Anda di halaman 1dari 20

FILARIASIS

3.1. DEFINISI Filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang hidup di saluran dan kelenjar getah bening (jaringan limfatik) yang dapat menyebabkan gejala akut dan kronis.5 Penyakit ini ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk dan diperkirakan menginfeksi sekitar 120 juta penduduk di 80 negara terutama negara tropis dan subtropis. Penyakit ini merupakan penyebab utama kecacatan, stigma sosial, hambatan psikososial dan penurunan produktivitas kerja individu, keluarga dan masyarakat sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang besar.5

3.2. EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO Penyebaran penyakit filariasis hampir merata di seluruh wilayah Indonesia dan di beberapa daerah dengan tingkat endemisitas yang cukup tinggi. Jumlah kasus penyakit filariasis di Indonesia cukup banyak. Berdasarkan hasil survei cepat tahun 2000, jumlah penderita kronis yang dilaporkan sebanyak 6.500 orang, tersebar di 1.553 desa, di 231 kabupaten dan 26 propinsi. Data ini belum menggambarkan keadaan yang sebenarnya karena hanya 3.020 Puskesmas (42%) dari 7.221 Puskesmas yang menyampaikan laporan.1 Penyakit filariasis terutama ditemukan di daerah khatulistiwa dan merupakan masalah di daerah dataran rendah. Kadang-kadang dapat juga ditemukan di daerah bukit yang tidak terlalu tinggi. Di Indonesia, penyakit ini lebih banyak ditemukan di daerah pedesaan. Yang terdapat di kota hanya W.bancrofti yang telah ditemukan di kota Jakarta, Tangerang, Pekalongan, Semarang dan beberapa kota lainnya.6 Daerah endemis filariasis di indonesia tersebar di banyak pulau di seluruh nusantara seperti Sumatera dan sekitarnya, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Prevalensi infeksi sangat variabel; ada daerah yang nonendemis dan ada pula daerahdaearh dengan derajat endemis yang tinggi seperti di Papua dan Pulau Buru dengan derajat infeksi yang dapat mencapai 70%. Prevalensi infeksi dapat berubah-ubah dari masa ke masa dan pada umumnya ada tendensi menurun dengan adanya kemajuan dalam pembangunan yang menyebabkan perubahan lingkungan.6

Survei darah jari untuk filariasis dilakukan sejak tahun 2006 dengan hasil pada tahun 2006, ditemukan 21 kasus positif filariasis, tahun 2007 nol kasus, tahun 2008 sebanyak 5 kasus dan tahun 2009 ditemukan 6 kasus. Total kasus sampai tahun 2009 ebanyak 32 kasus. Tahun 2010 tidak dilakukan survey karena adanya peengurangan anggaran, tapi ditemukan 5 orang penderita klinis.7 Pada tahun 2010 dilakukan pengobatan massal filaria pada seluruh kecamatan di Kota Padang. Sebelum dilakukan pengobatan massal telah dilatih kader sebanyak 2520 orang. Jumlah sasaran pengobatan 685.452 penduduk dengan hasil capain sebanyak 527.279 penduduk. Sementara yang ditunda pemberian obatnya sebanyak 118.994 penduduk. Penduduk yang katagori tunda adalah berusia 2 tahun, keadaan sakit berat, hamil, menyusui dan gizi buruk.7 Untuk dapat memahami epidemiologi filariasis, perlu diperhatikan faktor-faktor seperti hospes, hospes reservoar, vektor dan keadaan lingkungan yang sesuai untuk menunjang kelangsungan hidup masing-masing.6 1. Hospes Pada dasarnya, semua manusia dapat terjangkit penyakit filariasis apabila digigit oleh nyamuk vektor yang infektif. Vektor infektif mendapat mikrofilaria dari orang-orang setempat yang mengidap mikrofilaria dalam darahnya. Namun demikian, dalam kenyataannya di suatu daerah endemis, penyakit ini tidak menginfeksi semua orang dan dari semua orang yang terinfeksi tidak semua menunjukkan gejala. Biasanya, pendatang baru ke daerah endemis lebih rentan terhadap infeksi filariasis dan lebih menderita daripada penduduk asli. Pada umumnya, laki-laki banyak yang terkena infeksi karena lebih banyak kesempatan untuk mendapat infeksi (exposure).6

2. Hospes reservoar Hospes reservoar berperan sebagai sumber penyakit. Diantara cacing filaria yang menginfeksi manusia di Indonesia, hanya B.malayi yang subperiodik nokturna dan nonperiodik yang juga ditemukan pada hewan lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca fascicularis) dan kucing (Felis catus) yang dapat menjadi sumber infeksi pada manusia. Adanya hospes reservoar akan menyulitkan program pemberantasan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan untuk mengatasi keberadaan hospes reservoar sebagai sumber penyakit.6

