Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin

dapat hidup di luar kandungan. Sebagai batasan ialah usia kehamilan kurang dari 20

minggu atau berat janin kurang dari 500 gram 1.

Abortus memiliki gejala pendarahan, keluranya hasil konsepsi, dan mengalami

kontraksi. Hal ini terjadi akibat adanya pembukaan dari daerah mulut rahim atau

servik. Terdapat beberapa penyebab abortus antara lain; kelainan kromosom, infeksi,

kelainan anatomis, autoimun, adanya ketidakseimbangan metabolik ibu, faktor

hematologik serta faktor lingkungan2. Secara klinis terdapat beberapa macam abortus

yaitu abortus spontan dan abortus yang di induksi. Abortus spontan terdiri dari:

abortus iminens, abortus insipiens, abortus inkompletus dan abortus kompletus,

missed abortion dan abortus habitualis. Abortus yang di induksi meliputi abortus

provokatus, septik dan medisinalis. 2

Abortus habitualis (Recurrent Miscarriage = recurrent spontaneous abortion =

recurrent pregnancy loss) didefinisikan sebagai abortus spontan yang terjadi 3 kali

atau lebih berturut-turut.2 Ibu yang mengalami kejadian ini umumnya tidak mendapat

kesulitan untuk hamil, tetapi kehamilannya tidak dapat berlanjut dan akan berhenti

sebelum waktunya. Terkadang muncul pada trimester pertama atau pada kehamilan

lebih lanjut. Dari seluruh kehamilan terdapat 0,4% kejadian abortus habitualis 1.

1
Faktor penyebab abortus habitualis sangat banyak, diantaranya adalah faktor janin,

maternal, infeksi, kelainan endometrium, namun sebesar 40% lebih tidak diketahui

faktor penyebabnya.3

Kejadian abortus di Amerika Serikat berkisar 10-20%. Di Indonesia dilaporkan

terdapat sekitar 5 juta kehamilan pertahun dengan kejadian abortus yang terjadi 37

kasus untuk setiap 1.000 wanita di usia produkif. Pada tahun 2006 ditemukan

sebanyak 42.354 orang dan riwayat abortus dengan jumlah pasien meninggal dunia

sebanyak 205 orang. Di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung tahun 2003

menyebutkan kasus abortus adalah 18-19% 3

Penyebab abortus habitualis sebagian besar tidak diketahui sehingga

penanganannya terdiri atas memperbaiki keadaan umum, pemberian makanan yang

sempurna, anjuran istirahat cukup banyak, larangan koitus dan olah raga. Terapi

dengan hormon progesteron, vitamin, hormon tiroid dan lainnya mungkin hanya

mempunyai pengaruh psikologis. Pada serviks inkompeten apabila penderita hamil,

maka dapat dilakukan operasi untuk mengecilkan ostium uteri yang sebaiknya

dilakukan pada kehamilan 12 minggu

Walaupun terjadinya abortus berturut-turut mungkin kebetulan, namun

wajar untuk memikirkan adanya sebab dasar yang mengakibatkan peristiwa berulang

ini. Sebab dasar ini kurang lebih 40% tidak diketahui; yang diketahui, dapat dibagi 3

golongan : a) kelainan pada zigot; b) gangguan fungsi endometrium, yang

menyebabkan gangguan implantasi ovum yang dibuahi dan/atau gangguan dalam

2
pertumbuhan mudigah; c) kelainan anatomik pada uterus yang dapat menghalangi

berkembangnya janin di dalamnya dengan sempurna. 4

Bila menghadapi seorang ibu dengan riwayat abortus berulang maka harus

mempelajari kasus ini dengan baik dengan melakukan pendataan tentang riwayat

suami istri dan pemeriksaan fisik ibu baik secara anatomis maupun laboratorik

Perhatikan apakah abortus terjadi pada trimester pertama atau trimester kedua. Bila

terjadi pada trimester pertama maka banyak faktor yang harus dicari sesuai

kemungkinan etiologi atau mekanisme terjadinya abortus berulang. Bila terjadi pada

trimester kedua maka faktor – faktor penyebab lebih cenderung pada faktor anatomis

terjadinya inkompetensi serviks dan adanya tumor (mioma uteri) serta infeksi yang

berat pada uterus atau serviks.1

1.Aanatomi dan Fisiologi

Uterus pada seorang dewasa berbentuk seperti buah advokat atau buah peer yang

sedikit gepeng. Ukuran panjang uterus adalah 7 - 7,5 cm, lebar di tempat yang paling

lebar 5,25 cm dan tebal 2,5 cm. uterus terdiri atas korpus uteri (2/3 bagian atas) dan

serviks uteri (1/3 bagian bawah). 4 Di dalam korpus uteri terdapat rongga (kavum

uteri), yang membuka keluar melalui saluran (kanalis servikalis) yang terletak di

serviks. Bagian bawah serviks yang terletak di vagina dinamakan porsio uteri (pars

vaginalis servisis uteri), sedangkan yang berada di atas vagina disebut pars

supravaginalis servisis uteri. Antara korpus dan serviks masih ada bagian yang disebut

isthmus uteri.4 Bagian atas uterus disebut fundus uteri. Di situ tuba fallopii kanan dan

kiri masuk ke uterus. Dinding uterus terdiri atas miometrium, yang merupakan otot

3
polos berlapis tiga; yang sebelah luar longitudinal, yang sebelah dalam sirkuler, yang

antara kedua lapisan ini beranyaman. Miometrium dalam keseluruhannya dapat

berkontraksi dan berelaksasi.4

Kavum uteri dilapisi oleh selaput lendir yang kaya dengan kelenjar, disebut

endometrium. Endometrium terdiri atas epitel kubik, kelenjar-kelenjar, dan stroma

dengan banyak pembuluh-pembuluh darah yang berkelok-kelok. Di korpus uteri

endometrium licin, akan tetapi di serviks berkelok-kelok; kelenjar-kelenjar itu

bermuara di kanalis servikalis (arbor vitae). Pertumbuhan dan fungsi endometrium

dipengaruhi sekali oleh hormon steroid ovarium. 4

Uterus ini sebenarnya terapung-apung dalam rongga pelvis dan jaringan ikat dan

ligamentum yang menyokongnya, sehingga terfiksasi dengan baik. Ligamentum yang

memfiksasi uterus adalah:3

1. Ligamentum kardinale sinistrum et dekstrum (Mackenrodt) yakni ligamentum yang

terpenting, mencegah supaya uterus tidak turun, terdiri atas jaringan ikat tebal, dan

4
berjalan dari serviks dan puncak vagina ke arah lateral dinding pelvis. Di dalamnya

ditemukan banyak pembuluh darah, antara lain vena dan arteri uterina.

2. Ligamentum sakro-uterinum sinistrum et dekstrum, yakni ligamentum yang

menahan uterus supaya tidak banyak bergerak, berjalan dari serviks bagian belakang,

kiri dan kanan, ke arah os sakrum kiri dan kanan.

