Anda di halaman 1dari 14

TUGAS TERSTRUKTUR DOSEN PENGAMPU

KULTUR JARINGAN Dr. Rosmaina, S.P., M.Si

MAKALAH
KULTUR ANTHER PADA TANAMAN KEDELAI

Oleh:
KELOMPOK 2 / 5F
Rubiyati (11980222520)
Septia Indriani (11980222524)
Soni Kurnia Hsb (11980212529)
Try Danta Saputra (11980215263)
Via Yuliana (11980222542)
Wahyu Andika P (11980212544)
Wandi (11980212549)

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN
UNIVERSITAS ISLAM NGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2021
KATA PENGATAR

Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh,


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan
dalam menyelesaikan makalah tepat waktu. Tanpa rahmat dan pertolongan-Nya,
penulis tidak akan mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa
shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi agung Muhammad SAW yang
syafa’atnya kita nantikan kelak.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat
sehat-Nya, sehingga makalah “KULTUR ANTHER PADA TANAMAN
KEDELAI” dapat diselesaikan. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata
kuliah Kultur Jaringan. Terima kasih dan rasa syukur yang dalam, penulis
sampaikan kepada Bapak dan Ibu tercinta yang telah membesarkan dan mendidik
Kami dengan kesabaran, kasih sayang, doa dan cucuran keringat yang mengalir
selama hidup ini. Dalam kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terima
kasih dengan hati yang tulus kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini semoga Allah senantiasa membalas dengan kebaikan
yang berlipat ganda.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak guna perbaikan di masa yang akan datang.
Akhirnya semoga amal baik yang telah diberikan oleh semua pihak kepada
penulis, mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Harapan penulis
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Pekanbaru, 18 Oktober 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR. ............................................................................ ii


DATAR ISI. ............................................................................................ iii
I. PENDAHULUAN. .............................................................................. 1
1.1.Latar Belakang . ........................................................................... 1
1.2.Tujuan . ........................................................................................ 2
II. PEMBAHASAN. ............................................................................... 3
2.1.Persiapan Media Induk . ............................................................... 3
2.2.Medium Kultur. ............................................................................ 3
2.3.Eksplan. ....................................................................................... 4
2.4.Kultur Anther. .............................................................................. 4
2.5.Cara Kerja Alat dan Hasil Isolasi. ................................................. 5
III. KESIMPULAN. ................................................................................ 10
3.1. Kesimpulan , ............................................................................... 10
3.2. Saran. .......................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA. ............................................................................. 11

iii
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kedelai (Glycine max) adalah salah satu komoditas pertanian yang penting
di Indonesia, termasuk bagi Propinsi Jambi. Komoditas ini menjadi penting bagi
Propinsi Jambi sebagai salah satu komoditas andalan dalam pembangunan
pertanian sejak beberapa tahun belakangan ini. Melalui program Agropolitan
Propinsi Jambi tanaman kedelai diusahakan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur,
tepatnya di Desa Rantau Makmur, Desa Simpang dan beberapa desa lain di
sekitarnya dengan total luas areal tanam lebih-kurang 22.000 ha. Namun
demikian, keterbatasan kondisi lingkungan yang sebagian terdiri atas lahan
pasang-surut menyebabkan produksi kedelai yang dicapai tidak maksimum. Di
beberapa lokasi memang diperoleh hasil yang memuaskan, sementara di lokasi
lain hasil yang diperoleh masih di bawah produksi rata-rata. Oleh karenanya
diperlukan suatu terobosan teknologi untuk memperbaiki mutu genetik tanaman
kedelai yang diusahakan di daerah ini agar memiliki sifat toleransi yang tinggi
terhadap kondisi lingkungan yang ada.
Pemuliaan kedelai untuk memperbaiki mutu genetik merupakan alternatif
yang perlu dikaji, khususnya melalui pemanfaatan bioteknologi lewat regenerasi
tanaman haploid melalui kultur antera yang telah terbukti mampu mempercepat
proses seleksi dan pelepasan varietas baru pada sejumlah spesies tanaman
pertanian.
Telah diketahui bahwa keberhasilan regenerasi tanaman haploid dari
kultur antera sangat tergantung pada kapasitas embriogenik kalus yang
diregenerasikan, yang pada gilirannya nanti akan meregenerasikan embrio
somatik melalui embriogenesis. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan
regenerasi kalus embriogenik dan embriogenesis somatik, salah satu di antaranya
adalah kehadiran poliamin alifatik di dalam medium kultur (Chi et al., 1994; Bajaj
dan Rajam, 1996; Rajam, 1997).
Kultur anter merupakan salah satu tehnik dasr dalam penerapan
bioteknologi untuk pemuliaan tanaman. Dari kultur anter akan didapatkan
tanaman haploid. Pembentukan tanaman haploid melalui pembentukan kalus atau

