Anda di halaman 1dari 20

PENATALAKSANAAN PENYAKIT TETANUS

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah


Penatalaksanaan Penyakit Infeksi II

Disusun oleh Kelompok 6 :


1. Anisatin Agniyatu sholekhah
2. Dwi Nur Suryani
3. Muhamad Yusup Ardabily
4. Sri Shinta Utami

Kelas : 3B

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANTEN


JURUSAN TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS
Jalan dr.Sitanala Kecamatan Neglasari Kota Tangerang
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah kami panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah Yang Maha
Kuasa, atas rahmat dan karunia-Nya, kami telah dapat menyelesaikan makalah
sederhana ini. Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk
menyelesaikan tugas mata kuliah PPI . Kami menyadari sepenuhnya bahwa
makalah ini tidak akan terealisasi tanpa bantuan dan sumbangan pikiran dari
berbagai pihak, untuk itu dengan segala kerendahan hati kami menyampaikan
ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pembuatan
makalah ini baik secara langsung ataupun tidak langsung. Semoga Allah Swt.
memberikan balasan atas semua kebaikan teman-teman, Aamiin.
Usaha dan segala kiat telah kami upayakan, namun tentu saja makalah ini
banyak kekurangan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran untuk
perbaikan dan kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami berharap agar
makalah ini bermanfaat khususnya bagi kami , umumnya bagi pembaca.

Tangerang, 09 Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................... 2
1.3 Tujuan...................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tetanus.................................................................................. 3
2.2 Epidemiologi Penyakit Tetanus.............................................................. 3
2.3 Penyebab Penyakit Tetanus..................................................................... 6
2.4 Gejala Klinis............................................................................................ 7
2.5 Pemeriksaan Fisik................................................................................... 9
2.6 Pemeriksaan Laboratorium..................................................................... 11
2.7 Pencegahan Penyakit Tetanus................................................................ 12
2.8 Penularan Penyakit Tetanus................................................................... 13
2.9 Penatalaksanaan...................................................................................... 13
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.............................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 17

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh
dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus
dengan tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60% (WHO, 2011).
Selama 30 tahun terakhir, hanya terdapat sembilan penelitian RCT
(randomized controlled trials) mengenai pencegahan dan tata laksana tetanus.
Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus yang dilaporkan ke World
Health Organization (WHO). Sekitar 76 negara, termasuk di dalamnya negara
yang berisiko tinggi, tidak memiliki data serta seringkali tidak memiliki
informasi yang lengkap. Hasil survey menyatakan bahwa hanya sekitar 3%
tetanus neonatorum yang dilaporkan (Thwaites & Farrar, 2003). Berdasarkan
data penelitian yang dilakukan oleh Stanfield dan Galazka pada tahun 2002
dan data dari Vietnam diperkirakan insidensi tetanus di seluruh dunia adalah
sekitar 700.000 – 1.000.000 kasus per tahun.
Di Indonesia, tetanus masih menjadi salah satu dari sepuluh besar
penyebab kematian pada anak. Meskipun insidens tetanus saat ini sudah
menurun, namun kisaran tertinggi angka kematian dapat mencapai angka
60%. Selain itu, meskipun angka kejadiannya telah menurun setiap tahunnya,
namun penyakit ini masih belum dapat dimusnahkan meskipun pencegahan
dengan imunisasi sudah diterapkan secara luas di seluruh dunia. Oleh karena
itu, diperlukan kajian lebih lanjut mengenai penatalaksanaan serta
pencegahan tetanus guna menurunkan angka kematian penderita tetanus,
khususnya pada anak.
Tetanus merupakan penyakit akut yang menyerang susunan saraf pusat
disebabkan oleh toksin tetanospasmin yang dihasilkan Clostridium tetani.
Pada luka anaerob, seperti pada luka yang kotor dan nekrotik, bakteri ini
memproduksi tetanospasmin, neurotoksin yang cukup poten. Tetanospasmin
menghambat pengeluaran neurotransmitter pada sistem saraf pusat, yang
mengakibatkan kekakuan otot. Clostridium tetani tersebar cukup luas di alam

