Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Susunan syaraf pusat dan selaput pembungkusnya yang terlindungi dengan
baik oleh tulang tengkorak dan tulang belakang oleh sebab tertentu dapat
mengalami inflamasi sehingga menyebabkan berbagai macam manifestasi klinis.
Inflamasi yang terjadi pada selaput otak dan sumsung tulang belakang atau
meninges disebut meningitis. Pada umumnya meningitis disebabkan oleh infeksi
kuman patogen yang menginvasi meninges melalui pembuluh darah dibagian lain
dari tubuh, seperti virus, bakteri, spiroketa, fungus, protozoa dan metazoa.
Penyebab paling sering adalah virus dan bakteri.1,2
Meningitis menyebabkan berbagai macam gejala klinis dari ringan
sampai berat seperti demam, mual-muntah, nafsu makan menurun, sakit
kepala, kejang, penurunan kesadaran, dan defisit neurologis lain yang dapat
berlangsung lama atau menetap dan bahkan dapat menyebabkan kematian.2
Cairan serebrospinal yang berada di ruang subarakhnoid merupakan
salah satu proteksi untuk melindungi jaringan otak dan medula spinalis
terhadap trauma atau gangguan dari luar. Pada orang dewasa volume
intrakranial kurang lebih 1700 ml, volume otak sekitar 1400 ml, volume cairan
serebrospinal 52-162 ml (rata-rata 104 ml) dan darah sekitar 150 ml. 80% dari
jaringan otak terdiri dari cairan, baik ekstra sel maupun intra sel. Rata-rata
cairan serebrospinal dibentuk sebanyak 0,35 ml/menit atau 500 ml/hari,
sedangkan total volume cairan serebrospinal berkisar 75-150 ml dalam
sewaktu. Ini merupakan suatu kegiatan dinamis, berupa pembentukan, sirkulasi
dan absorpsi. Untuk mempertahankan jumlah cairan serebrospinal tetap dalam
sewaktu, maka cairan serebrospinal diganti 4-5 kali dalam sehari. Perubahan

1
dalam cairan serebrospinal dapat merupakan proses dasar patologi suatu
kelainan klinik. Pemeriksaan cairan serebrospinal sangat membantu dalam
mendiagnosa penyakit-penyakit neurologi. Selain itu juga untuk evaluasi
pengobatan dan perjalanan penyakit, serta menentukan prognosa penyakit.
Pemeriksaan cairan serebrospinal adalah suatu tindakan yang aman tidak mahal
dan cepat untuk menetapkan diagnosa, mengidentifikasi organism penyebab
serta dapat untuk melakukan test sensitivitas antibiotika1.

B. TUJUAN
1. Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menambah wawasan
mengenai cairan serebrospinal (cairan otak), meliputi komponen-
komponennya, fungsi, patologi dan kelainan-kelainan yang mungkin terjadi
dan cara pemeriksaan cairan otak sebagai cara untuk mendiagnosa penyakit-
penyakit neurologi,.
2. Untuk mengetahui hasil dari lumbal pungsi terhadap penyakit meningitis.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. KOMPOSISI DAN FUNGSI CAIRAN SEREBROSPINAL


Cairan serebrospinal dibentuk dari kombinasi filtrasi kapiler dan sekresi aktif dari
epitel. CSS hampir meyerupai ultrafiltrat dari plasma darah tapi berisi konsentrasi
Na, K, bikarbonat, Cairan, glukosa yang lebih kecil dankonsentrasi Mg dan klorida
yang lebih tinggi. Ph CSS lebihrendah dari darah.
Perbandingan komposisi normal cairan serebrospinal lumbal dan serum 1

CSS mempunyai fungsi:


1. CSS menyediakan keseimbangan dalam sistem saraf. Unsur-unsur pokok pada
CSS berada dalam keseimbangan dengan cairan otak ekstraseluler, jadi
mempertahankan lingkungan luar yang konstan terhadap sel-sel dalam sistem
saraf.
2. CSS mengakibatkann otak dikelilingi cairan, mengurangi berat otak dalam
tengkorak dan menyediakan bantalan mekanik, melindungi otak dari
keadaan/trauma yang mengenai tulang tengkorak
3. CSS mengalirkan bahan-bahan yang tidak diperlukan dari otak, seperti
CO2,laktat, dan ion Hidrogen. Hal ini penting karena otak hanya mempunyai

3
sedikit sistem limfatik. Dan untuk memindahkan produk seperti darah, bakteri,
materi purulen dan nekrotik lainnya yang akan diirigasi dan dikeluarkan melalui
villi arakhnoid.
4. Bertindak sebagai saluran untuk transport intraserebral. Hormon-hormon dari
lobus posterior hipofise, hipothalamus, melatonin dari fineal dapat dikeluarkan
ke CSS dan transportasi ke sisi lain melalui intraserebral.
5. Mempertahankan tekanan intrakranial. Dengan cara pengurangan CSS dengan
mengalirkannya ke luar rongga tengkorak, baik dengan mempercepat
pengalirannya melalui berbagai foramina, hingga mencapai sinus venosus, atau
masuk ke dalam rongga subarachnoid lumbal yang mempunyai kemampuan
mengembang sekitar 30%.

B. PATOFISIOLOGI CAIRAN SEREBROSPINAL


Keadaan normal dan beberapa kelainan cairan serebrospinal dapat diketahui dengan
memperhatikan:
1. Warna
Normal cairan serebrospinal warnamya jernih dan patologis bila berwarna:
kuning,santokhrom, cucian daging, purulenta atau keruh. Warna kuning muncul
dari protein. Peningkatan protein yang penting danbermakna dalam perubahan
warna adalah bila lebih dari 1 g/L. Cairan serebrospinal berwarna pink berasal
dari darah dengan jumlah sel darah merah lebih dari 500 sdm/cm3. Sel darah
merah yang utuh akan memberikan warna merah segar. Eritrosit akan lisis dalam
satu jam danakan memberikan warna cucian daging di dalam cairan
serebrospinal. Cairan serebrospinal tampak purulenta bila jumlah leukosit lebih
dari 1000 sel/ml.
2. Tekanan
Tekanan CSS diatur oleh hasil kali dari kecepatan pembentukan cairan dan
tahanan terhadap absorpsi melalui villi arakhnoid. Bila salah satu dari keduanya
naik, maka tekanan naik, bila salah satu dari keduanya turun, maka tekanannya

4
turun. Tekanan CSS tergantung pada posisi, bila posisi berbaring maka tekanan
normal cairan serebrospinal antara 8-20 cm H2O pada daerahh lumbal, siterna
magna dan ventrikel, sedangkan jika penderita duduk tekanan cairan
serebrospinal akan meningkat 10-30 cm H2O. Kalau tidak ada sumbatan pada
ruang subarakhnoid, maka perubahan tekanan hidrostastik akan ditransmisikan
melalui ruang serebrospinalis. Pada pengukuran dengan manometer, normal
tekanan akan sedikit naik pada perubahan nadi dan respirasi, juga akan berubah
pada penekanan abdomen dan waktu batuk. Bila terdapat penyumbatan pada
subarakhnoid, dapat dilakukan pemeriksaan Queckenstedt yaitu dengan
penekanan pada kedua vena jugularis. Pada keadaan normal penekanan vena
jugularis akan meninggikan tekanan 10-20 cm H2O dan tekanan kembali ke asal
dalam waktu 10 detik. Bila ada penyumbatan, tak terlihat atau sedikit sekali
peninggian tekanan. Karena keadaan rongga kranium kaku, tekanan intrakranial
juga dapat meningkat, yang bisa disebabkan oleh karena peningkatan volume
dalam ruang kranial, peningkatan cairan serebrospinal atau penurunan absorbsi,
adanya masa intrakranial dan oedema serebri. Kegagalan sirkulasi normal CSS
dapat menyebabkan pelebaran ven dan hidrocephalus. Keadaan ini sering dibagi
menjadi hidrosefalus komunikans dan hidrosefalus obstruktif. Pada hidrosefalus
komunikans terjadi gangguan reabsorpsi CSS, dimana sirkulasi CSS dari
ventrikel ke ruang subarachnoid tidak terganggu. Kelainan ini bisa disebabkan
oleh adanya infeksi, perdarahan subarakhnoid, trombosis sinus sagitalis superior,
keadaan-keadaan dimana viscositas CSS meningkat danproduksi CSS yang
meningkat. Hidrosefalus obstruktif terjadi akibat adanya ganguan aliran CSS
dalam sistim ventrikel atau pada jalan keluar ke ruang subarakhnoid. Kelainan
ini dapat disebabkan stenosis aquaduktus serebri, atau penekanan suatu msa
terhadap foramen Luschka for Magendi ventrikel IV, aq. Sylvi dan for. Monroe.
Kelainan tersebut bis aberupa kelainan bawaan atau didapat 1.
3. Jumlah sel

