Anda di halaman 1dari 49

SEORANG LAKI-LAKI 41 TAHUN DENGAN OBSERVASI FEBRIS EC

DENGUE HEMORRHAGIC FEVER GRADE I DD LEPTOSPIROSIS DD


TYPHOID FEVER DISERTAI PENINGKATAN ENZIM TRANSAMINASE
DAN IMBALANCE ELEKTROLIT

Oleh:
Clara Angelica Rotoro G99181016

Pembimbing: Residen Pembimbing:


dr. M.I. Diah Pramudianti, MSc, SpPK-K dr. Wita Prominesa

KEPANITERAAN KLINIK SMF LABORATORIUM PK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2020
PENDAHULUAN

Dengue adalah penyakit virus rawan pandemik maupun endemik yang


sering muncul di banyak bagian dunia terutama di negara-negara tropik maupun
subtropik (Wahyuni & Sabir, 2011). Virus dengue ditularkan oleh nyamuk betina
terutama dari spesies Aedes aegypti dan, pada tingkat yang lebih rendah Aedes
albopictus. Demam berdarah tersebar luas di berbagai daerah terutama negara
tropis dengan berbagai macam faktor yang berpengaruh diantaranya curah hujan,
suhu dan urbanisasi yang tidak terencana (WHO, 2017).
Demam berdarah dengue di Indonesia pertama kali ditemukan pada tahun
1968 ketika terjadi KLB di Surabaya dan Jakarta. Sejak dilaporkan itu, kasus DHF
meningkat terus bahkan sejak tahun 2004 kasus meningkat sangat tinggi.
Distribusi kasus DBD per kelompok umur dari tahun 1993 sampai 2009 terjadi
pergeseran dari kelompok kasus DHF terbesar adalah umur <15 tahun, namun
tahun 1999 sampai 2009 kelompok umur terbesar yaitu ≥15 tahun.
Presentase penderita laki-laki dan perempuan hampir sama yaitu pada laki-
laki (53,78%) dan perempuan (46,23%) (Kemenkes RI, 2010). Kementerian
Kesehatan RI mencatat jumlah penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) di
Indonesia pada bulan Januari-Februari 2016 sebanyak 13.219 orang penderita
DBD dengan jumlah kematian 137 orang. Proporsi penderita terbanyak yang
mengalami DBD di Indonesia ada pada golongan anak-anak usia 5-14 tahun,
mencapai 42,72% dan yang kedua pada rentang usia 15-44 tahun mencapai
34,49% (Kemenkes RI, 2016).
Pada golongan anak lebih rentan terkena DBD karena respon imun
terhadap infeksi virus dengue belum sempurna sehingga hasil akhir infeksi adalah
peninggian permeabilitas dinding pembuluh darah yang mendadak dengan akibat
terjadinya perembesan plasma darah dan elektrolit melalui endotel dinding
pembuluh darah dan masuk ke dalam ruang interstitial, sehingga menyebabkan
hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia dan efusi cairan ke rongga serosa
yang diyakini menjadi salah satu penyebab mudahnya untuk terjadi dengue

2
hemorrhagic fever pada anak-anak. Untuk memprediksi pasien demam berdarah
dengue mana yang akan berkembang menjadi syok tidaklah mudah. Dengan
melihat hasil pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan nilai jumlah
trombosit diharapkan diagnosis dengue hemorrhagic fever dapat ditegakkan dan
dapat segera dilakukan tindakan untuk menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas pasien. Apabila penanganan dari kasus dengue hemorrhagic fever ini
tidak segera diatasi maka dapat mengakibatkan kematian pada pasien (Soedarto,
2012).
World Health Organization (WHO) merekomendasikan kriteria diagnosis
DBD berdasarkan klinis maupun laboratorium yang menjadi acuan para klinisi
dalam menegakkan diagnosis dan klasifikasinya. Dalam penegakan diagnosisnya,
pemeriksaan laboratorium yang sering dilakukan diantaranya adalah pemeriksaan
trombosit, hematokrit dan protein plasma. Berdasarkan klasifikasi infeksi dengue
oleh WHO, 2011, kriteria laboratorium yang digunakan adalah penurunan angka
trombosit (trombositopenia) dan peningkatan hematokrit (hemokonsentrasi)
(Kalayanarooj, 2011) . Namun, nilai acuannya hampir sama untuk setiap
derajatnya sehingga dalam menentukan derajat penyakit lebih didasarkan pada
tanda dan gejala klinis. Pemeriksaan trombosit dan hematokrit memiliki peran
penting dalam membantu penegakan diagnosis terutama bila telah terjadi
kebocoran plasma yang dapat mencetusan kejadian syok (Valentino, 2012).
Adanya tanda dan gejala klinik dari pasien yang dicurigai menderita
infeksi dengue kemudian akan dikonfirmasi dengan pemeriksaan darah lengkap
yang dapat membantu petugas medis untuk membuat diagnosis infeksi dengue
dan menentukan prognosis pasien tersebut. Setelah dilakukan berbagai
pemeriksaan kemudian petugas medis akan mengelompokkan pasien tersebut
berdasarkan derajat klinik sesuai dengan kriteria WHO tahun 2011 yakni DHF
derajat I, DHF derajat II, DHF derajat III serta DHF derajat IV (DSS). Dari
pengelompokkan tersebut sangat penting dilakukan supaya petugas medis dapat
memberikan terapi dan mencegah agar pasien dengan derajat klinik I dan II tidak
menjadi lebih parah serta dapat untuk menentukan prognosis dari pasien yang
terkena infeksi dengue tersebut.

3
STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas
Nama : Tn. Y
Umur : 41 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Bibis Wetan, Gilingan
No RM : 0140xxxx
Suku : Jawa
Pendidikan : SD
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 12 Februari 2018
Tanggal Periksa : 13 Februari 2018

B. Data dasar
Autoanamnesis dan alloanamnesis dilakukan saat hari pertama
perawatan di Bangsal Penyakit Dalam Melati 1 Bed 3C RSUD Dr.
Moewardi Surakarta.

Keluhan utama:
Demam sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien datang ke IGD RSUD Dr. Moewardi dengan keluhan
demam yang dirasakan sejak 7 hari SMRS. Demam muncul mendadak
dan dirasakan terus menerus, lebih berat dirasakan terutama pada
malam hari. Pasien mengaku demam muncul setelah pasien

4
memangkas semak-semak di belakang rumah tanpa mengenakan baju.
Pasien sudah minum obat penurun panas yang dibeli di warung,
demam sempat turun, namun kemudian muncul kembali. Pasien juga
mengaku hanya minum obat di pagi hari, dan hanya beristirahat di
malam hari tanpa minum obat. Pasien sebelumnya sudah berobat ke
Puskesmas Gilingan 4 hari SMRS, dilakukan pemeriksaan
laboratorium dan diberikan obat paracetamol, vitamin B complex dan
ranitidine, setelah itu pasien mengaku demam sempat membaik,
namun 1 hari setelahnya kembali demam. Pasien kemudian datang ke
Puskesmas Sibela 2 hari SMRS dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Pasien kemudian disarankan ke RSUD Surakarta 1 hari SMRS,
dilakukan pemeriksaan laboratorium dan tes Widal, kemudian karena
keterbatasan fasilitas, pasien berobat ke RSDM.
Demam disertai dengan badan menggigil. Pasien juga
mengeluhkan pegal-pegal di seluruh tubuh saat demam disertai nyeri
otot dan sendi. Nyeri dirasakan terut menerus, bertambah saat
aktivitas dan membaik saat istirahat. Pasien juga mengeluh mata
merah, tidak gatal dan berair. Pasien menyangkal adanya pandangan
kabur, penglihatan ganda, serta terasa silau. Pasien mengaku mata
kanan tidak bisa melihat karena pernah mengalami trauma akibat
percikan las besi. Pasien juga mengeluh nyeri kepala terutama bagian
depan hingga ke mata.
Pasien juga mengeluh nyeri ulu hati dirasakan bersamaan
dengan munculnya demam dan pegal di seluruh badan. Nyeri ulu hati
dirasakan hilang timbul dan muncul saat kelelahan. Nyeri berkurang
dengan istirahat dan tidak dipengaruhi makan. Pasien mengaku saat
demam hari pertama juga merasakan mual dan muntah, namun
kemudian berobat ke Puskesmas dan keluhan berkurang. Pasien
mengaku tidak ada keluarga dengan keluhan demam serupa, dan tidak
mengetahui adanya tetangga di kawasan rumah dengan keluhan
serupa. Pasien menyangkal terdapat genangan air di lingkungan

5
rumah, serta terdapat hanya 1-2 tikus berkeliaran di kawasan rumah.
Pasien mengaku tidak sedang habis bepergian ataupun berkunjung ke
daerah pantai beberapa waktu lalu. Pasien menyangkal adanya
mimisan dan gusi berdarah. Pasien juga menyangkal adanya bercak-
bercak di tubuh. Pasien menyangkal adanya batuk, pilek dan nyeri
tenggorokan. Pasien menyangkal adanya penurunan kesadaran saat
demam.
Pasien mengaku BAK dan BAB tidak ada keluhan. BAK
berwarna kuning jernih 5-6 kali per hari sebanyak ½ gelas air mineral.
Nyeri saat kencing, anyang-anyangan, kencing berpasir, kencing
berdarah, panas saat kencing disangkal. BAB terakhir 1 hari SMRS
sebanyak 1 kali berwarna kuning kecoklatan, konsistensi lunak, tidak
ada BAB darah, lendir, dan tidak ada berwarna kehitaman seperti
petis.