1
androgenesis langsung. Manfaat tanaman haploid dalam pemuliaan tanaman
adalah apabila kromosomnya digandakan dengan menggunakan kolkhisin atau
melalui fusi protoplas dua tetua haploid yang sama akan diperoleh tanaman 100 %
homozigot . Dengan cara tersebut akan menghemat waktu dibanding denga cara
seksual melalui penyerbukan sendiri yang memerlukan 5 – 6 generasi, dan dapat
mengatasi hambatan adanya incompatibilitas sendiri. Frekuensi terjadinya
haploid yang spontan di alam masih rendah yaitu 0,001 –0,01 %. Frekuensi
haploid yang spontan biasanya terjadi melalui proses partenokarpi dari sel telur
yang tidak dibuahi atau apomiksis, sedang produksi tanaman haploid dengan in
vitro bisa lebih tinggi (Hu Chung, 1978).
1.2 Tujuan
Tujuannya adalah untuk mengetahui kultur anther pada tanaman kedelai.

2
II. PEMBAHASAN

2.1. Persiapan tanaman induk


Kedelai sebagai tanaman induk pada penelitian ini adalah kultivar
Merubetiri yang diperoleh dari Balai Penelitian dan Pengkajian Teknologi Perta-
nian (BPPTP), Jambi, yang sudah diuji daya adap-tasinya di daerah pasang-surut
Desa Rantau Rasau, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Propinsi Jambi.
Penanaman bahan induk dilakukan setiap 3 – 4 minggu guna menjamin
ketersediaan bahan eks-plan (tunas bunga) yang cukup selama penelitian. Selain
itu, pernanaman ini juga sebagai upaya memperbanyak koleksi benih untuk
digunakan se-bagai bahan perbanyakan berikutnya.
Benih tanaman kedelai dikecambahkan dan di-tumbuhkan di dalam
polybag untuk mempermudah pemeliharaan dan mengendalikan pertumbuhan ta-
naman. Selanjutnya polybag ditempatkan di tem-pat terbuka di kebun percobaan
Fakultas Pertanian Universitas Jambi, Desa Mendalo Darat. Pemeli-haraan
tanaman mengikuti prosedur kultur teknik yang umum dilakukan, yakni
penyiraman air, pem-berantasan hama dan penyakit serta pemupukan untuk
mendapatkan tanaman yang sehat.
2.2. Medium kultur
Medium kultur yang digunakan adalah medium dasar MS (Murashige dan
Skoog, 1962) yang di-lengkapi dengan vitamin dan sukrosa. Sebanyak 10 mL dari
masing-masing larutan stok dimasuk-kan ke dalam gelas piala berisi lebih-kurang
200 mL air suling dan aduk secara konstan. Selanjut-nya ditambahkan sukrosa
sebanyak 30 g, dan volu-me larutan dijadikan 1 L dengan penambahan air suling.
Kemasaman medium ditetapkan 5,8 0,02 dengan menambahkan NaOH 1 M atau
HCl 0,5 M. Untuk membuat medium padat digunakan Bacto Bitek agar sebanyak
8 g, yang dilarutkan dengan pemanasan sebelum medium tersebut dibagi-bagi ke
dalam botol kultur dan disterilkan dengan oto-klaf pada tekanan 1.1 kg cm-1 (103
kPa) pada suhu 121oC selama 20 menit. Variabel yang diuji pada percobaan ini
adalah putrescine yang dicobakan pada konsentrasi 0, 2,5, 5,0, 7,5 dan 10,0 mM
pada medium dengan zat pengatur tumbuh 20 M 2,4-D + 10 M kinetin (PA) dan