1
dan tidak bisa diberantas. Untuk mengurangi jumlah kasus, upaya tetanus
difokuskan pada pencegahan menggunakan vaksinasi dengan imunisasi aktif
atau imunisasi pasif dan perawatan pasca paparan perawatan. Tetanus masih
menjadi masalah kesehatan yang serius, terutama di negara berkembang
karena mengancam jiwa. Tetanus merupakan penyakit yang mematikan di
negara berkembang, membunuh kurang lebih 500.000 orang pertahun.
Penyakit ini merupakan ancaman bagi orang-orang yang berisiko terinfeksi
Clostridium tetani, terutama orang-orang yang tidak tervaksinasi tetanus. Hal
ini disebabkan karena tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi
kontaminasi, perawatan luka kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran
masyarakat akan pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan penyakit tetanus ?
2. Apa epidemiologi penyakit tetanus ?
3. Apa penyebab penyakit tetanus ?
4. Apa gejala klinis penyakit tetanus ?
5. Bagaimana pemeriksaan fisik penyakit tetanus ?
6. Bagaimana pemeriksaan laboratorium penyakit tetanus ?
7. Bagaimana pencegahan penyakit tetanus ?
8. Bagaimana penularan penyakit tetanus ?
9. Bagaimana penatalaksanaan penyakit tetanus ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu penyakit tetanus
2. Untuk mengetahui Epidemiologi penyakit tetanus
3. Untuk mengetahui penyebab penyakit tetanus
4. Untuk mengetahui gejala klinis penyakit tetanus
5. Untuk mengetahui pemeriksaan fisik penyakit tetanus
6. Untuk mengetahui pemeriksaan laboratorium penyakit tetanus
7. Untuk mengetahui pencegahan penyakit tetanus
8. Untuk mengetahui penularan penyakit tetanus
9. Untuk mengetahui penatalaksanaan penyakit tetanus

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN TETANUS


Tetanus merupakan penyakit akut yang menyerang susunan saraf pusat
disebabkan oleh toksin tetanospasmin yang dihasilkan Clostridium tetani.
Pada luka anaerob, seperti pada luka yang kotor dan nekrotik, bakteri ini
memproduksi tetanospasmin, neurotoksin yang cukup poten. Tetanospasmin
menghambat pengeluaran neurotransmitter pada sistem saraf pusat, yang
mengakibatkan kekakuan otot.
Tetanus Neonatorum adalah penyakit infeksi pada neonates yang
disebabkan oleh spora tetanus yang masuk melalui tali pusat, karena
perawatan/tindakan yang tidak memenuhi syarat kebersihan (Nugroho,
2011:83). Tetanus adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh
Clostridium tetani yang menghasilkan exotoksin (Suriadi, 2010:247).
Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan
imunisasi. Penyakit ini ditandai oleh kekakuan otot dan spasme yang
diakibatkan oleh pelepasan neurotoksin (tetanospasmin) oleh Clostridium
tetani. Tetanus dapat terjadi pada orang yang belum diimunisasi, orang yang
diimunisasi sebagian, atau telah diimunisasi lengkap tetapi tidak memperoleh
imunitas yang cukup karena tidak melakukan booster secara berkala.

2.2 EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TETANUS


Tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di negara-negara
berkembang, misal Brazil, Filipina, Vietnam, Indonesia dan negara-negara
lain. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan
tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60% (WHO, 2011).
Di Indonesia, tetanus masih menjadi salah satu dari sepuluh besar
penyebab kematian pada anak, mencapai 60%.
Pada tahun 2002, jumlah estimasi yang berhubungan dengan kematian
pada semua kelompok adalah 213.000, yang terdiri dari tetanus neonatorum

