siklus hidup nyamuk akan terputus. Tingkatan-tingkatan

kehidupan nyamuk yang berada di dalam air ialah:

1) Telur.

2) Larva (jentik).
3) Kepompong (pupa).

Setelah satu-dua hari telur berada di dalam air, maka telur akan menetas

menjadi larva (jentik). Jentik muda ini sangat halus seperti jarum. Waktu yang

diperlukan untuk pertumbuhan jentik sampai menjadi nyamuk dewasa antara enam-

delapan hari tergantung atas suhu, kesediaan makanan, serta spesies nyamuk.

Dari jentik tumbuh menjadi kepompong (pupa) yang merupakan tingkatan

atau stadium istirahat dan tidak makan. Pada tingkatan kepompong akan dibentuk

alat-alat tubuh nyamuk dewasa serta alat kelamin untuk penentuan jenisnya.

Tingkatan kepompong ini memakan waktu antara satu sampai dua hari.

Setelah cukup waktunya, maka dan kepompong akan keluar nyamuk dewasa

yang telah dapat dibedakan jenis kelaminnya. Setelah nyamuk menghirup udara,

maka beberapa lama kemudian nyamuk ini telah mampu terbang, nyamuk akan

meninggalkan habitat berair untuk meneruskan hidupnya di habitat yang tidak berair.

Pada umumnya nyamuk betina hanya kawin satu kali selama hidupnya.

Biasanya perkawinan terjadi setelah 2428 jam setelah keluar dan kepompong.

2. Perilaku Nyamuk

Perilaku nyamuk berkaitan dengan gejala biologis dan selalu ada variasi.

Variasi tingkah laku akan terjadi di dalam spesies tunggal baik di daerah yang sama

maupun yang berbeda. Perilaku ini sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang

dikenal sebagai rangsangan dari luar.

Rangsangan dan luar ini misalnya, perubahan cuaca/iklim musim atau

perubahan lingkungan baik alamiah maupun karena hasil samping kegiatan manusia.

Jika kita tinjau tentang kehidupan nyamuk, maka ada tiga macam tempat yang
diperlukan untuk siklus kelangsungan hidup nyamuk. Hubungan antara ketiga tempat

tersebut dapat dilukiskan dengan bagan sebagai berikut:

Untuk menunjang program pemberantasan vektor, perilaku vektor yang

berhubungan dengan ketiga macam habitat tersebut penting untuk diketahui.

3. Perilaku Mencari Makan (Darah)

Perilaku mencari darah nyamuk dapat dilihat dan berbagai segi, yaitu:

a. Perilaku Mencari Darah Dikaitkan dengan Waktu

Nyamuk pada umumnya mencari darah pada malam hari, sebagian spesies

nyamuk aktif mencari darah siang hari seperti nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk yang

aktif mencari darah malam hari, ternyata setiap spesies berbeda dan mempunyai sifat

tertentu. Ada spesies yang aktif mulai dan senja hingga menjelang tengah malam,

ada pula yang aktif mulai menjelang tengah malam hingga pagi hari, dan ada pula

yang aktif mulai dan senja hingga menjelang pagi.

b. Perilaku Mencari Darah Dikaitkan dengan Tempat

Apabila metode yang sama kita adakan penangkapan nyamuk baik di dalam

atau di luar rumah, maka dan hasil penangkapan ini dapat diketahui ada dua

golongan nyamuk:

1. Exophagic, yang lebih senang mencari darah di dalam rumah.


2. Endophagic, golongan nyamuk yang lebih senang mencari darah di dalam rumah.

c. Perilaku Mencari Darah Dikaitkan dengan Sumber Darah

Berdasarkan macam darah yang disenangi, kita dapat membedakan sebagai

berikut:

1. Anthropophilic, nyamuk senang dengan darah manusia.

2. Zoophilic, nyamuk senang dengan darah hewan.

3. Nyamuk yang tidak mempunyai pilihan tertentu.

d. Frekuensi Menggigit

Kita semua telah mengetahui bahwa nyamuk betina biasanya hanya kawin

satu kali saja selama hidupnya. Untuk memperbanyak keturunannya, nyamuk betina

hanya memerlukan darah untuk proses pertumbuhan telurnya. Tiap beberapa hari

sekali nyamuk akan mencari darah tergantung dan spesies dan sangat dipengaruhi

oleh temperatur akan kelembaban.

4. Umur Populasi Vektor

Umur bervariasi tergantung dan spesies dan dipengaruhi keadaan lingkungan.

Ada banyak cara untuk mengukur umur populasi nyamuk. Salah satu cara yang

paling praktis, tetapi telah cukup meyakinkan yaitu dengan melihat berapa persentase

jumlah nyamuk “parous” dan jumlah yang diperiksa. Penentuan umur nyamuk ini

sangat penting untuk mengetahui musim penularan. Kecuali penularannya ada

kaitannya dengan penularan malaria, data umur nyamuk juga dapat sebagai

parameter untuk menilai dampak upaya pemberantasan vektor (penyemprotan dan

pengabutan).

5. Distribusi Musiman
Distribusi musiman vektor sangat penting untuk diketahui. Data distribusi

musiman ini apabila dikombinasikan dengan data umum populasi vektor akan

menerangkan musim penularan yang tepat.

Pada umumnya tiap spesies yang berperan sebagai vektor, memperlihatkan

pola distribusi musiman tertentu. Untuk daerah tropis seperti Indonesia, pada

umumnya densitas tinggi pada musim penghujan.

6. Penyebaran Vektor

Penyebaran vektor mempunyai arti penting dalam epidemiologi penyakit

yang ditularkan serangga. Penyebaran nyamuk dapat berlangsung dengan dua cara

yaitu:

1) Cara aktif, yang dilakukan nyamuk dengan menggunakan kekuatan terbang.

2) Cara pasif, dengan perantaraan dan bantuan transportasi angin.

7. Perilaku Beristirahat

Beristirahat bagi nyamuk mempunyai arti dua macam, yaitu:

1) Beristirahat yang sebenarnya, selama waktu menunggu proses perkembangan

telur.

2) Beristirahat yang hanya sementara, yaitu pada waktu nyamuk sedang aktif

mencari darah.

Meskipun pada umumnya nyamuk memilih tempat yang teduh, lembab, dan

aman untuk beristirahat, tetapi apabila diteliti lebih lanjut tiap spesies ternyata

mempunyai perilaku yang berbeda. Ada spesies yang hanya hinggap di tempat-

tempat dekat tanah, tetapi ada pula spesies yang hinggap di tempat-tempat yang

lembab dan terlindung dan cahaya.


8. Perilaku Berkembang Biak

Nyamuk betina mempunyai kemampuan memilih tempat perindukan atau

tempat berkembang biak yang sesuai dengan kesenangan dan kebutuhannya. Ada

spesies yang senang dengan tempat-tempat yang kena sinar matahari langsung, tetapi

ada pula yang senang dengan tempat-tempat teduh. Spesies yang satu memilih

tempat perindukan cukup baik di air payau (campuran air tawar dengan air laut),

spesies lainnya hana mau berkembang biak di air tawar. Aedes aegypti senang

meletakkan telur di air tawar yang bersih dan tidak langsung menyentuh tanah,

begitu selanjutnya masih banyak variasi lain.

Oleh karena perilaku berkembang biak ini sangat bervariasi, maka diperlukan

suatu survei yang intensif untuk inventarisasi tempat perindukan, yang sangat

membantu dalam program pengendalian vektor.

9. Pengaruh Beberapa Faktor Fisik

a. Temperatur

Temperatur akan mempengaruhi:

1) Untuk proses metabolisme, temperatur berkisar antara 32-35°C, apabila lebih

tinggi. maka proses fisiologis menjadi lambat.

2) Proses perkembangan, akan optimum pada suhu 25-27°C.

3) Gonotropic cycle.

4) Lama hidup nyamuk, bila temperatur selalu lebih dan 27-30°C, umur nyamuk

akan menjadi lebih pendek.


b. Kelembaban

Lembab nisbi mempengaruhi distribusi dan lama hidup nyamuk. Hutan lebih

peka perubahan kelembaban daripada di tempat daerah kering.

c. Curah Hujan

Curah hujan mempunyai pengaruh yang bervariasi tergantung banyaknya

hujan dan kondisi fisik tanah.

d. Sinar

Berpengaruh terhadap penyebaran dan untuk mendapatkan makanan.

C. Ekologi Vektor

Ekologi vektor ialah ilmu yang mempelajari hubungan (interaksi) antara

vektor dan sejenisnya, dengan makhluk lain yang tidak sejenis dan dengan alam

lingkungannya yang nonbiologis. Salah satu bentuk hubungan ini dapat dijelaskan

secara sederhana dalam hal nyamuk Anopheles sebagai berikut:

Dengan demikian, sebenarnya ada suatu sistem yang terlibat, yakni sistem

pejamu—agen penyakit—vektor (rector—disease agen—host sistem). Tujuan

mempelajari ekologi vektor pada akhirnya harus bisa diperoleh satu atau lebih

hubungan kuantitatif dalam sistem tersebut.


1. Habitat Larva

Penting untuk mengetahui produksi dan cara pengendalian larva tepat. Hal ini

melibatkan studi tentang mikrohabitat. Untuk yang nyamuk Aedes aegypti yang

membiak terutama pada habitat yang buatan manusia (man-made), hal ini tampaknya

sederhana. Jenis air yang disukai adalah air jernih, sehingga dengan mengurangi

sebanyak mungkin kontainer berisi air atau yang akan diisi air pada musim

penghujan telah banyak mengurangi nyamuk dewasa Aedes aegypti. Contoh

kontainer air (water container) adalah kaleng-kaleng bekas, botol, ban bekas, drum,

tanggul bambu, cekungan pada saluran air atap terbuat dan seng, tempat minum

burung, dan lain-lain.

Namun untuk vektor lain, misalnya Anopheles farauti di Irian Java, dapat

membiak pada berbagai mikrohabitat yang luas, misalnya got dan parit, genangan air

sementara, rawa, kolam ikan, kolam dengan tanaman kangkung, dan lain-lain.

