Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik (SN) merupakan penyakit ginjal dengan gejala edema


anasarka, proteinuria masif (> 50 mg/kgBB), hipoalbuminemia (< 2,5 gr/dl),
hiperkolesterolemia (> 250 mg/dl). 1,2,3
Angka kejadian SN terbanyak pada anak umur 3-4 tahun dengan
perbandingan pria : wanita = 2 : 1. 1,3
Penyebab pasti SN belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu
penyakit autoimun. Jadi, merupakan suatu reaksi antigen antibodi. Berdasarkan
etiologinya SN dapat dibagi menjadi 1) SN bawaan (kongenital), hal ini jarang
dijumpai dan bersifat autosomal, 2) SN primer/idiopatik yang berhubungan
dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui, 3) SN sekunder
yang disebabkan oleh penyakit tertentu, seperti; DM, amiloidosis, hepatitis B,
malaria, sckistosoma, lepra, sifilis dan lain-lain. 1,2,3
Pada SN terjadi hipoalbuminemia, hal ini disebabkan oleh meningkatnya
ekskresi albumin dalam urin dan meningkatnya degradasi dalam tubulus renal
yang melebihi daya sintesis hati. 3,4
Ada 2 teori mengenai patofisiologi terjadinya edema pada SN; teori
underfille dan teori overfille. Pada teori underfille dijelaskan pembentukan edema
terjadi karena hipoalbuminemia, akibat kehilangan protein melalui urin.
Sedangkan pada teori overfille dijelaskan retensi natrium dan air. 3,4
Gejala klinis SN adalah edema. Dimana edema merupakan gejala klinis
yang paling menonjol, kadang-kadang mencapai 40% dari pada berat badan dan
didapatkan anasarka. Edema biasanya diawali pada wajah dan palpebra, kemudian
pada perut (asites) karena adanya akumulasi cairan di intraperitoneal dan kaki
serta edema scrotum. Selain itu, dapat pula terjadi sesak napas karena adanya
cairan pada rongga pleura (efusi pleura) ataupun akibat tekanan abdominal yang
meningkat akibat asites. Pada asites yang berat dapat terjadi hernia umbilikalis
dan prolaps ani. 1,5

1
Pengobatan SN menurut ISKDC (International Study of Kidney Disease in
Children) yaitu; pengobatan dengan kortikosteroid (prednison) dimulai dengan
dosis 2 mg/kgBB/hari dibagi menjadi tiga atau empat dosis. Waktu yang
dibutuhkan untuk berespon dengan prednison sekitar 2 minggu, responnya
ditetapkan pada saat urin bebas protein 3 hari berturut-turut. Jika anak berlanjut
menderita proteinuria (+2 atau lebih) setelah 1 bulan pemberian prednison dosis
terbagi secara terus menerus setiap hari, maka disebut resisten steroid dan
mengindikasi dilakukan biopsi ginjal untuk menentukan penyebab penyakit yang
tepat.1,3
Sedangkan pengobatan suportif pada SN yaitu; 1). Terapi dietetik dimana
pemberian garam dibatasi 1 gram/hari dan berikan makanan yang mengandung
protein tinggi sebanyak 3-4 gram/kgBB/hari, 2). Pengobatan terhadap edema;
dapat diberikan diuretik (furosemid) dengan dosis 25-100 mg/hari, 3).
Hiperlipidemia; dapat diberikan obat penghambat HMG-CoA reduktase seperti
simvastatin, lovastatin dan pravastatin. 1,3
Komplikasi dari SN dapat terjadi: (1,3)
1. Infeksi sekunder, dan paling sering adalah selulitis dan peritonitis
2. Hipokalsemia, terjadi karena penggunaan steroid jangka panjang yang
menimbulkan osteoporosis dan karena kebocoran metabolit vitamin D
3. Hipovolemia, akibat pemberian diuretik yang berlebihan dengan gejala
hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin dan sering disertai sakit perut
4. Penyulit lain yang dapat terjadi diantaranya hipertensi, gagal ginjal akut,
gagal ginjal kronik (setelah 5-15 tahun).

Prognosis sindrom nefrotik bervariasi tergantung pada tipe kelainan


histopatologi. Prognosis untuk SN kongenital adalah buruk, pada banyak kasus
dalam 2-18 bulan akan terjadi kematian karena gagal ginjal. Sedangkan prognosis
SN dengan kelainan minimal glomerulus sangat baik. Karena pada kebanyakan
anak berespon terhadap steroid; sekitar 50% mengalami 1-2 kali relaps dalam 5
tahun dan 20% dapat relaps dalam kurun waktu 10 tahun setelah didiagnosis.
Hanya 30% anak yang tidak pernah relaps. 1,3

2
Diare merupakan buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air
besar encer tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah.2 Diare dibagi menjadi
dua, yaitu diare akut dan diare persisten atau diare kronik. Diare akut adalah diare
yang berlangsung kurang dari 14 hari, sementara diare persisten atau diare kronis
adalah diare yang berlangsung lebih dari 14 hari.2

Cara penularan diare pada umumnya melalui fekal-oral yaitu melalui 4F


{finger(jari-jari tangan), flies(lalat), fluid(cairan), field(lingkungan)}. Faktor
resiko yang dapat meningkatkan penularan enteropatogen antara lain: tidak
memberikan ASI secara penuh untuk 4-6 bulan pertama kehidupan bayi, tidak
memadainya penyediaan air bersih, pencemaran air oleh tinja, kurangnya sarana
kebersihan (MCK), kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk, penyiapan dan
penyimpanan makanan yang tidak higienis dan cara penyapihan yang tidak baik.6

Secara umum, diare disebabkan 2 hal yaitu gangguan pada proses absorbsi
atau sekresi.7 Sesuai rekomendasi WHO/UNICEF dan IDAI, sejak tahun 2008
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menetapkan lima pilar
penatalaksanaan diare “LINTAS DIARE” (Lima Langkah Tuntaskan Diare)
sebagai salah satu strategi dalam pengendalian penyakit diare di Indonesia yaitu
oralit, zink, ASI/nutrisi, antibiotik dan edukasi.7
Prognosisnya baik bila segera dilakukan terapi untuk mencegah terjadinya
dehidrasi yang berat.6
Berikut akan di bahas laporan kasus mengenai Sindrom nefrotik relaps dan
diare akut pada seorang anak yang dirawat di RSU Anutapura Palu.

