Anda di halaman 1dari 23

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Sebagai negara tropis dengan suhu rata-rata 24-28 derajat celcius, wilayah Indonesia sangat rawan dengan jenis penyakit musiman. Karakteristik iklim tersebut membawa peluang terhadap suburnya berbagai vektor nyamuk dan hewan lainnya sebagai agen penular beberapa penyakit, utamanya penyakit menular. Perbedaan suhu siang dan malam sekitar 3-10 derajat celcius dapat berpengaruh terhadap tingginya populasi nyamuk berkembang biak secara cepat, kegiatan reproduksi meningkat, masa kematangan pendek, dan tingkat gigitan (biting rate) meningkat. Kenaikan 3 derajat celcius akan menyebabkan kejadian penyakit yang ditularkan oleh nyamuk meningkat dua kali lipat lebih tinggi. Musim di Indonesia terbagi dua yakni musim hujan dan musim kemarau, namun berdasarkan periodesasi dibagi tiga bulanan. Musim hujan biasanya terjadi pada bulan Desember, Januari dan Februari sementara pada bulan Maret Mei adalah musim peralihan dari musim hujan ke musim kemarau. Musim kemarau terjadi pada bulan Juni hingga Agustus, sedangkan musim peralihan dari musim kemarau ke musim hujan terjadi September hingga November. Meski demikian, pada bulan April dan Mei masih kerap mendapati hujan masih turun karena terjadinya pergeseran puncak curah hujan selama sepuluh tahun terakhir. Pada musim hujan, ada beragam penyakit yang sering menyerang masyarakat. Bila diidentifikasi, setidaknya ada empat macam penyakit yang penularannya berlangsung pada musim hujan, seperti penyakit DBD (demam berdarah dengue), demam tifoid (penyakit tivus), penyakit leptospirosis, dan flu burung. Penyakit DBD disebabkan oleh nyamuk aides aegypti, sedang demam tifoid ditularkan melalui makanan atau minuman yang telah terkontaminasi bakteri. Adapun penyakit leptospirosis disebabkan disebabkan oleh bakteri Leptospira, sementara penyakit flu burung (Avian Influenza) disebabkan oleh virus influenza yang menular melalui ternak maupun manusia (zoonosis). Guna mencegah menyebarnya penyakit-penyakit tersebut maka dibutuhkan sebuah metode untuk mengendalikan vector (penyebab munculnya penyakit) yaitu dengan manajemen pengendalian vector. Karena penyakit-penyakit yang disebutkan diatas sudah banyak menelan korban sehingga perlu upaya untuk mencegah hal itu supaya tidak menjadi lebih parah. Sehingga dalam makalah ini akan dijelaskan bagaimana manajemen pengendalian vector itu. 1.2 Tujuan a. Untuk meningkatkan pemahaman tentang definisi dari vector penyakit b. Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis vector penyakit itu

c. Untuk meningkatkan pemahaman tentang bagaiamana manajemen pengendalian vector itu 1.3 Manfaat a. Bagi mahasiswa Makalah ini akan menambah pengetahuan mahasiswa terkait bagaimana melakukan manajemen vector penyakit di masyarakat, sehingga akan membantu proses praktik keperawatan di komunitas nantinya. b. Bagi perawat Makalah ini bisa dijadikan referensi oleh perawat, terutama perawat di komunitas untuk melakukan manajemen pengendalian vector. Karena kasus vector penyakit ini telah menelan banyak korban sehingga perawat bisa melaksanakan intervensi sesuai dengan makalah ini c. Bagi masyarakat Makalah ini bisa menambah pengetahun bagi masyarakat karena Selain perawat masyarakat juga harus tahu bagaimana manajemen pengendalian vector. d. Bagi pemerintah Dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi dalam permasalahan mengatasi penyebaran vector penyakit.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Vektor Penyakit Peraturan Pemerintah No.374 tahun 2010 menyatakan bahwa vektor merupakan arthropoda yang dapat menularkan, memindahkan atau menjadi sumber penularan penyakit pada manusia. Sedangkan menurut Nurmaini (2001), vektor adalah arthropoda yang dapat memindahkan/menularkan suatu infectious agent dari sumber infeksi kepada induk semang yang rentan. Menurut Eniharyanti(2011) vektor adalah organisme yang hidup, biasanya serangga atau artropoda lain, yang menyebarkan agens penyakit mikroskopik pada penjamu yang rentan. Contoh vektor dan penyakit yang disebarkannya mecakup nyamuk (malaria, filariasis), pinjal (murine typhus dan pes), tungau (tifus epidemik), dan kutu (rocky mountain spotted fever dan lyme disease)eniharyanti Vektor penyakit merupakan arthropoda yang berperan sebagai penular penyakit sehingga dikenal sebagai arthropod - borne diseases atau sering juga disebut sebagai vector borne diseases yang merupakan penyakit yang penting dan seringkali bersifat endemis maupun epidemis dan menimbulkan bahaya bagi kesehatan sampai kematian. Secara definisi vektor adalah parasit arthropoda dan siput air yang berfungsi sebagai penular penyakit, baik pada manusia maupun hewan. Di Indonesia, penyakit penyakit yang ditularkan melalui serangga merupakan penyakit endemis pada daerah tertentu, seperti Demam Berdarah Dengue (DBD) yang ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes aegypti kemudian malaria, kaki gajah,dan Chikungunya. Disamping itu, ada penyakit saluran pencernaan seperti dysentery, cholera, typhoid fever dan paratyphoid yang ditularkan secara mekanis oleh lalat rumah. Menurut Chandra (2003), ada 4 faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya suatu penyakit : 1. Cuaca Iklim dan musim merupakan faktor utama yang mempengaruhi terjadinya penyakit infeksi. Agen penyakit tertentu terbatas pada daerah geografis tertentu, sebab mereka butuh reservoir dan vektor untuk hidup. Iklim dan variasi musim mempengaruhi kehidupan agen penyakit, reservoir dan vektor. Di samping itu perilaku manusia pun dapat meningkatkan transmisi atau menyebabkan rentan terhadap penyakit infeksi. Wood tick adalah vektor arthropoda yang menyebabkan penularan penyakit yang disebabkan ricketsia. 2. Reservoir Hewan-hewan yang menyimpan kuman patogen dimana mereka sendiri tidak terkena penyakit disebut reservoir. Reservoir untuk arthropods borne disease adalah hewan-hewan dimana kuman patogen dapat hidup bersama. Binatang pengerat dan kuda merupakan reservoir untuk virus encephalitis.