5
Jumlah sel leukosit normal tertinggi 4-5 sel/mm3, dan mungkin hanya terdapat 1
sel polymorphonuklear saja, Sel leukosit junlahnya akan meningkat pada proses
inflamasi. Perhitungan jumlah sel harus sesegera mungkin dilakukan, jangan
lebih dari 30 menit setelah dilakukan lumbal punksi. Bila tertunda maka sel akan
mengalami lisis, pengendapan dan terbentuk fibrin. Keadaaan ini akan merubah
jumlah sel secara bermakna. Leukositosis ringan antara 5-20 sel/mm3 adalah
abnormal tetapi tidak spesifik. Pada meningitis bakterial akut akan cenderung
memberikan respon perubahan sel yang lebih besar terhadap peradangan
dibanding dengan yang meningitis aseptik. Pada meningitis bakterial biasanya
jumlah sel lebih dari 1000 sel/mm3, sedang pada meningitis aseptik jarang
jumlah selnya tinggi. Jika jumlah sel meningkat secara berlebihan (5000-10000
sel /mm3), kemungkinan telah terjadi rupture dari abses serebri atau
perimeningeal perlu dipertimbangkan. Perbedaan jumlah sel memberikan
petunjuk ke arah penyebab peradangan. Monositosis tampak pada inflamasi
kronik oleh L. monocytogenes. Eosinophil relatif jarang ditemukan dan akan
tampak pada infeksi cacing dan penyakit parasit lainnya termasuk Cysticercosis,
juga meningitis tuberculosis, neurosiphilis, lympoma susunan saraf pusat, reaksi
tubuh terhadap benda asing.
4. Glukosa
Normal kadar glukosa berkisar 45-80 mg%. Kadar glukosa cairan serebrospinal
sangat bervariasi di dalam susunan saraf pusat, kadarnya makin menurun dari
mulai tempat pembuatannya di ventrikel, sisterna dan ruang subarakhnoid
lumbar. Rasio normal kadar glukosa cairan serebrospinal lumbal dibandingkan
kadar glukosa serum adalah >0,6. Perpindahan glukosa dari darah ke cairan
serebrospinal secara difusi difasilitasi transportasi membran. Bila kadar glukosa
cairan serebrospinalis rendah, pada keadaan hipoglikemia, rasio kadar glukosa
cairan serebrospinalis, glukosa serum tetap terpelihara. Hypoglicorrhacia
menunjukkan penurunan rasio kadar glukosa cairan serebrospinal, glukosa
serum, keadaan ini ditemukan pada derjat yang bervariasi, dan paling umum pada

6
proses inflamasi bakteri akut, tuberkulosis, jamur dan meningitis oleh carcinoma.
Penurunan kadar glukosa ringan sering juga ditemukan pada meningitis
sarcoidosis, infeksi parasit misalnya, cysticercosis dan trichinosis atau meningitis
zat khemikal. Inflamasi pembuluh darah semacam lupus serebral atau meningitis
rheumatoid mungkin juga ditemukan kadar glukosa cairan serebrospinal yang
rendah. Meningitis viral, mump, limphostic khoriomeningitis atau herpes
simplek dapat menurunkan kadar glukosa ringan sampai sedang.
5. Protein
Kadar protein normal cairan serebrospinal pada ventrikel adalah 5-15 mg%. pada
sisterna 10-25 mg% dan pada daerah lumbal adalah 15-45 ,g%. Kadar gamma
globulin normal 5-15 mg% dari total protein. Kadar protein lebih dari 150 mg%
akan menyebabkan cairan serebrospinal berwarna xantokrom, pada peningkatan
kadar protein yang ekstrim lebih dari 1,5 gr% akan menyebabkan pada
permukaan tampak sarang laba-laba (pellicle) atau bekuan yang menunjukkan
tingginya kadar fibrinogen. Kadar protein cairan serebrospinal akan meningkat
oleh karena hilangnya sawar darah otak (blood barin barrier), reabsorbsi yang
lambat atau peningkatan sintesis immunoglobulin loka. Sawar darah otak hilang
biasanya terjadi pada keadaan peradangan,iskemia baktrial trauma atau
neovaskularisasi tumor, reabsorsi yang lambat dapat terjadi pada situasi yang
berhubungan dengan tingginya kadar protein cairan serebrospinal, misalnya pada
meningitis atau perdarahan subarakhnoid. Peningkatan kadar immunoglobulin
cairan serebrospinal ditemukan pada multiple sklerosis, acut inflamatory
polyradikulopati, juga ditemukan pada tumor intra kranial dan penyakit infeksi
susunan saraf pusat lainnya, termasuk ensefalitis, meningitis, neurosipilis,
arakhnoiditis dan SSPE (sub acut sclerosing panensefalitis). Perubahan kadar
protein di cairan serebrospinal bersifat umum tapi bermakna sedikit, bila dinilai
sendirian akan memberikan sedikit nilai diagnostik pada infeksi susunan saraf
pusat.
6. Elektrolit

7
Kadar elektrolit normal CSS adalah Na 141-150 mEq/L, K 2,2-3,3 mRq, Cl 120-
130 mEq/L, Mg 2,7 mEq/L. Kadar elektrolit ini dalam cairan serebrospinal tidak
menunjukkan perubahan pada kelainan neurologis, hanya terdapat penurunan
kadar Cl pada meningitis tapi tidak spesifik.
7. Osmolaritas
Terdapat osmolaritas yang sama antara CSS dan darah (299 mosmol/L0. Bila
terdapat perubahan osmolaritas darah akan diikuti perubahan osmolaritas CSS.
8. pH
Keseimbangan asam bas harus dipertimbangkan pada metabolik asidosis dan
metabolik alkalosis. PH cairan serebrospinal lebih rendah dari PH darah,
sedangkan PCO2 lebih tinggi pada cairan serebrospinal. Kadar HCO3 adalah
sama (23 mEg/L). PH CSS relatif tidak berubah bila metabolik asidosis terjadi
secara subakut atau kronik, dan akan berubah bila metabolik asidosis atau
alkalosis terjadi secara cepat.

C. PENGAMBILAN CAIRAN SEREBROSPINAL


Pengambilan cairan serebrospinal dapat dilakukan dengan cara Lumbal Punksi,
Sisternal Punksi atau Lateral Cervical Punksi. Lumbal Punksi merupakan prosedure
neuro diagnostik yang paling sering dilakukan, sedangkan sisternal punksi dan
lateral hanya dilakukan oleh orang yang benar-benar ahli.
 Indikasi Lumbal Punksi:
1. Untuk mengetahui tekanan dan mengambil sampel untuk pemeriksan sel,
kimia dan bakteriologi
2. Untuk membantu pengobatan melalui spinal, pemberian antibiotika, anti
tumor dan spinal anastesi
3. Untuk membantu diagnosa dengan penyuntikan udara pada
pneumoencephalografi, dan zat kontras pada myelografi
a. Urgent : ( suspek)

8
Meningitis bacterial / TBC.
Perdarahan subarahnoid.
Febris dengan kesadaran menurun (sebab tak jelas).
b. Biasa : ( suspek )
Tumor mielum : sebelum dan sesudah mielografi / caudiografi.
Sindroma GuillainBarre (bila perlu diulang-ulang + satu minggu).
Kelumpuhan yang tidak jelas penyebabnya.
 Kontra Indikasi Lumbal Punski:
1. Adanya peninggian tekanan intra kranial dengan tanda-tanda nyeri kepala,
muntah dan papil edema
2. Penyakit kardiopulmonal yang berat
3. Ada infeksi lokal pada tempat Lumbal Punksi
4. Ada deformitas corpus vertebrae di tempat punksi.
5. Ada kelainan soal hemophilia.
6. Tidak ada “inform consent” dari pasien / keluarga.
 Persiapan Lumbal Punksi:
1. Periksa gula darah 15-30 menit sebelum dilakukan LP
2. Jelaskan prosedur pemeriksaan, bila perlu diminta persetujuan pasen/keluarga
terutama pada LP dengan resiko tinggi
 Teknik Lumbal Punksi:
1. Alat dan bahan:
- Jarum LP nomor 20 G/ 22G ( 1-2 biji).
- Larutan disenfektan (betadine & alkohol 70 %).
- Kain penutup (dock) steril berlubang (kalau ada ).
- Sarung tangan steril.
- Reagen Nonne – pandy dalam tabung khusus.
- Botol bersih dan kering (2 - 3 buah).
- Kasa steril, lidi kapas steril dan plester.