3. Ligamentum rotundum sinistrum et dekstrum, yakni ligamentum yang menahan

uterus dalam antefleksi dan berjalan dari sudut fundus uteri kiri dan kanan, ke daerah

inguinal kiri dan kanan. Pada kehamilan kadang-kadang terasa sakit di daerah inguinal

waktu berdiri cepat karena uterus berkontraksi kuat, dan ligamentum rotundum

menjadi kencang serta mengadakan tarikan pada daerah inguinal. Pada persalinan ia

pun teraba kencang dan terasa sakit bila dipegang.

4. Ligamentum latum sinistrum et dekstrum, yakni ligamentum yang meliputi tuba,

berjalan dari uterus ke arah sisi, tidak banyak mengandung jaringan ikat. Sebenarnya

ligamentum ini adalah bagian peritoneum viserale yang meliputi uterus dan kedua

tuba dan berbentuk segitiga lipatan. Di bagian dorsal ligamentum ini ditemukan

indung telur (ovarium sinistrum et dekstrum). Untuk memfiksasi uterus, ligamentum

latum ini tidak banyak artinya.

5. Ligamntum infundibulo-pelvikum, yakni ligamentum yang menahan tuba Falloppii

berjalan dari arah infundibulum ke dinding pelvis. Di dalamnya ditemukan urat saraf,

saluran-saluran limfe, arteria dan vena ovarika.

5
Disamping ligamentum tersebut di atas ditemukan pada sudut kiri dan kanan

belakang fundus uteri ligamentum ovarii proprium kiri dan kanan yang menahan

ovarium. Ligamentum ovarii ini embriologis berasal dari gubernakulum; jadi

sebenarnya asalnya seperti ligamentum rotundum yang juga embriologis berasal dari

gubernakulum.3

Uterus pada wanita dewasa umumnya terletak di sumbu tulang panggul dalam

anteversiofleksio (serviks ke depan atas) dan membentuk sudut dengan vagina,

sedang korpus uteri berarah ke depan dan membentuk sudut 120o-130o dengan

serviks uteri. Di Indonesia uterus sering ditemukan dalam retrofleksio (korpus uteri

berarah ke belakang) yang pada umumnya tidak memerlukan pengobatan. 4

Perbandingan antara panjang korpus uteri dan serviks berbeda-beda dalam

6
pertumbuhan. Pada bayi perbandingan itu adalah 1:2, sedangkan pada wanita dewasa

2:1..4

Di luar, uterus dilapisi oleh serosa (peritoneum viserale). Jadi, dari luar ke dalam

ditemukan pada dinding korpus uteri serosa atau perimetrium, miometrium, dan

endometrium.4

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 DEFINSI

Abortus merupakan ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin

dapat hidup di luar kandungan, yaitu sebelum janin mencapai berat 500 gram atau

usia kehamilan kurang dari 20 minggu.1

Secara klinis terdapat beberapa macam abortus yaitu abortus spontan dan

abortus yang di induksi. Abortus spontan terdiri dari: abortus iminens, abortus

insipiens, abortus inkompletus dan abortus kompletus, missed abortion dan abortus

habitualis. Abortus yang di induksi meliputi abortus provokatus, septik dan

medisinalis. 2

Abortus habitualis (Recurrent Miscarriage= recurrent spontaneous abortion =

recurrent pregnancy loss) didefinisikan sebagai abortus spontan yang terjadi 3 kali

atau lebih berturut-turut.1,2 Kebanyakan wanita dengan abortus habitualis kehilangan

janin pada masa embrionik atau pada awal pertumbuhannya, dan sangat jarang yang

mengalami abortus setelah usia kehamilan 14 minggu. Walaupun definisi abortus

habitulis mencakup abortus yang terjadi sebanyak tiga kali atau lebih, banyak pula

yang berpendapat bahwa keguguran yang dialami sebanyak dua kali berturut-turut

dianggap sebagai abortus habitualis. Hal ini dikarenakan risiko untuk mengalami

keguguran berulang setelah dua kali abortus akan sama dengan risiko setelah

8
mengalami tiga kali abortus (kira-kira 30%). Walaupun demikian, keberhasilan

kehamilan dapat mencapai 50% bahkan setelah enam kali keguguran. 1

Abortus habitualis seharusnya dibedakan dengan abortus sporadik. Abortus

sporadik menunjukkan bahwa kejadian abortus yang terjadi diselingi dengan

kehamilan aterm dimana wanita tersebut melahirkan bayi yang sehat. Yang lainnya

membedakan abortus rekuren primer (tidak ada kehamilan yang berhasil) dengan

abortus rekuren sekunder (kehamilan sebelumnya bayi lahir hidup) dimana kelompok

terakhir tersebut 32% tidak berisiko mengalami abortus berulang sampai abortus tiga

kali berturut-turut2

1.2 EPIDEMIOLOGI

Kebanyakan penelitian menunjukkan angka keguguran spontan 10-15%. Namun,

angka keguguran pada awal kehamilan sebenarnya hampir mencapai 50% karena

tingginya jumlah kehamilan yang tidak diketahui dalam 2-4 minggu setelah

pembuahan. Sebagian besar abortus terjadi karena kegagalan pembentukan gamet

(misalnya, disfungsi sperma atau oosit). Dalam sebuah studi klasik oleh Wilcox, dkk

pada tahun 1988, 221 perempuan diamati selama 707 siklus menstruasi total.

Sebanyak 198 kehamilan dapat dicapai. Dari jumlah tersebut, 43 (22%) yang

mengalami keguguran sebelum onset menstruasi, dan lain 20 (10%) secara klinis

diketahui mengalami abortus. Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa

setelah 1 abortus spontan, risiko abortus selanjutnya adalah sekitar 15%. Namun, jika

2 abortus spontan terjadi, risiko berikutnya meningkat menjadi sekitar 30%. Angka ini

lebih tinggi bagi perempuan yang belum memiliki setidaknya 1 bayi lahir hidup.