Penyakit ricketsia merupakan arthropods borne disease yang hidup di dalam reservoir alamiah.seperti tikus, anjing, serigala serta manusia yang menjadi reservoir untuk penyakit ini. Pada banyak kasus,kuman patogen mengalami multifikasi di dalam vektor atau reservoir tanpa menyebabkan kerusakan pada intermediate host. 3. Geografis Insiden penyakit yang ditularkan arthropoda berhubungan langsung dengan daerah geografis dimana reservoir dan vektor berada. Bertahan hidupnya agen penyakit tergantung pada iklim (suhu, kelembaban dan curah hujan) dan fauna lokal pada daerah tertentu, seperti Rocky Mountains spotted fever merupakan penyakit bakteri yang memiliki penyebaran secara geografis. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan tungau yang terinfeksi.oleh ricketsia dibawa oleh tungau kayu di daerah tersebut dan dibawa oleh tungau anjing ke bagian timur Amerika Serikat. 4. Perilaku Manusia Interaksi antara manusia, kebiasaan manusia.membuang sampah secara sembarangan, kebersihan individu dan lingkungan dapat menjadi penyebab penularan penyakit arthropoda borne diseases. 2.2 Jenis-jenis Vektor Penyakit Ada beberapa jenis vektor dilihat dari cara kerjanya sebagai penular penyakit. Keberadaan vektor ini sangat penting karena kalau tidak ada vektor maka penyakit tersebut juga tidak akan menyebar. (Beriajaya) Vektor tersebut adalah: 1. Vektor potensial adalah vektor yang secara aktif berperan dalam penyebaran penyakit. Vektor ini baik secara biologis maupun mekanis selalu mencari hospesnya untuk kelangsungan hidupnya. Selain itu ada vektor pasif, artinya secara ilmiah dapat dibuktikan bahwa dalam tubuh vektor ada agen patogen dan dapat menularkan agen tersebut kepada hospes lain, tetapi vektor ini tidak aktif mencari mangsanya. Dengan adanya perubahan lingkungan, kemungkinan vektor tersebut dapat berubah menjadi aktif. 2. Vektor biologis, dimana agen penyakit harus mengalami perkembangan ke stadium lebih lanjut. Bila tidak ada vektor maka agen penyakit kemungkinan akan mati. Contoh yang paling mudah adalah schistosomiasis, penyakit akibat cacing Schistosoma japonicum. Larva (miracidium) masuk ke dalam tubuh siput, berkembang menjadi sporocyst dan selanjutnya menjadi redia, kemudian menjadi cercaria yang Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 277 akan keluar dari tubuh siput, aktif mencari definif host, melalui kulit dimana akan terjadi dermatitis (SOULSBY, 1982).

3. Vektor mekanis, dimana agen penyakit tidak mengalami perkembangan, tetapi hanya sebagai pembawa agen penyakit. Tidak seperti penyakit malaria atau arbovirus dimana terjadinya infeksi cukup satu kali gigitan vektor yang sudah terinfeksi, pada infeksi filaria, vektor harus sering menggigit hospesnya agar terjadi infeksi. Diperkirakan lebih dari 100 gigitan agar cacing dapat bereproduksi dan menghasilkan mikrofilaria. Vektor insidentil, vektor ini secara kebetulan hinggap pada manusia, kemudian mengeluarkan faeces yang sudah terkontaminasi agen penyakit dekat mulut.Secara tidak sengaja masuk ke dalam mulut, contohnya pada penyakit Chagas yang disebabkan oleh Trypanosoma cruzi dan vektor yang berperan adalah Triatoma bugs.Vektornya sebenarnya masuk dalam siklus silvatik, hanya diantara hewan rodensia.Manusia terkontaminasi bila vektornya masuk dalam lingkungan manusia Sebagian dari Arthropoda dapat bertindak sebagai vektor, yang mempunyai ciri-ciri kakinya beruas-ruas, dan merupakan salah satu phylum yang terbesar jumlahnya karena hampir meliputi 75% dari seluruh jumlah binatang (Nurmaini,2001). Berikut jenis dan klasifikasi vektor yang dapat menularkan penyakit : Arthropoda yang dibagi menjadi 4 kelas : 1. Kelas crustacea (berkaki 10): misalnya udang 2. Kelas Myriapoda : misalnya binatang berkaki seribu 3. Kelas Arachinodea (berkaki 8) : misalnya Tungau 4. Kelas hexapoda (berkaki 6) : misalnya nyamuk . Dari kelas hexapoda dibagi menjadi 12 ordo, antara lain ordo yang perlu diperhatikan dalam pengendalian adalah : 1. Ordo Dipthera yaitu nyamuk dan lalat a. Nyamuk anopheles sebagai vektor malaria b. Nyamuk aedes sebagai vektor penyakit demam berdarah c. Lalat tse-tse sebagai vektor penyakit tidur 2. Ordo Siphonaptera yaitu pinjal a. Pinjal tikus sebagai vektor penyakit pes 3. Ordo Anophera yaitu kutu kepala a. Kutu kepala sebagai vektor penyakit demam bolak-balik dan typhus exantyematicus. Selain vektor diatas, terdapat ordo dari kelas hexapoda yang bertindak sebagai binatang pengganggu antara lain: 1. Ordo hemiptera, contoh kutu busuk 2. Ordo isoptera, contoh rayap 3. Ordo orthoptera, contoh belalang 4. Ordo coleoptera, contoh kecoak Sedangkan dari phylum chordata yaitu tikus yang dapat dikatakan sebagai binatang pengganggu, dapat dibagi menjadi 2 golongan : 1. Tikus besar, (Rat) Contoh :