2. Kontak Vektor Pejamu (Host Vector Contact)

Menurut Hess & Hayes (1970), pengetahuan tentang pola kontak antara suatu

vektor dan binatang vertebrata dari mana vektor mengambil darah sebagai

makanannya adalah penting untuk memahami epidemiologi sesuatu penyakit

ditularkan vektor. Dapat juga pengetahuan seperti ini bermanfaat untuk memahami

potensi binatang-binatang peliharaan dan lain-lain pejamu vertebrata dalam

penggunaannya sebagai zooprophylaxis.

Penilaian kuantitatif tentang kontak antara pejamu dan vektor ada suatu

tempat dan waktu, dapat bermanfaat untuk menduga kemungkinan bahaya epidemi

penyakit ditularkan vektor.


Besarnya kontak antara vektor dan pejamu tergantung kepada kebiasaan

mencari makan dan vektor dan tersedianya pejamu pada tempat dan waktu kegiatan

vektor. Umumnya nyamuk vektor malaria, salah satu aspek penting dan kebiasaan

makan vektor ialah kerusakan pejamu (host-preference) yakni kecenderungan

mencari darah mangsa kepada suatu vertebrata tertentu walaupun terdapat pejamu

alternatif.

“Kesukaan pejamu” dapat diketahui melalui studi tentang angka gigitan

(biting rate) yakni jumlah betina yang tertangkap dengan umpan manusia per orang

per jam pemaparan. Dengan membandingkan berbagai angka gigitan dan dengan

tersedianya pejamu alternatif, maka dapat diketahui kesukaan pejamu suatu vektor.

Bila vektor yang kontak dengan manusia dengan maksud mengambil darah

mangsa adalah vektor yang infektif, maka angka gigitan yang diperoleh mungkin

merupakan satu-satunya indeks transmisi penyakit yang terpenting.

Cara lain untuk mengetahui kesukaan pejamu ialah dengan test precipitin,

yakni dengan menentukan jenis darah yang terdapat di dalam perut vektor yang

ditangkap pada tempat istirahatnya yang alamiah. Jenis jumlah pejamu yang tersedia

bagi vektor pada waktu kebiasaan mencari darah mangsa penting diketahui untuk

dapat menghitung forage ratio, yakni rasio antara persentase darah mangsa diambil

dan sesuatu penjamu tertentu terhadap persentase dan pejamu tertentu tersebut dalam

populasi total pejamu yang tersedia. Bila nilai forage ratio adalah satu berarti vektor

tidak selektif dalam mencari darah manusia. Bila nilai forage ratio kurang dari satu,

berarti vektor tidak menyukai pejamu. Bila nilai forage ratio lebih dari satu, berarti

vektor menyukai pejamu (actual host preference).


Pada studi tentang forage ratio oleh Hess & Hayes (1970), di Hawaii.

ternyata bahwa nyamuk Culex p. fatigans mempunyai forage ratio 7 terhadap anjing,

berarti binatang tersebut adalah sangat disukai vektor (actual host preference).

Frekuensi kontak vektor pejamu dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, dan

musim. Karena itu, kontak vektor pejamu mempunyai pola musiman, yang

selanjutnya mempunyai nilai epidemiologi yang penting.

3. Tempat Istirahat (Resting Place)

Sesudah melakukan kegiatan mencari darah mangsa dan lain-lain, nyamuk

misalnya, memerlukan tempat istirahat. Berjenis-jenis spesies nyamuk beristirahat

pada siang hari di tempat-tempat yang sepi, gelap, dingin, dan basah. Perhitungan

hati-hati di tempat istirahat, memberi gambaran tentang kepadatan populasi nyamuk.

Cara ini baik untuk jenis Anopheline. Tempat istirahatnya bisa di dalam rumah,

kandang kerbau, kandang ayam, di bawah jembatan, di dalam gua, dan lain-lain.

Pengetahuan tentang tempat istirahat juga yang penting untuk menentukan di

tempat mana sebaiknya digunakan suatu insektisida yang mempunyai efek residu

pada penyemprotan. Selain itu juga, penting untuk mengetahui hal-hal tertentu

tentang nyamuk dewasa misalnya, angka infeksi (infection rates) dan analisis darah

yang dimakan (blood meal analysis).

4. Jangkauan Terbang dan Penyebarannya (Dispersal and Flight Range)

Penyebaran vektor dan tempat pembiakannya adalah penting dan segi

penyebaran penyakit yang ditularkan vektor. Penyebaran dilakukan dengan terbang,

Ian, atau secara pasif dibawa oleh pejamu.


Informasi tentang jarak terbang diperoleh dengan memberi zat warna atau

media isotop kepada vektor, kemudian dilepas dan ditangkap kembali pada berbagai

jarak. Penangkapan kembali dilakukan dengan kombinasi bermacam-macam cara.

Indeks yang digunakan adalah jarak terbang 90 (Flight Distance 90 = FD 90),

yakni jarak terbang di mana 90% dari vektor yang dilepas dapat ditangkap kembali.

Jarak terbang 50 (Flight Distance 50 = FD 50) berarti jarak terbang di mana 50%

dari vektor yang dilepas dapat ditangkap kembali. Lebih penting dan segi

epidemiologi adalah jangkauan terbang efektif (Effective Flight Range) yakni jarak

dari habitat larva di mana vektor betina berada dalam jumlah yang cukup untuk

mempertahankan transmisi penyakit. Indeks demikian penting untuk menentukan

luasnya wilayah pengendalian vektor untuk melindungi penduduk dan transmisi

penyakit.

5. Siklus Harian dan Musiman

Waktu mencari makan (feeding time) mempunyai pola harian yang

dipengaruhi oleh tenggelam dan terbitnya matahari, demikian juga waktu istirahat

(resting tune). Pengumpulan spesimen vektor perlu memperhatikan pola harian

tersebut.

Pola kegiatan harian dapat dipengaruhi oleh perubahan musim, terutama

turunnya hujan, perubahan suhu, dan kelembaban relatif. Selanjutnya hal ini dapat

mempengaruhi jumlah populasi. Misalnya, jumlah telur yang pecah dari Aedes

Aegipty ketika musim dingin di Bangkok lebih rendah daripada ketika musim panas.

Stadium larva dan Culex p. fatigans di New Delhi ketika musim dingin lebih lama

berlangsungnya (21 hari) daripada ketika musim panas (11 hari), jumlah habitat larva
bertambah pada permulaan musim hujan dalam hal Aedes Aegipty. Namun bila

hujan deras sekali populasi cenderung menurun karena banyaknya habitat larva yang

hilang hanyut oleh air yang sangat deras.

Di samping terdapat variasi musiman karena perubahan lingkungan, mungkin

juga ada variasi antar—tahunan. Karena itu bilamana mungkin studi ekologi sektor

diselenggarakan untuk beberapa tahun.

D. Epidemiologi Vektor

Ada beberapa faktor epidemiologi yang dapat mempengaruhi terjadinya suatu

penyakit, di antaranya faktor cuaca, vektor, reservoir, geografis, dan faktor perilaku.

Berikut penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut.

1. Cuaca

Iklim dan musim merupakan faktor utama yang mempengaruhi terjadinya

penyakit infeksi. Agen penyakit tertentu ditemukan terbatas pada daerah geografis

tertentu juga karena mereka membutuhkan reservoir dan vektor untuk kelangsungan

hidupnya. Iklim dan variasi musim dapat mempengaruhi kehidupan agen penyakit,

reservoir, dan vektor. Selain itu, perilaku manusia juga dapat meningkatkan

transmisi atau menyebabkan kerentanan terhadap penyakit infeksi.

2. Vektor

Organisme hidup yang dapat menularkan agen penyakit dan satu hewan ke

hewan lain atau ke manusia disebut sebagai vektor. Arthropoda merupakan, vektor

penting di dalam penularan penyakit parasit dan virus yang spesifik. Nyamuk

merupakan vektor penting untuk penularan virus yang menyebabkan ensefalitis pada
manusia. Nyamuk mengisap darah dan reservoir yang terinfeksi. Agen penyakit ini

kemudian ditularkan pada reservoir yang lain atau pada manusia.

Ricketsia merupakan parasit intraseluler obligat yang mampu hidup di luar

jaringan hewan dan dapat ditularkan antarhewan oleh vektor. Rat fleas, body lice,

dan wood tick adalah vektor artropoda yang menyebabkan penularan penyakit yang

disebabkan ricketsia.

3. Reservoir

Hewan-hewan yang menyimpan kuman patogen sementara hewan itu sendiri

tidak terkena penyakit disebut reservoir. Reservoir untuk arthropod borne disease

adalah hewan yang dapat hidup bersama dengan patogen. Binatang pengerat dan

kuda merupakan reservoir untuk virus ensefalitis. Penyakit ricketsia merupakan

arthropodborne disease yang hidup di dalam reservoir alamiah. Tikus, anjing,

serigala, dan manusia merupakan reservoir untuk penyakit ini. Pada banyak kasus,

patogen mengalami multiplikasi di dalam vektor atau reservoir tanpa menyebabkan

kerusakan pada hospes intermedianya.

4. Geografis

Insidensi penyakit yang ditularkan artropoda berhubungan langsung dengan

geografis tempat reservoir dan vektor berada. Bertahan hidupnya agen penyakit

bergantung pada iklim (suhu, kelembaban, dan curah hujan) dan fauna lokal.

Di daerah tertentu, Rocky Mountains spotted fever merupakan penyakit

bakteri yang memiliki bentuk penyebaran secara geografis. Penyakit ini ditularkan

melalui gigitan tungau yang terinfeksi oleh acketsia. Tungau tersebut termasuk jenis

tungau kayu dan ricketsia yang dibawanya kemudian ditularkan pada tungau anjing
dan terbawa sampai ke bagian timur Amerika Serikat. Penyakit tersebut lebih sering

terjadi di timur Amerika Serikat dan sangat jarang ditemukan di wilayah utara atau

barat.