Beberapa kelompok telah memperkirakan bahwa risiko abortus setelah 3 abortus

9
berturut-turut adalah 30-45%, yang sebanding dengan risiko pada wanita yang

mengalami abortus 2 kali. Hal ini membuat banyak kontroversi tentang waktu

evaluasi diagnostik abortus habitualis. Banyak spesialis memilih untuk menetapkan

definisi abortus habitualis setelah 2 abortus berturut-turut dibandingkan 3 kali

berturut-turut. 4

Pada umumnya penderita tidak sukar untuk hamil, tetapi kehamilannya berakhir

sebelum 28 minggu. Bishop melaporkan frekuensi 0,41% abortus habitualis pada

semua kehamilan. 1

Menurut Malpas dan Eastman kemungkinan terjadinya abortus lagi pada seorang

wanita yang mengalami abortus habitualis ialah 73% dan 83,6%. Sebaliknya Warton

dan Fraser memberikan prognosis yang lebih baik yaitu 25,9% dan 39%. 1, 2

1.3 ETIOLOGI

Abortus habitualis merupakan kondisi yang heterogen dan dapat lebih dari satu

faktor penyebabnya, beberapa diantaranya yakni:

1. Faktor Epidemiologi

a. Usia Ibu Risiko abortus meningkat dengan bertambahnya usia ibu, tanpa

memperhatikan riwayat reproduksi, sebagai akibat dari kelainan kromosom pada hasil

konsepsi yang berhubungan dengan peningkatan usia atau penurunan fungsi uterus

dan ovarium.5,6 Berikut ini merupakan hasil suatu studi tentang hubungan antara usia

dengan risiko abortus dalam kehamilan: - 13,3% pada usia 12-19 tahun - 11,1% pada

usia 20-24 tahun - 11,9% pada usia 25-29 tahun - 15% pada usia 30-34 tahun - 24,6%

pada usia 35-39% - 51% usia 40-44 tahun - 93,4% pada usia 45 tahun ke atas Baru-

baru ini peningkatan usia ayah dianggap sebagai suatu faktor risiko terjadinya

10
abortus. Suatu penelitian yang dilakukan di Eropa melaporkan bahwa risiko abortus

tertinggi ditemukan pada pasangan dimana usia wanita ≥35 tahun dan pria ≥40 tahun.

b.Riwayat reproduksi

Riwayat reproduksi Riwayat reproduksi merupakan faktor yang dapat

memprediksi suatu kehamilan di masa depan. Risiko abortus habitualis meningkat

setelah suatu abortus yang berulang terjadi (kira-kira 40%). Salah satu yang penting

dari riwayat reproduksi ini adalah riwayat abortus sebelumnya. Sebagai contoh,

primigravida dan wanita yang melahirkan anak hidup memiliki 5% kemungkinan

abortus pada kehamilan berikutnya yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan

dengan wanita memiliki riwayat abortus pada kehamilan sebelumnya (19%). 5,6

2.faktor Genetik

Kelainan kromosom pada embrio menyebabkan abortus sporadik pada trimester

pertama sekitar 50% dan 29% - 57% kejadian abortus pada pasangan dengan abortus

habitualis. Walaupun demikian, banyak studi menggunakan analisis sitogenetik

konvensional yang hanya mengidentifikasi aberasi/penyimpangan kromosom. Baru-

baru ini analisis jaringan dengan hibridisasi genomik, suatu teknik yang mendeteksi

kelainan kromosom tanpa memerlukan kulturisasi menunjukkan bahwa analisis

sitogenetika konvensional tidak menganggap penting insiden anomali kromosom dan

bahwa kontribusi kromosom abnormal terhadap kejadian abortus pada trimester

pertama hampir 70%.5

a. Kelainan penyusunan kromosom parental

Abortus adalah kasus yang sangat sering terjadi dan dianggap sebagai suatu

seleksi alam untuk memilih keturunan yang normal. Kenyataannya, ada studi yang

11
mengatakan bahwa sedikitnya 50% abortus disebabkan oleh karena kelainan

kromosom.6 Sekitar 3% - 5% pasangan dengan abortus habitualis, salah satu

pasangannya membawa kelainan kelainan struktural kromosom yang seimbang.

Wanita lebih mungkin menjadi carrier dibandingkan dengan laki-laki. Tipe kelainan

kromosom parental yang paling banyak adalah translokasi seimbang, baik timbal balik

(resiprokal) atau Robertsonian. Pada translokasi timbal balik, segmen distal terbagi

menjadi kromosom yang saling bertukar. Pada translokasi Robertsonian, dua

kromosom akrosentrik bersatu pada wilayah sentromer dengan hilangnya lengan

pendek. Walaupun carrier translokasi seimbang ini memiliki fenotip yang normal,

kehamilannya berisiko tinggi berakhir sebagai abortus dan dapat mengakibatkan

lahirnya anak dengan cacat bawaan atau cacat mental karena pengaturan kromosom

yang tidak seimbang. Risiko abortus dipengaruhi oleh ukuran dan isi genetik dari

segmen kromosom yang diatur kembali. 4,5

Translokasi yang seimbang menyebabkan abortus rekuren. Translokasi yang tidak

seimbang dapat menyebabkan abortus, anomali fetus, atau bayi lahir mati. Walaupun

demikian, prognosisnya masih baik dan 85% pasangan dapat memiliki bayi yang sehat.

Dengan demikian, riwayat abortus atau anomali fetus pada trimester kedua

seharusnya dicurigai adanya kelainan pola kromosom pada salah satu pasangan .1,2

12
Gambar 2.1. Translokasi resiprokal dan Robertsonian

b. Aneuploidi dan poliploidi embrionik

Aneuploidi disebabkan oleh nondisjungsi selama meiosis yang menghasikan

kromosom tambahan (trisomi) atau hilangnya kromosom (monosomi). Triploidi dan

tetraploidi terkait dengan fertilisasi yang tidak normal. Triploidi biasanya terjadi

karena fertilisasi oosit oleh dua spermatozoa atau akibat kegagalan salah satu bagian

pematangan baik pada oosit maupun pada spermatozoa. Tetraploidi (empat kali

jumlah haploid) biasanya disebabkan kegagalan untuk menyelesaikan pemisahan

zigotik pertama. Pada pasangan dengan abortus habitualis, analisis sitogenetik

konvensional melaporkan insiden trisomi, poliploidi dan monosomi X pada jaringan

adalah 30%, 9% dan 4%.3,5,6

Kebanyakan kelainan kromosom utama adalah trisomi autosomal, polipoid dan

monosomi X. Kebanyakan kelainan trisomi menunjukkan kesalahan tahap meiosis

sebagai efek peningkatan usia ibu, dengan kromosom 16 dan 22 paling sering terlibat.

Sekitar 30% abortus spontan karena kelainan kromosom adalah tipe triploid dan

13
tetraploid. Fetus yang triploid biasanya memiliki kromosom 69, XXY atau 69, XXX dan

berasal dari fertilisasi dispermik seperti yang telah disebutkan di atas. Beberapa hasil

konsepsi triploid muncul sebagai mola parsial yang ditandai dengan kantong

kehamilan yang besar dan degenerasi kistik plasenta. Tetraploid jarang berkembang

di bawah usia kehamilan 4 atau 5 minggu. Monosomi X merupakan kelainan

kromosom tunggal yang paling sering terjadi di antara aborsi spontan, kirakira 15%-

20% dari seluruh kasus abortus.3,6,7

Risiko monosomi kromosom seks dan konsepsi polipoid tidak meningkat sejalan

dengan usia ibu. Beberapa pasangan dengan riwayat abortus habitualis berisiko untuk

mengalami aneuploidi rekuren. Kariotipe embrionik pada kehamilan sebelumnya

dapat membantu memprediksi tingkat abortus. Wanita dengan kariotipe embrio

normal lebih sering mengalami keguguran dibandingkan dengan kariotipe embrionik

abnormal yang menunjukkan bahwa mekanisme lain selain kromosom fetal yang

abnormal dapat menjelaskan terjadinya beberapa kasus abortus habitualis. 4,2,5,6

c. Mekanisme molekuler

Kemajuan terbaru teknologi genetika molekuler menyoroti pentingnya

mekanisme tertentu seperti mutasi gen tunggal dan inaktivasi kromosom X pada

etiologi abortus. Peran mutasi gen tunggal yang menyebabkan kelainan pada embrio,

perkembangan plasenta atau jantung penting untuk diteliti. Wanita dengan inaktivasi

kromosom X yang tidak simetris mungkin membawa gen resesif terkait X pada janin

yang sifatnya mematikan sehingga rentan terjadi abortus berulang.