3. Vektor Vektor penyakit filariasis adalah nyamuk. Di Indonesia telah diketahui 23 spesies nyamuk dari genus Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang dapat berperan sebagai vektor dan vektor potensial filariasis. W.bancrofti yang terdapat di perkotaan

vektornya adalah Culex quinquefasciatus yang menggunakan air kotor dan tercemar sebagai tempat perindukannya. W.bancrofti di pedesaan dapat ditularkan oleh berbagai spesies nyamuk.6 Di papua, W.bancrofti ditularkan terutama oleh Anopheles farauti yang dapat menggunakan bekas jejak kaki binatang untuk tempat perindukannya. Selain itu, terdapat Anopheles koliensis, Anopheles punctulatus, Culex annulirostris, Aedes kochi dan Aedes subpictus. B.malayi yang hidup pada manusia dan hewan biasanya ditularkan oleh berbagai spesies Mansonia seperti Mansonia uniformis, Mansonia bonneae, Mansonia dives dan lainlain yang berkembang biak di daerah rawa di Sumatera, kalimanytan, Maluku dan lain-lain. B.malayi yang periodik ditularkan oleh Anopheles barbirostris yang menggunakan sawah sebagai tempat perindukannya, seperti di daerah Sulawesi. B.timori hanya ditemukan di NTT dan Timor, ditularkan oleh Anopheles barbirostris yang berkembang biak di daerah sawah, baik di daerah pantai maupun di daerah pedalaman.6 Untuk pemberantasan vektor filariasis, blonomik (tata hidup) vektor harus diketahui, mencakup perilaku berkembangbiak, perilaku menggigit dan perilaku istirahat. Umumnya nyamuk beristirahat di tempat-tempat teduh, seperti semak-semak di sekitar tempat perindukan dan di dalam rumah pada tempat-tempat yang gelap. Beberapa sifat dari nyamuk vektor adalah menyukai darah manusia (antropofilik), menyukai darah hewan (zoofilik), menyukai darah hewan dan manusia (zooantropofilik), menggigit di luar rumah (eksofagik) dan menggigit di dalam rumah (endofagik). Perilaku nyamuk sebagai vektor filariasis menentukan distribusi penyakit ini.6

4. Keadaan lingkungan Keadaan lingkungan sangat berpengaruh terhadap keberadaan dan transmisi penyakit filariasis. Biasanya, daerah endemis B.malayi adalah daerah dengan hutan rawa, sepanjang sungai atau badan air dan tanaman air. Sedangkan daerah endemis W.bancrofti tipe perkotaan adalah daerah-daerah perkotaan yang kumuh, padat penduduknya dan banyak

genangan air kotor sebagai habitat dari vektor penularnya. Daerah endemis W.bancrofti tipe pedesaan secara umum kondisi lingkungannya sama dengan daerah endemis B.malayi.5 a. Lingkungan fisik Lingkungan fisik mencakup antara lain keadaan iklim, keadaan geografis, struktur geologi dan sebagainya. Faktor lingkungan fisik erat kaitannya dengan kehidupan vektor. Adanya lingkungan yang cocok untuk kehidupan vektor maka akan sangat potensial untuk terjadi penularan filariasis. Lingkungan fisik penting pula artinya untuk tempat perindukan dan tempat istirahat vektor. Suhu dan kelembaban mempengaruhi pertumbuhan dan umur nyamuk serta mempengaruhi tempat perindukan nyamuk. Lingkungan rawa dan adanya binatang sebagai hospes reservoar sangat mempengaruhi penyebaran filariasis B.malayi subperiodik nokturna dan nonperiodik.5 b. Lingkungan biologis5 Lingkungan biologis yang erat kaitannya dengan penularan filariasis adalah lingkungan hayati yang mempengaruhi transmisi. c. Lingkungan sosial, ekonomi dan budaya5 Lingkungan sosial, ekonomi dan budaya adalah lingkungan yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antarmanusia. Di dalam lingkungan ini termasuk perilaku, adat istiadat, budaya, kebiasaan dan tradisi penduduk. Sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat yang perlu diperhatikan antara lain adalah kebiasaan bertani/berkebun, kebiasaan bekerja pada malam hari, atau kebiasaan keluar pada malam hari sebelum tidur dan sewaktu tidur. Kebiasaan-kebiasaan tersebut berkaitan dengan kontak dengan vektor. Sehubungan dengan pekerjaannnya, laki-laki menunjukkan angka infeksi yang lebih tinggi daripada perempuan.

3.3. ETIOLOGI DAN PERJALANAN PENYAKIT Filariasis disebabkan oleh cacing Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori.6 Daur Hidup dan Morfologi W.bancrofti Cacing dewasa jantan dan betina hidup di saluran dan kelenjar limfe. Bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Yang betina berukuran 65-100 mm x 0,25 mm dan yang jantan 40 mm x 0,1 mm. cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung dengan ukuran

