__________________________________
Disajikan pada : 5 September 2022
REMAJA LELAKI
LEPTOSPIROSIS DENGAN AKI STAGE III ,
DAN GIZI BAIK
Oleh:
Dewi Kurnia Lestari
S592102002
Narasumber:
dr. Husnia Auliyatul Umma, Sp.A, M.Kes
dr. Agustina Wulandari, Sp.A, M.Kes
1
I. Pendahuluan
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
Leptospira interorgan complex. Manusia terinfeksi melalui kontak langsung
dengan hewan yang terinfeksi, atau secara tidak langsung melalui tanah atau air
yang terkontaminasi. Rattus norvegicus (tikus coklat) adalah sumber infeksi yang
paling penting. Presentasi klinis berkisar dari subklinis hingga fatal (misalnya:
penyakit Weil). Kasus yang parah lebih sering terjadi pada orang dewasa daripada
anak-anak.1
Leptospirosis pada manusia pertama kali ditemukan oleh Van der Scheer
pada tahun 1892 di Indonesia, namun isolasi baru dapat dilakukan pada tahun
1922 oleh Vervoort. Sejak pertama kali ditemukan sampai dengan saat ini
leptosprosis masih menjadi masalah kesehatan masyarakat karena belum dapat
dikendalikan.2,3
Leptospirosis merupakan masalah Kesehatan masyarakat di seluruh dunia.
Di daerah tropis dan subtropik, dimana Sebagian besar negara berkembang
ditemukan masalah ini lebih besar dari pada didaerah beriklim sedang. Besarnya
masalah di daerah tropis dan subtropic Sebagian besar dapat dikaitkan dengan
kondisi iklim dan lingkungan tetapi juga kemungkinan besar kontak dengan
lingkugan yang terkontaminasi leptospira. Pertanian , perumahan yang
terkontaminasi pembuangan limbah, semua yang menimbulkan banyak sumber
infeksi menjadi salah satu penyebab terjadinya leptospirosis.4
2
Berdasarkan laporan beberapa tahun terakhir, insiden kasus Leptospirosis
secara global di perkirakan dari 0,1-1 per 100.000 per tahun di daerah beriklim
sedang dan 10-100 per 100.000 pertahun di daerah tropik lembab. Insiden
penyakit ini dapat mencapai lebih dari 100 per 100.000 per tahun pada keadaan
wabah dan paparan tinggi pada kelompok risiko.5
II. Kasus
Anak NP, Lelaki, berusia 16 tahun 4 bulan dengan berat badan 55 kg dan
tinggi badan 163 cm, datang ke IGD Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi
dengan keluhan utama kuning. Data anamnesis didapat melalui autoanamnesis
dan alloanamnesis dari orangtua pasien.
Satu minggu sebelum masuk rumah sakit pasien demam, demam mulai
dirasakan sejak jam 8 pagi, demam dirasakan hilang timbul serta didahului
dengan mengigil. Demam berkurang jika minum obat parasetamol namun
beberapa jam kemudian naik lagi, selain itu pasien juga mengeluhkan mual ,
muntah serta badan terasa sakit sakit terutama pada kaki pasien, ibu pasien
mengatakan mata pasien mulai terlihat seperti kuning. Pasien juga mengeluhkan
mual dan muntah, pasien masih dapat makan dan minum namun berkurang dari
biasanya. Pasien berobat ke Puskesmas, dirujuk ke RSUD Purworejo, dan dirawat
selama 3 hari.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan di RS Perujuk antara lain
pemeriksaan foto radiologi tidak didapatkan kelainan. Pemeriksaan darah rutin
pada tanggal 21 Juni 2022, hemoglobin 12 g/dl; leukosit 8.400/ ul; trombosit
32.000/ul; eritrosit 4.300.000/ul; SGOT 75; SGPT 69; bilirubin total 21.28;
bilirubin direk 15.27; bilirubin indirek 6.01; GDS 96, dan IgM leptospira
negative. Dengan simpulan: trombositopenia, limfopenia, peningkatan enzim
transaminase, peningkatan bilirubin total direk dan indirek, Sedangkan pada
pemeriksaan rontgen thorax tidak didapatkan kelainan.
4
Dua hari sebelum masuk RSDM menurut ibu pasien , keluhan kuning
dirasa semakin memberat pada seluruh tubuh. Pasien juga mengeluhkan nyeri
kepala, pandangan kabur, dan nyeri pada kaki terutama pada daerah betis, selain
itu juga pasien didapatkan nyeri pada abdomen. Pasien juga ditemukan adanya
keluhan BAK pasien berwarna coklat kehitaman. Keluarga pasien mengatakan
bahwa pasien seringkali ke sawah bahkan setiap hari dan tidak pernah
menggunakan alas kaki, tidur larut malam, dan jarang minum air putih. Pasien
juga memelihara kambing di rumah. Karena keterbasan fasilitas di RS sebelumnya
oleh karena itu pasien dirujuk ke RSDM.