14
3. Kelainan anatomi

Sejumlah kelainan anatomi traktus genitalia mempengaruhi abortus

habitualis. 15% wanita dengan tiga atau lebih abortus secara berturut-turut memiliki

kelainan uterus baik yang bersifat kongenital ataupun yang didapat. Kelainan uterus

yang didapat misalnya sinekia intrauterine (sindrom Asherman), leiomioma dan

inkompeten serviks. Kelainan saat perkembangan misalnya uterus bersepta,

bikornuata dan unikornuata.5

a. Malformasi uterus kngenital

Malformasi uterus kongenital merupakan akibat dari gangguan

perkembangan, fusi, kanalisasi, dan reabsorpsi septal duktus Mullerian. Peranan

kelainan kongenital uterus terhadap abortus habitualis masih belum jelas karena

prevalensi yang sesungguhnya dan implikasi reproduksi pada kelainan uterus pada

populasi umum tidak diketahui. Pada pasien dengan abortus berulang, frekuensi

pasien dengan anomali uterus bervariasi dari 1,8% - 37,6%. Variasi ini terjadi akibat

perbedaan dalam kriteria dan teknik yang digunakan untuk mendiagnosisnya dan

fakta bahwa studi yang dilakukan melibatkan wanita dengan dua, tiga atau lebih

riwayat abortus pada tahap awal dan akhir kehamilan. Prevalensi kelainan uterus

paling tinggi ditemukan pada wanita dengan riwayat abortus terakhir yang

mencerminkan prevalensi serviks inkompeten pada wanita dengan malformasi

uterus.5

15
Gambar 2.2 jenis-jenis anomali mullerian

Dengan menggunakan USG tiga dimensi sebagai alat diagnostik, sebuah studi

prospektif baru-baru ini melaporkan bahwa frekuensi anomali uterus adalah sekitar

23,8% pada wanita dengan abortus habitualis pada trimester pertama dibandingkan

dengan frekuensi 5,3% pada wanita dengan risiko rendah. Selanjutnya, distorsi

anatomi uterus lebih parah ditemukan pada wanita dengan abortus berulang.

Penemuan ini menunjukkan bahwa anomali kongenital uterus dapat menyebabkan

terjadinya abortus pada sebagian kecil wanita dengan abortus habitualis. Pada suatu

studi retrospektif, pasien dengan anomali uterus yang tidak ditangani cenderung

memiliki risiko tinggi abortus dan partus prematurus dan tingkat partus aterm hanya

50% saja.5 Retroversio uteri, mioma uteri atau kelainan bawaan uterus dapat

menyebabkan abortus. Tetapi, harus diingat bahwa hanya retroversio uteri gravid

inkarserata atau mioma submukosa yang memegang peranan penting. 1 Terdapat lima

modalitas utama yang dapat digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap anatomi

pelvis, yakni:

16
 Sonografi transvaginal dengan atau tanpa pemberian normal saline

 Histerosalfingografi

 Histeroskopi

 Laparoskopi

 MRI pelvis

b.serviks inkompeten

Serviks inkompeten merupakan penyebab abortus habitualis pada

pertengahan trimester kehamilan (trimester kedua). Serviks inkompeten adalah

ketidakmampuan serviks untuk mempertahankan suatu kehamilan oleh karena defek

fungsi maupun struktur pada serviks. Serviks inkompeten yang parah menyebabkan

abortus pada midtrimester dan derajatnya lebih rendah pada kasus dengan partus

prematurus. Insiden serviks inkompeten masih belum diketahui secara pasti karena

diagnosisnya ditegakkan secara klinis dan belum ada kriteria objektif yang disetujui

secara umum untuk mendiagnosis keadaan tersebut. Secara kasar, suatu studi

epidemiologi menunjukkan insiden terjadinya serviks inkompeten adalah sekitar 0,5%

pada populasi pasien obstetri secara umum dan 8% pada wanita dengan abortus

midtrimester sebelumnya. Meskipun beberapa kasus serviks inkompeten melibatkan

inkompeten mekanik seperti hipoplasia serviks kongenital, riwayat operasi serviks,

dan trauma serviks yang luas, kebanyakan wanita dengn diagnosis klinis serviks

inkompeten memiliki anatomi serviks yang normal. Pematangan serviks yang dini

mungkin merupakan jalur akhir dari berbagai proses patofisiologi seperti infeksi,

kolonisasi, inflamasi dan predisposisi genetik atau hormonal. 1,5,6

17
Serviks merupakan barier mekanik yang memisahkan kehamilan dari flora

bakteri vagina. Banyak pasien dengan dilatasi serviks pada midtrimester yang

asimptomatis memiliki bukti adanya infeksi intrauterine subklinis. Tidak jelas apakah

ini merupakan invasi mikroba akibat dilatasi serviks yang prematur. Ketika terjadi

pematangan serviks yang prematur, barier mekanik terganggu dan selanjutnya dapat

menyebabkan proses patologis (misalnya kolonisasi pada saluran kemih bagian atas)

yang berakhir pada kelahiran prematur spontan. Pada serviks inkompeten yang

berhubungan dengan kelainan mekanik, penanganan suportif misalnya cerclage

suture dapat mencegah infeksi dan dapat memperpanjang masa kehamilan.

Sebaliknya, jika perubahan pada serviks adalah akibat proses non mekanik, maka

cerclage menjadi kurang efektif dan bahkan berbahaya dalam beberapa kasus karena

kemungkinan adanya komplikasi inflamasi dan infeksi.

c.fibroid

Jaringan fibroid pada uterus telah lama dihubungkan dengan masalah

reproduksi termasuk abortus. Hal tersebut dipengaruhi oleh ukuran dan lokasi fibroid.