250-300 mikron x 7-8 mikron. Mikrofilaria ini hidup di dalam darah dan terdapat di aliran darah tepi pada waktu-waktu tertentu saja, jadi mempunyai periodisitas. Pada umumnya, mikrofilaria W.bancrofti bersifat periodisitas nokturna, artinya mikrofilaria hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam hari. Pada siang hari, mikrofilaria terdapat di kapiler alat dalam (paruparu, jantung, ginjal).6 Di daerah Pasifik, mikrofilaria W.bancrofti mempunyai periodisitas subperiodik diurna. Mikrofilaria terdapat di dalam darah siang dan malam, tetapi jumlahnya lebih banyak pada waktu siang. Di Muangthai terdapat suatu daerah yang mikrofilarianya bersifat subperiodik nokturna. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi periodisitas mikrofilaria adalah kadar zat asam dan zat lemas di dalam darah, aktivitas hospes, irama sirkadian, jenis hospes dan jenis parasit. Secara pasti, mekanisme periodisitas mikrofilaria tersebut belum diketahui.6 Daur hidup parasit ini memerlukan waktu sangat panjang. Masa pertumbuhan parasit di dalam nyamuk kurang lebih dua minggu. Pada manusia, masa pertumbuhan tersebut belum diketahui secara pasti, tetapi diduga kurang lebih 7 bulan, sama dengan masa pertumbuhan parasit ini di dalam tubuh lutung. Mikrofilaria yang terisap oleh nyamuk melepaskan sarungnya di dalam lambung, menembus dinding lambung dan bersarang diantara otot-otot toraks. Mulamula parasit ini memendek, bentuknya menyerupai sosis dan disebut larva stadium I. Dalam waktu kurang lebih seminggu, larva ini bertukar kulit, tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang, disebut larva stadium II. Pada hari kesepuluh dan selanjutnya, larva ini bertukar kulit sekali lagi, tumbuh makin panjang dan lebih kurus dan disebut larva stadium III yang infektif. Gerak larva stadium III ini sangat aktif. Bentuk ini bermigrasi, mula-mula ke rongga abdomen dan kemudian ke kepala dan alat tusuk nyamuk. Bila nyamuk yang mengandung larva infektif ini menggigit manusia, maka larva tersebut secara aktif masuk melalui luka tusuk ke dalam tubuh hospes dan bersarang di saluran limfe setempat. Di dalam tubuh hospes, larva ini mengalami dua kali pergantian kulit, tumbuh menjadi larva stadium IV, stadium V atau cacing dewasa. Umur cacing dewasa filaria 5-10 tahun.6

Daur Hidup dan Morfologi B.malayi dan B.timori Cacing dewasa jantan dan betina hidup di jaringan limfatik, bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Yang betina berukuran 55 mm x 0,16 mm (B.malayi), 21-39 mm x 0,1 m (B.timori) dan yang jantan 22-23 mm x 0,09 mm (B.malayi), 13-23 mm x 0,08 mm

(B.timori). Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung. Ukuran mikrofilaria B.malayi adalah 200-260 mikron 8 mikron x dan B.timori 280-310 mikron x 7 mikron.6 Periodisitas mikrofilaria B.malayi adalah periodik nokturna, subperiodik nokturna atau nonperiodik. Sedangkan mikrofilaria B.timori mempunyai sifat periodik nokturna. Daur hidup kedua parasit ini lebih pendek dari W.bancrofti. Masa pertumbuhannya di dalam nyamuk kurang lebih 10 hari dan pada manusia kurang lebih 3 bulan. Di dalam tubuh nyamuk kedua parasit ini juga mengalami dua kali pergantian kulit, berkembang dari larva stadium I menjadi larva stadium II dan III, menyerupai perkembangan parasit W.bancrofti. Di dalam tubuh manusia, perkembangan kedua parasit tersebut juga sama dengan perkembangan W.bancrofti.6

3. 4. DIAGNOSIS Tanda-tanda filariasis:5 1. Tahap akut Demam berulang 1-2 kali atau lebih setiap bulan selama 3-4 hari terutama bila bekerja berat dan sembuh sendiri tanpa diobati. Teraba ada urat seperti tali yang berwarna merah dan sakit dari pangkal paha atau ketiak dan berjalan ke ujung kaki atau tangan. Abses (luka infeksi) filariasis terjadi akibat seringnya pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah disertai darah. Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, kantong buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (limfadema dini)

2. Tahap kronik Terjadi pembesaran pada kaki, tangan, kantung buah zakar, payudara dan alat kelamin wanita yang hilang timbul, lama kelamaan menjadi cacat menetap. Limfedema terbagi dalam 7 stadium atas dasar hilang tidaknya bengkak, ada tidaknya lipatan kulit, ada tidaknya nodul (benjolan) serta mossy foot (gambaran seperti lumut). Penentuan stadium limfedema mengikuti kriteria berikut: Penentuan stadium limfedema terpisah antara anggota tubuh kiri dan kanan, lengan dan tungkai.

Penentuan stadium limfedema lengan (atas,bawah) atau tungkai (atas,bawah) dalam satu sisi, dibuat dalam satu stadium limfedema. Penentuan stadium limfedema berpihak pada tanda stadium yang terberat. Penentuan stadium limfedema dibuat 30 hari setelah serangan akut sembuh. Penentuan stadium limfedema dibuat sebelum/ sesudah pengobatan dan penatalaksanaan kasus.

No

Gejala

Stadium1

Stadium 2

Stadium 3

Stadium 4

Stadium 5 Menetap , meluas

Stadium 6 Menetap, meluas

Stadium 7 Menetap , meluas

1.

Bengkak dikaki

Menghilan g

Menetap

Meneteap Menetap non

waktu ,

piting , piting

bangun tidur 2. Lipatan kulit Tidak ada

edema

edema Tidak ada Dangkal Dangkal Dalam, kadangkadang dangkal Dalam, dangkal Dalam, dangkal

3.

Nodul

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada Ada

Kadangkadang

Kadangkadang Ada

Kadangkadang Kadangkadang

4.

Mossy foot

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada Tidak ada Tidak Tidak

Tidak ada Tidak

5.

