LAPORAN KASUS
HEPATOMA , KOLESISTOLITIASIS DAN ASCITES
Oleh :
ANISA HANIF RIZKI AINIA
132011101063
Pembimbing :
dr. Arief Suseno, Sp. PD
BAB 1. PENDAHULUAN
nama lain yaitu kanker hati primer, hepatokarsinoma dan kanker hati. Dari seluruh
tumor ganas hati yang pernah didiagnosis, 85 % merupakan HCC, 10 %
Cholangiocarcinoma/CC dan sisanya adalah jenis lainnya. HCC meliputi 5,6 %
dari seluruh kasus kanker pada manusia, menempati peringkat kelima pada laki-
laki dan peringkat kesembilan pada perempuan sebagai kanker tersering di dunia.
Secara epidemiologis tingkat kekerapannya banyak terjadi di negara berkembang
dengan prevalensi tinggi hepatitis virus.
Selain infeksi hepatitis virus, adanya kelompok jamur aflatoksin, obesitas,
diabetes mellitus, alkohol dan penyakit hati metabolik lain diakui sebagai faktor
resiko terjadinya proses patologi pada sel hepar yang menyebabkan terbentuknya
HCC. Manifestasi klinisnya sangat bervariasi dari asimptomatik sampai gejala
yang sangat jelas dan disertai gagal hati. Namun gejala yang paling sering
dikeluhkan adalah perasaan tidak nyaman di kuadran kanan atas abdomen disertai
dengan adanya keluhan gastrointestinal lain. Ketiadaan ataupun ketidakmampuan
penerapan terapi yang bersifat kuratif menyebabkan HCC berprognosis buruk
dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Insiden kolesistolitiasis atau batu kandung empedu di Amerika Serikat
diperkirakan 20 juta orang yaitu 5 juta pria dan 15 juta wanita. Pada pemeriksaan
autopsy di Amerika, batu kandung empedu ditemukan pada 20 % wanita dan 8 %
pria.
Dengan perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru USG maka
banyak penderita batu kandung empedu yang ditemukan secara dini sehingga
dapat dicegah kemungkinan terjadinya komplikasi. Semakin canggihnya peralatan
dan semakin kurang invasifnya tindakan pengobatan sangat mengurangi
morbiditas dan moralitas.
Batu kandung empedu biasanya baru menimbulkan gejala dan keluhan bila batu
menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus. Oleh karena itu gambaran
klinis penderita batu kandung empedu bervariasi dari yang berat atau jelas sampai
yang ringan atau samar bahkan seringkali tanpa gejala (silent stone).1
Dikenal tiga jenis batu empedu yaitu, batu kolesterol, batu pigmen atau batu
bilirubin yang terdiri dari kalsium bilirubinat, serta batu campuran. Patofisiologi
3
Nama : Tn. I
Usia : 32 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan : SMK
Pekerjaan : Administrasi Pabrik
Agama : Islam
Status perkawinan : Menikah
Suku : Jawa
Alamat : JL. Semeru XVII, Sumebersari Jember
Tanggal MRS : 23 Mei 2017
Tanggal pemeriksaan : 24 Mei 2017
Tanggal KRS : 31 Mei 2017
No. RM : 168814
2.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan kepada pasien (Autoanamnesis) pada tanggal 24 Mei
2017 di Ruang Anturium RSD dr Soebandi Jember.
2.2.1 KELUHAN UTAMA :
Nyeri perut kanan dan tengah bagian atas
2.2.2 RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien mengeluhkan nyeri perut kanan dan tengah bagian atas. Nyeri
bersifat tumpul, terus menerus. Pasien mengaku keluhan tidak nyaman di perut
sudah mulai dirasakan sejak lama berupa rasa penuh di perut, tetapi sekitar 2
minggu terakhir nyeri di bagian kanan atas dirasakan semakin sering sehingga
pasien memutuskan untuk berobat. Nyeri perut juga disertai dengan keluhan perut
yang dirasakan semakin membesar sekitar 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Akibatnya nafsu makan pasien menurun. Untuk buang air besar dirasakan kurang
lancar, akhir-akhir ini pasien biasanya buang air besar 2-3 hari sekali, riwayat
BAB hitam (-). Buang air kecil berwarna kuning keruh, nyeri atau panas saat
BAK (-), darah (-).