9
- Bila ada Lidocain / xylocain 2 %.
2. Prosedur:
- Alat dipersiapkan oleh perawat dan pasien diberitahu.
- Pasien tidur miring dengan posisi fleksi maksimal pada sendi lutut,
panggul dan lumbal. Untuk mengatur dan mempertahankan posisi, perlu
dibantu oleh perawat.
- Tentukan tempat LP dengan cara : dari atas tarik ke dawah sampai
memotong kolumna vertebralis. Titik perpotongan adalah tempat LP (L4-
L5). Apabila pada tempat tersebut mengalami kesulitan, dapat dikerjakan
antara L3-L4.
- Lakukan tindakan antisepsis pada kulit di sekitar daerah pungsi radius 10 cm
dengan larutan povidon iodin diikuti dengan larutan alkohol 70% dan tutup
dengan duk steril di mana daerah pungsi lumbal dibiarkan terbuka.
- Tentukan kembali daerah pungsi dengan menekan ibu jari tangan yang telah
memakai sarung tangan steril selama 15-30 detik yang akan menandai titik
pungsi tersebut selama 1 menit.
- Tusukkan jarum spinal/stylet pada tempat yang telah ditentukan. Masukkan
jarum perlahan-lahan menyusur tulang vertebra sebelah proksimal dengan mulut
jarum terbuka ke atas sampai menembus duramater. Jarak antara kulit dan ruang
subarakhnoid berbeda pada tiap anak tergantung umur dan keadaan gizi.
Umumnya 1,5-2,5 cm pada bayi dan meningkat menjadi 5 cm pada umur 3-5
tahun. Pada remaja jaraknya 6-8 cm. (gambar di bawah ini.)
- Lepaskan stylet perlahan-lahan dan cairan keluar. Untuk mendapatkan aliran
cairan yang lebih baik, jarum diputar hingga mulut jarum mengarah ke kranial.
Ambil cairan untuk pemeriksaan.
- Cabut jarum dan tutup lubang tusukan dengan plester
- Setelah liquor keluar, ambil pemeriksaan :
a. Nonna dan Pandy masing-masing tabung 4 – 5 tetes.

b. Sel, protein, glokosa, dalam botol sebanyak kurang lebih 30 tetes.

10
- Bila liquor keluar bercampur darah lakukan test 3 tabung.

- Dokter membuat surat permintaan cito pemeriksaan liquor ke

laboratorium

- Pasien diobservasi dalam keadaan tidur tengkurap paling sedikit 2 jam

sambil menunggu pemeriksaan liquor.

- Apabila tidak terdapat efek samping LP (sakit kepala, pusing dll), setelah

observasi 2 jam, pasien diperbolehkan pulang ditemani oleh keluarga.

Gambar 1. Lumbal Pungsi

 Komplikasi Lumbal Punksi


1. Sakit kepala. Biasanya dirasakan segera sesudah lumbal punksi, ini timbul
karena pengurangan cairan serebrospinal
2. Backache, biasanya di lokasi bekas punksi disebabkan spasme otot
3. Infeksi dan Herniasi

11
4. Untrakranial subdural hematom
5. Hematom dengan penekanan pada radiks
6. Tumor epidermoid intraspinal
D. PEMERIKSAAN CAIRAN OTAK
Cairan otak biasanya diperoleh dengan melakukan punksi lumbal pada lumbal III
dan IV dai cavum subarachnoidale, namun dapat pula pada suboccipital ke dalam
cisterna magma atau punksi ventrikel, yang dapat disesuaikan dengan indikasi
klinik. Seorang klinik yang ahli dapat memperkirakan pengambilan tersebut. Hasil
punksi lumbal dimasukkan dalam 3 tabung atau 3 syringe yang berbeda, antara lain
:
1. Tabung I berisi 1 mL
Dibuang karena tidak dapat digunakan sebagai bahan pemeriksaan karena
mungkin mengandung darah pada saat penyedotan.
2. Tabung II berisi 7 mL
Digunakan untuk pemeriksaan serologi, bakteriologi dan kimia klinik.
3. Tabung III berisi 2 mL
Digunakan untuk pemeriksaan jumlah sel, Diff.count dan protein
kualitatif/kuantitatif.

Parameter Pemeriksaan
Parameter yang umum diperiksa pada cairan otak adalah sebagai berikut :
1. Parameter Makroskopik
 Warna
 Kekeruhan (Kejernihan)
 Bekuan
 BJ
 pH
2. Parameter Mikroskopik
 Hitung Jumlah Sel

12
 Hitung Jenis Sel (Diff.Count)
3. Parameter Kimiawi
 Pandy
 Nonne
 Protein
 Glukosa
 Chlorida
4. Bakteriologi (Pembiakan)

Metode Pemeriksaan
1. Makroskopik
Metode : Visual (Manual)
Tujuan : Untuk mengetahui cairan LCS secara makroskopik meliputi : warna,
kejernihan, bekuan, pH dan BJ.
Alat dan Bahan :
- Tabung reaksi
- Beaker gelas
- Kertas indikator pH universal
- Refraktometer abbe
Spesimen : Cairan LCS
Cara Kerja :
- Cairan LCS dimasukkan dalam tabung bersih dan kering.
- Diamati warna, kejernihan, adanya bekuan pada cahaya terang.
- Dicelupkan indikator pH universal pada LCS dan diukur pH dengan
membandingkan deret standar pH.
- Cairan LCS diteteskan 1-2 tetes pada refraktometer dan diperiksa pada eye
piece BJ.
Hasil dan Interpretasi :

13
No Parameter Penilaian Interpretasi
Normal
1. Warna Tidak berwarna, kuning muda, kuning, Tidak berwarna
kuning tua, kuning coklat, merah, hitam
coklat
2. Kejernihan Jernih, agak keruh, keruh, sangat keruh, Jernih
keruh kemerahan
3. Bekuan Tidak ada bekuan, ada bekuan Tidak ada bekuan
4. pH 7,3 atau setara dengan pH plasma/serum 7
5. BJ 1.000 – 1.010 1.003 – 1.008

Hal yang perlu diperhatikan :


- LCS yang bercampur darah dalam jumlah banyak pada kedua tabung, tidak
dapat diperiksa karena karena akan sama hasilnya dengan pemeriksaan dalam
darah, terutama bila ada bekuan merah sebagaimana darah membeku.
- Adanya bekuan terlihat berupa kabut putih yang menggumpal karena bekuan
terdiri atas benang fibrin.

2. Hitung Jumlah Sel


Metode : Bilik Hitung
Prinsip : LCS diencerkan dengan larutan Turk pekat akan ada sel leukosit dan sel
lainnya akan lisis dan dihitung selnya dalam kamar hitung di bawah mikroskop.
Tujuan : Untuk mengetahui jumlah sel dalam cairan LCS.
Alat dan Reagensia :
- Mikroskop
- Hemaocytometer : Bilik hitung Improved neubauer, kaca penutup, pipet
thoma leukosit
- Tissue

14
- Larutan Turk Pekat : Kristal violet 0,1 gram, asam asetat glacial 10 mL dan
aquadest 90 mL.
Spesimen : LCS
Cara Kerja :
- Larutan Turk pekat diisap sampai tanda 1 tepat
- Larutan LCS diisap sampai tanda 11 tepat.
- Dikocok perlahan dan dibuang cairan beberapa tetes.
- Diteteskan pada bilik hitung dan dihitung sel dalam kamar hitung pada semua
kotak leukosit di mikroskop lensa objektif 10x/40x.
Perhitungan :
PDP : 1/10 = 0,1x
TKP : 1/0,1 = 10x
KBH : 4 kotak leukosit
Ʃ Sel : Jumlah sel ditemukan (berwarna keunguan dengan inti dan sitoplasma)
Sel = PDP x TKP x Jumlah sel ditemukan
KBH
= 0,1 x 10 x Ʃ
4
= 2,5 x Ʃ
= ……..sel/mm3 LCS

Interpretasi : Jumlah sel normal = 0 – 5 sel/mm3 LCS

3. Hitung Jenis Sel


Metode : Giemsa Stain
Tujuan : Untuk membedakan jenis sel mononuklear dan polinuklear dalam cairan
LCS
Alat dan Reagensia :
- Objek Gelas

15
- Kaca Penghapus
- Sentrifuge
- Tabung reaksi
- Metanol absolut
- Giemsa
- Timer
Spesimen : LCS
Cara Kerja :
- Cairan LCS di masukkan dalam tabung secukupnya.
- Disentrifugasi selama 5 menit 2000 rpm
- Supernatant dibuang dan endapan diambil.
- Diteteskan pada objek gelas dan dibuat preparat hapusan tebal
- Di keringkan dan difiksasi selama 2 menit dengan metanol absolut.
- Diwarnai dengan Giemsa selama 15-20 menit.
- Dicuci dan diperiksa dimikroskop lensa objektif 100x denga imersi.
Perhitungan :
Jenis sel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jumlah %
MN
PMN
Jumlah
Interpretasi : Normal MN 100% dan PMN 0%

4. Uji Pandy
Metode : Pandy
Prinsip : Protein dalam larutan jenuh phenol akan mengalami denaturasi berupa
kekeruhan hingga terjadi endapan putih.
Tujuan : Untuk mengetahui adanya protein dalam LCS
Alat dan Reagensia :

16
- Tabung reaksi
- Pipet tetes
- Larutan Pandy : phenol 10 mL dan aquadest 90 mL. (larutan bila keruh
disaring atau dibiarkan mengendap sisa jenuhnya)
Spesimen : LCS
Cara Kerja :
- Dimasukkan 1 mL cairan otak ke dalam tabung reaksi.
- Ditambah beberapa tetes larutan Pandy.
- Amati adanya kekeruhan pada larutan tersebut.
Interpretasi :
- Negatif : tidak terbentuk kekeruhan putih
- Positif : terbentuk kekeruhan putih.

