Anda di halaman 1dari 50

PERILAKU Bacillus cereus SELAMA FERMENTASI TEMPE

YANG DIPERKAYA DENGAN BAKTERI ASAM LAKTAT

QORI EMILIA

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perilaku Bacillus


cereus selama Fermentasi Tempe yang Diperkaya dengan Bakteri Asam Laktat
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, April 2015

Qori Emilia
NIM F24100130
ABSTRAK
QORI EMILIA. Perilaku Bacillus cereus selama Fermentasi Tempe yang
Diperkaya dengan Bakteri Asam Laktat. Dibimbing oleh RATIH DEWANTI-
HARIYADI dan LILIS NURAIDA.

Pembuatan tempe yang tidak higienis meningkatkan risiko kontaminasi


bakteri pembusuk maupun patogen. Bacillus cereus merupakan bakteri pembusuk
dan patogen yang mungkin mengontaminasi tempe karena bakteri tersebut umum
terdapat dalam tanah dan kadang dijumpai pada kedelai. Penelitian pada tahun
1987 melaporkan tingginya kontaminasi B. cereus pada 11% dari 110 sampel
tempe di Belanda. Selain itu, bakteri asam laktat juga dilaporkan terdapat dalam
jumlah tinggi pada tempe. Bakteri asam laktat diketahui menghasilkan metabolit
yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Penelitian sebelumnya
telah mengidentifikasi Lactobacillus fermentum sebagai bakteri asam laktat
dominan selama fermentasi tempe. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji perilaku
B. cereus selama fermentasi tempe dan pengaruhnya terhadap mutu tempe, serta
pengaruh bakteri asam laktat yang diisolasi dari tempe terhadap pertumbuhan B.
cereus. Fermentasi tempe dilakukan dengan menggunakan kultur starter komersial
dengan atau tanpa penambahan L. fermentum (7 log CFU/g) dan atau B. cereus (3
log CFU/g atau 1 log CFU/g) di awal fermentasi. Jumlah koloni meliputi B.
cereus, kapang, dan bakteri asam laktat (CFU/g), nilai pH, dan kondisi visual dan
aroma tempe diamati pada jam ke-0, 4, 24, 48, dan 72 selama fermentasi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa selama fermentasi tempe B. cereus tumbuh
sebanyak 3-5 log CFU/g bersama dengan kapang dan bakteri asam laktat. B.
cereus sebanyak 3 log CFU/g di awal fermentasi tumbuh hingga 8 log CFU/g dan
menghasilkan tempe dengan kondisi visual dan aroma yang tidak dapat diterima
konsumen. Sementara itu, B. cereus sebanyak 1 log CFU/g di awal fermentasi
juga tumbuh hingga 4 log CFU/g namun tempe yang dihasilkan memiliki kondisi
visual dan aroma yang dapat diterima konsumen, menyerupai tempe normal.
Pertumbuhan B. cereus tidak dihambat oleh L. fermentum diduga karena produksi
asam laktat yang tidak cukup untuk menurunkan pH hingga akhir fermentasi.
Kontaminasi B. cereus dalam jumlah yang rendah tidak memengaruhi mutu
tempe, sehingga berpotensi membahayakan konsumen karena B. cereus dapat
menghasilkan toksin. Kontaminasi B. cereus dalam jumlah yang tinggi
menghasilkan tempe dengan sifat organoleptik yang tidak dapat diterima
konsumen.

Kata kunci: B. cereus, L. fermentum, patogen, fermentasi, tempe


ABSTRACT

QORI EMILIA. Survival of Bacillus cereus during Tempe Fermentation.


Supervised by RATIH DEWANTI-HARIYADI and LILIS NURAIDA.

Unhygienic conditions during tempe production increases the risk of


spoilage and pathogen contamination. Bacillus cereus is both spoilage and
pathogenic bacterium which may contaminate tempe since it is common in soil
and occasionally found in soybeans. Research in 1987 reported high number of B.
cereus within 11% of 110 tempe samples in Netherlands. Besides, high number of
lactic acid bacteria was also reported in tempe. Lactic acid bacteria are known to
produce metabolites which can inhibit the growth of pathogen bacteria. Recent
study identified Lactobacillus fermentum as the predominant lactic acid bacteria
during tempe fermentation. This research aimed to evaluate the survival of B.
cereus during tempe fermentation and its effect on tempe quality as well as the
effect of lactic acid bacteria isolated from tempe to the growth of B. cereus.
Tempe fermentation was carried out by using commmercial tempe starter culture
with or without the addition of L. fermentum (7 log CFU/g) and or B. cereus (3
log CFU/g or 1 log CFU/g). Total colony count (CFU/g) of B. cereus, mold, and
lactic acid bacteria, pH value, and visual-aroma condition were observed at 0, 4,
24, 48, and 72 hours of tempe fermentation. The results showed that B. cereus
could grow up to 3-5 log CFU/g during tempe fermentation, along with the
growth of mold and lactic acid bacteria. B. cereus artificially innoculated at 3 log
CFU/g at initial fermentation of tempe could grow up to 8 log CFU/g, and yielded
an unacceptable product in terms of visual and aroma quality. Meanwhile, B.
cereus artificially innoculated at 1 log CFU/g at initial fermentation of tempe
could grow up to 4 log CFU/g, yet yielded product with acceptable visual-aroma
quality similar to normal tempe. B. cereus growth was not inhibited by L.
fermentum presumably because lactic acid bacteria produced inadequate lactic
acid to lower pH value until the end of fermentation. Low contamination level of
B. cereus did not influence tempe quality, thus it is potentially harmful to
consumer due to B. cereus ability to produce toxin. High contamination level of B.
cereus yielded tempe with unacceptable organoleptic quality.

Keywords: B. cereus, L. fermentum, pathogen, fermentation, tempe


PERILAKU Bacillus cereus SELAMA FERMENTASI TEMPE
YANG DIPERKAYA DENGAN BAKTERI ASAM LAKTAT

QORI EMILIA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini adalah
mikrobiologi pangan, dengan judul “Perilaku Bacillus cereus selama Fermentasi
Tempe yang Diperkaya Bakteri Asam Laktat”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi,
MSc dan Prof Dr Ir Lilis Nuraida, MSc selaku dosen pembimbing, serta Dr Dra
Suliantari, MS selaku dosen penguji atas saran dan bimbingan selama
penyelesaian skripsi ini. Penghargaan penulis sampaikan kepada Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI sebagai
pemberi dana penelitian melalui Skema Hibah Kompetensi tahun 2014 atas nama
Prof Dr Ir Lilis Nuraida MSc. Terima kasih kepada keluarga tercinta, Bapak, Ibu,
Mbak, Adik, dan seluruh keluarga besar atas doa dan dukungan tiada henti untuk
penulis. Terima kasih kepada Goodwill International, terutama ibu Mien, Mrs
Noruunn dan Mrs Irene (The Nordic Club) atas dukungan moral, finansial, dan
soft skill selama menjalani studi. Terima kasih kepada staf dan laboran
departemen ITP dan SEAFAST Center IPB atas setiap bantuan dan kemudahan
yang diberikan. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada para sahabat (Doni,
Dodi, Dini, Nana, Lisa, Marbun, Zeviara, Andra, Khalid, Farisa, Anan, Shella,
dan Mentary), partner penelitian (Tania, Tika, Bachtiar, dan Kak Allia), teman-
teman AIMS (Ghita, Izza, Doni, Norman, Dini, Nurul, Fanny, Lulu, dan Gideon),
dan keluarga besar ITP 47 atas kebersamaan, saran, dan motivasi yang selalu
diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan baik.
Semoga skripsi ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di Indonesia.

Bogor, April 2015

Qori Emilia
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 3
METODE 3
Bahan 3
Alat 3
Tahapan Penelitian 3
HASIL DAN PEMBAHASAN 9
SIMPULAN DAN SARAN 19
Simpulan 19
Saran 19
DAFTAR PUSTAKA 20
LAMPIRAN 23
RIWAYAT HIDUP 38
DAFTAR TABEL
Penampakan tempe setelah 48 jam fermentasi 16
Bentuk fisik dan aroma tempe selama fermentasi 17

DAFTAR GAMBAR
Diagram alir tahapan penelitian 4
Diagram alir tahapan pembuatan tempe metode satu kali perebusan 6
Pertumbuhan B. cereus pada kedelai dan selama fermentasi tempe. 9
Pertumbuhan kapang selama fermentasi tempe 11
Pertumbuhan bakteri asam laktat (BAL) selama fermentasi tempe. 12
Nilai pH pada kedelai dan selama fermentasi tempe 14

DAFTAR LAMPIRAN
Hasil pengamatan suhu dan kelembaban ruang selama fermentasi tempe 23
Penampakan tempe selama fermentasi 24
Hasil pengamatan visual dan aroma selama fermentasi tempe 26
Hasil pengamatan visual dan aroma selama fermentasi tempe (lanjutan) 27
Hasil pengamatan visual dan aroma selama fermentasi tempe (lanjutan) 28
Hasil pengamatan visual dan aroma selama fermentasi tempe (lanjutan) 29
Hasil pengamatan visual dan aroma selama fermentasi tempe (lanjutan) 30
Hasil pengamatan visual dan aroma selama fermentasi tempe (lanjutan) 31
Hasil analisis statistik jumlah B. cereus pada kedelai dan selama
fermentasi tempe yang diinokulasi B. cereus sebanyak 3 log CFU/g 32
Hasil analisis statistik jumlah B. cereus pada kedelai dan selama
fermentasi tempe yang diinokulasi B. cereus sebanyak 3 log CFU/g
(lanjutan) 33
Hasil analisis statistik jumlah B. cereus pada kedelai dan selama
fermentasi tempe yang diinokulasi B. cereus sebanyak 3 log CFU/g
(lanjutan) 34
Hasil analisis statistik jumlah B. cereus pada kedelai dan selama
fermentasi tempe yang diinokulasi B. cereus sebanyak 1 log CFU/g 35
Hasil analisis statistik jumlah kapang pada jam ke-48 fermentasi tempe 36
Hasil analisis statistik jumlah koloni bakteri asam laktat pada jam ke-24
fermentasi tempe 37
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tempe merupakan salah satu produk fermentasi tradisional yang


