SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Inisiasi dan Proliferasi
Kalus serta Induksi Kalus Embriogenik pada Kultur Antera Kedelai (Glycine max
L. Merrill) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
INISIASI DAN PROLIFERASI KALUS SERTA INDUKSI
KALUS EMBRIOGENIK PADA KULTUR ANTERA
KEDELAI (Glycine max L. Merrill)
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Aris Tjahjoleksono, DEA
Judul Tesis : Inisiasi dan Proliferasi Kalus serta Induksi Kalus Embriogenik pada
Kultur Antera Kedelai (Glycine max L. Merrill)
Nama : Rufai’ah Faisol Dzuraibak
NIM : G353100051
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2012 sampai
April 2013 ialah kultur antera, dengan judul Inisiasi dan Proliferasi Kalus serta
Induksi Kalus Embriogenik pada Kultur Antera Kedelai (Glycine max L. Merrill).
Hasil dari penelitian sedang diajukan untuk publikasi di Jurnal Agronomi
Indonesia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Ence Darmo Jaya
Supena, MSi dan Ibu Dr Ir Ika Mariska Soedharma, APU selaku pembimbing. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu selama penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini yang tidak bisa saya
sebutkan satu per satu. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu, serta
seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
2 METODE 3
Bahan 3
Alat 3
Prosedur Penelitian 3
Pra perlakuan kuncup bunga dan kultur antera 3
Induksi dan proliferasi kalus 4
Pembentukan kalus embriogenik 4
Studi Sitologi dan Histologi 5
Analisis Data 5
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 6
Hasil 6
Induksi dan proliferasi kalus 6
Induksi kalus embriogenik 7
Histologi dan sitologi kalus 8
Pembahasan 10
4 SIMPULAN DAN SARAN 12
Simpulan 12
Saran 12
DAFTAR PUSTAKA 12
LAMPIRAN 15
RIWAYAT HIDUP 16
DAFTAR GAMBAR
1 Pengaruh perlakuan zat pengatur tumbuh terhadap induksi kalus 6
2 Keragaan kalus setelah dilakukan subkultur pada media dengan zat
pengatur tumbuh berbeda 7
3 Kalus noduler dan berwarna hijau setelah dilakukan subkultur pada
media induksi kalus embriogenik 8
4 Visual dan histologi kalus embriogenik 8
5 Hasil analisis tingkat ploidi sel-sel kalus dan daun kedelai dengan alat
flowcytometer 9
6 Penampang melintang kalus umur 45 hari setelah kultur 10
DAFTAR LAMPIRAN
1 Komposisi Media Murashige and Skoog (1962) 15
2 Komposisi Vitamin Morel and Weatmore (1951) 15
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
pemuliaan kedelai karena keberhasilan dalam kultur antera kedelai masih rendah.
Di Indonesia, pengembangan kultur antera kedelai baru sampai tahap fase kalus
dan belum mampu menginduksi embriogenesisnya (Zulkarnain 2005, 2008;
Fathia dan Zulkarnain 2007). Oleh karena itu kultur antera pada tanaman kedelai
masih perlu terus dikembangkan, untuk mendapatkan teknologi kultur haploid
yang optimal.
Ketepatan fase perkembangan mikrospora yang digunakan pada kultur
antera merupakan salah satu faktor keberhasilan induksi androgenesis. Fase
perkembangan mikrospora terbaik untuk tanaman kedelai pada media padat
adalah fase berinti tunggal awal sampai akhir (Lauxen et al. 2003), sedangkan
dalam kultur antera kedelai sistem media dua-lapis fase perkembangan
mikrospora terbaik untuk induksi pembelahan sporofitik adalah fase berinti
tunggal akhir dan berinti dua awal. Fase ini terdapat dalam antera yang diisolasi
dari kuncup bunga yang mempunyai rasio panjang braktea terhadap panjang
kuncup yaitu 2/2.5-2/3.5 (Budiana 2010).