Riwayat penyakit dahulu :


Penyakit Keterangan
Riwayat sakit serupa Disangkal
Riwayat hipertensi Disangkal
Riwayat sakit gula Disangkal
Riwayat sakit kuning Disangkal
Riwayat sakit jantung Disangkal
Riwayat alergi Disangkal
Riwayat operasi Disangkal
Riwayat mondok Disangkal

6
Riwayat penyakit keluarga :
Penyakit Keterangan
Riwayat sakit serupa Disangkal
Riwayat sakit gula Disangkal
Riwayat hipertensi Disangkal
Riwayat sakit liver Disangkal
Riwayat sakit jantung Disangkal
Riwayat DM Disangkal
Riwayat sakit ginjal Disangkal
Riwayat alergi Disangkal

Pohon keluarga pasien:

Keterangan
Laki –laki

Perempuan

Pasien

Meninggal dunia

7
Riwayat kebiasaan
Makan Pasien mengaku makan 2-3 kali sehari
dengan nasi dan lauk pauk.
Merokok (+) sejak 10 tahun yang lalu
Alkohol Disangkal
Minum jamu Disangkal
Obat bebas Disangkal
Suplemen Disangkal
multivitamin

Riwayat gizi
Pasien sehari-hari makan sebanyak 3 kali sehari. Porsi untuk
sekali makan ± 10-12 sendok makan dengan nasi, lauk-pauk, dan
sayur.

Riwayat sosial ekonomi


Pasien bekerja sebagai wiraswasta. Pasien tinggal bersama istri
dan anaknya. Pasien berobat menggunakan fasilitas BPJS.
Anamnesis sistem
1. Keluhan utama : demam sejak 7 hari SMRS
2. Kulit : pucat (-), gatal (-), bercak-bercak
kuning (-), luka (-)
3. Kepala : kepala terasa berat (-), perasaan
berputar-putar (-), nyeri kepala (+),
rambut mudah rontok (-)
4. Mata : Mata berkunang-kunang (-/-),
pandangan kabur (+/-) karena
terdapat katarak, gatal (-/-),mata
kuning (-/-), mata merah (+/+)

8
5. Hidung : Tersumbat (-), keluar darah (-), keluar
lendir atau air berlebihan (-), gatal (-)
6. Telinga : Telinga berdenging (-/-), pendengaran
berkurang (-/-), keluar cairan atau
darah (-/-)
7. Mulut : Bibir kering (-), gusi berdarah (-),
sariawan (-), gigi mudah goyah (-),
lidah kotor (-)
8. Tenggorokan : Rasa kering dan gatal (-), nyeri untuk
menelan (-), sakit tenggorokan (-),
suara serak (-)
9. Sistem respirasi : Sesak nafas (-), batuk (-), dahak kuning
kental (-), darah (-), nyeri dada (-),
mengi (-)
10. Sistem kardiovaskuler : Nyeri dada (-), terasa ada yang
menekan (-), sering pingsan (-),
berdebar-debar (-), keringat dingin (-),
ulu hati terasa panas (-), denyut jantung
meningkat (-), bangun malam karena
sesak nafas (-)
11. Sistem gastrointestinal : Diare (-), perut mrongkol (-), perut
membesar (-), mual (+), muntah darah
(-),nafsu makan berkurang (-), nyeri
ulu hati (+), sulit BAB (-), kentut (+),
BAB hitam (-), BAB bercampur air
(-), BAB bercampurdarah (-), BAB
bercampur lendir (-), rasa penuh di
perut (-), cepat kenyang (-), perut nyeri
setelah makan (-),berat badan menurun
(-)

9
12. Sistem muskuloskeletal: Lemas (-), leher kaku (-), keju-kemeng
(-), kaku sendi (-), nyeri sendi (+),
bengkak sendi (-), nyeri otot (+), kaku
otot (-), kejang (-)
13. Sistem genitouterinal : Nyeri saat BAK (-), BAK berkurang
(-), panas saat BAK (-), air kencing
warna seperti teh (-), BAK darah (-),
nanah (-), anyang-anyangan (-), sering
menahan kencing (-), rasa nyeri di
pinggang (-), rasa gatal pada saluran
kencing (-), rasa gatal pada alat
kelamin (-).
14. Ekstremitas :
a. Atas : Bengkak (-/-), lemah (-/-),luka (-/-),
kesemutan (-/-), tremor (-/-), ujung jari
terasa dingin (-/-), nyeri (-/-), lebam-
lebam kulit (-/-)
b. Bawah : Bengkak (-/-),lemah (-/-), luka (-/-),
kesemutan (-/-), tremor (-/-), ujung jari
terasa dingin (-/-),nyeri (-/-), lebam-
lebam kulit (-/-), kulit kehitaman (-/-),
kulit kemerahan (-/-)

II. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 13 Februari 2018 dengan hasil sebagai
berikut:
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang, compos mentis,
GCS E4V5M6, kesan gizi cukup
2. Tanda vital
 Tensi : 120/70 mmHg
 Nadi : 92 kali /menit

10
 Frekuensi nafas : 20 kali /menit
 Suhu : 38,10 C
 VAS :2
3. Status gizi
 BeratBadan : 70 kg
 Tinggi Badan : 168 cm
 IMT : 24,8 kg/m2
 Kesan : Gizi cukup
4. Kulit : Warna coklat, turgor (+) normal, hiperpigmentasi (-),
kering (-), teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-),
ekimosis (-)
5. Kepala : Bentukmesocephal, rambutwarna hitam, mudah rontok
(-), luka (-), atrofi m. Temporalis (-)
6. Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (+/+), perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil
isokor dengan diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya
(+/+), edema palpebra (-/-), strabismus (-/-), mata
merah (+/+), lensa keruh (+/-), visus OD 1/300, visus
OS 6/60
7. Telinga : Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan
tragus (-)
8. Hidung : Tersumbat (-), keluar darah (-), keluar lendir atau air
berlebihan (-), gatal (-), epistaksis (-)
9. Mulut : Sianosis (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-), gusi
berdarah (-), luka pada sudut bibir (-), oral thrush (-)
10. Leher : JVP R+3 cm, trakea ditengah, simetris, pembesaran
kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar getah bening
leher (-), leher kaku (-), distensi vena-vena leher (-)
11. Thorax : Bentuk normochest,simetris,pengembangan dadakanan =
kiri, retraksi intercostal (-), pernafasan

11
abdominothorakal, sela iga melebar (-), pembesaran
kelenjar getah bening axilla (-/-), ginekomastia (-)
12. Jantung
 Inspeksi : Ictus kordis tak tampak
 Palpasi : Ictus kordis teraba di SIC V linea
medioclavicularis sinistra, tidak kuat angkat
 Perkusi :
- Batas jantung kanan atas: SIC II linea sternalis dextra
- Batas jantung kanan bawah: SIC IV linea parasternalis dekstra
- Batas jantung kiri atas: SIC II linea sternalis sinistra
- Batas jantung kiri bawah:SIC V linea medioclavicularis sinistra
Batas jantung kesan normal
 Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal,
reguler, bising (-), gallop (-).