umumnya berbahan baku kedelai. Menurut SNI 3144:2009, tempe kedelai
merupakan produk yang diperoleh dari fermentasi biji kedelai dengan
menggunakan kapang Rhizopus sp., berbentuk padatan kompak, berwarna putih
sedikit keabu-abuan dan berbau khas tempe. Tempe cukup populer di beberapa
negara di Eropa sejak tahun 1946 dan Amerika sejak tahun 1958, serta cukup
dikenal di Selandia Baru, India, Meksiko, Kanada, Australia, dan Afrika Selatan
(BSN 2012). Salah satu yang mendukung popularitas tempe di kalangan
internasional adalah kandungan gizi tempe yang cukup tinggi. Berdasarkan
kandungan nutrisi makro pada tempe, 100 gram tempe segar dapat berkontribusi
pada 16.9-17.9 gram protein, 20-20.1 gram lemak, dan 21.5-27.6 gram
karbohidrat dengan energi sebesar 350.5-380.8 kilo kalori (Efriwati dan Nuraida
2013). Namun sayangnya, tempe kerap diproduksi dengan teknologi sederhana
dan tidak higienis, sehingga memiliki kelemahan utama yaitu umur simpan yang
singkat dan rentan terkontaminasi oleh bakteri pembusuk maupun patogen.
Proses fermentasi merupakan tahap terpenting dalam pembuatan tempe.
Pada proses fermentasi tempe kedelai, kapang berperan memfermentasi biji
kedelai, serta memberi rasa dan aroma yang khas. Kapang utama yang berperan
dalam proses fermentasi adalah kapang jenis Rhizopus, yaitu Rhizopus
oligosporus dan Rhizopus oryzae (Nout dan Kiers 2005). Pertumbuhan massa
miselium kapang selama proses fermentasi merupakan faktor penting dalam
proses pembuatan tempe (Nout dan Kiers 2005). Akan tetapi proses fermentasi
dapat terganggu oleh adanya bakteri patogen dan pembusuk sehingga
menyebabkan penyimpangan pada mutu bahkan memengaruhi keamanan produk
akhir. Penelitan Samson et al. (1987) mendeteksi adanya Bacillus cereus,
Escherichia coli, dan Staphylococcus aureus pada tempe di Belanda sementara
Barus et al. (2008) mendeteksi adanya Bacillus subtilis, Klebsiella pneumoniae,
dan Pseudomonas putida selama perendaman tempe. Penelitian tersebut juga
menemukan sejumlah besar bakteri pembentuk spora dan proteolitik pada tempe
segar yang diproduksi dengan metode satu kali perebusan (Barus et al. 2008).
Kontaminasi B. cereus mungkin berkontribusi pada rasa pahit produk
tempe. Penelitian Barus et al. (2008) mengidentifikasi B. subtilis sebagai salah
satu bakteri yang berperan pada rasa pahit produk tempe. Bacillus sp. memiliki
sifat proteolitik yaitu mampu memecah protein dengan enzim protease yang
dihasilkannya (Omafuvbe et al. 2002). Protease dari beragam Bacillus sp.
menghasilkan asam amino bebas yang dapat menyebabkan perbedaan atribut
sensori soy-daddawa, yaitu produk fermentasi kedelai asal Nigeria (Omafuvbe et
al. 2002). Myong et al. (2004) juga menambahkan bahwa hidrolisis enzimatik
pada protein kedelai menghasilkan rasa pahit karena pembentukan peptida dengan
bobot molekul 2-4 KDa. Munculnya rasa pahit tidak diinginkan dalam produk
akhir tempe. Selain dari segi mutu produk akhir, kontaminasi B. cereus juga
berdampak pada segi keamanan. Menurut Kotiranta et al. (2000), B. cereus dapat
menyebabkan dua jenis keracunan pangan karena mampu memproduksi toksin
2

enterogenik dan toksin emetik. Bahan pangan yang tercemar oleh bakteri ini jika
dikonsumsi dapat menyebabkan gejala keracunan seperti diare, sakit perut, dan
muntah. Kasus keracunan pangan oleh B. cereus telah dilaporkan di beberapa
negara, diantaranya di Amerika (asal pangan tidak disebutkan) (CDC 2014), di Sri
Lanka (nasi goreng) (Perera dan Ranasinghe 2012), dan di Korea (nasi goreng)
(Kim et al. 2010).
Selama proses produksi tempe juga terdeteksi pertumbuhan kelompok
bakteri asam laktat. Bakteri asam laktat dapat tumbuh mencapai 9 log CFU/g pada
tempe (Van den Hil dan Nout 2011). Moreno et al. (2002) melaporkan jumlah
bakteri asam laktat pada tempe berkisar antara 6.8-9.9 log CFU/g. Efriwati et al.
(2013) menyebutkan jumlah bakteri asam laktat pada tempe yang diproses dengan
metode satu kali dan dua kali perebusan berturut-turut adalah 7.91 log CFU/g dan
6.54 log CFU/g.
Penelitian terdahulu berhasil mengidentifikasi bakteri asam laktat yang
tumbuh selama fermentasi tempe, diantaranya Enterococcus faecium,
Lactobacillus plantarum, Pediococcus acidilactici, Weisela confusa, Pediococcus
pentosaceus, dan Lactobacillus fermentum (Touw 2014; Moreno et al. 2002).
Bakteri asam laktat heterofermentatif dari genera Lactobacillus paling banyak
ditemukan selama fermentasi tempe (Pisol et al. 2013). Hasil identifikasi lanjut
menyebutkan Lactobacillus fermentum adalah bakteri asam laktat yang dominan
selama fermentasi tempe dengan metode satu kali perebusan (Touw 2014).
Bakteri asam laktat yang tumbuh selama proses produksi tempe diketahui
memproduksi senyawa antimikroba yang menghambat pertumbuhan bakteri
patogen (Pisol et al. 2013). Pemanfaatan bakteri asam laktat sebagai bahan
pengawet telah lama dikenal oleh masyarakat melalui dua cara, yaitu:
penambahan kultur bakteri asam laktat sebagai starter dan penggunaan metabolit
antimikroba bakteri asam laktat sebagai bahan pengawet alami. Asam laktat
diketahui memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif
dan Gram negatif pada konsentrasi 1-2% (Wijaya et al. 2011), sehingga dapat
meningkatkan keamanan dan daya simpan pangan. Nout et al. (1987) menyatakan
bahwa pengasaman kedelai sebelum fermentasi tempe penting dilakukan untuk
menghambat pertumbuhan B. cereus. Penurunan pH oleh asam laktat yang
dihasilkan BAL dalam tahap fermentasi boza (minuman fermentasi tradisional
asal Turki) diketahui mampu menghambat aktivitas B. cereus (Guven dan
Benlikaya 2005). Oleh karena itu, penambahan bakteri asam laktat dalam
pembuatan tempe diharapkan mampu memperbaiki mutu dan keamanan tempe.
Penelitian ini akan mengkaji perilaku B. cereus selama fermentasi tempe yang
diperkaya dengan bakteri asam laktat dan pengaruh bakteri asam laktat yang
diisolasi dari tempe terhadap pertumbuhan B. cereus.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji perilaku B. cereus selama


fermentasi tempe dan pengaruhnya terhadap mutu tempe serta pengaruh bakteri
asam laktat yang diisolasi dari tempe terhadap pertumbuhan B. cereus.
3

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dihasilkannya


informasi untuk merancang proses produksi tempe yang higienis sehingga
meminimalkan kontaminasi B. cereus.

METODE

Bahan

Bahan baku tempe yang digunakan adalah kedelai varietas US Soybean


No.1 yang diperoleh dari Rumah Tempe Indonesia (RTI) di Bogor. Laru tempe
yang digunakan adalah laru tempe RAPRIMA produksi LIPI yang diketahui berisi
R. oligosporus (Kasmidjo 1990). Kultur bakteri asam laktat (BAL) diperoleh dari
SEAFAST Center IPB yaitu L. fermentum isolat tempe (Touw 2014). Kultur B.
cereus diperoleh dari SEAFAST Center IPB yaitu B. cereus ATCC 11778.
Medium yang digunakan yaitu medium Nutrient Broth (NB), de Man Ragosa
Sharpe Agar (MRSA), de Man Ragosa Sharpe Broth (MRSB), Mannitol-Egg
Yolk-Polymixin Agar (MYPA), Tryptone Soya Agar (TSA), dan Tryptone Soya
Broth (TSB). Bahan kimia yang digunakan yaitu H2O2 3%, gliserol steril 20%,
akuades, larutan pengencer KH2PO4, bahan pewarnaan spora, dan bahan
pewarnaan Gram.

Alat

Peralatan yang digunakan yaitu cawan petri, jarum ose, hockey stick, pipet,
mikropipet, autoklaf, inkubator, vortex, pH meter, tabung reaksi, gelas piala,
erlenmeyer, bunsen, dan peralatan untuk memproduksi tempe.

Tahapan Penelitian

Penelitian dilakukan melalui beberapa tahap yaitu pemeriksaan kemurnian


kultur, pemeliharaan kultur, persiapan inokulum, pembuatan tempe, dan analisis.
Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
4

Kedelai

Sortasi dan
pembersihan

Perebusan Pemeriksaan kemurnian


isolat

Perendaman
Pengawetan kultur

Pengupasan kulit
ari dan pencucian
Penyegaran kultur

Penyiraman
dengan air panas Persiapan inokulum

Penirisan Inokulasi dan fermentasi

Tempe Tempe + Tempe + BAL Tempe + B. Kedelai +


normal BAL + B. cereus cereus B. cereus

Analisis
(0, 4, 24, 48, dan 72 jam fermentasi)

Pengamatan Pengukuran Perhitungan


visual dan aroma pH mikroba

Gambar 1 Diagram alir tahapan penelitian

1. Pemeriksaan kemurnian isolat bakteri


Pemeriksaan kemurnian kultur dilakukan pada bakteri asam laktat dan B.
cereus melalui konfirmasi pada media, uji katalase, pewarnaan Gram, dan
pewarnaan spora (untuk B. cereus). Tujuan pemeriksaan kultur adalah
memastikan bahwa kultur yang digunakan tidak tercemar oleh mikroba lainnya
dan dapat digunakan sebagai obyek penelitian.
a. Konfirmasi pada media agar selektif (BAM 2001)
Konfirmasi isolat bakteri asam laktat dilakukan dengan menggoreskan
sebanyak satu ose pada media MRSA. Koloni bakteri asam laktat terlihat
5

berwarna putih setelah inkubasi 24 jam pada suhu 37oC. Konfirmasi isolat
B. cereus dilakukan dengan menggoreskan sebanyak satu ose pada media
MYPA. Koloni B. cereus terlihat berwarna pink dengan zona bening di
sekitar koloni setelah inkubasi selama 24 jam pada suhu 30oC.
b. Uji katalase (Pisol et al. 2013)
Bakteri asam laktat bersifat katalase negatif, sedangkan B. cereus
bersifat katalase positif. Uji katalase dilakukan dengan mengoleskan
sebanyak satu ose kultur berumur 24 jam ke kaca obyek lalu ditetesi
dengan hidrogen peroksida (H2O2) 3 %. Hasil positif ditandai dengan
terbentuknya gelembung udara.
c. Pewarnaan Gram (BAM 2001)
Kultur bakteri asam laktat dan kultur B. cereus diamati morfologinya
melalui pewarnaan Gram. Preparat bakteri mula-mula difiksasi panas.
Preparat lalu digenangi pewarna ungu kristal selama 1 menit, dibilas
dengan akuades dan ditiriskan. Setelah kering, digenangi dengan iodine
selama 1 menit, dibilas dengan akuades dan ditiriskan. Etanol 95%
kemudian diteteskan secara bertahap sampai zat warna ungu kristal sisa
terbilas, dibilas dengan akuades dan ditiriskan. Preaprat lalu digenangi
pewarna safranin selama 30 detik, dibilas dengan akuades dan ditiriskan.
Pengamatan preparat dilakukan dengan mikroskop. Bakteri Gram positif
(bakteri asam laktat dan B. cereus) menunjukkan warna biru gelap atau
ungu saat dilakukan pengamatan menggunakan mikroskop.
d. Pewarnaan spora (Da Silva et al. 2013)
B. cereus merupakan bakteri penghasil spora. Pewarnaan spora
menggunaan metode Schaeffer-Fulton. Preparat bakteri mula-mula
difiksasi panas. Preparat kemudian digenangi hijau malachite sambil
dipanaskan di atas air mendidih selama 5 menit. Preparat dibilas dengan
akuades dan ditiriskan. Preparat digenangi safranin selama 30 detik, lalu
dibilas dengan akuades dan ditiriskan. Pengamatan preparat dilakukan
dengan mikroskop. Sel vegetatif B. cereus menunjukkan warna merah
sedangkan spora B. cereus menunjukkan warna hijau.

2. Pengawetan kultur
Pengawetan kultur bakteri asam laktat dan B. cereus dilakukan dengan
metode imobilisasi (manik-manik). Sebanyak 8 mL suspensi kultur berumur 24
jam dipindahkan ke dalam tabung berisi 2 mL gliserol cair 20%, dihomogenisasi,
kemudian dimasukkan dalam tabung vial steril berisi manik-manik sampai seluruh
manik-manik terendam. Campuran suspensi dan manik-manik tersebut didiamkan
selama 2-3 jam, selanjutnya disimpan pada suhu freezer (-20oC).

3. Penyegaran kultur
Penyegaran kultur dilakukan tiap dua minggu. Sebanyak satu ose kultur
bakteri asam laktat/B. cereus digoreskan ke dalam media baru, yaitu MRSA untuk
bakteri asam laktat dan MYPA untuk B. cereus.