5. Uji Nonne
Metode : Nonne
Prinsip : Protein dalam larutan jenuh garam ammonium sulfat akan mengalami
denaturasi berupa kekeruhan hingga terbentuka endapan.
Tujuan : Untuk mengetahui adanya protein jenis globulin dalam LCS
Alat dan Reagensia :
- Tabung reaksi
- Pipet tetes
- Larutan Nonne : Ammonium sulfat jenuh 80 gram dalam 100 mL aquadest.
(disaring bila keruh)
Spesimen : LCS
Cara Kerja :
- Dimasukkan 1 mL cairan otak ke dalam tabung reaksi.
- Ditambah beberapa tetes larutan Nonne melalui dinding tabung dengan
kemiringan 45°.

17
- Amati adanya cincin putih keruh pada kedua lapis larutan tersebut pada posisi
tegak.
Interpretasi :
- Negatif : tidak terbentuk cincin putih
- Positif : terbentuk cincin putih.

6. Protein
Metode : Biuret
Prinsip : Protein dalam sampel bereaksi dengan ion cupri (II) dalam medium
alkali membentuk komplek warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer
Tujuan : Untuk menetapkan kadar protein dalam LCS.
Alat :
- Tabung reaksi
- Mikropipet 20 µLdan 1000 µL.
- Tip kuning dan biru.
- Fotometer
Reagensia :
- Reagen Kerja: Cupri (II) asetat 6 mmol/L, Kalium Iodida 12 mmol/L, NaOH
1,15 mol/L, deterjen.
- Reagen standard : 8,0 g/dL
- Stabilitas : Reagensia stabil setelah dibuka sampai kadaluarsa bila disimpan
pada suhu ruang.
Spesimen : LCS
Cara Kerja :
- Masukkan ke dalam tabung berlabel :
Blanko Standar Sampel
Standar - 20 µl -
Serum - - 20 μl

18
Reagen kerja 1000 μl 1000 μl 1000 μl
- Campur dan inkubasi selama 10 menit pada suhu ruang.
- Diukur absorben standar dan sampel pada Photometer dengan panjang
gelombang 578 nm terhadap blanko reagent.
Perhitungan :
Total Protein = Absorben sampel x konsentrasi standar (8,0 g/dL)
Absorben standard
= ..............g/dL x 1000 = ......mg/dL

Nilai Normal : 15 – 45 mg/dL

7. Glukosa
Metode : GOD-PAP
Prinsip : Glukosa dioksidasi oleh glukosa oksidase menghasilkan hidrogen
peroksida yang bereaksi dengn 4-aminoantipirin dan fenol dengan pengaruh
katalis peroksidase menghasilkan quinoneimine yang berwarna merah.
Tujuan : Untuk menentukan kadar glukosa dalam LCS
glukosa oxidase
Reaksi : Glukosa + ½ O2 + 2 H2O Glukonate + H2O2.
POD
2 H2O2 + 4-Aminoantipyrine + Phenol Quinoneimine + 4 H2O
Alat :
- Tabung reaksi kecil - Timer
- Mikropipet 10 dan 1000 µl - Tissue
- Tip kuning dan biru - Rak Tabung
- Fotometer
Reagensia :
- Reagen kerja Glukosa
- Reagen standar Glukosa 100 mg/dl
- Stabilitas : Reagensia stabil setelah dibuka sampai kadaluarsa bila disimpan
pada suhu 2-8oC.

19
Spesimen : LCS
Cara kerja :
- Dipipet ke dalam tabung:
Blanko Standar Sampel
Standar - 10 µl -
Serum - - 10 µl
Reagen kerja 1000 µl 1000 µl 1000 µl

- Dicampur dan diinkubasi pada suhu ruang selama 10 menit.


- Diukur absorben standar dan sampel pada Photometer terhadap blanko dengan
panjang gelombang 546 nm.
Pengamatan dan Pembacaan :
- Absorben blanko aquabidest : 0,000
- Dicatat Absorben pengukuran reagent blanko, standar dan sampel
- Absorben :
Perhitungan :
Glukosa = Absorben sampel x konsentrasi standard (100 mg/dL)
Absorben standard
= ..............mg/dL

Nilai Normal : 45 – 70 mg/dL

8. Chlorida
Metode : TPTZ
Prinsip : Ion Chlorida bereaksi dengan Mercury (II), 2,4,4-tri-(2-pyridil)-S-
triazide kompleks (TPTZ) membentuk merkuri (II) chlorida. TPTZ bebas
bereaksi dengan ion besi (II) menghasilkan warna biru kompleks. Perubahan
absorben pada 578 nm sebanding dengan kadar chlorida.
Tujuan : Untuk menentukan kadar Chlorida dalam LCS
Alat :

20
- Tabung reaksi kecil - Timer
- Mikropipet 10 dan 1000 µl - Tissue
- Tip kuning dan biru - Rak Tabung
- Fotometer
Reagensia :
- Reagen warna : 2,4,6-tri-(2-pyridil)-S-triazide (TPTZ) dan merkuri (II)
kompleks 0,96 mmol/L dan besi (II) sulfat 0,5 mmol/L
- Standard Chlorida : Natrium chlorida 100 mmol/L atau 355 mg/dL
Spesimen : LCS
Cara Kerja :
- Dipipet ke dalam tabung:
Blanko Standar Sampel
Standar - 10 µl -
Serum - - 10 µl
Reagen kerja 1000 µl 1000 µl 1000 µl

- Dicampur dan diinkubasi pada suhu ruang selama 10 menit.


- Diukur absorben standar dan sampel pada Photometer terhadap blanko dengan
panjang gelombang 546 nm.
Perhitungan :
Chlorida = Absorben sampel x konsentrasi standard (100 mmol/L)
Absorben standard
= ..............mmol/L

Nilai Normal : 98 - 106 mmol/L

21
E. MENINGITIS
1. Definisi Meningitis
Meningitis adalah inflamasi pada meninges yang melapisi otak dan medula
spinalis. Hal ini paling sering disebabkan oleh infeksi (bakteri, virus, atau
jamur) tetapi dapat juga terjadi karena iritasi kimia, perdarahan subarachnoid,
kanker atau kondisi lainnya.5
Definisi lain menyebutkan meningitis adalah sindrom klinis yang ditandai
dengan peradangan pada meninges, yaitu lapisan membran yang melapisi otak
dan sumsum tulang belakang. Membran yang melapisi otak dan sumsum
belakang ini terdiri dari tiga lapisan yaitu:2
1. Dura mater, merupakan lapisan terluar dan keras.
2. Arachnoid, merupakan lapisan tengah membentuk trabekula yang mirip
sarang laba-laba.
3. Pia mater, merupakan lapisan meninges yang melekat erat pada otak yang
mengikuti alur otak membentuk gyrus & sulcus.
Gabungan antara lapisan arachnoid dan pia mater disebut leptomeninges.
Ruang-ruang potensial pada meninges dilewati oleh banyak pembuluh darah
yang berperan penting dalam penyebaran infeksi pada meninges.

2. Faktor Resiko
Faktor resiko terjadinya meningitis :2

a) Usia, biasanya pada usia < 5 tahun dan > 60 tahun


b) Imunosupresi atau penurunan kekebalan tubuh
c) Diabetes melitus, insufisiensi renal atau kelenjar adrenal
d) Infeksi HIV
e) Anemia sel sabit dan splenektomi
f) Alkoholisme, sirosis hepatis
g) Talasemia mayor
h) Riwayat kontak yang baru terjadi dengan pasien meningitis

22
i) Defek dural baik karena trauma, kongenital maupun operasi
j) Ventriculoperitoneal shunt

3. Etiologi
Etiologi meningitis bakterialis pada tiap kelompok usia berbeda karena
tergantung pada lingkungan dan daya tahan tubuh. Jenis patogen yang
menyebabkan meningitis pada neonatus biasanya berasal dari flora normal ibu,
seperti Streptococcus dan E.Coli. Sementara Neisseria meningitidis dan S.
Pneumonia adalah patogen utama pada bayi yang lebih besar. Pada keadaan
imunodefisiensi, pasien dapat terinfeksi oleh patogen yang lebih jarang, seperti
Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, Salmonella, atau
Staphylococcus koagulase negatif
Di Amerika Serikat 1995, terdapat bakteri patogen umum penyebab primer
meningitis bakteri yang berbeda untuk masing-masing kelompok umur 38

Tabel 1 Frekuensi organisme penyebab meningitis bakteri pada anak dan dewasa
Di Negara Inggris dan Wales diperkirakan 4000 kasus meningitis bacterial
pertahunnya disebabkan oleh Neisseria Meningitidis (gram negative
diplococcus). Kuman Neisseria Meningitidis (meningococcus) ini merupakan
penyabab utama kematian pada anakanak pada tahun 1995. Berikut ini dapat
dilihat pada table di bawah ini.