13. Pulmo
a. Depan
 Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela iga
tidak melebar, retraksi intercostal (-)
 Palpasi
- Statis : Simetris
- Dinamis : Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri
 Perkusi
- Kanan : Sonor, redup pada batas relatif paru-hepar pada
SIC VI linea medioclavicularis dextra, pekak pada
batas absolut paru hepar
- Kiri : Sonor, sesuai batas paru jantung pada SIC V linea
medioclavicularis sinistra

12
 Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronki basah
halus (-),krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronki basah
halus (-), krepitasi (-)
b. Belakang
 Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan=kiri, sela iga
tidak melebar, retraksi intercostal (-)
 Palpasi
- Statis : Simetris
- Dinamis : Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan =kiri
 Perkusi
- Kanan : Sonor
- Kiri : Sonor
- Peranjakan diafragma 5 cm
 Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronki basah
halus (-), krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronki basah
halus (-),krepitasi (-)
13. Abdomen
 Inspeksi : Dinding perut sejajar dengan dinding thorak,
ascites (-), venektasi (-), sikatrik (-), striae (-),
caput medusae (-), spider nevi (-)

13
 Auskultasi : Bising usus (+) 12 x / menit
 Perkusi : timpani (+), pekak alih (-), area troube pekak, liver
span 12 cm.
 Palpasi : distended (-), nyeri tekan(-), nyeri lepas (-), defans
muskuler (-), hepar dan lien tidak teraba,, undulasi
(-)
14. Ginjal
 Palpasi : bimanual palpation : ginjal kanan - kiri tidak teraba
 Nyeri ketok : (-)
15. Ekstremitas :
_ _
_ _ - -
Akraldingin - - Oedem

Superior Ka/Ki : Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral dingin
(-/-),luka (-/-), kuku pucat (-/-), spoon
nail (-/-), clubing finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri
tekan dan nyeri gerak (-/-), deformitas (-/-)
Inferior Ka/Ki : Oedem (-/-), hiperpigmentasi (-), sianosis (-/-),
pucat (-/-), akral dingin (-/-),luka (-/-), kuku pucat(-/-),
spoonnail (-/-), clubing finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri
tekan (-/-) regio cruris dextra, nyeri gerak genu
bilateral (-/-), deformitas (-/-)
16. Uji rumple leed (+)
17. Kriteria Faine:
- Nyeri kepala :2
- Demam :2
- Demam > 38C :2
- Konjungtiva suffusion :4
- Meningismus :0

14
- Myalgia, meningismus, conjungtival suffusion : 2
- Icterus :1
- Albuminuria & azotemia :0
- Curah hujan :0
- Kontak dengan lingkungan terkontaminasi : 0
(Positif Leptospirosis> 25)
Total : 13 (Diagnosis leptospirosis dapat disingkirkan)

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Laboratorium darah
Tanggal 9 Februari 2018 di Puskesmas Gilingan
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hb 16.7 g/dl 12.0 – 15.6
AL 5.8 103/  L 4.5 – 11.0
AT 170 103 /  L 150 – 450

Tanggal 12 Februari 2018 dari Puskesmas Sibela


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hb 14.8 g/dl 12.0 – 15.6
Hct 41.1 % 33 – 45
AL 5.7 103/  L 4.5 – 11.0
AT 67 103 /  L 150 – 450
AE 5.05 106/  L 4.10 – 5.10
INDEX ERITROSIT
MCV 81.4 fL 80.0-96.0
MCH 29.3 Pg 28.0-33.0
MCHC 36.0 g/dl 33.0-36.0

15
RDW 13.0 % 11.6-14.6
MPV 12.2 fL 7.2-11.1
PDW 19.7 fL 25-65
HITUNG JENIS
Neutrofil 81.00 % 55.00-80.00
Limfosit 15.5 % 22.00-44.00
WIDAL
Salmonella typhii O Negative Negative
Salmonella paratyphii AO Negative Negative
Salmonella paratyphii BO 1/80 Negative
Salmonella paratyphii CO 1/80 Negative
Salmonella typhii H Negative Negative
Salmonella paratyphii AH Negative Negative
Salmonella paratyphii BH Negative Negative
Salmonella paratyphii CH Negative Negative

Tanggal 12 Februari 2018 di RSUD Surakarta


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hb 15.1 g/dl 12.0 – 15.6
Hct 42 % 33 – 45
AL 6.17 103/  L 4.5 – 11.0
AT 73 103 /  L 150 – 450
AE 5.22 106/  L 4.10 – 5.10
WIDAL
Salmonella typhii O 1/80 Negative
Salmonella paratyphii AO 1/80 Negative
Salmonella paratyphii BO 1/80 Negative
Salmonella paratyphii CO 1/160 Negative
Salmonella typhii H 1/80 Negative

16
Salmonella paratyphii AH 1/80 Negative
Salmonella paratyphii BH 1/80 Negative
Salmonella paratyphii CH Negative Negative

Tanggal 12 Februari 2018 di RSUD Dr. Moewardi


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Golongan darah A
HEMOSTASIS
PT 11.9 Detik 10.0 – 15.0
APTT 28.2 detik 20.0 – 40.0
INR 0.930
KIMIA KLINIK
GDS 120 mg/dL 60-140
SGOT 100 u/L <35
SGPT 85 u/L <45
Bilirubin total 1.09 Mg/dl 0.00 – 1.00
Albumin 4.3 g/dL 3.5 – 5.2
Creatinin 0.8 Mg/dL 0.9 – 1.3
Ureum 18 Mg/dl <50
ELEKTROLIT
Natrium darah 121 Mmol/L 136-145
Kalium darah 3.6 Mmol/L 3.3—5.1
Kalsium darah 1.11 Mmol/L 1.17-1.29
SEROLOGI
HbsAg Rapid Non reaktif Non reaktif

Tanggal 14 Febuari 2018 di RSUD Dr. Moewardi


ELEKTROLIT

17
Natrium darah 126 Mmol/L 136-145
Kalium darah 3.0 Mmol/L 3.3—5.1
Kalsium darah 0.9 Mmol/L 1.17-1.29

Tanggal 15 Febuari 2019 di RSUD Dr. Moewardi


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hb 11.8 g/dl 12.0 – 15.6
Hct 34 % 33 – 45
AL 8.7 103/  L 4.5 – 11.0
AT 71 103 /  L 150 – 450
AE 4.07 106/  L 4.10 – 5.10
KIMIA KLINIK
SGOT 150 u/L <35
SGPT 98 u/L <45
ELEKTROLIT
Natrium darah 126 Mmol/L 136-145
Kalium darah 3.0 Mmol/L 3.3—5.1
Kalsium darah 0.94 Mmol/L 1.17-1.29
SEROLOGI
Anti HBc Negatif
Anti HCV Negatif

Tanggal 19 Febuari di RSUD. Dr. Moewardi


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hb 10.3 g/dl 12.0 – 15.6
Hct 34 % 33 – 45
AL 6.0 103/  L 4.5 – 11.0
AT 189 103 /  L 150 – 450

18
AE 3.69 106/  L 4.10 – 5.10
ELEKTROLIT
Natrium darah 132 Mmol/L 136-145
Kalium darah 3.2 Mmol/L 3.3—5.1
Kalsium darah 1.14 Mmol/L 1.17-1.29

B. Elektrokardiografi
Tanggal: 12 Februari 2018

Kesimpulan :
Sinus ritmis, HR 92x/menit, normoaksis.

19
C. Foto rontgen thoraks
Tanggal 12 Februrari 2018

Cor: Besar dan bentuk normal


Pulmo: tak tampak infiltrasi di kedua lapang paru, corakan
bronkovaskuler normal
Sinus costophrenicus kanan kiri tajam
Hemidiaphragma kanan kiri normal
Trakhea di tengah
Sistema tulang baik
Kesimpulan :
Cor dan pulmo tak tampak kelainan.