a. Rattus norvigicus (tikus riol ) b. Rattus-rattus diardiil (tikus atap) c. Rattus-rattus frugivorus (tikus buah-buahan) 2. Tikus kecil (mice),Contoh:Mussculus (tikus rumah) Arthropoda [arthro + pous ] adalah filum dari kerajaan binatang yang terdiri dari organ yang mempunyai lubang eksoskeleton bersendi dan keras, tungkai bersatu, dan termasuk di dalamnya kelas Insecta, kelas Arachinida serta kelas Crustacea, yang kebanyakan speciesnya penting secara medis, sebagai parasit, atau vektor organisme yang dapat menularkan penyakit pada manusia (Chandra,2003). Arthropoda yang Penting dalam dunia Kedokteran adalah arthropoda yang berperan penting sebagai vektor penyebaran penyakit (arthropods borne disease) dapat dilihat pada tabel di bawah ini. 2.3 Pengendalian Vektor WHO mendefinisikan Manajemen Lingkungan Pengendalian Vektor sebagai organisasi perencanaan, melaksanakan dan memantau kegiatan untuk memodifikasi atau manipulasi faktor lingkungan dan interaksi mereka dengan manusia dengan maksud untuk mencegah atau meminimalkan penyebaran vaktor dan mengurangi kontak vaktor patogenik pada manusia. Manajemen ini memerlukan salah satu dari dua pilihan, yang pertama yaitu modifikasi lingkungan (perubahan yang tidak vektor infrastruktur permanen yang bersifat padat modal) serta manipulasi lingkungan (tindakan berulang ditujukan untuk mencapai kondisi menguntungkan sementara untuk pembibitan). Peraturan Mentri No.374 tahun 2010 mendefinisikan bahwa pengendalian vektor merupakan kegiatan atau tindakan yang ditujukan untuk menurunkan populasi vektor serendah mungkin sehingga keberadaannya tidak lagi beresiko untuk terjadinya penularan penyakit di suatu wilayah atau menghindari kontak masyarakat dengan vektor sehingga penularan penyakit yang dibawa oleh vektor dapat di cegah (MENKES,2010). Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan pengelolaan lingkungan secara fisik atau mekanis, penggunaan agen biotik kimiawi, baik terhadap vektor maupun tempat perkembangbiakannya atau perubahan perilaku masyarakat serta dapat mempertahankan dan mengembangkan kearifan lokal sebagai alternative. Beberapa faktor yang menyebabkan tingginya angka kesakitan penyakit bersumber binatang antara lain adanya perubahan iklim, keadaan social-ekonomi dan perilaku masyarakat. Perubahan iklim dapat meningkatkan risiko kejadian penyakit tular vektor. Faktor risiko lainnya adalah keadaan rumah dan sanitasi yang buruk, pelayanan kesehatan yang belum memadai, perpindahan penduduk yang non imun ke daerah endemis. Masalah yang di hadapi dalam pengendalian vektor di Indonesia antara lain kondisi geografis dan demografi yang memungkinkan adanya keragaman vektor,

belum teridentifikasinya spesies vektor ( pemetaan sebaran vektor) di semua wilayah endemis, belum lengkapnya peraturan penggunaan pestisida dalam pengendalian vektor, peningkatan populasi resisten beberapa vektor terhadap pestisida tertentu, keterbatasan sumberdaya baik tenaga, logistik maupun biaya operasional dan kurangnya keterpaduan dalam pengendalian vektor. Dalarn pengendalian vektor tidaklah mungkin dapat dilakukan pembasmian sampai tuntas, yang mungkin dan dapat dilakukan adalah usaha mengurangi dan menurunkan populasi kesatu tingkat yang tidak membahayakan kehidupan manusia. Namun hendaknya dapat diusahakan agar segala kegiatan dalam rangka menurunkan populasi vektor dapat mencapai hasil yang baik. Untuk itu perlu diterapkan teknologi yang sesuai, bahkan teknologi sederhana pun yang penting di dasarkan prinsip dan konsep yang benar. Ada beberapa cara pengendalian vector penyakit yaitu : 1. Pengendalian Vektor Terpadu (PVT) Mengingat keberadaan vektor dipengaruhi oleh lingkungan fisik, biologis dan social budaya, maka pengendaliannya tidak hanya menjadi tanggung jawab sector kesehatan saja tetapi memerlukan kerjasama lintas sector dan program. Pengendalian vektor dilakukan dengan memakai metode pengendalian vektor terpadu yang merupakan suatu pendekatan yang menggunakan kombinasi beberapa metoda pengendalian vektor yang dilakukan berdasarkan pertimbangan keamanan, rasionalitas, efektifitas pelaksanaannya serta dengan mempertimbangkan kesinambungannya. Keunggulan Pengendalian Vektor Terpadu (PVT) adalah a. Dapat meningkatkan keefektifan dan efisiensi sebagai metode atau cara pengendalian b. Dapat meningkatkan program pengendalian terhadap lebih dari satu penyakit tular vektor c. Melalui kerjasama lintas sector hasil yang dicapai lebih optimal dan saling menguntungkan. Pengendalian Vektor Terpadu merupakan pendekatan pengendalian vektor menggunakan prinsip-prinsip dasar management dan pertimbangan terhadap penularan dan pengendalian peyakit. Pengendalian Vektor Terpadu dirumuskan melalui proses pengambilan keputusan yang rasional agar sumberdaya yang ada digunakan secara optimal dan kelestarian lingkungan terjaga. Prinsip-prinsip PVT meliputi: a. Pengendalian vektor harus berdasarkan data tentang bioekologi vektor setempat, dinamika penularan penyakit, ekosistem dan prilaku masyarakat yang bersifat spesifik local( evidence based) b. Pengendalian vektor dilakukan dengan partisipasi aktif berbagai sector dan program terkait, LSM, Organisasi profesi, dunia usaha /swasta serta masyarakat.

c. Pengendalian vektor dilakukan dengan meningkatkan penggunaan metoda non kimia dan menggunakan pestisida secara rasional serta bijaksana d. Pertimbangan vektor harus mempertimbangkan kaidah ekologi dan prinsip ekonomi yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Beberapa metode pengendalian vektor sebagai berikut: a. Metode pengendalian fisik dan mekanik adalah upaya-upaya untuk mencegah, mengurangi, menghilangkan habitat perkembangbiakan dan populasi vektor secara fisik dan mekanik. Contohnya: 1) Modifikasi dan manipulasi lingkungan tempat perindukan (3M, pembersihan lumut, penanaman bakau, pengeringan, pengalihan/ drainase, dll) 2) Pemasangan kelambu 3) Memakai baju lengan panjang 4) Penggunaan hewan sebagai umpan nyamuk (cattle barrier) 5) Pemasangan kawat b. Metode pengendalian dengan menggunakan agen biotic 1) predator pemakan jentik (ikan, mina padi,dll) 2) Bakteri, virus, fungi 3) Manipulasi gen ( penggunaan jantan mandul,dll) c. Metode pengendalian secara kimia 1) Surface spray (IRS) 2) Kelambu berinsektisida 3) Larvasida Adapun prinsip dasar dalam pengendalian vektor yang dapat dijadikan sebagai pegangan sebagai berikut : Pengendalian vektor harus menerapkan bermacam-macam cara pengendalian agar vektor tetap berada di bawah garis batas yang tidak merugikan/ membahayakan. Pengendalian vektor tidak menimbulkan kerusakan atau gangguan ekologi terhadap tata lingkungan hidup. (Nurmaini, 2001) 2. Pengendalian secara alamiah (naturalistic control) yaitu dengan memanfaatkan kondisi alam yang dapat mempengaruhi kehidupan vector. Ini dapat dilakukan dalam jangka waktu yang lama. 3. Pengendalian terapan (applied control) yaitu dengan memberikan perlindungan bagi kesehatan manusia dari gangguan vektor. Ini hanya dapat dilakukan sementara. 2.4 Penatalaksanaan Penyakit Akibat Vektor 1. Dengue haemorrhagic fever Dengue merupakan penyakit yang endemik di daerah tropik,terutama Asia, Pasifik dan Karibia tetapi cenderung terjadi secara periodik epidemis. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) yang biasa disebut Dengue Haemorrahagic Fever (DHF) merupakan satu dari beberapa penyakit menular yang menjadi