3
sebanyak 180.000 (85%). Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian
perinatal dan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7 / 100 kelahiran hidup
diperkotaan dan 11- 23/ 100 kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka
kejadian tetanus pada anak di rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada
kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun. 18% kelompok > 10 tahun,
dan sisanya pada bayi.
Di Amerika serikat sebagian besar kasus tetanus terjadi akibat trauma akut,
seperti luka tusuk, laserasi atau abrasi. Tetanus didapatkan akibat trauma
didalam rumah atau selama bertani, berkebun dan aktivitas luar ruangan yang
lain. Trauma yang menyebabkan tetanus bisa berupa luka besar tetapi dapat
juga berupa luka kecil, sehingga pasien tidan mencari pertolongan medis,
bahkan pada beberapa kasus pasien tidak dapat diidentifikasi adanya trauma.
Tetanus dapat pula berkaitan dengan luka bakar, infeksi telinga tengah,
pembedahan, aborsi, dan persalina. Resiko terjadinya tetanus paling tinggi
pada populasi usia tua. Survey serologis skala luas terhadap antibodi tetanus
dan difteri yang dilakukan antara tahun 1988 – 1994 menunjukan bahwa
secara keseluruhan, 72% penduduk amerika serikat diatas 6 tahun terlindungi
terhadap tetanus. Sedangkan pada anak antara 6 - 11 tahun sebesar 91% ,
presentase ini menurut dengan bertambahnya usia. Hanya 30% individu
berusia diatas 70 tahun ( pria 45%, wanita 21%). Yang mempunyai tingkat
antibodi yang kuat (Sudoyo, Aru. W 2006. Emedicine 2008).

 Perkembangan Situasi Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal


(TMN)
Menurut WHO dan UNICEF sebelum tahun 2000 di seluruh dunia ada
sebanyak 135 negara yang sudah mencapai eliminasi TMN. Hingga akhir
tahun 2009 sudah 151 negara yang mencapai eliminasi TMN, dan 42 negara
belum mencapai eliminasi TMN1 . Per Desember 2010 masih terdapat 38
negara yang belum mencapai eliminasi TMN, terutama berada di Afrika dan
Asia2 . Hingga Februari 2012, masih terdapat 34 negara yang belum
tereliminasi TMN.

4
Data kasus tetanus neonatorum (TN) dan penyebarannya di
beberapa negara (WHO)

Eliminasi TMN di Dunia hingga Januari 2012

5
2.3 PENYEBAB PENYAKIT TETANUS
Tetanus adalah toksemia akut yang disebabkan oleh bakteri Clostridium
tetani yang berhasil masuk ke dalam luka yang menyediakan kondisi yang
menguntungkan bagi pertumbuhannya. penyakit ini menyerang sistem syaraf
pusat. Ciri khas dari tetanus adalah adanya kontraksi otot disertai rasa sakit,
otot leher kemudian diikuti dengan otot seluruh tubuh. Masa inkubasi tetanus
umumnya antara 3 – 12 hari, namun dapat akut 1 – 2 hari dan kadang-kadang
lebih dari satu bulan, semakin pendeknya masa inkubasi semakin buruk
prognosisnya.
Clostridium tetani ini adalah bakteri Gram-positif anaerob, yang
menyerang langsung di terminal sel saraf (neurotoksin), Clostridium tetani
hidup di tanah dan di tempat-tempat dengan kebersihan rendah, tumbuh pada
suhu rata-rata 37 ° C, serta tingkat pH sekitar 7 dan 7,5. Morfologi
Clostridium tetani yaitu bakteri yang memiliki bentuk tipis, bacillus,
berukuran 0,3-2 mikron dengan panjang 1,5-2 mikron.
Klasifikasi Clostridium tetani :
Kingdom : Bacteria
Division : Firmicute
Class : Clostridia
Order : Clostridiales
Family : Clostridiaceae
Genus : Clostridium
Species : Clostridium tetani.
Terdapat hubungan antara jarak tempat masuk kuman Clostridium tetani 
dengan susunan saraf pusat, dengan interval antara terjadinya luka dengan
penyakit; semakin jauh tempat invasi, masa inkubasi semakin panjang. 50%
kematian biasanya terjadi akibat kegagalan fungsi pernafasan. Jika bakteri
tetanus masuk ke dalam tubuh manusia akan terjadi infeksi, baik pada luka
yang dalam maupun pada luka yang dangkal. Selain itu, setelah proses
persalinan, bisa juga terjadi infeksi pada rahim ibu dan pusar bayi yang baru
lahir (disebut dengan tetanus neonatorum). Yang menyebabkan timbulnya