23
Tabel.2 Penyebab Meningitis (semua umur) tahun 1995
Pada table 2.3 dapat dilihat beberapa bakteripatogen umum berdasarkan umum
dan lesi anatomi

Tabel 3. Organisme penyebab meningitis bacterial berdasarkan umur atau organisme


Etiologi meningitis bakterialis pada tiap kelompok umur menurut Pedoman
Pelayanan Medis 2011 :
 Usia 0-2 bulan : Streptococcus grup B, Eschercia coli.
 Usia 2 bulan – 5 tahun : Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis,
Haemophillus influenzae.
 Usia diatas 5 tahun : Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis

4. EPIDEMIOLOGI

24
Di Amerika Serikat, diperkirakan 25.000 kasus meningitis pertahunnya
dijumpai pada anak-anak dan dewasa muda. Sekitar 50% kasus terjadi pada
anak dibawah usia 5 tahun. Insidensi di Amerika Serikat dan Eropa adalah 3-5
kasus per 100.000 penduduk pertahun38.
Meningitis bakterial di Indonesia menduduki urutan ke 9 dari 10 pola penyakit
anak di delapan rumah sakit pendidikan di Indonesia pada tahun 1984. Sekitar
80% dari seluruh kasus meningitis bakterial terjadi pada anak dan 70% dari
jumlah tersebut terjadi pada anak berusia 1-5 bulan (Saharso & Hidayati,
1999). Angka prevalensi meningitis bakterialis adalah 5 : 100.000 dengan
insiden tertinggi meningitis bakterialis terdapat pada anak usia 2 bulan hingga
usia 2 tahun, dimana umumnya banyak terjadi pada anak yang distrofik dengan
daya tahan tubuh rendah 39 .
Faktor predisposisi meningitis bakterialis meliputi infeksi saluran pernafasan,
infeksi saluran pendengaran, riwayat cedera kepala, riwayat anestesi spinal,
riwayat kontak dengan penderita infeksi meningokal, dan menurunnya kondisi
tubuh 39.

5. Anatomi dan Fisiologi


a. Meninges
Meninges merupakan selaput atau membran yang terdiri dari jaringan ikat
yang membungkus susunan syaraf pusat, dan tersusun atas 3 lapis yaitu :

25
Gambar 1. Struktur Meninges (diambil dari kepustakaan 17)

1) Dura Mater
Dura mater adalah meninges luar, terdiri atas jaringan ikat padat yang
berhubungan langsung dengan periosteum tengkorak. Dura mater yang
membungkus medulla spinalis dipisahkan dari periosteum vertebra oleh
ruang epidural, yang mengandung vena berdinding tipis, jaringan ikat
longgar, dan jaringan lemak. Dura mater selalu dipisahkan dari
arachnoid oleh celah sempit, ruang subdural. Permukaan dalam dura
mater, juga permukaan luarnya pada medulla spinalis, dilapisi epitel
selapis gepeng yang asalnya dari mesenkim.18

2) Arachnoid

26
Arachnoid mempunyai 2 komponen: lapisan yang berkontak dengan
dura mater dan sebuah sistem trabekel yang menghubungkan lapisan itu
dengan piamater. Rongga diantara trabekel membentuk ruang
subarachnoid, yang berisi cairan serebrospinal dan terpisah sempurna
dari ruang subdural. Ruang ini membentuk bantalan hidrolik yang
melindungi syaraf pusat dari trauma. Ruang subarachnoid berhubungan
dengan ventrikel otak. Arachnoid terdiri atas jaringan ikat tanpa
pembuluh darah. Permukaannya dilapisi oleh epitel selapis gepeng
seperti dura mater. Karena medulla spinalis araknoid itu lebih sedikit
trabekelnya, maka lebih mudah dibedakan dari piamater. Pada beberapa
daerah, araknoid menerobos dura mater membentuk juluran-juluran
yang berakhir pada sinus venosus dalam dura mater. Juluran ini, yang
dilapisi oleh sel-sel endotel dari vena disebut Vili Araknoid. Fungsinya
ialah untuk menyerap cairan serebrospinal ke dalam darah dari sinus
venosus.18

3) Pia Mater
Pia mater terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengandung banyak
pembuluh darah. Meskipun letaknya cukup dekat dengan jaringan saraf,
ia tidak berkontak dengan sel atau serat saraf. Di antara pia mater dan
elemen neural terdapat lapisan tipis cabang-cabang neuroglia, melekat
erat pada pia mater dan membentuk barier fisik pada bagian tepi dari
susunan saraf pusat yang memisahkan SSP dari cairan serebrospinal.
Piamater menyusuri seluruh lekuk permukaan susunan saraf pusaf dan
menyusup kedalamnya untuk jarak tertentu bersama pembuluh darah.
pia mater di lapisi oleh sel-sel gepeng yang berasal dari mesenkim.
Pembuluh darah menembus susunan saraf pusat melalui torowongan
yang dilapisi oleh piamater ruang perivaskuler. Pia mater lenyap
sebelum pembuluh darah ditransportasi menjadi kapiler. Dalam susunan

27
syaraf pusat, kapiler darah seluruhnya dibungkus oleh perluasan cabang
neuroglia.18

Gambar 2. Hubungan Meninges dan Jaringan Sekitarnya


(diambil dari kepustakaan 19)

b. Sawar Darah Otak

Sawar darah otak merupakan barier fungsional yang mencegah masuknya


beberapa substansi, seperti antibiotik dan bahan kimia dan toksin bakteri
dari darah ke jaringan syaraf. Sawar darah otak ini terjadi akibat kurangnya
permeabilitas yang menjadi ciri kapiler darah jaringan saraf. Taut kedap,
yang menyatukan sel-sel endotel kapiler ini secara sempurna merupakan
unsur utama dari sawar ini. Sitoplasma sel-sel andotel ini tidak bertingkap,
dan terlihat sangat sedikit vesikel pinositotik di sini. Perluasan cabang sel
neuroglia yang melingkari kapiler ikut mengurangi permeabilitasnya.18

28
Sawar ini terletak antara darah dan cairan serebrospinal serta cairan otak.
Sawar juga terdapat pada plexus koroideus dan membran kapiler jaringan,
pada dasarnya di seluruh parenkim otak kecuali di beberapa daerah di
hipotalamus, kelenjar pineal dan area postrema, tempat zat berdifusi dengan
lebih mudah ke dalam ruang jaringan. Sawar darah otak pada umumnya
sangat permeabel terhadap air, karbondioksida, oksigen, dan sebagian besar
zat larut lipid, seperti alkohol dan zat anestesi; sedikit permeabel terhadap
elektrolit, seperti natrium, klorida, dan kalium; dan hampir tidak permeabel
terhadap protein plasma dan banyak molekul organik berukuran besar yang
tidak larut lipid.20

Gambar 3. Potongan Melintang Susunan Sawar Darah Otak (diambil


dari Kepustakaan 21)

Dengan menggunakan mikroskop elektron memperlihatkan bahwa lumen


kapiler darah dipisahkan dari ruang ekstraseluler oleh :21

29
1) Sel endotelial di dinding kapiler (cerebral endothelial cell), disatukan
oleh tight juction.
2) Membran basalis di luar sel endotel berisi sel perisit
3) Kaki-kaki astrosit yang menempel pada lapisan luar dinding kapiler.

Gambar 4. Struktur Penyusun Sawar Darah Otak (diambil dari


kepustakaan 21)

c. Plexus Koroid dan Cairan Cerebrospinal


Pleksus koroid terdiri atas lipatan-lipatan ke dalam dari pia mater yang
menyusup ke bagian dalam ventrikel. Dapat ditemukan pada atap ventrikel
ketiga dan keempat dan sebagian pada dinding ventrikel lateral. Plexus
koroid merupakan struktur vaskular yang terbuat dari kapiler fenestra yang
berdilatasi. Pleksus koroid terdiri atas jaringan ikat longgar dari pia mater,
dibungkus oleh epitel selapis kuboid atau silindris, yang memiliki
karakteristik sitologi dari sel pengangkut ion. Fungsi utama pleksus koroid
adalah membentuk cairan serebrospinal, yang hanya mengandung sedikit

30
bahan padat dan mengisi penuh ventrikel, kanal sentral dari medula spinalis,
ruang subarachnoid, dan ruang perivasikular. Ia penting untuk metabolisme
susunan saraf pusat dan merupakan alat pelindung, berupa bantalan cairan
dalam ruang subarachnoid. Cairan itu jernih, memiliki densitas rendah
(1.004-1.008 gr/ml), dan kandungan proteinnya sangat rendah. Juga
terdapat beberapa sel deskuamasi dan dua sampai lima limfosit per
milliliter. Cairan serebrospinal mengalir melalui ventrikel, dari sana ia
memasuki ruang subarachnoid. Disini vili araknoid merupakan jalur utama
untuk absorbsi CSS ke dalam sirkulasi vena.