Hambata n

Tidak

Tidak

Tidak

Ya

Tabel 1. Stadium dari limfedema Diagnosis parasitologi 6 1. Deteksi parasit yaitu menemukan microfilaria di dalam darah, cairan hidrokel atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal, teknik konsentrasi Knott, membrane filtrasi dan tes provokatif DEC. pengambilan darah dilakukan malam hari mengingat periodititas mikrofilarianya umumnya nokturna. Pada pemeriksaan histopatologi, kadang-kadang

potongan cacing dewasa dapat dijumpai di saluran dan kelenjar limfe dari jaringan yang dicurugai sebagai tumor. 2. Diferensiasi spesies dan stadium filarial, yaitu dengan menggunakan pelacak DNA yang spesies spesifik and antibody monoclonal untuk mengidentifikasi larva filarial dalam cairan tubuh dan dalam tubuh nyamuk vector sehingga dapat membedakan antara larva filarial yang menginfeksi manusia dengan yang menginfeksi hewan. Penggunaannya masih terbatas dalam survey. Radiologis 6 1. Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah bening inguinal pasien akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak (filarial dance sign). Ini berguna terutama untuk evaluasi hasil pengobatan. 2. Pemeriksaan limfoskintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang ditandai dengan zat radioaktifmenunjukkan adanya abnormalitas system limfatik sekalipun pada penderita asimptomatik mikrofilaremia. Diagnosis Imunologi 6 Dengan teknik ELISA dan immunochromatographic test (ICT). Kedua teknik ini pada dasarnya menggunakan antibody monoclonal yang spesifik untuk mendeteksi antigen W.bancrofti dalam sirkulasi. Hasil tes yang positif menunjukkan adanya infeksi aktif walaupun microfilaria tidak ditemukan dalam darah. Pada stadium obstruktif, microfilaria sering tidak ditemukan lagi di dalam darah. Kadang-kadang mikrofilaria tidak dijumpai di dalam darah, tetapi ada di dalam cairan hidrokel atau cairan kiluria.

3.5. TATALAKSANA 1. Pencegahan5 A. Pencegahan massal Kontrol penyakit pada populasi adalah melalui kontrol vektor (nyamuk). Namun hal ini terbukti tidak efektif mengingat panjangnya masa hidup parasit (4-8 tahun). Baru-baru ini,

khususnya dengan dikenalnya pengobatan dosis tunggal, sekali pertahun, 2 regimen obat (albendazol 400 mg dan Ivermectin 200 mg/kg BB) cukup efektif. Hal ini merupakan pendekatan alternatif dalam menurunkan jumlah mikrofilaria dalam populasi.5 Pada pengobatan massal (program pengendalian filariasis) pemberian DEC dosis standar tidak dianjurkan lagi mengingat efek sampingnya. Untuk itu, DEC diberikan dengan dosis lebih rendah (6 mg/kg BB), dengan jangka waktu pemberian yang lebih lama untuk mencapai dosis total yang sama misalnya dalam bentuk garam DEC 0,2-0,4 % selama 9-12 bulan. Atau pemberian obat dilakukan seminggu sekali, atau dosis tunggal setiap 6 bulan atau 1 bulan.5 Pengobatan massal dilakukan di daerah endemis (MF rate >1%) dengan menggunakan obat Diethyl carbamazine Citrate (DEC) dikombinasikan dengan Albendazole sekali setahun selama 5 tahun berturut-turut. Untuk mencegah reaksi pengobatan seperti demam maka diberikan Paracetamol.8 Umur (Tahun) 2-5 6-14 >14 DEC (100mg) 1 2 3 Albendazole (400mg) 1 1 1 Paracetamol (500mg) 0,25 0,5 1

Tabel.2 Dosis obat (DEC, albendazole, paracetamol) berdasarkan umur.8 B. Pencegahan individu5 Kontak dengan nyamuk terinfeksi dapat dikurangi melalui penggunaan obat oles anti nyamuk, kelambu, atau insektisida.

2. Pengobatan5 A. Perawatan umum Istirahat di tempat tidur, pindah tempat ke daerah yang dingin akan mengurangu derajat serangan akut Antibiotik dapat diberikan untuk infeksi sekunder dan abses Pangikatan di daerah pembendungan akan mengurangi edema