4. Persiapan inokulum
Inokulum yang digunakan terdiri dari kapang, bakteri asam laktat yang
diisolasi dari tempe (L. fermentum), dan B. cereus. Kapang yang digunakan
6

berasal dari laru RAPRIMA yang diproduksi oleh LIPI. Laru RAPRIMA
diketahui hanya berisi kapang Rhizopus oligosporus (Kasmidjo 1990). Laru
ditambahkan ke dalam kedelai basah sebanyak 0.05%.
Kultur L. fermentum berumur 24 jam disentrifus dengan kecepatan 3000
rpm selama 15 menit pada suhu 4oC. Setelah dilakukan pemisahan, broth diganti
dengan NaCl 0.85% dengan volume yang sama. Kultur B. cereus berumur 24 jam
diencerkan ke dalam media NaCl 0.85% sampai tingkat pengenceran tertentu.
Kultur bakteri asam laktat dan B. cereus yang telah disiapkan diinokulasikan
sebanyak 1% berat kedelai basah. Konsentrasi 1% dipilih agar kedelai tidak
terlalu basah setelah ditambahkan inokulum bakteri.

5. Pembuatan tempe (Efriwati et al. 2013)


Pembuatan tempe dilakukan dengan metode satu kali perebusan yang
dimodifikasi pada lama waktu perebusan (2-3 jam menjadi sekitar 1 jam), cara
pengupasan kulit ari (tidak menggunakan dehuller), dan lama waktu fermentasi
(36 jam menjadi 48 jam) (Gambar 2).

Kacang kedelai

Sortasi dan pembersihan Penirisan


(menggunakan kipas angin)

Perebusan Penambahan inokulum


(±1 jam) (B.cereus 1%;Laru 0.05%;BAL 1%)

Perendaman Pengemasan
(±24 jam) (180 g dalam plastik ukuran 12cmx12cm)

Pengupasan kulit ari dan pencucian Fermentasi


(menggunakan tangan) (0,4,24,48, dan 72 jam)

Penyiraman
(dengan air bersuhu sekitar 100oC) Tempe

Gambar 2 Diagram alir tahapan pembuatan tempe metode satu kali perebusan

Dalam penelitian ini terdapat enam perlakuan tempe dan satu perlakuan
kedelai yang dianalisis, masing-masing diberi kode, yaitu: N, F, BC1, BC3, FBC1,
FBC3, dan KBC3. Tempe normal (N) adalah tempe yang dibuat sesuai metode
pada Gambar 2, tempe BAL (F) adalah tempe yang dibuat dengan menambahkan
L. fermentum sebanyak 7 log CFU/g di awal fermentasi, tempe B. cereus (BC1
7

dan BC3) adalah tempe yang dibuat dengan menambahkan B. cereus sebanyak 1
log CFU/g dan 3 log CFU/g di awal fermentasi, tempe BAL+B.cereus (FBC1 dan
FBC3) adalah tempe yang dibuat dengan menambahkan L. fermentum sebanyak 7
log CFU/g dan B. cereus sebanyak 1 log CFU/g dan 3 log CFU/g di awal
fermentasi, dan kedelai+B. cereus (KBC3) adalah kedelai yang ditambahkan B.
cereus sebanyak 3 log CFU/g di awal fermentasi.

6. Analisis
a. Pengamatan visual dan aroma
Pengamatan visual meliputi pertumbuhan miselium, kekompakan, dan
adanya butiran air. Pengamatan aroma meliputi aroma kedelai, aroma
tempe, aroma alkohol, dan aroma busuk. Pengamatan dilakukan secara
subyektif oleh beberapa panelis terlatih selama fermentasi tempe, yaitu
pada jam ke-0, 4, 24, 48, dan 72.

b. Pengukuran pH
Pengukuran pH dilakukan untuk mengetahui tingkat keasaman tempe
selama fermentasi. Pengukuran dilakukan selama fermentasi, yaitu pada
jam ke-0, 4, 24, 48, dan 72 dengan pH meter yang terkalibrasi. Suspensi
sampel yang digunakan untuk pengukuran pH memiliki rasio 1:10 (Food
Chemicals Codex 2003).

c. Pengukuran suhu dan kelembaban inkubator


Selama fermentasi dilakukan pengukuran suhu dan kelembaban ruang
fermentasi. Pengukuran menggunakan termohigrometer yang nilainya
diamati selama fermentasi. Suhu dan kelembaban udara ruang fermentasi
teramati masing-masing sebesar 31.3oC dan 36.8% (Lampiran 1).

d. Pembuatan media
Media yang digunakan untuk penghitungan kapang, bakteri asam
laktat, dan B. cereus masing-masing adalah APDA, MRSA, dan MYPA.
Media APDA dibuat dengan mencampurkan 60 mL media PDA (Oxoid,
UK) steril dengan 0.7 mL asam tartarat steril. MRSA dibuat dengan
mencampurkan 60 mL media MRSA (Oxoid, UK) steril dengan 0.8 mL
kalium sorbat steril. Media MYPA dibuat dengan mencampurkan 50 mL
egg yolk emulsion steril dengan 450 mL media MYP Agar Base (Oxoid,
UK) steril dan 2 mL suplemen polymyxin B (Oxoid, UK) steril, kemudian
diaduk hingga merata.

e. Persiapan sampel
Persiapan sampel untuk analisis mikrobiologi yang mencakup
perhitungan total kapang, total BAL, dan B. cereus dilakukan selama
fermentasi pada jam ke 0, 4, 24, 48, dan 72. Sebanyak 25 gram sampel
tempe dimasukkan ke dalam 225 mL larutan KH2PO4 steril lalu
dihancurkan menggunakan stomacher selama 2 menit. Sampel kemudian
diencerkan sampai tingkat yang dikehendaki. Pemupukan sampel
dilakukan pada dua cawan (duplo) untuk tiap tingkat pengenceran.
8

f. Penghitungan jumlah kapang (Da Silva et al. 2013)


Penghitungan total kapang menggunakan metode cawan tuang.
Sebanyak 1 mL sampel dimasukkan ke dalam cawan (duplo), lalu dituang
dengan media APDA dan digoyangkan hingga tercampur merata. Cawan
kemudian diinkubasi terbalik pada 30oC selama 24 jam. Penghitungan
total kapang mengikuti aturan standard plate count, menggunakan cawan
yang terdiri dari 10-150 koloni. Jumlah koloni dalam sampel dilaporkan
dalam Colony Forming Unit (CFU) per gram.

g. Penghitungan jumlah bakteri asam laktat (Da Silva et al. 2013)


Perhitungan total bakteri asam laktat menggunakan metode cawan
tuang. Sebanyak 1 mL sampel dimasukkan ke dalam cawan (duplo), lalu
dituang dengan media MRSA dan digoyangkan hingga tercampur merata.
Cawan kemudian diinkubasi terbalik pada 37 oC selama 24 jam.
Penghitungan total bakteri asam laktat mengikuti aturan standard plate
count, menggunakan cawan yang terdiri dari 25-250 koloni. Jumlah koloni
dalam sampel dilaporkan dalam Colony Forming Unit (CFU) per gram.

h. Bacillus cereus (BAM 2001)


Penghitungan B. cereus menggunakan metode cawan sebar. Sebanyak
0.1 mL sampel dimasukkan dalam cawan berisi media MYPA dan disebar
menggunakan hockey stick hingga merata. Cawan kemudian diinkubasi
pada 30oC selama 24 jam. Penghitungan B. cereus mengikuti aturan
standard plate count, menggunakan cawan yang terdiri dari 15-150 koloni.
Jumlah koloni dalam sampel dilaporkan dalam Colony Forming Unit
(CFU) per gram.
9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan B. cereus selama fermentasi


B. cereus yang diinokulasikan sebanyak 3 log CFU/g di awal fermentasi
tempe tumbuh dengan baik selama fermentasi. Gambar 3 memperlihatkan
pertumbuhan B. cereus yang meningkat cepat hingga jam ke-24, lalu meningkat
perlahan sampai jam ke-72 pada kedelai dan selama fermentasi tempe. B. cereus
sebanyak 3 log di awal fermentasi tempe tumbuh mencapai 7.5 log CFU/g pada
jam ke-24, 8 log CFU/g pada jam ke-48, dan 8.5 log CFU/g pada jam ke-72.
Profil pertumbuhan B. cereus pada kedelai tanpa penambahan laru hampir mirip
dengan profil pertumbuhannya pada tempe. B. cereus pada kedelai tumbuh
mencapai 7 log CFU/g pada jam ke-24, mencapai 8 log CFU/g pada jam ke-48
dan sekitar 8.5 log CFU/g pada jam ke-72. Setelah diuji secara statistik, diketahui
bahwa jumlah B. cereus pada kedelai dan selama fermentasi tempe tidak berbeda
nyata (Lampiran 9-11). Ini artinya, B. cereus yang ditambahkan sebanyak 3 log
CFU/g di awal fermentasi dapat tumbuh sama baiknya dengan atau tanpa kapang.
Penambahan L. fermentum juga tak dapat menghambat pertumbuhan B. cereus
yang dikontaminasikan sebanyak 3 log CFU/g di awal fermentasi.

10,00 Keterangan:
9,00
Log jumlah B. cereus (CFU/g)

Tempe B. cereus 1 log


CFU/g (BC1) ()
8,00
7,00 Tempe B. cereus 3 log
CFU/g (BC3) ()
6,00
5,00 Tempe BAL+B. cereus
1 log CFU/g (FBC1)
4,00 ()
3,00
Tempe BAL+B. cereus
2,00 3 log CFU/g (FBC3)
1,00 ()
0 12 24 36 48 60 72 Kedelai+B. cereus 3
Waktu fermentasi (jam) log CFU/g (KBC3)
()
Gambar 3 Pertumbuhan B. cereus pada kedelai dan selama
fermentasi tempe.

Tingginya populasi B. cereus di akhir fermentasi (sekitar 8 log CFU/g)


membuat tempe tidak aman dikonsumsi karena mengandung B. cereus dalam
jumlah yang berpotensi membahayakan kesehatan. Jumlah minimum koloni B.
cereus yang diperlukan untuk produksi toksin adalah sebanyak >7 log CFU/g
pada suhu 4-37oC (Wang et al. 2013). Granum (2007) menyatakan bahwa
kontaminasi B. cereus sebanyak 5-7 log CFU/g telah cukup untuk menyebabkan
diare. Pernyataan tersebut diperkuat EFSA (2005) bahwa keracunan pangan yang
disebabkan oleh B. cereus berhubungan dengan adanya sel vegetatif atau spora
dalam pangan sebanyak 5-8 log CFU/g. Spora atau sel vegetatif B. cereus harus
10

