Anda di halaman 1dari 43

Refleksi Kasus Januari 2017

REGIONAL ANESTESI
PADA PASIEN APPENDICITIS

Disusun Oleh:
RIRIS SUTRISNO
N 111 11 029

Pembimbing Klinik:
dr. Imtihanah Amri, M.Kes, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2017

1
BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthetos, "persepsi,
kemampuan untuk merasa".Anestesi secara umum adalah suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur
lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Namun, obat-obat anestesi tidak
hanya menghilangkan rasa sakit akan tetapi juga menghilangkan kesadaran. Selain
itu, juga dibutuhkan relaksasi otot yang optimal agar operasi dapat berjalan lancar.1
Maka ilmu anestesi dan reanimasi adalah cabang ilmu kedokteran yang
mempelajari tatalaksana untuk mematikan rasa, baik rasa nyeri, takut, dan rasa tidak
nyaman yang lain sehingga pasien nyaman dan ilmu yang mempelajari tatalaksana
untuk menjaga / mempertahankan hidup dan kehidupan pasien selama operasi akibat
obat anestesia dan mengembalikannya seperti keadaan semula.1
Anestesi spinal atau subarachnoid adalah anestesi regional dengan tidakan
penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal
bertujuan utama memblok saraf sensoris untuk menghilangkan sensasi nyeri. Namun
anestesi spinal juga memblok saraf motorik sehingga mengakibatkan paresis/paralisis
di miotom yang selevel dengan dermatom yang diblok. Disamping itu juga memblok
saraf otonom dan yang lebih dominan memblok saraf simpatis sehingga terjadi
vasodilatasi dan penurunan tekanan darah4. Hipotensi adalah efek samping yang
paling sering terjadi pada anestesi spinal, dengan insidensi 38% dengan penyebab
utama adalah blokade saraf simpatis.2
Anestesi spinal telah mempunyai sejarah panjang keberhasilan (>90% tingkat
keberhasilan). Kemudahan dan sejarah panjang keberhasilan anestesi spinal
memberikan kesan bahwa teknik ini sederhana dan canggih. Namun demikian bukan
berarti bahwa tindakan anestesi spinal tidak ada bahaya.2
Selain keuntungan tersebut, regional anestesi juga mempunyai kekurangan
antara lain: penderita takut selama operasi berlangsung; penderita takut obat sudah

2
habis sedangkan operasi belum selesai, dalam hal ini perlu persiapan waktu yang
lama; tidak selalu efektif 100%; bisa terjadi intoksikasi bila masuk pembuluh
darah/dosis berlebihan; serta tidak praktis untuk beberapa bagian tubuh.2
Jenis-jenis regional anestesi diantaranya adalah topikal, infiltrasi, regional
anestesi pada lengan (interscalenus, suprascalenus, axillary) dan regional anestesi
pada tungkai (subarachnoid, epidural, caudal). Subarachnoid Spinal Block merupakan
suatu prosedur anestesi aman dan efektif yang dapat digunakan sebagai alternatif dari
anestesi umum. Umumnya digunakan pada operasi bagian bawah tubuh seperti
ekstremitas bawah, perineum (misalnya operasi pada genitalia atau anus), atau
abdomen bawah (misalnya ingunal herniorrhaphy).3
Appendisitis merupakan suatu keadaan timbulnya peradangan pada saluran
appendiks yang ditandai dengan nyeri pada perut bagian bawah. Appendisitis
merupakan kasus nyeri perut yang sering terjadi dan membutuhkan operasi pada
anak-anak dan orang dewasa di bawah umur 50 tahun. Appendisitis lebih sering
mengenai usia antara 10-20 tahun. Laki-laki lebih sering terkena appendisitis
dibandingkan perempuan. Pengobatan tunggal yang terbaik untuk apendisitis akut
adalah dengan jalan membuang penyebabnya (operasi appendektomi). Pasien
biasanya telah dipersiapkan dengan puasa antara 4 sampai 6 jam sebelum operasi dan
dilakukan pemasangan cairan infus agar tidak terjadi dehidrasi.6,7
Pada laporan ini akan membahas tentang pemberian anestesi regional pada
pasien yang dilakukan tindakan apendektomi.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. REGIONAL ANESTESI
a. Definisi
Regional anestesi adalah salah satu teknik anestesi untuk
anggota/daerah tubuh tertentu, khususnya daerah lengan dan abdomen
bagian bawah/tungkai. Regional anestesi menggangu transmisi impuls
pada saraf perifer dan medulla spinalis tanpa menyebabkan hilangnya
kesadaran pada pasien.1,4
Manfaat dari regional anestesi diantaranya adalah:4
1. Sebagai anestesi untuk prosedur pembedahan.
2. Menurunkan respon stress.
3. Meningkatkan aliran darah regional.
4. Untuk diagnosis atau terapi pasien dengan sindrom nyeri kronik.
b. Macam-Macam Regional Anestesi
Ada beberapa macam regional anestesi, antara lain:1,4
1. Topikal/surface anestesi: kulit; Membrane mukosa
2. Field block/infiltrasi
3. Nerve block, ganglion blok
4. Regional anestesi pada lengan:
a) Brachial plexus block
b) Supraclavicular
c) Axillary
5. Intra Venous Regional (IVR)
6. Regional anestesi pada tungkai/abdomen bawah:
a) Subarachnoid Blok (SAB)
b) Epidural single/continuous
c) Caudal

4
Adapula yang membagi tipe regional anestesi menjadi:4
1. Blokade neuroaxial sentral: epidural; spinal
2. Blok saraf perifer: minor (single nerve); mayor (multiple nerve atau
pleksus)
3. Infiltrasi
4. Topikal

BLOK SENTRAL (SPINAL, EPIDURAL)


Blok sentral juga dikenal dengan neuroaxial anestesi. Teknik ini
dilakukan dengan injeksi tunggal atau dengan menggunakan kateter untuk bolus
intermiten ataupun infus kontinu. Tempat kerja utama dari blok sentral adalah
pada akar saraf (nerve roots) melalui injeksi obat lokal anestesi kedalam CSF
(Cerebrospinal Fluids) atau ruang epidural.4,5

Tabel 1. Perbandingan Manfaat Anestesi Subarachnoid dan Epidural2


Subarachnoid Epidural Anesthesia
Anesthesia
Volume obat Kecil Besar
Onset Cepat lambata
Densitas blokade Biasanya padat Potensial untuk blokade
for sensori yang tidak
lengkap
Kemungkinan untuk Tidak ada, kecuali jika Ya, sama jika kateter
redosing kateter dimasukkan dimasukkan
(jarang)
Systemic blood levels Tidak berarti Dapat signifikan
dari obat-obatan yang
dimasukkan
Regio anatomi Lumbar Tingkat vertebral yang
mana saja
Kemampuan untuk Minimal (< 24 hours) Sangat baik and berlaku
menambah postoperative untuk beberapa hari
analgesia
a
Onset bervariasi tergantung dengan pilihan lokal anestesi

5
Anatomi columna vertebralis. Medulla spinalis dan nerve roots berada
dalam columna vertebralis. Medulla spinalis terbentang dari foramen magnum
hingga level L1 pada orang dewasa dan L3 pada anak-anak.4
Tulang vertebra terdiri atas 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah
tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Kolumna vertebralis
mempunyai lima fungsi utama, yaitu: (1) menyangga berat kepala dan dan
batang tubuh, (2) melindungi medula spinalis, (3) memungkinkan keluarnya
nervi spinalis dari kanalis spinalis, (4) tempat untuk perlekatan otot-otot, (5)
memungkinkan gerakan kepala dan batang tubuh.3,5
Tulang vertebra secara gradual dari cranial ke caudal akan membesar
sampai mencapai maksimal pada tulang sakrum kemudian mengecil
sampai apex dari tulang koksigeus. Struktur demikian dikarenakan beban yang
harus ditanggung semakin membesar dari cranial hingga caudal sampai
kemudian beban tersebut ditransmisikan menuju tulang pelvis
melalui articulatio sacroilliaca. Stabilitas kolumna vertebralis ditentukan oleh
bentuk dan kekuatan masing-masing vertebra, diskus intervertebralis, ligamen
dan otot-otot.3,4,5
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi
subaraknoid adalah lokasi medulla spinalis di dalam kolumna vertebralis.
Medulla spinalis berjalan mulai dari foramen magnum kebawah hingga menuju
ke konus medularis (segmen akhir medulla spinalis sebelum terpecah menjadi
kauda equina). Penting diperhatikan bahwa lokasi konus medularis bervariasi
antara vertebra T12 hingga L1.4
Memperhatikan susunan anatomis dari vertebra, ada beberapa landmark
yang lazim digunakan untuk memperkirakan lokasi penting pada vertebra,
diantaranya adalah:5
1. Vertebra C7: merupakan vertebra servikal dengan penonjolan yang paling
terlihat di daerah leher.