B. Pengobatan spesifik 1. Pengobatan infeksi Fokus pengobatan yang terbukti efektif adalah pengobatan di komunitas. Hal ini dilakukan melalui penurunan angka mikrofilaremia dengan pemberian dosis satu kali per tahun. Pengobatan perorangan ditujukan untuk menghancurkan parasit dan mengeliminasi, mengurangi, atau mencegah kesakitan. Hingga saat ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendapatkan Dietilcarbamazine (DEC) sebagai satu-satunya obat yang efektif, aman, dan relatif murah. Pengobatan dilakukan dengan pemberian DEC 6 mg/kg BB/hari selama 12 hari. Pengobatan ini dapat diulang 1 hingga 6 bulan kemudian bila perlu, atau DEC selama 2 hari per bulan (6-8 mg/kg BB/hari).5 Obat lain yang dapat digunakan adalah Ivermektin. Meski Ivermektin sangat efektif menurunkan kadar mikrofilaremia, tampaknya tidak dapat membunuh cacing dewasa, sehingga terapi tersebut tidak dapat diharapkan menyembuhkan infeksi secara menyeluruh. Albendazil bersifat makrofilarisidal untuk W. Bancrofti dengan pemberian setiap hari selama 2-3 minggu. Namun, dari penelitian dikatakan obat ini masih belum optimal. Jadi untuk mengobati individu, DEC msih digunakan.5 Efek samping DEC dibagi dalam 2 jenis. Yang pertama bersifat farmakologis, tergantung dosisnya. Yang kedua adalah respons dari hospes yang terinfeksi terhadap kematian parasit; sifatnya tidak tergantung pada dosis obat, tapi pada jumlah parasit dalam tubuh hospes.5 Ada 2 jenis reaksi: 1. Reaksi sistemik dengan atau tanpa demam, berupa sakit kepala, sakit pada berbagai bagian tubuh, sendi-sendi, pusing, anoreksia, lemah, hematuria transien, reaksi alergi, muntah, dan serangan asma. Reaksi ini terjadi karena kematian filaria dengan sepat dapat menginduksi banyak antigen sehingga merangsang sistem imun dan dengan demikian menginduksi berbagai reaksi. Reaksi ini terjadi beberapa jam setelah pemberian DEC dan berlangsung tidak lebih dari 3 hari. Demam dan reaksi sistemik jarang terjadi dan tidak terlalu hebat pada dosis kedua dan seterusnya. Reaksi ini akan hilang dengan sendirinya.5 2. Reaksi lokal dengan atau tanpa demam, berupa limfadenitis, abses, ulserasi, transien limfedema, hidrokel, funikulitis, dan epididimis. Reaksi ini cenderung terjadi kemudian

dan berlangsung lebih lama sampai beberapa bulan, tetapi akan menghilang dengan spontan.5 Reaksi lokal cenderung terjadi pada pasien dengan riwayat adenolimfangitis; berhubungan dengan keberadaan cacing dewasa atau larva s tadiuum IV dalam tubuh hospes. Efek samping pada pemberian Ivermektin, patogenesisnya sama dengan pada pemberian DEC, hanya lebih ringan pada penderita filariasis malayi dibandingkan filariasis bankrofti.5 2. Pengobatan penyakit Hidrokel besar yang tidak mengalami regesi sponyan sesudah terpai adekuat harus dioperasi dengan tujuan drainase cairan dan pembebasan tunika vaginalis yang terjebak untuk melancarkan aliran limfe. Tindakan untuk mengatasi cairan hidrokel adalah dengan aspirasi dan operasi. Aspirasi cairan hidrokel dianjurkan karena selain angka kekambuhannya tinggi, kadang kala dapat menimbulkan penyulit berupa infeksi.5 Terapi bedah dipertimbangkan apabila terapi non bedah tidak memberikan hasil yang memuaskan.5 2. Pengobatan kasus klinis (individual)5 Pada semua kasus klinis sebelum diberikan DEC, semua gejala klinis akut yang berupa demam dan gejala peradangan yang lainnya diobati dengan menggunakan oabt-obat: analgesik, antipiretik dan antibiotik apabila ada infeksi sekunder. Setelah gejala akut diatasi, penderita tersebut dapat diberikan pengobatan DEC 3x1 tablet 100mg selama 10 hari dan disertai parasetamol 3x1 tablet 500mg dalam 3 hari pertama untuk dewasa dan untuk anak-anak dosis disesuaikan dengan BB. Bila penderita berada di daerah endemis maka pada tahun berikutnya diikutsertakan pengobatan massal dengan DEC 6mg/kgBB ditambah Albendazole 400mg sekali setahun. 3. Perawatan kasus klinis5 a. perawatan dengan gejala klinis akut Istirahat yang cukup dan banyak minum Pengobatan simptomatis (obat demam, penghilang rasa sakit, gatal) bila perlu diberikan antibiotika/ anti jamur baik lokal maupun sistemik.

Pembersihan luka/ lesi kulit dan bila ada abses di insisi. Pengobatan luka/ lesi kulit dengan salep antibiotik/ anti jamur.

b. Perawatan dengan gejala klinis kronis Ada 9 komponen dalam perawatan kasus limfedema: Pencucian Pengobatan luka/ lesi kulit Latihan Meninggikan tungkai/ lengan Pemakaian alas kaki yang cocok Pemakaian verban elastik Pemakaian salep antibiotik/ anti jamur Antibiotik sistemik Bedah kosmetik

3.6. PROGNOSIS5 Stadium mikrofilaria, limfangitis, dan limfedema dapat dapat disembuhkan dengan pengobatan DEC, tetapi kasus lanjut seperti elephantiasis prognosisnya lebih buruk. 3.7. PROGRAM PEMERINTAH UNTUK PENYAKIT FILARIASIS8 Pada tahun 2000, WHO telah menetapkan kesepakatan global untuk mengeliminasi penyakit kaki gajah (The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year 2020). Indonesia sepakat untuk melakukan program eliminasi penyakit kaki gajah yang dilaksanakan bertahap diawali pada tahun 2002 berdasarkan pencanangan oleh Menteri Kesehatan RI 8 April 2002. Pemerintah telah menetapkan Program Eliminasi Filariasis sebagai salah satu prioritas nasional pemberantasan penyakit menular sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004 2009, Bab 28, D,5. Selain itu diterbitkan Surat Edaran Mendagri No. 443.43/875/SJ tentang Pedoman Pelaksanaan Pengobatan Massal Filariasis dalam rangka Eliminasi Filariasis di Indonesia, sehingga diharapkan komitmen dari pemerintah, provinsi dan kabupaten/kota akan semakin meningkat.