Perut yang terasa penuh dan membesar membuat pasien kadang merasa
sesak yang bersifat hilang timbul dan tidak dipengaruhi aktivitas ataupun cuaca
dan debu. Sesak juga tidak disertai adanya nyeri dada ataupun bengkak di kedua
kaki. Riwayat demam (-).
2.2.3 RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Riwayat batu empedu (+)
5
C. Thorax :
1. Umum
Bentuk : normal
Kulit : normal, spider nevi (-), vena kolateral (-),ikterik (-)
Axilla : pembesaran kelenjar getah bening (-)
2. Paru
Ventral Dorsal
7
Inspeksi: Inspeksi:
simetris simetris
ICS tidak melebar ICS tidak melebar
Retraksi -/- Retraksi -/-
Ketinggalan gerak -/- Ketinggalan gerak -/-
Palpasi: P: Palpasi:
Perkusi : Perkusi :
S S S S
S S S S
S S S S
S S S S S S S S
S S S S
8
Ventral Dorsal
Auskultasi : Auskultasi :
DS DS
V V V V
V V V V
V V V V
V V V V V V V V
V V V V
Rhonki Rhonki
- - - -
- - - -
- - - -
- - - - - - - -
- - - -
Wheezing Wheezing
- - - -
- - - -
- - - -
- - - - - - - -
- - - -
Dextra Sinistra
I: simetris I: simetris
P: fremitus raba normal P: fremitus raba normal
P: sonor P: sonor
A: vesikuler (+) ,rhonki (-), wheezing A: vesikuler (+), rhonki (-) ,wheezing
(-) (-)
3. Jantung
Inspeksi Ictus cordis tidak tampak
Palpasi Ictus cordis teraba di ICS V midclavikula sinistra
Perkusi Batas kanan atas: redup pada ICS 2 PSL D
Batas kanan bawah: redup pada ICS 4 PSL D
Batas kiri atas : redup pada ICS III PSL S
Batas kiri bawah: redup pada ICS V midklavikula S
Auskultasi S1, S2: tunggal, murmur -, gallop -, ekstrasistole -
Kesimpulan : jantung dalam batas normal
9
D. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi Bentuk:
Cembung
Kulit: turgor normal, ikterus (-)
Auskultasi Bising usus: (+) normal
Palpasi Slight distended, tugor kulit normal
Hepar teraba 3 jari di bawah arkus costae, konsistensi padat
keras, permukaan berbenjol, tepi tumpul, lien schuffner 1
Nyeri tekan(+)
Ginjal tidak teraba
Nyeri ketok ginjal (-)
Perkusi Shifting dullness (+), , Meteorismus (-)
Darah Lengkap
Hemoglobin 15,3 13,5-17,5 gr/dL
Leukosit 11,0 4.3-11,0 109/L
Hematokrit 43.9 41-53 %
Trombosit 398 150-450 109/L
Faal Hati
SGOT 23 10-35 U/L(370C)
SGPT 20 9-43 U/L(370C)
Albumin 3,6 3,4-4,8 Gr/dL
Gula Darah
Glukosa Sewaktu 107 <200 mg/DL
Faal Ginjal
Kreatinin serum 1,1 0,6-1,3 mg/dL
BUN 9 6-20 mg/DL
Urea 19 12-43 mg/dL
Elektrolit
Na 130 135-155 mmol/L
K 4,0 3,5-5,0 mmol/L
Cl 98 90-110 mmol/L
Pada hasil laboratorium didapatkan : hiponatremi
b. Hasil Laboratorium tanggal 24 Mei 2017 dari RSD dr. Soebandi
Jenis
Hasil Nilai Normal Satuan
Pemeriksaan
Serologi-Imunologi
Hbs-Ag Negatif Negatif
Anti-HCV Negatif Negatif
c. Hasil Laboratorium tanggal 24 Mei 2017 dari RSD dr. Soebandi
Jenis
Hasil Nilai Normal Satuan
Pemeriksaan
Faal Hati
Bil. Direct 0,57 0,2-0,4 mg/dl
Bil. Total 1,21 < 1,2 mg/dl
Pemeriksaan penunjang :
Laboratorium :
DL : dalam batas normal
Faal hati : peningkatan bilirubin direct
Faal ginjal : dalam batas normal
Elektrolit : dalam batas normal
USG : Multiple nodul hepar, Ascites ,
Cholesistolitiasis
VII. Assesment
Diagnosis:
Hepatoma
Cholesistolitiasis
Ascites
VIII. Planning
Planning Diagnostik:
o Asites :
DL, SGOT/SGPT, Alb, Bilirubin, HbsAg, HbeAg, anti-
HCV.