Pemberian pra perlakuan juga menjadi salah satu faktor keberhasilan kultur
antera. Pra perlakuan berupa cekaman dapat membelokkan jalur perkembangan
gametofitik ke pembelahan dan perkembangan sporofitik (Datta 2005). Pra
perlakuan dapat berupa temperatur (rendah atau tinggi), osmotik, starvasi nitrogen
atau karbon. Pra perlakuan dapat diaplikasikan pada tanaman utuh, kuncup bunga
atau langsung pada mikrospora (Touraev et al. 1997). Pra perlakuan pada bunga
sebelum dikulturkan pada temperatur 2-4 °C selama 3-12 hari merupakan pra
perlakuan yang efektif untuk menginduksi kalus antera kedelai varietas Chinese
(Hu et al. 1996).
Zat pengatur tumbuh tanaman juga mempunyai peran yang sangat penting
untuk menginduksi embriogenesis mikrospora dalam kultur antera kedelai.
Penambahan kombinasi 2,4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) 2 mg L-1 dengan
6-benzyladenine (BA) 0.5 mg L-1 pada media padat memberikan respon terbaik
untuk menginduksi embriogenesis pada kultur antera kedelai (Kaltchuk-Santos et
al. 1997). Pengaruh lain pemberian 2,4-D 2 mg L-1 dengan IBA 0,5 mg L-1 dalam
media padat dapat meningkatkan terbentuknya kalus pada kultur antera kedelai
(Tiwari et al. 2004). Pada kultur antera kedelai kultivar China, konsentrsi 2,4-D 2
mg L-1 dapat menginduksi kalus sebesar 22.4%, (Hu et al. 1996). Namun,
penggunaan 2,4-D yang terlalu tinggi pada kultur antera kedelai kultivar IAS5
dapat mempercepat plasmolisis mikrospora dan tidak meningkatkan proses
androgenesis (Rodrigues et al. 2004).
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
2 METODE
Bahan
Bahan tanaman yang digunakan adalah kuncup bunga kedelai varietas Wilis.
Penanaman dilakukan di dalam polybag ukuran 50x26 cm dengan media
campuran tanah:kasting (3:1) seberat 8 kg/polybag dengan 3 tanaman/polybag dan
dipupuk dengan NPK (15-15-15) dengan dosis 0.8 g/polybag. Pemupukan
dilakukan satu kali pada umur 10 hari setelah tanam. Penanaman dilakukan di
tempat terbuka di luar rumah kaca, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan
Bioteknologi (PPSHB) IPB Bogor.
Media dasar yang digunakan untuk kultur antera adalah media MS
(Murashige dan Skoog 1962) yang diperkaya dengan vitamin Morel dan
Weatmore (1951), masing-masing secara lengkap disajikan pada Tabel Lampiran
1 dan 2. Sumber karbon yang ditambahkan pada media adalah maltosa 20 g L-1
pada media induksi dan proliferasi kalus, selanjutnya digunakan sukrosa 30 g L-1
pada media pembentukan kalus embriogenik. Media dibuat padat dengan
penambahan agar-agar gelrite 2 g L-1 dan pH media diatur hingga mencapai pH
5.8±0.1.
Alat
Prosedur Penelitian
antera. Kuncup bunga disterilisasi dalam alkohol 70% selama 30 detik, dibilas 3
kali dengan aquades steril, kemudian direndam dalam NaOCl 2% yang ditambah
Tween-20 0.05% (v/v) selama 10 menit, kemudian dibilas 3 kali dengan aquades
steril masing-masing 1, 5, 10 menit. Selanjutnya antera dari setiap kuncup bunga
yang berjumlah 10 secara acak dimasukkan dalam petri sesuai perlakuan hingga
tiap petri berisi 10 antera yang berasal dari 10 kuncup bunga berbeda.