Saat di IGD pasien sadar penuh masih tampak kuning, perut dan tungkai
tampak bengkak. Keluhan masih dengan demam, mual, muntah sebanyak 5 kali,
makan dan minum pasien sangat berkurang, pasien juga mengeluhkan nyeri
perut , mimisan satu kali kemarin ketika demam tinggi, rasa sakit pada leher, perut
dan betis terasa lebih keras dan sakit semakin dirasakan, terdapat luka sedikit pada
telapak kaki pasien, BAK coklat kemerahan, BAB seperti dempul disangkal, BAB
hitam tidak ada. Pasien tidak tampak sesak, tidak ada rasa berdebar, kemudian
tidak didapatkan batuk, tidak didapatkan lebam pada tubuh , terdapat gusi
berdarah, tidak ada bitnik-bintik merah pada tubuh pasien. BAK terakhir 8 jam
sebelum masuk rumah sakit berwarna coklat keruh, menurut pengakuan orangtua
pasien terakhir BAK kurang dari setengah gelas aqua gelas. Kejang pada pasien
tidak didapatkan Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya.
Pada Riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit jantung disangkal,
riwayat penyakit kuning sebelumnya disangkal, Riwayat transfusi disangkal,
Riwayat cuci darah disangkal, Riwayat muntah darah disangkal, riwayat alergi
disangkal. Pasien tidak memiliki riwayat berpergian jauh ke luar kota. Pasien juga
tidak memiliki tetangga atau saudara yang sedang mengalami demam berdarah.
Pada anamnesis riwayat penyakit keluarga keluhan serupa disangkal, tidak
ada keluarga yang sedang mengalai sakit seperti pasien saat ini.
5
Pada anamnesis riwayat persalinan, pasien lahir secara spontan di bidan
pada usia kehamilan 9 bulan dengan berat lahir 3200 gram dan panjang badan 50
cm. Pasien lahir langsung menangis, dan setelah perawatan 3 hari pasien
diperbolehkan pulang bersama Ibu.
Pada anamnesis riwayat nutrisi pasien mendapatkan air susu ibu (ASI)
sejak lahir hingga usia 6 bulan dan dilanjutkan hingga usia 18 bulan, dengan
perkiraan lama menetek tiap 3 jam sekali. Pasien mulai diberikan makanan
pendamping pada usia 6 bulan berupa bubur dengan lauk dan sayur yang
dilumatkan dengan frekuensi 3 kali sehari. Sejak usia 1 tahun pasien mulai makan
makanan dengan tekstur yang lebih padat. Sampai saat ini pasien tidak ada
masalah dalam nafsu makan, pasien dapat makan dengan nasi dan lauk pauk juga
sayur yang disajikan dikeluarga dengan frekuensi 3 kali sehari. Terkadang pasien
makan maknanan ringan atau susu diantara waktu makan. Kesan, kualitas dan
kuantitas nutrisi cukup.
Pada riwayat pertumbuhan didapatkan berat badan saat ini 55 kg dan
tinggi badan 163 cm. Pasien ditimbang di Posyandu setiap bulan hingga usia 18
bulan, berat badan pasien naik sesuai kurva pertumbuhan. Riwayat perkembangan
pasien mulai dapat berbicara usia 12 bulan, mampu berdiri dan mulai berjalan usia
14 bulan. Saat ini pasien mulai bersekolah usia 6 tahun saat ini pasien berada di
kelas SMA kelas 2 dan pasien bergaul dengan teman sebayanya di lingkungan
rumahnya. Kesan: pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan anak seusianya.
Pasien telah mendapatkan imunisasi hepatitis B saat lahir, BCG dan polio
1 saat usia 1 bulan, DPT1-HepB1 polio 2 saat usia 2 bulan, DPT2-HepB2 polio 3
saat usia 3 bulan, DPT3-HepB3 polio 4 saat usia 4 bulan, campak saat usia 9
bulan. Pasien juga telah menjalankan imunisasi program BIAS di sekolahnya DT
dan campak saat kelas 1 SD, imunisasi TT saat kelas 2 dan 3 SD. Kesan sesuai
dengan jadwal imunisasi Kemenkes tahun 2005.