o Hepatoma
USG Abdomen
o Cholesitolitiasis
USG Abdomen
Daftar masalah:
a. Asites
b. Sesak
c. Mual
d. Penurunan nafsu makan
Planning Terapi:
inf. PZ 14 tpm
inj. Cefoperazone 3 x 1 ampul
inj. Santagesic 3 x 1 ampul
13
Planning Monitoring:
o Kesadaran (GCS)
o Vital sign (TD, nadi, RR, Tax)
o Lingkar abdomen
o DL, LFT, RFT dan Albumin
Planning Edukasi:
o Menjelaskan mengenai penyakit, pemeriksaan yang perlu
dilakukan, dan tindakan medis kepada pasien serta keluarga.
o Menjelaskan kemungkinan komplikasi dan prognosis kepada
pasien dan keluarga.
o Menjelaskan tentang faktor risiko yang perlu dihindari nantinya.
IX. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad Sanationam : dubia ad malam
14
X. Follow Up
ekstremitas
KU : lemah KU : lemah
Kes : CM Kes : CM
TD : 140/90mmHg TD : 120/80mmHg
N : 90x/mnt N : 110x/mnt
RR : 28x/mnt RR : 32x/mnt
Tax : 36,5 oC Tax : 36,6 oC
K/L : a/i/c/d : -/-/-/+ K/L : a/i/c/d : -/-/-/+
Thorax: Thorax:
Cor Cor
I : ictus cordis tidak tampak I : ictus cordis tidak tampak
P : ictus cordis teraba di ICS V mcl s P : ictus cordis teraba di ICS V mcl s
P : redup P : redup
A : S1S2 tunggal, reguler, e/g/m : -/-/- A : S1S2 tunggal, reguler, e/g/m : -/-/-
Pulmo : Pulmo :
I : simetris (+/+), retraksi ( -/-), I : simetris (+/+), retraksi ( -/-),
P : fremitus raba normal P : fremitus raba normal
16
P : sonor/sonor P : sonor/sonor
A : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/- A : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
Abd : Cembung, BU (+) , slight Abd : Cembung, BU (+) , slight
distended, , hepatomegali (+), 3 jari di distended, , hepatomegali (+), 3 jari di
bawah arcus costae, padat bernodul bawah arcus costae, padat bernodul
splenomegali schuffner 1, asites (+) splenomegali schuffner 1, asites (+)
Ext : AH (+) & edema (-) di keempat Ext : AH (+) & edema (-) di keempat
ekstremitas ekstremitas
BAB 3. PEMBAHASAN
Hepatoma
18
Textbook Pasien
Anamnesis
Mudah lelah -
Lemas +
Nafsu makan berkurang +
Kulit berwarna kuning -
Gatal -
Mual +
Berat badan turun -
Nyeri perut +
Muntah berdarah -
Berak kehitaman -
Pemeriksaan Fisik
Integumen
Spider telengiektasis -
Kepala Leher
Ikterus -
Abdomen
Hepatomegali Teraba 3 jari dibawah arcus costae
Splenomegali Membesar schuffner 1
Asites +
Hematemesis -
Melena -
Ektremitas
Edema -
Eritema palmaris -
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
SGOT/SGPT yang meningkat -
tetapi tidak terlalu tinggi
19
USG +
Hepatomegali +
Splenomegali +
Asites
CT
MRI
Pungsi asites
Tatalaksana
Mencegah kerusakan +
hepar lebih lanjut
Obati komplikasi +
Asites +
konsumsi garam +
Cairan 1 liter/hari +
Spironolakton -
Furosemid -
Albumin i.v
Perdarahan varises -
Propanolol -
20
Somatostatin -
Antibiotik +
Kolesistolitiasis
Textbook Pasien
Anamnesis
- Nyeri perut epigastrium, kuadran +
kanan atas -