3
BAB II

LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN

a. Nama : An. B
b. Jenis kelamin : Perempuan
c. umur : 27 Mei 2008/9 Tahun 11 Bulan
d. Agama : Hindu
e. Kebangsaan : Indonesia
f. Suku bangsa : Bali
g. Nama ibu : Ny.S Umur : 30
h. Nama ayah : Tn.W Umur : 33
i. Pekerjaan ayah : Wiraswasta
j. Pekerjaan ibu : Ibu Rumah Tangga
k. Alamat : Pantai Timur
l. No. Telp :-
m. Dikirim oleh : Puskesmas Sumber Sari
n. Masuk dengan diagnose :Glomerulonefritis Akut Paska Streptococcus
o. Tanggal /jam masuk rumah sakit : 25 April 2018
p. Masuk ke ruangan : Murai Bawah
q. Diagnosis : Sindroma Nefrotik Relaps
r. Anamnesis : oleh ibu pasien
s. Anak : Ke 2 dari 3 bersaudara
t. Tanggal lahir : 27 Agustus 2012
u. Partus / oleh : Normal / bidan

5
FAMILY TREE

Ayah Ibu

= Laki- laki
= Perempuan
= Pasien

B. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama : Bengkak pada wajah dan perut

2. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien masuk dengan keluhan bengkak pada wajah dan perut yang dialami
sejak 1 hari yang lalu. Demam sejak 1 hari sebelum masuk RS terus menerus,
sudah diberikan obat penurun panas tetapi tidak ada perubahan. Menggigil (-),
Kejang (-), batuk (-), sesak (+), mual (+), muntah (+) 1 kali sejak sehari sebelum
MRS. Sakit menelan (-), BAB cair 5 kali sejak sehari sebelum MRS yang
berwarna coklat kehitaman, BAB biasa. Pasein juga mengeluh penurunan nafsu
makan, anak juga tampak gelisah. Sebelumnya pasien mengalami flu dan sakit
tenggorokan.

3. Riwayat Penyakit Sebelumnya :


Sebelumnya pasien sudah pernah mengalami penyakit yang sama seperti
ini pada 2 tahun lalu dan saat usia 2 dan 5 tahun.

6
4. Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada keluarga dirumah yang sakit serupa. Tidak ada keluarga yang
memiliki riwayat alergi, asma, diabetes, tekanan darah tinggi serta penyakit
lainnya.

5. Riwayat kebiasaan dan lingkungan :


Sering konsumsi makanan yang berbumbu, seperti mie goreng, maupun makan
snack. Pasien juga suka menonton TV, bermain bersama teman-teman
dilingkungan rumahnya.

6. Riwayat Sosial – Ekonomi :

Anak tinggal di jalan Jamur. Lingkungan rumah dekat pasar Inpres merupakan
lingkungan padat penduduk dan berpolusi tinggi. Status sosial ekonomi anak
masuk dalam kategori menengah.

7. Riwayat Kehamilan :
1) Riwayat ANC lengkap
2) Riwayat sakit saat awal kehamilan tidak ada
3) Riwayat sakit dan hipertensi saat kehamilan : -

8. Riwayat Persalinan :
1) Anak lahir spontan dirumah bersalin dengan BB lahir 3000 gr dan PB : 48 cm
2) Saat lahir anak langsung menangis, kebiruan dan kuning patologis saat lahir
(-) dan gerak bebas

9. Kemampuan dan kepandaian bayi :


1) Membalik : 3 bulan
2) Tengkurap : 4 bulan
3) Duduk : 6 bulan
4) Merangkak : 8 bulan
5) Berdiri : 1 tahun

7
6) Berjalan : 1 tahun 2 bulan
7) Tertawa : 1 tahun
8) Berceloteh : 1 tahun 2 bulan
9) Memanggil papa : 11 bulan

10. Penyakit yang sudah pernah di alami:


1) Morbili : (-)
2) Varicella : (-)
3) Pertussis : (-)
4) Diare : (+)
5) Cacing : (-)
6) Batuk / pilek : (+)
7) Lain – lain : (-)

11. Anamnesis Makanan :


- ASI usia 0-6 bualan
- ASI, susu formula, dan bubur saring usia 6-9 bulan
- Makanan padat (nasi) usia 1 tahun-sekarang
Anak meminum ASI (air susu ibu) sejak lahir sampai berumur 6 bulan. Saat
anak memasuki usia 6 bulan diberikan ASI dan juga makanan pendamping ASI
(bubur saring) sampai usia 9 bulan. Saat anak memasuki usia 1 tahun mulai
diberikan makanan padat seperti nasi, sayur dan buah.

12. Riwayat imunisasi :


1) BCG : 1 kali pemberian (1 bulan)
2) POLIO : 4 kali pemberian (lahir - 2 bulan – 4 bulan - 6 bulan)
3) DTP : 3 kali pemberian (2 bulan - 4 bulan – 6 bulan)
4) HEPATITIS B : 3 kali pemberian (lahir - 2 bulan – 6 bulan)
5) CAMPAK : 1 kali pemberian (9 bulan)
Imunisasi pada pasien ini lengkap.