6
gejala-gejala infeksi adalah racun yang dihasilkan oleh bakteri tersebut,
bukan dari bakteri itu sendiri.
Manifestasi klinis tetanus disebabkan ketika toksin tetanus masuk ke
sistem saraf pusat. Pengaruh toksin adalah mengikat neurotransmiter inhibisi
(glisin dan asam amino butirat-gamma) di celah sinaptik, yang diperlukan
untuk menghambat impuls saraf. Hal ini menyebabkan kontraksi otot dan
kejang dimana mula-mula yang terjadi adalah sardonicus risus (senyum
kaku), trismus (umumnya dikenal sebagai “rahang kunci”), dan opisthotonus
(kaku, melengkung kembali). pasien mungkin juga mengalami demam,
banyak denyut nadi cepat, gelisah, dan kejang otot. Kebisingan dan cahaya
dapat menyebabkan kejangpada seseorang dengan tetanus. Tetanus tidak
menular dari orang ke orang dan merupakan penyakit yang bisa dilakukan
melalui vaksinasi. Infeksi Clostridium tetani tidak mengakibatkan kekebalan
tetanus.

2.4 GEJALA KLINIS


Masa inkubasi tetanus umumnya 3-21 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari
atau hingga beberapa bulan). Hal ini secara langsung berhubungan dengan
jarak dari tempat masuknya kuman Clostridium tetani (tempat luka) ke
Susunan Saraf Pusat (SSP). Secara umum semakin besar jarak antara tempat
luka dengan SSP, masa inkubasi akan semakin lama. Semakin pendek masa
inkubasi, akan semakin tinggi kemungkinan terjadinya kematian.
Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :
1. Generalized tetanus (Tetanus umum) Tetanus umum merupakan bentuk
yang sering ditemukan. Derajat luka bervariasi, mulai dari luka yang
tidak disadari hingga luka trauma yang terkontaminasi. Masa inkubasi
sekitar 7-21 hari, sebagian besar tergantung dari jarak luka dengan SSP.
Penyakit ini biasanya memiliki pola yang desendens. Tanda pertama
berupa trismus/lock jaw, diikuti dengan kekakuan pada leher, kesulitan
menelan, dan spasme pada otot abdomen. Gejala utama berupa trismus
terjadi sekitar 75% kasus, seringkali ditemukan oleh dokter gigi dan
dokter bedah mulut.

7
Gambaran klinis lainnya meliputi iritabilitas, gelisah,hiperhidrosis dan
disfagia dengan hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot punggung.
Manifestasi dini ini merefleksikan otot bulbar dan paraspinal, mungkin
karena dipersarafi oleh akson pendek. Spasme dapat terjadi berulang kali
dan berlangsung hingga beberapa menit. Spasme dapat berlangsung
hingga 3- 4 minggu. Pemulihan sempurna memerlukan waktu hingga
beberapa bulan.

2. Localized tetanus (Tetanus lokal) Tetanus lokal terjadi pada ektremitas


dengan luka yang terkontaminasi serta memiliki derajat yang bervariasi.
Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak umum dan memiliki prognosis
yang baik. Spasme dapat terjadi hingga beberapa minggu sebelum
akhirnya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat mendahului
tetanus umum tetapi dengan derajat yang lebih ringan. Hanya sekitar 1%
kasus yang menyebabkan kematian.

3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik) Tetanus sefalik umumnya terjadi


setelah trauma kepala atau terjadi setelah infeksi telinga tengah. Gejala
terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik (seringkali pada saraf
fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal hingga tetanus umum. Bentuk
tetanus ini memiliki masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis biasanya buruk.