masalah kesehatan di dunia terutama negara berkembang. Di Indonesia, masalah penyakit tersebut muncul sejak tahun 1968 di Surabaya. Belakangan ini, masalah DBD telah menjadi masalah klasik yang kejadiannya hampir dipastikan muncul setiap tahun terutama pada awal musim penghujan (Depkes, 2005). Virus penyebab demam berdarah adalah virus dengue, yang dapat menyebabkan menurunnya kadar trombosit pada tubuh manusia dan apabila seseorang yang terinfeksi tidak segera diobati akan dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh kapiler darah sehingga akan menyebabkan kematian (pustekom kemdiknas, 2005). Penyakit DBD disebabkan oleh virus dari famili Flaviridae yang ditularkan oleh serangga(arthropod borne virus = arbovirus). Virus tersebut mempunyai 4 serotype yaitu DEN-1,DEN-2, DEN-3 dan DEN-4(Supartha, 2008). Virus tersebut disebarkan oleh vector nyamuk yaitu aedes aegepty atau aedes ebopictus. Karakteristik Ae. aegypti dan Ae albopictus sebagai vektor utama virus DBD adalah kedua spesies tersebut termasuk Genus Aedes dari Famili Culicidae. Secara morfologis keduanya sangat mirip, namun dapat dibedakan dari strip putih yang terdapat pada bagian skutumnya. Skutum Ae. aegypti berwarna hitam dengan dua strip putih sejajar di bagian dorsal tengah yang diapit oleh dua garis lengkung berwarna putih. Sementara skutum Ae. albopictus yang juga berwarna hitam hanya berisi satu garis putih tebal di bagian dorsalnya. Roche (2002) yang dikutip dari Supartha 2008 melaporkan bahwa Ae. aegypti mempunyai dua subspesies yaitu Ae. aegypti queenslandensis dan Ae. aegyptiformosus. Subspesies pertama hidup bebas di Afrika sementara subspecies kedua hidup di daerah tropis yang dikenal efektif menularkan virus DBD. Subspesies kedua lebih berbahaya dibandingkan subspecies pertama. Informasi tentang karakteristik tersebut sangat membantu mengenali jenis nyamuk tersebut terutama bagi petugas surveilen dan masyarakat dalam rangka mengendalikan penyakit DBD yang ditularkan oleh kedua nyamuk tersebut(Suphartha, 2008).

Gambar1 aedes aegepty

Gambar 2 aedes albopictus Habitat nyamuk ini ialah di tempat-tempat bersih dan sejuk, seperti bak mandi, tempayan, vas bunga yang ada airnya, tempat minuman burung, dan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan (pustekomkemdiknas). Pada umumnya gejala demam berdarah dapat dikelompokkan menjadi 2 tahap yaitu: (pustekom, 2008) A. Gejala awal bagi penderita demam berdarah, meliputi : a) Mendadak panas tinggi selama 2-7 hari b) Tampak lemah dan lesu c) Sering terasa nyeri di ulu hati d) Tampak bintik-bintik merah pada kulit dan mulut B. Gejala lanjutan, meliputi : a) Bila sudah parah penderita gelisah, tangan dan kakinya dingin disertai keluar keringat b) Kadang-kadang terjadi pendarahan di hidung(mimisan) c) Terjadi muntah-muntah dan bercak darah 1. Siklus terjadinya penyebaran virus dengue: a) Nyamuk aedes yang terinfeksi dengue menggigit manusia b) Virus berkembang pada jaringan dekat titik inokulasi atau lymph node c) Virus keluar dari jaringan ini dan menyebar melalui darah untuk menginfeksi sel-sel darah putih d) Virus keluar dari sel darah putih dan bersirkulasi di darah e) Nyamuk lain menggigit dan tertular f) Virus berkembang di perut nyamuk dan kelenjar ludah g) System kekebalan tubuh terinfeksi merusak sel- sel yang terinfeksi h) Jika sel yang terinfeksi sedikit, demam berlangsung 6-7 hari i) Jika sel yang terinfeksi banyak, demam akan lebih parah dan pendarahan lebih banyak

10

2. Siklus Hidup nyamuk Aides Aigepty Nyamuk Ae. aegypti L. berkembang biak dan mengalami metamorfosis sempurna. Telur kurang lebih 2 hari menetas menjadi jentik. Jentik mengalami pergantian kulit (Molting) sampai 4 kali lalu menjadi pupa. Stadium pupa ini tidak memerlukan makan. Kurang lebih 9 hari telur akan tumbuh menjadi nyamuk dewasa (Gandahusada dkk., 1988). Nyamuk Ae. Aegypti, seperti juga nyamuk Anophelini, lainnya mengalami metamorfosis sempurna, yaitu telur- jentik-kepompong-nyamuk. Stadium telur, jentik dan kepompong hidup di dalam air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu 2 hari setelah telur terendam air. Stadium jentik biasanya berlangsung 6 8 hari, dan stadium kepompong berlangsung antara 2 4 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa selama 9 10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2 3 bulan. Tempat perkembangbiakan utama adalah tempat-tempat penampungan air berupa genangan air yang tertampung di suatu tempat atau bejana di dalam atau sekitar rumah atau tempat-tempat umum, biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari rumah. Nyamuk ini biasanya tidak dapat berkembangbiak di genangan air yang langsung berhubungan dengan tanah. Setelah lahir (keluar dari kepompong), nyamuk istirahat di kulit kepompong untuk sementara waktu. Beberapa saat setelah lahir sayap meregang menjadi kaku, sehingga nyamuk mampu terbang mencari mangsa/darah. Menurut Hamzah (2004), nyamuk Ae. aegypti jantan menghisap cairan tumbuhan atau sari bunga untuk keperluan hidupnya, sedangkan yang betina menghisap darah. Nyamuk betina lebih menyukai darah manusia daripada binatang (bersifat antropofilik). Darah diperlukan untuk mematangkan telur agar jika dibuahi oleh sperma nyamuk jantan, dapat menetas. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perkembangan telur mulai dari nyamuk menghisap darah sampai telur dikeluarkan biasanya bervariasi antara 3 4 hari. Jangka waktu tersebut disebut siklus gonotropik. Kemampuan terbang nyamuk betina rata-rata 40 meter, maksimal 100 meter namun secara pasif misalnya karena angin atau terbawa kendaraan dapat berpindah lebih jauh. Di Indonesia nyamuk ini tersebar luas baik di rumah-rumah maupun di tempat-tempat umum. Nyamuk ini dapat hidup dan berkembangbiak sampai ketinggian daerah 1.000 meter dari permukaan laut. Di atas ketinggian 1.000 meter tidak dapat berkembangbiak, karena pada ketinggian tersebut suhu udara terlalu rendah, sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk tersebut. Biasanya nyamuk betina mencari mangsanya pada siang hari. Aktivitas menggigit biasanya mulai dari pagi sampai petang hari, dengan dua puncak aktivitas antara pukul 09.00-10.00 dan 16.00-17.00. Tidak seperti nyamuk lain, Ae. aegypti mempunyai kebiasaan menghisap darah berulangkali (multiple bites) dalam satu siklus gonotropik, untuk memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat efektif sebagai penular penyakit.