Pada riwayat sosial, ekonomi dan lingkungan didapatkan pasien adalah
anak ke lima dari lima bersaudara. Ayah berusia 59 tahun, suku Jawa, agama
6
Islam, pendidikan terakhir SMP, bekerja sebagai petani dengan penghasilan tidak
tentu , dalam sebulan rata-rata penghasilan 1.500.000 – 2.000.000 . Ibu pasien
berusia 55 tahun, suku Jawa, agama Islam, pendidikan SD, sebagai ibu rumah
tangga. Pasien tinggal bersama orang tua dan nenek pasien di rumah yang terbuat
dari tembok dengan lantai tegel, luas sekitar 100 m2, memiliki ventilasi udara.
Penerangan menggunakan listrik dan sumber air minum berasal dari air PAM.
Jarak antar tetangga berdekatan, fasilitas kesehatan terdekat di lingkungan sekitar
tempat tinggal pasien adalah Puskesmas. Pasien tinggal di Kabupaten Purworejo
dimana Kota Purworejo berdasarkan Profil Kesehatan, sejak bulan maret 2021
telah terjadi 10 kasus leptospirosis di Kabupaten Purworejo. Hal ini nampak
terlihat bahwa kemungkinan pasien terjangkit leptospirosis dengan keterlibatan
lingkungan disekitar.
Dari pohon keluarga, baik dari keluarga ayah maupun ibu tidak didapatkan
adanya riwayat keluarga yang berhubungan serupa dengan penyakit pasien
sekarang.
II
III
An.NP/16 th /55kg
7
Gambar 1. Pohon Keluarga
Keterangan :
: laki-laki : perempuan : pasien
10
Gambar 3. Foto abdomen tanggal 28 Juni 2022
16
III. ANALISIS KASUS
kalitake 4 x 10 gram
Trombositopenia, neutrofilia, limfopenia, amlodipine 10mg/ 24 jam
peningkatan enzim transaminase,
injeksi furosemide ( 1 mg/kg/8jam) 60 mg/8 jam
Hiperkalemia, peningkatan Gizi baik
ureum,kreatinin, penurunan LFG
17
IV. Analisis Kasus
Pada kasus ini , pasien seorang anak lelaki berusia 16 tahun 4 bulan
dengan
berat badan 55 kg dan tinggi badan 160 cm dengan keluhan utama demam.
Keluhan demam dirasakan hilang timbul sudah minum dengan obat paracetamol.
Selain itu pasien juga merasakan nyeri otot, nyeri pada betis , nyeri pada perut ,
dan kuning sejak 1 minggu SMRS. Selain itu pasien mempunyai riwayat bertani
setiap hari tanpa alas kaki.
Jika terdapat keluhan pada bagian diatas , harus dipikirkan beberapa
diagnosa, seperti masalah pada leptospirosis , yang dimana pada penyakit tersebut
ditandai dengan demam, mialgia, dan nyeri kepala. Letargi, muntah, nyeri perut,
fotofobia, artralgia, batuk, diare, atau konstipasi. Pada pemeriksaan fisik ditandai
dengan disfungsi beberapa organ termasuk hati, ginjal, paru-paru, dan otak apabila
mengenai leptospirosis berat organ tersebut dapat terkena. 7 pemeriksaan
penunjang yang mendukung adalah ditemukannya trombositopenia, neutrofilia,
limfopenia, peningkatan enzim transaminase, dan peningkatan ureum dan
kreatinin, serta urinalisa didapatkan hematuria.
Demam pada pasien ini bersifat kontinyu, dan terdapat nyeri otot. dari
keluhan demam sendiri kita dapat menyingkirkan beberapa masalah dengan
melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang , seperti pada gambar 4 dibawah ini.8
Dengan keluhan demam sendiri kita dapat melakukan pemeriksaan
penunjang dengan tapis demam yang pertama meliputi pemeriksaan darah rutin,
urinalisa, pemerisaan HsCRP, bahkan juga bisa dilakukan pemeriksaan LED yang
tertera seperti pada gambar ke 5. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan tapis
demam yang pertama pada saat dirawat di RS Dr. Moewardi.9
Gambar 4. Bagan algoritme demam pada anak8
18
Pada pasien juga mengalami keluhan kuning , dari pemeriksaan fisik didapatkan
sklera ikterik dan teraba pembesaran pada hepar (batas pada 3 jari BACD) dan
lien tidak teraba, pada algoritma jaundice seperti gambar 6 dibawah ini kita dapat
melakukan pemeriksaan yang sesuai dengan algoritma tersebut. Pada ginjal ,
didapatkan BAK berwarna merah kecoklatan, dan BAK oliguria.