Analisis Data
Hasil
100
90
Kalus yang tumbuh (%)
80
70
60
50
40
30
20
10
0
(1 ) (2 ) ( 3) ( 4) ( 5) ( 6)
Perlakuan
Gambar 2 Keragaan kalus setelah dilakukan subkultur pada media dengan zat
pengatur tumbuh berbeda: (A) kalus yang berasal dari picloram 1 mg
L-1 + BA 0.5 mg L-1; (B) kalus yang berasal dari picloram 3 mg L-1 +
BA 0.5 mg L-1; (C) kalus yang berasal dari picloram 5 mg L-1+ BA
0.5 mg L-1; (1) picloram 2.5 mg L-1 + NAA 2.5 mg L-1 + BA 0.1
mg L-1; (2) picloram 3 mg L-1 + NAA 3 mg L-1 + BA 0.1 mg L-1; (3)
picloram 10 mg L-1 + NAA 5 mg L-1 + BA 0.1 mg L-1; (4) picloram 5
mg L-1 + NAA 10 mg L-1 + BA 0.1 mg L-1
(A) (A)
Gambar 3 Kalus noduler dan berwarna hijau setelah dilakukan subkultur pada
media induksi kalus embriogenik: (A) kalus dari perlakuan BA 1 mg L-1
+ kinetin 2 mg L-1 + glutamin 100 mg L-1 + arginin 100 mg L-1 + prolin
100 mg L-1; (B) kalus dari perlakuan BA 1 mg L-1 + kinetin 2 mg L-1 +
kasein hidrolisat 200 mg L-1 + prolin 100 mg L-1.
Tanda panah menunjukkan kalus noduler
(A)
A) B)
(B)
Gambar 4 Visual dan histologi kalus embriogenik: (A) kalus noduler; (B)
penampang melintang kalus noduler.
Tanda panah menunjukkan sel kalus embriogenik
Hasil yang diharapkan dari kultur antera adalah diperolehnya tanaman yang
berasal dari sel gamet sehingga menghasilkan tanaman haploid atau haploid
ganda. Namun, pada kultur antera kedelai Wilis dalam penelitian ini, belum
berhasil meregenerasikan tanaman, melainkan hanya sampai tahap kalus yang
9
(A) (B)
Gambar 5 Hasil analisis tingkat ploidi sel-sel kalus dan daun kedelai dengan alat
flowcytometer: (A) tingkat ploidi dari sel-sel daun kedelai varietas Wilis
(kontrol) adalah diploid; (B) tingkat ploidi sel-sel dari kalus yang
diuji adalah diploid
Pembahasan
Analisis sitologi eksplan hasil kultur antera pada level in vitro sangat
diperlukan untuk mengetahui tingkat ploidi. Keberhasilan pengungkapan tingkat
ploidi sangat menentukan arah pengembangan tanaman, khususnya tanaman
haploid, terkait dengan perbanyakan eksplan, penyiapan planlet, penggandaan
kromosom hingga produksi tanaman haploid ganda. Winarto (2011) telah
melakukan pengujian tingkat ploidi pada kultur Anthurium menggunakan
pewarnaan kromosom dengan donor berupa kalus, ujung tunas, dan akar. Namun,
pemanfaatan kalus dan ujung tunas tidak sesuai bila digunakan sebagai donor
eksplan dalam penentuan tingkat ploidi eksplan karena hasil utama yang dapat
diamati di bawah mikroskop berupa titik-titik kromosom yang tersebar dalam sel
atau mosaik kromosom. Pengecekan tingkat ploidi pada tahap kalus dalam
penelitian ini menggunakan alat flowcytometer, dimana hasil yang diperoleh
ploidi kalus sama dengan ploidi daun muda kedelai yaitu diploid.
Berdasarkan hasil pengamatan histologi pada saat kalus berumur 45 hari
setelah kultur, maka kemungkinan kalus berasal dari jaringan dinding antera
kedelai, dimana jaringan dinding antera kedelai terluka sehingga menginduksi
terbentuknya kalus. Mikrospora di dalam dinding antera kedelai tidak terinduksi
dan masih dalam keadaan seperti semula. Seperti halnya penelitian pada kultur
antera Anthurium selama perkembangan kalus, mikrospora dalam dinding antera
tidak tumbuh, dan tetap dalam keadaan semula sampai tiga bulan dalam kultur
(Winarto et al. 2010). Hal ini dikarenakan dinding antera yang terinduksi.