6
2. Papilla mammae: lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal
3-4.
3. Epigastrium: lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 5-6.
4. Umbilikus: lokasi ini berada setinggi vertebra torakal 10.
5. Krista Iliaka: lokasi ini berada setinggi kurang lebih vertebra lumbalis 4-
5.

Gambar 1. Kolumna Vertebralis4,5

7
Gambar 2. Perjalanan Medulla Spinalis pada Kolumna Vertebralis5

Medulla spinalis dilapisi oleh meninges yang terdiri atas pia mater,
arachnoid mater, dan dura mater. CSF terletak diantara pia mater dan arachnoid
mater di dalam subarachnoid space.4
Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan
anestesi spinal:4,5
1. Kutis
2. Subkutis: ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah meraba ruang
intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.
3. Ligamentum supraspinosum: ligamen yang menghubungkan ujung
procesus spinosus.
4. Ligamentum interspinosum.

8
5. Ligamentum flavum: ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1
cm. Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan
vertikal dari lamina ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini,
akan terasa sensasi mencengkeram dan berbeda. Sering kali bisa kita
rasakan saat melewati ligamentum dan masuk ke ruang epidural.
6. Epidural: ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah
yang keluar dari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural
telah tertusuk. Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.
7. Duramater: sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat menembus
duramater seperti saat menembus epidural.
8. Subarachnoid: merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi
spinal. Padaruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS) pada
penusukan.

Gambar 4. Lokasi Penusukan Jarum pada Anestesi Spinal4

Indikasi. Blok sentral digunakan pada hampir setiap perosedur yang


terletak di bawah leher; Sebagai teknik anestesi primer pada operasi di area
abdominal bawah (inguinal), urogenital (rectal), dan ektremitas inferior;
Pemilihan anestesi ditentukan oleh pasien dengan mendiskusikan tentang risiko
dan manfaatnya, informed consent, kecocokan teknik untuk tipe operasi,
referensi dari operator, pengalaman ahli anestesi dan status mental serta
fisiologis pasien.4

9
Kontraindikasi. Kontraindikasi blok sentral dapat dilihat pada Tabel 2.4
Tabel 2. Kontraindikasi Blok Sentral4
Absolut Relatif
Infeksi pada area injeksi Sepsis
Pasien menolak Pasien tidak kooperatif
Penyakit koagulopati atau bleeding Riwayat defisit neurologis
diathesis Demyelinating lesions
Hipovolemia berat
Peningkatan ICP (Intracranial Deformitas spinal berat
Pressure)
Stenosis aorta berat
Stenosis mitral berat

Pertimbangan teknik. Blok sentral harus dilakukan pada fasilitas


kesehatan dimana seluruh peralatan dan obat-obat yang dibutuhkan untuk
intubasi dan resusitasi tersedia dengan segera. Monitoring anestesi pembedahan
sama dengan anestesi umum meliputi tekanan darah, denyut jantung, nadi, dan
oksimetri.4
Efek blok sentral. Blokade simpatis (vasodilatasi; hipotensi); blokade
sensorik (mengganggu stimulus baik itu nyeri somatik maupun viseral);
blokade motorik.4
Keuntungan blok sentral. Morbiditas dan mortalitas dapat dikurangi
dengan blokade neuroaxial misalnya pada kasus insiden tombosis vena, emboli
pulmonal, komplikasi jantung pada pasien risiko tinggi, perdarahan dan
kebutuhan transfusi, serta depresi respirasi dan pneumonia.4
Tabel 3. Komplikasi Blok Sentral4
Jarum Obat-obatan=LA (Local Anesthesia)
Nyeri punggung Blokade yang kuat
Sakit kepala Toksisitas sistemik
Cedera saraf Toksisitas lokal
Cedera vaskular Infeksi
Infeksi
Subarachnoid Block (SAB)/Spinal Anestesi
Teknik ini dilakukan dengan memasukkan obat lokal anestesi ke dalam
ruang subarachnoid sehingga didapatkan anestesi pada segmen yang terblok, ke

10
bawah. Anestesi spinal (anestesi subaraknoid) disebut juga sebagai blok spinal
intradural atau blok intratekal.1,5,7
a) Anatomi
Corda spinalis sampai L1-L2, sehingga punksi di atas L2 bisa
menyebabkan lesi pada corda spinalis. SAB dilakukan pada rongga antara
L3-L4 atau L4-L5.1
b) Indikasi
Indikasi dari SAB adalah untuk pembedahan, daerah tubuh yang
dipersyarafi cabang T4 kebawah (daerah papila mamae kebawah).
Dengan durasi operasi yang tidak terlalu lama, maksimal 2-3 jam. Luas
daerah yang teranestesi, tergantung dari: dosis, volume, kecepatan
penyuntikan, tempat penyuntikan, dan panjang columna vertebralis.
Teknik ini digunakan pada:1,4,5
a. Bedah ekstremitas bawah
b. Bedah panggul
c. Tindakan sekitar rektum perineum
d. Bedah obstetrik-ginekologi
e. Bedah urologi
f. Bedah abdomen bawah
g. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya
dikombinasikan dengan anestesi umum ringan

c) Kontraindikasi
Kontraindikasi umum dari SAB terbagi menjadi dua yaitu
kontraindikasi absolut dan relatif.1,4,5
1. Kontraindikasi absolut:1,4,5
a) Infeksi pada tempat suntikan: infeksi pada sekitar tempat
suntikan bisa menyebabkan penyebaran kuman ke dalam
rongga subdural.

11
b) Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah
ataupun diare: karena pada anestesi spinal bisa memicu
terjadinya hipovolemia.
c) Koagulapati atau mendapat terapi koagulan.
d) Tekanan intrakranial meningkat: dengan memasukkan obat
kedalam rongga subaraknoid, maka bisa makin menambah
tinggi tekanan intrakranial, dan bisa menimbulkan komplikasi
neurologis.
e) Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim: pada anestesi
spinal bisa terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi
dan lain-lain, maka harus dipersiapkan fasilitas dan obat
emergensi lainnya.
f) Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi: Hal
ini dapat menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera
pada medulla spinalis, keterampilan dokter anestesi sangat
penting.
g) Pasien menolak.
2. Kontraindikasi relatif:1,4,5
a) Infeksi sistemik: jika terjadi infeksi sistemik, perlu
diperhatikan apakah diperlukan pemberian antibiotik. Perlu
dipikirkan kemungkinan penyebaran infeksi.
b) Infeksi sekitar tempat suntikan: bila ada infeksi di sekitar
tempat suntikan bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau
lebih kaudal.
c) Kelainan neurologis: perlu dinilai kelainan neurologis
sebelumnya agar tidak membingungkan antara efek anestesi
dan defisit neurologis yang sudah ada pada pasien
sebelumnya.
d) Kelainan psikis