4. Tetanus neonatorum Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus


neonatorum terjadi pada negara yang belum berkembang dan
menyumbang sekitar setengah kematian neonatus. Penyebab yang sering
adalah penggunaan alat-alat yang terkontaminasi untuk memotong tali
pusat pada ibu yang belum diimunisasi. Masa inkubasi sekitar 3-10 hari.
Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum ASI, mulut mencucu dan
spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70%.
Selain berdasarkan gejala klinis, berdasarkan derajat beratnya
penyakit, tetanus dapat dibagi menjadi empat (4) tingkatan :

8
Derajat Manifestasi Klinis
I : Ringan Trismus ringan sampai sedang;spastisitas umum tanpa
spasme atau gangguan pernapasan;tanpa disfagia atau
disfagia ringan
II : Sedang Trismus sedang; rigiditas dengan spasme ringan sampai
sedang dalam waktu singkat; laju napas>30x/menit;
disfagia ringan
III : Berat Trismus berat; spastisitas umum; spasmenya lama; laju
napas >40x/menit; laju nadi > 120 x/menit, apneic spell,
disfagia berat
IV : Sangat (derajat III + gangguan sistem otonom termasuk
berat kardiovaskular) Hipertensi berat dan takikardia yang
dapat diselang-seling dengan hipotensi relatif dan
bradikardia, dan salah satu keadaan tersebut dapat
menetap

2.5 PEMERIKSAAN FISIK


Pada pemeriksaan fisik pasien tetanus umumnya tanda vital normal,
kecuali jika sudah terjadi gangguan sistem saraf otonom. Demam tidak selalu
ada pada pasien tetanus. Pemeriksaan fisik yang terutama untuk tetanus
adalah penemuan salah satu tanda klinis yakni trismus atau risus sardonikus
atau spasme otot yang nyeri.
 Trismus adalah kekakuan pada daerah rahang dan leher yang
menyebabkan pasien sulit membuka mulut.
 Risus sardonikus adalah gambaran yang khas pada tetanus berupa spasme
pada otot wajah dimana otot bibir mengalami retraksi, mata tertutup
sebagian, elevasi alis yang membuat wajah pasien tampak seperti sedang
menyeringai. Saat mengalami spasme otot, kesadaran pasien tetap baik
dan dapat merasakan nyeri.

Tes spatula dapat dilakukan dengan memasukkan spatula lidah ke dalam


mulut pasien untuk memicu refleks muntah. Hasil negatif jika pasien
berusaha mengeluarkan spatula. Pada pasien tetanus tes ini akan merangsang
spasme otot masseter, sehingga pasien akan menggigit spatula yang
dimasukkan.
Pada pemeriksaan fisik tetanus neonatorum dapat ditemukan refleks
hisap yang lemah. Kelainan lain yang dapat ditemukan adalah bayi gelisah,

9
menangis terus menerus, risus sardonikus, rigiditas, dan opistotonus,
berdasarkan gejala klinis tetanus diklasifikasikan menjadi tetanus lokal,
tetanus generalisata, dan tetanus sefalik.
1. Tetanus Lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk tetanus yang paling ringan. Gejala
klinis yang muncul biasanya adalah spasme atau kedutan pada otot di
sekitar luka. Pasien akan mengeluhkan nyeri setiap terjadi spasme otot
tersebut. Keluhan dapat bertahan selama beberapa minggu hingga
beberapa bulan. Kematian akibat tetanus lokal sangat rendah, namun
tetap memiliki kemungkinan untuk berkembang menjadi tetanus
generalisata.
2. Tetanus Generalisata
Tetanus generalisata adalah bentuk tetanus yang paling banyak
ditemukan (>80% kasus). Tetanus generalisata bisa diawali dengan
tetanus lokal selama beberapa hari. Gejala klinis yang muncul pertama
kali biasanya adalah trismus (±90% kasus). Gejala klinis lain yang sering
muncul di awal kejadian tetanus adalah spasme dan rasa nyeri pada
daerah leher atau kaku kuduk. Pada lansia keluhan awal yang muncul
dapat berupa disfagia (kesulitan menelan).
Gejala klinis lain yang dapat muncul pada tetanus generalisata antara
lain risus sardonicus, opistotonus (spasme beberapa kelompok otot yang
menyebabkan gambaran punggung yang melengkung, lengan adduksi,
fleksi pada siku dan pergelangan tangan, serta ekstensi tungkai bawah),
dan gangguan pernapasan akibat spasme otot dinding dada, faring,
ataupun laring.
Spasme otot yang bersifat episodik dapat timbul akibat rangsangan
berupa sentuhan, cahaya, dan suara. Pada perkembangan penyakit,
spasme dapat terjadi secara spontan. Spasme otot yang terjadi dapat
menyerupai konvulsi, namun dengan kesadaran yang intak. Spasme otot
yang hebat dapat menyebabkan ruptur tendon hingga fraktur tulang.
Tetanus generalisata dapat juga diikuti dengan gangguan sistem saraf