20
IV. RESUME
1. Keluhan utama
Demam sejak 7 hari SMRS
2. Anamnesis:
Demam sejak 7 hari SMRS. Demam muncul mendadak dan
dirasakan terus menerus, lebih berat dirasakan terutama pada malam
hari. Pasien sudah minum obat namun tidak membaik. Demam
disertai dengan badan menggigil. Pasien juga mengeluh sakit hepala
bagian depan hingga ke mata. Pasien juga mengeluhkan pegal-pegal
di seluruh tubuh saat demam disertai nyeri otot dan sendi. Pasien
juga mengeluh mata merah, tidak gatal dan berair. Pasien juga
mengeluh nyeri ulu hati dirasakan bersamaan dengan munculnya
demam dan pegal di seluruh badan.
Pasien sebelumnya sudah berobat ke Puskesmas Gilingan
namun tidak membaik. Pasien kemudian datang ke Puskesmas
Sibela dilakukan pemeriksaan laboratorium. Pasien kemudian
disarankan ke RSUD Surakarta, dilakukan pemeriksaan
laboratorium dan tes Widal, kemudian karena keterbatasan fasilitas,
pasien berobat ke RSDM.
3. Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum tampak sakit sedang, compos mentis, GCS
E4/V5/M6. Kesan gizi normoweight. Tekanan darah 120/70
mmHg, nadi 92 kali/menit, frekuensi nafas 20 kali /menit, suhu
38,1oC, VAS 2. Sklera ikterik (+/+), konjungtiva suffusion (+/+),
lensa keruh (+/-), Rumple leed (+)
4. Pemeriksaan tambahan:
a. Laboratorium darah (12/2/2018):
AT: 67, Bilirubin total 1.09 mg/dl; SGOT 100u/l; SGPT 85
u/l; Na 121 mmol/L; Ca 1.11 mmol/L
b. Elektrokardiagrafi

21
Sinus rythm, heart rate 92bpm, normoaxis.
c. Foto Thoraks PA
Cor dan pulmo tak tampak kelainan.

V. DIAGNOSIS LABORATORIUM
1. Trombositopenia
2. Peningkatan enzim transaminase (SGOT 100u/l; SGPT 85 u/L)
3. Imbalance elektrolit (Na=121mmol/L, Ca=1.11 mmol/L)

VI. DIAGNOSIS KLINISI


Observasi febris hari ke 7 ec Dengue hemorrhagic fever grade I DD
leptospirosis DD typhoid fever

VII. PROGNOSIS
1. Ad vitam : dubia ad bonam
2. Ad sanam : dubia ad bonam
3. Ad fungsionam : dubia ad bonam

22
RENCANA AWAL

Pengkajian Rencana Awal Rencana Rencana


No Diagnosis Rencana Terapi
(Assesment) diagnosis Edukasi Monitoring
1. Observasi febris Anamnesis: IgM Dengue  Bedrest tidak total Penjelasan  KUVS /8jam
hari ke 7 ec Demam sejak 7 hari SMRS IgM anti-HAV  Diet TKTP 1700kkal kepada pasien  BC /24 jam
Dengue muncul mendadak terus menerus. IgM leptospira  Infus RL 30 tpm tentang  Awasi tanda
hemorrhagic Sakit kepala depan hingga mata, Kultur darah  Paracetamol penyakit, obat syok dan
fever grade I dd nyeri otot (+), mata merah (+), 500mg/8jam k/p yang perdarahan
leptospirosis dd nyeri ulu hati (+)  Inj Cefoperazone diberikan, dan  Cek darah
typhoid fever Pemeriksaan fisik: sulbactam 1g/12 jam komplikasinya rutin/ hari
KU: composmentis, suhu : iv
38.1 C
o

Sklera ikterik (+/+), konjungtiva


suffusion (+/+), Rumple leed (+)
Pemeriksaan Penunjang:
Hct : 42%
Trombosit : 67 ribu/uL
3 Peningkatan Anamnesis:  Paracetamol Penjelasan  Cek SGOT,
enzim Nyeri ulu hati (+) hilang timbul, 500mg/8jam po kepada pasien SGPT/3
transaminase tidak berkurang dengan  Curcuma 1 tab/8jam tentangkondisi hari
pemberian makan po dan
Pemeriksaan Fisik: komplikasinya
VAS 2
Sklera ikterik (+/+)
Pemeriksaan Penunjang:
SGOT 100u/L
SGPT 85u/L
4 Imbalance Pemeriksaan Penunjang:  Infus NaCl 3% 1 Penjelasan  Cek
elektrolit Na 121 mmol/L fl/24 jam kepada pasien elektrolit
Ca 1.11 mmol/L  CaCO3 1 tab /8jam tentangkondisi post koreksi
Osmolaritas plasma = po dan
2(121+3.6) + 120/18 + 18/6 = komplikasinya
258.8 mosmol/L
(hipoosmolaritas)

24
BAB II
TEORI DAN PEMBAHASAN

I. DENGUE FEVER

A. Definisi
Demam dengue (DF) dan demam berdarah dengue/ Dengue
Hemmoragic Fever (DBD/ DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau
nyeri sendi yang disertai leukopenia Ruam, limfadenopati, trombositopenia,
dan diastesis hemoragik (Suhendro et al., 2014).
Pasien pada kasus ini mengalami demam, nyeri otot, nyeri sendi,
serta hasil lab diketahui trombositopenia, sesuai dengan kriteria DHF yang
disebutkan di atas.

B. Kriteria DHF
Kriteria Klinik dan Laboratoris DHF menurut WHO
Kriteria DHF dipenuhi apabila terdapat 2 kriteria klinik dan 1 kriteria
laboratorium
1. Demam tinggi mendadak, terus menerus selama 2-7
Kriteria Klinik
hari
2. Terdapat manifestasi perdarahan seperti torniquet
positif, petechiae, echimosis, purpura, perdarahan gusi
dan hematemesis dan atau melena
3. Pembesaran hati
4. Syok ditandai dengan nadi lemah dan cepat, tekanan
nadi turun, tekanan darah turun, kulit, dingin dan
lembab terutama di ujung jari dan ujung hidung,
sianosis sekitar mulut, dan gelisah.
Kriteria 1. Trombositopenia (100.000ul atau kurang)

25
laboratoris
2. Hemokonsentrasi, peningkatan hematokrit 20% atau
lebih.

Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue (WHO 2013)

Berdasarakan klasifikasi WHO, pada kasus ini diketahui masuk dalam DHF
derajat I, dikarenakan:
- Gejala klinis demam
- Pemeriksaan Fisik : Rumple leed (+)
- Pemeriksaan laboratorium : Trombositopenia (<100.000)

C. Patofisiologi
Repons imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DHF
adalah :

26
a. Respons humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan
dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi
komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibodi
terhadap virus dengue berperan dalam mepercepat replikasi virus
pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody
dependent enhancement (ADE)
b. Limfosit T baik T helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan
dalam imun selular terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper
yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, Il-2, dan
limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL 4, IL 5, IL 6, dan IL
10.
c. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan
opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag.
d. Aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan
terbentuknya C3a dan C5a.

Patofisiologi pada kasus ini terjadinya DHF adalah sebagai berikut:


- Pada tahap awal virus dengue akan menyerang sel sel makrofag
dan bereplikasi dalam sel Langerhans dan makrofag di limpa.
Selanjutnya, akan menstimulasi pengaturan sel T, reaksi silang
sel T aviditas rendah dan reaksi silang sel T spesifik, yang akan
meningkatkan produksi spesifik dan reaksi silang antibodi. Pada
tahap berikutnya terjadi secara simultan reaksi silang antibodi
dengan trombosit, reaksi silang antibodi dengan plasmin dan
produk spesifik. Proses ini kemudian akan meningkatkan peran
antibodi dalam meningkatkan titer virus dan di sisi lain antibodi
bereaksi silang dengan endotheliocytes. Peran antibodi
menyebabkan aktivasi T helper dan T sitotoksik yang diproduksi
limfokin dan interferon gamma. Pada tahap berikutnya terjadi
efek replikasi sel mononuclear. Di dalam sel endotel, terjadi

27
infeksi dan replikasi selektif dalam endotheliocytes sehingga
terjadi apoptosis yang menyebabkan disfungsi endotel. Di sisi
lain, akan terjadi stimulasi mediator yang dapat larut (soluble),
yaitu TNF α, INF γ, IL-1, IL-2, IL-6, IL-8, IL-10, IL-13, IL-18,
TGF β, C3a, C4b, C5a, MCP-1,CCL-2, VEGF, dan NO yang
menyebabkan ketidakseimbangan profil sitokin, dan mediator
lain; pada tahap berikutnya terjadi gangguan koagulasi, disfungsi
endotel, dan terjadi kebocoran plasma (Martina et al., 2009;
Suhendro et al., 2014).