Meskipun mekanisme yang terjadi belum diketahui secara pasti, teori patofisiologi

yang selama ini dipahami adalah distorsi mekanik kavum uteri, vaskularisasi

abnormal, perkembangan endometrium yang abnormal, inflamasi endometrium,

lingkungan endometrium yang abnormal, dan kelainan struktural dan kontraktil

miometrium. Bukti adanya hubungan antara fibroid uterus dan abortus habitualis

bersifat retrospektif dan tidak cukup untuk menentukan perbedaan dalam hasil

kehamilan atau menilai efek ukuran dan lokasi fibroid. Data terbaru dari pasien

18
dengan infertilitas menunjukkan bahwa hanya fibroid pada submukosa atau

intrakavitas berhubungan dengan tingkat implantasi yang menurun dan peningkatan

kasus abortus. Fibroid subserosa tidak memiliki efek merusak dan peranan fibroid

intramural yang tidak mendistorsi kavum uteri masih kontroversial. 5

b. Adhesi intrauterin

Defek pada uterus dapat menyebabkan kesulitan reproduksi pada seorang wanita,

termasuk kejadian abortus pada trimester pertama dan kedua kehamilan, persalinan

preterm dan presentasi fetal yang abnormal. Kelainan anatomi ini dapat bersifat

kongenital, termasuk yang berhubungan kelainan dietilstilbestrol, atau yang bersifat

didapat seperti adhesi intrauterin atau leiomyomata. 6

Defek pada uterus dapat menyebabkan kesulitan reproduksi pada seorang wanita,

termasuk kejadian abortus pada trimester pertama dan kedua kehamilan, persalinan

preterm dan presentasi fetal yang abnormal. Kelainan anatomi ini dapat bersifat

kongenital, termasuk yang berhubungan kelainan dietilstilbestrol, atau yang bersifat

didapat seperti adhesi intrauterin atau leiomyomata. 6

Perlengketan atau adhesi intrauterin (sindrom Asherman) terjadi akibat trauma

intrauterin misalnya setelah kuretase endometrium yang berlebihan karena retensi

hasil konsepsi. Adhesi intrauterin berhubungan erat dengan abortus rekuren.

Mekanisme yang diduga terjadi adalah adanya penurunan volume kavum uteri dan

fibrosis serta inflamasi pada endometrium sehingga terjadi kelainan plasentasi dan

menyebabkan abortus.5

4. Faktor endokrin

a. Defek Fase Luteal dan Defisiensi Progesteron

19
Defek fase luteal disebut juga defisiensi progesteron merupakan suatu keadaan

dimana korpus luteum mengalami kerusakan sehingga produksi progesteron tidak

cukup dan mengakibatkan kurang berkembangnya dinding endometrium. Oleh

karena progesteron dibutuhkan untuk keberhasilan suatu implantasi dan

mempertahankan suatu kehamilan muda maka defisiensi progesteron selama fase

luteal berhubungan dengan kejadian abortus habitualis. Namun, kriteria standar

untuk diagnosis secara tepat dan efek dari defek fase luteal sebagai penyebab abortus

berulang masih kurang. Variasi hormon yang sering berubah dan sekresi pulsatil

menyebabkan pengukuran serum progesterone tidak dapat digunakan dan

interpretasi hasil biopsi endometrium rentan terhadap variasi sampel. Tetapi ada

penelitian yang menunjukkan bahwa penanganan pada defek fase luteal telah

meningkatkan keberhasilan suatu kehamilan pada wanita dengan abortus

habitualis.2,5

b.Sindrom ovarium polikistik, Hipersekresi LH dan Hiperandrogenemia

Sindrom ovarium polikistik terkait dengan infertilitas dan abortus. Dua mekanisme

yang mungkin menyebabkan hal tersebut terjadi adalah peningkatan hormon LH dan

efek langsung hiperinsulinemia terhadap fungsi ovarium. Ovarium polikistik,

peningkatan kadar LH dan hiperandrogenemia merupakan ciri klasik suatu sindrom

ovarium polikistik dan telah dilaporkan sebagai faktor risiko terjadinya abortus

habitualis. Jika terjadi peningkatan konsentrasi hormon LH akan menyebabkan

abortus dan inhibisi hormon tersebut selama siklus induksi ovulasi gonadotropin

dapat menurunkan angka abortus. Walaupun ovarium polikistik secara signifikan

sering ditemukan pada pasien dengan abortus berulang, ovarium polikistik tersebut

20
tidak dapat memprediksi terjadinya kehamilan pada wanita yang ovulatorik dengan

riwayat abortus berulang.2,5 Tingginya kadar LH atau testoteron tidak berhubungan

dengan kehamilan pada seorang wanita ovulatorik dengan riwayat abortus habitualis.

Supresi kadar LH yang tinggi tidak selalu meningkatkan angka kelahiran hidup dan

kehamilan pada wanita dengan penggunaan placebo sama dengan wanita yang

memiliki kadar LH yang normal. 5 Baru-baru ini, ditemukan hubungan antara sindrom

ovarium polikistik dan resistensi insulin yang menyebabkan kompensasi

hiperinsulinemia sebagai faktor risiko abortus habitualis. Resistensi insulin

dihubungkan dengan tingginya jumlah abortus di antara wanita dengan sindrom

ovarium polikistik yang sedang menjalani induksi ovulasi dibandingkan dengan yang

tidak menderita resistensi insulin. Laporan terdahulu menyarankan penggunaan

metformin (yang meningkatkan sensitivitas terhadap insulin) pada wanita dengan

sindrom ovarium polikistik selama induksi ovulasi dan kehamilan muda sehingga

dapat meningkatkan penerimaan hasil konsepsi oleh dinding endometrium dan

mengurangi risiko abortus di masa mendatang .5

c.Faktor Endokrin Sistemik

Diabetes melitus dan penyakit tiroid dihubungkan dengan abortus, tetapi masih

belum ada bukti langsung bahwa keduanya berperan pada kejadian abortus

habitualis. Wanita dengan diabetes di mana kadar HbA1c yang tinggi pada trimester

pertama berisiko mengalami abortus dan malformasi fetal. Sebaliknya, diabetes

melitus yang terkontrol bukan merupakan faktor risiko abortus rekuren begitu juga

dengan disfungsi tiroid yang telah diterapi. Prevalensi DM dan disfungsi tiroid pada

wanita abortus habitualis sama dengan yang diharapkan pada populasi umum. 5,6

21
Autoantibodi tiroid tidak berhubungan dengan abortus habitualis. Wanita dengan

abortus habitualis tidak lebih cenderung dibandingkan dengan wanita subur yang juga

memiliki antibodi tiroid dalam sirkulasi darahnya. Adanya antibodi tiroid pada wanita

eutiroid dengan riwayat abortus habitualis tidak mempengaruhi kehamilannya

mendatang. Oleh karena belum jelas apakah penyakit tiroid menyebabkan terjadinya

abortus habitualis atau tidak, American College of Obstetricians and Gynecologists

(2001) menyimpulkan bahwa tidak ada indikasi screening terhadap wanita yang

asimptomatik. Sebaliknya, hipotiroidisme mungkin sulit untuk dideteksi secara klinis,

tes yang dilakukan tidak mahal dan pengobatannya memiliki efektivitas yang tinggi.