Pengendalian filariasis dengan pemberian obat Diethylcarbamazine Citrat (DEC) sudah mengalami beberapa kali perubahan metode sejak dimulainya program pengendalian filariasis pada tahun 1970. Kemudian terbukti bahwa pemberian obat DEC dikombinasikan dengan Albendazole dalam dosis tunggal secara masal setahun sekali selama minimal 5 tahun berturutturut sangat ampuh untuk memutus rantai penularan filariasis. Namun, upaya pengendalian filariasis terkendala dengan terbatasnya sumber daya walaupun Pemerintah dan pemda telah berupaya mendukung dan memobilisasi sumber daya untuk eliminasi filariasis tahun 2020. Pemerintah juga mendorong peran aktif masyarakat di daerah endemis filariasis, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan sektor swasta serta sektor terkait dalam menyikapi program eliminasi filariasis tersebut. . Upaya penanggulangan masalah filariasis dikembangkan atas dasar hukum dan perundangan yang berlaku serta visi, misi dan strategi Kementerian Kesehatan. a. Visi, Misi dan Strategi Strategi dan program kerja untuk eliminasi filariasis di Indonesia mengacu kepada Visi dan Misi Kementerian Kesehatan RI serta strategi yang telah ditetapkan secara resmi. Visi dan Misi Kementerian Kesehatan RI tersebut adalah: 1.VISI Masyarakat Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan. 2. MISI 1. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani. 2. Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan. 3. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan. 4. Menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik. 3. STRATEGI KEMENTERIAN KESEHATAN 1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, swasta dan masyarakat madani dalam pembangunan kesehatan melalui kerjasama nasional dan global. 2. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau bermutu dan berkeadilan, serta berbasis bukti; dengan pengutamaan pada upaya promotif dan preventif.

3. Meningkatkan pembiayaan pembangunan kesehatan, terutama untuk mewujudkan jaminan sosial kesehatan nasional. 4. Meningkatkan pengembangan dan pendayagunaan SDM kesehatan yang merata dan bermutu. 5. Meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan serta menjamin keamanan, khasiat, kemanfaatan, dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan. 6. Meningkatkan manajemen kesehatan yang akuntabel, transparan, berdaya guna, dan berhasil guna untuk memantapkan desentralisasi kesehatan yang bertanggung jawab.

b. Kebijakan Nasional Adapun kebijakan nasional eliminasi filariasis sampai dengan tahun 2020 adalah : 1) Landasan Hukum Pelaksanaan Program Produk hukum berupa dokumen penting dikeluarkan pemerintah dan merupakan dasar pelaksanan program eliminasi filariasis. i. Undang-undang No. 23 tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 No. 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3495). ii. Perpres No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005 2009 telah menetapkan Eliminasi Filariasis sebagai salah satu prioritas dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit yang bertujuan menurunkan angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat penyakit menular dan tidak menular. iii. Surat Edaran Menteri Kesehatan No. 612/MENKES/VI/2004 tanggal 1 Juni 2004 Perihal Eliminasi Penyakit Kaki Gajah (Filariasis) Indonesia. iv. Kepmenkes RI No. 1582/Menkes/SK/2005 tentang Pedoman Pengendalian Filariasis (Penyakit Kaki Gajah) v. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 443.43/875/SJ tanggal 24 April 2007 Perihal Pedoman Pelaksanaan Pengobatan Massal Filariasis Dalam Rangka Eliminasi Filariasis di Indonesia.

2) Tujuan Program Eliminasi Filariasis di Indonesia Secara umum, tujuan program eliminasi filariasis mengacu kepada tujuan pembangunan kesehatan nasional. Tujuan pembangunan kesehatan nasional adalah meningkatkan kesadaran, kesediaan dan kemampuan untuk hidup sehat tiap individu agar terwujud tingkat kesehatan masyarakat yang tinggi. Tujuan umum dari program eliminasi filariasis adalah agar filariasis tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada tahun 2020. Sedangkan tujuan khusus program adalah (a) menurunnya angka mikrofilaria menjadi kurang dari 1% di setiap kabupaten/kota, (b) mencegah dan membatasi kecacatan karena filariasis. Program eliminasi filariasis di Indonesia ini menerapkan strategi Global Elimination Lymphatic Filariasis dari WHO. Strategi ini mencakup pemutusan rantai penularan filariasis melalui POMP filariasis di daerah endemis filariasis dengan menggunakan DEC yang dikombinasikan dengan albendazole sekali setahun minimal 5 tahun, dan upaya mencegah dan membatasi kecacatan dengan penatalaksanaan kasus klinis filariasis, baik kasus akut maupun kasus kronis. b. Strategi Program Eliminasi Filariasis 2010-2014 i. ii. iii. Strategi program eliminasi filariasis selama lima tahun ke depan terdiri dari : Meningkatkan peran kepala daerah dan para pemangku kepentingan lainnya. Memantapkan perencanaan dan persiapan pelaksanaan termasuk sosialisasi pada masyarakat. iv. v. Memastikan ketersediaan obat dan distribusinya serta dana operasional. Memantapkan pelaksanaan POMP (Pemberian Obat Massal Pencegahan) filariasis yang didukung oleh sistem pengawasan dan pelaksanaan pengobatan dan pengaman kejadian ikutan pasca pengobatan. vi. Meningkatkan monitoring dan evaluasi