11

Setelah menghisap darah, nyamuk hinggap (beristirahat) di dalam atau kadangkadang di luar rumah, biasanya berdekatan dengan tempat perkembangbiakannya. Di tempat tersebut nyamuk menunggu proses pematangan telur. Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina akan meletakkan telurnya di dinding tempat perkembangbiakannya sedikit di atas permukaan air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu 2 hari setelah telur terendam air. Setiap kali bertelur nyamuk betina dapat mengeluarkan telur sebanyak 100 butir. Telur ini di tempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan berbulan-bulan pada suhu -20C sampai 420C, bila tempat tersebut tergenang air atau kelembabannya tinggi maka telur dapat menetas lebih cepat (Sungkar, 2005). Apabila seorang pasien telah terdiagnosa DBD maka harus segera dilakukan pengobatan dengan cara(pustekomkemendiknas, 2005): a) Parasetamol untuk mengatasi demam, paling banyak 6 dosis dalam 24 jam b) Untuk mengganti cairan yang hilang, untuk pertolongan pertama dapat diberi oralit atau jus buah c) Apabila kadar hematokrit turun sampai 40% maka harus segera di infuse nacl atau RL sesuai kebutuhan, yang perlu diperhatikan pada saat pemberian cairan, harus diawasi selama 24 jam sampai 48 jam dan dihentikan setelah pasien rehidrasi, dengan ditandai jumlah urine yang cukup, denyut nadi yang kuat dan tekanan darah membaik. Apabila pemberian cairan diteruskan setelah adanya tanda rehidrassi maka dapat mengakibatkan meningkatnya cairan dalam pembuluh darah, edema paru-paru dan gagal jantung d) Antibiotik dapat diberikan apabila terjadi infeksi sekunder e) Oksigen dapat diberikan pada saat penderita syok atau pingsan f) Transfusi darah diberikan apabila penderita mengalami pendarahan yang signifikan Pengendalian vektor DBD antara lain(Supartha, 2008): 1. Pengendalian vektor terpadu. Saat ini hanya cara pengendalian yang tepat menanggulangi penyakit DBD adalah menurunkan populasi vector untuk mengurangi kontak antara vector dengan manusia dan mengendalikan habitat larva dari beragam lokasi. 2. Perkembangan teknologi pengendalian vektor Disadari bahwa penanggulangan penyakit DBD masih bertumpu pada pengelolaan vector dan pemutusan siklus hidupnya. Untuk itu banyak teknologi yang dikembangkan untuk pengendalian vektor tersebut baik yang berbasis alam, fisik-mekanik, kimia maupun masyarakat. Pengendalian vektor secara space spraying yaitu pengabutan (thermal fogging) dan Ultra Low Volume (cold fogging) dengan insektisida Malathion dari golongan organofosfat sudah digunakan sejak tahun 1972 di Indonesia (Sudyono, 1983 dalam Suwasono &Soekirno, 2004). Insektisida Bendiocarb dari golongan karbamat juga pernah diuji coba dengan formulasi ULV juga (Hadi, et.al.,

12

1993). Cara itu sangat lazim dilakukan pada saat outbreak terutama pada bulan-bulan kritis serangan DBD. Walaupun bahan aktif yang digunakan itu tidak selalu efektif mengendalikan vaktor karena di beberapa tempat, Aedes sudah menunjukkan resistrensi terhadap beberapa insektisda yang digunakan. Jirakanjanakit (2007b) melaporkan bahwa hampir semua populasi Ae. aegypti menunjukkan ketahanan terhadap insektisida pyrethroid, permethrin, dan deltamethrin yang umum digunakan di Thailand. Kalaupun pengasapan masih digunakan hasilnya hanya dapat menghalau atau membunuh imago tetapi tidak termasuk larvanya. Pengasapan dengan Malathion 4 persen dengan pelarut solar, yang dinilai masih efektif hanya mampu membunuh imago pada radius 100-200 meter yang hanya efektifitas satu sampai dua hari (Judarwanto, 2007). Dalam kondisi seperti itu, penggunaan insekstisda selain kurang efektif dan mahal juga berbahaya terhadap kesehatan dan lingkungan. Penggunaan bakteri Bacillus thuringiensis israeliensis (Bti) sebagai senyawa bakteri juga dilaporkan efektif mengendalikan larva (Lutz, 2000). Bahan aktif itu telah dijual secara komersial dengan nama dagang Bactimos, Teknar, dan Vectobac dalam bentuk yang bervariasi yaitu cairan, granula, dan briket. Pengendalian fisik-mekanik dengan cara klasik seperti pemasangan kelambu terutama pada anak-anak sudah dilakukan. Walaupun cara tersebut efektif mencegah kontak antara vektor dengan inang namun tidak banyak yang melakukan cara tersebut karena alasan teknis pemasangan kelambunya dinilai rumit. Cara yang sudah umum dilakukan adalah pemberantasan habitat (sarang) nyamuk melalui gerakan serentak 3 M (menguras bak air. menutup tempat yang potensial menjadi sarang berkembang biak, mengubur barang-barang bekas yang dapat menampung air). Tempat penampungan air seperti bak mandi, kolam, pot bunga berair sudah dilakukan gerakan abatisasi. Secara konseptual gerakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan 3M seminggu sekali cukup memadai untuk memotong siklus hidup nyamuk tersebut. Walaupun demikian secara factual kasus serangan penyakit masih mengikuti pola lama yaitu setiap awal musim hujan ledakan populasi vector meningkat dan kasus serangan DBD pun mencuat. Fenomena itu terjadi karena upaya PSN dengan 3M Plus itu belum dilakukan secara sistematis, serentak, berkelanjutan 3M plus itu adalah sebagai berikut: a. Menguras yaitu Menguras tempat-tempat penampungan air seperti bak mandi, tempayan,ember, vas bunga, tempat minum burung dan lain-lain seminggu sekali b. Menutup:Menutup rapat semua tempat penampungan air seperti ember, gentong,drum, dan lain-lain c. Mengubur:Mengubur semua barang-barang bekas yang ada di sekitar rumah yangdapat menampung air hujan

13

d. e. f. g. h. i. j. k. l.