12
e) Bedah lama: masa kerja obat anestesi lokal adalah kurang
lebih 90-120 menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant
dan durasi bisa bertahan hingga 150 menit.
f) Penyakit jantung: perlu dipertimbangkan jika terjadi
komplikasi ke arah jantung akibat efek obat lokal anestesi.
g) Hipovolemia ringan: sesuai prinsip obat anestesi, memantau
terjadinya hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-
obatan atau cairan.
h) Nyeri punggung kronik: kemungkinan pasien akan sulit saat
diposisikan. Hal ini berakibat sulitnya proses penusukan dan
apabila dilakukan berulang-ulang, dapat membuat pasien
tidak nyaman.
d) Kelebihan
1) Secara teknik lebih mudah (teknik LP (lumbal Puncture).4
2) Tingkat keberhasilan yang tinggi, onset cepat.4
e) Kelemahan
1) high spinal
2) Hipotensi karena blok simpatik
3) Post dural puncture headache
f) Persiapan
1) Pasien: penerangan dan premedikasi.1
2) Alat-alat: alat untuk resusitasi dan alat untuk SAB: jarum suntik,
jarum spinal, alat desinfeksi, kain penutup, kassa (semua harus
steril).1
3) Obat-obat: obat resusitasi dan obat lokal anestesi: Lidocain 2%,
Lidocain 5% (Lidoderx 5%); Adrenalin atau Bupivacain 0,5%
(semua harus steril).1
Persiapan yang diperlukan untuk melakukan anestesi spinal lebih
sederhana dibanding melakukan anestesi umum, namun selama operasi

13
wajib diperhatikan karena terkadang jika operator menghadapi penyulit
dalam operasi dan operasi menjadi lama, maka sewaktu-waktu prosedur
secara darurat dapat diubah menjadi anestesi umum.5
Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal
adalah:3,4
a. Informed consent: pasien sebelumnya diberi informasi tentang
tindakan ini (informed consent) meliputi tindakan anestesi,
kemungkinan yang akan terjadi selama operasi tindakan ini dan
komplikasi yang mungkin terjadi.
b. Pemeriksaan fisik: pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah
kulit tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi
seperti infeksi. Perhatikan juga adanya gangguan anatomis seperti
scoliosis atau kifosis, atau pasien terlalu gemuk sehingga tonjolan
processus spinosus tidak teraba.
c. Pemeriksaan laboratorium anjuran: pemeriksaan laboratorium
yang perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb, masa
protrombin (PT) dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila
diduga terdapat gangguan pembekuan darah.
Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah
persiapan alat dan obat-obatan. Peralatan dan obat yang digunakan
adalah:5
1) Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, pulse oximetri,
EKG.
2) Peralatan resusitasi/anestesia umum.
3) Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu
runcing, quincke bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil
(pencil point whitecare), dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G
atau 27G.
4) Betadine, alkohol untuk antiseptic.

14
5) Kapas/kasa steril dan plester.
6) Obat-obatan anestetik lokal.
7) Spuit 3 ml dan 5 ml.
8) Infus set.

Gambar 5. Jenis Jarum Spinal2

g) Teknik Pelaksanaan Anestesi Spinal


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada
garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Dengan persiapan
tempat lengkap dengan alat manajemen jalan napas dan resusitasi
tersedia. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan
hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi
berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya
obat.4,5
1. Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan
ketika visite pre-operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda
kemungkinan adanya kesulitan dalam penusukan, maka pasien tidak
perlu dipersiapkan untuk spinal anestesi. Setelah dimonitor,
tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri bantal
kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil.

15
Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah
teraba. Posisi lain adalah duduk.4,5
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis crista
illiaca, misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau di
atasnya berisiko trauma terhadap medula spinalis.4,5
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.4,5

Gambar 6. Posisi Duduk dan Lateral Decubitus5

4. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar


22G, 23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang
kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu
jarum suntik biasa dispo 5 cc. Tusukkan introduser sedalam kira-
kira 2 cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum
spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika
menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel)
harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring
bevel mengarah ke atas atau ke bawah, untuk menghindari
kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca
spinal. Setelah resistensi menghilang, mandarin jarum spinal
dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat

16
dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit,
hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau yakin ujung
jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar
arah jarum 90 biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal secara
kontinyu dapat dimasukan kateter.4,5
5. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya
bedah hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit
ligamentum flavum dewasa 6cm.4,5

Gambar 7. Tusukan Jarum pada Anestesi Spinal4

17
h) Respon Fisiologis Pada Anestesia Spinal
Penyuntikkan obat anestesia lokal ke dalam ruangan subarakhnoid
menghasilkan respon fisiologis yang penting dan luas. Respon fisiologis
yang terjadi kadang dibingungkan dengan komplikasi dari teknik
anestesia spinal. Pemahaman terhadap etiologi dari efek fisiologis yang
terjadi menjadi kunci dalam manajemen pasien selama anestesia spinal
dan mengerti indikasi dan kontraindikasi dari anestesia spinal.4
a. Efek Pada Kardiovaskular
Salah satu respon fisiologis yang penting terjadi pada
anestesia spinal adalah pada sistem kardiovaskular. Efek yang
terjadi sama dengan pada penggunaan kombinasi obat -1 dan -
adrenergic blockers, dimana nadi dan tekanan darah menjadi turun
sehingga terjadilah hipotensi dan bradikardi. Hal ini karena blok
simpatis yang terjadi pada anestesia spinal. Level blok simpatis
mempengaruhi respon kardiovaskular pada anestesia spinal, dimana
semakin tinggi blok saraf yang terjadi semakin besar pengaruhnya
terhadap parameter kardiovaskular.4
Hipotensi yang terjadi berhubungan dengan penurunan
cardiac output (CO) dan systemic vascular resistance (SVR). Blok
simpatis menyebabkan vasodilatasi baik pada arteri maupun vena,
namun karena jumlah darah pada vena lebih besar (kurang lebih
75% dari total volume darah) dan otot dinding pembuluh darahnya
lebih tipis dibandingkan dengan arteri, efek venodilatasi yang
terjadi lebih dominan. Akibat dari venodilatasi terjadi redistribusi
darah ke splanknik dan ekstremitas inferior yang menyebabkan
venous return atau aliran darah balik vena menuju jantung
berkurang sehingga CO menurun. Pada pasien muda yang sehat,
SVR hanya menurun 15-18%, walaupun terjadi blok simpatis yang
signifikan.4

18
Bradikardi yang terjadi selama anestesia spinal terutama pada
blok tinggi disebabkan oleh blokade pada cardioaccelerator fibers
yang terdapat dari T1 sampai T4. Bradikardi juga terjadi sebagai
respon terhadap penurunan tekanan pada atrium kanan akibat
pengisian atrium yang berkurang menyebabkan penurunan
peregangan pada reseptor kronotropik yang terdapat pada atrium
kanan dan vena-vena besar.4
b. Efek Pada Respirasi
Perubahan variabel pulmonal pada pasien sehat selama
anestesia spinal mempunyai konsekuensi klinis yang kecil. Volume
tidal tidak berubah selama anestesia spinal tinggi, dan kapasitas
vital hanya berkurang sedikit dari 4,05 menjadi 3,73 liter.
Penurunan kapasitas vital lebih disebabkan oleh penurunan
expiratory reserve volume (ERV) akibat dari paralisis otot-otot
abdomen yang penting pada ekspirasi paksa diabandingkan dengan
penurunan fungsi saraf frenikus atau diafragma. Henti nafas yang
terjadi pada anestesia spinal tidak berhubungan dengan disfungsi
saraf frenikus atau diafragma, namun disebabkan oleh hipoperfusi
pada pusat pernafasan di medula oblongata. Hal yang mendukung
pernyataan tersebut adalah kembalinya pernafasan pasien apneu
setelah mendapatkan resusitasi yang cukup baik secara farmakologi
ataupun dengan pemberian cairan untuk meningkatkan cardiac
output dan tekanan darah.4
Hal yang penting diperhatikan dalam hubungannya dengan
terjadinya paralisis otot pernafasan pada anestesia spinal adalah
otot-otot ekspiratori, karena jika terjadi paralisis pada otot-otot
tersebut, kemampuan batuk dan pembersihan sekresi bronkus
menjadi terganggu.4