10
otonom, yang menimbulkan takikardia atau bradikardia, instabilitas
tekanan darah, diaforesis, flushing, dan aritmia
3. Tetanus Sefalik
Tetanus sefalik merupakan bentuk tetanus yang paling jarang
terjadi. Biasanya disebabkan karena otitis media kronis atau trauma
kepala. Berbeda dengan tetanus lokal dan generalisata yang ditandai
dengan spasme, pada tetanus sefalik gejala klinis yang muncul berupa
paralisis nervus kranial. Nervus yang paling sering terkena adalah N.VII.
Tetanus yang diakibatkan karena trauma penetrasi mata dapat
menyebabkan paralisis N.III dan ptosis. Nervus lain yang sering terkena
pada tetanus sefalik adalah N.IV, IX, X, dan XII. Pada kasus tetanus
sefalik dapat juga timbul trismus, disfagia, dan kaku kuduk. Tetanus
sefalik dapat berkembang menjadi tetanus generalisata.

2.6 PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Diagnosa klinis berdasarkan klinis pada pasien, tidak tergantung
konfirmasi bakteriologis, dan tidak ada tes laboratorium yang spesifik untuk
menegakkan diagnosa tetanus. Pemeriksaan Laboratorium pada Tetanus yaitu
dengan menggunakan sampel darah rutin, tetapi pemeriksaan ini tidak
dilakukan pada hari pertama melainkan harus menunggu setidaknya 1 kali 24
jam. Hasil pemeriksaan laboratorium darah biasanya normal pada pasien
tetanus, walaupun dapat ditemukan sedikit leukositosis.
Pemeriksaan elektrolit dapat digunakan untuk menyingkirkan spasme otot
akibat hipokalsemia. Pemeriksaan kadar striknin dalam darah atau urin dapat
dilakukan untuk menyingkirkan spasme akibat keracunan striknin, bila pada
pasien tidak ditemukan port d’entree dan ada riwayat penggunaan pestisida.
Kultur sekret luka belum tentu memberikan hasil yang positif. Di lain
pihak, hasil kultur yang positif Clostridium tetani juga dapat ditemukan pada
pasien yang tidak menderita tetanus.

2.7 PENCEGAHAN PENYAKIT TETANUS

11
Menurut penelitian 1 dari 100 anak akan meninggal karena penyakit
tetanus. Pencegahan penyakit tetanus dapat dilakukan dengan imunisasi.
Imunisasi merupakan cara meningkatkan kekebalan. Imunisasi tetanus
toksoid mulai dilakukan di Indonesia pada tahun 1974, dan imunisasi DPT
bayi pada tahun 1976. Imunisasi penting diberikan untuk melindungi bayi dan
anak dari tetanus (Suhartik, 2014).
Pengendalian tetanus terutama tetanus maternal dan neonatrum di
Indonesia dilakukan dengan Imunisasi. Imunisasi DPT3 diberikan pada bayi.
Imunisasi tetanus toxoid anak sekolah yang diberikan melalui program Upaya
Kesehatan Sekolah diberikan sebagai penguatan kekebalan tubuh anak SD
Indonesia. Bila imunisasi tiga dosis DPT lengkap dan usia sekolah yaitu satu
dosis DT dan dua dosis tt/td maka kekebalan tubuh dapat bertahan sekitar 25
tahun (Kemenkes RI, 2012).
Imunisasi TT ibu hamil dan wanita subur juga dilakukan sebagai strategi
pengendalian tetanus dengan program ETN (eliminasi tetanus neonatrum).
Program ini diberikan melalui pelayanan dasar pada bayi di bulan imunisasi
anak sekolah atau BIAS. Persalinan yang bersih dan perawatan tali pusat juga
diperlukan untuk mencegah terjadinya tetanus pada bayi baru lahir
(Kemenkes, 2012).
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan manajemen luka yang baik.
Mengangkat jaringan luka yang kemungkinan terdapat spora bakteri dan yang
berkondisi baik bagi kuman. Memberhentikan produksi toksin pada luka dan
sekitarnya juga diperlukan. Seseorang dengan luka yang tidak bersih ataupun
tidak minor dan memiliki kurang dari 3 dosis tetanus toksoid atau tidak
memiliki riwayat imunisasi tetanus harus diberikan TIG serta Td atau Tdap.
Hal ini berguna sebagai dosis awal agar imunitas lebih prima menghadiapi
toksin tetanus. TIG juga dapat memberikan imunitas sementara dengan
menyajikan antitoksin langsung setalah diberikan (CDC, 2015).
Pemberian ATS dan HTIG profilaksis. Profilaksis dengan pemberian ATS
hanya efektif pada luka baru (< 6 jam) dan harus segera dilanjutkan dengan
imunisasi aktif. Dosis ATS profilaksis 3000 IU. HTIG juga dapat diberikan