Memelihara ikan pemakan jentik-jentik nyamuk Membunuh jentik nyamuk Mengusir nyamuk dengan obat nyamuk Memakai obat nyamuk gosok untuk mencegah gigitan nyamuk Memasang kawat kasa di jendela dan ventilasi Tidak membiasakan menggantung pakaian di dalam kamar Gunakan sarung kelambu saat tidur Menabur larvasida Melakukan PSN secara serentak

2. Lymphatic filariasis Vektor penyakit ini adalah beberapa spesies nyamuk Anopheles, Aedes, Culex dan Mansonia. Di daerah tropis vektornya Culex quiquefasciatus dan di daerah temperate C. pipiens. Brugia dan Wuchereria selalu menunjukkan sifat nocturnal periodicity dari microfilaria di dalam darah perifer, merupakan adaptasi untuk uptake dan transmisi oleh vector yang menggigit hanya pada malam hari, tetapi ada beberapa spesies seperti Mansonia dan Aedes mempunyai sifat diurnal.Periodik Brugia spp. dan Wuchereria bancrofti terdapat pada manusia sedangkan Brugia malayi subperiodik strain terdapat pada kucing, karnivora liar dan khusus pada kera Macaca and Presbytis, dimana transmission ke manusia tidak biasanya terjadi melalui aktifitas diurnal nyamuk Mansonia spp. Human lymphatic filariasis terjadi di daerah tropis dengan kelembaban tinggi di Africa, Amerika, Asia, dan beberapa pulau di Lautan Pasifik. Lokal epidemiologi dari penyakit ini sangat dipengaruhi tingkah laku dan ekologi beberapa spesies nyamuk vector sehingga ada tujuh zona epidemiologi dari Bancroftian filariasis berdasarkan regional variasi dari vector, sedangkan Brugian filariasis terbatas pada bagian dari Southeast Asia dan Australasia. Bancroftian filariasis terdapat di darah urban dan prevalensi W. bancrofti meningkat di negara tropis karena vector Culex quinquefasciatus dan C. pipiens, yang mana mudah berkembang biak di air yang kotor. Oleh karena banyak nyamuk sudah resisten terhadap insektisida (WHO, 1986) maka penanggulangannya harus dilakukan dengan managemen lingkungan dan mengurangi sumbernya (WHO, 1982). Pada daerah pedesaan, W. bancrofti ditularkan oleh vektor Anopheles spp. yang berperan juga sebagai vektor utama malaria. Kontrol Bancroftian filariasis juga merupakan efek samping dari antimalarial house-spraying. Beberapa strain parasit ini adalah nocturnally periodic, tetapi di beberapa daerah (West Africa, Malaysia) tidak dapat ditransmisi oleh Culex quinquefasciatus sebab nyamuk ini tampaknya refractory terhadap anopheline-adapted strains of W. bancrofti. Sebaliknya berlaku pada daerah (India, Malaysia) dimana Culex-adapted strains of W. bancrofti tidak dapar ditransmisi oleh anophelines. Di Polynesia (Zona 7), dimana tidak ada anophelines, bentuk W. Bancrofti adalah subperiodic, merupakan adaptasi untuk

14

mengisap dan menularkan oleh Aedes (Stegomyia) scutellaris yang menggigit pada siang dan malam hari (MACDONALD, 1976). Di beberapa daerah hutan Southeast Asia (Zone 6), disana juga ada subperiodic strain W. bancrofti yang ditularkan Aedes (Finlaya) niveus, yang mengindikasikan kemungkinan berasal dari Polynesia subperiodik strain. Brugian filariasis. Brugia malayi terjadi hanya di South Asia dimana penyebaran dan prevalensinya sudah menurun karena kontrol vektor Mansonia spp. dengan cara metoda menghilangkan host-plants dari tempat berkembang biaknya. Subperiodik strain terjadi di habitat hutan berawa, dan terutama ditularkan oleh M. bonneaedives sebagai siklus zoonosis. Periodik strain B. malayi ditularkan juga oleh Anopheles spp. dan biasanya bukan zoonosis (WHARTON, 1962). Bentuk subperiodik ditularkan oleh Mansonia spp. Dan Coquillettidia crassipes. Brugia timori terbatas di pulau Flores dan Timor, Indonesia. Ini tampaknya bukan zoonosis dan hanya vektor Anopheles barbirostris yang diketahui. Hal ini cukup menarik B. timori tidak dapat dipindahkan oleh beberapa nyamuk seperti A. subpictus yang mana merupakan vektor malaria dan W.bancrofti diantara orang di daerah tersebut. 3. Malaria Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia. Penyakit ini ditularkan oleh gigitan nyamuk anopheles betina.(ppldepkes,2008) a. Manifestasi 1. Demam 2. Anemia 3. Splenomegali 4. Nadi cepat dan lemah 5. Penurunan derajat kesadaran 6. Pendarahan 7. Dehidrasi b. Pemeriksaan dignostik 1. Pemeriksaan dengan mikroskop untuk melihat ada atau tidaknya parasit malaria, spesies dan stadium plasmodium, kepadatan parasit 2. Hemoglobin dan hematokrit 3. Hitung jumlah leukosit, trombosit 4. Kimia darah lain 5. Foto thoraks 6. Uji serologi Apabila penderita tersangka berat perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Bila pemeriksaan sediaan darah pertama negatif, perlu diperiksakan setiap 6 jam sampai 3 hari berturut-turut 2. Bila hasil pemeriksaan sediaan darah selama 3hari berturut-turut tidak ditemukan parasit maka diagnosis malaria negatif c. Pencegahan malaria