Variasi musim juga mempengaruhi penyebaran penyakit melalui artropoda

contoh, virus dengue ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypty selama

musim penghujan karena musim ini merupakan saat terbaik bagi nyamuk untuk

berkembang biak. Dengan demikian, wabah penyakit dengue ini terjadi antara akhir

tahun sampai awal tahun depan (September sampai Maret).

5. Perilaku Manusia

Interaksi antarmanusia, kebiasaan manusia untuk membuang sampah secara

sembarangan, kebersihan individu dan lingkungan dapat menjadi penyebab

penularan penyakit bawaan artropoda (arthropodborne-disease).

a. Transmisi Arthropodborne Disease

Masuknya agen penyakit ke dalam tubuh manusia sampai terjadi atau

timbulnya gejala penyakit disebut sebagai masa inkubasi atau incubation period.

Khusus pada arthropodborne disease terdapat dua periode masa inkubasi, periode

pada tubuh vektor dan periode pada manusia.

Beberapa istilah yang sering digunakan pada transmisi artropodborne

disease, antara lain:

1) Inokulasi (Inoculation)

Inokulasi adalah masuknya agen penyakit atau bibit yang berasal dari

artropoda ke dalam tubuh manusia melalui gigitan pada kulit atau deposit pada

membran mukosa.
2) Infestasi (Infestation)

Masuknya artropoda pada permukaan tubuh manusia kemudian

berkembang biak disebut sebagai infestasi misalnya, penyakit skabies.

3) Extrinsic Incubation Period dan Intrinsic Incubation Period

Waktu yang diperlukan agen penyakit untuk berkembang dalam tubuh

vektor disebut sebagai masa inkubasi ekstrinsik, sementara waktu yang diperlukan

untuk berkembang dalam tubuh manusia disebut sebagai masa inkubasi intrinsik.

Contoh, parasit malaria dalam tubuh nyamuk Anopheles memerlukan waktu

antara 10 - 14 hari untuk berkembang bergantung pada temperatur lingkungan

(masa inkubasi ekstrinsik), sedangkan masa inkubasi intrinsiknva dalam tubuh

manusia berkisar antara 12-30 hari bergantung pada jenis plasmodium malaria.

4) Definitive Host dan Intermediate Host

Vektor atau manusia akan disebut sebagai definitive host atau intermediate

host bergantung pada apakah dalam tubuh vektor atau manusia tersebut terjadi

perkembangan siklus seksual atau siklus aseksual agen penyakit apabila yang

berlangsung adalah siklus seksual, vektor atau manusia itu disebut sebagai

definitive host. Contoh, parasit malaria menjalani siklus seksual dalam tubuh

nyamuk Anopheles dan menjalani siklus aseksual pada tubuh manusia. Dengan

demikian, nyamuk Anopheles merupakan definitive host, sedangkan manusia

merupakan intermediate host.

Berikut ini tiga jenis cara penularan arthropodborne disease.

1) Kontak Langsung
Artropoda secara langsung memindahkan penyakit atau infestasi dari satu

orang ke orang lain melalui kontak langsung. Contoh, skabies dan pedikulus.

2) Transmisi Secara Mekanis

Agen penyakit ditularkan secara mekanis oleh artropoda, misalnya

penularan penyakit diare, tifoid, keracunan makanan, dan trakoma oleh lalat.

Secara karakteristik, artropoda sebagai vektor mekanis membawa agen penyakit

dan manusia yang berasal dari tinja, darah, ulkus superfisial. atau eksudat.

Kontaminasi dapat terjadi pada permukaan tubuh artropoda saja, tetapi dapat juga

berasal dari agen yang ditelan dan kemudian dimuntahkan atau dikeluarkan

melalui kotoran artropoda.

Agen penyakit yang paling banyak ditularkan melalui antropoda adalah

bakteri entenik yang ditularkan oleh lalat rumah. Di antara bakteri semacam itu.

Salmonella typhusa. spesies lain dan salmonella, E. coli. dan Shigella dysentri

merupakan agen penyakit yang paling sering ditemui dan paling penting. Lalat

rumah dapat men jadi vektor agen penyakit tuberkulosis, antraks, tularemia dan

brucellosis.

3) Transmisi Secara Biologis

Agen penyakit mengalami perubahan siklus dengan atau tanpa multiplikasi

di dalam tubuh artropoda, penularan semacam itu disebut sebagai transmisi

biologis. Ada tiga cara transmisi biologis, yaitu:

a) Propagative

Agen penyakit tidak mengalami perubahan siklus, tetapi bermultiplikasi di

dalam tubuh vektor. Contoh, plague bacilli pada pinjal tikus.


b) Cvclo-propagative

Agen penyakit mengalami perubahan siklus dan bermultiplikasi di dalam

tubuh artropoda. Contoh, parasit malaria pada nyamuk Anopheles.

Diagram Transmisi Secara Biologis

c. Cyclo-developnzental

Agen penyakit mengalami perubahan siklus, tetapi tidak bermultiplikasi di

dalam tubuh artropoda. Contoh, parasit filaria pada nyamuk Culex dan cacing pita

pada cyclops.

b. Penyakit yang Ditularkan Melalui Vektor Nyamuk

Untuk mengetahui lebih jelas mengenai penyakit-penyakit endemis yang

ditularkan melalui gigitan nyamuk di Indonesia, di antaranya filariasis, malaria, dan

dengue hemorrhagic fever, kita perlu mengetahui cara penularan penyakit ini.

Diagram cara penularan penyakit ini dapat dilihat pada halaman 118.

Beberapa tahun terakhir ini, beberapa virus ditularkan oleh artropoda secara

biologis. Virus ini masuk dalam kelompok Arbovirus. Lebih dari 100 jenis virus

kelompok ini telah dapat dibedakan. Organisme ini bersifat ultra mikroskopik dan

merupakan parasit obligat pada sel-sel host. Sebagian besar virus kelompok ini
memanfaatkan nyamuk sebagai vektor alamiahnya. Virus paling penting adalah virus

yang menyebabkan yellow fever, dengue hemorrhagic fever, ensefalitis, Colorado

tick fever, dan Sandfly fever. Arthropodborne virus berkembang di daerah tropis dan

meluas ke daerah subtropis.

Cara Penularan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

c. Penyebaran Penyakit Melalui Vektor

Di bawah ini merupakan beberapa contoh artropoda dan penyakit-penyakit

yang disebarkannya.
 Nyamuk

1. Malaria

Vektor siklik satu-satunya untuk penyakit malaria pada manusia dan pada

kera adalah nyamuk Anopheles. Sementara itu, penyakit malaria pada burung dapat

disebabkan oleh nyamuk Anopheles dan Culex.

Pada praktisnya setiap spesies Anopheles dapat diinfeksi secara eksperimen,

tetapi banyak dan spesiesnya yang bukan vektor alami. Sekitar 110 spesies nyamuk

Anopheles pernah dihubungkan dengan penularan malaria. 50 spesies di antaranya

merupakan spesies yang penting di dalam menularkan malaria dan dapat ditemukan

di mana-mana atau secara setempat. Sifat suatu spesies untuk dapat menularkan

penyakit ditentukan oleh:

a) Keberadaannya di dalam atau di dekat tempat hidup manusia.

b) Lebih menyukai darah manusia daripada darah hewan walau jumlah populasi

hewan di sekitarnya sangat banyak.

c) Lingkungan yang menguntungkan perkembangan dan memberikan waktu hidup

cukup lama pada plasmodium untuk menyelesaikan siklus hidupnya.

d) Kerentanan fisiologis nyamuk terhadap parasit.

Untuk menentukan apakah suatu spesies memang merupakan vektor yang

sesuai, perlu dicatat persentase nyamuk yang terkena infeksi setelah menghisap darah

penderita malaria. Penentuan nama spesies nyamuk sebagai vektor dapat dipastikan

dengan melihat daftar indeks infeksi alami, biasanya sekitar 1-5% dan nyamuk betina

yang dikumpulkan dan rumah-rumah di daerah yang diserang malaria. Spesies-

spesies berikut adalah spesies yang penting di antara vektor malaria:


a) A. culicifacies (Asia bagian Selatan).

b) A. hyrcamis sinensis (Asia Tenggara, Kepulauan Pasifik).

c) A. fluviutilis (India).

d) A. mactilatus (Asia Tenggara dan Timur, Taiwan).

e) A. minimus (Asia Tenggara dan Timur, Taiwan).

f) A. stephensi (Asia Selatan)

g) A. sundaicus (Asia Tenggara dan Selatan, Indonesia).

h) A. umbrosus (Asia Tenggara, Indonesia).

i) A. furauti (Kepulauan Solomon, Hebrides, Irian, New Britain sampai Sulawesi

bagian Timur, Australia).

j) A. punctulutus (Irian, Solomon, pulau-pulau lain).

2. Filariasis

Nyamuk Culex adalah vektor dari penyakit filariasis Wuchereria brancrofti

dan Brugia malayi. Jumlah spesies Anopheles, Aedes, Culex, dan Mansonia cukup

banyak, tetapi kebanyakan dari spesies ini tidak penting sebagai vektor alami.

Di daerah tropis dan subtropis, Culex quinqiiefusciutus (fatigans), nyamuk

penggigit di lingkungan perumahan dan perkotaan yang berkembang biak dalam air

setengah kotor sekitar tempat tinggal manusia, merupakan vektor umum penyakit

filariasis bancrofti yang mempunyai periodisitas nokturnal. Aedes polynesiensis

adalah vektor umum filariasis bancrofti nonperiodesitas di beberapa kepulauan

Pasifik Selatan. Nyamuk ini hidup di luar kota di semak-semak (tidak pernah dalam

rumah) dan berkembang biak di dalam tempurung kelapa dan lubang pohon. Walau
mengisap darah dan binatang peliharaan mamalia dan unggas, nyamuk ini lebih

menyukai darah manusia.