tahan terhadap asam lambung dan mampu memperbanyak diri di dalam usus halus
untuk memproduksi enterotoksin (Clavel et al. 2004).
B. cereus yang diinokulasikan sebanyak 1 log CFU/g di awal fermentasi
tempe juga tumbuh dan bertahan hingga akhir fermentasi. Bila dibandingkan
dengan B. cereus pada level kontaminasi 3 log CFU/g, B. cereus pada level
kontaminasi 1 log CFU/g tidak tumbuh secara optimal. Pertumbuhan B. cereus
yang tidak optimal dapat disebabkan oleh rendahnnya jumlah kontaminasi di awal
fermentasi. Penelitian Omafuvbe et al. (2000) menduga bahwa rendahnya jumlah
koloni B. licheniformis dan B. pumilus di awal fermentasi menyebabkan tidak
terdeteksinya koloni tersebut sejak jam ke-36 fermentasi soy-daddawa (produk
fermentasi kedelai asal Nigeria).
B. cereus sebanyak 1 log CFU/g di awal fermentasi tempe hanya tumbuh
hingga 3.5 log CFU/g pada jam ke-24. Pada jam ke-48, B. cereus pada tempe
normal tumbuh mencapai 4 log CFU/g sedangkan B. cereus pada tempe BAL
masih sekitar 3.5 log CFU/g. Pada jam ke-48, pertumbuhan B. cereus pada tempe
BAL terlihat lebih lambat dibandingkan pada tempe normal. Hasil uji statistik
menyebutkan bahwa jumlah B. cereus pada tempe normal dan tempe BAL pada
jam ke-48 berbeda nyata (Lampiran 12). Ini artinya, pada level kontaminasi
rendah (B. cereus sebanyak 1 log CFU/g), L. fermentum mampu menekan
pertumbuhan B. cereus sampai jam ke-48. Walau begitu, penambahan L.
fermentum secara umum tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan B. cereus
karena B. cereus masih terus tumbuh mencapai 5 log CFU/g pada jam ke-72.
Asam laktat dikenal memiliki sifat antimikroba terhadap beberapa bakteri patogen,
salah satunya Bacillus sp.. Diduga, asam laktat yang diproduksi oleh bakteri asam
laktat tidak cukup untuk membunuh bakteri ini.
Kontaminasi B. cereus sebanyak 1 log CFU/g di awal fermentasi juga
menghasilkan tempe yang tidak aman dikonsumsi karena mengandung B. cereus
dalam jumlah cukup besar (4 log CFU/g) dan mungkin telah menghasilkan toksin.
Penelitian Finlay et al. (2000) menemukan toksin emetik pada tiap 4 log CFU/g
koloni B. cereus. Beattie dan Williams (2000) juga melaporkan B. cereus dapat
menyebabkan keracunan pada kisaran 2-8 log CFU/g.
B. cereus yang ditambahkan sebanyak 3 log CFU/g maupun 1 log CFU/g
di awal fermentasi tempe tumbuh baik sampai akhir fermentasi tempe. Bakteri ini
dapat tumbuh dengan baik karena didukung oleh pH, suhu ruang fermentasi dan
substrat yang terdapat dalam kedelai. B. cereus berpotensi mengontaminasi
fermentasi tempe karena terdapat substrat-substrat yang mendukung pertumbuhan
bakteri ini, seperti protein pada kacang kedelai. Bacillus sp. bersifat proteolitik,
yaitu dapat memproduksi enzim protease yang dapat memecah protein (Baehaki
2011).
Proses produksi tempe yang tidak higienis dapat meningkatkan risiko
kontaminasi oleh B. cereus dalam produk tempe. Kontaminasi B. cereus dalam
tempe dapat menurunkan keamanan tempe. Selain penurunan keamanan tempe, B.
cereus juga berdampak pada penurunan mutu tempe, seperti aroma menyimpang
dan warna kecoklatan.
11

Pertumbuhan kapang selama fermentasi


Laru RAPRIMA yang digunakan dalam penelitian mengandung kapang
Rhizopus oligosporus. Sapuan dan Sutrisno (2001) menyatakan bahwa fermentasi
tempe pada umumnya menggunakan kapang R. oligosporus. Profil pertumbuhan
kapang pada tempe normal, tempe BAL, dan tempe yang mengandung B. cereus
relatif sama (Gambar 4). Selama fermentasi tempe, kapang tumbuh sebanyak 1-2
log CFU/g.
Fermentasi tempe pada suhu ruang dengan suhu rata-rata 31.3oC dan
kelembaban udara rata-rata 36.8% (Lampiran 1) telah sesuai untuk pertumbuhan
kapang. Nout dan Kiers (2005) melaporkan bahwa suhu 25-30oC cukup
mendukung germinasi spora dan pertumbuhan miselium. Suhu ruang fermentasi
dijaga agar tidak terlalu tinggi dengan cara mengatur ventilasi dan jumlah tempe
yang difermentasi. Kenaikan temperatur disebabkan oleh aktivitas metabolik
kapang selama fermentasi. Menurut Nout dan Kiers (2005), kenaikan temperatur
akan mengganggu pertumbuhan kapang sehingga temperatur ruang fermentasi
perlu dikontrol dengan cara mengurangi ketebalan tempe, mengurangi jumlah
tempe di dalam ruang fermentasi, dan dengan ventilasi.

10,00 Keterangan:
9,00
Log jumlah kapang (CFU/g)

Tempe normal (N) ()


8,00
Tempe BAL (F) ()
7,00
6,00 Tempe B. cereus 1 log
CFU/g (BC1) ()
5,00
4,00 Tempe B. cereus 3 log
CFU/g (BC3) ()
3,00
Tempe BAL+B. cereus
2,00 1 log CFU/g (FBC1)
1,00 ()
0 12 24 36 48 60 72
Tempe BAL+B. cereus
Waktu fermentasi (jam) 3 log (FBC3) ().

Gambar 4 Pertumbuhan kapang selama fermentasi tempe

Jumlah kapang pada semua tempe berkisar 3 log CFU/g pada jam ke-0 dan
berkisar 3.5 log CFU/g pada jam ke-24. Jumlah kapang pada tempe yang
ditambahkan B. cereus maupun L. fermentum mencapai sekitar 4.5 log CFU/g
pada jam ke-48. Pertumbuhan kapang pada tempe normal terlihat lebih lambat,
namun setelah diuji secara statistik, jumlah kapang pada jam ke-48 tidak berbeda
nyata (Lampiran 13). Walaupun terdapat perbedaan, jumlah kapang pada semua
tempe di akhir fermentasi (48 jam) dapat dikatakan sesuai dengan literatur. Hasil
penelitian Kustyawati (2009) melaporkan kapang R. oligosporus tumbuh hingga 4
log CFU/g pada jam ke-48 fermentasi tempe. Pertumbuhan kapang terus
meningkat hingga jam ke-72, yaitu mencapai 5 log CFU/g.
Tempe yang difermentasi selama 24 jam diselimuti sedikit miselium
dengan total kapang sekitar 3.5 log CFU/g. Sedangkan tempe yang difermentasi
selama 48 jam telah diselimuti miselium tebal dengan total kapang sekitar 4.5 log
12

CFU/g. Jalinan miselium yang tebal menandakan berakhirnya proses fermentasi,


sehingga tempe yang difermentasi selama 48 jam siap untuk dipanen. Peningkatan
pertumbuhan kapang selama fermentasi tempe BAL dan tempe yang mengandung
B. cereus menunjukkan bahwa penambahan L. fermentum dan B. cereus tidak
mengganggu pertumbuhan kapang selama fermentasi.
Kapang R. oligosporus diketahui menghasilkan metabolit antimikroba
yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri seperti Escherichia coli,
Salmonella typhi, Pseudomonas aeruginosa, dan Bacillus subtilis (Fadahunsi et al.
2013). Metabolit antimikroba yang dihasilkan kapang tersebut ternyata tidak
mampu menghambat pertumbuhan B. cereus pada tempe yang diinokulasi dengan
B. cereus. Tempe yang mengandung B. cereus dalam jumlah besar diketahui
mengalami penyimpangan visual akibat terganggunnya pertumbuhan miselium
(Lampiran 6 dan 8). Terganggunya pertumbuhan miselium kapang diduga
disebabkan oleh terbentuknya amonia dalam jumlah besar selama fermentasi
tempe. Menurut Nout dan Kiers (2005), kandungan amonia yang tinggi akan
mengganggu pertumbuhan miselium. Penurunan massa miselium seharusnya
merupakan indikasi turunnya jumlah kapang, namun hasil penelitian
menunjukkan pertumbuhan kapang yang selalu meningkat hingga jam ke-72.

Pertumbuhan bakteri asam laktat selama fermentasi


Tempe normal (tidak ditambahkan L. fermentum) memiliki total bakteri
asam laktat sekitar 2 log CFU/g di awal fermentasi. Bakteri asam laktat yang
terdapat di awal fermentasi tempe tersebut merupakan bakteri yang secara alami
tumbuh selama perendaman dan bertahan setelah penyiraman air panas.
Sedangkan tempe yang ditambahkan L. fermentum memiliki total bakteri asam
laktat sekitar 7 log CFU/g di awal fermentasi. Penambahan L. fermentum
membuat tempe memiliki total bakteri asam laktat lebih tinggi di awal fermentasi
(Gambar 5).

10,00 Keterangan:
9,00 Tempe normal (N) ()
8,00
Log jumlah BAL (CFU/g)

Tempe BAL (F) ()


7,00
6,00 Tempe B. cereus 1 log
CFU/g (BC1) ()
5,00
4,00 Tempe B. cereus 3 log
CFU/g (BC3) ()
3,00
2,00 Tempe BAL+B. cereus
1,00 1 log CFU/g (FBC1)
()
0,00
0 12 24 36 48 60 72 Tempe BAL+B. cereus
Waktu fermentasi (jam) 3 log CFU/g (FBC3)
()
Gambar 5 Pertumbuhan bakteri asam laktat (BAL) selama
fermentasi tempe.
13

Pada jam ke-24, tempe normal mengandung bakteri asam laktat sekitar 7
log CFU/g sedangkan tempe yang ditambahkan L. fermentum mengandung bakteri
asam laktat mendekati 8 log CFU/g. Pertumbuhan bakteri asam laktat hingga jam
ke-24 fermentasi tempe yang ditambahkan L. fermentum terlihat lebih lambat jika
dibandingkan dengan tempe normal. Namun, berdasarkan analisis statistik
diperoleh jumlah bakteri asam laktat pada semua tempe di jam ke-24 tidak
berbeda nyata (Lampiran 14). Ini artinya, bakteri asam laktat yang sengaja
ditambahkan di awal fermentasi maupun bakteri asam laktat yang tumbuh secara
alami akan mencapai jumlah yang sama pada jam ke-24.
Tempe normal mengandung bakteri asam laktat sekitar 8 log CFU/g pada
jam ke-48. Pertumbuhan bakteri asam laktat pada tempe tersebut terus meningkat
hingga jam ke-72, mencapai 8.5 log CFU/g. Tingginya jumlah bakteri asam laktat
pada jam ke-72 fermentasi tempe membuktikan bahwa bakteri asam laktat yang
muncul secara alami dapat terus tumbuh tanpa terganggu oleh kapang maupun
bakteri kontaminan lainnya. Menurut Kustyawati (2009), bakteri dapat tumbuh
selama fermentasi tempe sebanyak 5-9 log CFU/g.
L. fermentum ditambahkan sekitar 7 log CFU/g di awal fermentasi tempe
BAL, mencapai sekitar 8 log CFU/g pada jam ke-48, dan terus meningkat hingga
9 log CFU/g pada jam ke-72. Menurut Van den Hil dan Nout (2011), bakteri asam
laktat dapat terus tumbuh pada tempe hingga mencapai 9 log CFU/g.
Pertumbuhan bakteri asam laktat pada tempe BAL dan tempe normal hampir sama,
dengan jumlah bakteri asam laktat mencapai 8 log CFU/g pada jam ke-48.
Berdasarkan temuan tersebut dapat dikatakan bahwa L. fermentum yang
ditambahkan dapat hidup dengan baik bersama kapang dan bakteri asam laktat
yang muncul secara alami selama fermentasi.
L. fermentum yang ditambahkan pada tempe berpotensi sebagai probiotik.
Penelitian Touw (2014) melaporkan L. fermentum yang diisolasi dari tempe
memiliki ketahanan terhadap asam (pH 2.0) dan garam empedu (oxgall 0.5%)
yang baik. L. fermentum termasuk bakteri asam laktat heterofermentatif (Lahtinen
et al. 2012) dan memiliki potensi probiotik (Bao et al. 2009). Bakteri asam laktat
dikatakan memiliki potensi probiotik apabila bakteri tersebut tahan terhadap
pengolahan, pH asam lambung, garam empedu, mampu bertahan hidup di dalam
saluran pencernaan, dan mampu memberikan efek kesehatan yang baik bagi tubuh
(FAO/WHO 2002). Tempe yang diperkaya dengan L. fermentum dapat dikatakan
sebagai produk probiotik karena mengandung jumlah bakteri asam laktat probiotik
sekitar 8 log CFU/g. Menurut Klaenhammer (2007), produk probiotik
mengandung jumlah bakteri probiotik sebesar 8-9 log CFU/ml. Walaupun tempe
normal memiliki jumlah bakteri asam laktat sekitar 8 log CFU/g, tempe normal
belum dapat disebut sebagai tempe probiotik karena di dalamnya mungkin
terdapat beberapa jenis bakteri asam laktat yang belum diketahui potensi
probiotiknya.
Peningkatan grafik pertumbuhan bakteri asam laktat selama fermentasi
menunjukkan bahwa L. fermentum maupun bakteri asam laktat alami dapat
bertahan hidup dengan baik walaupun terdapat B. cereus dalam jumlah yang
tinggi. Pertumbuhan bakteri asam laktat pada tempe berkaitan dengan
pemanfaatan substrat yang terdapat pada kedelai. Bakteri asam laktat dapat
memfermentasi oligosakarida yang terkandung dalam kedelai. Menurut Wang et
al. (2007), oligosakarida utama pada kedelai adalah rafinosa dan stakiosa.
14