19
Gambar 7. Algoritma akut kidney injury11
Pada pasien didapatkan klinis oliguri, dengan diuresis <0.3 selama 24 jam
dan penurunan laju filtrasi glomerulus , oleh sebab itu pasien kita tatalaksana
sebagai dari AKI. AKI sendiri menurut KDIGO dengan diuresis <0,3 ml/kg/jam
selama >24 jam atau anuria >21 jam merupakan klasifikasi AKI stage 3. AKI
disebabkan bisa karena prerenal, renal dan post renal. Penyebab AKI terbanyak
pada anak-anak ialah drugs, infeksi, penyakit sistemik (autoimun), keganasan.
Penyakit infeksi yang dengan gejala demam , AKI, Kuning, kongjungtival
hemorrage, oliguria, trombositopenia merupakan salah satu tanda dari gejala
ATIN (Acute tubule interstitial nephritis) Leptospirosis. 12 Namun sebelumnya kita
tetap harus menyingkirkan penyebab lain seperti tertera pada algoritma AKI pada
gambar ke 7.
AKI menjadi salah satu gejala yang ditimbulkan pada leprospirosis ,
perubahan pada ginjal pasien yang mengalami leptospirosis bervariasi dari
urinalisa yang didapatkan kelainan namun pada pasien tidak menimbulkan gejala
sampai AKI yang memerlukan hemodialisa. Keadaan yang patologi paling sering
didapatkan pada ginjal dengan leptospirosis ialah akut tubulointerstitial nephritis
20
(ATIN). Pada keadaan ini ditandai dengan edema interstitial difus dan infiltrasi sel
mononuclear, kususnya keterlibatan glomerulus pada pasien leptospirosis.12,13
Pada pasien ini didapatkan gejala-gejala yang disebutkan diatas ,
kemungkinan yang terjadi yaitu ATIN Leptospirosis yaitu terjadi dengan
leptospirosis berat. Kita tatalaksana pasien seusia dengan algoritma oliguria
dibawah ini
21
Gambar 9. Alur diagnosis leptospirosis3
22
penyakit Weil, dan dapat berkembang menjadi kegagalan multiorgan dengan
potensi kematian.
Leptospirosis biasanya terjadi di iklim sedang, selama akhir musim panas
atau awal musim gugur di negara-negara Barat, dan selama musim hujan di daerah
tropis. Insiden di daerah tropis hampir 10 kali lipat dari iklim sedang. Ini
cenderung menjadi penyakit yang tidak dilaporkan karena gejalanya meniru
banyak proses penyakit lainnya; namun, Organisasi Kesehatan Dunia
memperkirakan bahwa ada 873.000 kasus setiap tahun dengan lebih dari 40.000
kematian14.
Pada tahun 2007 terjadi peningkatan kasus Leptospirosis pada manusia, di
laporkan sebanyak 667 kasus dan 93% hasil laboratorium konfirmasi dengan
angka kematian 8%. Pada tahun 2010 kasus Leptospirosis di Indonesia di
laporkan sebanyak 410 kasus dengan 46 kasus kematian (CFR 11, 2%). Kasus
tersebut ditemukan di delapan (8) provinsi : DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bengkulu, Kepulauan Riau, dan Sulawesi
Selatan.5 Pada pasien ini termasuk dalam daerah yang tercantum sebagai daerah
pelaporan kasus leptospirosis yaitu daerah Jawa Tengah.
23
hingga anjing peliharaan. Lebih dari 160 spesies hewan yang ditemukan
membawa penyakit tidak menunjukkan tanda/gejala jika terinfeksi. Mereka dapat
menjadi vektor penyakit selama beberapa bulan setelah inokulasi, kadang-kadang
tidak pernah menunjukkan tanda/gejala infeksi 14. Pada pasien ini ditemukan sering
sekali bahkan setiap hari melakukan ternak sawah hewan kambing dan sapi dan
tidak menggunakan alas kaki apapun , disini dapat kita lihat bahwa pada pasien
memiliki faktor resiko dengan penyakit tersebut.
Sebelum tahun 1989, genus Leptospira dibagi menjadi dua spesies, L.
interrogans, yang terdiri dari semua galur patogen, dan L. biflexa, mengandung
galur saprofit yang diisolasi dari lingkungan. L. biflexa dibedakan dari L.
interrogans dengan pertumbuhan yang pertama pada 13°C dan pertumbuhan
dengan adanya 8-azaguanine (225 g/ml) dan oleh kegagalan L. biflexa untuk
membentuk sel-sel sferis dalam 1 M NaCl . Baik L. interrogans dan L. biflexa
dibagi menjadi banyak serovar yang ditentukan oleh aglutinasi setelah absorpsi
silang dengan antigen homolog. Jika lebih dari 10% titer homolog tetap berada
dalam setidaknya satu dari dua antiserum pada pengujian berulang, dua strain
dikatakan berasal dari serovar yang berbeda. Lebih dari 60 serovar L. biflexa telah
dicatat. Dalam spesies L. interrogans lebih dari 200 serovar dikenali; serovar
tambahan telah diisolasi tetapi belum dipublikasikan secara sah. Serovar yang
terkait secara antigen secara tradisional dikelompokkan ke dalam serogrup.