Oleh karena itu, screening TSH direkomendasikan pada wanita dengan abortus

habitualis.5,6

5. Faktor Koagulasi dan Imunologi

a. Trombofilia

Sistem hemostatis berperan penting dalam pembentukan dan pemeliharaan

suatu kehamilan. Defek trombofilia adalah kelainan sistem koagulasi yang mengarah

ke trombosis. Selama beberapa tahun terakhir, peranan sindrom antifosfolipid (APS)

suatu defek trombofilik telah ditetapkan dan ditangani sebagai penyebab abortus

habitualis dan berperan potensial terhadap defek trombofilik lainnya (didapat

maupun diturunkan secara genetik). Hipotesis yang diduga adalah bahwa pada

beberapa kasus abortus habitualis dan komplikasi akhir dari suatu kehamilan

disebabkan oleh respon hemostatik yang berlebihan selama kehamilan, menyebabkan

22
terjadinya trombosis pada pembuluh darah uteroplasenta dan selanjutnya dapat

mengakibatkan kematian janin.5

b.Antibodi Antifosfolipid

Antibodi antifosfolipid merupakan kelompok dari autoantibodi heterogen yang

bereaksi dengan epitop pada protein yang bergabung dengan fosfolipid bermuatan

negatif. Pada etiologi abortus habitualis, terdapat 2 penyakit dengan antibodi

antifosfolipid yaitu lupus antikoagulan dan antibodi antikardiolipin. Sindrom

antifosfolipid (APS) merupakan hubungan antara antibodi antifosfolipid dan

morbiditas pada kehamilan atau trombosis vaskular. Morbiditas suatu kehamilan

mencakup abortus rekuren pada trimester pertama, satu atau lebih kematian janin

yang secara morfologi normal setelah 10 minggu gestasi dan satu atau lebih kelahiran

prematur sebelum 34 minggu gestasi akibat preeklampsia berat, eklampsia atau

insufisiensi plasenta. APS pada pasien dengan penyakit inflamasi kronik, seperti SLE

disebut sebagai APS sekunder. Sebaliknya, APS primer mempengaruhi pasien dengan

tidak adanya penyakit jaringan ikat sistemik yang mendasarinya.5 Karakterisitik

utama APS adalah abortus rekuren. Pada 15% wanita dengan abortus berulang, aPLs

(antikoagulan lupus dan antikardiolipin IgG atau IgM) ditemukan. Patogenesis aPL

terkait dengan trombosis plasenta. Namun, trombosis sendiri tidak spesifik ataupun

bersifat universal dan penelitian terbaru memberikan wawasan baru tentang

mekanisme aPL dalam hubungannya dengan kehamilan yang gagal. Cacat

desidualisasi pada endometrium dan kelainan fungsi dan diferensiasi tropoblas dini

mungkin merupakan mekanisme patologis utama.

23
c.Defek Trombofilik yang diturunkan

Penyakit ini merupakan kelainan faktor pembekuan yang diturunkan secara

genetik yang dapat menyebabkan trombosis patologis akibat ketidakseimbangan

antara jalur pembekuan darah dan antikoagulasi. Teori yang paling banyak

menjelaskan tentang hal ini adalah resistensi terhadap protein C yang disebabkan

oleh mutasi faktor V Leiden atau yang lainnya, penurunan atau tidak adanya aktivitas

antitrombin III, mutasi gen protrombin dan mutasi gen untuk methylene

tetrahydrofolate reductase yang menyebabkan peningkatan kadar homosistein serum

(hiperhomosisteinemia). 2,5

d.Imunologi

Yetman dan Kutteh melaporkan bahwa sekitar 15% dari 1000 wanita dengan

abortus habitualis memiliki faktor autoimun. Terdapat 2 patofisiologi primer yang

menjelaskan kejadian tersebut yaitu teori autoimun (imunitas yang menyerang diri

sendiri) dan teori alloimun (imunitas yang menyerang pihak lain). 5

1) Faktor autoimun.

Abortus lebih sering terjadi pada wanita dengan SLE. Kebanyakan dari wanita tersebut

memiliki antibodi antifosfolipid yang merupakan kelompok autoantibody yang

mengikat fosfolipid muatan negatif, phospholipids-binding proteins, atau kombinasi

keduanya. Antibodi tersebut dapat juga ditemukan pada wanita tanpa lupus. Memang

>5% wanita dengan kehamilan normal, antikoagulan lupus (LAC) dan antibodi

antikardiolipin (ACA) berhubungan dengan abortus berulang. Dibandingkan dengan

kejadian abortus, LAC dan ACA lebih banyak ditemukan pada kematian fetus setelah

pertengahan trimester kehamilan. Oleh sebab itu, kematian fetus merupakan salah

24
satu kriteria diagnosis sindrom antifosfolipid. Wanita yang memiliki riwayat abortus

dan kadar antibodi yang tinggi mungkin berpotensi mengalami abortus habitualis

sekitar 70%. 5

Berdasarkan The International Consensus Workshop pada 1998, klasifikasi kriteria

Antifosfolipid sindrom meliputi:1

 Trombosis Vaskular

- Satu atau lebih episode trombosis arteri, venosa atau kapiler yang dibuktikan

dengan gambaran doppler, pencitraan atau histopatologi - Pada histopatologi,

trombosinya tanpa disertai gambaran inflamasi

 Komplikasi kehamilan

- Tiga atau lebih kejadian abortus dengan sebab yang tidak jelas, tanpa kelainan

antomik, genetik ataua hormonal

- Satu atau lebih kematian janin dimana gambaran morfologi pada sonografi

normal

-Satu atau lebih persalinan prematur dengan gambaran janin normal dan

berhubungan

dengan PEB atau insufisiensi plasenta berat

 Kriteria Laboratorium

- pemeriksaan IgG dan/ IGM antibodi antikardiolipin (aCL): ditemukan hasil positif

pada dua kali pemeriksaan dengan interval ≥6 minggu dalam jumlah sedang sampai

tinggi

- aCL diukur dengan metode ELISA standar

 Antibodi antifosfolipid/antikoagulan

25
- Pemanjangna tes skrining koagulasi fosfolipid (aPTT, PT,CT)

- Kegagalan memperbaiki tes skrining yang memanjang dengan penambahan plasma

platelet normal

- Perbaikan nilai tes yang memanjang dengan penambahan fosfolipid

- Singkirkan dulu kelainan pembekuan darah yang lain dan pemakaian heparin.

2.Faktor alloimun.