3) Kebijakan Upaya Pencegahan dan Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis Kebijakan dan respon Pemerintah Indonesia dalam eliminasi filariasis diterjemahkan dalam pelaksanaan program di tingkat daerah. Secara umum ada beberapa daerah yang telah melaksanakan program eliminasi filariasis, tetapi masih rendah cakupan pelaksanaannya. Situasi program eliminasi filariasis dari sisi pencapaian dan hambatan adalah sebagai berikut:

i. Pemberian obat secara masal untuk pencegahan filariasis Pencapaian: Upaya memutus rantai penularan dilakukan dengan POMP filariasis dengan obat dosis tunggal DEC, albendazol dan paracetamol. Sampai tahun 2009 hanya 97 kabupaten/kota yang melaksanakan POMP filariasis dengan sekitar 19 juta orang minum obat. Pengobatan massal dilaksanakan di daerah endemis yaitu daerah dengan angka microfilaria (Mf rate) 1% dengan unit pelaksanaan terkecil adalah kecamatan. Pengobatan massal menggunakan kombinasi DEC dosis tunggal 6 mg/kgBB, albendazole 400mg (1 tablet) dan paracetamol (sesuai takaran) yang diberikan sekali setahun selama 5 tahun. Upaya ini dimaksudkan untuk membunuh semua microfilaria dalam darah dan cacing dewasa.

Tujuan pengobatan massal : Menurunnya prevalensi (Mf rate) menjadi < 1% Menurunnya angka kesakitan akut (Acute Disease Rate/ADR) menjadi 0 Menurunnya intensitas infeksi (kepadatan microfilaria di dalam darah) Sasaran pengobatan massal : Seluruh penduduk yang tinggal di daerah endemis filariasis. Pengobatan sementara ditunda untuk : Anak-anak berusia < 2 tahun (tunggu sampai umur 2 tahun) Ibu hamil dan menyusui ( tunggu sampai lepas menyusui ) Orang yang sedang sakit (tunggu sampai sembuh) Penderita filariasis dengan serangan akut (tunggu sampai sembuh) Orang tua yang lemah Penderita dalam serangan epilepsi (ayan) Untuk pengobatan massal di Indonesia diberikan paket obat yang terdiri dari DEC, albendazole dan paracetamol yang diberikan setahun sekali selama 5 tahun pada penduduk yang berusia 2 tahun ke atas. Penduduk sebaiknya minum obat anti filariasis sesudah makan dan dalam keadaan istirahat/tidak sedang bekerja (sore). Efek samping pengobatan dengan DEC yaitu mual,muntah, pusing, emam, sakit kepala, sakit otot dan tulang, lymphangitis, lymphadenitis, lymphedema, abses, gatal-gatal, berak-berak,

keluar cacing,dll. Efek samping DEC biasanya ringan, efek samping yang berat bukan disebabkan oleh obatnya tetapi disebabkan oleh hasil pengobatan, yaitu oleh reaksi alergi terhadap microfilaria yang mati. Penjelasan dan pemahaman mengenai efek samping perlu dijelaskan kepada masyarakat yang sedang dilakukan pengobatan massal agar penderitaan yang dialami akibat penyakit kaki gajah tersebut tidaklah sebanding dengan efek karena proses pengobatan ini. Reaksi efek samping biasanya terjadi 3 sampai 5 hari kemudian menghilang dengan sendirinya. Sebelum dilakukan pengobatan massal sebaiknya dilakukan penyiapan masyarakat melalui penyuluhan yang intensif mengenai pelaksanaan pengobatan massal. Sikap dan perilaku penduduk yang diharapkan setelah dilakukan penyuluhan adalah : Penduduk bersedia diperiksa darah jarinya pada malam hari Penduduk bersedia minum obat anti filariasis satu kali setahun Penduduk segera datang memeriksakan diri di puskesmas bila setelah pengobatan ada keluhan dengan tanda-tanda penyakit seperti demam berulang, peradangan kelenjar/saluran getah bening di lipat paha/ketiak Penduduk bersedia menyebarluaskan pengetahuan tentang filariasis Penduduk berusaha secara aktif menghindarkan diri daari gigitan nyamuk Penduduk bersedia ditunjuk sebagai Tenaga Pembantu Eliminasi (TPE) penyakit kaki gajah. Syarat menjadi kader adalah dapat membaca dan menulis serta dapat diterima oleh masyarakat (akan lebih baik bila TPE adalah mantan penderita). TPE harus dilatih terlebih dahulu oleh petugas kesehatan stempat. Satu TE bertugas untuk membina 10-20 KK (50-100 orang).