8
C. PEMERIKSAAN FISIK

1. Keadaan umum : Sakit sedang


1) Status Gizi : Gizi kurang (BB/TB = 83 %)
BB/U : 22,5/31x100% = 72%
TB/U : 130/136x100% = 95%
BB/TB : 22,5/27x100% = 83%
2) Sianosis : Tidak ditemukan
3) Ikterus : Tidak ditemukan
4) Kejang : Tidak ditemukan
5) Anemia : Tidak ditemukan
6) Kesadaran : Compos Mentis
7) Denyut nadi : 150 Kali/men
8) Suhu : 38o C
9) Respirasi : 30 kali/menit
10) TD : 130/70 mmHg
2. Berat Badan : 28 kg (BB koreksi 22,5 kg)
3. Tinggi Badan : 130 cm
4. Lingkar Kepala : 55 cm (Normocephal)
5. Lingkar Perut : 60 cm
6. Kulit
1) Warna : sawo matang
2) Efloresensi : tidak ditemukan
3) Pigmentasi : tidak ditemukan
4) Jaringan parut : tidak ditemukan
5) Lapisan lemak : tidak ditemukan
6) Lain-lain : tidak ditemukan
7) Tonus : baik
8) Turgor : < 2 detik
9) edema : Wajah dan perut, pitting edem (+)
7. Kepala

9
1) Wajah : Bulat (+), kesan edema, edema periorbital (+)
2) Deformitas : Tidak ada
3) Bentuk : Normocephal
4) Rambut : Hitam, lurus, sulit dicabut
5) Ubun ubun besar : Menutup
8. Mata
1) Exopthalmus : Tidak ditemukan
2) Tekanan Bola Mata : Palpasi normal
3) Konjungtiva : Anemis -/-
4) Sklera : Ikterik -/-
5) Corneal refleks : Positif
6) Pupil : Isokor, RCL+/+, RCTL+/+
7) Lensa : jernih
8) Fundus : tidak dilakukan
9) Visus : tidak dilakukan
10) Gerakan : baik kesegala arah
9. Telinga : Othore (-)
10. Hidung : Rhinore (-)
11. Mulut
1) Bibir : basah
2) Lidah : kotor (-)
3) Gigi : tidak ada kelainan
4) Selaput mulut : basah
5) Gusi : perdarahan (-)
6) Bau pernapasan : tidak berbau
7) Tenggorokan : hiperemis (-)
a. Tonsil : T1/T1 Hiperemis (-)
b. Pharynx : Hiperemis (-)

12. Leher
1) Trachea : letak di tengah
2) Kelenjar : pembesaran KGB (-), thiroid (-)

10
3) Kaku kuduk : tidak dilakukan
4) Dan lain lain : tidak dilakukan
13. Thorax
1) Bentuk : simetris bilateral
2) Rachitic rosary : tidak ditemukan
3) Ruang intercosta : tidak melebar
4) Pericordial bulding : tidak ditemukan
5) Lain-lain : tidak ditemukan
6) Xiphosternum : tidak ditemukan
7) Hamston’s grove : tidak ditemukan
8) Pernapasan paradoxal : tidak ditemukan
9) Retraksi : tidak ditemukan
14. Paru-paru
1) Inspeksi : Simetris, retraksi (+), massa (-), sikatriks (-)
2) Palpasi : Vokal fremitus (+) sama kiri kanan, Nyeri tekan (-)
3) Perkusi : Sonor (+) diseluruh lapang paru
4) Auskultasi : Bunyi vesikular (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
15. Jantung
1) Detak jantung : 96 kali / menit
2) Ictus cordis : Ictus Cordis tampak dan teraba pada SIC V linea
midclavicula sinistra
3) Batas kiri : SIC V linea midclavicula sinistra
4) Batas kanan : SIC V linea Parasternal dextra
5) Batas atas : SIC II linea midclavikula sinistra
6) Bunyi jantung apex :
7) Bising jantung : tidak ditemukan
16. Abdomen
1) Bentuk : Cembung (+), massa (-), distensi (-), sikatris (-)
2) Lain-lain : peristaltik (+),kesan meningkat,ascites (+), perkusi
` redup (+) sifting dulnes (+)
3) Lien : tidak teraba

11
4) Hepar : tidak teraba
17. Genital : tidak diperiksa
18. Kelenjar : tidak ada pembesaran KGB
19. Anggota gerak : Ekstremitas atas dan bawah akral hangat (+).
Edema (+/+)
20. Tulang belulang : Skoliosis (-), Lordosis (-), Kyphosis (-)
21. Otot-otot : Atrofi (-), eutrofi (+)
22. Refleks : Refleks fisiologis normal, patologis (-)

Laboratorium :
Darah Lengkap
RBC = 4,8 x106 /m2 Nilai rujukan 3.5 – 5.5 106 /m2
WBC = 29,5x103/ m2 Nilai rujukan 4 – 10 x103/ m2
HGB = 13,5 g/dl Nilai rujukan 14-18 g/dl
HCT = 37,9 % Nilai rujukan 42-52 %
PLT = 399x103/ m2 Nilai rujukan 150-450 x 103/Ul

Kimia Darah
Lemak :
Kolesterol : 375 Nilai rujukan < 200 mg/dl
Faal ginjal :
Ureum : 26 Nilai rujukan10,0-50,0 mg/dl
Creatinin : 0,35 Nilai rujukan 0,70 – 1,20 mg/dl
Faal hati :
Total Protein : 3,0 Nilai rujukan6,6 - 8,7 mg/dl
Albumin : 1,8 Nilai rujukan 3,4 – 4,8 mg/dl

Urinalisis
PH : 6,0 Nilai rujukan 4,8-8,0
BJ : 1,020 Nilai rujukan 1,003-1,022
Protein : +2 Nilai rujukan negative

12
Reduksi : Negatif Nilai rujukan negative
Urobilinogen : Negatif Nilai rujukan negative
Bilirubin : Negatif Nilai rujukan negative
Keton : Negatif Nilai rujukan negative
Nitroit : Negatif Nilai rujukan negative
Blood : Negatif Nilai rujukan negative
Leukosit : Negatif Nilai rujukan negative