Menurunnya proses absorsi cairan serebrospinal atau penghambatan aliran


keluar cairan dari ventrikel menimbulkan keadaan yang disebut
hidrosefalus, yang mengakibatkan pembesaran progresif dari kepala dan
disertai dengan gangguan mental dan kelemahan otot.18

31
Gambar 5. Fisiologi Cairan Serebrospinal (diambil dari kepustakaan
22)

32
6. Patofisiologi
Infeksi meningitis bakterialis pada sistem saraf pusat dapat terjadi secara akut
(simptom berkembang dalam 1-24 jam), sub akut (1-7 hari), ataupun kronis (>
1 minggu). Infeksi bakteri difus melibatkan leptomenings, struktur kortikal
superfisial dan pembuluh darah. Meskipun namanya “meningitis”, pada
parenkim otak juga terjadi inflamasi, pembuluh darah otak diinfiltrasi oleh sel-
sel inflamatori dan dapat menyebabkan rusaknya sel, stenosis pembuluh darah,
iskemik sekunder dan infark 38.
Menurut Gallroy tahun 2000, infeksi dapat mencapai selaput otak melalui :
 Aliran darah (hematogen) karena infeksi di tempat lain seperti faringitis,
tonsilitis, endokarditis, penumonia, infeksi gigi. Pada keadaan ini sering
didapatkan biakan kuman yang positif pada darah, yang sesuai dengan
kuman yang ada dalam cairan otak.
 Perluasan langsung dari infeksi (per kontinuitatum) yang disebabkan
oleh infeksi dari sinus paranasalis, mastoid, abses otak, sinus
kavernosus.
 Implantasi langsung : trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, dan
lumbal punksi
 Meningitis pada neonatus dapat terjadi dikarenakan aspirasi dari cairan
amnion yang terjadi pada saat bayi melalui jalan lahir atau oleh kuman-
kuman yang normal ada pada jalan lahir dan infeksi bakterial secara
transplantasi terutama listeria

33
Gambar 2.1 Patogenesis Meningitis Bakterial
Meningitis bakterialis bermula dengan kolonisasi bakteri di nasofaring.
Bakteri menghasilkan immunoglobulin A protease yang bisa merusak barier
mukosa dan memungkinkan bakteri menempel pada epitel. Setelah menempel,
bakteri akan menyelinap melalui celah antar sel dan masuk ke aliran darah.
Bakteri yang biasa menyebabkan meningitis akut mempunyai kapsul
polisakarida yang bersifat antifagositik dan anti komplemen, sehingga bisa
lepas dari mekanisme pertahanan seluler yang umumnya menghadang struktur
asing yang masuk ke dalam aliran darah. Bakteri kemudian mencapai kapiler
susunan saraf pusat lalu masuk ke ruang subarachnoid membuat bakteri yang
ada akan mudah bermultiplikasi 38.

34
Kerusakan di dalam jaringan otak terjadi akibat peningkatan reaksi
inflamasi yang disebabkan adanya komponen dinding sel bakteri. Endotoksin
(bagian dari dinding sel bakteri gram negatif ) dan asam teichoic (bagian dari
dinding sel bakteri gram positif ) akan menyebabkan sel-sel endotelial dan sel
glia lainnya melepaskan sitokin pro-inflamasi terutama tumor necrosing factor
(TNF) dan interleukin 1 α dan β (IL-1) 38.
Selanjutnya akan terjadi proses yang lebih kompleks dari sitokin
(meliputi pelepasan IL-6, platelet activating factor, dan leukotrien ) yang akan
merusak sawar darah otak. Sawar darah otak yang rusak akan memudahkan
masuknya leukosit dan komplemen ke dalam ruang subarakhnoid disertai
masuknya albumin. Hal ini menyebabkan timbulnya edema vasogenik di otak.
Leukosit dan mediator-mediator pertahanan tubuh lainnya akan menyebabkan
perubahan patologis lebih lanjut (seperti trombosis vena dan vaskulitis)
sehingga akan terjadi iskemi otak dan dapat menimbulkan edema sitotoksik di
otak. Proses inflamasi lebih lanjut akan menyebabkan gangguan reabsorpsi
cairan serebrospinal di granula arachnoid yang berakibat meningkatnya tekanan
intrakranial sehingga menimbulkan edema intersisial di otak. Keadaan edema
otak itu diperberat dengan dihasilkannya asam arakhidonat dan metabolitnya
yang dikeluarkan oleh sel otak yang rusak dan adanya asam lemak yang
dilepaskan dari leukosit polimorfonuklear 38.

7. Manifestasi Klinis
Gejala klasik berupa trias meningitis mengenai kurang lebih 44% penderita
meningitis bakteri dewasa. Trias meningitis tersebut sebagai berikut :2
a) Demam
b) Nyeri kepala
c) Kaku kuduk.
Selain itu meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas
mendadak, letargi, mual muntah, penurunan nafsu makan, nyeri otot, fotofobia,
mudah mengantuk, bingung, gelisah, parese nervus kranialis dan kejang.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS)
melalui pungsi lumbal.2,8,27

35
Meningitis karena virus ditandai dengan cairan serebrospinal yang jernih serta
rasa sakit penderita tidak terlalu berat. Pada umumnya, meningitis yang
disebabkan oleh Mumpsvirus ditandai dengan gejala anoreksia dan malaise,
kemudian diikuti oleh pembesaran kelenjer parotid sebelum invasi kuman ke
susunan saraf pusat. Pada meningitis yang disebabkan oleh Echovirus ditandai
dengan keluhan sakit kepala, muntah, sakit tenggorok, nyeri otot, demam, dan
disertai dengan timbulnya ruam makopapular yang tidak gatal di daerah wajah,
leher, dada, badan, dan ekstremitas. Gejala yang tampak pada meningitis
Coxsackie virus yaitu tampak lesi vaskuler pada palatum, uvula, tonsil, dan
lidah dan pada tahap lanjut timbul keluhan berupa sakit kepala, muntah,

demam, kaku kuduk, dan nyeri punggung.9

Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat pernafasan


dan gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi secara akut
dengan gejala panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu
makan berkurang, dehidrasi dan konstipasi, biasanya selalu ditandai dengan
fontanella yang mencembung. Kejang dialami lebih kurang 44 % anak
dengan penyebab Haemophilus influenzae, 25 % oleh Streptococcus
pneumoniae, 21 % oleh Streptococcus, dan 10 % oleh infeksi Meningococcus.
Pada anak-anak dan dewasa biasanya dimulai dengan gangguan saluran
pernafasan bagian atas, penyakit juga bersifat akut dengan gejala panas
tinggi, nyeri kepala hebat, malaise, nyeri otot dan nyeri punggung. Cairan

serebrospinal tampak kabur, keruh atau purulen.25

Meningitis Tuberkulosa terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau stadium
prodormal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala
infeksi biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering
tanpa demam, muntah-muntah, nafsu makan berkurang, murung, berat badan
turun, mudah tersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur terganggu dan

36
gangguan kesadaran berupa apatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang
hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri

punggung, halusinasi, dan sangat gelisah.25

Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1 – 3 minggu dengan


gejala penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang
hebat, gangguan kesadaran dan kadang disertai kejang terutama pada bayi dan
anak-anak. Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai nyata, terjadi parese
nervus kranialis, hemiparese atau quadripare, seluruh tubuh dapat menjadi
kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan intrakranial, ubun-ubun menonjol dan
muntah lebih hebat.

Stadium III atau stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan semakin parah
dan gangguan kesadaran lebih berat sampai koma. Pada stadium ini penderita
dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu bila tidak mendapat

pengobatan sebagaimana mestinya.25

8. Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis dapat diketahui dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
A. Anamnesa
Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis seperti demam,
nyeri kepala dan kaku kuduk. Gejala lain seperti mual muntah, penurunan
nafsu makan, mudah mengantuk, fotofobia, gelisah, kejang dan penurunan
kesadaran.2,27 Anamnesa dapat dilakukan pada keluarga pasien yang dapat
dipercaya jika tidak memungkinkan untuk autoanamnesa.

Bakterial Meningitis Score (BMS)

Bakterial Meningitis Score (BMS) Bakterial Meningitis Score (BMS)


adalah suatu sistem skoring yang dapat digunakan untuk membedakan

37
meningitis bakteri dengan meningitis aseptik, dan memiliki nilai prediksi
negatif 100% dan sensitivitas 100%. BMS sebenarnya dapat diterapkan di
fasilitas kesehatan yang tidak memungkinkan dilakukannya kultur. BMS
terdiri dari pengecatan gram cairan serebrospinal, protein cairan
serebrospinal, neutrofil darah tepi, riwayat kejang, dan neutrofil cairan
serebrospinal.

Tabel 2.1 Kriteria Bacterial Meningitis Score


Skor BMS berkisar antara 0-6. Apabila pasien memiliki skor < 2 artinya
pasien memiliki resiko rendah untuk menderita meningitis bakterialis.
Sebaliknya apabila memiliki skor BMS ≥ maka mempunyai resiko tinggi
untuk menderita meningitis bakterialis 40.

B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat mendukung diagnosis meningitis biasanya
dilakukan pemeriksaan rangsang meningeal. Yaitu sebagai berikut :28

1) Pemeriksaan Kaku Kuduk


Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa
fleksi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan
dan tahanan pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan
spasme otot.

38
2) Pemeriksaan Kernig
Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi pada sendi panggul
kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin
tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak
mencapai sudut 135° (kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai
spasme otot paha biasanya diikuti rasa nyeri.

3) Pemeriksaan Brudzinski I (Brudzinski leher)


Pasien berbaring dalam sikap terlentang, tangan kanan ditempatkan
dibawah kepala pasien yang sedang berbaring , tangan pemeriksa yang
satu lagi ditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya
badan kemudian kepala pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh
dada. Brudzinski I positif (+) bila gerakan fleksi kepala disusul dengan
gerakan fleksi di sendi lutut dan panggul kedua tungkai secara
reflektorik.