Nilai pH tempe selama fermentasi


Semua tempe memiliki pH sekitar 6.10 di awal fermentasi. Nilai pH di awal
fermentasi merupakan salah satu faktor penting pertumbuhan kapang selama
fermentasi tempe. Penelitian Beuchat (2001) melaporkan nilai pH di awal
fermentasi tempe sebesar 5.00. Sparringa et al. (2002) menyebutkan pH optimum
untuk pertumbuhan kapang R. oligosporus sekitar 5.85. Nilai pH pada awal
fermentasi semua tempe lebih besar dibandingkan literatur, namun tidak
berpengaruh terhadap pertumbuhan kapang di akhir fermentasi. Gambar 6
menunjukkan nilai pH tempe yang ditambahkan L. fermentum dan atau B. cereus
terus meningkat sampai jam ke-72, sedangkan pada tempe normal peningkatan
hanya sampai jam ke-48 kemudian relatif konstan sampai jam ke-72. Peningkatan
nilai pH yang lebih lambat pada tempe normal diduga karena populasi mikroba
tidak sebanyak pada tempe yang ditambahkan L. fermentum dan atau B. cereus.

Keterangan:
7,00 Tempe normal (N) ()

6,80 Tempe BAL (F) ()

Tempe B. cereus 1 log


Nilai pH

6,60 CFU/g (BC1) ()

Tempe B. cereus 3 log


6,40 CFU/g (BC3) ()

Tempe BAL+B. cereus 1


6,20 log CFU/g (FBC1) ()

6,00 Tempe BAL+B. cereus 3


log CFU/g (FBC3) ()
0 12 24 36 48 60 72
Waktu fermentasi (jam) Kedelai+B. cereus 3 log
CFU/g (KBC3) ()
Gambar 6 Nilai pH pada kedelai dan selama fermentasi tempe

Nilai pH tempe mencapai sekitar 6.30 pada jam ke-24, kecuali pada tempe
BAL yang mencapai 6.50. Jumlah bakteri asam laktat alami maupun yang
ditambahkan tidak menurunkan pH tempe pada jam ke-24. Peningkatan pH pada
jam ke-24 diduga disebabkan oleh aktivitas kapang. Hasil ini sesuai dengan
penelitian Beuchat (2001) yaitu pada puncak pertumbuhan kapang selama
fermentasi tempe, pH meningkat hingga 6.00-6.70. Nilai pH tempe kemudian
mencapai sekitar 6.50 pada jam ke-48 dan mencapai sekitar 7.00 pada jam ke-72.
Menurut Beuchat (2001), nilai pH pada tempe dapat terus meningkat hingga 7.60
selama fermentasi. Semakin lama waktu fermentasi, maka nilai pH akan semakin
meningkat. Hal ini terjadi karena terdapat mikroflora pada tempe yaitu kapang
dan bakteri lainnya yang berperan dalam mendegradasi senyawa kompleks seperti
protein menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti asam-asam amino dan juga
mengakibatkan terbentuknya amonia yang menyebabkan kenaikan pH pada tempe
(Sparringa dan Owens 1999). Oleh karena itu nilai pH yang terlalu tinggi pada
15

tempe dapat menjadi indikator pencemaran oleh bakteri pembusuk maupun


patogen. Produk akhir tempe yang baik dihasilkan pada pH antara 6.30 dan 6.50
(Beuchat 2001).
Nilai pH di awal fermentasi kedelai yaitu sekitar 6.00 dan mencapai 6.30
pada jam ke-48. Kedelai yang ditambahkan B. cereus sebanyak 3 log CFU/g
ternyata juga mengalami peningkatan pH, namun dengan laju peningkatan yang
lebih lambat daripada tempe. Fenomena kenaikan pH pada kedelai yang
diinokulasi B. cereus menunjukkan bahwa aktivitas B. cereus juga berperan dalam
meningkatkan pH pada tempe, walaupun secara keseluruhan peningkatan pH
selama fermentasi tempe lebih didominasi oleh aktivitas kapang.
Nilai pH sekitar 6.10 di awal fermentasi tempe dan kedelai yang
mengandung B. cereus mendukung pertumbuhan B. cereus hingga jam ke-72.
Tingginya nilai pH tersebut disebabkan perendaman tidak efektif dalam
menurunkan pH kedelai atau perendaman kurang sempurna. Nout et al. (1987)
menyebutkan perendaman kedelai dapat tidak efektif apabila perendaman sedikit
menurunkan pH kedelai (pH > 5.5) atau bahkan tidak menurunkan pH kedelai (pH
6.6). Lebih lanjut disebutkan bahwa perendaman efektif menghasilkan pH 4.85
dan telah cukup untuk mencegah pertumbuhan B. cereus. Sedangkan asam laktat
yang ditambahkan pada kedelai steril dapat menghambat B. cereus pada pH 4.4.
Berdasarkan penelitian tersebut terbukti bahwa tahap pengasaman kedelai penting
dilakukan untuk mencegah adanya kontaminasi bakteri pembusuk maupun
patogen seperti B. cereus. B. cereus yang ditambahkan sebanyak 3 log maupun 1
log CFU/g di awal fermentasi dapat terus hidup hingga akhir fermentasi tempe,
salah satu faktor yang mendukung adalah nilai pH. B. cereus merupakan bakteri
yang dapat hidup pada kisaran nilai pH yang luas. Lindsay et al. (2000)
menyebutkan pH optimum pertumbuhan B. cereus berkisar antara 4.5-9.5.
L. fermentum yang ditambahkan pada tempe tidak mampu menurunkan pH
selama fermentasi. Hal ini dapat disebabkan konsentrasi asam laktat yang
dihasilkan bakteri asam laktat tidak cukup untuk menurunkan pH pada tempe.
Penambahan L. fermentum diduga akan menghambat pertumbuhan B. cereus
selama fermentasi tempe apabila kedelai memiliki pH awal sekitar 4.85.

Kondisi visual dan aroma tempe selama fermentasi


Perubahan visual kedelai menjadi tempe ditandai dengan tumbuhnya
miselium yang dapat diamati sejak jam ke-24 (Tabel 2). Pada jam ke-24, tempe
yang dihasilkan telah memiliki aroma tempe walaupun bentuk fisiknya masih
tidak padat. Hal ini disebabkan miselium yang terbentuk masih tipis dan belum
merekatkan kedelai dengan baik. Tempe yang difermentasi selama 24 jam belum
dapat dipanen, selain karena masih basah oleh butiran air, tempe tersebut mudah
hancur saat diiris. Kondisi ini ditunjukkan oleh semua tempe (Lampiran 2).
Pada jam ke-48, tempe telah diselimuti miselium yang tebal sehingga
dihasilkan tempe yang padat dengan aroma tempe yang lebih kuat. Tempe yang
difermentasi selama 48 jam sudah dapat dipanen, karena tempe menunjukkan
kekompakan yang baik saat diiris, beraroma tempe dan tidak terdapat butiran air.
Kondisi ini ditunjukkan oleh tempe normal, tempe BAL, dan tempe yang
mengandung B. cereus sebanyak 1 log CFU/g di awal fermentasi (Tabel 2).
Sedangkan tempe yang mengandung B. cereus sebanyak 3 log CFU/g di awal
16

fermentasi cukup padat pada jam ke-48, beraroma sedikit busuk dan sedikit basah
oleh butiran air. Walaupun terdapat penyimpangan aroma pada tempe yang
mengandung B. cereus sebanyak 3 log CFU/g di awal fermentasi, secara
keseluruhan semua perlakuan menunjukkan penampakan tempe yang normal
setelah 48 jam fermentasi, yaitu miselium menyelimuti kedelai dan tempe terlihat
kompak saat diiris melintang (Tabel 1). Pertumbuhan miselium dan pembentukan
aroma tempe merupakan parameter penting keberhasilan fermentasi tempe.
Menurut Babu et al. (2009), secara sederhana terdapat dua peristiwa utama dari
pertumbuhan kapang menjadi tempe. Pertama, keping kedelai akan dijalin
menjadi padatan kompak oleh miselium kapang. Kedua, kacang kedelai dicerna
sebagian oleh enzim-enzim kapang.

Tabel 1 Penampakan tempe setelah 48 jam fermentasi


PERLAKUAN N F BC1 BC3 FBC3 FBC1

Tampak
depan

Tampak
melintang

Keterangan
N : Tempe normal
F : Tempe BAL
BC1 : Tempe B. cereus 1 log CFU/g
BC3 : Tempe B. cereus 3 log CFU/g
FBC1 : Tempe BAL+B. cereus 1 log CFU/g
FBC3 : Tempe BAL+B. cereus 3 log CFU/g

Penambahan L. fermentum tidak memengaruhi kondisi visual dan aroma


tempe saat dibandingkan dengan tempe normal. Kondisi visual dan aroma tempe
normal dan tempe BAL pada jam ke-48 sama, yaitu menunjukkan pertumbuhan
miselium sangat baik, kekompakan sangat baik, tidak terdapat butiran air,
beraroma tempe, dan tidak beraroma busuk. Tempe normal yang difermentasi
selama 48 jam sudah menunjukkan pertumbuhan miselium yang sangat baik,
sehingga siap untuk dikonsumsi (Nout dan Kiers 2005). Tempe BAL layak
dikonsumsi karena memenuhi persyaratan tempe normal, yaitu tidak tercium
aroma asing, berwarna putih atau keabu-abuan, dan tidak terasa asing (SNI
3144:2009). Tempe normal dan tempe BAL mengalami perubahan fisik saat
fermentasi diperpanjang menjadi 72 jam, yaitu tempe menjadi sangat padat dan
berwarna kekuningan.
Tempe yang dikontaminasi B. cereus sebanyak 1 log CFU/g tidak
menunjukkan tanda-tanda kebusukan pada jam ke-48. Pertumbuhan miselium
pada kedua tempe sangat baik, kekompakan sangat baik, tidak terdapat butiran air,
beraroma tempe, dan tidak beraroma busuk. Kondisi visual dan aroma tempe
17

sangat baik dan menyerupai tempe normal, sehingga dinilai layak dikonsumsi
oleh konsumen. Namun, jumlah B. cereus yang terkandung dalam tempe tersebut
cukup tinggi, yakni sekitar 4 log CFU/g. Penampakann tempe yang mengandung
B. cereus tersebut sangat baik, sehingga tempe berpotensi membahayakan
konsumen. Seperti tempe normal, tempe yang ditambahkan B. cereus sebanyak 1
log CFU/g juga mengalami perubahan fisik saat fermentasi diperpanjang menjadi
72 jam, yaitu tempe menjadi sangat padat dan berwarna kekuningan.