Kultur antera pada media padat lebih memiliki kecenderungan untuk
membentuk kalus yang lebih banyak berasal dari dinding atau jaringan anteranya.
Penelitian kultur antera kedelai selanjutnya, sebaiknya menggunakan metode yang
meminimalisir pembentukan kalus. Kultur antera kedelai yang dilakukan pada
media dua lapis telah mampu menginduksi pembelahan sporofitik dengan
membentuk struktur multiseluler sampai 12 sel dan tidak melalui tahapan kalus
(Budiana 2010). Pengembangan kultur antera kedelai pada media dua lapis lebih
berpeluang untuk berhasil dalam pengembangan selanjutnya. Perspektif ini
didukung hasil percobaan Parra-Vega et al. (2013) yang membandingkan dua
prosedur kultur antera cabai. Bila antera cabai dikulturkan pada media padat dapat
menginduksi embriogenesis melalui tahapan kalus (Dumas de Vaulx et al. 1981),
sedangkan jika dikulturkan pada media dua lapis dapat menginduksi
embriogenesis langsung tanpa melalui tahapan kalus (Supena et al. 2006). Kultur
antera melalui tahapan kalus lebih cenderung menghasilkan tanaman yang diploid
daripada tanaman haploid, seperti halnya pada kultur antera Bupleurum chinense,
hanya berhasil meregenerasikan satu tanaman haploid dan 155 tanaman diploid
dari 156 kultur antera yang dicobakan (Yang et al. 2011).
12
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Dolezel J, Greilhuber J, Suda J. 2007. Flow Cytometry with Plant Cells: Analysis
of Genes, Chromosomes, and Genomes. Weinhem: Wiley-VCH.
Dumas de Vaulx R, Chambonnet D, Pochard E. 1981. Culture in vitro d’anthe`res
de piment (Capsicum annuum L.): ame`lioration destaux d’obtenction de
plantes chez diffe´rents ge´notypes par destraitments a` +35°C. Agronomie.
1: 859–864.
Fathia NME, Zulkarnain. 2007. Respon in vitro antera kedelai terhadap zat
pengatur tumbuh. Jurnal Agronomi. 11(2): 59-67.
Forster BP, Heberle-Bors E, Kasha KJ, Touraev A. 2007. The resurgence of
haploids in higher plants. Trends in Plant Sci. 12(8): 368-375.
Fu Y, Nicolodi C, Santini L, Spano L, Mariotti D. 1997. Development and
germination of somatic embryos from immature soybean kotiledons: role of
auksin like compounds and organic nitrogen. J Genet Breed. 51: 341-345.
Guzma´n M, Francisco JZA. 2000. Increasing anther culture efficiency in rice
(Oryza sativa L.) using anthers from ratooned plants. Plant Science. 151:
107–114.
Hu CY, Yin GC, Bodanese-Zanettini MH. 1996. Haploid of Soybean. Di dalam:
Jain SM, Sopory SK, Veilleux RE, editors. In Vitro Production in Higher
Plant. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher. hlm 377-395.
Kaltchuk-Santos E, Mariath JE, Mundstock E, Yeh-Hu C, Bodanese-Zanetti MH.
1997. Cytologycal analysis of early microspore divisions and embryo
formation in cultured soybean anther. Plant Cell Tiss Organ Cult. 49: 107-
115.
Lauxen MS, Kaltchuk-Santos E, Hu C, Callegarri-Jacques SM, Bodanese-
Zanettini MH. 2003. Floral bud size and developmental stage in soybean
microspores. Braz Arch Biol Technol. 46(4): 515-520.
Lestari EG, Yunita R. 2008. Induksi kalus dan regenerasi tunas padi varietas
Fatmawati. Bul Agron. 36(2): 106-110.