19
c. Efek Pada Gastrointestinal
Organ lain yang dipengaruhi selama anestesia spinal adalah
traktus gastrointestinal. Mual dan muntah terjadi pada 20% pasien
yang mendapatkan anestesia spinal dan hal ini berhubungan dengan
terjadinya hiperperistaltik gastrointestinal akibat dari aktivitas
parasimpatis (vagus) dan relaksasi dari spinkter yang terdapat pada
traktus gastrointestinal. Atropin efektif mengurangi mual dan
muntah pada anestesia subarakhnoid yang tinggi (sampai T5). Dilain
pihak, kombinasi dari usus yang berkontraksi dan relaksasi dari
otot-otot abdominal memberi keuntungan karena hal ini
menyebabkan terciptanya kondisi yang bagus untuk operasi.4
d. Efek Pada Fungsi Ginjal
Aliran darah ginjal seperti halnya aliran darah serebral
dipelihara oleh mekanisme autoregulasi dalam hubungannya
dengan tekanan perfusi arteri. Jika tidak terjadi hipotensi yang
parah, aliran darah ginjal dan produksi urin tidak berpengaruh
selama anestesia spinal. Jika anestesia spinal menyebabkan
terjadinya penurunan tekanan perfusi arteri samapi dibawah 50
mmHg, akan terjadi penurunan aliran darah ginjal dan produksi urin
secara bertahap. Walaupun begitu, jika tekanan darah sudah
kembali normal, maka fungsi ginjal juga akan kembali normal.4
e. Efek pada Termoregulator
Hipotermia perioperatif yang terjadi pada anestesia spinal
memiliki pendekatan yang sama dengan yang terjadi pada anestesia
umum. Tiga mekanisme dasar yang menyebabkan terjadinya
hipotermia selama anestesia spinal antara lain redistribusi dari pusat
panas ke perifer akibat dari vasodilatasi oleh blok simpatis,
hilangnya termoregulasi yang berhubungan dengan penurunan
ambang vasokontriksi dan menggigil dibawah level yang terblok,

20
dan peningkatan hilangnya panas dari vasodilatasi yang terjadi
dibawah level yang terblok.4
i) Komplikasi Tindakan Anestesi Spinal
Komplikasi tindakan anestesi spinal adalah:3,5
1. Hipotensi berat. Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada
dewasa dicegah dengan memberikan infus cairan elektrolit 1000 ml
atau koloid 500 ml sebelum tindakan.
2. Bradikardia. Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,
terjadi akibat blok sampai T2.
3. Hipoventilasi. Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat
kendali nafas.
4. Trauma saraf.
5. Mual-muntah.
6. Menggigil.
7. Kejang.

B. LOKAL ANESTESI
Lokal anestesi merupakan obat yang menghambat rangsangan saraf
secara reversibel bila dikenakan secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar
cukup. Mekanisme kerja obat secara reversible menghambat Natrium channel
untuk mencegah terjadinya depolarisasi. Obat anestesi memasuki sisi
axioplasmic dan mengikat reseptor pada bagian tengah channel.4

Gambar 8. Mekanisme kerja obat lokal anestesi4

21
Obat lokal anestesia yang disuntikkan ke dalam ruangan subarakhnoid
akan mengalami pengenceran oleh cairan serebrospinal, menyebar baik ke
kranial maupun ke kaudal dan kontak dengan radiks medula spinalis yang
belum mempunyai selubung myelin. Obat anestesia lokal tidak boleh
mengandung bahan (material) yang mempunyai efek iritasi pada radiks dan
medula spinalis. Obat yang dipakai untuk anestesia spinal adalah obat yang
khusus.5
Penggunaan obat-obatan lokal anestesia yang umum dipakai dalam
anestesia spinal harus diikuti dengan pertimbangan-pertimbangan seperti
distribusi dari obat dalam cairan serebrospinalis (level dari anestesia), ambilan
obat oleh elemen-elemen saraf pada ruang subarakhnoid (tipe dari saraf yang
terblok), dan eliminasi obat dari ruangan subarakhnoid (duration of action).
Terdapat beberapa macam obat anestesia lokal yang sering dipakai pada
anestesia spinal seperti prokain, lidokain (Xylocaine), tetrakain (Pantocaine),
bupivakain (Marcaine atau Sensorcaine), dan dibukain (Cinchorcaine). Prokain
dan lidokain bersifat short-intermediate acting, sedangkan tetrakain, bupivakain
dan dibukain mempunyai sifat intermediate-long duration.5
a. Prokain
Menghasilkan anestesia spinal dengan onset efek sekitar 3 sampai 5
menit dengan durasi antara 50-60 menit. Di Amerika Serikat, prokain
untuk anestesia spinal terdapat dalam sediaan ampul sebanyak 2 ml
larutan 10%. Jika dilarutkan dengan cairan serebrospinal dalam jumlah
yang sama menghasilkan larutan prokain 5% yang mempunyai berat
hampir sama dengan cairan serebrospinal dan jika dicampur dengan
glukosa 10% dalam jumlah yang sama akan menghasilkan larutan yang
lebih berat dari cairan serebrospinal. Larutan prokain 2,5% dalam air
lebih banyak digunakan sebagai diagnostik dibandingkan dengan
anestesia spinal untuk operasi. Dosis yang disarankan berkisar antara 50-

22
100 mg untuk operasi daerah perineum dan ekstremitas inferior dan 150-
200 mg untuk operasi abdomen bagian atas.5
b. Lidokain
Juga mempunyai onset anestesia spinal dalam 3 sampai 5 menit
dengan durasi yang lebih lama dari prokain yaitu 60-90 menit. Lidokain
yang dipakai untuk anestesia spinal adalah larutan 5% dalam glukosa
7,5%. Dosis yang biasa digunakan adalah 25-50 mg untuk operasi
perineum dan saddle block anesthesia dan 75-100 mg untuk operasi
abdomen bagian atas.5
c. Tetrakain
Obat ini mempunyai onset anestesia dalam 3 sampai 6 menit
dengan durasi yang lebih lama dibandingkan dengan prokain dan lidokain
(210-240 menit). Tetrakain tersedia dalam bentuk ampul berisi kristal 20
mg dan dalam ampul sebesar 2 ml larutan 1% dalam air. Larutan 1%, jika
dicampur dengan glukosa 10% dalam jumlah yang sama (tetrakain 0,5%
dalam 5% glukosa) digunakan secara luas untuk anestesia spinal dimana
mempunyai berat yang lebih besar daripada cairan serebrospinal. Dosis
yang digunakan berkisar antara 5 mg untuk operasi daerah perineum dan
ekstremitas inferior dan 15 mg untuk operasi abdomen bagian atas.4,5
d. Bupivakain
Obat ini menghasilkan onset anestesia spinal dalam waktu 5 sampai
8 menit. Durasi anestesia yang dihasilkan sama dengan tetrakain. Di
Australia dan kebanyakan negara eropa, larutan 0,5% hipobarik atau
hiperbarik telah digunakan sebagai anestesia spinal. Dosis yang
direkomendasikan berkisar antara 8-10 mg untuk operasi perineum dan
ekstremitas inferior dan 15-20 mg untuk operasi abdomen bagian atas.4,5
Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan
anestesi spinal terdapat pada table dibawah ini.4

23
Tabel 4. Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal4

Usual Suggested Dose (mg) Duration of Effect (Minutes)


Concentration Lower Upper Local Local
extremities, abdomen anesthetic anesthetic
perineum without with
epinephrinea epinephrinea
Lidocaineb 5% in dextrose 30-50 75-100 60-75 75-90
Bupivacaine 0.75% in 5-10 12-17 90-120 100-150
dextrose
Ropivacaine 0.25-1.0% 8-12 16-18 90-120 90-120
Tetracaine 1% in dextrose 4-8 10-16 90-120 120-240
a
Epinephrine concentration 1:200,000, or 5 g/mL.
b
See discussion about current concerns with lidocaine spinal anesthesia.