Tabel 2 Bentuk fisik dan aroma tempe selama fermentasi

PERLAKUAN
Jam N F BC1 BC3 FBC1 FBC3
Parameter
ke-

0 Kedelai Kedelai Kedelai Kedelai Kedelai Kedelai

4 Kedelai Kedelai Kedelai Kedelai Kedelai Kedelai


Tempe Tempe Tempe Tempe Tempe Tempe
24 tidak tidak tidak tidak tidak tidak
Fisik padat padat padat padat padat padat
Tempe Tempe
Tempe Tempe Tempe Tempe
48 cukup cukup
padat padat padat padat
padat padat
Tempe Tempe Tempe Tempe Tempe Tempe
72 sangat sangat sangat tidak sangat tidak
padat padat padat padat padat padat

0 Kedelai Kedelai Kedelai Kedelai Kedelai Kedelai

4 Kedelai Kedelai Kedelai Kedelai Kedelai Kedelai

Aroma
24 Tempe Tempe Tempe Tempe Tempe Tempe

Sedikit Sedikit
48 Tempe Tempe Tempe Tempe
busuk busuk

72 Tempe Tempe Tempe Busuk Tempe Busuk


Keterangan
N : Tempe normal
F : Tempe BAL
BC1 : Tempe B. cereus 1 log CFU/g
BC3 : Tempe B. cereus 3 log CFU/g
FBC1 : Tempe BAL+B. cereus 1 log CFU/g
FBC3 : Tempe BAL+B. cereus 3 log CFU/g

Tempe yang dikontaminasi B. cereus sebanyak 3 log CFU/g mulai


menunjukkan tanda-tanda kebusukan sejak jam ke-48, yaitu terdapat sedikit
butiran air dan sedikit beraroma busuk. Aroma busuk pada jam ke-48 hanya dapat
diamati saat tempe didekatkan ke hidung atau diiris terlebih dulu. Aroma busuk
pada tempe tersebut dapat muncul diduga karena amonia yang dihasilkan oleh
mikroorganisme proteolitik seperti B. cereus dan kapang Rhizopus oligosporus
18

terdapat dalam jumlah besar. Kebusukan teramati secara nyata saat fermentasi
diperpanjang menjadi 72 jam, dengan ciri tempe tidak padat, basah oleh butiran
air, berwarna kecoklatan, dan beraroma busuk. Kandungan amonia yang tinggi
pada tempe diduga menyebabkan penyimpangan aroma dan mengganggu
pertumbuhan miselium. Nout dan Kiers (2005) melaporkan amonia dalam
konsentrasi tinggi dapat menggangu pertumbuhan miselium, menyebabkan
miselium kapang mengalami senescence lebih cepat sehingga tempe menjadi
lunak. Tingginya jumlah B. cereus pada tempe (sekitar 8 log CFU/g) mungkin
berkontribusi terhadap tingginya kandungan amonia pada tempe tersebut. Bacillus
sp. diketahui mempunyai enzim ekstraseluler, salah satunya adalah protease
(Baehaki 2011). Aktivitas protease pada 36-72 jam fermentasi tak hanya
menghidrolisis protein menjadi asam amino, tetapi juga membentuk amonia
(Sapuan dan Sutrisno 2001). Oleh karena itu, tempe yang mengandung B. cereus
sekitar 8 log CFU/g di di akhir fermentasi akan mengalami kebusukan lebih cepat
jika dibandingkan dengan tempe normal. Terbukti bahwa keberadaan B. cereus
mengganggu proses fermentasi sehingga menurunkan mutu tempe. Sedangkan
penambahan L. fermentum pada tempe ternyata tidak mampu mencegah
penurunan mutu tempe akibat adanya B. cereus.
Kedelai yang dikontaminasi B. cereus sebanyak 3 log CFU/g mengalami
penyimpangan sejak jam ke-24, yaitu kedelai beraroma sedikit busuk. Pada jam
ke-48, aroma busuk semakin jelas dan kedelai menjadi basah oleh butiran air.
Kedelai merupakan bahan baku tempe yang rentan terkontaminasi B. cereus.
Adanya tanda-tanda kebusukan pada kedelai yang mengandung B. cereus
membuktikan bahwa B. cereus mampu terus hidup selama fermentasi dan
menyebabkan penurunan mutu. Kebusukan pada kedelai lebih cepat teramati jika
dibandingkan dengan kebusukan yang terjadi pada tempe. Diduga karena tidak
terdapat kompetitor seperti kapang, B. cereus dapat dengan mudah memanfaatkan
nutrisi pada kedelai.
19

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

B. cereus tumbuh baik bersama dengan kapang dan L. fermentum sampai


akhir fermentasi tempe. Kontaminasi B. cereus sebanyak 3 log CFU/g di awal
fermentasi tempe menghasilkan tempe dengan kondisi visual dan aroma tempe
yang buruk di akhir fermentasi (48 jam) dengan jumlah B. cereus sekitar 8 log
CFU/g. Sedangkan kontaminasi B. cereus sebanyak 1 log CFU/g di awal
fermentasi tempe menghasilkan tempe dengan kondisi visual dan aroma yang baik
menyerupai tempe normal, walaupun dengan jumlah B. cereus cukup tinggi yaitu
sekitar 4 log CFU/g. Diduga produksi asam laktat oleh L. fermentum tidak cukup
untuk menghambat pertumbuhan B. cereus.

Saran

Penghitungan jumlah kapang sebaiknya menggunakan metode penghitungan


massa miselium. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai pembentukan
toksin pada tempe yang mengandung B. cereus. Proses perendaman harus
menurunkan pH kedelai sampai sekitar 4.85 untuk dapat menghambat
pertumbuhan B. cereus selama fermentasi tempe. Kontaminasi B. cereus
berpotensi menyebabkan penurunan mutu dan keamanan tempe, sehingga untuk
meningkatkan mutu dan keamanan produk tempe perlu diterapkan Good
Manufacturing Practices (GMP) pada tiap tahap produksi tempe.
20

DAFTAR PUSTAKA

Babu PD, Bhakyaraj R, dan Vidhyalakshmi R. 2009. A low cost nutritious food
“Tempeh”- a review. World J Dairy & Food Sci 4(1):22-27.
Baehaki A Rinto dan B Arif. 2011. Isolasi dan karakterisasi protease dari bakteri
tanah rawa Indralaya, Sumatera Selatan. J Tekno Indus Pangan, Vol. XXII
(1): 10-16.
[BAM] Bacteriological Analytical Manual. 2001. Bacillus cereus. US FDA,
Center for Food Safety and Applied Nutrition.
____________. 2001. Gram Strain. US FDA, Center for Food Safety and Applied
Nutrition.
Bao Y, Zhang Y, Zhang Y, Liu Y, Wang S, Dong X, Wang Y, dan Zhang H. 2009.
Screening of potential probiotic properties of Lactobacillus fermentum
isolated from traditional dairiy products. Food Control 21 (2010): 695-701.
Barus T, Suwanto A, Wahyudi AT, dan Wijaya CH. 2008. Role of bacteria in
tempe bitter taste formation: microbiological and molecular biological
analysis based on 16S rRNA gene. Microbiol Indones Vol. 2, No. 1, hlm.
17-21.
Beattie SH dan Williams AG. 2000. Detection of toxin. Di dalam: Encyclopedia
of Food Microbiology Vol 1. Robinson RK, Batt CA, dan Patel PD, editor.
California (US): Academic Press.
Beuchat LR. 2001. Traditional fermented foods. Di dalam: Food Microbiology.
Doyle LRB MP, Montville TJ, editor. American Society for Microbiology.
Washington (US): ASM Press hlm. 701-719.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2012. Tempe: Persembahan Indonesia
untuk Dunia. Jakarta (ID): PUSIDO Badan Standardisasi Nasional.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2012. SNI 3144: 2009, Tempe Kedelai.
[terhubung berkala] http://www.bsn.go.id (diakses tanggal 19 Maret 2014).
[CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2014. Surveillance for
foodborne disease outbreaks: 2012 annual report. Georgia (US): US
Department of Health and Human Services.
Clavel T, Carlin F, Lairon D, Nguyen-The C, dan Schmitt P. 2004. Survival of
Bacillus cereus spores and vegetative cells in acid media stimulating human
stomach. J Appl Microbiol (97) 214-219.
Da Silva N, Taniwaki MH, Junqueira VCA, De Arruda Silveira NF, Da Silva Do
Nascimento M, Gomes RAR. 2013. Microbiological Examination Methods
of Food and Water: A Laboratory Manual. London (UK): CRC Press.
Efriwati, Suwanto A, Rahayu G, dan Nuraida L. 2013. Population dynamics of
yeast and lactic acid bacteria (LAB) during tempeh production. Hayati J
Biosci Vol.20 No.2, hlm. 57-64.
Efriwati dan Nuraida L. 2013. Effect of different production methods on macro
nutrient and isoflavone-aglycone composition in tempeh produced by
household industries. Health Science Indones Vol. 4, No. 2, hlm. 69-73.
[EFSA] European Food Safety Authority. 2005. Opinion of the scientific panel on
biological hazards on Bacillus cereus and other Bacillus spp in foodstuffs.
The EFSA Journal 175:1-48.
21

Fadahunsi IF, Ogunbanwo ST, dan Ogundana DT. 2013. Heat stability and
optimization of invitro antimicrobial activity of metabolites produced by
Rhizopus oligosporus NRRL 2710 against some pathogenic bacteria. Trakia
J Sci (2):110-117.
[FAO/WHO] Joint of Food and Agriculture Organization/World Health
Organization of the United Nations. 2002. Guidelines for the evaluation of
probiotics in food. Working Group Report. London, Ontario, Canada.
Finlay WJ, Logan NA, dan Sutherland AD. 2000. Bacillus cereus produces most
emetic toxin at lower temperatures. Lett Appl Microbiol 31:385-389.
Food chemicals codex. 2003. Effective January 1, 2004, 5th ed. Committee on
Food Chemicals Codex, Food and Nutrition Board, Institute of Medicine.
Washington (US): The National Academies Press.
Granum PE. 2007. Bacillus cereus. Di dalam: Food Microbiology: Fundamentals
and Frontiers, 3rd Ed. Doyle M dan Beuchat L, editor. Washington DC
(US): ASM Press.
Guven K dan Benlikaya N. 2005. Acid pH produced by lactic acid bacteria
prevent the growth of Bacillus cereus in Boza, a traditional fermented
turkish beverage. J Food Safety 25(2005) 98-108.
Kasmidjo RB. 1990. Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta
Pemanfaatannya. Yogyakarta (ID): Pusat Antar Universitas Pangan dan
Gizi.
Kim JB, Jeong HR, Park YB, Kim JM, dan Oh DH. 2010. Food poisoning
associated with emetic-type of Bacillus cereus in Korea. Foodborne
Pathogens and Disease Vol. 7, No. 5.
Klaenhammer TR. 2007. Probiotics and Prebiotics. Di dalam: Food Microbiology:
Fundamentals and Frontiers, 3rd Ed. Doyle M dan Beuchat L, editor.
Washington DC (US): ASM Press.
Kotiranta A, Lounatmaa K, dan Haapasalo M. 2000. Epidemiology and
pathogenesis of Bacillus cereus infections. Microbes Infect (2):189-198.
Kustyawati ME. 2009. Kajian peran yeast dalam pembuatan tempe. AGRITECH
Vol. 29, No. 2.
Lahtinen S, Ouwehand AC, Salminen S, Wright AV. 2012. Lactic Acid Bacteria
Microbiological and Functional Aspects 4th Edition. Boca Raton (US): CRC
Press.
Lindsay D, Brozel VS, Mostert JF, von Holy A. 2000. Physiology of dairy-
associated Bacillus spp. over a wide pH range. Int J Food Microbiol
54(2000): 49-62.
Moreno MF, Leisner JJ, Tee LK, Ley C, Radu S, Rusul G, Vancanneyt M, De
Vuyst L. 2002. Microbial analysis of Malaysian tempe and characterization
of two bacteriocins produced by isolates of Enterococcus faecium. J Appl
Microbiol 92:147-157.
Myong JC, Unklesbay N, Hsieh FH, Clarke AD. 2004. Hydrophobicity of bitter
peptides from soy protein hydrolysates. J Agric Food Chem 52:5895-5901.
Nout MJR. dan Kiers JL. 2005. Tempe fermentation, innovation, and
functionality: update into the third millenium. J Appl Microbiol 98: 789-805.
Nout MJR, Beernink G, dan Van Laarhoven TMGB. 1987. Growth of Bacillus
cereus in soyabean tempeh. Int J Food Microbiol 4(1987): 293-301.
22