- Ikterus -
- Urin seperti teh
- Tinja pucat +
Pemeriksaan Fisik
Abdomen
- Nyeri tekan punctum maksimum +
- Murphy sign +
Pemeriksaan Penunjang
Darah rutin +
Urine lengkap -
Bilirubin +
Aminotransferase dan alkali fosfatase -
Biopsi hati -
USG +
CT Scan -
PTC -
ERCP -
Foto polos Abdmen -
Tatalaksana
1. Operatif -
Asites
21
Textbook Pasien
Anamnesis
- Perut membesar +
- Kuning -
- Riwayat transfusi
- Riwayat penyakit hati -
+
Pemeriksaan Fisik
Abdomen
- Abdomen cembung +
- Perkusi redup +
- Shifting dullness
- Fluid wave +
- Puddle sign +
-
Pemeriksaan Penunjang
USG +
CT -
Tatalaksana
2. Obati penyakit yang mendasari +
3. Pungsi asites
-
4. Diuretik
-
3.1 Hepatoma
3.1.1 Definisi
Karsinoma hati primer (KHP) atau hepatoma adalah merupakan salah satu
tumor ganas hati yang paling sering ditemukan (Desen, 2011). .Karsinoma
hepatoseluler atau hepatoma adalah keganasan pada hepatosit dimana stem sel
dari hati berkembang menjadi massa maligna yang dipicu oleh adanya proses
fibrotik maupun proses kronik dari hati (cirrhosis). Massa tumor ini berkembang
di dalam hepar, di permukaan hepar maupun ekstrahepatik seperti pada metastase
jauh. Tumor ini paling sering merupakan metastasis dari berbagai organ lain. Yang
tergolong tumor hepar ganas primer yaitu karsinoma sel hepar (karsinoma
22
Tumor dapat muncul sebagai massa tunggal atau sebagai suatu massa yang
difus dan sulit dibedakan dengan jaringan hati disekitarnya karena konsistensinya
yang tidak dapat dibedakan dengan jaringan hepar biasa. Massa ini dapat
mengganggu jalan dari saluran empedu maupun menyebabkan hipertensi portal
sehingga gejala klinis baru akan terlihat setelah massa menjadi besar. Tanpa
pengobatan yang agresif, hepatoma dapat menyebabkan kematian dalam 6 20
bulan.
3.1.2 Epidemiologi
Terdapat suatu distribusi geografik insiden hepatoma didunia. Szmuness telah
menggambarkan-nya secara skematik .Seperti terlihat pada gambar peta dunia diatas,
gambaran distribusi geografik hepatoma ternyata mirip dengan peta geografik
prevalensi infeksi virus hepatitis B didunia. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa
keduanya mungkin mempunyai hubungan kausal.
3.1.3 Etiologi
Dewasa ini hepatoma dianggap terjadi dari hasil interaksi sinergis
multifaktor dan multifasik, melalui inisisasi, akselerasi, dan transformasi dan
23
proses banyak tahapan, serta peran serta banyak onkogen dan gen terkait,
mutasi multigenetik. Etiologi hepatoma belum jelas, menurut data yang ada,
virus Hepatitis, aflatoksin, dan pencemaran air minum merupakan 3 faktor
utama yang terkait dengan timbulnya hepatoma.1 Sampai saat sekarang,
belum diketahui dengan pasti penyebab sebenarnya dari karsinoma hati
primer. Tetapi ada beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab atau
merupakan faktor predisposisi (Hadi, 2002).