3. Demam Kuning

Demam kuning (yellow fever) yang merupakan penyakit virus dengan angka

kematian tinggi, telah menyebar dan tempat asalnya di Afrika Barat ke daerah tropis

dan subtropis lainnya di dunia. Nyamuk yang menggigit atau mengisap darah

penderita penyakit ini, dalam tiga hari pertama akan menjadi infektif selama hidup

nyamuk tersebut setelah virus yang ada dalam tubuhnya menjalani masa multiplikasi

selama 12 hari. Vektor penyakit ini adalah spesies nyamuk dan genus Aedes dan

Haemagogus. Aedes aegypti adalah vektor utama penyakit demam kuning epidemik.

Nyamuk ini hidup di sekitar daerah perumahan dan berkembang biak dalam berbagai

macam tempat penampungan air sekitar rumah. Larvanya tumbuh subur sebagai

pemakan zat organik yang terdapat di dasar penampungan air bersih (bottom feeders)

atau zat organik yang terdapat dalam air kotor.

4. Dengue Hemorrhagic Fever

Dengue hemorrhagic fever adalah penyakit endemis yang disebabkan oleh

virus di daerah tropis dan subtropis yang kadang-kadang menjadi epidemik. Virus

penyakit ini membutuhkan masa multiplikasi selama 8-10 hari sebelum nyamuk

menjadi infektif. Penyakit ini khususnya ditularkan oleh nyamuk spesies Aedes,

terutama A. aegvpti. Penyakit ini merupakan penyakit endemis di Indonesia dan

terjadi sepanjang tahun terutama pada saat musim penghujan.

5. Ensefalitis Virus
Berbagai tipe penyakit ensefalitis ditularkan oleh nyamuk spesies Culex dan

Aedes dan kadang-kadang oleh nyamuk Anopheles dan Mansonia. Penyakit

ensefalitis Japanese B ditularkan oleh spesies Culex pipiens, C. var palliens, C.

tritaeniorhynchus, dan Aedes aegypti yang reservoir alaminya adalah hewan

peliharaan mamalia. Penyakit ini terkadang dapat berjangkit sebagai penyakit

epidemik dengan angka kematian yang tinggi.

Di Amerika Serikat bagian tengah clan barat, penyakit ensefalitis St. Louis

ditularkan terutama oleh nyamuk Culex tarsalis dan C. pipiens. Reservoir utama

nyamuk ini adalah burung peliharaan.

 Lalat

1. Housefly (Lalat Rumah)

Lalat rumah, Musca domestica, hidup di sekitar tempat kediaman manusia di

seluruh dunia. Keseluruhan lingkaran hidupnya berlangsung antara 10 sampai 14

hari, dan lalat dewasa dapat hidup selama kira-kira satu bulan. Larva lalat ini

terkadang menyebabkan myasis usus, saluran kencing, dan saluran kelamin.

Lalat merupakan vektor mekanis bakteri paten, protozoa, dan telur serta larva

cacing. Luasnya penularan, penyakit yang disebabkan oleh lalat di alam sulit

ditentukan. Lalat rumah dipandang sebagai vektor penyakit tifus abdominalis,

salmonellosis, kolera, disentri basiler dan amuba, tuberkulosis, penyakit sampar,

tularemia, antraks, frambusia, konjungtivitis. demam undulans, tripariosorniasis, dan

penyakit spirokaeta.

2. Sandfly (Lalat Pasir)


Lalat pasir merupakan vektor penyakit leisimaniasis, demam papataci, dan

bartonellosis. Leishmania donovani, penyebab penyakit Kalaazar; L. Iropica;

penyebab oriental sore; dan L. braziliensis, penyebab Leishmaniasis Amerika,

ketiganya ditularkan oleh lalat Phlebotomus. Demam papataci atau demam

phiebotoinus, penyakit yang disebabkan oleh virus dan banyak ditemukan di daerah

Mediterrania dan Asia Selatan, terutama ditularkan oleh P papataci, yang menjadi

infektif setelah virus bermultiplikasi selama 7- 10 hari di dalam tubuhnya. Penyakit

bartonellosis muncul di Amerika Selatan bagian barat laut sebagai demam akut

penyakit carrion dan dalam bentuk kronisnya sebagai granulema verrucosa. Basil

penyebab bartonellosis adalah Bartonella bacilliformis yang ditularkan oleh lalat

pasir yang hidup di daerah Pegunungan Andes.

3. Tsetse Flies (Lalat Tsetse)

Lalat Tsetse merupakan vektor penting penyakit tripanosomiasis pada

manusia dan hewan peliharaan. Paling sedikit terdapat tujuh spesies dan lalat ini

yang menjadi vektor infeksi trypanosonia pada hewan peliharaan. Vektor untuk

Trypanosoma rhodesiense (penyebab trypanosomiasis) adalah lalat Glossina

morsitans, G. swynnertoni dan G. pallidipes. Lalat tsetse, jantan dan betina,

bertindak sebagai penyebab pembawa parasit ini, terutama Glossina palpalis. Lalat

ini banyak terdapat di sepanjang tepi-tepi sungai yang mengalir di bagian barat dan

tengah Afrika. Lalat ini mempunyai jangkauan terbang sampai mencapai 3 mil.

Sementara itu, vektor utama untuk penyakit tidur sleeping sickness) di Gambia

adalah lalat spesies G. puljialis fuscipes dan pada daerah-daerah tertentu, G.

tachhinoides.
4. Black flies (Lalat Hitam)

Blackfly (lalat hitam) yang menjadi vektor penyakit onkosersiasis di Afrika

berasal dari spesies Simuijurn damnosurn dan S. neavej, sedangkan di Amerika

adalah S. inetallicwn, S. ochracewn, dan S. callidunz. Spesies lain mungkin bukan

vektor yang penting walau dapat menularkan onkosersiusis pada ternak dan penyakit

protozoa pada burung. Salah satu karakteristik gejala onkosersiasis adalah kebutaan

dan berkenaan dengan itu, hal ini merupakan penyebab kedua yang menyebabkan

kebutaan di dunia.

 Tuma dan Pinjal

1. Head Lice, Body Lice, dan Crab Lice (Tuma Kepala, Tuma Badan, dan Tuma

Kemaluan)

Tuma badan (body lice) merupakan vektor tifus epidemik dan epidemik

relapsing fever di Eropa dan Amerika Latin. Tuma tipe ini akan terinfeksi Rickettsia

prowazeki, jika mengisap darah penderita yang mengandung organisme ini.

Rickettsia tersebut kemudian berkembang biak dalam epitel lambung tengah tuma

dan dikeluarkan bersama tinja. Tuma tetap infektif selama hidupnya. Infeksi pada

manusia biasanya terjadi karena adanya kontaminasi tinja atau badan tuma yang

terkoyak pada luka gigitan, kulit yang lecet, atau lapisan mukosa.

Jika tuma terinfeksi spirokaeta spesies Borrelia recurrentis yang merupakan

penyebab epidemik relapsing fever di Eropa-spirokaeta akan berkembang biak di

seluruh tubuh tuma yang menjadikan tuma tetap infektif selama hidupnya. Demam

parit, suatu penyakit yang disebabkan oleh Rickettsia dan juga ditularkan oleh tuma
walau tidak berakibat fatal, pernah berjangkit sebagai penyakit epidemik selama

Perang Dunia I dan kemudian menjadi endemis di Eropa dan Meksiko.

2. Fleas (Pinjal)

Pinjal (flea) hanya penting dalam dunia kedokteran jika berhubungan dengan

penularan penyakit sampar dan tifus endemis. Pinjal dapat juga bertindak sebagai

hospes perantara parasit.

Pinjal juga dapat bertindak sebagai vektor mekanis berbagai penyakit yang

disebabkan oleh bakteri atau virus, khususnya karena kontaminasi dengan tinjanya.

Pinjal Ctenoceplialides cools, Ctenoceplzalides felis. dan P. irritulis merupakan

hospes perantara untuk cacing pita pada anjing, sedangkan Dipylidium caninum

bersama Nosopsyllus fasciatus, Xeoopsylla cheopis, dan Leptopsylla segnis

merupakan hospes perantara untuk cacing pita pada tikus. Kedua cacing pita tersebut

merupakan parasit insidental pada manusia.

3. Penyakit Sampar

Penyakit sampan ditularkan oleh pinjal tikus dan spesies Xenopsylla cheopis

merupakan vektor yang paling penting. Pinjal ini mudah menularkan penyakit dan

tetap infektif untuk waktu yang lama dan tersebar luas. Spesies lain penting hanya

untuk suatu daerah tertentu di berbagai bagian dunia. Pinjal spesies Pulex irritans

pernah dilaporkan menularkan penyakit sampan dan penderita yang meninggal akibat

penyakit ini dan merupakan vektor sampan yang penting di daerah Andes, Chili.

Penyakit sampar hutan syliaticplague di Asia. Afrika dan Amerika Utara disebabkan

oleh pinjal dan hewan pengerat liar.


4. Tifus Endemis

Penyebab tifus endemis (murine typhus) adalah Rickettsia prowuzeki var

typhi. Organisme ini ditularkan dan tikus ke tikus lain dan dari tikus ke manusia oleh

pinjal spesies Xenopsylla cheopis dan Nosopsyllus fasciatus. Satu kali mengisap

darah penderita penyakit ini dapat menyebabkan pinjal infektif selama hidupnya.

Rickettsia prowuzeki var typhi dikeluarkan bersama tinja. Infeksi dapat terjadi karena

luka gigitan atau kulit lecet yang terkontaminasi oleh tinja infektif atau tinja pinjal

yang terkoyak.

 Reduviid Bugs (Kissing Bugs)

Berbagai spesies reduviid merupakan vektor yang penting untuk

Trvpanosoma cruzi (organisme penyebab penyakit Chagas) dan untuk T Rangeli

yang ternyata tidak patogen bagi manusia. Kebanyakan reduviid mampu menularkan

penyakit, tetapi hanya beberapa spesies saja yang merupakan vektor yang efektif

vektor yang paling penting adalah Triatorua infestans, Panstrongyhrs megistus dan

Rhodnius prolixus.