Omafuvbe BO, Abiose SH, Shonukan OO. 2002. Fermentation of soybean


(Glycine max) for soy-daddawa production by starter culture of Bacillus. J
Food Microbiol 19:561-566.
Omafuvbe BO, Shonukan OO, dan Abiose SH. 2000. Microbiological and
biochemical changes in the traditional fermentation of soybean for soy-
daddawa—Nigerian food condiment. J Food Microbiol 17(5): 469-474.
Perera ML dan Ranasinghe GR. 2012. Prevalence of Bacillus cereus and
associated risk factors in Chinese-style fried rice available in the city of
Colombo, Sri Lanka. Foodborne Pathogens and Disease (9): 125-131.
Pisol B, Nuraida L, Abdullah N, Suliantari, dan Khalil KA. 2013. Isolation and
characterization of lactic acid bacteria from Indonesian soybean tempe.
Prosiding. 2013 4th International Conference on Biology, Environment and
Chemistry. Singapore (SG): IACSIT Press.
Sparringa RA, Kendall M, Westby A, dan Owens JD. 2002. Effects of
temperature, pH, water activity and CO2 concentration on growth of
Rhizopus oligosporus NRRL 2710. J Appl Microbiol 92: 329-337.
Van den Hil PJR dan Nout MJR. 2011. Anti-Diarrhoeal Aspects of Fermented
Soya Beans, Soybean and Health, Hany El-Shemy (editor). ISBN: 978-953-
307-535-8. Tersedia di http://www.intechopen.com/books/soybean-and-
health/anti-diarrhoeal-aspects-of-fermented-soya-beans. Diakses pada: 22
Desember 2014.
Samson RA, Van Kooij JA, dan De Boer E. 1987. Microbiological quality of
commercial tempeh in the Netherlands. Journal of Food Protection 50(2):
92-94.
Sapuan dan Sutrisno N. 2001. The Complete Handbook of Tempe: The Unique
Fermented Soyfood of Indonesia. Agranoff J, editor. Indonesian Tempe
Foundation.
Sparringa RA dan Owens JD. 1999. Inhibition of the tempe mould, Rhizopus
oligosporus, by ammonia. Lett Appl Microbiol (29):93-96.
Touw KS. 2014. Identifikasi bakteri asam laktat dominan selama fermentasi
tempe dan evaluasi potensinya sebagai probiotik. Skripsi. Bogor (ID): IPB.
Wang J, Ding T, dan Oh DH. 2013. Effect of temperatures on the growth, toxin
production, and heat resistance of Bacillus cereus in cooked rice. Foodborne
Pathogens and Disease, Volume 0, Number 0. Mary Ann Liebert, Inc. DOI:
10.1089/fpd.2013.1609.
Wang Q, Ke L, Yang D, dan Bao B. 2007. Change in oligosaccharides during
processing of soybean sheet. Asia Pac J Clin Nutr 16(1): 89-94.
Wijaya CH, Mulyono N, dan Afandi FA. 2011. Bahan Tambahan Pangan
Pengawet. Bogor (ID): IPB Press.
23

Lampiran 1 Hasil pengamatan suhu dan kelembaban ruang selama fermentasi


tempe

Suhu
Perlakuan RH (%)
(oC)
N 32,7 37,0
F 30,9 39,3
BC1 31,0 37,5
BC3 31,0 35,3
FBC1 31,0 33,9
FBC3 31,0 38,0
Rata-rata 31,3 36,8

Keterangan
N : Tempe normal
F : Tempe BAL
BC1 : Tempe Bacillus cereus 1 log CFU/g
BC3 : Tempe Bacillus cereus 3 log CFU/g
FBC1 : Tempe BAL+Bacillus cereus 1 log CFU/g
FBC3 : Tempe BAL+Bacillus cereus 3 log CFU/g
KBC3 : Kedelai Bacillus cereus 3 log CFU/g
24

Lampiran 2 Penampakan tempe selama fermentasi

Jam ke- 0 4 24 48 72

Tampak
Tempe depan
normal
(Tempe
N)
Tampak
- -
melintang

Tampak
Tempe depan
BAL
(Tempe
F)
Tampak
- -
melintang

Tempe Tampak
Bacillus depan
cereus 1
log
(Tempe Tampak
BC1) - -
melintang

Tempe Tampak
Bacillus depan
cereus 3
log
(Tempe
BC3) Tampak
- -
melintang

Tempe Tampak
BAL+ depan
Bacillus
cereus 3
log
(Tempe Tampak
- -
FBC3) melintang
25

Tempe Tampak
BAL+ depan
Bacillus
cereus 1
log
(Tempe
Tampak
FBC1) - -
melintang
26

Lampiran 3 Hasil pengamatan visual dan aroma selama fermentasi tempe

1. Tempe normal (N)

JAM KE-
0 4 24 48 72
Pengamatan
Visual
 Pertumbuhan - - ++ ++++ +++++
miselium
 Kekompakan - - + ++++ +++++
 Butiran air - - ++ - -
Aroma
 Kedelai +++ +++ + - -
 Tempe - - ++ ++++ +++++
 Alkohol - - + - -
- - - - -
 Busuk

Bentuk fisik
Kacang Kacang Tempe Tempe Tempe
kedelai kedelai tidak padat sangat
padat padat

Keterangan
- : tidak ada pertumbuhan miselium/tidak kompak/tidak ada
butiran air/tidak tercium aroma
+ : terdapat sangat sedikit pertumbuhan miselium/sangat kurang
kompak/sangat sedikit butiran air/sangat sedikit tercium aroma
++ : terdapat sedikit pertumbuhan miselium/sedikit kompak/sedikit
butiran air/sedikit tercium aroma
+++ : cukup ada pertumbuhan miselium/cukup kompak/cukup ada
butiran air/cukup tercium aroma
++++ : terdapat banyak pertumbuhan miselium/kompak/banyak
butiran air/tercium aroma
+++++ : terdapat sangat banyak pertumbuhan miselium/sangat
kompak/sangat banyak butiran air/sangat tercium aroma
27

Lampiran 4 Hasil pengamatan visual dan aroma selama fermentasi tempe


(lanjutan)

2. Tempe BAL (F)

JAM KE-
0 4 24 48 72
Pengamatan
Visual
 Pertumbuhan - - ++ ++++ +++++
miselium
 Kekompakan - - + ++++ +++++
 Butiran air - - ++ - -
Aroma
 Kedelai ++++ ++++ + - -
 Tempe - - ++ ++++ +++++
 Alkohol - - + - -
- - - - -
 Busuk

Bentuk fisik
Kacang Kacang Tempe Tempe Tempe
kedelai kedelai tidak padat sangat
padat padat

Keterangan
- : tidak ada pertumbuhan miselium/tidak kompak/tidak ada
butiran air/tidak tercium aroma
+ : terdapat sangat sedikit pertumbuhan miselium/sangat kurang
kompak/sangat sedikit butiran air/sangat sedikit tercium aroma
++ : terdapat sedikit pertumbuhan miselium/sedikit kompak/sedikit
butiran air/sedikit tercium aroma
+++ : cukup ada pertumbuhan miselium/cukup kompak/cukup ada
butiran air/cukup tercium aroma
++++ : terdapat banyak pertumbuhan miselium/kompak/banyak
butiran air/tercium aroma
+++++ : terdapat sangat banyak pertumbuhan miselium/sangat
kompak/sangat banyak butiran air/sangat tercium aroma
28

Lampiran 5 Hasil pengamatan visual dan aroma selama fermentasi tempe


(lanjutan)

3. Tempe Bacillus cereus 1 log CFU/g (BC1)

JAM KE-
0 4 24 48 72
Pengamatan
Visual
 Pertumbuhan - - ++ ++++ +++++
miselium
 Kekompakan - - + ++++ +++++
 Butiran air - - ++ - -
Aroma
 Kedelai ++++ ++++ + - -
 Tempe - - ++ ++++ ++++
 Alkohol - - - - -
- - - - -
 Busuk

Bentuk fisik
Kacang Kacang Tempe Tempe Tempe
kedelai kedelai tidak padat sangat
padat padat

Keterangan
- : tidak ada pertumbuhan miselium/tidak kompak/tidak ada
butiran air/tidak tercium aroma
+ : terdapat sangat sedikit pertumbuhan miselium/sangat kurang
kompak/sangat sedikit butiran air/sangat sedikit tercium aroma
++ : terdapat sedikit pertumbuhan miselium/sedikit kompak/sedikit
butiran air/sedikit tercium aroma
+++ : cukup ada pertumbuhan miselium/cukup kompak/cukup ada
butiran air/cukup tercium aroma
++++ : terdapat banyak pertumbuhan miselium/kompak/banyak
butiran air/tercium aroma
+++++ : terdapat sangat banyak pertumbuhan miselium/sangat
kompak/sangat banyak butiran air/sangat tercium aroma
29

Lampiran 6 Hasil pengamatan visual dan aroma selama fermentasi tempe


(lanjutan)

4. Tempe Bacillus cereus 3 log CFU/g (BC3)

JAM KE-
0 4 24 48 72
Pengamatan
Visual
 Pertumbuhan - - ++ ++++ ++++
miselium
 Kekompakan - - + +++ +++
 Butiran air - - ++ + ++
Aroma
 Kedelai ++++ ++++ ++ - -
 Tempe - - + +++ ++
 Alkohol - - + - -
- - - ++ +++
 Busuk

Bentuk fisik
Kacang Kacang Tempe Tempe Tempe
kedelai kedelai tidak cukup tidak
padat padat padat

Keterangan
- : tidak ada pertumbuhan miselium/tidak kompak/tidak ada
butiran air/tidak tercium aroma
+ : terdapat sangat sedikit pertumbuhan miselium/sangat kurang
kompak/sangat sedikit butiran air/sangat sedikit tercium aroma
++ : terdapat sedikit pertumbuhan miselium/sedikit kompak/sedikit
butiran air/sedikit tercium aroma
+++ : cukup ada pertumbuhan miselium/cukup kompak/cukup ada
butiran air/cukup tercium aroma
++++ : terdapat banyak pertumbuhan miselium/kompak/banyak
butiran air/tercium aroma
+++++ : terdapat sangat banyak pertumbuhan miselium/sangat
kompak/sangat banyak butiran air/sangat tercium aroma
30

Lampiran 7 Hasil pengamatan visual dan aroma selama fermentasi tempe


(lanjutan)

5. Tempe BAL+Bacillus cereus 1 log CFU/g (FBC1)

JAM KE-
0 4 24 48 72
Pengamatan
Visual
 Pertumbuhan - - ++ ++++ +++++
miselium
 Kekompakan - - + ++++ +++++
 Butiran air - - + - +
Aroma
 Kedelai ++++ ++++ + - -
 Tempe - - ++ ++++ ++++
 Alkohol - - - - -
- - - - -
 Busuk

Bentuk fisik
Kacang Kacang Tempe Tempe Tempe
kedelai kedelai tidak padat sangat
padat padat