Tabel 5. Anestetik lokal yang paling sering digunakan5


Anestetik lokal Berat jenis Sifat Dosis
Lidokain
2% plain 1.006 Isobarik 20-100 mg (2-5 ml)
5% dalam 1.033 Hiperbarik 20-50 mg (1-2 ml)
dekstrosa 7,5%
Bupivakain
0.5% dalam air 1.005 Isobarik 5-20 mg (1-4 ml)
0.5% dalam 1.027 Hiperbarik 5-15 mg (1-3 ml)
dekstrosa 8.25%

Obat-obat lokal anestesi berdasarkan barisitas dan densitas dapat di


golongkan menjadi tiga golongan yaitu:4,5
a. Hiperbarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat lebih
besar dari pada berat jenis cairan serebrospinal, sehingga dapat terjadi
perpindahan obat ke dasar akibat gaya gravitasi. Agar obat anestesi lokal

24
benarbenar hiperbarik pada semua pasien maka baritas paling rendah
harus 1,0015gr/ml pada suhu 37C. contoh: Bupivakain 0,5%. Contoh:
Lidokaine (xylocain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis
1.033, sifat hiperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml), Bupivakaine (markaine)
0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik, dosis 5-
15mg (1-3ml).
b. Hipobarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat lebih
rendah dari berat jenis cairan serebrospinal. Densitas cairan serebrospinal
pada suhu 370C adalah 1,003gr/ml. Perlu diketahui variasi normal cairan
serebrospinal sehingga obat yang sedikit hipobarik belum tentu menjadi
hipobarik bagi pasien yang lainnya. contoh: tetrakain,dibukain.
c. Isobarik
Secara definisi obat anestesi lokal dikatakan isobarik bila
densitasnya sama dengan densitas cairan serebrospinalis pada suhu
370C. Tetapi karena terdapat variasi densitas cairan serebrospinal, maka
obat akan menjadi isobarik untuk semua pasien jika densitasnya berada
pada rentang standar deviasi 0,999-1,001gr/ml. contoh: levobupikain
0,5%. Spinal anestesi blok mempunyai beberapa keuntungan antara
lain:perubahan metabolik dan respon endokrin akibat stres dapat
dihambat, komplikasi terhadap jantung, paru, otak dapat di
minimal, tromboemboli berkurang, relaksasi otot dapat maksimal pada
daerah yang terblok sedang pasien masih dalam keadaan sadar. Contoh:
Lidokaine (xylocain, lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik, dosis
20-100 mg (2-5 ml), Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis
1.005, sifat isobarik, dosis 5-20mg (1-4ml).

25
C. Appendisitis
Anatomi Appendiks
Appendiks memiliki panjang 6-10 cm, berbentuk vermiformis, serta berisi
massa cairan limfoid. Appendiks berasal dari aspek posteromedial caecum di
sebelah inferior taut iliocaecal. Appendiks memiliki mesenterium triangular
yang pendek (mesoappendiks) yang berasal dari sisi posterior ileum terminalis.
Mesoappendiks menempel pada caecum dan bagian proximal appendiks. Posisi
appendiks lebih sering ditemukan retrocaecal.6,7,8
Appendiks retrocaecal memanjang ke superior dan ke arah flexura
colica dextra dalam keadaan bebas. Dasar appendiks terletak di sebelah dalam
titik yang menghubungkan spina iliaca anterior superior (SIAS) dextra dengan
umbilicus (titik McBurney). Vaskularisasi appendiks berasal dari arteri
appendicularis yang merupakan cabang dari arteri ileocolica. Arteri ini berjalan
di antara lapisan mesoappendiks. Vena ileocolica mengalirkan darah dari
caecum dan appendiks untuk dibawa kembali ke jantung. Pembuluh limfatik
appendiks berjalan ke nodi lymphatici profunda mesoappendiks dan ke nodi
lympathici ileocolici yang terletak di sepanjang arteri ileocolica. Innervasi saraf
ke appendiks berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis dari plexus
mesentericus superior di mana serabut saraf simpatisnya berasal dari bagian
thoracal bawah pada medulla spinalis, sedangkan serabut saraf parasimpatisnya
berasal dari nervus vagus.6,7,8

Gambar 9. Anatomi Appendiks beserta Vaskularisasinya7

26
Definisi, Etiologi dan Penatalaksanaan Appendisitis Akut
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis.

Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran

kanan bawah rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah

abdomen darurat. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan,

tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran apendiks

vermiformis yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup

tinggi dikarenakan oleh peritonitis dan syok ketika apendiks vermiformis

yang terinfeksi hancur. Pengobatan tunggal yang terbaik untuk apendisitis

akut adalah dengan jalan membuang penyebabnya (operasi appendektomi).

Pasien biasanya telah dipersiapkan dengan puasa antara 4 sampai 6 jam

sebelum operasi dan dilakukan pemasangan cairan infus agar tidak terjadi

dehidrasi.6,7,8

27
BAB III

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Ny. R
2. Jenis Kelamin : Perempuan
3. Usia : 35 Tahun
4. Berat Badan : 42 kg
5. Agama : Islam
6. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
7. Alamat : Desa Malakosa
8. Diagnosa Pra Anastesi : Appendisitis akut
9. Jenis Pembedahan : Apendektomi
10. Tanggal Operasi : 14/12/2016
11. Tempat operasi : RSUD Undata
12. Jenis Anestesi : Regional anastesi

B. PERSIAPAN PRE OPERASI


Anamnesis :
Seorang wanita (Ny.R) umur 35 tahun masuk RS dengan keluhan nyeri perut
bagian kanan bawah. Keluhan ini sudah dirasakan sejak 5 hari sebelum masuk Rumah
Sakit, nyeri terus menerus, nyeri menjalar hingga ke bagian belakang badan. Nyeri
yang dirasakan disertai mual, muntah (2 kali), dan tidak ada tanda-tanda perdarahan
ataupun hal yang menyulitkan lainnya.
Riwayat :
Pendarahan memanjang : tidak ada Batuk lama : tidak ada Merokok : tidak ada
Alergi : tidak ada Hipertensi : tidak ada Minuman Alkohol : tidak ada
Asma : tidak ada DM : tidak ada Obat-obatan : tidak ada
Peny. Jantung : tidak ada Anestesi/operasi : tidak ada

28
Tanda vital :
TD : 110/70 mmHg N : 88x/menit P : 20x/menit S : 370C Skor Nyeri (VAS): 5
BB : 42 Kg

Pemeriksaan Fisis :
Kepala : anemis (-) sianosis (-) ikterus (-) Mallampati : I
Leher : deviasi trakhea (-) tiromental distance : (-)
Thoraks : a/simetris kiri = kanan torakoabdominal
BP : vesikuler +/+ rh (-) / (-), wh (-) / (-)
BJ I/II : reguler bising jantung : (-)
Abdomen : Peristaltik (+ ), Kesan normal. Nyeri tekan (+) bagian kanan bawah.
Ekstremitas : udem (-)
B1 (Breath) dan Evaluasi Jalan Napas: Airway: clear,
gurgling/snoring/crowing:-/-/-, potrusi mandibular (-), buka mulut 5 cm, jarak
mentohyoid 7 cm, jarak hyothyoid 6,5 cm, leher pendek (-), gerak leher bebas,
malampathy: I, obesitas (-), massa (-), gigi geligi tidak lengkap (tidak ada gigi
palsu), sulit ventilasi (-). Suara pernapasan: Vesikuler +/+, suara tambahan (-).
Riwayat asma (-), alergi (-), batuk (-), sesak (-), masalah lain pada sistem
pernapasan (-).
B2 (Blood): Akral hangat, bunyi jantung SI dan SII murni regular. Masalah
pada sistem kardiovaskular: (-)
B3 (Brain): Kesadaran composmentis GCS 15 (E4V5M6), Pupil: isokor 3
mm/3mm, RC +/+, RCL +/+. Defisit neurologis (-). Masalah pada sistem
neuro/muskuloskeletal (-).
B4 (Bladder): BAK (+), warna: kuning jernih. Masalah pada sistem
renal/endokrin: (-)
B5 (bowel): Tampak cembung (dbn), peristaltik (+) (dbn), mual (+), muntah
(+), Nyeri tekan (+) bagian kanan bawah. Masalah pada sistem hepar (-)