12
sebagai profilaksis luka. Dosis untuk anak < 7 tahun: 4 IU/kg IM dosis
tunggal, sedangkan dosis untuk anak ≥ 7 tahun: 250 IU IM dosis tunggal.

2.8 PENULARAN PENYAKIT TETANUS


Bakteri tetanus akan masuk ke dalam tubuh, dan spora berkembang biak
menjadi bakteri baru dan mengumpul dalam luka. Kumpulan bakteri tersebut
akan menghasilkan racun yang menyerang saraf motorik dan langsung
menyebabkan gejala tetanus.
Selain itu, cara umum lain penularan tetanus antara lain:
 Luka yang terkontaminasi dengan air liur atau kotoran
 Luka yang disebabkan oleh benda menusuk kulit seperti paku, serpihan
kaca, jarum
 Luka bakar
 Luka yang dipencet
 Cedera dengan jaringan yang mati
Cara penularan tetanus yang jarang, antara lain:
 Prosedur operasi
 Luka dangkal (misalnya goresan)
 Gigitan serangga
 Penggunaan obat infus
 Suntikan ke otot
 Infeksi gigi

2.9 PENATALAKSANAAN
Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni:
 Membuang sumber tetanospasmin
Luka harus dibersihkan secara menyeluruh dan didebridement untuk
mengurangi muatan bakteri dan mencegah pelepasan toksin lebih lanjut.
Antibiotika diberikan untuk mengeradikasi bakteri, sedangkan efek untuk
tujuan pencegahan tetanus secara klinis adalah minimal. Pada penelitian di
Indonesia, metronidazole telah menjadi terapi pilihan di beberapa

13
pelayanan kesehatan. Metronidazole diberikan secara iv dengan dosis
inisial 15 mg/kg BB dilanjutkan dosis 30 mg/kg BB/hari setiap 6 jam
selama 7-10 hari. Metronidazole efektif mengurangi jumlah kuman C.
tetani bentuk vegetatif.
Sebagai lini kedua dapat diberikan penicillin procain 50.000-100.000
U/kg BB/hari selama 7-10 hari, jika hipersensitif terhadap penicillin dapat
diberi tetracycline 50 mg/kg BB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8
tahun). Penicillin membunuh bentuk vegetatif C. tetani. Sampai saat ini,
pemberian penicillin G 100.000 U/kg BB/hari iv, setiap 6 jam selama 10
hari direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah penelitian
menyatakan bahwa penicillin mungkin berperan sebagai agonis terhadap
tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama
(GABA).
 Menetralisasi toksin yang tidak terikat
Antitoksin harus diberikan untuk menetralkan toksin-toksin yang
belum berikatan. Setelah evaluasi awal, human tetanus immunoglobulin
(HTIG) segera diinjeksikan intramuskuler dengan dosis total 3.000 -
10.000 unit, dibagi tiga dosis yang sama dan diinjeksikan di tiga tempat
berbeda. Tidak ada konsensus dosis tepat HTIG. Rekomendasi British
National Formulary adalah 5.000- 10.000 unit intravena. Untuk bayi,
dosisnya adalah 500 IU intramuskular dosis tunggal. Sebagian dosis
diberikan secara infi ltrasi di tempat sekitar luka, hanya dibutuhkan sekali
pengobatan karena waktu paruhnya 25-30 hari. Makin cepat pengobatan
diberikan, makin efektif.
Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap
imunoglobulin atau komponen human immunoglobulin sebelumnya;
trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan
kontraindikasi pemberian intra muskular. Bila tidak tersedia maka
digunakan ATS dengan dosis 100.000- 200.000 unit diberikan 50.000 unit
intramuskular dan 50.000 unit intravena pada hari pertama, kemudian
60.000 unit dan 40.000 unit intramuskuler masing-masing pada hari kedua
dan ketiga. Setelah penderita sembuh, sebelum keluar rumah sakit harus