Kehamilan yang normal memerlukan pembentukan faktor yang mencegah

rejeksi maternal terhadap antigen asing fetus yang diperoleh secara paternal. Seorang

wanita tidak akan menghasilkan faktor penghambat serum ini jika dia memiliki HLA

yang mirip dengan suaminya. Gangguan alloimun lainnya juga menyebabkan abortus

habitualis temasuk perubahan aktivitas sel natural killer dan peningkatan antibodi

limfositotoksik. Berbagai terapi untuk memperbaiki gangguan ini telah disarankan

untuk dilakukan termasuk imunisasi dengan menggunakan sel paternal, third party

donor leukocytes, infus membran trofoblast dan immunoglobulin intravena.

Kebanyakan dari terapi imunologi ini membahayakan pasien sehingga tidak

dianjurkan untuk dilakukan. Salah satu terapi yang mungkin dapat dilakukan adalah

terapi immunoglobulin intravena untuk abortus habitualis sekunder (wanita dengan

abortus habitualis setelah memiliki anak sebelumnya). 2

b.Faktor Lingkungan

Abortus habitualis dapat disebabkan oleh pengaruh lingkungan seperti paparan

terhadap logam berat, pelarut organik, alkohol dan radiasi ionisasi yang dikenal

sebagai teratogen lingkungan. Kafein, merokok dan hipertermia dicurigai sebagai

26
teratogen. Wanita hamil yang sering terpapar akan berisiko untuk mengalami

abortus.5,7

1.4 Klasifikasi

Abortus dapat dibagi menjadi dua golongan:

1) Abortus spontan adalah keluarnya hasil konsepsi tanpa intervensi medis

maupun mekanis

a) Abortus imminens

Peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan sebelum

20 minggu,dimana hasill konsepsi masih di dalam uterus dan tanpa

dilatasi serviks. Pada kondisi seperti ini, kehamilan masih mungkin

berlanjut dan dipertahankan.

b) Abortus insipiens

Merupakan abortus yang terjadi pada umur kehamilan <20 minggu

yang sedang berlangsung dan tidak dapat dipertahankan lagi,ditandai

dengan pecahnya selaput janin adanya serviks telah mendatar dan

ostium uteri telah membuka.

c) Abortus inkomplit

Abortus yang terjadi pada umur kehamilan <20 minggu yang ditandai

pengeluaran sebagian hasil konsepsi dari kavum uteri melalui kanalis

servikalis.sebelum 12 minggu abortus cenderung berlangsung

komplit,setelah 12 minggu hasil konsepsi cenderung tertahan.

27
d) Abortus komplit

Abortus dimana keseluruhan hasil konsepsi di keluarkan (fetus dan

plasenta), sehingga tidak ada yang tertinggal di dalam kavum uteri,

sehingga tidak memerlukan tindakan.

e) Missed abortus

Merupakan perdarahan pada umur kehamilan <20 minggu,

berakhirnya suatu kehamilan dimana janin sudah meninggal didalam

rahim dan hasil konspesi masih tertahan dalam rahim selama 4-8

minggu atau lebih.

2) Abortus provkatus adalah abortus yang disengaja dilakukan tindakan.abortus

ini dibagi lagi menjadi:

a) Abortus medisinalis

Abortus yang didasarkan atas pertimbangan dokter minimal tiga

dokter spesialis yaituu spesialis kebidanan dan kandungan, spesialis

penyakit dalam, dan spesialis jiwa untuk menyelamatkan ibu.

b) Abortus Kriminalis

Abortus kriminalis adalah pengguguran kehamilan tanpa alasan medis

yang sah atau oleh orang yang tidak berwenang dan dilarang oleh

hukum atau dilakukan oleh yang tidak berwenang.

1.5 Diagnosis

Gejala umum pada abortus seperti perdarahan pervaginam dan perut nyeri atau

kaku juga ditemukan pada kehamilan normal, kehamilan ektopik dan kehamilan mola.

28
Sebelum memulai terapi, penting untuk membedakan antara abortus dengan

komplikasi kehamilan lainnya. Melakukan tatalaksana abortus sebelum

mengkonfirmasi diagnosis dapat berakibat fatal, seperti terganggunya kehamilan yang

normal, komplikasi kehamilan, dan defek persalinan. Oleh sebab itu perlu dilakukan

evaluasi untuk menegakkan diagnosis definitif. Diagnosis pasti dapat ditegakkan

melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, USG dan pemeriksaan beta-hCG. 8 Tanda dan

gejala abortus antara lain: 9 – Perdarahan pervaginam dari bercak hingga berjumlah

banyak – Perut nyeri dan kaku – Pengeluaran sebagian produk konsepsi – Serviks

dapat tertutup maupun terbuka – Ukuran uterus lebih kecil dari yang seharusnya Jika

tersedia, dilakukan pemeriksaan USG untuk memverifikasi kemungkinana adanya

kehamilan intrauterin yang viabel. Pada keadaan dimana kehamilan intrauterin tidak

dapat diidentifikasi dengan pasti, pemeriksaan beta-hCG serial dan pemeriksaan USG

perlu dilakukan untuk menyingkirkan kehamilan ektopik. Diagnosis abortus habitualis

tidak sukar ditentukan dengan anamnesis. Khususnya diagnosis abortus habitualis

karena inkompetensia yang menunjukkan gambaran klinik yang khas yaitu dalam

kehamilan trimester kedua terjadi pembukaan serviks tanpa rasa mulas, ketuban

menonjol dan pada suatu saat pecah. Kemudian timbul mulas yang selanjutnya diikuti

dengan pengeluaran janin yang biasanya masih hidup dan normal. Apabila penderita

datang dalam trimester pertama, maka gambaran klinik tersebut dapat diikuti dengan

pemeriksaan vaginal tiap minggu. Penderita tidak jarang mengeluh bahwa ia

mengeluarkan banyak lendir dari vagina. Di luar kehamilan penentuan serviks

inkompeten dilakukan dengan histerosalpingografi yaitu ostium uteri internum

melebar >8 mm.1,8

29
1.6 Tatalaksana

a. Tatalaksana umum

– Lakukan penilaian secara cepat mengenai keadaan umum ibu termasuk tandatanda

vital (nadi, tekanan darah, pernapasan, suhu).

– Periksa tanda-tanda syok (akral dingin, pucat, takikardi, tekanan sistolik <90

mmHg). Jika terdapat syok, lakukan tatalaksana awal syok . Jika tidak terlihat tanda-

tanda syok, tetap pikirkan kemungkinan tersebut saat penolong melakukan evaluasi

mengenai kondisi ibu karena kondisinya dapat memburuk dengan cepat.

– Bila terdapat tanda-tanda sepsis atau dugaan abortus dengan komplikasi, berikan

kombinasi antibiotika sampai ibu bebas demam untuk 48 jam:

 Ampicillin 2 g IV/IM kemudian 1 g diberikan setiap 6 jam

 Gentamicin 5 mg/kgBB IV setiap 24 jam

 Metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam

– Segera rujuk ibu ke rumah sakit .

– Semua ibu yang mengalami abortus perlu mendapat dukungan emosional

– dan konseling kontrasepsi pasca keguguran.