4) Pemeriksaan Brudzinski II (Brudzinski Kontralateral tungkai)


Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada
sendi panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II
positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada sendi
panggul dan lutut kontralateral.

39
5) Pemeriksaan Brudzinski III (Brudzinski Pipi)
Pasien tidur terlentang tekan pipi kiri kanan dengan kedua ibu
jari pemeriksa tepat di bawah os ozygomaticum.Tanda Brudzinski III
positif (+) jika terdapat flexi involunter extremitas superior.
6) Pemeriksaan Brudzinski IV (Brudzinski Simfisis)
Pasien tidur terlentang tekan simpisis pubis dengan kedua ibu jari
tangan pemeriksaan. Pemeriksaan Budzinski IV positif (+) bila terjadi
flexi involunter extremitas inferior.
7) Pemeriksaan Lasegue
Pasien tidur terlentang, kemudian diextensikan kedua tungkainya.
Salah satu tungkai diangkat lurus. Tungkai satunya lagi dalam keadaan
lurus. Tanda lasegue positif (+) jika terdapat tahanan sebelum
mencapai sudut 70° pada dewasa dan kurang dari 60° pada lansia.

C. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Pungsi Lumbal15
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan
protein cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya
peningkatan tekanan intrakranial.

40
 Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan
jernih, sel darah putih meningkat, glukosa dan protein normal,
kultur negatif.
 Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan
keruh, jumlah sel darah putih meningkat (pleositosis lebih dari 1000
mm3), protein meningkat, glukosa menurun, kultur (+) beberapa
jenis bakteri.
Dibawah ini tabel yang menampilkan berbagai kemungkinan agen
infeksi pada cairan serebrospinal, yaitu :

41
Tabel 1. Penilaian Cairan Serebrospinal Berdasarkan Agen
Infeksi (diambil dari kepustakaan 2)

2) Pemeriksaan Darah2
Dilakukan pemeriksaan darah rutin, Laju Endap Darah (LED), kadar
glukosa, kadar ureum dan kreatinin, fungsi hati, elektrolit.

1) Pemeriksaan LED meningkat pada meningitis TB


2) Pada meningitis bakteri didapatkan peningkatan leukosit
polimorfonuklear dengan shift ke kiri.

42
3) Elektrolit diperiksa untuk menilai dehidrasi.
4) Glukosa serum digunakan sebagai perbandingan terhadap glukosa
pada cairan serebrospinal.
5) Ureum, kreatinin dan fungsi hati penting untuk menilai fungsi organ
dan penyesuaian dosis terapi.
6) Tes serum untuk sipilis jika diduga akibat neurosipilis.
3) Kultur 2
Kultur bakteri dapat membantu diagnosis sebelum dilakukan lumbal
pungsi atau jika tidak dapat dilakukan oleh karena suatu sebab seperti
adanya hernia otak. Sampel kultur dapat diambil dari :

1) Darah, 50% sensitif jika disebabkan oleh bakteri H. Influenzae, S.


Pneumoniae, N. Meningitidis.
2) Nasofaring
3) Sputum
4) Urin
5) Lesi kulit
4) Pemeriksaan Radiologis2
Pemeriksaan radiologis meliputi pemeriksaan foto thorax, foto kepala,
CT-Scan dan MRI. Foto thorax untuk melihat adanya infeksi
sebelumnya pada paru-paru misalnya pada pneumonia dan tuberkulosis,
foto kepala kemungkinan adanya penyakit pada mastoid dan sinus
paranasal.

Pemeriksaan CT-Scan dan MRI tidak dapat dijadikan pemeriksaan


diagnosis pasti meningitis. Beberapa pasien dapat ditemukan adanya
enhancemen meningeal, namun jika tidak ditemukan bukan berarti
meningitis dapat disingkirkan.

43
Berdasarkan pedoman pada Infectious Diseases Sosiety of America
(IDSA), berikut ini adalah indikasi CT-Scan kepala sebelum dilakukan
lumbal pungsi yaitu :

1) Dalam keadaan Immunocompromised


2) Riwayat penyakit pada sistem syaraf pusat (tumor, stroke, infeksi
fokal)
3) Terdapat kejang dalam satu minggu sebelumnya
4) Papiledema
5) Gangguan kesadaran
6) Defisit neurologis fokal
Temuan pada CT-Scan dan MRI dapat normal, penipisan sulcus,
enhancement kontras yang lebih konveks. Pada fase lanjut dapat pula
ditemukan infark vena dan hidrosefalus komunikans.

44
Gambar 7. CT-Scan pada Meningitis Bakteri. Didapatkan
ependimal enhancement dan ventrikulitis (diambil dari
kepustakaan 29)

Gambar 8. MRI pada meningitis bakterial akut. Contrast-


enhanced, didapatkan leptomeningeal enhancement (diambil dari
kepustakaan 2)

9. Penatalaksanaan
A. Terapi umum
a) tirah baring total, cegah decubitus
b) pemberian cairan yang adekuat, terutama pasien shock
c) terapi 5B
Blood: tensi dipertahankan normal
Brain: apabila TIK meningkat diberi manitol/kortikosteroid
Breathing: pernaafasan harus bebas
Bowel: kalori harus dipertahankan sesuai keadaan pasien
Bladder: hindari infeksi kandung kemih
B. Terapi simptomatik: antikonvulsan, analgesic
C. Terapi Spesifik
a) Meningitis Bakteri

45
Meningitis bakterial adalah suatu kegawatan dibidang neurologi
karena dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan.
Oleh karena itu pemberian antibiotik empirik yang segera dapat
memberikan hasil yang baik.

Tabel 2. Rekomendasi Terapi Empirik dengan Meningitis Suspek


Bateri (diambil dari kepustakaan 2)

1) Neonatus-1 bulan
 Usia 0-7 hari, Ampicillin 50 mg/kgBB IV/ 8 jam atau dengan
tambahan gentamicin 2.5 mg/kgBB IV/ 12 jam.
 Usia 8-30 hari, 50-100 mg/kgBB IV/ 6 jam atau dengan tambahan
gentamicin 2.5 mg/kgBB IV/ 12 jam.
2) Bayi usia 1-3 bulan
 Cefotaxim (50 mg/kgBB IV/ 6 jam)
 Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB/ 12 jam)
Ditambah ampicillin (50-100 mg/kgBB IV/ 6 jam)
Alternatif lain diberikan Kloramfenikol (25 mg/kgBB oral atau IV/
12 jam) ditambah gentamicin (2.5 mg/kgBB IV or IM / 8 hours).
3) Bayi usia 3 bulan sampai anak usia 7 tahun
 Cefotaxime (50 mg/kgBB IV/ 6 jam, maksimal 12 g/hari)

46
 Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB IV/ 12 jam,
maksimal 4 g/hari)
4) Anak usia 7 tahun sampai dewassa usia 50 tahun
 Dosis anak
Cefotaxime (50 mg/kgBB IV/ 6 jam, maksimal 12 g/hari)
Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB IV/ 12 jam,
maksimal 4 g/hari)
Vancomycin – 15 mg/kgBB IV/ 8 jam
 Dosis dewasa
Cefotaxime – 2 g IV/ 4 jam
Ceftriaxone – 2 g IV/ 12 jam
Vancomycin – 750-1000 mg IV/ 12 jam atau 10-15 mg/kgBB IV/
12 jam
Beberapa pengalaman juga diberikan rifampisin (dosis anak-anak, 20
mg/kgBB/hari IV; dosis dewasa, 600 mg/hari oral). Jika dicurigai
infeksi listeria ditambahkan ampicillin (50 mg/kgBB IV/ 6 jam).
5) Usia lebih dari atau sama dengan 50 tahun
 Cefotaxime – 2 g IV/ 4 jam
 Ceftriaxone – 2 g IV/ 12 jam
Dapat ditambahkan dengan Vancomycin – 750-1000 mg IV/ 12 jam
atau 10-15 mg/kgBB IV/ 12 jam atau ampicillin (50 mg/kgBB IV/ 6
jam). Jika dicurigai basil gram negatif diberikan ceftazidime (2 g IV/ 8
jam).
Selain antibiotik, pada infeksi bakteri dapat pula diberikan
kortikosteroid (biasanya digunakan dexamethason 0,25 mg/kgBB/ 6
jam selama 2-4 hari). meskipun pemberian kortikosteroid masih
kontroversial, namun telah terbukti dapat meningkatkan hasil
keseluruhan pengobatan pada meningitis akibat H. Influenzae,
tuberkulosis, dan meningitis pneumokokus. Dalam suatu penelitian
yang dilakukan oleh Brouwer dkk., pemberian kortikosteroid dapat
mengurangi gejala gangguan pendengaran dan gejala neurologis sisa

47
tetapi secara umum tidak dapat mengurangi mortalitas.