14
diberi immunisasi aktif dengan toksoid, karena seseorang yang sudah
sembuh dari tetanus tidak memiliki kekebalan.
 Perawatan penunjang (suportif )
Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek
toksin yang telah terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus
sebaiknya ditangani di ICU agar bisa diobservasi secara kontinu. Untuk
meminimalkan risiko spasme paroksismal yang dipresipitasi stimulus
ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di ruangan gelap dan tenang. Pasien
diposisikan agar mencegah pneumonia aspirasi. Cairan intravena harus
diberikan, pemeriksaan elektrolit serta analisis gas darah penting sebagai
penuntun terapi.
Penanganan jalan napas merupakan prioritas. Spasme otot, spasme
laring, aspirasi, atau dosis besar sedatif semuanya dapat mengganggu
respirasi. Sekresi bronkus yang berlebihan memerlukan tindakan
suctioning yang sering. Trakeostomi ditujukan untuk menjaga jalan nafas
terutama jika ada opistotonus dan keterlibatan otot-otot punggung, dada,
atau distres pernapasan. Kematian akibat spasme laring mendadak,
paralisis diafragma, dan kontraksi otot respirasi tidak adekuat sering
terjadi jika tidak tersedia akses ventilator.

15
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme)
tanpa disertai gangguan kesadaran yang disebabkan oleh kuman Clostridium
tetani. Tetanus adalah penyakit infeksi yang ditandai oleh kekakuan dan
kejang otot, tanpa disertai gangguan kesadaran, sebagai akibat dari toksin
kuman closteridium tetani. Masa inkubasi tetanus umumnya 3-21 hari, tetapi
bisa lebih pendek (1 hari atau hingga beberapa bulan).
Pencegahan tetanus dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi sesuai
jadwal, dan booster untuk efek imunitas yang lebih panjang terhadap toksin
tetanus. Imunisasi tetanus diberikan kepada bayi, anak-anak, ibu hamil, dan
wanita subur. Gejala klinis dari penyakit tetanus terdiri dari ringan, sedang,
berat dan sangat berat. Adapun pemeriksaan fisik penyakit tetanus yaitu
dengan ditemukannya trismus atau risus sardinokus serta tes spatula. Dan
untuk pemeriksaan laboratorium yaitu dengan pemeriksaan kultur sekret.
Adapun penatalaksanaan penyakit tetanus yaitu dengan cara membuang
sumber tetanospasmin, menetralisir toksin yang tidak terikat, dan perawatan
penunjang.

16
DAFTAR PUSTAKA

Thwa[ CITATION Put20 \l 1033 ] ites CL, Farrar JJ. 2003. Preventing and treating
tetanus. BMJ. 326:117-8.
World Health Organization. 2011. Progress towards the global elimination of
neonatal tetanus.
P,Simanjuntak. (2011). Penatalaksanaan Tetanus Pada Pasien Anak. Medula,
Volume 1, Nomor 4, Oktober 2013,1,85-93.
Putri, S.R. (2020). Pencegahan Tetanus. Jurnal Penelitian Perawat Profesional, 2,
443-450.
Wkly Epidemiol Rec. 74:73-80. (Laksm, 2014)
Alomedika.”Diagnosis Penyakit Neurologi Tetanus”,
https://www.alomedika.com/penyakit/neurologi/tetanus/diagnosis

17

Anda mungkin juga menyukai