3
medium dengan 20 M 2,4-D + 20 M kinetin (PB) untuk induksi pembentukan
kalus em-briogenik.
2.3. Eksplan
Bahan tanaman yang digunakan sebagai eks-plan adalah antera yang
diperoleh dari tunas bunga muda. Setelah disterilkan dengan alkohol 70% se-lama
lebih-kurang 10 detik, kelopak dan mahkota bunga dibuang dengan hati-hati, lalu
antera dipi-sahkan dari filamen untuk selanjutnya dikulturkan pada media yang
telah disiapkan.
2.4. Kultur Anther.
Kultur anther adalah salah satu tehnik perbanyakan tanaman dengan
menggunakan organ reproduktif anther ( Gunawan, L , 1988), Landasan dari
kultur anther adalah teori sel yang mengatakan bahwa setiap sel merupakan unti
bebas yang mampu membentuk organisme baru atau sel-sel tanaman mempunyai
sifat totipotensi sel yang potensiil. Melalui kultur anther akan diperoleh tanaman
haploid yaitu melalui pembentukan kalus atau androgenesisi langsung.
Dalam bidang pemulian tanaman, program haploidisasi dikembangkan
untuk memperoleh keturunan yang homozigot. Menurut Crowder (1983) bahwa
haploidisasi melalui kultur anther banyak memberikan sumbangan dalam progam
pemuliaan tanaman yakni :
a. Menghemat waktu untuk memperoleh keturunan homozigot
dibandingkan dengan cara biasa (silang balik).
b. Kondisi yang homozigot untuk semua lokus pada tanaman diploid
tersebut mengurangi kesulitan didalam mengidentifikasi dan
memenipulasi sifat-sifat genetik yang diinginkan.
Haploid pada tanaman tinggi dapat terjadi secara alami melalui proses
abnormal, namun frekuensinya rendah yaitu 0,001 – 0,01 %. Frekuensi haploid
dapat ditingkatkan dengan tehnik kultur anther. Tehnik kultur anther relatif
sederhana dan efisien. Hal yang penting dan kritis dalam metode ini adalah
penentuan tingkat perkembangan yang paling tepat untuk dijadikan eksplan
sehingga androgenesis dapat terjadi.
Pada tanaman padi, frekuensi pembentukan kalus yang tertinggi diperoleh
pada kultur anther dengan polen yang nukleusnya terletak di pinggir sel.

4
Pembentukan kalus dari polen sebelum dan sesudah tingkat perkembangan tengah
fase uninukleat ini sangat menurun.
Persentasi terbentuknya kalus pada berbagai tingkat menurut Gunawan
(1988):
a. 5,6 % kultur membentuk kalus pada awal fase uninukleat sesudah tetrad
terbentuk
b. 35,7 % kultur membentuk kalus pada awal fase uninukleat.
c. 10,9 % pada saat akhir fase ununukleat
d. 6,7 % pada saat mitosis pertama dari polen
e. 0 % pada saat polen mencapai fase binukleat
2.5. Cara Kerja Alat dan Hasil Isolasi
Penggunaan alat ini sangat sederhana, yak-ni alat yang dipegang di sebelah
kiri berfungsi menahan tunas bunga agar mantap pada posi-sinya (tidak bergerak),
sedangkan alat dipe-gang di sebelah kanan berfungsi untuk mene-kan bagian
pangkal tunas bunga yang berde-katan dengan pedicel (Gambar 2). Bagi me-reka
yang kidal (left handed), maka mekanis-me penggunaan alat adalah sebaliknya.
Pen-ting untuk benar-benar menekan bagian yang tepat (yakni bagian pangkal
tunas bunga), ka-rena penekanan yang salah posisi akan me-nyebabkan antera
hancur; misalnya tekanan yang diberikan pada bagian tengah tunas bu-nga justru
akan menghancurkan antera, karena antera tepat berada di bagian ini. Begitu bagi-
an pangkal tunas bunga ditekan, maka gaya tekanan yang diberikan akan
memaksa lepas-nya antera dari filamen, sehingga antera akan terdorong ke luar
dalam keadaan utuh melalui bagian atas tunas (melalui permukaan kuncup tunas).
Dengan demikian, antera kedelai yang utuh dapat diperoleh secara sederhana dan
mudah tanpa harus membuka satu-per satu kelopak dan mahkota bunga. Isolasi
antera kedelai dengan cara membuka kelopak dan mahkota bunga satu per satu
dapat menyebab-kan rusaknya antera akibat tanpa disengaja terjepit atau tertusuk
oleh alat isolasi, dikare-nakan sulitnya penanganan terhadap tunas bu-nga dan
antera dengan ukuran yang demikian kecilnya.