Sementara serogrup tidak memiliki kedudukan taksonomi, mereka telah terbukti
berguna untuk pemahaman epidemiologi14.
Leptospira adalah spirochetes yang melingkar rapat, biasanya 0,1 m kali 6
hingga 0,1 kali 20 m, tetapi kadang-kadang kultur mungkin mengandung sel yang
lebih panjang. Amplitudo heliks kira-kira 0,1 hingga 0,15 m, dan panjang
gelombangnya kira-kira 0,5 m. Sel-sel memiliki ujung runcing, salah satu atau
keduanya biasanya ditekuk menjadi kait yang khas. Dua filamen aksial (flagela
periplasmik) dengan sisipan kutub terletak di ruang periplasma. Struktur protein
flagela adalah kompleks. Leptospira menunjukkan dua bentuk gerakan yang
berbeda, translasi dan nontranslasi. Secara morfologis semua leptospira tidak
dapat dibedakan, tetapi morfologi isolat individu bervariasi dengan subkultur in
24
vitro dan dapat dipulihkan melalui perjalanan pada hamster . Leptospira memiliki
struktur membran ganda yang sama dengan spirochetes lainnya, di mana membran
sitoplasma dan dinding sel peptidoglikan berhubungan erat dan dilapisi oleh
membran luar. Lipopolisakarida leptospiral memiliki komposisi yang mirip
dengan bakteri gram negatif lainnya, tetapi memiliki aktivitas endotoksik yang
lebih rendah. Leptospira dapat diwarnai menggunakan counterstain carbol
fuchsin.14
Leptospira adalah aerob obligat dengan suhu pertumbuhan optimum 28
sampai 30°C. Mereka menghasilkan katalase dan oksidase. Mereka tumbuh di
media sederhana yang diperkaya dengan vitamin (vitamin B2 dan B12 adalah
faktor pertumbuhan), asam lemak rantai panjang, dan garam amonium. Asam
lemak rantai panjang digunakan sebagai satu-satunya sumber karbon dan
dimetabolisme oleh -oksidasi15.
Langkah pertama dalam patogenesis leptospirosis adalah penetrasi
hambatan jaringan untuk masuk ke dalam tubuh. Pintu masuk potensial meliputi
kulit melalui luka atau abrasi dan membran mukosa konjungtiva atau rongga
mulut. Pentingnya mukosa mulut sebagai pintu masuk ditunjukkan oleh sejumlah
penelitian yang menemukan bahwa menelan saat berenang di air yang
terkontaminasi merupakan faktor risiko infeksi.7
Langkah kedua dalam patogenesis adalah penyebaran hematogen. Tidak
seperti spirochetes patogen lainnya seperti B. burgdorferi dan T. pallidum, yang
menyebabkan lesi kulit yang menunjukkan adanya infeksi di kulit, leptospira
patogen masuk ke aliran darah dan bertahan di sana selama fase leptospiremic
penyakit. Hasil dari inokulasi darah ke media leptospira dan deteksi leptospira
dengan PCR kuantitatif lebih mungkin positif selama 8 hari pertama demam
sebelum pembentukan antibodi dan pembersihan organisme dari aliran darah.
PCR kuantitatif telah mendokumentasikan tingkat leptospiremia setinggi 106/ml
darah, yang mirip dengan beban spirochetes terlihat dalam darah pasien dengan
demam kambuh. Tingkat >104 leptospira/ml dalam aliran darah telah dikaitkan
dengan hasil yang parah, meskipun penelitian yang lebih besar baru-baru ini
menunjukkan bahwa leptospira dengan virulensi yang lebih rendah mungkin dapat
25
mencapai beban aliran darah leptospiral yang lebih tinggi tanpa menyebabkan
komplikasi yang parah.14
1. Penularan Langsung :
1. Melalui darah, Urin atau cairan tubuh lain yang mengandung
kuman Leptospira masuk kedalam tubuh pejamu
2. Dari hewan ke manusia merupakan penyakit akibat pekerjaan,
terjadi pada orang yang merawat hewan atau menangani organ
tubuh hewan misalnya pekerja potong hewan, atau seseorang yang
tertular dari hewan peliharaanya
3. Dari manusia ke manusia meskipun jarang dapat terjadi melalui
hubungan seksual pada masa konvalesen atau dari ibu penderita
Leptospirosis ke janin melalui sawar plasenta dan air susu ibu
2. Penularan tidak langsung terjadi melalui genangan air, sungai, danau, selokan
saluran air dan lumpur yang tercemar urin hewan. 5
26
TLR4 manusia mampu mendeteksi E. coli lipopolisakarida (LPS) pada
konsentrasi yang sangat rendah, tetapi tidak dapat mengenali LPS leptospiral.