15

1. Pencegahan malaria dengan mempelajari perilaku nyamuk Anopheles. Pencegahan malaria yang pertama ini berkaitan dengan perilaku nyamuk anopheles mencari darah atau menggigit korbannya. Sebagian besar nyamuk anopheles mulai mencari sasaran pada senja hingga menjelang pagi hari. Oleh karena itu, menjelang senja disarankan untuk tidak tidur dan jika tidur disarankan memakai kelambu atau obat lotion anti nyamuk. Sebagian besar nyamuk senang berada di daerah lembab, jika di dalam rumah baju dan kain yang tergantung lama biasanya menjadi tempat faforit nyamuk. Usahakan untuk menghindari hal tersebut dan tutuplah vas atau genangan air lain di dalam rumah. 2. Pencegahan malaria dengan mengkonsumsi obat anti malaria Bagi orang yang berada daerah endemi malaria seperti Papua, Bengkulu atau akan memasukinya, sangat disarankan untuk mengkonsumsi obat anti malaria terlebih dahulu. Obat anti malaria yang bisa dikonsumsi antara lain : atovakuon/proguanil ,mefloquine, dan doksisiklin. Penyakit yang disebabkan vector lalat 1) Estamoeba dysenteriae Entamorba hestolyca adalah Organisme yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia, kucing, anjing dan babi. Vektornya adalah musca domestica (lalat rumah) dan kecoa. Penularan terjadi karena makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh kista yang dibawa oleh vektor. Gejala yang dapat ditmbulkan antara lain; sering buang air besar, fesesnya sedikit-sedikit dengan lendir dan darah, dan biasanya disertai rasa sakit diperut (kram perut), dan biasanya tidak demam.Upaya pencegahannya dengan perbaikan sanitasi lingkungan, dan pencegahan kontaminasi makanan, pembasmian vektor serta perbaikan cara pembuangan kotoran yang baik serta cuci tangan setelah defakasi. 2) Tifus Merupakan penyakit infeksi akut yang biasnya mengenai saluran cerna yang disebabkan oleh bakteri salmonella typhosa. Masa tunas 7-14 (rata-rata 3-30) hari. a. Tanda dan gejala : 1) Minggu pertama : demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut, batuk dan epistaksis, pada pemeriksaan fisik tidak hanya didapat peningkatan suhu badan 2) Minggu kedua : demam, bradikardikardi, relatif lidah tifoid (kotor ditengah, tepi dan ujung merah tremor), hepatomegali, plenomegali, meteorismus, gangguan kesadaran seperti somnolen. b. Intervensi 1) Anjurkan cairan dan pemasukan nutrisi yang adekuat

16

Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antipiretik Sajikan makanan dalam keadaan hangat dan berikan sedikit demi sedikt Anjurkan intake tinggi protein, besi dn vitamin C Anjurkan untuk meningkatkan intake cairan Instruksikan pasien/ keluarga untuk diet tinggi serat Hubungi dokter untuk pemberian antibiotik ; untuk menghentikan dan memusnahkan penyebaran kuman. c. Pencegahan 1) Perbaikan Hygiene dan sanitasi lingkungan a) Mengurangi atau menghilangkan tempat perndukan lalat. b) Mengurangi Sumber yang menarik lalat. c) Mencegah kontak antara lalat dengan kotoran yang mengandung kuman penyakit d) Melindungi makanan, peralatan makan, dan orang yang kontak dengan lalat 2) Pemberantasan secara langsung Penyakit yang disebabkan vector tikus a) Leptospirosis Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman leptospira pathogen. Kuman leptospira masuk ke dalam tubuh penjamu melalui luka iris/luka abrasi pada kulit, konjungtiva atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, osofagus, bronkus, alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi droplet infeksius dan minum air yang terkontaminasi. 1. Manifestasi klinis a. Leptopiremia (berlangsung 4-9 hari) Timbul demam mendadak, diserta sakit kepala (frontal, oksipital atau bitemporal). Pada otot akan timbul keluhan mialgia dan nyeri tekan (otot gastronemius, paha pinggang,) dan diikuti heperestesia kulit. Gejala menggigil dan demam tinggi, mual, muntah, diare, batuk, sakit dada, hemoptisis, penurunan kesadaran, dan injeksi konjunctiva. Injeksi faringeal, kulit dengan ruam berbentuk makular/makolupapular/urtikaria yang tersebar pada badan, splenomegali, dan hepatomegali.

2) 3) 4) 5) 6) 7)

b. Fase imun (1-3 hari) Fase imun yang berkaitan dengan munculnya antibodi IgM sementara konsentrasi C3, tetap normal. Meningismus, demam jarang melebihi 39oC. Gejala lain yang muncul adalah iridosiklitis, neuritis optik, mielitis, ensefalitis, serta neuripati perifer. c. Fase penyembuhan (minggu ke-2 sampai minggu ke-4)

17

Dapat ditemukan adanya demam atau nyeri otot yang kemudian berangsur-angsur hilang.(wiwik, 2012) 2. Pengobatan Obatnya mudah didapat dan murah. Obat antibiotika golongan penicilline, yang menyebabkan kuman peka terhadap streptomycine, chloramphenicol dan erythromycine. Harga jenis antibiotika klasik ini tergolong tidak tinggi dan mudah didapat. Jika diobati selagi masih dini, prognosis leptospirosis umumnya baik. 3. Pencegahan 1) Menjaga kebersihan lingkungan. 2) Kuman leptospira ini mampu bertahan hidup bulanan di air dan tanah, dan mati oleh desinfektans seperti lisol. Maka upaya lisolisasi seluruh permukaan lantai, dinding, dan bagian rumah yang diperkirakan tercemar air kotor banjir yang mungkin sudah berkuman leptospira 3) Higiene perorangannya dilakukan dengan menjaga tangan selalu bersih. 4) Hindari berkontak dengan kencing hewan piaraan. 5) Biasakan memakai pelindung

No 1.

Vektor Anopheles

Penyakit Malaria

Penyebaran Patogen Nyamuk Daerah Plasmodium tropis dan falciparum, P. subtropis malariae,P.ovale , P. vivax Tropis (Asia, Pasifik, Caribia) Amerika, Kanada, Amerika Selatan Trapocal Amerika, Mexico Selatan, Saudi Arbovirus

Reservoir Manusia, primata

2.

3.

Aedes aegypti, A. albopictus, A. scutellaris, A. polynesiensis Aedes (Ochlerotatus)

Haemorrhagic Fever Dengue

Manusia, primata

Eastern Equine Encephalitis

Eastern Equine Encephalitis virus

Manusia, kuda

4.

Blackflies of the genus Simulium (Order Diptera,

Onchocerciasis

volvulus - river blindness, onchocerciasis, Robles' disease (Guatemala),

manusia, gorilla (Gorilla), chimpanzee (Pan)

18

5.

Family Simuliidae) Onchocerca Chrysops spp.

Arabia

sowda (Yemen)

Loiasis, afilarial disease

Afrika Tengah Serangga Afrika, Asia, Australia Siput SEA, China, Philipina

Loa loa

Manusia, kera

1.

Triatomine bugs (Triatoma).

Chagas disease

Trypanosoma cruzi

Rodensia, marsupials and manusia Manusia

1.