B6 Back & Bone: Oedem pretibial (-)

29
Lain-Lain: (-)
Laboratorium :
Hb 12,4 g/dL CT/BT 7/4 GDS 100 g/dL
Hct 36,3 % PLT 314 103/mm3 Ureum/Kreatinin 20/0,70 mg/dL
RBC 4,1 106/mm3 Leukosit 12,2 103/mm3 GOT/GPT 45/75 U/L
LED Tidak ada TSH/fT4 tidak ada Na/K/Cl tidak ada
HbsAg nonreaktif
Radiologi :
USG : VU: tampak dinding menebal
Pada regio iliaca dextra : tampak perubahan pada dinding apendiks
dengan ukuran 0,76 cm
Adnexa kanan normal
Tampak ren dextra dalam batas normal
Kesan : *Cystitis
*Appendicitis akut
EkG : Sinus ritme, heart rate: 85 bpm, ST elevasi (-), T inversi (-). kesan normal
Kesimpulan: Pasien termasuk ASA PS : 1
Mengunakan teknik anastesi : Subarachniod Blok (SAB)

C. PERSIAPAN PRE OPERATIF


Di Ruangan
Surat persetujuan operasi (+), surat persetujuan tindakan anestesi (+)
- Puasa: (+) 6 jam preop
- Persiapan Whoole blood (-)
- IVFD RL 20 tpm selama puasa

D. DI KAMAR OPERASI
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:
a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan

30
b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c. Obat-obat anestesia yang diperlukan.
d. Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
e. Menyiapkan pasien di meja operasi, memasang alat pantau tanda vital, tiang
infus, pulse oxymetri.
f. Alat-alat resusitasi (STATICS)
S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan
usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien.
A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan lidah
saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan jalan
napas.
T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.

I Introducer Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang
mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah
dimasukkan.
C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia.
S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

E. PLANING
Laporan Anestesi Durante Operatif
Jenis anestesi : Regional Anestesi, SAB L3-L4, LCS (+)
Obat : Bupivacain HCl 0,5% 15 mg
Lama anestesi : 13.10 14.40 (90 menit)
Lama operasi : 13.30 14.25 (55 menit)
Anestesiologi : dr. Ferry Lumintang, Sp.An
Ahli Bedah : dr. Roberthy M.D, Sp.B
Posisi : LLD
Infus : 1 line di tangan kiri

31
Obat-obatan yang diberikan :
Obat pre-medikasi (-)
Obat induksi : Inj. Bupivacaine HCl 0,5% 15 mg
Obat maintenance anestesi :
- Inh. O2 3 lpm
Obat durante operatif :
- Ephedrine 10 mg/IV
- Inj. Ondacentron 4mg/IV

Pasien dalam posisi berbaring miring ke kiri (Left Lateral


Decubitus/LLD), kepala menunduk, dengan lutut menekuk (fleksi maksimal),
kemudian menentukan lokasi penyuntikkan di L3-L4, yaitu di atas titik hasil
perpotongan antara garis yang menghubungkan crista iliaca dekstra dan sinistra
dengan garis vertical tulang vertebra yang berpotongan di vertebral lumbal IV.
Kemudian dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis dengan kassa steril dan
povidon iodine. Lalu dilakukan penyuntikkan di titik L3-L4 paramediana yang
sudah ditandai sebelumnya dengan menggunakan jarum spinal no.25G,
kemudian jarum spinal dilepaskan hingga tersisa kanulnya, lalu dipastikan
bahwa LCS yang berwarna jernih mengalir melalui kanul (ruang subarachnoid),
kemudian obat anestesi, yaitu Bunascan (Bupivacaine HCl 0,5%) sebanyak 3
mL (15 mg) disuntikkan dengan terlebih dahulu melakukan aspirasi untuk
memastikan kanul spinal masih tetap di ruang subarachnoid. Setelah
Bupivacaine disuntikkan setengah volumenya kembali dilakukan tindakan
aspirasi LCS untuk memastikan kanul tidak bergeser, lalu Bupivakain
disuntikkan semua. Setelah itu luka bekas suntian ditutup dengan kassa steril
dan selanjutnya pasien dibaringkan di meja operasi pada posisi supine.
Dilakukan pemeliharaan anestesi dengan pemberian oksigen 3 liter
permenit. Selama operasi berlangsung, dilakukan pemantauan monitor untuk

32
tanda-tanda vital tiap 5 menit dan mencatatnya di lembaran follow up anestesi.
Medikasi yang diberikan selama pembedahan berlangsung yakni Inj. Ephedrine
10 mg.
Pemberian Cairan
a. Cairan masuk:
Pre operatif: Kristaloid RL 100 cc
Durante operatif: Kristaloid RL 800 cc
Total input cairan: 900 cc
b. Cairan keluar:
Durante operatif: Urin (-); perdarahan 150 cc

33
140

120

100

80
Sistolik
60 Diastolik
Nadi
40

20

F. PERHITUNGAN CAIRAN

a. Input yang diperlukan selama operasi


1. Cairan Maintanance (M) : 2KgBB/jam = 242 = 84 ml/jam
2. Cairan defisit pengganti puasa (PP): lama puasa maintenance =
684 = 504 ml360 ml (cairan yang masuk saat puasa) = 144 ml
3. Cairan defisit urin dan darah selama 90 menit = urin+darah =
0 + 150 = 150 ml
b. Cairan masuk:
Kristaloid : Ringer Lactate 800 ml
Whole blood : -
Total cairan masuk : 800 ml
c. Stress Operasi
Sedang 6ccKgBB: 642 = 252 ml
d. Kebutuhan Cairan
Jam I = PP +M + SO = 252+84+252 = 588 ml
Jam II = PP + M + SO = 126+84+252 = 462 ml
Jam III = Jam II = 462 ml

34
Jam IV = M + SO = 84 + 252 = 336 ml
Lama operasi 90 menit, jadi total kebutuhan cairan adalah 1050 ml
e. Perhitungan cairan pengganti darah:

Transfusi + 3 cairan kristaloid = volume perdarahan

0 + 3= 150 cc

3= 150 cc

Untuk mengganti kehilangan darah 150 cc diperlukan 450 cc cairan


kristaloid.

f. Keseimbangan kebutuhan:
Cairan masuk cairan dibutuhkan = 800 ml 1050 ml = - 470 ml

G. POST OPERATIF

GCS : E4V5M6
Tekanan darah : 110/60 mmHg
Nadi : 70 /menit
RR : 20 /menit
Temperatur : 36,5C
Skor Nyeri (VAS): 3
Skor pemulihan pasca anestesi
- Aktivitas = mampu menggerakkan 4 ekstremitas (2)
- Respirasi = Mampu bernapas dalam dan batuk bebas (2)
- Sirkulasi = TD 20% dari nilai pre anestesi (2)
- Kesadaran = sadar, siaga, orientasi (2)
- Warna kulit = pucat kuning (SpO2 >90% dengan suplemen O2) (1)
Skor Aldrette (9)