 Ticks (Sengkenit)

Sengkenit telah dikenal sebagai vektor penyakit sejak tahun 1893, ketika

Smith dan Kilbounne menemukan spesies Boophilus annulatus sebagai vektor

penular demam Texas pada lembu. Beberapa spesies sengkenit tidak saja dapat

menularkan penyakit saat dalam sengkenit menjalani stadium metamorfosisnya,

tetapi juga melalui telur, kepada generasi sengkenit berikutnya. Penularan penyakit

ini pada binatang-binatang peliharaan akan menyebabkan kerugian keuangan yang

besar.
Sengkenit dapat menjadi vektor berbagai macam penyakit pada manusia,

misalnya saja penyakit Rickettsia, penyakit virus, dan penyakit bakteri, serta

penyakit spirokaeta.

 Tungau (Mites)

Tungau adalah vektor untuk penyakit tsutsugamushi atau scrub typhus yang

disebabkan oleh Rickettsia tsutsugamushi. Gigitan tungau demam remiten,

limfadenitis, splenomegali, dan suatu eritema yang pada manusia menyebabkan luka

bernanah yang disertai dengan merah sekali. Tungau yang menjadi vektor utama

penyakit ini adalah Troinbicula akainushi dan T deliensis. Tungau menularkan

penyakit pada stadium larva sedangkan larva tungau merupakan parasit pada tikus

ladang di Jepang dan beberapa tikus rumah seperti tikus ladang di Taiwan dan di

Indonesia, manusia merupakan hospes secara kebetulan karena larva tungau

melekatkan diri pada pekerja di ladang. Penyakit larva generasi kedua mampu

menginfeksi manusia ini dapat ditularkan dan generasi ke generasi dan dengan

demikian.

 Cyclops

Cyclop adalah hospes perantara dari Dracimculus mendinensis, cacing

cestoda Diplyllobothrium tatum, dan cacing nematoda Gnathos-toma spinigerum.

d. Penyakit Rickeffsia

Contoh-contoh penyakit Rickctisia, antara lain:

o F Russian typhus

Agen penyakit R. burretti

Vektor penyakit ini adalah Derzacentor nuttalli,


o Fever

Agen penyakit: Ricketisia bitnietti.

Vektor penyakit ini antara lain sengkenit dan genus Dermacentor (D. andersoni.

D. occidentalis); Amblyomna americanum; Haemoplyzsalis humerosa; Ixodes (I.

dentatus, I. holocyclus): Ornithodoros (O. mouhata, O. hermsi), dan vektor

secara eksperimen, Rhipicephalus sanguineus.

e. Penyakit Virus

Contoh-contoh penyakit virus, antara lain:

o Colorado tick fever

Vektor Dermacentor andersoni.

o Demam berdarah (hemorrhagic fevers)

Vektor: Hyalomma marginatum, H. anatolicunz, dan Dermacentor pictu.

o Louping ill

Vektor Ixodes ricinus dan Rhipicephalus appendiculatu.

o Kyasanur forest disease

Vektor Haemophysalis spinigera.

o Virus Powasson

Vektor Dermacentor andersoni, Ixodes marxi, dan I. cooki.

o Russian spring dan summer encephalitis

Vektor Dermacentor silvarum, Haemophysatis concinna, dan Ixodes (I.

persulcatus dan I. ricinus).

f. Penyakit bakteri dan spirokoeta

Contoh penyakit bakteri dan spirokaeta, antara lain:


o Relapsing fever

Agen penyakit: Borrelia duttnni dan lain-lain.

Vektor genus Ornithodoros (O. erraticus, O. herrnsi, O. morocanus, O. moubata,

O. parkeri, O. papillipes, O. savignyi, O. lalaje, O. turicata, dan O. venezuelensis)

dan Rhipicephalus appendiculalus.

o Tularemia

Vektor Amblyomma americanum, Dermacentor (D. albipictus, D. andersoni, D.

occidentalis, D. silvarutn, dan D. valiabilitas), Ixodes rincinus dan spesies lain;

Rhipicephalus appendiculatus.

E. Strategi Pengendalian

Dalam pengendalian Arthropoda ada beberapa prinsip yang perlu diketahui

dalam penatalaksanaannya, antara lain:

1) Pengendalian lingkungan

Pengendalian lingkungan merupakan cara terbaik untuk mengontrol artropoda

karena hasilnya dapat bersifat permanen: Contoh, membersihkan tempat-tempat

hidup artropoda.

2) Pengendalian biologi

Pengendalian biologi ditujukan untuk mengurangi pencemaran lingkungan akibat

pemakaian insektisida yang berasal dari bahan-bahan beracun. Contoh pendekatan

ini adalah pemeliharaan ikan.

3) Pengendalian genetik

Dalam pendekatan ini, ada beberapa teknik yang dapat digunakan, di antaranya

steril technique, citoplasinic incompatibility, dan choromosomal transloeation.


4) Pengendalian kimia

Pada pendekatan ini, dilakukan penggunaan beberapa golongan insektisida.

Seperti golongan ocganoklorin, golongan organofosfat, dan golongan karbamat.

Namun penggunaan insektisida ini sering menimbulkan resistensi dan juga

kontaminasi pada lingkungan.

Berikut beberapa teknik pengendalian yang dapat diterapkan pada masing-

masing atropoda.

1) Pengendalian Nyamuk

Di dalam upaya pengendalian nyamuk, beberapa metode yang dapat

digunakan, antara lain tindakan antilarva, tindakan terhadap nyamuk dewasa, dan

tindakan terhadap gigitan nyamuk. Untuk tindakan antilarva, metode berikut ini

dapat diterapkan:

o Pengendalian lingkungan

o Pengendalian kimia

Pengendalian kimia dapat dilaksanakan dengan menggunakan mineral oils; paris

green; insektisida sintetis, misalnya fenthion; chiorpyrofos; abate; dan malathion.

o Pengendalian biologi

Sementara itu, di dalam upaya pengendalian terhadap nyamuk dewasa,

beberapa metode di bawah ini dapat dilakukan.

o Residual sprays

o Space sprays

Penyemprotan ruang ini dapat menggunakan ekstrak pyrethrum ataupun residual

insektisida.
o Pengendalian genetik

Cara-cara untuk melakukan pengendalian genetik di antaranya steril male

technique; cytoplasmic incompatibility; chromosom translocation; dan sex

distortion.

Untuk pengendalian nyamuk dewasa, dapat dilakukan tindakan-tindakan

berikut ini.

o Pemasangan mosquito net (kelambu)

o Pelaksanaan screening

o Penggunaan repellent (kimia)

Repellent (penolak nyamuk) yang digunakan dapat mengandung zat kimia

berikut: diethvltoluarnide, indalon, atau dimethyl karbote.

2) Pengendalian Lalat Rumah

Di dalam upaya pengendalian lalat rumah (housefly), beberapa metode

berikut dapat dilakukan, di antaranya, pengendalian lingkungan, pengendalian

insektisida, fly papers, perlindungan terhadap lalat, dan pendidikan kesehatan.

Berkaitan dengan pengendalian yang menggunakan insektisida, teknik-teknik berikut

ini dapat digunakan, yaitu:

a) Residual sprays

Bahan kimia yang dipakai dalam penyemprotan residual, antara lain DDT 5%,

methoxychlor 5%, lindane 0,5%, dan chiordane 2,5%.

b) Baits

Untuk baits, bahan kimia yang dipakai, antara lain diazinon, malathion, dan

dichlorvos.
c) Cords dan ribbons

Cord dan Ribbons dapat mengandung bahan diazinon, fenthion, atau dimethoate.

d) Space Sprays

Di dalam metode penyemprotan ruang, dapat digunakan pyrethrine, DDT, atau

BHC.

e) Larvacid

Untuk larvasida, bahan kimia yang dapat dipakai, antara lain diazinon 0,5%,

dichlorvos 2%, atau dimethoate.

3) Pengendalian Lalat Pasir

Teknik-teknik yang biasa digunakan di dalam pengendalian lalat pasir (sand

flies) adalah penggunaan insektisida dan pelaksanaan sanitasi lingkungan. DDT 1-2

g/m² dan Lindane 0,25 g/m² dapat digunakan sebagai insektisida untuk

mengendalikan populasi lalat pasir.

4) Pengendalian Lalat Tsetse

Terdapat empat teknik di dalam pengendalian lalat tsetse, di antaranya

penggunaan insektisida, pembabatan tumbuhan (clearing of vegetation), game

destruction atau lomba pemusnahan lalat tsetse secara besar-besaran di benua Afrika,

dan pengendalian genetik. DDT 25% dan Dieldrin 18-20% dapat digunakan sebagai

insektisida untuk mengendalikan populasi lalat pasir.

5) Pengendalian Tuma

Pengendalian tuma atau lice dapat dilakukan dengan menggunakan

insektisida, dalam hal ini DDT dan Malathion (0,5%) atau dengan menerapkan

personal higiene pada setiap individu.


6) Pengendalian Skabies

Penyebaran penyakit skabies dapat dikendalikan melalui penggunaan bahan-

bahan kimia, antara lain benazyl benzoate 25%, BHC 0,5%-l0%, tetmosol 5%, dan

sulfur ointment 2,5% - 10%.

7) Pengendalian Pinjal

Untuk mencegah penyebaran penyakit yang disebabkan oleh pinjal (fleas),

maka perlu dilakukan tindakan pengendalian terhadap artropoda tersebut. Upaya

yang dapat dilakukan, antara lain melalui penggunaan insektisida, dalam hal ini

DDT, Diazinon 2%, dan Malathion 5%; penggunaan repellent (misalnya, diethyl

toluamide dan benazyl benzoate) dan pengendalian terhadap hewan pengerat

(rodent).