Bagan 2. Algoritma Tatalaksana Meningitis Suspek Bakteri pada


Orang Dewasa (diambil dari kepustakaan 30)

10. Diagnosis Banding


Meningitis dapat didiagnosis banding dengann penyakit dibawah ini :2

a) Abses serebral
b) Ensefalitis
c) Neoplasma serebral
d) Perdarahan Subarachnoid

11. Komplikasi Meningitis

48
Komplikasi meningitis pada onset akut dapat berupa perubahan status mental,
edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial, kejang, empiema atau efusi
subdural, parese nervus kranialis, hidrosefalus, defisit sensorineural, hemiparesis
atau quadriparesis, kebutaan. Pada onset lanjut dapat terjadi epilepsi, ataxia,
abnormalitas serebrovaskular, intelektual yang menurun dan lain sebagainya.
Komplikasi sistemik dari meningitis adalah syok septik, disseminated
intravascular coagulaton (DIC), gangguan fungsi hipotalamus atau disfungsi
endokrin, kolaps vasomotor dan bahkan dapat menyebabkan kematian.32

12. Prognosis
Prognosis meningitis tergantung kepada umur, mikroorganisme spesifik yang
menimbulkan penyakit, banyaknya organisme dalam selaput otak, jenis
meningitis dan lama penyakit sebelum diberikan antibiotik. Penderita usia
neonatus, anak-anak dan dewasa tua mempunyai prognosis yang semakin jelek,

yaitu dapat menimbulkan cacat berat dan kematian.33


Pengobatan antibiotika yang adekuat dapat menurunkan mortalitas meningitis
purulenta, tetapi 50% dari penderita yang selamat akan mengalami sequelle
(akibat sisa). Lima puluh persen meningitis purulenta mengakibatkan kecacatan
seperti ketulian, keterlambatan berbicara dan gangguan perkembangan mental,

dan 5 – 10% penderita mengalami kematian.34


Pada meningitis Tuberkulosa, angka kecacatan dan kematian pada umumnya
tinggi. Prognosa jelek pada bayi dan orang tua. Angka kematian meningitis TBC
dipengaruhi oleh umur dan pada stadium berapa penderita mencari pengobatan.

Penderita dapat meninggal dalam waktu 6-8 minggu.15


Penderita meningitis karena virus biasanya menunjukkan gejala klinis yang
lebih ringan,penurunan kesadaran jarang ditemukan. Meningitis viral memiliki

49
prognosis yang jauh lebih baik. Sebagian penderita sembuh dalam 1 – 2 minggu

dan dengan pengobatan yang tepat penyembuhan total bisa terjadi.34

50
BAB III
KESIMPULAN

Meningitis merupakan peradangan pada araknoid, piamater dan ruangan


subaraknoid. Proses peradangan tersebut juga dapat meluas ke jaringan otak dan
medula spinalis. Meningitis bakterial di Indonesia menduduki urutan ke 9 dari 10 pola
penyakit anak di delapan rumah sakit pendidikan di Indonesia pada tahun 1984. Sekitar
80% dari seluruh kasus meningitis bakterial terjadi pada anak dan 70% dari jumlah
tersebut terjadi pada anak berusia 1-5 bulan. Angka prevalensi meningitis bakterialis
adalah 5 : 100.000 dengan insiden tertinggi meningitis bakterialis terdapat pada anak
usia 2 bulan hingga usia 2 tahun, dimana umumnya banyak terjadi pada anak yang
distrofik dengan daya tahan tubuh rendah.
Diagnosis meningitis bakterialis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik, serta pemeriksaan penunjang, seperti darah lengkap dan pemeriksaan cairan
serebrospinal. Setelah ditegakkan meningitis bakterialis maka dapat dilakukan
penatalaksanaan. Penatalaksanaan meningitis bakterialis diberikan antibiotik sesuai
hasil kultur cairan serebrospinal, selagi menunggu hasil kultur dapat diberikan untuk
sementara antibiotik empirik sesuai dengan peta kuman.

51
DAFTAR PUSTAKA

1. Dr. Japardi, Iskandar. 2002. Cairan Serebrospinal. Medan : Fakultas Kedokteran


Universitas Sumatera Utara.
2. Mahar M & Priguna S, 2008. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan ke-12. PT. Dian Rakyat,
Jakarta.
3. Hasbu, Rodrigo, May 7, 2013. Meningitis. Article. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/232915-overview#showall
4. Swierzewski, S., 2002.Meningitis, Insidens and Prevalence. Available at
http://www.healthcommunities.com/meningitis/incidence.shtml
5. Laporan Nasional, 2007. Riset Kesehatan Dasar.
6. WHO, 2013. Meningitis. Article. Available at http://www.who.int/topics/meningitis/en/
7. Markam, S., 1992. Penuntun Neurologi, Cetakan Pertama. Binarupa Aksara, Jakarta.
8. Jellife, D., 1994. Kesehatan Anak di Daerah Tropis, Edisi Keempat. Bumi Aksara,
Jakarta.
9. Japardi, I. 2002. Meningitis Meningococcus. Journal. FK USU Digital Library.
Available at http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi23.pdf
10. Soedarto, 2004. Sinopsis Virologi Kedokteran. Airlangga University Press,
Surabaya.
11. Nelson, 1996. Ilmu Kesehatan Anak, Bagian 2. EGC, Jakarta.
12. Kandun, I., 2006. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Infomedika, Jakarta.
13. Muliawan, S., 2008. Haemophilus Influenzae As a Cause of Bacterial
Meningitis in Children. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol58, No.11, Hal 438-443,
Jakarta.
14. Isbagia, D., 2003. Kemajuan Dalam Pengembangan Vaksin Terhadap Infeksi
Saluran Pernapasan dan Meningitis. Buletin Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Vol.XIII, No.4, Hal 32-37, Jakarta
15. Harsono, 2003. Kapita Selekta Neurologi, Edisi Kedua. GadjahMada University
Press, Yogyakarta.
16. Handayani, S., 2006. Karier Meningitis Meningokok Pada Jemaah Haji
Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan, Vol.34, No.1, Hal 30-36, Jakarta.
17. Junqueira & Carneiro, 2005. Basic Histology Text & Atlas. 11 edition. McGraw-Hill
Companies, New York.
18. Junqueira, dkk., 1998. Histologi Dasar. Edisi ke-8. EGC, Jakarta.
19. R. Putz & R. Pabst, 2007. Sobotta. Jilid 1. Jakarta : EGC. Hal : 261.
20. Guyton & Hall, 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. EGC, Jakarta.
21. Yuliana, 2013. Tinjauan Histologi Sawar Darah Otak. Vol. 9. Jurnal Kedokteran.
Bagian Histologi Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat.
22. Mackenna & Callander, 1997. Ilustrated Physiology. Sixth Edition. Churchill
Livingstone.

52
23. Jawetz, dkk., 2008. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 23. EGC, Jakarta.
24. Soegijanto, S., 2002. Ilmu Penyakit Anak: Diagnosa dan Penatalaksanaan, Edisi
Pertama. Salemba Medika, Jakarta.
25. Harsono, 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis, Edisi Pertama. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
26. Japardi, 2002. Sawar Darah Otak. Journal. FK USU Digital Library. Available at
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1985/1/bedah-iskandar54.pdf
27. Fatimah, 2012. Pemeriksaan Klinis Neurologi 1. Article. Available at
http://publichealthnote.blogspot.com/2012/04/pemeriksaan-klinis-neurologi.html
28. Lutfi, et all., 2013. Imaging in Bacterial Meningitis. Article. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/341971-overview#showall
29. Allan, dkk., 2004. Practice Guidelines for the Management of Bacterial Meningitis.
Journal. Infectious Diseases of America (IDSA).
30. Pedoman Nasional, 2006. Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
31. Emad, 2012. Neurologic Complications of Bacterial Meningitis. Journal. In tech.
Available at http://cdn.intechopen.com/pdfs/34319/InTech-
Neurologic_complications_of_bacterial_meningitis.pdf
32. Nelson, 1995. Ilmu Kesehatan Anak. Kedokteran EGC, Jakarta.
33. Hasan, R., Alatas, H., 2002. Ilmu Kesehatan Anak, Buku Kuliah Infomedika,
Jakarta.
34. Beaglehole, R., dkk., 1997. Dasar-dasar Epidemiologi. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
35. Djauzi, S., Sundaru, H., 2003. Imunisasi Dewasa. Penerbit FK UI, Jakarta.
36. Nofareni, 2003. Status Imunisasi BCG dan Faktor Lain yang Mempengaruhi
Terjadinya Meningitis Tuberkulosa. USU Digital Library. Available at
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6245/1/anak-nofareni.pdf
37. Fletcher, Robert H., dkk., 1992. Sari Epidemiologi Klinik. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
38. Mansjoer, A.,dkk., 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga. Media
Aesculapius, Jakarta.
39. Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL, Child Neurology 7th ed. Lippincott William
& Wilkins; 2005.
40. Ahmad RG. Meningitis Bakterialis Akut dalam : Infeksi pada sistem saraf.
Surabaya: Airlangga University Pers; 2011
41. Muller ML. 2015. Pediatric Meningitis Bacterial. (http://emedicine.medscape
.com/article/961497-differential Diakses tanggal 30 januari 2016

53

Anda mungkin juga menyukai