35
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien Ny. R berusia 35 tahun dengan diagnosis Appendisitis akut, dan akan
dilakukan tindakan Apendektomi pada tanggal 14 Desember 2016. Penanganan awal
terhadap pasien ini adalah melakukan penilaian preoperatif melalui anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesa terhadap pasien menggunakan metode AMPLE yaitu menanyakan
tentang riwayat alergi, riwayat medikasi, riwayat penyakit sebelumnya (past medical
history), riwayat makan terakhir (last meal), kejadian yang dialami oleh pasien
(event). Pada saat preoperatif tanggal 13 Desember 2016 kepada pasien ini,
didapatkan bahwa pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan dan
makanan. Pasien tidak memilki riwayat asthma, atopi, maupun riwayat alergi pada
keluarga. Pasien tidak sedang menjalani pengobatan apapun dan tidak memiliki
riwayat hipertensi, dabetes mellitus, kejang, nyeri dada, maupun keterbatasan aktifitas
akibat sesak. Riwayat anestesi sebelumnya belum ada. Pasien tidak merokok maupun
mengonsumsi minuman beralkohol.
Dari hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang di dapatkan nyeri
tekan pada abdomen kanan bawah, serta pada pemeriksaan penunjang di dapatkan
peningkatan leukosit (WBC: 12,2 103/mm3), dan cystitis serta appendicitis akut pada
pemeriksaan USG. pasien ini di diagnosa appendisitis akut dan di lakukan tindakan
apedektomi.
Memberikan edukasi kepada pasien untuk puasa 6 jam pre op dalam hal ini
pasien terakhir makan pukul 24.00, hal ini bertujuan agar mencegah terjadinya
aspirasi. dan dilakukan pemasangan infus RL, hal ini bertujuan untuk mencegah
terjadinya dehidrasi. Serta menjelaskan kepada pasien mengenai efek-efek anastesi
yang akan terjadi setelah tindakan operasi seperti sakit kepala, mual dan muntah.
Kemudian pasien harus menandatangani Surat persetujuan operasi dan surat
persetujuan tindakan anestesi.

36
Pada dasarnya urutan dalam anestesi terdiri atas:
1. Persiapan
2. Premedikasi
3. Induksi/anestesi
4. Maintenance Monitoring
5. Terminasi (menutup gas-gas anestesi)
6. Ke RR/Recovery Room (ruang pemulihan) Monitoring
Pada tahap persiapan, dilakukan informed consent terkait tindakan yang akan
diberikan beserta konsekuensinya. Kemudian pemeriksaan fisik lokalis tempat
penyuntikan dilakukan untuk menyingkirkan kontraindikasi seperti skoliosis, kifosis,
ataupun infeksi. Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan
hematologi untuk mengetahui ada tidaknya gangguan perdarahan. Selanjutnya
dilakukan penentuan standar kesehatan pasien berdasarkan American Society of
Anesthesia. Dengan keadaan tersebut di atas, pasien termasuk dalam kategori ASA I.
Adapun pembagian kategori ASA adalah:
I : Pasien normal dan sehat fisis dan mental yang memerlukan operasi
II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan
fungsional
III : Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat yang
menyebabkan keterbatasan fungsi
IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam hidup dan
menyebabkan ketidakmampuan fungsi
V : Pasien yang tidak dapat hidup/bertahan dalam 24 jam dengan atau tanpa
operasi
VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya dapat diambil
Bila operasi yang dilakukan darurat (emergency) maka penggolongan ASA
diikuti huruf E (misalnya IE atau IIE)
Setelah penentuan ASA, kemudian ditentukan pilihan anestesi. Pada pasien ini,
pilihan anestesi yang dilakukan adalah jenis regional anestesi atau lebih tepatnya

37
spinal anestesi/Subarachnoid Block (SAB). Adapun alasan pemilihan teknik anestesi
tersebut adalah sesuai dengan indikasi anestesi spinal, yaitu: pembedahan
ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan pada rektum-perineum, bedah obstetri-
ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah, dan pada bedah abdomen atas dan
bedah pediatri yang dikombinasikan dengan anestesia umum ringan. Adapun, pada
pemeriksaan fisik ataupun laboraturium juga tidak menunjukkan adanya gangguan
yang dapat menjadi kontraindikasi, sehingga anestesi spinal dapat menjadi pilihan
dalam tindakan pada kasus ini.
Sebelum dilakukan anestesi dilakukan pemberian cairan secara cepat. Tujuan
dilakukannya pemberian cairan ini adalah untuk meminimalisir efek samping dari
anestesi spinal berupa hipotensi akibat blokade simpatis dengan cara menambah
volume intravaskuler. Pemberian cairan dapat diberikan baik menggunakan kristaloid
ataupun koloid yang memiliki masa intravaskuler lebih lama dengan berat molekul
yang lebih tinggi. Pada pasien ini, dilakukan pemberian cairan menggunakan
kristaloid Ringer laktat.
Adapun, pramedikasi pada pasien yang mana dapat diartikan sebagai pemberian
obat sebelum dilakukannya induksi bertujuan:
1. Memberikan rasa nyaman kepada pasien: menghilangkan rasa cemas,
memberikan ketenangan, membuat amnesia, memberikan analgesia dan
mencegah muntah.
2. Memudahkan atau memperlancar induksi.
3. Mengurangi dosis obat anestesi.
4. Menekan reflex yang tidak diharapkan.
5. Mengurangi sekresi: saluran nafas, saliva
6. Mengurangi resiko aspirasi.
7. Merupakan salah satu teknik anestesi
Namun, pada kasus ini tidak dilakukan pemberikan pramedikasi.
Sebelum melakukan anastesi spinal terlebih dahulu harus mengatur posisi
pasien. Dapat diposisikan Left Lateral Decubitus (LLD), atau bila sulit dengan posisi

38
LLD maka dapat dicoba posisi duduk atau berdiri, lalu dilakukan tusukan pada garis
tengah yakni posisi yang paling sering dikerjakan. Pada pasien ini anestesi dilakukan
dengan posisi LLD. Lokasi penyuntikan dapat dilakukan pada regio lumbal antara
vertebra L2-L3, L3-L4, L4-L5. Pada pasien ini anestesi spinal dilakukan pada regio
lumbal antara vertebra L4-L5.
Berikut langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal, antara lain: Setelah
memposisikan pasien pada posisi LLD atau posisi duduk, maka lakukan tindakan
disinfeksi pada kulit daerah lumbal pasien yang akan disuntik. Lakukan penyuntikan
jarum spinal di tempat penusukan, jarum spinal akan menembus kutis subkutis
ligamentum supraspinosum ligamentum interspinosum ligamentum flavum
ruang epidural duramater ruang subarachnoid. Cabut stilet lalu cairan
cerebrospinal akan menetes keluar, Kemudian lakukan aspirasi (pastikan tidak ada
darah yang keluar) dan suntikkan obat anestetik lokal yang telah disiapkan ke dalam
ruang subaraknoid.
Namun harus dipastikan sebelum penyuntikan obat anastesi, wajib di lakukan
aspirasi karena jika kita menyuntikan obat anastesi di dalam pembuluh darah maka
akan terjadi efek cardiotoksik.
Pada penyuntikan yang dipengaruhi dahulu ialah saraf simpatis dan
parasimpatis, diikuti dengan saraf untuk rasa dingin, panas, raba, dan tekan dalam.
Yang mengalami blokade terakhir yaitu serabut motoris, rasa getar (vibratory sense)
dan proprioseptif. Blokade simpatis ditandai dengan adanya kenaikan suhu kulit
tungkai bawah.
Komplikasi yang mungkin terjadi pada penggunaan anestesi spinal adalah
hipotensi, nyeri saat penyuntikan, nyeri punggung, sakit kepala, retensio urine,
meningitis, cedera pembuluh darah dan saraf, serta anestesi spinal total.
Obatobatan yang dapat digunakan sebagai agen anestesi lokal secara umum
terbagi menjadi 2 golongan, yaitu golongan Ester, seperti prokain, kokain, dan
tetrakain; dan golongan Amide seperi prilokain, lidokain, bupivacaine, dan lain-lain.
Perbedaan penting dari keduanya adalah mekanisme yang diakibatkan oleh