8) Pengendalian Sengkenit dan Tungau

Insektisida, pengendalian lingkungan, dan perlindungan terhadap pekerja

merupakan tindakan yang tepat untuk mengendalikan penyebaran penyakit yang

disebabkan oleh sengkenit (ticks) dan tungau (mites). Insektisida yang dapat

digunakan untuk mengendalikan populasi sengkenit dan tungau ini, antara lain DDT,

chlordane, dieldrin, lindane, dan malathion.

9) Pengendalian Cyclops

Untuk mengendalikan populasi cyclops, tiga metode berikut dapat dilakukan

pengendalian fisik melalui penyaringan dan pemasakan air (minimal sampai

mencapai suhu 60°C); pengendalian kimia, yaitu dengan menggunakan khlorine 5

ppm, lime (batu kapur), dan Abate (1 mg/liter), dan pengendalian biologis, yaitu

melalui pemeliharaan ikan.


1. Falsafah dan Pertimbangan Dasar Pengendalian Kimia

Dalam konsep pengendalian hama, perlu terlebih dahulu ditanamkan paham

bahwa suatu populasi hama tidak mungkin dapat diberantas habis (eradikasi total),

kecuali di dalam suatu lokasi yang amat terbatas dan benar-benar terisolasi dan

populasi-populasi lainnya. Selama lapangan atau areal yang kita hadapi masih berupa

lingkungan yang mempunyai hubungan bebas secara fisik, biologis serta sosial

ekonomis dengan lingkungan di sekitarnya, maka seyogyanya kita mengambil

pendekatan pengendalian populasi dan bukannya eradikasi.

Adapun nanti cara yang ditempuh, terlebih dahulu perlu dirumuskan

pertimbangan yang akan dijadikan pedoman operasional. Secara wajar saja, agar

upaya kita itu dapat efektif dan efisien, maka tindakan kita harus tertuju kepada

stadium hama yang paling rawan (terhadap tindakan itu), mudah dilaksanakan, tidak

memerlukan biaya terlalu besar, aman bagi manusia maupun makhluk bukan sasaran,

serta dapat diterima oleh kalangan masyarakat. Satu hal lagi yang perlu ditambahkan

adalah bahwa tindakan ini seyogyanya tidak akan mengganggu kelestarian dan

keseimbangan alam lingkungan yang bersangkutan, dalam jangka pendek maupun

jangka panjang.

Dengan berpedoman kepada pertimbangan tersebut, tinggal sekarang dipilih

cara-cara apa yang akan digunakan, disesuaikan dengan spesies hama yang akan

ditindak serta dengan situasi dan kondisi setempat, jika hal ini dapat dipahami, maka

berarti strategi dan taktik pengendalian hama permukiman di berbagai lokasi atau

suatu lokasi tertentu akan lebih mudah dan efektif apabila yang dijadikan sasaran

adalah stadium pradewasanya, misalnya jentik nyamuk atau belatung lalat. Untuk
lokasi lainnya mungkin hanya dewasanya saja atau kedua-duanya dapat ditindak

sekaligus ataupun bergantian. Tindakan sanitasi lingkungan serta pemasangan barier

fisik seperti kawat kasa mungkin lebih tepat bagi permukiman tertentu.

Dalam hubungan ini, maka informasi menyeluruh tentang vektor sasaran serta

keadaan setempat perlu dikuasai apabila hasil maksimal ingin dicapai. Ideanya,

urutan langkah seperti berikut inilah yang harus diikuti:

1. Mengetahui identitas hama sasaran.

Mengenal siapa yang akan menambah kepercayaan pada din petugas, sehingga ia

tidak membabi buta dalam tindakannya nanti. Dengan demikian, organisme bukan

sasaran akan sejauh mungkin terhindar dan kemusnahan.

2. Mengetahui sifat dan cara hidup (bioekologi) vektor sasaran.

Mengenal daur hidup, habitat, waktu dan perilaku makan. waktu dan perilaku

beristirahat, jarak terbang dan lain sebagainya akan sangat membantu dalam

upaya pengendalian. Informasi mengenai hal itu semua mutlak diperlukan apabila

strategi pengendalian seperti tersebut di atas tadi hendak diterapkan.

3. Memilih alternatif cara pengendalian.

Sekiranya ada cara lain, alangkah baiknya jika cara itu ditempuh, setidaknya

diselang-seling dengan penggunaan pestisida. Dengan pendekatan itu,

penggunaan pestisida akan dikurangi yang berarti pula akan mengurangi

kemungkinan akibat sampingnya.

4. Memilih pestisida.

Sekiranya penggunaan pestisida memang diperlukan, maka yang harus diingat

adalah kemungkinan terjadinya berbagai akibat samping. Bagi ekosistem


permukiman, yang terutama harus dipertimbangkan adalah: (a) kemungkinan

keracunan langsung pada para pemukim maupun makhluk bukan sasaran lainnya;

(b) kemungkinan pencemaran berbagai medium yang berkaitan dengan hajat

hidup para pemukim berikut hewan-hewan peliharaannya; dan (c) kemungkinan

timbulnya resistensi pada populasi hama serangga sasaran setelah beberapa

generasi.

5. Menentukan cara aplikasinya.

Dalam hal alternatif pestisida yang dipilih, maka masih ada satu persoalan lagi

yang krusial yaitu bagaimana cara aplikasinya. Misalnya di mana dilakukannya,

kapan waktunya, dengan cara apa, formulasi mana yang paling tepat, serta siapa

yang akan melakukannya. Apa pun yang dipilih semuanya harus mengacu kepada

pedoman yang telah disepakati tadi, yaitu: efektif, efisien, aman, murah, mudah,

diterima di kalangan masyarakat dan tidak merusak lingkungan.

2. Pengendalian Vektor dengan Non-Insektisida

Cara ini mencakup segala usaha yang tidak menggunakan bahan kimia. Bila

dilihat dan efek samping terhadap lingkungan cara ini paling aman, tidak merusak

keseimbangan alam, tidak mencemari lingkungan, tetapi perlu dilakukan terus-

menerus dengan makin banyaknya hambatan yang makin dialami, baik hambatan

teknis maupun hambatan operasional.

Dalam garis besar pemberantasan nonkimia dibagi menjadi tiga cara, yaitu:

1) Pengelolaan Lingkungan

Pengelolaan lingkungan ini dapat dilakukan dengan cara:

a) Modifikasi lingkungan
Cara ini misalnya, dengan mengatur sistem irigasi, penimbunan tempat-tempat

yang dapat menampung air hingga air menggenang atau mengalirkan air yang

menggenang hingga kering dan sebagainya.

b. Manipulasi lingkungan

Dengan cara ini keadaan lingkungan diubah sedemikian rupa sehingga menjadi

tidak cocok untuk perkembangan vektor. Misalnya, pembersihan tanaman air

yang mengapung (ganggang dan lumut) dan lagoon, akan mengubah lagoon

menjadi tidak cocok untuk perkembangan Anopheles sundaicus. Begini pula

perubahan kadar garam air menjadi tawar atau terlalu asin juga merupakan cara

agar tempat tersebut tidak cocok untuk perkembangan Anopheles sundaicus

yang berkembang biak di air payau. Pemutusan pengairan secara berkala juga

cara yang efektif untuk pemberantasan Anopheles balabacencis, tetapi

sebaliknya pembabatan hutan bakau untuk dijadikan tambak tetapi tidak

dipelihara dengan baik akan membuat tempat perindukan yang ideal untuk

Anopheles sundaicus. Begitu selanjutnya, masih banyak cara untuk mengubah

lingkungan menjadi tempat yang tidak cocok untuk berkembang biak nyamuk.

c. Mengurangi kontak antara vektor dengan orang

Cara ini dapat dilakukan dengan bermacam-macam cara misalnya memakai

kelambu, memasang kasa pada ventilasi/jendela dan menggunakan ternak

untuk membelokkan sasaran binatang mencari darah untuk golongan vektor

zoofilik.

2) Pemberantasan Vektor Secara Biologis

Dapat dibedakan atas:


a) Menggunakan patogen dan parasit

Percobaan untuk mengetahui efikasi cara ini sudah banyak dilakukan tetap

masih sulit untuk diterapkan.

b) Predator

Dari banyak predator ikan pemakan jentik merupakan salah satu predator yang

efektif. Cara ini dapat dilaksanakan secara aktif oleh masyarakat meskipun

masih memerlukan rangsangan dan bimbingan dan dinas program

pemberantasan. Contohnya seperti ikan guppi dan ikan kepala timah.

c) B.T.I.H-14 (Bacillus thuringiensis H-14)

Cara ini sudah dicoba untuk pengendalian jentik Anopheles sundaicus.

Formulasi yang sudah dicoba adalah Tcknar E. C, Bactimos Granula, dan

Bactimos Briquet. Yang terakhir efek residual cukup lama (tiga Minggu), tetapi

pemakaian di lapangan agak sulit.

3) Pemberantasan Vektor Secara Genetik

Meskipun telah banyak dilakukan percobaan, tetapi belum pernah diterapkan

karena memerlukan laboratorium yang lengkap, biayanya cukup besar. Salah satu

cara pengendalian genetik ini adalah melepaskan nyamuk-nyamuk vektor jantan

yang telah disterilkan. Jantan steril ini diharapkan mengawini betina di alam.

Karena betina hanya kawin sekali, maka jika kebetulan kawin dengan jantan steril

betina tersebut tidak menghasilkan keturunan.

3. Pengendalian Vektor dengan Kimia (Insektisida)

Penggunaan insektisida yang tepat merupakan salah satu faktor yang penting

dalam menentukan keberhasilan pengendalian vektor. Hal-hal yang perlu


diperhatikan dalam penggunaan insektisida adalah ketepatan dalam penentuan dan

pengukuran dosis. Dosis yang terlalu tinggi akan menyebabkan pemborosan

insektisida di samping akan merusak lingkungan. Dosis yang terlalu rendah

mengakibatkan vektor tidak mati dan mempercepat timbulnya resistensi.

a. Dosis Insektisida

Dosis adalah jumlah insektisida dalam liter atau kilogram yang digunakan

untuk mengendalikan vektor tiap satuan luas tertentu. Dosis bahan aktif adalah

insektisida yang dibutuhkan untuk keperluan satuan luas atau satuan volume larutan.