Penjelasan yang mungkin untuk perbedaan reaktivitas TLR4 manusia ini adalah
perbedaan struktural antara komponen lipid A E. coli dan LPS leptospira; LPS
leptospiral memiliki residu fosfat termetilasi unik yang tidak ditemukan dalam
bentuk lain dari lipid A. Berbeda dengan TLR4 manusia, TLR4 tikus mampu
mengenali LPS leptospiral, menunjukkan bahwa respon imun bawaan murine
disesuaikan dengan infeksi leptospiral. Gagasan ini konsisten dengan perbedaan
patogenesis leptospirosis antara manusia dan tikus; manusia adalah inang
kebetulan yang mengalami hasil yang berpotensi fatal dan jarang menularkan
infeksi, sementara tikus resisten terhadap infeksi fatal dan berfungsi sebagai
reservoir alami.6
Hati merupakan organ target utama pada leptospirosis. Laporan patologi
dari spesimen otopsi dari kasus leptospirosis yang fatal telah melaporkan sinusoid
yang padat dan distensi ruang Disse, yang terletak di antara sinusoid dan
hepatosit. Studi imunohistokimia telah mendokumentasikan sejumlah besar
leptospira antara hepatosit pada model hewan. Sebuah studi elegan baru-baru ini
telah mendokumentasikan infiltrasi leptospira pada ruang Disse dan perlekatan
leptospira preferensial ke dan invasi daerah perijungsional antara hepatosit. Selain
itu, apoptosis hepatosit telah didokumentasikan dalam leptospirosis. Bersama-
sama, kerusakan hepatoseluler dan gangguan sambungan antar sel hepatosit
(Gambar 2) menyebabkan kebocoran empedu dari kanalikuli empedu ke dalam
pembuluh darah sinusoidal, yang menyebabkan peningkatan kadar bilirubin
langsung yang terlihat pada bentuk ikterik leptospirosis. Kadang-kadang,
peningkatan kadar bilirubin tidak langsung juga dapat terjadi pada hemolisis yang
diinduksi leptospirosis.14
27
Gambar 11. Histopatologi leptospirosis16
Fase inkubasi dari paparan hingga timbulnya gejala rata-rata dari 7 hingga
12 hari, meskipun bisa sesingkat 3 hari atau selama sebulan. Variabilitas yang luar
biasa dalam durasi fase inkubasi terbukti dalam jeda 6-29 hari antara paparan dan
timbulnya gejala di antara 52 atlet yang mengembangkan leptospirosis yang
dikonfirmasi laboratorium setelah berpartisipasi (semua pada hari yang sama) di
Springfield Triathalon. Pasien biasanya datang dengan tiba-tiba demam,
menggigil, dan sakit kepala. Fase akut atau disebut pula sebagai fase septik
dimulai setelah masa inkubasi yang berkisar antara 2–20 hari. Timbulnya lesi
jaringan akibat invasi langsung leptospira dan toksin yang secara teoritis belum
28
dapat dijelaskan,menandakan fase akut. Manifestasi klinik akan berkurang
bersamaan dengan berhentinya proliferasi organisme di dalam darah. Fase kedua
atau fase imun ditandai dengan meningkatnya titer antibodi dan inflamasi organ
yang terinfeksi. Secara garis besar manifestasi klinis dapat dibagi menjadi
leptospirosis an-ikterik dan ikterik.2
Meningitis aseptik dan disfungsi ginjal merupa- kan tanda dari fase imun.
Gejala dapat bertahan hingga 6 hari sampai lebih dari 4 minggu, dengan rata-rata
14 hari. Sekitar 10% kasus leptospirosis berkembang menjadi Weil disease yaitu
leptospirosis berat yang disertai ikterus, gagal ginjal, dan perdarahan paru.