5
Gambar 1. Alat isolasi dan inokulasi antera kedelai. Atas, alat isolasi yang
digunakan di sebelah kanan; tengah, alat isolasi yang digunakan di sebelah kiri;
bawah, alat inoku-lasi.

Gambar 2. Bagian tunas bunga yang ditekan (tanda panah) harus benar-
benar diperhatikan agar tidak mengenai antera yang berada di dalam tunas bunga
yang dapat menyebabkan hancurnya antera.

Pada Gambar 3 disajikan perbedaan antara antera utuh yang diperoleh


menggunakan alat isolasi ini dengan antera yang kebanyakan ru-sak yang
diperoleh dengan cara isolasi kon-vensional, yaitu dengan membuka tunas bu-nga
menggunakan pinset dan jarum biasa.

6
Gambar 3. Perbedaan antara antera kedelai yang diisolasi dengan alat
isolasi hasil rancangan (A) dan antera yang diperoleh dengan menggu-nakan
jarum dan pinset (B).

Gambar 1. Karakteristik kalus yang terbentuk pada perlakuan putrescine


pada medium dengan 20 M 2,4-D + 10 M kinetin (A) dan 20 M 2,4-D + 20 M
kinetin (B).

Gambar 2. Kalus dengan struktur kompak yang mendominasi semua


perlakuan putrescine (A), kalus dengan struktur remah yang dijumpai pada
sebagian kecil perlakuan putrescine (B).

7
Kecepatan pembentukan kalus pada perlakuan putrescine tidak
memperlihatkan adanya pola pe-ngaruh yang spesifik, baik pada medium yang di-
lengkapi dengan 20 M 2,4-D + 10 M kinetin maupun pada medium dengan 20 M
2,4-D + 20 M kinetin (Tabel 2). Hasil perhitungan sidik ra-gam menunjukkan
tidak adanya pengaruh yang nyata dari berbagai tingkat konsentrasi putrescine,
- P = 1,19) maupun
- P = 1,19). Dari da-ta yang
dikumpulkan terungkap bahwa rentang waktu yang dibutuhkan untuk inisiasi
proliferasi kalus pada perlakuan putrescine berkisar antara 4 hingga 20 hari
setelah inisiasi kultur.

Upaya meningkatkan kapasitas embriogenik kalus pada sejumlah spesies


tanaman dengan memberikan poliamin alifatik dari luar (eksogen) telah dilakukan
oleh beberapa peneliti. Penelitian terhadap peranan poliamin dalam proses
perkem-bangan tanaman kini telah mengarah pada peman-faatannya untuk
meningkatkan embriogenesis so-matik pada sejumlah tanaman pertanian penting
(Chi et al., 1994; Bajaj dan Rajam, 1996; Rajam, 1997). Pada kultur in vitro
wortel, Feier et al. (1984) melaporkan bahwa pemberian poliamin be-rupa
putrescine ke dalam medium kultur dapat me-ngembalikan embriogenesis yang
mengalami ham-batan oleh zat penghambat tumbuh. Sementara itu Yadav dan
Rajam (1997) mengemukakan bahwa perlakuan putrescine dapat meningkatkan
embrio-genesis somatik pada kultur jaringan tanaman te-rong, di mana pada
konsentrasi 0,5 mM putrescine meningkatkan regenerasi embrio somatik hingga
enam kali lipat.
Setelah diisolasi, antera utuh yang diper-oleh selanjutnya diinokulasikan
pada medium kultur dengan menggunakan alat inokulasi khusus yang dibuat dari
kawat senar gitar No. 1. Adanya gaya tarik-menarik yang tidak ter-lalu kuat
ataupun terlalu lemah antara alat ino-kulasi dengan antera, disertai dengan bentuk
ujung alat yang pipih sangat mempermudah pemindahan antera dari bidang isolasi
(cawan petri) ke medium kultur tanpa disertai keru-sakan, baik pada antera
maupun pada permu-kaan kultur. Di samping dapat menghasilkan antera yang
utuh, dengan bantuan alat isolasi dan inokulasi ini proses pengkulturan antera