Dalam pelaksanaan pengobatan, perlu dilakukan pencatatan pemberian obat setahun sekali yang dicatat dalam kartu pengobatan. Alur pelaksanaan pencatatan dalam pelaksanaan pengobatan massal dapat digambarkan sebagai berikut : Tingkat desa/ TPE Rekap laporan

Tingkat puskesmas/kecamatan Rekap laporan

Tingkat kabupaten/kota

Tingkat propinsi

Tingkat pusat Gambar.3 Alur Pencatatan dan Pelaksanaan Pengobatan Massal

Laporan kegiatan pelaksanaan pengobatan dibuat oleh Puskesmas dilaporkan ke Kabupaten menggunakan format Laporan Pelaksanaan Pengobatan Massal Fiariasis. Untuk menilai keberhasilan pelaksanaan pengobatan massal dilakukan 2 macam evaluasi yaitu : a. Evaluasi Operasional Evaluasi ini segera dilakukan setelah selesainya pelaksanaan pengobatan massal. Evaluasi operasional untuk mengetahui cakupan pengobatan, kebutuhan obat-obat simptomatik, dan adanya efek samping pengobatan massal. Evaluasi operasional

dilakukan dengan merekapitulasi laporan akhir dari TPE. Evaluasi operasional dinilai baik apabila penduduk di daerah endemis yang meminum obat anti filarial minimal cakupannya 90%. b. Evaluasi epidemiologis Tujuan evaluasi epidemiologis yaitu : Mengetahui intensitas infeksi (kepadatan microfilaria) yang dapat dihitung dengan densitas rata-rata Mengetahui keberhasilan pengobatan massal dengan indicator microfilaria rate (Mf rate) dan acute disease rate (ADR) Untuk menetapkan besarnya transmisi (infeksi) pada anak yang ahir setelah pengobatan massal. Evaluasi epidemiologis dilakukan dengan longitudinal monitoring dan evaluasi akhir pengobatan massal. Longitudial monitoring

Bertujuan untuk mengetahui penurunan prevalensi (Mf rate) dan kepadatan microfilaria setelah pengobatan massal dilakukan. Longitudinal monitoring dilakukan setiap tahun di desa sentinel site dan desa spot check setelah 6 bulan pengobatan massal. Evaluasi akhir Dilakukan setelah 5 tahun pengobatan massal. Evaluasi ini dilakukan seperti cara pelaksanaan penentuan daerah endemis yaitu survei klinis dan survey darah jari. Apabila dari hasil evaluasi ternyata Mf rat kurang dari 1% maka dilakukan pemeriksaan dengan antigen. Di daerah endemis Wuchereria bancrofti pemeriksaan antigen dengan ICT (Immuno Chromatographic Test). Di daerah endemis Brugia Malayi dan Brugia Timori dengan pemeriksaan biologi molekuler (DNA).

ii. Penatalaksanaan Kasus Pencapaian: Upaya mengurangi dan membatasi kecacatan dilakukan dengan

penatalaksanaan berbasis perawatan mandiri dan rumah sakit. Tatalaksana kasus klinis penyakit kaki gajah terdiri dari pengobatan dan perawatan kasus klinis yang harus dikerjakan secara serntak untuk mendapatkan hasil yang optimal. Pengobatan kasus klinis (individual) Pada semua kasus klinis sebelum diberikan DEC, semua gejala klinis akut yang berupa demam dan gejala peradangan yang lain diobati dengan menggunakan obat-obat analgesic, antipiretik dan antibiotic apapbila ada sekunder infeksi. Setelah gejala akut diatasi, penderita tersebut dapat diberikan pengobatan DEC 3x100 mg selama 10 hari dan disertai paracetamol 3x500 mg dalam 3 hari pertama untuk orang dewasa dan untuk anak-anak dosisnya disesuaikan dengan BB. Bila penderita berada di daerah endemism aka pada tahun berikutnya diikutsertakan dalam pengobatan massal. Perawatan kasus klinis Perawatan dengan gejala klinis akut Gejala klinis akut berupa adenolimfangitis, demam berulang, abses, orkitis, epididimitis, funikulitis. Perawatannya istirahat yang cukup dan banyak minum, pengobatan simptomatis (obat demam, penghilang rasa sakit, gatal) bila perlu diberikan antibiotika/ anti jamur baik lokal/ sistemik, pembersihan luka/ esi kulit

dan bila ada abses di insisi, pengobatan luka/lesi di kulit dengan salep antibiotika/ anti jamur. Perawatan dengan gejala klinis kronis a. Limfedema Ada 9 komponen dalam perawatan kasus limfedema yaitu : pencucian, pengobatan luka/lesi di kulit, latihan, meninggikan tungkai/lengan, pemakaian alas kaki yang cocok, pemakaian verban elastik, pemakaian salep antibiotika/ anti jamur, antibiotika sistemik, bedah kosmetik. b. Hidrokel Perawatannya antara lain menjaga kebersihan di bagian skrotum, perawatan luka/lesi jika ada dan dirujuk ke RS untuk terapi bedah. c. Kiluria Perawatannya antara lain diet rendah lemak tinggi protein, banyak minum air, istirahat yang cukup. d. Elefantiasis skrotum Perawatannya antara lain menjaga kebersihan skrotum, perawatan luka/lesi padda kulit skrotum, krim antibiotika/ anti jamur untuk luka/ lesi di kulit skrotum, dirujuk ke RS untuk terapi bedah.

Anda mungkin juga menyukai