Snails

Schistosomiasis

Schistosomia japonicum

2.5 Peran Perawat a. Care Provider Perawat disini Memberi asuhan keperawatan kepada individu, keluarga, komunitas secara langsung bagi mereka yang sudah terserang penyakit akibat penyebaran vector. b. Educator Perawat bertanggung jawab sebagai pendidik kepada individu, keluarga, dan komunitas. Pemberi informasi bisa melalui institusi formal & pilihan sesuai tingkat kemampuan masyarakat tentang bahaya penyebaran vector dan cara pengendalian serta pencegahan vector tersebut. c. Kolabolator Perawat disini berkolaborasi dengan semua sector kerja dalam pengendalian penyebaran vector penyakit. Misalkan berkolaborasi dengan tim medis, pemerintah, dan juga tentunya masyarakat sendiri untuk bersama-sama mencegah penyebaran vector penyakit itu sendiri d. Advocate Perawat juga bisa memberikan advokasi kepada masyarakat misalkan pada suatu wilayah terserang DBD maka perawat bisa memberikan advokasi dengan mengusulkan kepada pemerintah untuk melakukan fogging di kawasan tersebut. e. Conselor Perawat mendengar keluhan klien secara objektif, memberi umpan balik & informasi serta membantu melalui proses pemecahan masalah & mengidentifikasi sumber yang dimiliki. Misalkan ada keluhan dari masyarakat tentang banyaknya warga yang terserang DBD maka perawat membantu

19

memberikan solusi misalkan dengan mengusulkan diadakan kerjabakti bersama menerapkan 3 M. f. Case Manager Perawat dapat mengkaji dan mengidentifikasi kebutuhan kesehatan komunitas, merancang rencana, mengawasi, dan evaluasi dampak terhadap pelayanan yang diberikan.

20

2.4 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Vektor penyakit merupakan arthropoda yang berperan sebagai penular penyakit sehingga dikenal sebagai arthropod - borne diseases atau sering juga disebut sebagai vector borne diseases dan ada 4 faktor yang bisa menyebabkan penyakit yaitu cuaca, reservoir, geografis dan perilaku manusia. Dilihat dari cara kerja dalam penularan penyakit vector dibagi menjadi beberapa jenis yaitu yang pertama Vector potensial yaitu vector yang secara aktif berperan dalam penyebaran penyakit. Kemudian yang kedua Vector biologis yaitu dimana agen penyakit harus mengalami perkembangan ke stadium lebih lanjut. Bila tidak ada vektor maka agen penyakit kemungkinan akan mati. Yang ketiga Vector mekanis dimana agen penyakit tidak mengalami perkembangan, tetapi hanya sebagai pembawa agen penyakit Kemudian cara pengendalian vector ada beberapa yang pertama dengan pengendalian vector terpadu. Dimana cara ini adalah dengan kerjasama atau kolaborasi lintas sector mengingat keberadaan vector berhubungan dengan faktor fisik, biologis dan social budaya sehingga itu bukan hanya jadi tanggung jawab sector kesehatan tapi menjadi tanggung jawab semua sector di masyarakat. Dan metode yang di pakai adalah dengan pendekatan terpadu berdasarkan keamanan, rasionalitas, efektifitas pelaksanaan dan kesinambungan. Yang kedua adalah pengendalian vector secara alamiah yaitu dengan memanfaatkan kondisi alam yang bisa mempengaruhi kehidupan vector. Pengendalian ini bisa dilakukan dalam jangka waktu yang lama.Yang ketiga adalah dengan pengendalian vector terapan yaitu dengan memberikan perlindungan kepada manusia dari gangguan vector dan metode ini dilakukan dalam waktu sementara. Peran perawat dalam pengendalian vector ini diantaranya adalah sebagai care provider, colabolator,advocate, educator, counselor dan juga case manager 3.2 Saran Untuk mengatasi masalah penyebaran penyakit oleh vector bukan hanya menjadi tanggung jawab sector kesehatan. karena vector ini berhubungan dengan semua sector sehingga semua sector punya tanggung jawab untuk mencegah penyebaran vector ini. sehingga ketika ada penyebaran penyakit oleh vector seperti demam berdarah dengue (DBD) maka mencegah penyebarannya ini adalah tanggung jawab semua masyarakat. Tidak malah bersikap acuh dan menyalahkan sector kesehatan. Karena pengendalian vector ini butuh kerjasama semua pihak dan semua lintas sector sehingga pencegahan dan pengendalian vector bisa berjalan optimal.

21

Daftar Pustaka Chandra,budi. 2003.Vektor Penyakit Menular Pada Manusia. http://files.bukukedokteran.webnode.com/200000024-3716638102/Vektor%20Penyakit.pdf . diakses tanggal 3 mei 2012. Dapusku : Suparta.2008 Pengendalian Terpadu Vektor Virus Demam Berdarah Dengue, Aedes aegypti(Linn.) dan Aedes albopictus (Skuse)(Diptera: Culicidae) http://dies.unud.ac.id/wp-content/uploads/2008/09/makalah-supartha-baru.pdf diakses 5 Mei 2012 Eniharyanti.2011. Penyakit vektor-penyakit/ 4 mei 2012 Bawaan Vektor.http://eniharyanti.com/tag/jenis-

Harijanto, P. N. 2000. Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, dan Penanganan. Jakarta :EGC. Nurmaini. 2001. Identifikasi vektor dan binatang pengganggu serta pengendalian anopheles Aconitus secara sederhana.http://www.solexun.net/repository/id/hlth/CR6-Res3-ind.pdf. diakses tanggal 3 mei 2012. Peraturan Mentri Republik Indonesia nomor 374/Mekes/PER/III/2010.tentang Pengendalian Vektor. http://www.depkes.go.id/downloads/Pengendalian Vektor %20.pdf. diakses tanggal 3mei 2012 Prabowo, A.2004. Malaria Mencegah dan Mengatasinya. Jakarta :Penerbit Puspa Swara, Pustekomkemendiknas.2005.DemamBerdarah. http://belajar.kemdiknas.go.id/file_storage/materi_pokok/MP_444/Flash/dbd.swf. diakses 5 Mei 2012 Santio Kirniwardoyo (1992), Pengamatan dan pemberantasan malaria,sanitas. Jakarta: Puslitbang Kesehatan Depkes RI vektor

Syamm.2010.Vektor penyakit menular http://4syamm.wordpress.com/2010/12/01/vektor-penyakit-menular/.Diakses tanggal 30 April 2012

22

WHO. Environmental Management for Vector http://www.who.int/water_sanitation_health/resources/envmanagement/en/

Control. Diakses

tanggal 30 April 2012

23

Anda mungkin juga menyukai