Resume :
Pasien masuk dengan keluhan bengkak pada wajah dan perut yang dialami
sejak 1 hari hari yang lalu, hal ini timbul tiba-tiba. sudah sering berulang dan
pernah terjadi pada 2 bulan lalu dan saat usia 2 dan 5 tahun. Awal mulanya pasien
sempat demam 1 bulan sebelum bengkak yang pertama kali, serta bengkak
dimulai dari kelopak mata dan pipi kemudian keperut dan tungkai.
Pasien juga mengeluh Panas (+), naik turun, disertai muntah (+) 1 kali berisi air
dan makanan berwarna kuning. Buang air besar (BAB) encer 5 kali dan buang air
kecil (BAK) lancar, warna putih-kekuningan, dan keruh,
Pada pemeriksaan fisis didapatkan : Keadaan Umum : Sakit Sedang, kesadaran
: kompos mentis, BB : 28 kg (BB koreksi 22,5 kg), TB : 130 cm, LP : 60 cm,
Status gizi : Gizi kurang. Pada pemeriksaan fisik kepala : edema palpebra +/+,
paru - paru : auskultasi : vesikuler (+/+), Jantung : auskultasi : BJ I/II Reguler,
abdomen tampak cembung, asites (+), Perkusi : redup (+) Shifting dullness (+)
(pitting edema).
Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin WBC : 29,5 (leukositosis). Kimia
darah Kolesterol : 375 (kolesterolemia). Faal hati total protein : 3,0
(hipoproteinemia) dan albumin : 1,8 (hipoalbuminemia) Urinalalisis : Protein : +2.

Diagnosis Kerja : Sindrom Nefrotik Relaps


Diagnosis Banding : Glomerulonefritik akut pasca streptococcus

13
Terapi :
- IVFD Asering 10 tpm
- PCT syr 3 x 1 ½ cth
- Vip albumin 2 x 1 sachset
- Inj. Furosemide 20 mg/12 jam IV
- Inj. Ceftriaxone 650 mg/12 jam IV
- Prednison 65 mg dibagi dalam 5 mg tablet (5-4-4 tab)
- Transfusi albumin 20%
- Zink 20 mg 1x1 tab

14
FOLLOW UP

TANGGAL 26 APRIL 2018 (Perawatan hari ke-2)


S : Panas (-), batuk (-), muntah (-), edema palpebra dan
asites (+). BAB encer 2x berampas (+), BAK lancar
O : Keadaan umum : Sakit sedang
Tanda vital : Suhu : 37 0C
Nadi : 100 kali/menit
Pernafasan : 30 kali/menit
TD : 110/70 mmHg
BB : 26 kg (BB koreksi 21,8 kg)
TB : 130 cm LP : 59 cm
Status gizi : Gizi kurang (83%)
Kepala : Palpebra : Edema +/+
Abdomen : Inspeksi : Cembung, Asites (+)
Perkusi : Redup (+) Shifting dullness (+)
Palpasi : Nyeri tekan abdomen (-)

A : Sindrom Nefrotik Relaps


Diare Akut tanpa dehidrasi

P :
- Diet nasi lauk + rendah garam 0,5 gr/hari
- IVFD Asering 10 tpm
- PCT syr 3 x 1 ½ cth (kp)
- Vip albumin 2 x 1 sachset
- Inj. Furosemide 20 mg/12 jam IV
- Inj. Ceftriaxone 650 mg/12 jam IV
- Prednison 65 mg dibagi dalam 5 mg tablet (5-4-4 tab)
- Transfusi albumin 20%
- Zink 20 mg 1x1 tab

15
TANGGAL 27 APRIL 2018 (Perawatan hari ke-3)

S : Panas (-), batuk (-), muntah (-), edema (+) palpebra, asites (+).
BAB encer 1x, BAK lancar

O : Keadaan umum : Sakit sedang


Tanda vital : Suhu : 36,7 0C
Nadi : 99 kali/menit
Pernafasan : 27 kali/menit
TD : 110/70 mmHg
BB : 26 kg (BB koreksi 21,8 kg)
TB : 130 cm LP : 57 cm
Status gizi : Gizi kurang (83%)

Kepala : Palpebra : Edema +/+


Abdomen : Inspeksi : Cembung, Asites (+)
Perkusi : Shifting dullness (+) redup (+)
Palpasi : Nyeri tekan abdomen (-)

A : Sindrom Nefrotik Relaps


Diare akut tanpa dehidrasi
P :
- Diet nasi lauk + rendah garam 0,5 gr/hari, cukup protein 1 gr/hari
- IVFD Asering 10 tpm
- PCT syr 3 x 1 ½ cth (kp)
- Vip albumin 2 x 1 sachset
- Inj. Furosemide 20 mg/12 jam IV
- Inj. Ceftriaxone 650 mg/12 jam IV
- Prednison 65 mg dibagi dalam 5 mg tablet (5-4-4 tab)
- Transfusi albumin 20%
- Zink 20 mg 1x1 tab

16
TANGGAL 28 APRIL 2018 (Perawatan hari ke-4)

S : Panas (-), batuk (-), muntah (-), edema (+) palpebra, asites (-).
BAB/BAK lancar

O : Keadaan umum : Sakit sedang


Tanda vital : Suhu : 37,6 0C
Nadi : 94 kali/menit
Pernafasan : 24 kali/menit
TD : 90/60 mmHg
BB : 25 kg (BB koreksi 22,5 kg)
TB : 130 cm LP : 52 cm
Status gizi : Gizi kurang ( 83%)
Kepala : Palpebra : Edema +/+
Abdomen : Inspeksi : Datar, Asites (-)
Perkusi : Shifting dullness (-)
Palpasi : Nyeri tekan abdomen (-)

A : Sindrom Nefrotik Relaps

P :
- Diet nasi lauk + rendah garam 0,5 gr/hari, cukup protein 1 gr/hari
- IVFD Asering 10 tpm
- PCT syr 3 x 1 ½ cth (kp)
- Vip albumin 2 x 1 sachset
- Inj. Ceftriaxone 650 mg/12 jam IV
- Prednison 65 mg dibagi dalam 5 mg tablet (5-4-4 tab)

17
TANGGAL 29 APRIL 2018 (Perawatan hari ke-5)

S : Panas (-), batuk (-), muntah (-), edema palpebra (-), asites (-),
BAB/BAK lancar