Sirosis hati
Sering disebut-sebut bahwa sebagai predisposisi yang terbanyak
ialah sirosis hati, atau bahkan sering karsinoma hati primer ditemukan
bersama-sama dengan sirosis hati. Kemungkinan timbulnya karsinoma
pada sirosis hepatis adalah adanya hiperplasia noduler yang akan berubah
menjadi adenomata multipel, dan kemudian berubah menjadi karsinoma
yang multipel. Ini terbukti bahwa sirosis bentuk makronoduler (post
nekrotik) sering ditemukan pada penderita karsinoma hati primer ( Hadi,
2002).
Hepatitis
Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya HCC
terbukti kuat, baik secara epidemiologis, klinis, maupun eksperimental.
Karsinogenitas HBV terhadap hati mungkin terjadi melalui proses
inflamasi kronik, peningkatan proliferasi hepatosit, integrasi HBV DNA
ke dalam DNA sel penjamu, dan aktivitas protein spesifik HBV
berinteraksi dengan gen hati. Diwilayah dengan tingkat infeksi HBV
rendah, HCV merupakan faktor resiko penting dari HCC. Metaanalisis
dari 32 penelitian kasus-kelola menyimpulkan bahwa resiko terjadinya
HCC pada pengidap infeksi HCV adalah 17 kali lipat dibandingkan
dengan resiko pada bukan pengidap (Sudoyo, 2009).
Aflatoksin (AFT)
Sejak ditemukannya aflatoksin pada tahun 1960-an sudah berkali-
kali dibuktikan aflatoksin dapat memicu hepatoma pada hewan,
diantaranya AFT-B1 dianggap salah satu karsinogenik paling poten pada
hewan, dosis minimal untuk memicu hepatoma adalah konsumsi hanya
24
Obesitas
Seperti diketahui, obesitas merupakan faktor risiko utama untuk non-
alcoholic fatty liver disease (NAFLD), khususnya nonalcoholic
steatohepatitis (NASH) yang dapat berkembang menjadi sirosis hati dan
kemudian dapat berlanjut menjadi HCC.
Alkohol
25
Selain yang telah disebutkan di atas, bahan atau kondisi lain yang
merupakan faktor risiko HCC namun lebih jarang dibicarakan/ditemukan,
antara lain : penyakit hati autoimun( hepatitis autoimun, sirosis bilier
primer), penyakit hati metabolik(hemokromatosis genetik, defisiensi
antitripsin-alfa 1, penyakit Wilson), kotrasepsi oral, senyawa
kimia( thorotrast, vinil klorida, nitrosamin, insektisida organoklorin, asam
tanik), tembakau.
3.1.5 Patofisiologi
Inflamasi, nekrosis, fibrosis, dan regenerasi dari sel hati yang terus
berlanjut merupaka proses khas dari cirrhosis hepatic yang juga merupakan proses
dari pembentukan hepatoma walaupun pada pasien pasien dengan hepatoma,
kelainan cirrhosis tidak selalu ada. Hal ini mungkin berhubungan dengan proses
replikasi DNA virus dari virus hepatitis yang juga memproduksi HBV X protein
yang tidak dapat bergabung dengan DNA sel hati, yang merupakan host dari
infeksi Virus hepatitis, dikarenakan protein tersebut merupakan suatu RNA. RNA
ini akan berkembang dan mereplikasi diri di sitoplasma dari sel hati dan
menyebabkan suatu perkembangan dari keganasan yang nantinya akan
mengahambat apoptosis dan meningkatkan proliferasi sel hati. Para ahli genetika
mencari gen gen yang berubah dalam perkembangan sel hepatoma ini dan
didapatkan adanya mutasi dari gen p53, PIKCA, dan -Catenin.
yang terbentuk dari sel sel yang kecil meningkatkan proses pembentukan
hepatoma. Sel sel kecil ini disebut sebagai stem cel dari hati.
Sel sel ini meregenrasi sel sel hati yang rusak tetapi sel sel ini juga
berkembang sendiri menjadi nodul nodul yang ganas sebagai respons dari
adanya penyakit yang kronik yang disebabkan oleh infeksi virus.nodul nodul
inilah yang pada perkembangan lebih lanjut akan menjadi hepatoma.