28
Gambar 1. Model Patofisiologi DF, DHF, dan DSS

29
D. Diagnosis
Langkah penegakkan diagnosis suatu penyakit seperti anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang tetap berlaku pada penderita
infeksi dengue.
1. Anamnesis
Riwayat penyakit yang harus digali adalah saat mulai demam/sakit,
tipe demam, jumlah asupan per oral, adanya tanda bahaya, diare,
kemungkinan adanya gangguan kesadaran, output urin, juga adanya
orang lain di lingkungan kerja, rumah yang sakit serupa.
Pasien mengalami demam dan penurunan nafsu makan sesuai
dengan yang didapatkan pada anamnesis pasien DHF.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik selain tanda vital, juga pastikan kesadaran
penderita, status hidrasi, status hemodinamik sehingga tanda-tanda syok
dapat dikenal lebih dini, adalah takipnea/pernafasan Kusmaul/efusi
pleura, apakah ada hepatomegali/asites/kelainan abdomen lainnya, cari
adanya ruam atau ptekie atau tanda perdarahan lainnya, bila tanda
perdarahan spontan tidak ditemukan maka lakukan uji torniquet.
Sensitivitas uji torniquet ini sebesar 30 % sedangkan spesifisitasnya
mencapai 82 %.
Pada pasien ditemukan uji Rumple leed/ uji torniquet (+)
mengindikasikan DHF (+) sesuai teori tersebut di atas, dimana
spesifisitas uji torniquet sebanyak 82% dapat dipercaya untuk diagnosis
DHF.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah
pemeriksaan hematokrit dan nilai hematokrit yang tinggi (sekitar 20 %
atau lebih) menunjukkan adanya kebocoran plasma, selain itu hitung
trombosit cenderung memberikan hasil yang rendah.
Diagnosis konfirmatif diperoleh melalui pemeriksaan laboratorium,
yaitu isolasi virus, deteksi antibodi dan deteksi antigen atau RNA virus.

30
Imunoglobulin M (Ig M) biasanya dapat terdeteksi dalam darah mulai
hari ke-5 onset demam, meningkat sampai minggu ke-3 kemudian
kadarnya menurun. Ig M masih dapat terdeteksi hingga hari ke-60
sampai hari ke-90. Pada infeksi primer, konsentrasi Ig M lebih tinggi
dibandingkan pada infeksi sekunder. Pada infeksi primer,
Imunoglobulin G (Ig G) dapat terdeteksi pada hari ke -14 dengan titer
yang rendah (<1:640), sementara pada infeksi sekunder Ig G sudah
dapat terdeteksi pada hari ke-2 dengan titer yang tinggi (> 1 :2560) dan
dapat bertahan seumur hidup.
Pemeriksaan Antigen protein NS-1 Dengue (Ag NS-l) diharapkan
memberikan hasil yang lebih cepat dibandingkan pemeriksaan serologis
lainnya karena antigen ini sudah dapat terdeteksi dalam darah pada hari
pertama onset demam. Selain itu pengerjaannya cukup mudah, praktis
dan tidak memerlukan waktu lama. Dengan adanya pemeriksaan Ag
NS-l yang spesifik terdapat pada virus dengue ini diharapkan diagnosis
infeksi dengue sudah dapat ditegakkan lebih dini.
Laboratorium darah
 Leukosit : normal atau menurun (mulai hari 3 limfositosis relatif
(>45% darileukosit)); >15% total leukosit meningkat pada syok
 Trombosit : trombositopenia pada hari ke 3-8
 Hematokrit : kebocoran plasma dengan ditemukan hct ≥20% dari
hct awalpada hari ke 3 demam
 Hemostatis : pemeriksaan PT, APTT, fibrinogen, D-dimer, atau FFP
padakeadaan yang dicurigai perdarahan/kelainan bekuan darah
 Protein/albumin : dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran
plasma
 SGOT SGPT dapat meningkat
 Ur Cr tergantung fungsi ginjal
 Elektrolit : parameter pemantauan cairan
 Imunoserologi pemeriksaan IgG dan IgM terhadap dengue

31
- IgM : terdeteksi mulai dari hari ke 3-5, terjadi peningkatan
sampaiminggu ke 3, dan menghilang setelah 60-90 hari
- IgG : terdeteksi pada hari ke 14, pada infeksi sekunder mulai hari
ke 2
- NS1 : dari hari 1-8.
Hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien dalam kasus ini
didapatkan adanya anemia, trombositopenia, neutrofilia, peningkatan
SGOT, SGPT, serta adanya imbalance elektrolit. Hal ini sesuai dengan
kriteria laboratorium pasien DHF, namun sayangnya tidak dilakukan
pemeriksaan serologi NS-1, Ig-G, dan Ig-M anti Dengue dikarenakan
keterbatasan prosedur BPJS.

Radiologi
Efusi pleura pada terutama hemithorax kanan (sebaiknya posisi lateral
decubitus kanan).
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan Radiologi dikarenakan
untuk melihat adanya komplikasi pada organ paru (riwayat pasien
merokok 10 tahun) sebagai salah satu manifestasi klinis DHF (efusi
pleura). Pada hasil radiologi pasien ini tidak didapatkan kelainan
bermakna.

KETERLIBATAN ORGAN HEPAR PADA INFEKSI VIRUS DENGUE

Patogenesis terjadinya disfungsi hepar pada infeksi dengue masih


belum sepenuhnya diketahui. Peningkatan SGOT yang lebih besar
dibandingkan SGPT karena selain dihati, SGOT juga dilepaskan oleh otot
skeletal dan miokardium yang juga merupakan organ target infeksi dengue
(ALF, 2009). Penelitian membuktikan bahwa virus dengue dapat
menginfeksi sel Kuffer manusia, tetapi bukan untuk bereplikasi, melainkan
sel-sel ini mengalami apoptosis kemudian difagositosis. Apoptosis yang
terjadi lebih awal pada hepatosit yang terinfeksi virus dengue diikuti dengan

32
klirens yang cepat oleh sel fagositik sekitar membantu dalam encegahan
penyebran virus yang lebih luas. Hal inilah yang mungkin menyebabkan
kerusakan hepar pada infeksi dengue tidak seberat yang terjadi pada Yellow
Fever (infeksi golongan flavivirus yang sama-sama ditularkan oleh Aedes
aegypti). Hepatosit mungkin menjadi target primer di hati, terutama untuk
DHF berat/ severe dengue.
Kerusakan sel- sel hati dapat dideteksi dengan cara mengukur
substansi- substansi dalam serum yang berasal dari sitoplasma sel hati (enzim
dalam sitoplasma) dan substansi yang bocor kedalam cairan ekstraseluler.
Substansi dalam serum yang diukur biasanya adalah Glutamic-pyruvic
transaminase (SGPT) atau alanine aminotransferase dan Glutamic
Oxaloasetic transaminase (SGOT) atau aspartate aminotransferase. Dua
macam enzim itulah yang sering digunakan untuk diagnosis klinik kerusakan
sel hati (Rosida, 2016).
Peningkatan SGOT dan SGPT akan menunjukkan jika terjadi kerusakan
atau radang pada jaringan hati. Namun, SGPT lebih spesifik terhadap
kerusakan hati dibanding SGOT. Hal ini dikarenakan SGPT utamanya berada
di hepar. Hepatosit pada dasarnya adalah satu-satunya sel dengan konsentrasi
SGPT yang tinggi. Sedangkan ginjal, jantung, dan otot rangka mengandung
kadar sedang. SGPT dalam jumlah yang lebih sedikit dijumpai di pankreas,
paru, limpa, dan eritrosit. Sebaliknya, SGOT banyak dijumpai di jantung, otot
rangka, ginjal, dan otak sehingga kurang spesifik sebagai parameter fungsi
hati. Dalam hepatosit, SGPT ditemukan secara eksklusif dalam sitosol,
sedangkan isoenzim SGOT berada pada mitokondria dan sitosol (Soegondo,
2006; Corwin, 2005).
Pada kasus ini terjadi peningkatan SGOT dan SGPT karena enzim
SGOT dan SGPT mencerminkan keutuhan atau intergrasi sel-sel hati. Adanya
peningkatan enzim hati tersebut dapat mencerminkan tingkat kerusakan sel-
sel hati. Makin tinggi peningkatan kadar enzim SGOT dan SGPT, semakin
tinggi tingkat kerusakan sel-sel hati. Kerusakan membran sel menyebabkan
enzim Glutamat Oksaloasetat Transaminase (GOT) keluar dari sitoplasma sel

33
yang rusak, dan jumlahnya meningkat di dalam darah. Sehingga dapat
dijadikan indikator kerusakan hati (Ronald, et al., 2004; Price dan Wilson,
2005).