O : Keadaan umum : Sakit sedang


Tanda vital : Suhu : 36,8 0C
Nadi : 101 kali/menit
Pernafasan : 22 kali/menit
TD : 100/60 mmHg
BB : 24,5 kg (BB koreksi 22 kg)
TB : 130 cm LP : 52 cm
Status gizi : Gizi baik (CDC = 91%)
Kepala : Palpebra : Edema -/-
Abdomen : Inspeksi : Datar, Asites (-)
Perkusi : Shifting dullness (-)
Palpasi : Nyeri tekan abdomen (-)
CRP -
ASTO 200 iu
Kolesterol total 245
Ureum 15
Creatinin 0,3
Protein total 4,4 (L)
Albumin 2,1 (L)

A : Sindrom Nefrotik Relaps

P :
- Diet nasi lauk + rendah garam 0,5 gr/hari, cukup protein 1 gr/hari
- IVFD Asering 10 tpm
- PCT syr 3 x 1 ½ cth (kp)
- Vip albumin 2 x 1 sachset
- Inj. Ceftriaxone 650 mg/12 jam IV
- Prednison 65 mg dibagi dalam 5 mg tablet (5-4-4 tab)

18
TANGGAL 30 APRIL 2018 (Perawatan hari ke-6)

S : Panas (-), batuk (-), muntah (-), edema palpebra, asites (-).
BAB/BAK lancar

O : Keadaan umum : Sakit sedang


Tanda vital : Suhu : 36,7 0C
Nadi : 97 kali/menit
Pernafasan : 25 kali/menit
TD : 90/60 mmHg
BB : 24 kg
TB : 130 cm LP : 51 cm
Status gizi : Gizi baik (CDC = 91%)
Kepala : Palpebra : Edema -/-
Abdomen : Inspeksi : Datar, Asites (-)
Perkusi : Shifting dullness (-)
Palpasi : Nyeri tekan abdomen (-)

Laboratorium :
RBC = 4,52 x106 /m2 Nilai rujukan 3.5 – 5.5 106 /m2
WBC = 10,9 x103/ m2 Nilai rujukan 4 – 10 x103/ m2
HGB = 13,5 g/dl Nilai rujukan 14-18 g/dl
HCT = 39,8 % Nilai rujukan 42-52 %
PLT = 148 x103/ m2 Nilai rujukan 150-450 x 103/Ul

A : Sindrom Nefrotik Relaps

P :
- Diet nasi lauk + rendah garam 0,5 gr/hari, cukup protein 1 gr/hari
- IVFD Asering 10 tpm
- PCT syr 3 x 1 ½ cth (kp)
- Vip albumin 2 x 1 sachset
- Inj. Ceftriaxone 650 mg/12 jam IV
- Prednison 65 mg dibagi dalam 5 mg tablet (5-4-4 tab)
Pasien pulang paksa karena alasan bengkaknya sudah berkurang

19
BAB III

DISKUSI KASUS

Seorang anak perempuan berusia 4 tahun masuk RSU. Anutapura Palu pada
tanggal 25 APRIL 2018, berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis
didapatkan:
- Keluhan utama berupa bengkak pada wajah dan perut
- Lokasi sembab pada daerah kelopak mata (palpebra) dan perut

Dari hasil anamnesis juga didapatkan Pasien mengalami buang air besar
dengan konsistensi cair sejak sehari sebelum masuk RS, frekuensi 5 kali sebelum
masuk rumah sakit, berampas (+), lendir (-),warna kuning, tidak disertai darah,
berbau seperti biasanya.
Berdasarkan hal diatas diagnosis sementara yang dapat ditegakkan pada kasus
ini adalah sindrom nefrotik (SN). Untuk lebih memastikannya maka dilakukan
pemeriksaan laboratorium dan diperoleh hasil :
- Kadar albumin serum 1,7 gr/dl (hipoalbuminemia)
- Kadar protein total 3.0 gr/dl (hipoproteinemia)
- Kadar kolesterol total 375 mg/dl (hiperkolesterolemia)
- Terdapat protein dalam urin (poteinuria +2)

Pada pasien ini bengkak dimulai dari kelopak mata yang timbul mendadak
dipagi hari, kemudian berlanjut hingga terjadi edema pada seluruh tubuh. Hal ini
menunjukan bahwa bengkak pada pasien ini mengarah pada kelainan ginjal.
Untuk membantu menegakkan diagnosis maka dibutuhkan pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan laboratorium darah lengkap, kimia darah dan urin
lengkap.

Proteinuria pada sindrom nefrotik terjadi akibat kebocoran glomerulus


(proteinuria glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus
(proteinuria tubular). Perubahan integritas membran basalis glomerulus

20
menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma dan
protein utama yang dieksresikan dalam urin adalah albumin. Dalam keadaan
normal membran basal glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang
untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan
ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge
barrier). Pada SN kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain
itu konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui
MBG. Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran
molekul protein yang keluar melaui urin. Proteinuria selektif apabila yang keluar
terdiri dari molekul kecil misalnya albumin. Sedangkan non-selektif apabila
protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti immunoglobulin. Seletivitas
proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur MBG. 2,3,4

Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan


peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya
meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam
urin), tetapi mungkin normal atau menurun. 2,3,4

Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill.


Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci
terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan
onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskuler ke jaringan intertisium
dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya
cairan plasma terjadi hipovolemi, dan ginjal melakukan kompensasi dengan
meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan
memperbaiki volume intravaskuler tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya
hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.8,9
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama.
Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat sehingga
terjadi edema. Penurunan LFG akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi
natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan pada SN. Faktor
seperti asupan natrium, efek diuretik atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi

21
ginjal, jenis lesi gromerulus, dan keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati
akan menentukan mekanisme mana yang lebih berperan.9,10

Proteinuria

Hipoalbuminemia

Tekanan osmotik plasma↓

Volume plasma↓

Sistem RAA
ADH↑ ANP N/↓

Retensi air Retensi Na


Retensi

EDEMA

Gambar 1. Skema mekanisme underfill

Defek tubulus primer

Retensi Na

Volume plasma↑

ADH↓/N ANP ↑
Aldosteron

Tubulus resisten
terhadap ANP

EDEMA

Gambar 2. Skema mekanisme overfill

22
Dyslipidemia diakibatkan oleh karena kolesterol serum, very low density
lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat
sedangkan high density lipoprotein (HDL) dapat menurun. Hal ini disebabkan
peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer
(penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density
lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh
penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik. Oleh karena
proteinuria sehingga kompensasi hati untuk meningkatkan kadar protein dalam
darah. 2,3,4

Batasan
1. Remisi: proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3
hari berturut-turut dalam 1 minggu
2. Relaps: proteinuria ≥ 2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu
3. Relaps jarang: relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah
respons awal atau kurang dari 4 x per tahun pengamatan
4. Relaps sering(frequent relaps): relaps ≥ 2 x dalam 6 bulan pertama
setelah respons awal atau ≥ 4 x dalam periode 1 tahun
5. Dependen steroid: relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan
(alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan
6. Resisten steroid: tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis
penuh (full dose) 2 mg/kgbb/hari selama 4 minggu.
7. Sensitif steroid: remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh
selama 4 minggu. 7,8
Dari hasil pemerikasaan laboratorium didapatkan total protein total 3,0 g/dl,
kolestrol 375 mg/dl, albumin 1,7 g/dl, ureum 26 mg/dl, kreatinin 0,35 mg/dl,
protein urin +2.

Hasil pemeriksaan laboratorium ini mendukung ditegakkannya diagnosis


sindrom nefrotik. Hal ini sesuai dengan definisi SN yaitu keadaan klinis yang

23
terdiri dari edema generalisata (anasarka), hipoalbuminemia, hiperlipidemia
(hiperkolesterolemia) dan proteinuria.

Penyebab utama terjadinya SN pada anak ini tidak dapat diketahui secara
pasti, karena sebenarnya untuk lebih memastikan tipe (penyebab) dari SN ini
dengan melakukan biopsi ginjal. Namun pada anak ini tidak dilakukan
pemeriksaan biopsi ginjal.

SN pada kasus ini didiagnosis banding dengan GNAPS karena gejala klinis
kedua penyakit ini sama yakni berupa edema, serta pada GNAPS didapatkan
adanya hipertensi dan hematuria.

Gambar 3. Skema mekanisme gejala pada GNAPS

24
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium,
pasien ini didapatkan udem pada palpebra dan asites, hipoalbuminemia,
hiperkolesterolemia, dan proteinuria masif. Maka pasien ini didiagnosis Sindrom
Nefrotik karena memenuhi semua kriteria berdasarkan Konsensus Tatalaksana
Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak.

Diare merupakan buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air
besar encer tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah.2 Diare dibagi menjadi
dua, yaitu diare akut dan diare persisten atau diare kronik. Diare akut adalah diare
yang berlangsung kurang dari 14 hari, sementara diare persisten atau diare kronis
adalah diare yang berlangsung lebih dari 14 hari.2 Pada kasus ini tergolong diare
akut karena berlangsung kurang dari 14 hari. Dari hal diatas dan dari hasil
anamnesis maka diagnosis pada kasus ini yaitu diare akut.

Cara penularan diare pada umumnya melalui fekal-oral yaitu melalui 4F


{finger(jari-jari tangan), flies(lalat), fluid(cairan), field(lingkungan)}. Faktor
resiko yang dapat meningkatkan penularan enteropatogen antara lain: tidak
memberikan ASI secara penuh untuk 4-6 bulan pertama kehidupan bayi, tidak
memadainya penyediaan air bersih, pencemaran air oleh tinja, kurangnya sarana
kebersihan (MCK), kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk, penyiapan dan
penyimpanan makanan yang tidak higienis dan cara penyapihan yang tidak baik.6

Secara umum, diare disebabkan 2 hal yaitu gangguan pada proses


absorbsi atau sekresi:7

a. Mekanismenya yaitu gangguan absorbsi dan sekresi

- Adanya bahan yang tidak diserap, menyebabkan bahan intraluminal pada


usus halus bagian proximal bersifat hipertonis dan menyebabkan
hiperosmolaritas. Akibat perbedaan tekanan osmosis antara lumen usus dan
darah maka pada segmen jejunum yang bersifat permeable, air akan
mengalir ke arah lumen jejunum, sehingga terkumpul di lumen usus.
Natrium juga akan masuk ke dalam lumen, sehingga terkumpul cairan

25
intraluminal yang besar dengan kadar Na normal. Sebagian cairan
diabsorpsi kembali, sebagian lainnya akan tetap tinggal di lumen dan
kemudian melebihi kapasitas absorpsi kolon sehingga terjadi diare.

- Dikenal 2 bahan yang menstimulasi sekresi lumen yaitu enterotoksin bakteri


dan bahan kimia yang dapat menstimulasi seperti laksania, garam empedu
bentuk dihydroxy serta asam lemak rantai panjang. Toksin ini terutama
bekerja dengan meningkatkan konsentrasi intrasel Ca++ yang mengaktifkan
protein kinase. Pengaktifan ini menyebabkan fosforilasi membrane protein
sehingga mengakibatkan perubahan saluran ion, akan menyebabkan Cl- di
kripta keluar. Di sisi lain terjadi peningkatan pompa natrium, dan natrium
masuk ke dalam lumen usus bersama Cl-. Bahan laksatif dapat
menyebabkan efek bervariasi pada aktivitas NaK-ATPase. Yang diantaranya
memacu peningkatan kadar cAMP, yang meningkatkan -permeabilitas
intestinal dan menyebabkan kerusakan sel mukosa. Hal ini yang
menyebabkan kelainan sekresi.7

Penilaian derajat dehidrasi dapat ditentukan dengan menggunakan


Penentuan dehidrasi menurut MTBS. Pada kasus ini termasuk kategori tanpa
dehidrasi. 7

Terdapat 2 atau lebih dari tanda-tanda


berikut :