39
metabolitnya, dimana golongan amide lebih sedikit dimetabolisme karena lebih stabil
dan cenderung berakumulasi dalam plasma serta tidak menyebabkan reaksi alergi.
Induksi anestesi pada pasien ini menggunakan anestesi lokal yaitu bupivakain
0,5% sebanyak 3 cc yang disuntikkan intratekhal. Bupivakain disebut juga obat
golongan amida yang digunakan pada anestesi spinal. Obat ini menghasilkan blokade
saraf sensorik dan motorik. Larutan bupivakain hiperbarik adalah larutan anestesi
lokal bupivakain yang mempunyai berat jenis lebih besar dari berat jenis cairan
serebrospinal (1,003-1,008). Cara pembuatannya adalah dengan menambahkan
larutan glukosa kedalam larutan isobarik bupivakain. Cara kerja larutan hiperbarik
bupivakain adalah melalui mekanisme hukum gravitasi, yaitu suatu zat/larutan yang
mempunyai berat jenis yang lebih besar dari larutan sekitarnya akan bergerak ke
suatu tempat yang lebih rendah. Dengan demikian larutan bupivakain hiperbarik yang
mempunyai barisitas lebih besar akan cepat ke daerah yang lebih rendah
dibandingkan dengan larutan bupivakain yang isobarik, sehingga mempercepat
penyebaran larutan bupivakain hiperbarik tersebut.
Bupivakain secara kimia dan farmakologisnya mirip dengan lidokain.
Toksisitasnya setara dengan tetrakain. Untuk infiltrasi dan blok saraf perifer dipakai
larutan 0,25-0,75%. Dosis maksimal tanpa vasokontriktor adalah 2,5 mg/kgBB dan
dengan vasokontriktor mencapai 3 mg/kgBB. Durasi kerja obat mencapai 2-4 jam
tanpa vasokontriktor dan dapat mencapai 4-8 jam dengan vasokontriktor. Konsentrasi
efektif minimal 0,125%. Setelah suntikan kaudal, epidural atau infiltrasi, kadar
plasma puncak dicapai dalam 45 menit. Kemudian menurun perlahan-lahan dalam 3-
8 jam. Pada kasus ini dengan berat badan 42 kg, dosis maksimum yang dapat
diberikan tanpa vasokontriktor adalah 162,5 mg. Pasien menerima bupivakain 0,5%
sebanyak 15 mg sehingga tidak melebihi dosis maksimum.
Anestesi spinal memiliki beberapa efek samping, salah satunya yang paling
sering adalah hipotensi yang diakibatkan blokade simpatis. Keadaan ini dapat
ditangani dengan pemberian vasokontriktor seperti phennylephrine atau ephedrine.
Pada kasus ini, selama anestesi dan pembedahan berlangsung, terdapat penurunan

40
tekanan darah sehingga dibutuhkan pemberian vasokontriktor untuk mencapai
tekanan darah awal pasien berupa pemberian ephedrine 10 mg secara bolus IV. Efek
dari efedrin yaitu menimbulkan vasokonstriksi sehingga dapat meningkatkan tekanan
darah. Pemberian injeksi Ondansentrone 4 mg pada intraoperatif untuk pencegahan
dan pengobatan mual, muntah pasca bedah, dengan dosis dewas 2-4 mg.
Ondancentron merupakan suatu antagonis reseptor serotonin 5 HT 3 selektif. Efek
samping berupa hipotensi, bronkospasme, konstipasi dan sesak nafas. Tidak ada
kesulitan selama tindakan operasi dan pasien bernapas dengan spontan.
Total kebutuhan cairan selama 90 menit operasi = 13+ 130 + 5 = 265 ml.
Dengan demikian keseimbangan kebutuhan: Cairan masuk cairan dibutuhkan = 800
ml 1050 ml = - 470 ml. Dengan kebutuhan cairan tersebut dan cairan yang telah
diterima pasien selama intraoperatif, dapat disimpulkan bahwa cairan yang diterima
pasien masih belum cukup. Sehingga program penggantian cairan dapat dilanjutkan
di ruang pemulihan dengan tetap memantau input dan outpun cairan.
Pada akhir proses pembedahan, pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dengan
melanjutkan oksigenasi 3 lpm dengan kanul oksigen, diawasi tanda vital setiap 15
menit hingga stabil, memposisikan head up hingga 24 jam pasca operasi, dan
penanganan hemodinamik pasien.

41
BAB V
KESIMPULAN

1. Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis,


penyebab paling umum adalah inflamasi akut pada kuadran kanan bawah
rongga abdomen, Apendisitis akut dapat ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pengobatan tunggal yang
terbaik untuk apendisitis akut adalah dengan jalan membuang penyebabnya
(operasi appendektomi).
2. Regional anestesi adalah salah satu teknik anestesi untuk anggota/daerah tubuh
tertentu, khususnya daerah lengan dan abdomen bagian bawah/tungkai.
3. Tipe regional anestesi terdiri adalah a) Blokade neuroaxial sentral: epidural;
spinal; b) Blok saraf perifer: minor (single nerve); mayor (multiple nerve atau
pleksus); c) Infiltrasi; d) Topikal.
4. Subarachnoid Block (SAB)/Spinal Anestesi. Teknik ini dilakukan dengan
memasukkan obat lokal anestesi ke dalam ruang subarachnoid sehingga
didapatkan anestesi pada segmen yang terblok, ke bawah. Anestesi spinal
(anestesi subaraknoid) disebut juga sebagai blok spinal intradural atau blok
intratekal.
5. Indikasi dari SAB adalah untuk pembedahan, daerah tubuh yang dipersyarafi
cabang T4 kebawah (daerah papila mamae kebawah). Dengan durasi operasi
yang tidak terlalu lama, maksimal 2-3 jam.
6. Obatobatan yang dapat digunakan sebagai agen anestesi lokal secara umum
terbagi menjadi 2 golongan, yaitu golongan Ester, seperti prokain, kokain, dan
tetrakain; dan golongan Amide seperi prilokain, lidokain, bupivacaine, dan lain-
lain.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Bagian Anestesiologi RS. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Catatan Anestesi.


Makassar: Bursa Buku Kedokteran Aesculapius; 2010.
2. Press CD. Subarachnoid Spinal Block. Medscape (Serial online). 2015 (Citied
December 29, 2016); (7 Screens). Available from:
<http://emedicine.medscape.com/article/2000841-overview>.
3. Altindas F. Regional Anesthesia. Department of Anesthesiology (Serial online).
2006 (Citied December 29, 2016); (49 Screens). Available from:<
http://194.27.141.99/dosya-depo/ders-notlari/fatis
altindas/Regional_Anesthesia.pdf>.
4. Purmono A. Buku Kuliah Anestesi. Jakarta: EGC; 2015.
5. Hemant L et all. Analgesia, Regional and local. . Medscape (Serial online).
2015 (Citied December 29, 2016); (1 Screens). Available from:
<http://emedicine.medscape.com/article/149337-overview#showall>.
6. Cole, M.A., Maldonado, N. 2011. Emergency Medicine Practice: Evidence-
Based Management of Suspected Appendicitis in the Emergency Department.
13;10: p.1-32.
7. Humes, D.J., Simpson, J. 2006. Acute Appendicitis. BMJ ;333:p.530-534.
8. Craig, S., Brenner, B.E., Hardin, E., Lober, W., Talavera, F. 2014.
Appendicitis. eMedicineMedscape. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview

43

Anda mungkin juga menyukai