Besarnya dosis insektisida tercantum dalam label.

b. Konsentrasi Insektisida

Ada tiga macam konsentrasi yang perlu diperhatikan dalam penggunaan

insektisida:

1) Konsentrasi bahan aktif, yaitu persentase bahan aktif suatu insektisida dalam

larutan yang sudah dicampur dengan pelarut.

2) Konsentrasi formulasi, yaitu banyaknya insektisida dalam cc atau gram setiap liter

pelarut.

3) Konsentrasi larutan atau konsentrasi insektisida yaitu persentase kandungan

insektisida dalam suatu larutan jadi.

Pengendalian vektor secara kimiawi dengan menggunakan insektisida

merupakan salah satu program pengendalian yang ditularkan vektor (vector borne

disease) sebagai contoh adalah malaria dan demam berdarah.

Insektisida yang digunakan biasanya berdasarkan hasil uji coba terhadap

suatu spesies nyamuk vektor dan pada kondisi satu daerah saja. Adapun di Indonesia
yang merupakan negara kepulauan, kemungkinan kepekaan nyamuk vektor pun

berbeda dan satu daerah dengan daerah lainnya.

Pengendalian vektor malaria sampai saat ini masih belum berhasil. Masalah

utamanya adalah kurangnya informasi mengenai vektor: mengenai bioekologi dan

juga munculnya resistensi vektor nyamuk malaria terhadap insektisida.

c. Alat Semprot

Alat untuk aplikasi insektisida terdiri dari bermacam-macam seperti knapsak

sprayer (high volume) biasanya dengan volume larutan konsentrasi sekitar 500 liter,

mist blower (low volume), swing fog (fogging), dan atomizer (ultra low volume)

biasanya kurang dan lima liter.

d. Ukuran Droplet

Very coarse spray : lebih 500 m

Coarse spray : 400-500 m

Medium spray : 250-400 m

Fine spray : 100-250 m

Mist : 50-100 m

Aerosol : 0,1 - 50 m

Fog : 5-15 m

e. Ukuran Partikel

Ada bermacam-macam ukuran partikel:

Macro granules : lebih 300 m

Micro granules : 100-300 m

Coarse dust : 44-100 m


Fine dust : kurang 44 m

Smoke : 0,001-0,1 m

f. Ukuran Molekul

Hanya ada satu macam yaitu ukuran 0,00 1 m

F. Taksonomi Insektisida

Insektisida yang digunakan dalam kesehatan masyarakat dapat dibagi dalam

kelompok sebagai berikut:

a) Mineral, misalnya: minyak tanah, solar, belerang, dan boraks.

b) Botanical, misalnya: Pyrethrum, Rotenone, Allethrin, Dimethrin, Resmethrin.

Disukai karena tidak menimbulkan masalah residu yang toksis.

c) Chiorined hydrocarbon, misalnya: DDT, Methoxychlor, BHC, Lindane,

Chlordane, Dieldrin, Toxaphene. Luas digunakan dan tahun 1940 hingga

dasawarsa 60-an. Tetapi masalah resistensi dan kontaminasi lingkungan telah

membatasi penggunaannya.

d) Organophosphate, misalnya: Abate, Malathion, Chiorphyrifos, Diazinon,

Dichiorvos, Maled, Trichiorfon. Pada umumnya menggantikan kedudukan

chlorinated hydrocarbon karena dapat melawan vektor yang resisten,

biodegradable, dan tidak mencemari lingkungan.

e) Carbamate, misalnya: Propoxur, Carbaryl Dirnetilen, Mobam, Landrin,

Merupakan suplemen bagi organophosphate.

f) Fumigant, misalnya: Nophthalene, Paradichlorobenzene, HCN, Methyibromide.

Adalah bahan kimia mudah menguap dan uapnya masuk ke tubuh vektor melalui

pori pernafasan dan melalui permukaan tubuh.


Cara pengelompokkan lain adalah berdasarkan stadium perkembangan vektor

yang menjadi sasaran, misalnya larvasida yang membunuh stadium larva, adultisida

yang membunuh stadium dewasa, ovisida yang membunuh telur. Repellent adalah

bahan yang menerbitkan bau yang menolak serangga. Misalnya diethyl toluamide

dipakaikan pada kulit yang terpapar dan pada pakaian untuk mencegah serangan oleh

nyamuk dan lain-lain artropoda. Repellent tidak perlu membunuh serangga, tetapi

memberi perlindungan kepada manusia dan serangan serangga. Beberapa insektisida

yang penting dapat dikelompokkan sebagai berikut;

a) Kelompok Mineral

Minyak tanah, minyak diesel telah lama dipakai sebagai larvasida. Minyak

memiliki bagian yang toksik dan mudah menguap yang dapat menembus trachea

pada larva dan pupa dan menghasilkan pengaruh anesthesi. Di samping itu,

minyak juga memiliki bagian yang tidak memiliki efek toksik langsung, yang

kurang menguap, namun menghambat pernafasan secara mekanis.

b) Kelompok Botanikal

Kelompok ini hanya mempunyai tiga elemen, yakni karbon, hidrogen, dan

oksigen. Mereka tidak mempunyai elemen chlorine seperti halnya chlorinated

hydrocarbon. Toksisitas terhadap vektor tinggi, namun rendah terhadap manusia

dan binatang piaraan. Pyrethrum, misalnya salah satu di antara beberapa

insektisida yang boleh dipakai di dalam rumah, seperti di dapur dan kamar makan

sebelum makanan disiapkan atau dihidangkan. Pyrethrum dihasilkan dan ekstrak

biji bunga chrysanthemum. Pada insektisida yang digunakan dengan cara semprot

dan aerosol, Pyrethrum merupakan insektisida primer karena mempunyai efek


pukulan cepat jatuh (quick knockdown) terhadap serangga hanya dalam beberapa

detik, namun tidak mematikan. Karena itu, banyak macam formulasi aerosol

memasukkan bahan lain, seperti suatu organophosphate atau carbamate untuk

menghasilkan kematian akhir bagi serangga. Berhubung harganya yang mahal, ke

dalam aerosol juga ditambahkan suatu bahan sinergis, yakni piperonyl butoxide

hingga bisa mengurangi pemakaian pyrethrum. Telah dibuat bahan sintetik

dengan kerja seperti pyrethrum misalnya, Allethrin dan Resmethrin.

c. Kelompok Chlorinated Hydrocarbon

Kelompok ini memiliki elemen-elemen chlorine, hydrogen, dan carbon. Beberapa

insektisida kelompok ini juga mempunyai elemen-elemen lain yakni oksigen dan

sulfur. Kelompok chlorinated hydrocarbon cara kerjanya adalah sebagai racun

terhadap susunan saraf pusat. Karena itu, gejala keracunan muncul dalam empat

stadium berurutan: gelisah, kejang, lumpuh, dan mati.

Insektisida dan kelompok ini yang pertama kali dipasarkan adalah Dichloro

diphenyl trichioroethane yang dipakai secara luas di bidang kesehatan masyarakat

dan pertanian di seluruh dunia. Bahan kimia ini termasuk insektisida keras, karena

pengaruhnya yang lama (persistent). Berhubung di banyak negara telah terjadi

resistensi vektor terhadap Dichioro diphenyl trichioroethane, di Indonesia

misalnya di Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur, maka program pengendalian

cara kimia beralih kepada penggunaan insektisida yang lunak atau non-persistent,

terutama kelompok organophosphate dan carbamate, atau kepada cara-cara lain.

Sebagian besar dan kelompok chlorinated hydrocarbon tinggal lama di dalam

lingkungan, mempengaruhi rantai makanan dan organisme bukan sasaran, dan


disimpan di dalam tubuh manusia dan binatang dengan kemungkinan pengaruh

yang mengganggu. Ada dua insektisida dan kelompok ini yang mudah terurai

(biodegradable) dan tidak disimpan dalam tubuh manusia, yakni Lindane dan

Methoxychior.

Lindane adalah 99% gamma isomer murni dan benzene hexachionide. Digunakan

antara lain sebagai scabicidae (membunuh scabies). Methoxychlor bisa dipakai

sebagai pengganti Dichioro diphenyl trichioroethane untuk semprotan di rumah

tangga dan aerosol karena toksisitas yang rendah terhadap manusia, dikeluarkan

oleh tubuh melalui urin dan biodegradable.

d. Kelompok Organophosphate

Organophosphate berasal dari H5PO4 (asam fosfat). Insektisida kelompok ini

mempunyai cara kerja yang sama, yakni menghambat enzym cholinesterase.

Berperan mulai dasawarsa 70-an, organophosphate sebagian besar menggantikan

kelompok chlorinated hydrocarbon karena:

1) Efektif melawan serangga yang telah resisten terhadap chlorinated

hydrocarbon.

2) Biodegradable dan tidak mencemari lingkungan dalam jangka lama.

3) Mempunyai pengaruh yang kurang lama terhadap organisme bukan sasaran.

Pada umumnya malathion, mempunyai toksisitas yang rendah sebagai

pengganti Dichloro diphenyl trichloroethane, dapat digunakan dengan aplikasi

ruang dengan cara ULV (Ultra Low Volume) untuk mengendalikan nyamuk

dewasa. Malathion sangat toksik terhadap lebah madu.


Temephos (Abate) adalah efektif sebagai larvasida, tidak sebagai

adultidisa. Untuk pengendalian terhadap Aedes aegypti pada kontainer air

digunakan formulasi Sand granule 1% dengan konsentrasi 1 ppm.

Chlorpyrifos (Dursban) dapat digunakan sebagai larvasida dan adultisida.

Karena efeknya lambat terhadap serangga, maka bisa ditambah pyrethrin untuk

mendapatkan pengaruh “quick knockdown”.