– Lakukan tatalaksana selanjutnya sesuai jenis abortus

30
b. Tatalaksana abortus Habitualis

Penyebab abortus habitualis sebagian besar tidak diketahui sehingga penanganannya

terdiri atas memperbaiki keadaan umum, pemberian makanan yang sempurna,

anjuran istirahat cukup banyak, larangan koitus dan olah raga. Terapi dengan hormon

progesteron, vitamin, hormon tiroid dan lainnya mungkin hanya mempunyai

pengaruh psikologis. Calvin melaporkan penelitiannya tentang 141 wanita hamil yang

sebelumnya mengalami 1 sampai 4 abortus berturut-turut hanya 22,7% yang

mengalami abortus dan pada 76,6% kehamilan berlangsung terus tanpa pengobatan

apa pun. Apabila pada pemeriksaan histerosalpingografi yang dilakukan menunjukkan

kelainan seperti mioma submukosa atau uterus bikornis maka kelainan tersebut

dapat diperbaiki dengan operasi atau penyatuan kornu uterus dengan operasi

menurut Strassman. Pada serviks inkompeten apabila penderita hamil, maka operasi

dilakukan untuk mengecilkan ostium uteri sebaiknya dilakukan pada kehamilan 12

minggu atau lebih sedikit. Dasar operasinya adalah memperkuat jaringan serviks yang

lemah dengan melingkari daerah ostium uteri internum dengan benang sutera atau

dakron yang tebal. Jika berhasil maka kehamilan dapat dilanjutkan sampai hampir

cukup bulan dan benang dipotong pada usia kehamilan 38 minggu. Operasi tersebut

dapat dilakukan menurut cara Shirodkar atau cara Mac Donald. 1,10,11 Berikut

merupakan tatalaksana abortus habitualis sesuai penyebabnya: 8

a. Faktor genetik

Dapat dilakukan pemeriksaan Kariotyping darah perifer pada kedua pasangan. Setelah

melalui konseling genetik, pasangan dengan hasil pemeriksaan kariotipe yang

abnormal dapat di tatalaksana dengan IVF (in Vitro Fertilization) yang diikuti dengan

31
diagnosis genetik pra-implantasi. Dapat dilakukan analisis kromosom terhadap

jaringan hasil konsepsi jika kehamilan berikutnya tetap gagal.

b. Penyebab anatomis

Pada Sindrom Asherman diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan

Histerosalfingografi atau sonografi dengan pemberian larutan normal saline dimana

ditemukannya gambaran multiple filling deffect. Tatalaksana yakni dengan melakukan

lisis adhesi secara histeroskopi. Pada serviks inkompeten diagnosis dapat dilakukan

dengan histerosalpingografi dimana ostium uteri internum melebar >8 mm.

Tatalaksana berupa tindakan sirklase serviks. 1,8 Pada anomali duktus muleri umumnya

pasien jarang menunjukkan gejala dan baru ditemukan saat evaluasi komplikasi

ginekologi ataupun obstetrik melalui sonografi maupun histerosalfingografi.

Umumnya tatalaksana dilakukan melalui tindakan pembedahan

c. Penyebab imunologis

Tatalaksana APS umumnya dilakukan dengan menggunakan terapi kombinasi aspirin

dosis rendah (75 mg) dan heparin (5000 U 1-2 kali/hari). Pemberian L-tiroksin

dan/prednisolon dapat bermanfaat pada wanita dengan adanya antitiroid antibodi

selama kehamilan

d. Penyebab endokrin

Pemeriksaan kadar FSH, LH, globulin dan USG transvaginal pada pasien dengan

dugaan PCOS. Pasien dengan Diabetes melitus sebaiknya dilakukan pemeriksaan rutin

Hba1c, TTGO dan KGDS. Pada pasien dengan kelainan tiroid dilakukan pemeriksaan

32
kadar TSHs, FT3 dan FT4. Pasien harus mendapatkan penanganan lebih lanjut oleh

bagian endokrinologi.

e. Infeksi

Diagnosis dapat dilakukan melalui kultur cairan serviks untuk evaluasi clamidia,

mycoplasma, Vaginosis Bacterial dan TORCH (toksoplasma, rubela, citomegalovirus,

dan herpes simpleks). Penanganan dilakukan dengan pemberian antibiotik sesuai

penyebab.

f. Latrogenik

Modifikasi gaya hidup melalui penurunan berat badan, olahraga, menghindari

alkohol, mengurangi intake kafein dan paparan rokok. Terapi kombinasi dapat

diberikan prednisolon 20 mg/hari, progesteron 200 mg/hari, aspirin 100 mg/hari, dan

asam folat 5 mg/hari. Dapat dopertimbangkan terapi tambahan berupa akupuntur,

pemberian multivitamin seperti vitamin B kompleks dan asam folat serta mengurangi

stres.

PROGNOSIS

• Koreksi kelainan endokrin pada wanita dengan abortus habitualis memiliki

prognosis yang baik untuk terjadinya kehamilan yang sukses (> 90%). Pada

wanita dengan etiologi tidak diketahui, kemungkinan mencapai kehamilan

yang sukses adalah 40-80%.

• Prognosis yang kurang baik bila pada pemeriksaan USG didapatkan tingkat

aktivitas jantung janin kurang dari dari 90 kali per menit, suatu kantung

kehamilan berbentuk atau berukuran tidak normal, dan perdarahan

subchorionic yang hebat

33
DAFTAR PUSTAKA

1.Prawirohardjo,S. Abortus. Ilmu Kebidanan. Edisi Keempat. Jakarta: Yayasan

Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2010. Hal.459-491.

2. Cunningham, et.al. Recurrent Miscarriage. Abortion. Williams Obstetrics.

22nd Edition. New York: McGraw-Hil Companies, Inc. 2010;

3. Sulaiman S, Djamhoer M, Firman W. Ilmu Kesehatan Reproduksi: Obstetri

Patologi Edisi 2. Jakarta: EGC, 2003. Hal 1-2

4. NN. Habitual abortion. Available from: www.wikipedia.com [cited on

22/09/2011]

5. Petrozza, J.C dan Cowan, B.D. Recurrent Early Pregnancy Loss. Avalaible

from: www.emedicine.com [cited on 10/09/2011]

6. Stead, G.L. Recurrent Abortion. First Aid For The Obstetrics and Gynecology

Clerkship A Student To Student Guide. Second Edition. New York: McGraw-Hill

Companies, Inc. 2007; 140-141

7. Backos, M and Regan, L. Recurrent Miscarriage. High Risk Pregnancy

Management Options. 3rd Edition. Ed: James,et.al. Philadelphia: Elsevier

Saunders. 2006; 160-182

8. Dhont, Marc. Recurrent Miscarriage. Current Women’s Health Reports

2003, 3:361–366. Current Science Inc. ISSN 1534–5874 Copyright © 2003 by

Current Science Inc.

34

Anda mungkin juga menyukai