8
kedelai menjadi semakin cepat, sehingga pe-luang untuk terjadinya kontaminasi
akibat teknis pelaksanaan yang kurang baik dapat dihindarkan.
Bila dikaitkan dengan penelitian-penelitian se-belumnya, regenerasi kalus
berwarna putih dan kompak pada penelitian ini mengandung implikasi besarnya
peluang untuk mendapatkan tanaman ha-ploid melalui embriogenesis dari massa
kalus yang diduga terdiri atas sel-sel haploid. Dengan mela-kukan modifikasi pada
sejumlah faktor lingkung-an, terutama komposisi medium, diharapkan rege-nerasi
kedelai haploid secara in vitro dapat diwu-judkan. Hal ini sejalan dengan pendapat
yang dike-mukakan oleh Taji et al. (2002), bahwa embrioge-nesis somatik
memiliki arti penting di dalam tek-nik kultur jaringan untuk memproduksi
tanaman seragam dalam jumlah besar. Akan tetapi proses ini dibatasi oleh banyak
hal karena embrio somatik hanya akan berkembang dari dalam massa kalus yang
embriogenik, dan waktu yang dibutuhkan un-tuk mendapatkan kalus dengan sifat-
sifat embrio-genik ada kalanya sangat lama. Di samping itu, faktor-faktor seperti
hormon tanaman, hara dan kondisi lingkungan harus dioptimasi terlebih dahu-lu
agar embriogenesis dapat berlangsung.

9
III. PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan terhadap kinerja alat dan hasil isolasi, dapat
disimpulkan bah-wa alat isolasi dan inokulasi ini dapat dikem-bangkan menjadi
alat yang lebih baik. Alat ini juga memiliki potensi pemanfaatan yang lebih baik,
dibuktikan dengan tingkat kerusak-an antera yang jauh lebih rendah dibanding-
kan dengan penggunaan alat konvensional (ja-rum dan skalpel).
Kultur anther merupakan salah tehnik dasar dalam penerapan bioteknologi
untuk pemuliaan tanaman . Dengan metoda kultur anther, hal-hal atau tindakan -
tindakan yang sulit dilakukan dengan metode konvensional dapat dikerjakan.
Keberhasilan kultur anther masih rendah. Beberapa kendalanya adalah :
persyaratan donor tanaman yang kurang memenuhi syarat, komposisi media
tanam yang masih kurang tepat, sterilisasi bahan tanam yang masih kurang tepat,
kurangnya penguasaan tehnik bagi pelaksana dan terbatasnya sarana dan
prasarana.

3.2. Saran
Tingkat keberhasilan yang tinggi akan diperoleh jika setiap kesulitan dan
hambatan yang ada telah berhasil diatasi. Untuk perlu dilakukan percobaan dan
penelitian untuk memperoleh cara-cara atau perlakuan yang tepat untuk tiap
jenias tanaman dalam melakukan kultru jaringan dan kultur anther

10
DAFTAR PUSTAKA

Aryan, A. P. 2002. Production of double haploids in rice: anther vs. microspore


culture, 201-208. Prosiding The Importance of Plant Tissue Culture and
Biotechnology in Plant Sciences. Armidale.

Bayliss, K. L., J. M. Wroth dan W. A. Cowling. 2002. Production of multicellular


microspores of Lupinus species: first step toward haploid lupin embryos, 145-
157. Prosiding The Importance of Plant Tissue Culture and Biotechnology in
Plant Sciences. Armidale.

Aryan, A. P. 2002. Production of double haploids in rice: anther vs. microspore


culture. Prosiding The Importance of Plant Tissue Culture and Biotechnology
in Plant Sciences di Armidale, University of New England Press. pp. 201-
208.

Sha-Valli-Khan, P. S., E. Prakash dan K. R. Rao. 2002. Callus induction and


plantlet regeneration in Bixa arellana L., an annatto-yielding tree. In Vitro
Cellular and Developmental Biology - Plant 38: 186-290.

Kaur, P. dan J. K. Bhalla. 1998. Regeneration of haploid plants from microspore


culture of pigeon pea (Cajanus cajun L.). Indian Journal of Experimental
Biology 36: 736-738.

11

Anda mungkin juga menyukai