Diazinon dapat digunakan untuk mengendalikan kecoa, pinjal (kutu),

tikus, dan lalat. Lebih toksis terhadap manusia daripada Malathion.

e) Kelompok Carbamate

Carbamate adalah derivat CO2NH (carbornic acid). Tidak mempunyai

elemen chlorine ataupun phosphor. Cara kerjanya hampir sama saja dengan

organophosphate, yakni merendahkan kadar enzym cholineterase.

Carbaryl (Levin) banyak dipakai di lapangan pertanian dan kesehatan

masyarakat. Toksisitas terhadap mamalia rendah, namun sangat toksik terhadap

tawon madu. Carbaryl bisa digunakan untuk mengendalikan nyamuk dewasa.

Propoxur (Baygon) mempunyai efek “quick knockdown”, bisa digunakan

untuk mengendalikan kecoa, nyamuk, lalat, dan lain-lain artropoda.

f) Kelompok Fumigant

Fumigant adalah gas yang membunuh sel tubuh dan jaringan sesudah

masuk ke tubuh serangga melalui dinding tubuh dan alat pernafasan.

Hydrogen cyanide (HCN) dipakai terhadap serangga dan tikus. Cyanida

sangat berbahaya terhadap manusia. Calcium cyanida adalah bubuk yang

menerbitkan gas HCN bilamana bubuk terpapar dengan uap air udara. Bubuk ini
biasanya disemburkan ke lubang tikus. Gas HCN lebih ringan dari udara dan

mudah terbakar.

Berhubung insektisida konvensional sedikit banyak toksik terhadap

manusia, maka perlu diperhatikan cara penggunaan yang aman dan setiap

insektisida dan cara memberi pertolongan terhadap peristiwa keracunan.

G. Manajemen Pengendalian Vektor

Program pengendalian vektor adalah sebagian dan program kesehatan

masyarakat. Sering kali program pengendalian vektor berkaitan atau mendukung

program kesehatan masyarakat dun program sosial ekonomi lain.

Agar usulan program dapat diterima perlu ada alasan yang kuat yang

tampak dalam perencanaan. Di antara hal-hal yang perlu ada dalam perencanaan

pengendalian vektor yaitu:

a) Identifikasi Masalah

Data yang diperlukan adalah:

1) Data endemisitas penyakit ditularkan vektor.

2) Data ekologi vektor.

Prioritas permasalahan dapat juga tampak bila dikumpulkan juga data

endemisitas penyakit menular lainnya.

b) Studi Kelayakan

Studi kelayakan merupakan studi pendahuluan untuk menetapkan dapatnya

suatu proyek dikerjakan hingga selesai dengan mempertimbangkan cara dan

sumber yang tersedia. Perlu ditinjau kelayakan teknis berkaitan dengan

metode, kelayakan operasional berkaitan dengan sumber-sumber personal,


uang, dan material, dan kelayakan administrasi yang berkaitan dengan

peraturan dan perundang-undangan.

c) Percobaan Lapangan (Pilot Field Trial)

Berhubung jarang terdapat dua situasi pengendalian vektor yang sama, maka

sering kali suatu metode yang terpilih dicoba di lapangan pada suatu skala

kecil.

d) Analisis Dampak Lingkungan

Perkiraan perlu dibuat tentang dampak negatif dan dampak positif dan

program pengendalian vektor yang direncanakan. Dampak negatif misalnya

risiko toksik.

Di dalam proses pengendalian vektor terdapat dua faktor yang berpengaruh

yakni: 1) faktor luar (exogenous) dan populasi yang berpengaruh terhadap besarnya

populasi vektor yang bersangkutan; 2) faktor peubah yang terdapat di dalam populasi

vektor itu sendiri (endogenous) yang berpengaruh terhadap jumlah individu populasi.

Faktor luar ini dalam argumentasi yang klasik menurut Nicholson Basiley dibagi

menjadi: a) faktor density dependent; dan b) faktor density independent. Menurut

Andrewartha, Birch dan Davidson tidak perlu dipilah-pilah seperti ini karena di alam

tidak ada faktor yang independen terhadap populasi organisme.

1. Faktor Exogenous

a. Faktor density independent

Suatu fenomena yang menunjukkan tidak adanya perubahan yang

terkait terhadap perubahan yang terjadi dan suatu populasi organisme.


1) Cuaca: suhu udara, kelembaban, curah hujan, panjang sinar matahari, dan

iklim.

2) Perubahan yang terjadi dalam populasi akibat perubahan yang bersifat

random.

3) Gabungan faktor karena a dan b.

b. Faktor density dependent

Suatu fenomena yang menunjukkan keterkaitan antara suatu peubah

terhadap perubahan yang terjadi dan suatu populasi organisme.

1) Fenomena pemangsaan: predator, parasitoid.

2) Pakan: baik fenomena pakan utama serta pakan tambahan (food

supplement).

3) Gabungan antara pakan dan faktor pemangsaan.

4) Ruang: habitat yang paling disukai sebagai ruang lingkup dalam kehidupan

di alam. Di samping itu, juga fenomena emigrasi dan imigrasi, hidup di

permukaan atau di atas pohon.

2. Faktor Endogenous

a. Perubahan Patologis Akibat Kenaikan Kepadatan Populasi

1) Perubahan yang terjadi akibat tekanan individu/populasi.

2) Kelelahan kelenjar adrenopituitary.

b. Proses dalam Perubahan Genetik

1) Perubahan yang bersifat density dependent.

2) Perubahan individu yang fit.

3) Perilaku agresif.
4) Perubahan yang bersifat genetik akibat emigrasi total.

5) Perubahan perilaku polymorphik akibat dispersal.

c. Interaksi Sosial

1) Evolusi dalam kontrol sosial populasi.

2) Kompetensi intraspesifik.

3) Perilaku agresif.

d. Dispersal

1) Fenomena alamiah dan dispersal.

2) Fenomena kepadatan populasi terhadap dispersial, misalnya kupu-kupu

Pieridae.

H. Konsep Integrated Pest Management (IPM)

Sebelum dicetuskannya konsep IPM, istilah yang digunakan adalah Pest

Control (PC). Meskipun PC ini dapat diterjemahkan sebagai “pengendalian hama”

dan “pengendalian” itu sendiri sebenarnya memberikan konotasi fleksibel yaitu

kurang lebih: “menjaga agar populasi hama tidak meningkat terlalu tinggi sehingga

merugikan”, namun karena dalam kenyataannya praktik PC terlalu berat bergantung

kepada pestisida, maka PC diartikan sebagai “chemical control”. Banyak pemakaian

pestisida, misalnya penyemprotan, dilakukan secara “terjadwal” atau “berkala” baik

sebagai tindakan represif maupun preventif. Akibatnya seperti disebut di awal tadi,

terjadi akibat-akibat samping yang kurang menguntungkan, baik bagi kelangsungan

ekosistem bersangkutan maupun bagi keberhasilan upaya pengendaliannya sendiri.

Untuk mengurangi citra penggunaan pestisida secara berlebihan, maka diajukanlah

istilah pest management yang menyiratkan pendekatan pengendalian vektor secara


bijaksana dalam arti melakukan tindakan sejauh yang diperlukan serta penuh kehati-

hatian dan perhitungan.

Pengertian pest management awalnya dirumuskan sebagai “Pemanfaatan

semua teknik yang ada dalam suatu program terpadu untuk mengendalikan populasi

hama sedemikian rupa sehingga hama itu tidak menimbulkan kerugian sementara

akibat samping terhadap lingkungan ditekan seminimal mungkin” (Smith &

Reynolds, 1966; NAS, 1969). Pengertian itu dipertajam oleh Rabb (1972) yang

menyatakan bahwa pest management adalah pendekatan pengendalian hama secara

bijaksana dengan menggunakan cara-cara yang menjamin akan memberikan hasil

yang memuaskan dipandang dan segi ekonomi, ekologi maupun sosial.

Pengertian pest management tersebut jelas berasal dari situasi pengendalian

hama di lingkungan pertanian. Sebagai batasan terkendalinya populasi hama adalah

apabila populasi itu berada di bawah tingkat “ambang ekonomi” yaitu tingkat

populasi hama yang kerusakan yang diakibatkannya masih dapat ditoleransi dan segi

ekonomi. Maksudnya adalah selama kerusakan atau kerugian yang diakibatkan oleh

hama itu sedemikian kecil sehingga tidak seimbang dengan besarnya biaya

pengendalian, maka populasi hama itu masih disebut terkendali. Penambahan kata

integrated di depan kata pest management sebenarnya hanya merupakan penekanan

saja, untuk mengingatkan agar berbagai macam pendekatan pengendalian itu diikat

dalam satu program terkoordinasi dengan tujuan dan sasaran yang jelas. Produk dan

konsep IPM ini adalah harapan agar:

a) Populasi hama dapat terus ditekan di bawah ambang;

b) Penggunaan pestisida dikurangi sehingga mengurangi bahaya dan akibat samping;


c) Penggunaan metode nonpestisida ditingkatkan sejauh mungkin; dan

d) Keseluruhan program pengendalian itu efektif, efisien, aman, tidak berbiaya

tinggi, dan diterima di kalangan masyarakat.

Dalam pada itu, perlu sekali lagi ditekankan bahwa agar program IPM dapat

mencapai hasil maksimal, ada beberapa ha! yang harus dipahami benar yaitu:

a) Ikhwal hamanya khususnya mengenai biologi, ekologi, dan perilakunya;

b) Ikhwal strategi pengendalian yang akan ditempuh: siapa sasarannya, bagaimana

melaksanakannya, di mana, dan kapan waktunya yang paling tepat;

c) Ikhwal materi pengendaliannya, apakah pestisida (toksikologi dan

presestensinya), organisme musuh alami (biologi, ekologi, dan perilakunya)

ataupun cara-cara nonpestisida, lainnya; dan

d) Ikhwal lingkungan yang dihadapi, khususnya kondisi struktural dan tata ruangnya.

Anda mungkin juga menyukai