 Letargis atau tidak sadar


 Mata cekung
 Tidak bisa minum atau malas DIARE DEHIDRASI BERAT
minum
 Turgor kembali sangat lambat

26
Terdapat 2 atau lebih dari tanda-tanda
berikut :

 Gelisah, rewel
DIARE DEHIDRASI
 Mata cekung
RINGAN/ SEDANG
 Haus
 Turgor kembali lambat

Terdapat 2 atau lebih dari tanda-tanda


berikut :

Keadaan umum baik, sadar


DIARE TANPA
Mata tidak cekung
DEHIDRASI
Minum biasa, tidak haus
Turgor kembali segera

Penatalaksanaan pada kasus ini yakni secara non-medikamentosa dengan


bedrest total, diet TKTPRG (tinggi kalori, tinggi protein dan rendah garam).
Sedangkan medikamentosa dengan pemberian protein berupa Vip Albumin 2x1
sachet untuk mengurangi edema. Diberikan juga ceftriaxone 650 mg / 12 jam / IV,
untuk mengatasi infeksi pada kasus ini dan prednison 5 mg = 5-4-4 dimana
didapatkan BB ideal 32x2=64 yang dibulatkan 65 mg prednison yang dibagi
menjadi tiga kali pemberian (5-4-4) sebagai anti inflamasi pada pasien dengan
SN.

Pasien ini didiagnosis menderita sindrom nefrotik kasus relaps. Dikarenakan


pasien pernah mengalami hal yang sama pada 2 bulan yang lalu dan saat usia 2
tahun, dan berulang sekarang (usia 9 tahun 11 bulan). Pada kasus ini, orang tua
pasien tidak mengetahui secara pasti riwayat pengobatan pada awal pertama
pasien sakit, apakah adekuat full dose atau tidak.

27
Untuk pengobatan pada pasien ini diberikan steroid full dose sesuai dengan
International Study on Kidney Diseases in Children (ISKDC) diberikan prednison
50 mg/m2LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari dalam dosis
terbagi untuk menginduksi remisi). Untuk pemberian dosis prednison sesuai berat
badan ideal (BB terhadap TB) (KDIGO, 2012). Berdasarkan WHO Growth Chart
Standart, pada pasien ini BB ideal nya di umur 9 tahun 11 bulan (10 tahun)
sehingga dosis prednison yang diberikan adalah 32 kg x 2 mg/kgBB/hari = 64
mg/hari, dibulatkan menjadi 65 mg/hari dikarenakan :
1. Satu tablet prednison mengandung 5 mg sehingga mempermudah dalam
penentuan jumlah tablet yang akan diberikan dan mempermudah dalam
pengkonsumsian obat
2. Dosis pembulatan menjadi 65 mg masih dalam dosis aman prednison yaitu
maksimal 80 mg/hari.

Sehingga pasien ini menggunakan prednison sebanyak 13 tablet sehari


dengan dosis terbagi 5-4-4.

Seharusnya sebelum diberikan terapi prednison, pasien ini dilakukan uji


mantoux terlebih dahulu untuk mengetahui apakah pasien ini terdapat penyakit
tuberkulosis atau tidak, namun pada pasien ini tidak dilakukan. 2,3

Lalu, untuk mengatasi edema pada pasein ini diberikan diuretik furosemide
dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari sehingga dosis yang diberikan pada pasien ini
adalah 21,8 x 1 mg/kgBB/hari jadi 21,8 mg/hari, Pemberian furosemid ini
diindikasikan untuk edema berat.2,3 Tetapi diberikan terapi albumin dengan
indikasi pemberian albumin 20% 1 g/kgBB.

Pada SN, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada


kontraindikasi. Pengobatan dimulai dengan prednison dengan dosis awal 50
mg/m2/hari atau 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu tiap hari (continuous day). Bila
terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dosis diturunkan 2/3 dosis semula atau 1,5
mg/kgbb/hari, diberikan secara bergantian hari (alternating day) selama 4
minggu.8,9

28
Bila tidak terjadi remisi selama 4 minggu, maka kasus ini disebut resisten
steroid. Penelitian sekarang memperlihatkan bahwa disebut resisten bila respon
sampai 8 minggu. Pada kasus resisten prednisone, maka dapat di tambahkan obat-
obat imunosupresif yang lain seperti siklofosfamid, siklosporin, atau levamizole.
Mengingat obat tersebut mahal dan susah didapat dipasaran, maka bisa dipakai
levamizole yang lebih murah dan mudah didapat dalam bentuk tablet yaitu
askamex.8
Levamizole merupakan derivat tetramizole,immunomodulator dapat
merangsang pembentukan antibody terhadap beberapa antigen melalui imunitas
seluler,lovamizole meningkatkan respon sel T dengan merangsang aktivitas sel T,
mempotensiasi monosit dan makrofag, termasuk fagositosis,kemotoksis dan lain-
lain.8
Sesuai rekomendasi WHO/UNICEF dan IDAI, sejak tahun 2008 Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia menetapkan lima pilar penatalaksanaan diare
“LINTAS DIARE” (Lima Langkah Tuntaskan Diare) sebagai salah satu strategi
dalam pengendalian penyakit diare di Indonesia yaitu 7:
1. Rehidrasi dengan menggunakan oralit baru
a. Dosis oralit bagi penderita diare tanpa dehidrasi sbb :
 Umur < 1 tahun : ¼ - ½ gelas setiap kali anak mencret
 Umur 1 – 4 tahun : ½ - 1 gelas setiap kali anak mencret
 Umur diatas 5 Tahun : 1 – 1½ gelas setiap kali anak mencret
b. Dosis oralit bagi penderita diare derajat dehidrasi ringan-sedang
Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama 75 ml/kgBB dan
selanjutnya dilanjutkan dengan pemberian oralit setiap kali BAB.
c. Derajat dehidrasi berat
Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera dirujuk ke
Puskesmas untuk diinfus.
Pada kasus ini digunakan dosis oralit pada penderita diare tanpa
dehidrasi.
2. Zink diberikan selama 10 hari berturut-turut