Loganathan M, Maruthasalam S, Shiu LY, Lien WC, Hsu WH, Lee PF, Yu CW,
Lin CH. 2010. Regeneration of soybean (Glycine max L. Merrill) through
direct somatic embryogenesis from the immature embryonic shoot tip. In
Vitro Cell Dev Biol Plant. 46: 265-273.
Moraes AP, Bodanese-Zanettini MH, Callegarri-Jacques SM, Kaltchuk-Santos E.
2004. Effect of temperature shock on soybean microspore embryogenesis.
Braz Arch Biol Technol. 47(4): 537-544.
Morel G, Wetmore RH. 1951. Tissue culture of monocotyledons. Am J Bot. 38:
138-140.
Murashige T, Skoog F. 1962. A revised medium for rapid growth and bio-assays
with tobacco tissue cultures. Plant Physiol. 15: 473-497.
Parra-Vega V, Renau-Morata B, Sifres A, Segui-Simarro JM. 2013. Stress
treatments and in vitro culture conditions influence microspore
embryogenesis and growth of callus from anther walls of sweet pepper
(Capsicum annum L.). Plant Cell Tiss Organ Cult. 112: 353-360.
Purnamaningsih P. 2002. Regenerasi tanaman melalui embryogenesis somatic dan
beberapa gen yang mengendalikannya. Buletin Agrobio. 5(2): 51-58.
Rodrigues LR, Forte BC, Olieveira JMS, Mariath JEA, Bodanese-Zanettini MH.
2004. Effects of light conditions and 2,4-D concentration in soybean anther
culture. Plant Growth Regulation. 44: 125-131.
14
Rodrigues LR, Forte BC, Bodanese-Zanettini MH. 2006. Isolation and culture of
soybean (Glycine max L. Merrill) microspores and pollen grains. Braz Arch
Biol Technol. 49(4): 537-544.
Sass JE. 1958. Botanical Microtechnique. Edisi ke-3. The Iowa State Collage
Press. Ames. Iowa.
Supena EDJ, Suharsono S, Jacobsen E, Custers JBM. 2006. Succesfull
development of a shed-microspore culture protocol for double haploid
production in Indonesian hot pepper (Capsicum annuum L.). Plant Cell Rep.
25: 1-10.
Touraev A, Vicente O, Heberle-Bors E. 1997. Initiation of microspore
embryogenesis by stress. Trends in Plant Sci. 2: 298-300.
Tiwari S, Shanker P, Tripathi M. 2004. Effects of genotype and culture medium
on in vitro androgenesis in soybean (Glycine max L. Merr.). Ind Jour
Biotech. 3: 441-444.
Winarto B, Mattjik NA, Purwito A, Marwoto B. 2010. Improvement of selected
induction culture media on callus induction in anther culture of anthurium
and a histological study on its callus formation. Jurnal Natur Indonesia.
12(2): 93-101.
Winarto B. 2011. Pewarnaan kromosom dan pemanfaatannya dalam penentuan
tingkat ploidi eksplan hasil kultur anter Anthurium. J Hort. 21(2): 113-123.
Yang C, Zhao Y, Wei J, Zhao L, Sui C, Zhang Z, Cui L. 2011. Factors affecting
embryogenic callus production and plant regeneration in anther culture of
Bupleurum chinense. Chinese Herbal Medicines. 3(3): 214-220.
Zheng MY. 2003. Microspore culture in wheat (Triticum aestivum) doubled
haploid production via induced embryogenesis. Plant Cell Tiss Organ Cult.
73: 213-230.
Zulkarnain. 2005. Pengaruh pra-perlakuan stres pada kultur antera empat kultivar
kedelai. Jurnal Akta Agrosia. 8: 56-6.
Zulkarnain. 2008. Respon antera kedelai kultivar Merubetiri terhadap pemberian
putrescine pada kultur in vitro. Jurnal Agronomi. 12(1): 9-16.
LAMPIRAN
15
RIWAYAT HIDUP