INTERPRETASI PEMERIKSAAN HEMATOLOGI PADA INFEKSI


VIRUS DENGUE
Hari pertama hingga ke-3 demam biasanya ditemukan leukopenia
dengan hitung jenis yang masih dalam batas normal. Leukopenia terjadi
karena depresi sumsung tulang akibat proses infeksi virus secara langsung
ataupun karena mekanisme tidak langsung melalui produksi sitokin
proinflamasi yang menekan sumsum tulang. Pada syok berat dapat dijumpai
leukositosis dengan ditandai adanya limfosit yang bertransformasi atipik atau
disebut juga limfosit plasma biru (LPB) yang cukup banyak dan ditemukan
neutropenia absolut. Hal tersebut karena pada SSD (derajat 3 dan 4) monosit
yang terinfeksi virus lebih banyak mengakibatkan sel limfosit berdiferensiasi
menjadi limfosit atipik.
Pada pasien ini ditemukan adanya anemia, trombositopenia dan
neutrofilia. Berdasarkan teori tersebut di atas, patofisiologi DHF melalui
produksi sitokin proinflamasi dapat mempengaruhi disfungsi endotel, sehinga
menyebabkan terjadinya gangguan pada sel darah merah, sel darah putih, dan
trombosit.
Dari hasil korelasi trombosit dan derajat klinik DHF didapatkan rerata
jumlah trombosit yang semakin menurun pada setiap peningkatan derajat
klinik DHF. Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme:
1. Supresi sumsum tulang
2. Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit
Gambaran sumsum tulang ada awal masa infeksi (<5 hari)
menunjukkan keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit sehingga terjadi
peningkatan kadar homeopoesis dalam darah. Kadar trombopoetin dalam
darah menunjukkan kenaikan sebagai kompensasi terhadap keadaan
trombositopenia. Destruksi trombosit melalui pengikatan fragmen C3g,

34
terdapat antibodi virus dengue, konsumsi trombosit selama proses
koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi
melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-
tromboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda degranulasi trombosit
(Suhendro et al., 2014).

Gambar 2. Trombositopenia pada DHF


Hasil korelasi hematokrit dan derajat klinik DHF memperlihatkan
nilai hematokrit pada derajat 1 meningkat, pada derajat 3 dan pada derajat 4
nilai rerata menurun. Kejadian tersebut kemungkinan terdapat perdarahan
atau anemia sehingga jumlah eritrosit rendah dan memengaruhi nilai
hematocrit menjadi rendah atau bahkan normal. Ukuran eritrosit juga dapat
memengaruhi viskositas darah. Jika ukuran eritrosit kecil maka viskositas
darah rendah sehingga bisa memengaruhi hematokrit. Hemokonsentrasi
dengan peningkatan hematokrit ≥20% merupakan salah satu kriteria
laboratorium yang dikeluarkan WHO. Hal tersebut mencerminkan
peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan plasma. Akibat kebocoran
ini, volume plasma berkurang dan sel darah merah banyak di dalam

35
pembuluh darah sehingga mengakibatkan syok hipovolemik dan kegagalan
sirkulasi. Syok hipovolemik yang terjadi dapat memperburuk derajat DHF.
Pada pasien ini diketahui adanya keluhan nyeri ulu hati yang tidak
dipengaruhi dengan pemberian makan, hal ini mungkin disebabkan terjadinya
dispepsia mengarah gastritis erosif yang melukai dinding lambung sehingga
didapatkan adanya anemia yang mempengaruhi viskositas darah dimana
mempengaruhi nilai hematokrit, walaupun tidak didapatkan hasil hematokrit
yang di atas normal, namun diketahui terjadi peningkatan normal tinggi (Hct
41%) yang mengindikasikan adanya gangguan pada permeabilitas kapiler.

HUBUNGAN IMBALANCE ELEKTROLIT DENGAN INFEKSI VIRUS


DENGUE

Hiponatremia adalah sebuah gangguan elektrolit (gangguan pada garam


dalam darah) dimana konsentrasi natrium dalam plasma lebih rendah dari
normal, khususnya di bawah 135 meq/L. Sebagian besar kasus hiponatremia
terjadi dalam hasil orang dewasa dari jumlah berlebih atau efek dari hormon
penahan air yang dikenal dengan nama hormon antidiuretik (Siregar P, 2009).
Hiponatremia paling sering merupakan komplikasi dari penyakit medis
lain yang dimana banyak cairan kaya natrium yang hilang ( misalnya karena
diare atau muntah ), atau kelebihan air yang terakumulasi dalam tubuh pada
tingkat yang lebih tinggi daripada yang dapat dieksresikan. Mengenai
hilangnya natrium sebagai penyebab hiponatremia, penting untuk dicatat
bahwa kerugian tersebut mempromosikan hiponatremia secara tidak
langsung.
Hipokalemia adalah keadaan dimana kadar kalium dalam plasma kurang
dari 3.5 mEq/L (Siregar P, 2009). Penyebab hipokalemia adalah :
1. Asupan kalium yang kurang
2. Pengeluaran kalim yang berlebihan melalui saluran cerna atau ginal atau
keringat.
3. Kalium masuk ke dalam sel.

36
Pengeluaran kalium yang berlebihan dari saluran cerna antara lain muntah,
selang nasogastrik, diare atau pemakaian pencahar.
Hipokalsemia (kadar kalsium darah yang rendah) adalah suatu keadaan
dimana konsentrasi kalsium di dalam darah kurang dari 8,8 mgr/dL darah
(Siregar, 2009).
Konsentrasi kalsium darah bisa menurun sebagai akibat dari berbagai
masalah. Hipokalsemia paling sering terjadi pada penyakit yang
menyebabkan hilangnya kalsium dalam jangka lama melalui air kemih atau
kegagalan untuk memindahkan kalsium dari tulang (Siregar, 2009).
Sebagian besar kalsium dalam darah dibawa oleh protein albumin,
karena itu jika terlalu sedikit albumin dalam darah akan menyebabkan
rendahnya konsentrasi kalsium dalam darah (Siregar, 2009).
Pasien mengalami gangguan elektrolit berupa hiponatremi,
hipokalemi, dan hipokalsemi yang disebabkan karena kurangnya asupan
makanan serta adanya keluhan mual muntah, hal tersebut sesuai dengan teori
di atas dimana adanya kekurangan intake makanan menyebabkan gangguan
keseimbangan elektrolit. Keadaan ini juga terjadi karena pada demam dengue
terjadi pembesaran plasma oleh karena permeabilitas kapiler yang
meningkat, sehingga natrium, albumin, kalsium, kalium, dan bahan lain
dalam darah bersama dengan air akan keluar menuju ekstravaskuler sehingga
mengakibatkan keadaan hyponatremia, hipokalemia, dan hipokalsemia.

II. LEPTOSPIROSIS

A. DEFINISI
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
mikroorganisme Leptospira intergans (Papdi). Sedangkan menurut Dikti
(2015), leptospirosis adalah penyakit bersumber dari binatang (zoonosis)
yang bersifat akut. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Leptospira dengan
spektrum penyakit yang luas dan dapat menyebabkan kematian.Penyakit
ini dikenal dengan berbagai nama seperti mud fever, slime fever, swamp

37
fever, autumnal fever, infektious jaundice, field fever, cane cutter fever,
canicola fever, nanukayami fever, 7-day fever dan lain-lain (Dit Jen PPM
& PL RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso, 2003).

B. PATOGENESIS

Gambar 3 . Penularan dan manifestasi leptosirosis

Masuk melalui luka di kulit, konjungtiva,


Selaput mukosa utuh

Multiplikasi kuman dan menyebar melalui aliran darah

Kerusakan endotel pembuluh darah kecil :
ekstravasasi Sel dan perdarahan


Perubahan patologi di organ/jaringan
- Ginjal : nefritis interstitial sampai nekrosis tubulus, perdarahan.
- Hati : gambaran non spesifik sampai nekrosis sentrilobular disertai

38
hipertrofi dan hiperplasia sel Kupffer.
- Paru : inflamasi interstitial sampai perdarahan paru
- Otot lurik : nekrosis fokal
- Jantung : petekie, endokarditis akut, miokarditis toksik
- Mata : dilatasi pembuluh darah, uveitis, iritis, iridosiklitis.