29
Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang penting dalam tubuh. Zinc
dapat menghambat enzim INOS (Inducible Nitric Oxide Synthase), dimana
ekskresi enzim ini meningkat selama diare dan mengakibatkan hipersekresi
epitel usus. Zinc juga berperan dalam epitelisasi dinding usus yang
mengalami kerusakan morfologi dan fungsi selama kejadian diare. Cara
pemberian tablet zinc : Larutkan tablet dalam 1 sendok makan air matang
atau ASI, sesudah larut berikan pada anak diare.
Pada kasus ini pasien berusia 9 tahun 11 bulan sehingga diberikan tablet
zink 20 mg/hari (1 tablet)
3. ASI dan makanan tetap diteruskan
Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi pada
penderita terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh serta mencegah
berkurangnya berat badan. Anak yang masih minum ASI harus lebih sering
diberi ASI. Anak yang minum susu formula juga diberikan lebih sering dari
biasanya. Anak usia 6 bulan atau lebih termasuk bayi yang telah mendapatkan
makanan padat harus diberikan makanan yang mudah dicerna dan diberikan
sedikit lebih sedikit dan lebih sering. Setelah diare berhenti, pemberian
makanan ekstra diteruskan selama 2 minggu untuk membantu pemulihan
berat badan.12,13
4. Antibiotik selektif
Antibiotika hanya bermanfaat pada penderita diare dengan darah (sebagian
besar karena shigellosis), suspek kolera. Obat-obatan Anti diare juga tidak
boleh diberikan pada anak yang menderita diare karena terbukti tidak
bermanfaat. Obat anti muntah tidak dianjurkan kecuali muntah berat. Obat-
obatan ini tidak mencegah dehidrasi ataupun meningkatkan status gizi anak,
bahkan sebagian besar menimbulkan efek samping yang bebahaya dan bisa
berakibat fatal. Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan
oleh parasit (amoeba, giardia).6,12
Pada kasus ini : pasien diberikan antibiotic berupa Inj. Ceftriaxone 650
mg/12 jam IV, dimana dosisnya 50-100 mg/kgBB/hari bisa dibagi 2-4 kali
pemberian perhari.

30
5. Nasihat kepada orang tua.
Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat dengan balita harus diberi nasehat
tentang :
- Cara memberikan cairan dan obat di rumah
- Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan bila :
 Diare lebih sering
 Muntah berulang
 Sangat haus
 Makan/minum sedikit
 Timbul demam
 Tinja berdarah
 Tidak membaik dalam 3 hari.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus diare akut yakni
pemeriksaan feses, analisis gas darah dan pemeriksaan elektrolit. Pemeriksaan
feses atau tinja tidak rutin dilakukan pada diare akut, kecuali apabila ada tanda
intoleransi laktosa dan kecurigaan amubiasis. Hal yang dinilai pada pemeriksaan
tinja berupa makroskopis yakni konsistensi, warna, lendir, darah, bau dan
mikroskopis berupa leukosit, eritrosit, parasit, bakteri, dan pemeriksaan kimia
feses berupa PH, elektrolit (Na, K, HCO3). Selain itu dapat pula dilakukan kultur
atau biakan feses dan uji sensitivitas (kepekaan terhadap antibiotika). Selain
pemeriksaan feses dapat pula dilakukan pemeriksaan analisis gas darah dan
elektrolit (jika secara klinis dicurigai adanya gangguan keseimbangan asam basa
dan elektrolit) pada kasus dehidrasi berat. Pada kasus ini hanya dilakukan
pemeriksaan darah rutin.11,12,13
Pada kasus ini prognosisnya dubia ad bonam dikarenakan pasien didiagnosis
Sindrom Nefrotik yang dalam perjalanan penyakitnya masih sensitif terhadap
pengobatan steroid ditandai dengan kondisi pasien sampai pulang mengalami
perbaikan dan diare yang dialami pasien dapat teratasi serta karena tidak
ditemukan tanda-tanda dehidrasi yang berat sehingga prognosisnya semakin baik.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Betz, Cecily L, Sowden, Linda L. 2009. Pediatrik Edisi 5. Jakarta: EGC.


2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010. Pedoman Pelayanan Medik Jilid 1.
3. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2014. Konsensus Tatalaksana Sindrom
Nefrotik Idiopatik Pada Anak Edisi 2.
4. International Study on Kidney Diseases in Children. 2015. The primary
nephrotic syndrome in children. Identification of patients with minimal
change nephrotic syndrome from initial response to prednisone. J Pediatr ;
98:561-4.
5. Ngastiyah. 2013. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC
6. Effendi I. & Pasaribu R., 2014. Edema Patofisiologi dan Penanganan.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta, Pusat Penerbit
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal. 513-15
7. Departments of Child and Adolescent Health and Development (CAH)

and HIV/AIDS. WHO Recommendations on the Management of

Diarrhoea and Pneumonia in HIV-Infected Infants and Children. Geneva:

WHO; 2015.

8. Wila Wirya IG, 2012. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T,


Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.
9. Noer MS, 2013. Sindrom Nefrotik. In: Putra ST, Suharto, Soewandojo E,
editors. Patofisiologi Kedokteran. Surabaya : GRAMIK FK Universitas
Airlanggap. 137-46.
10. International Study of Kidney Disease in Children, 2015. Nephrotic
syndrome in children. Prediction of histopathology from clinical and
laboratory chracteristics at time of diagnosis kidney.
11. Trihon PP, Alatas H, Tambunan T, Pardede SO. Konsensus Tata Laksana
Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Ed. 2. Jakarta: Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012. h. 2-15

32
12. UKK Gastroenterologi Hepatologi IDAI. Buku Ajar Gastroenterologi-

Hepatologi Jilid I Cetakan Ketiga. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2012.

13. Kementrian kesehatan republik Indonesia. Tatalaksana diare pada balita.

Jakarta; KEMENKES RI: 2011. Widagdo. Masalah dan Tatalaksana

penyakit infeksi pada Anak. Jakarta : Sagung seto. 2014

33

Anda mungkin juga menyukai