Keterangan
- : tidak ada pertumbuhan miselium/tidak kompak/tidak ada
butiran air/tidak tercium aroma
+ : terdapat sangat sedikit pertumbuhan miselium/sangat kurang
kompak/sangat sedikit butiran air/sangat sedikit tercium aroma
++ : terdapat sedikit pertumbuhan miselium/sedikit kompak/sedikit
butiran air/sedikit tercium aroma
+++ : cukup ada pertumbuhan miselium/cukup kompak/cukup ada
butiran air/cukup tercium aroma
++++ : terdapat banyak pertumbuhan miselium/kompak/banyak
butiran air/tercium aroma
+++++ : terdapat sangat banyak pertumbuhan miselium/sangat
kompak/sangat banyak butiran air/sangat tercium aroma
31

Lampiran 8 Hasil pengamatan visual dan aroma selama fermentasi tempe


(lanjutan)

6. Tempe BAL+Bacillus cereus 3 log CFU/g (FBC3)

JAM KE-
0 4 24 48 72
Pengamatan
Visual
 Pertumbuhan - - ++ ++++ ++++
miselium
 Kekompakan - - + +++ +++
 Butiran air - - ++ + ++
Aroma
 Kedelai ++++ ++++ - - -
 Tempe - - ++ +++ ++
 Alkohol - - + - -
- - + ++ +++
 Busuk

Bentuk fisik
Kacang Kacang Tempe Tempe Tempe
kedelai kedelai tidak cukup tidak
padat padat terlalu
padat

Keterangan
- : tidak ada pertumbuhan miselium/tidak kompak/tidak ada
butiran air/tidak tercium aroma
+ : terdapat sangat sedikit pertumbuhan miselium/sangat kurang
kompak/sangat sedikit butiran air/sangat sedikit tercium aroma
++ : terdapat sedikit pertumbuhan miselium/sedikit kompak/sedikit
butiran air/sedikit tercium aroma
+++ : cukup ada pertumbuhan miselium/cukup kompak/cukup ada
butiran air/cukup tercium aroma
++++ : terdapat banyak pertumbuhan miselium/kompak/banyak
butiran air/tercium aroma
+++++ : terdapat sangat banyak pertumbuhan miselium/sangat
kompak/sangat banyak butiran air/sangat tercium aroma
32

Lampiran 9 Hasil analisis statistik jumlah B. cereus pada kedelai dan selama
fermentasi tempe yang diinokulasi B. cereus sebanyak 3 log CFU/g

Descriptives
Jam_24

N Mean Std. Std. 95% Confidence Minimum Maximum


Deviation Error Interval for Mean

Lower Upper
Bound Bound

BC3 2 7,6350 ,81317 ,57500 ,3289 14,9411 7,06 8,21


FBC3 2 8,1550 ,04950 ,03500 7,7103 8,5997 8,12 8,19
KBC3 2 7,0650 ,03536 ,02500 6,7473 7,3827 7,04 7,09
Total 6 7,6183 ,60891 ,24859 6,9793 8,2573 7,04 8,21

ANOVA
Jam_24

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 1,189 2 ,594 2,682 ,215


Within Groups ,665 3 ,222
Total 1,854 5

Keterangan
N : Tempe normal
F : Tempe BAL
BC1 : Tempe Bacillus cereus 1 log CFU/g
BC3 : Tempe Bacillus cereus 3 log CFU/g
FBC1 : Tempe BAL+Bacillus cereus 1 log CFU/g
FBC3 : Tempe BAL+Bacillus cereus 3 log CFU/g
33

Lampiran 10 Hasil analisis statistik jumlah B. cereus pada kedelai dan selama
fermentasi tempe yang diinokulasi B. cereus sebanyak 3 log CFU/g
(lanjutan)

Descriptives
Jam_48

N Mean Std. Std. 95% Confidence Minimum Maximum


Deviation Error Interval for Mean

Lower Upper
Bound Bound

BC3 2 8,2150 ,37477 ,26500 4,8479 11,5821 7,95 8,48


FBC3 2 8,1850 ,02121 ,01500 7,9944 8,3756 8,17 8,20
KBC3 2 8,0400 ,05657 ,04000 7,5318 8,5482 8,00 8,08
Total 6 8,1467 ,18928 ,07727 7,9480 8,3453 7,95 8,48

ANOVA
Jam_48

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups ,035 2 ,018 ,365 ,721


Within Groups ,144 3 ,048
Total ,179 5

Keterangan
N : Tempe normal
F : Tempe BAL
BC1 : Tempe Bacillus cereus 1 log CFU/g
BC3 : Tempe Bacillus cereus 3 log CFU/g
FBC1 : Tempe BAL+Bacillus cereus 1 log CFU/g
FBC3 : Tempe BAL+Bacillus cereus 3 log CFU/g
34

Lampiran 11 Hasil analisis statistik jumlah B. cereus pada kedelai dan selama
fermentasi tempe yang diinokulasi B. cereus sebanyak 3 log CFU/g
(lanjutan)

Descriptives
Jam_72

N Mean Std. Std. 95% Confidence Minimum Maximum


Deviation Error Interval for Mean

Lower Upper
Bound Bound

BC3 2 8,7450 ,07778 ,05500 8,0462 9,4438 8,69 8,80


FBC3 2 8,3950 ,10607 ,07500 7,4420 9,3480 8,32 8,47
KBC3 2 8,3350 ,14849 ,10500 7,0008 9,6692 8,23 8,44
Total 6 8,4917 ,21702 ,08860 8,2639 8,7194 8,23 8,80

ANOVA
Jam_72

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups ,196 2 ,098 7,476 ,068


Within Groups ,039 3 ,013
Total ,235 5

Keterangan
N : Tempe normal
F : Tempe BAL
BC1 : Tempe Bacillus cereus 1 log CFU/g
BC3 : Tempe Bacillus cereus 3 log CFU/g
FBC1 : Tempe BAL+Bacillus cereus 1 log CFU/g
FBC3 : Tempe BAL+Bacillus cereus 3 log CFU/g
35

Lampiran 12 Hasil analisis statistik jumlah B. cereus pada kedelai dan selama
fermentasi tempe yang diinokulasi B. cereus sebanyak 1 log CFU/g

Descriptives
Jam_48

N Mean Std. Std. 95% Confidence Minimum Maximum


Deviation Error Interval for Mean

Lower Upper
Bound Bound

BC1 2 4,2850 ,07778 ,05500 3,5862 4,9838 4,23 4,34


FBC1 2 3,6650 ,07778 ,05500 2,9662 4,3638 3,61 3,72
Total 4 3,9750 ,36355 ,18177 3,3965 4,5535 3,61 4,34

ANOVA
Jam_48

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups ,384 1 ,384 63,537 ,015


Within Groups ,012 2 ,006
Total ,397 3

Keterangan
N : Tempe normal
F : Tempe BAL
BC1 : Tempe Bacillus cereus 1 log CFU/g
BC3 : Tempe Bacillus cereus 3 log CFU/g
FBC1 : Tempe BAL+Bacillus cereus 1 log CFU/g
FBC3 : Tempe BAL+Bacillus cereus 3 log CFU/g
36

Lampiran 13 Hasil analisis statistik jumlah kapang pada jam ke-48 fermentasi
tempe

Descriptives
Jam_48

N Mean Std. Std. 95% Confidence Minimum Maximum


Deviation Error Interval for Mean

Lower Upper
Bound Bound

N 2 3,9000 ,50912 ,36000 -,6742 8,4742 3,54 4,26


F 2 4,9400 ,02828 ,02000 4,6859 5,1941 4,92 4,96
BC1 2 4,7550 ,24749 ,17500 2,5314 6,9786 4,58 4,93
BC3 2 4,5950 ,74246 ,52500 -2,0758 11,2658 4,07 5,12
FBC1 2 4,9150 ,07778 ,05500 4,2162 5,6138 4,86 4,97
FBC3 2 4,7450 ,19092 ,13500 3,0297 6,4603 4,61 4,88
Total 12 4,6417 ,46651 ,13467 4,3453 4,9381 3,54 5,12

ANOVA
Jam_48

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 1,479 5 ,296 1,940 ,222


Within Groups ,915 6 ,152
Total 2,394 11

Keterangan
N : Tempe normal
F : Tempe BAL
BC1 : Tempe Bacillus cereus 1 log CFU/g
BC3 : Tempe Bacillus cereus 3 log CFU/g
FBC1 : Tempe BAL+Bacillus cereus 1 log CFU/g
FBC3 : Tempe BAL+Bacillus cereus 3 log CFU/g
37

Lampiran 14 Hasil analisis statistik jumlah koloni bakteri asam laktat pada jam
ke-24 fermentasi tempe

Descriptives
Jam_24

N Mean Std. Std. 95% Confidence Minimum Maximum


Deviation Error Interval for Mean

Lower Upper
Bound Bound

N 2 7,1200 ,82024 ,58000 -,2496 14,4896 6,54 7,70


F 2 7,9400 ,09899 ,07000 7,0506 8,8294 7,87 8,01
BC1 2 7,3650 ,04950 ,03500 6,9203 7,8097 7,33 7,40
BC3 2 7,2900 ,01414 ,01000 7,1629 7,4171 7,28 7,30
FBC1 2 7,9150 ,00707 ,00500 7,8515 7,9785 7,91 7,92
FBC3 2 8,2100 ,12728 ,09000 7,0664 9,3536 8,12 8,30
Total 12 7,6400 ,48800 ,14087 7,3299 7,9501 6,54 8,30

ANOVA
Jam_24

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 1,918 5 ,384 3,281 ,090


Within Groups ,702 6 ,117
Total 2,620 11

Keterangan
N : Tempe normal
F : Tempe BAL
BC1 : Tempe Bacillus cereus 1 log CFU/g
BC3 : Tempe Bacillus cereus 3 log CFU/g
FBC1 : Tempe BAL+Bacillus cereus 1 log CFU/g
FBC3 : Tempe BAL+Bacillus cereus 3 log CFU/g
38

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Surabaya pada 20 Juli 1991 dari


bapak Idris Ahmad dan ibu Siti Salbiyah. Penulis merupakan
putri kedua dari tiga bersaudara. Penulis menempuh pendidikan
formal di TK Islam Mutiara (1996-1998), SD Muhammadiyah 4
Surabaya (1998-2004), SMP Negeri 1 Surabaya (2004-2007),
dan SMA Negeri 5 Surabaya (2007-2010). Penulis terdaftar
sebagai mahasiswi Ilmu dan Teknologi Pangan IPB melalui
jalur SNMPTN pada tahun 2010. Penulis memiliki prestasi
selama kuliah diantaranya sebagai mahasiswa pertukaran akademik di Nong Lam
Univeristy, Vietnam (2013), juara I lomba fotografi Fateta Art Contest (2012),
dan juara II perkusi Fateta Art Contest (2011). Selama kuliah, penulis aktif
sebagai anggota divisi infokom Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia
(HMPPI) (2012-2014), anggota divisi creative project dan fotografer Majalah
Peduli Pangan dan Gizi (EMULSI) (2012-2013), anggota divisi musik dan faspro
UKM LISES Gentra Kaheman (2011-2013), dan mengikuti magang sebagai
fotografer Majalah Food Review (2013-sekarang). Selain itu, penulis juga aktif
dalam acara kepanitiaan seperti MPKMB (2011), Festival Seni IPB (2012),
Techno-F (2012), ACCESS-BAUR (2012), Foodival (2013), HACCP-Plasma
(2012), dan kegiatan lainnya. Seminar yang pernah diikuti diantaranya
International Young Food and Nutrition Leadership Workshop (2014),
International Conference on Lactic Acid Bacteria (2013), dan Seminar Nasional
Pangan Lokal Fungsional (2012). Penulis adalah penerima beasiswa Goodwill
International (2012-2015).
Penulis menyelesaikan tugas akhir dengan melakukan penelitian bertema
mikrobiologi pangan. Penelitian ditulis dalam skripsi “Perilaku Bacillus cereus
selama Fermentasi Tempe yang Diperkaya dengan Bakteri Asam Laktat” yang
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian
di IPB. Penelitian ini dibimbing oleh Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc dan
Prof Dr Ir Lilis Nuraida, MSc.

Anda mungkin juga menyukai