C. DIAGNOSIS
 ANAMNESIS
Tabel. Penilaian leptospirosis dengan Faine Score
A. Apakah penderita Jawab Nilai
Sakit kepala mendadak Ya/ tidak 2/0
Conjunctival suffusion Ya/ tidak 4/0
Demam Ya/ tidak 2/0
Demam ≥ 38ºC Ya/ tidak 2/0
Meningismus Ya/ tidak 4/0
Meningismus, nyeri otot, conjunctival Ya/ tidak 10/0
suffusion bersama-sama
Ikterik Ya/ tidak 1/0
Albuminuria atau azotemia Ya/ tidak 2/0
B. Faktor- faktor epidemiologic
Riwayat dengan kontak binatang pembawa Ya/ tidak 100
leptospira, pergi ke hutan, rekreasi, tempat
kerja, diduga atau diketahui kontak dengan
air yang terkontaminasi
C. Hasil laboratorium pemeriksaan serologic
Serologik (+) dan daerah endemik
Serum tunggal (+) titer rendah Ya/ tidak 2/0
Serum tunggal (+) titer tinggi Ya/ tidak 10/0
Serum sepasang (+), titer meningkat Ya/ tidak 25/0
Serologik (+) dan bukan daerah endemik

39
Serum tunggal (+) titer rendah Ya/ tidak 5/0
Serum tunggal (+) titer tinggi Ya/ tidak 15/0
Serum sepasang (+), titer meningkat Ya/ tidak 25/0
Berdasarkan kriteria di atas, leptospirosis dapat ditegakkan jika:
Presumptive leptospirosis, bila A atau A+B>26 atau A+B+C>25
Sugestive leptospirosis, bila A+B antara 20-25

 PEMERIKSAAN FISIK
- Gejala klinik menonjol : ikterik, demam, mialgia, nyeri sendi serta
conjungtival suffusion.
- Gejala klinik yang paling sering ditemukan : conjungtival suffusion
dan mialgia.
- Conjungtival suffusion bermanifestasi bilateral di palpebra pada
hari ke-3 selambatnya hari ke-7 terasa sakit dan sering disertai
perdarahan konjungtiva unilateral ataupun bilateral yang disertai
fotofobia dan injeksi faring, faring terlihat merah dan bercak-
bercak.
- Mialgia dapat sangat hebat, pemijatan otot betis akan menimbulkan
nyeri hebat dan hiperestesi kulit.
- Kelainan fisik lain : hepatomegali, splenomegali, kaku kuduk,
rangsang meningeal, hipotensi, ronkhi paru dan adanya diatesis
hemoragik.
- Perdarahan sering ditemukan pada leptospirosis ikterik dan
manifestasi dapat terlihat sebagai petekiae, purpura, perdarahan
konjungtiva dan ruam kulit.
- Ruam kulit dapat berwujud eritema, makula, makulopapula
ataupun urtikaria generalisata maupun setempat pada badan, tulang
kering atau tempat lain.
(Zein, 2006; Setyawan, 2002; Widarso & Yatim, 2000)

40
Gambar 4. Conjungtiva suffision dan ikterik pada sklera

 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan laboratorium umum
- Pemeriksaan darah
- Pemeriksaan darah rutin : leukositosis normal atau menurun.
- Hitung jenis leukosit : peningkatan netrofil
- Trombositopenia ringan.
- LED meninggi.
- Pada kasus berat ditemui anemia hipokrom mikrositik akibat
perdarahan yang biasa terjadi pada stadium lanjut perjalanan
penyakit.
b. Pemeriksaan fungsi hati
- Jika tidak ada gejala ikterik  fungsi hati normal.
- Gangguan fungsi hati : SGOT, SGPT dapat meningkat.
- Kerusakan jaringan otot  kreatinin fosfokinase meningkat

- peningkatan terjadi pada fase-fase awal perjalanan penyakit,
rata-rata mencapai 5 kali nilai normal.
c. Pemeriksaan laboratorium khusus
Pemeriksaan Laboratorium diperlukan untuk memastikan diagnosa
leptospirosis, terdiri dari pemeriksaan secara langsung untuk
mendeteksi keberadaan kuman leptospira atau antigennya (kultur,
mikroskopik, inokulasi hewan, immunostaining, reaksi polimerase
berantai), dan pemeriksaan secara tidak langsung melalui

41
pemeriksaan antibodi terhadap kuman leptospira (MAT, Ig-M dan
Ig-G Leptospirosis, ELISA, tes penyaring).

III. TYPHOID FEVER

A. Definisi
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh
Salmonella enterik serotype typhi atau paratyphi. Penyakit ini juga disebut
sebagai enteric fever, tifus, dan paratifus abdominalis. Tifoid karier adalah
seseorang yang feses atau urinnya mengandung S.typhi setelah satu tahun
pascademam tifoid tanpa gejala klinis (Widodo, 2014).

B. Etiologi
Etiologi demam tifoid adalah Salmonella typhi dan Salmonella
paratyphi bioserotipe A, B, atau C. Kedua spesies Salmonella ini berbentuk
batang, berflagel, aerobik, serta Gram negative (Widodo, 2014).

C. Manifestasi Klinis
Masa tunas sekitar 10-14 hari. Gejala yang timbul bervariasi (Widodo, 2014):
1. Pada minggu pertama, muncul tanda infeksi akut seperti demam, nyeri
kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare,
perasaan tidak nyaman di perut, batuk, dan epistaksis. Demam yang terjadi
berpola seperti anak tangga dengan suhu semakin tinggi dari hari ke hari,
lebih rendah pada pagi hari dan tinggi di sore hari.
2. Pada minggu ke dua gejala menjadi lebih jelas dengan demam, bradikardia
relatif, lidah tifoid (kotor di tengah, tepi, dan ujung berwarna merah
disertai tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan
kesadaran, dan yang lebih jarang berupa roseolae.

D. Pemeriksaan Penunjang

42
1. Pemeriksaan darah perifer. Leukopenia/normal/leukositis, anemia
ringan, trombositopenia, peningkatan laju endap darah, peningkatan
SGOT/SGPT;
2. Uji Widal. Deteksi titer antibodi terhadap S. typhi, S. paratyphi, yakni
aglutinin O (dari tubuh kuman) dan aglutinin H (flagela kuman). Titer
antibodi O > 1:320 atau antibodi H > 1:640 menguatkan diagnosis pada
gambaran klinis yang khas
3. Uji TUBEX : Uji semikuantitatif kolometrik untuk deteksi antibodi anti S.
typhi 09. Hasil positif menunjukkan infeksi Salmonellae serogroup D dan
tidak spesifik S. typhi. Infeksi S.paratyphi menunjukkan hasil negatif.
Sensitivitas 75-80% dan spesifitas 75-90%
4. Uji Typhidot. Deteksi IgM dan IgG pada protein membran luar S. typhi.
Hasil positif diperoleh 2-3 hari setelah infeksi dan spesifik
mengidentifikasi IgM dan IgG terhadap S. typhi. Sensitivitas 95%
spesifitas 76,6%.
5. Uji IgM Anti Salmonella: deteksi khusus IgM spesifik S. typhi pada
spesimen serum atau darah dengan menggunakan strip yang mengandung
antigen lipopolisakarida S. typhi dan anti IgM sebagai kontrol. Sensitivitas
65-77% dan spesifitas 95-100%. Akurasi diperoleh bila pemeriksaan
dilakukan 1 minggu setelah timbul gejala.
6. Kultur Darah: hasil postitif memastikan demam tifoid namun hasil
negatif tidak menyingirkan (WHO, 2009).

KESIMPULAN DAN SARAN

Pasien laki-laki usia 41 tahun dengan riwayat demam hari ke 7, nyeri


sendi, pegal-pegal, nyeri ulu hati, hasil pemeriksaan fisik didapatkan sklera ikterik
+/+, Rumpel leed (+), hasil laboratoriu ditemukan trombositopenia, peningkatan
enzim transaminase, serta electrolyte imbalance.

43
Trombositopenia disebabkan oleh penurunan jumlah trombosit akibat
proses agregasi trombosit, peningkatan enzim transaminase disebabkan pengaruh
dari kerusakan sel hepar akibat replikasi virus dengue di sel hepatosit, imbalance
electrolyte sebagai respon dari ekstravasasi plasma akibat peningkatan
permeabilitas vaskular.
Tatalaksana sudah dilakukan sesuai prosedur sehingga pasien mengalami
recovery yang cukup baik. Namun sayangnya, tidak diketahui jenis infeksi dengue
pada pasien primer atau sekunder, oleh sebab itu disarankan pemeriksaan serologi
IgG dan IgM Anti dengue untuk mengetahui progresivitas dari infeksi dengue.