Mortalitas tetap tinggi walaupun dengan perawatan ICU dan akan meningkat
apabila perawatan kurang memadai. Kasus leptospirosis berat dapat terjadi tanpa
disertai ikterus. Pada anak- anak dan dewasa, leptospirosis ditandai dengan
demam, mialgia, dan nyeri kepala. Letargi, muntah, nyeri perut, fotofobia,
artralgia, batuk, diare, atau konstipasi. Meskipun keluhan demam merupakan
gejala utama, suatu penelitian di Hawai menemukan bahwa demam timbul
bervariasi. Dari kasus leptospirosis yang terdiagnosis secara serologi, didapatkan
5% pasien tidak disertai riwayat demam dan 55% kasus pada saat datang tidak
terdapat demam. Mialgia dan nyeri kepala merupakan gejala yang paling banyak
dikeluhkan dan merupakan keluhan utama dari 25% pasien.1
29
Tanda dan gejala ini tidak spesifik dan juga terjadi dengan penyebab lain
dari sindrom demam akut yang, tergantung pada pengaturannya, juga dapat
disebabkan oleh influenza, demam berdarah, atau malaria. Sakit kepala sering
parah dan telah digambarkan sebagai sakit kepala yang berdenyut-denyut di
bagian depan yang disertai dengan nyeri retro-orbital dan fotofobia. Nyeri otot
dan nyeri tekan sering terjadi dan secara khas melibatkan betis dan punggung
bawah. Petunjuk untuk mengidentifikasi leptospirosis adalah suffusion
konjungtiva (dilatasi pembuluh darah konjungtiva tanpa eksudat purulen), yang
sering terjadi pada leptospirosis, tetapi jarang terjadi pada penyakit menular
lainnya. Temuan okular tambahan biasanya termasuk perdarahan subkonjungtiva
dan ikterus. Ruam jarang terjadi pada leptospirosis dan bila terjadi pada penyakit
demam akut, dapat menyarankan diagnosis alternatif seperti demam berdarah atau
chikungunya.7
Gejala gastrointestinal sering diamati, dan mungkin termasuk mual,
muntah, diare, dan sakit perut. Mual dan gejala gastrointestinal lainnya dapat
menyebabkan dehidrasi pada pasien dengan gagal ginjal nonoligurik keluaran
tinggi yang disebabkan oleh leptospirosis. Sakit perut mungkin karena kolesistitis
akalkulus dan/atau pankreatitis. Pada pasien yang dirawat di rumah sakit karena
leptospirosis, nyeri perut yang berhubungan dengan kadar amilase dan/atau lipase
serum yang abnormal relatif sering terjadi. Harus diingat bahwa gangguan fungsi
ginjal saja dapat meningkatkan kadar enzim pankreas bila klirens kreatinin kurang
dari 50 ml/menit. Sementara sebagian besar kasus pankreatitis akibat leptospirosis
sembuh sendiri, beberapa kasus lebih parah dan terkait dengan hasil yang fatal.17
Leptospirosis berat ditandai dengan disfungsi beberapa organ termasuk
hati, ginjal, paru-paru, dan otak. Salah satu kelainan yang dapat terjadi pada liver
adalah kolestasis. Kolestasis adalah sumbatan dalam aliran empedu. empedu dapat
terganggu di tingkat apa saja, mulai dari sel hati (kanaliculus) sampai ampula
vateri, sehingga perlu dibedakan kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik. Untuk
membedakan keduanya penting karena akan menentukan langkah selanjutnya.
Ikterus meningkat pada leptospirosis tanpa sering bukan disebabkan oleh nekrosis
hati yang luas melainkan kolestasis intrahepatik, yang ditandai dengan bilirubin
30
direk peningkatan transaminase. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah
leptospirosis dapat mengakibatkan komplikasi berupa kolesistitis akut akalkulus,
namun jarang dijumpai walaupun pada pasien ini hal tersebut belum dapat
disingkirkan.6
Pada pasien ini juga gangguan fungsi ginjal karena penurunan frekuensi
buang air kecil dan terdapat peningkatan kreatinin dalam darah. Leptospirosis
cukup sering (16-40%) disertai gagal ginjal akut (GGA). Ginjal adalah organ
target utama dalam leptospirosis, mungkin karena kemampuan homing tropik
ginjal intrinsik dari leptospira di host reservoir mereka. Ginjal umumnya terlibat,
seperti yang dimanifestasikan oleh peningkatan kadar nitrogen urea darah dan
kreatinin serum dan temuan pada urinalisis piuria, hematuria, dan peningkatan
kadar protein urin. Pada pasien dengan GGA perlu dibedakan apakah prerenal
atau karena ginjal. GGA prerenal akan ber-respons baik terhadap rehidrasi. Pada
leptospirosis, hipovolemia dan penurunan perfusi memberikan kontribusi penting
pada gangguan fungsi ginjal. Meskipun demikian, serum amilase yang kadang
meningkat berkaitan dengan GGA.12
31
hormon antidiuretik akan meningkat, sehingga terjadi vasokonstriksi ginjal dan
penurunan diuresis. Bilirubin yang tinggi juga menurunkan filtrasi glomerulus dan
kemampuan pemekatan urin. Rabdomiolisis yang sering terjadi pada leptospirosis
juga dapat menyebabkan cedera ginjal melalui vasokonstriksi ginjal, obstruksi
tubulus, dan toksisitas langsung myoglobin.7 Pasien ini mengalami komplikasi
pada jaringan ginjal , hal tersebut dapat dilihat secara klinis maupun laboratoris.
32
sampel CSF diperlukan.6 pada pasien ini dilakukan pemeriksaan baku emas
berupa MAT dan pemeriksaan lainnya untuk menyingkirkan diagnose banding.
Pengobatan leptospirosis tergantung pada tingkat keparahannya.
Kebanyakan ahli menyarankan untuk menahan antibiotik dalam kasus-kasus
ringan. Orang-orang ini akan mendapat manfaat dari cairan serta kontrol rasa sakit
dan demam. Dalam kasus rawat jalan, antibiotik yang dapat digunakan termasuk
doksisiklin, amoksisilin, atau ampisilin.18
Terapi antibiotik harus dimulai sedini mungkin dan permulaan penyakit
sejak diduga leptospirosis, pada leptospirosis berat diberikan penisilin G dengan
dosis 200.000 – 250.000 U/Kg/hari dalam dosis terbagi setiap 4-6 jam, maksimal
1.2 juta U/Hari atau diberikan Seftriakson 50 mg/kg/hari, 1 kali perhari selama 7
hari.18
Pasien dengan leptospirosis ikterik biasanya memerlukan perawatan di
unit perawatan intensif karena dapat melibatkan banyak organ dan dekompensasi
dapat terjadi dengan cepat. Pada pasien ini dilakukan perawatan di HCU anak dan
mendapatkan antibiotik Seftriakson 50 mg/kg/hari selama 7hari. Di hadapan gagal
ginjal, kortikosteroid mungkin membantu, tetapi penggunaannya kontroversial.
Distres pernapasan karena keterlibatan paru-paru mungkin memerlukan ventilasi
mekanis. Terapi tambahan termasuk penggunaan tetes mata, diuretik, dan agen
inotropik termasuk dopamin dosis ginjal. Bentuk ringan leptospirosis jarang
berakibat fatal, tetapi bentuk parah atau penyakit Weil membawa tingkat kematian
yang tinggi.17
33
dieliminasi. Banyaknya serovar menyebabkan vaksin spesifik serovar kurang
bermanfaat. Pada kondisi ini, cara paling efektif adalah menyediakan sanitasi
yang layak di komunitas daerah kumuh perkotaan. Pada orang yang sudah
terpapar dengan leptospira, masih dapat diberikan terapi profilaksis pasca-
paparan; digunakan doksisiklin disesuaikan berdasarkan risiko individu16.
34
pilihan pada kasus ini, dan transmisi Leptospirosis pada kasus ini ditularkan
melalu urin pada hewan.
Dari uraian kasus diatas sebagai tim Kesehatan kita harus bisa melakukan
edukasi pada pasien tersebut dengan memberitahu bagaimana cara menghindari
penularan pada kasus leptospirosis, setiap kali bertani sebaiknya memakai alas
kaki berupa sepatu boot, menjaga kebersihan selalu mencuci tangan dan kaki
sehabis melakukan bertani, selain itu harus menggunakan sarung tangan dan kaca
mata pelindung selama bertani disawah.
35
DAFTAR PUSTAKA
1. Lokida D, Budiman A, Pawitro UE, et al. Case report: Weil’s disease with
multiple organ failure in a child living in dengue endemic area. BMC Res
Notes. 2016;9(1):1-4. doi:10.1186/s13104-016-2210-4
36
11. Makker SP, Santos F. Nephrotic Syndrome in the Child and Adolescent.;
2008.
14. Jiménez JIS, Marroquin JLH, Richards GA, Amin P. Leptospirosis: Report
from the task force on tropical diseases by the World Federation of
Societies of Intensive and Critical Care Medicine. J Crit Care.
2018;43:361-365. doi:10.1016/j.jcrc.2017.11.005
15. Russell CD, Jones ME, O’Shea DT, Simpson KJ, Mitchell A, Laurenson
IF. Challenges in the diagnosis of leptospirosis outwith endemic settings: A
scottish single centre experience. J R Coll Physicians Edinb. 2018;48(1):9-
15. doi:10.4997/JRCPE.2018.102
17. Bratto, L.H T, Smith, et al. Leptospirosis CPG 2010. Leptospirosis Guidel.
Published online 2010:1-66.
18. Hadinegoro SR, Moedjito I, Hapsari MMD AA. Buku Ajar Infeksi &
Penyakit Tropis. 4th ed. Balai Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2018.
37
38