DAFTAR PUSTAKA

ALF (2009). Newly diagnosed nonalcoholic fatty liver disease.http://www.liver


foundation.org/downloads/alf_download_921.pdf. Diakses 7 Febuari 2020.
Baratawidjaja K dan Rengganis I (2009). Imunologi dasar. Ed 8. Jakarta: Penerbit
FK UI.

44
Bhutta ZA. Current concepts in the diagnosis and treatment of typhoid fever. BMJ
2006; 333: 78-82.
Bijie H, Kulpradist S, Manalaysay M, Soebandrio A. In vitro activity,
pharmacokinetics, clinical efficacy, safety and pharmacoeconomics of
ceftriaxone compared with third and fourth generation cephalosporins:
Review. Journal of Chemotherapy 2005;17(1):3-24
Budiriyanto, M. Hussein Gasem, Bambang Pujianto, Henk L Smits (2002).
Serovars of Leptospirosis in patients with severe leptospirosis admitted to
the hospitals of Semarang. Konas PETRI.
Corwin E. 2005. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Dainanty NR (2012). Hubungan antara Faktor Lingkungan Fisik Rumah dan
Keberadaan Tikus dengan Kejadian Leptospirosis di Kota
Semarang.Jurnal Kesehatan Masyarakat, 1(2):1018-28
Day NPJ, Edwards CN. Leptospirosis. In: Cohen J, Opal SM, Powderly WG,
editors. Infectious diseases. 3rd ed. London: Mosby Elsevier; 2010. p.
1241-2.
Dit Jen PPM & PL RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso. (2003). Pedoman Tatalaksana
Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium Leptospirosis di Rumah Sakit.
Departemen Kesehatan RI : Jakarta.
Dwijanthi L, Novrianti A, Karolina S (eds). Alih Bahasa: Hartono A. Bates buku
ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan Bates' guide to physical
examination and history taking/ Lynn S Bickley. Edisi ke 8. 2009. Jakarta:
EGC. p. 183.
Gillespie, Stephen H, Bamford KB (2008). At a glace: mikrobiologi medis dan
infeksi. Erlangga: Jakarta.
Hadinegoro SR, Kadim M, Devdera Y, Idris NS, Ambarsari CG (2012). Update
management of infectious diseases and gastrointestinal disorders. Jakarta :
FK UI.
Iskandar Z (1975). Typhus abdominalis di RS Persahabatan Jakarta. Naskah
lengkap kongres persatuan ahli penyakit dalam Indonesia III. Bandung.

45
Kalayanarooj, S., 2011. Clinical Manifestations and Management of
Dengue/DHF/DSS. Trop. Med. Health 39, 83–87. doi:10.2149/tmh.2011-
S10
Kanksy JJ. Acute Congestive Angle Closure Glaucoma in Clinical
Ophthalmology A Systemic Approach. Sixth Edition. Butterworth:
Heinemann Elsevier; 2005. p. 391-7.
Kaplan SA, Patel IH. Pharmacokinetic profile of ceftriaxone in man. The
American Journal of Medicine 1984;77(4C):17-25.
Kemenkes (2010). Demam berdarah dengue. Jendela Epidemiologi (2), p : 21-23
Kepmenkes (2006). Pedoman pengendalian demam tifoid. Jakarta : Kepmenkes
RI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). (2010). Buletin
Jendela Epidemiologi Demam Berdarah Dengue. Jakarta.
Kementerian Kesehatan (2015). Leptospirosis: kenali dan waspadai.
http://www.depkes.go.id/pdf.php?id=15022400002 – Diakses pada Maret
2018.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). (2016). Penderita
DBD Tertinggi Pada Anak Sekolah Penderita DBD Tertinggi Pada Anak
Sekolah. Diakses tanggal 7 Febuari 2020, dari: http://www.depkes. go.id /
article/view/16031400001/penderita-dbd-tertinggi-pada-anak-
sekolah.html.
Kumar SS (2013). Indian guidelines for the diagnosis and management of human
leptospirosis. API Medicine update (23); p23-9.
Lardo S (2013). Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue dengan Penyulit.
CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013
Lesser CF, Miller SI. Salmonellosis. Dalam: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL.
Hauser SL. Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s principle of internal
medicine. Edisi ke-18. New York: McGraw-Hill.
Manson B dan Bell (1987). Typhoid fever in Manson’s tropical disease, edited by
Manson Bahr and Bell. Edisi 19, pp 194-206.

46
Medecins Sans Frontieres (2016). Clinical guidelines. Diagnosis and treatment
manual. Jerman : Medecins Sans Frontieres.
Mehta KK. Changing trends in typhoid fever. Medicine Update 2008; 18: 201-4.
Perez-Inestrisa E, Suau R, Maria IM, Rebeca R, Cristobalina M, Torres MJ, et al.
Cephalosporin chemical reactivity and its immunological implications.
Current Opinion in Allergy and Clinical Immunology 2005;5(4): 323-30.
Perry TR, Jerome JS. Clinical use of ceftriaxone a pharmacokinetic-
pharmacodynamic perspective on the impact of minimum inhibitory
concentration and serum protein binding. Clinical Pharmacokinetics
2001;40(9):685-94.
Price SA, Wilson LM. 2005. Patofisiologi: konsep klinis proses- proses penyakit.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Ronald et al. 2004. Tinjauan Kilis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta: EGC
Rosida A. 2016. Pemeriksaan Laboratorium Penyakit Hati. Berkala Kedokteran.
Feb 2016: 123-131.
Setyawan Budiharta (2002). Epidemiologi Leptospirosis. Seminar Nasional
Bahaya Dan Ancman Leptospirosis, Yogyakarta, 3 Juni 2002.
Siregar P (2009). Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Ilmu penyakit
dalam . Edisi V. Jakarta : Interna Publishing.
Sherlock S, Dooley J. 2002. Diseases of the liver and biliary system. United State
of America: Blackwell publishing.
Soegondo S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed 4 jilid 2. Jakarta:
Perhimpunan SpesialisPenyakit Dalam Indonesia, pp: 1974-80.
Soedarto. (2012). Demam Berdarah Dengue. Jakarta: CV Agung Seto.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu.
Penyakit Dalam Jilid I edisi VI. 2010. Jakarta: Interna Publishing. p. 176-
7.
Suhendro, et al. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, ed 5,
jilid III. Jakarta: Internal Publishing; 2006: 1732-1735
Suryaatmadja M. 2009. Pemeriksaan laboratorium uji fungsi hati. Buletin ABC.

47
Valentino, B. (2012). Hubungan Antara Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap
dengan Derajat Klinik Infeksi Dengue pada Pasien di RSUP dr. Kariadi
Semarang. Karya Tulis Ilmiah Strata Satu, Universitas Diponegoro,
Semarang.
Wahyuni, R.D. & Sabir, M..(2011). Karakteristik Penderita Demam Berdarah
Dengue (DBD) di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar Periode
Januari – Desember 2010. Inspirasi : No. XIV Edisi Oktober 2011.
Widarso & Yatim.F (2000). Leptospirosis dan Ancamannya, Majalah Kesehatan
No. 15 Tahun 2000. Departemen Kesahatan, Jakarta
Widodo J (2014). Demam tifoid. Dalam: Setiati S, Alwi J, Sudoyo AW,
Simadibarata M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing.
Womack, M. 1993.The yellow fever mosquito, Aedes aegypti. Wing Beats, Vol.
5(4):4
World Health Organization (1997). Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment,
Prevention and Control. Geneva.
World Health Organization (2003). Human Leptospirosis guidance for diagnosis,
surveillance and control. Geneva : WHO.
World Health Organization (WHO) (2009). Background document: The
diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. Communicable
disease surveillance and response vaccines and biologicals. Geneva:
WHO.
World Health Organization, Regional Office for South-East Asia (2013).
Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and
dengue haemorrhagic fever. Revised and expanded edition. New Delhi:
WHO-SEARO. SEARO Technical Publication Series No. 60.
World Health Organization (WHO). (2017). Dengue and severe dengue. Diakses
9 Febuari 2020, dari:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/.p
Zein Umar. (2006). “Leptospirosis”, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III,
edisi 4. FKUI : Jakarta. Hal.1845 – 1848.

48
49

Anda mungkin juga menyukai