Kanker hati pada mulanya tidak terdeteksi secara klinis karena kanker ini
sering timbul pada pasien yang telah menderita sirosis dan gejala serta tanda
mungkin mengisyaratkan perburukan penyakit yang mendasari. Gambaran
pertama yang paling sering timbul adalah nyeri abdomen dsertai adanya
massa abdomen dikuadran kanan atas. Mungkin terdengar friction rub atau
bruit diatas hati. Pada 20% kasus ditemukan cemaran darah dalam asites.
Ikterus jarang terjadi, kecuali terdapat perburukan hebat fungsi hati atau
sumbatan mekanis saluran empedu. Sering terdapat peningkatan fosforilase
alkali dan alfa fetoprotein (AFP) serum. Suatu protrombin jenis abnormal,
27
3.1.8 Diagnosis
Anamnesis:
Pemeriksaan Fisik:
Hepatomegali dan atau splenomegali. Pada palpasi hati teraba keras dan
berbentuk lebih tak teratur daripada hati normal.
Spider telangiektasis (spider naevi) terutama pada pasien dengan sirosis
alkoholik. Spider ini terutama ditemukan di kulit dada. Namun spider juga
dapat dijumpai pada mereka yang tidak mempunyai penyakit hati.
Ikterus atau jaundice
Eritema Palmaris
Asites dan atau edema tungkai bawah
Pasien dengan deposit tembaga yang abnormal di matanya atau yang
menunjkkan gejala neurologi tertentu, mungkin mengidap penakit Wilson,
yang merupakan kelainan genetik akibat akumulasi tembaga yang abnormal di
seluruh tubuh, termasuk dalam hati yang dapat menimbulkan sirosis
(Tjokropawiro, 2015).
Tes biokimiawi yang perlu dilakukan yaitu tes faal hati, walaupun
sampai sekarang belum ada tes faal hati yang khas untuk KHP. Namun
demikian, ada beberapa tes faal hati yang kadang-kadang dapat
membantu menegakkan diagnosis antara lain : alkali fosfatase, SGOT,
SGPT yang biasanya terdapat kenaikan kadarnya. Tes faal hati yang
dapat memperkuat dugaan kearah KHP adalah terdapat peninggian kadar
alkali fosfatase. Belakangan ini telah dikembangkan pemeriksaan asam
empedu, yang untuk KHP diperoleh hasil yang meningkat. Tes faal hati
lainnya yang dapat berubah bila pada penderita disertai dengan sirosis
hati, yaitu kadar albumin menurun, kolestrol dan trigliserida juga
menurun (Hadi, 2002).
Pemeriksaan serologis
1. Alfa-fetoprotein (AFP)
AFP memiliki spesifitas tinggi dakam diagnosis karsinoma
hepatoselular. Jika AFP 500 ng/L bertahan 1 bulan atau 200 ng/L
bartahan 2 bulan, tanpa bukti penyakit hati aktif, dapat disingkirkan
kehamilan dan kanker embrional kelenjar reproduksi, maka dapat
dibuat diagnosis hepatoma, diagnosis ini dapat lebih awal 6-12 bulan
dari timbulnya gejala hepatoma. AFP sering dapat dipakai untuk
menilai hasil terapi. Pasca reseksi hepatoma, kadar AFP darah terus
menurun dengan wakru paruh 3-9,5 hari, umumnya pasca operasi
dalam 2 bulan kadarnya turun hingga normal, jika belum dapat turun
hingga normal, atau setelah turun naik lagi, maka petanda terjadi
residif atau rekurensi tumor (Desen, 2011).
2. HbsAg
Berdasarkan hasil penelitian Prof. Dr. dr. Sujono Hadi, pada
penderita dengan HbsAg positif secara RPHA, ditemukan pada
hepatitis kronis aktif 36,4 %, sirosis hati 38,3 %, dan KHP 34,5 %.
Demikian pula dengan hasil penelitian Nishioka (1978) menemukan
HbsAg positif pada 30 % kasus dengan hepatitis kronis dan sirosis
hati. Disamping itu, ditemukan lebih dari 10 % HbsAg positif pada
penderita KHP. Selanjutnya, Nishioka mengadakan penelitian Anti
30
l. Ultrasonografi (USG)
2. CT
3. MRI
jaringan hati dan hepatoma, sangat membantu dalam menilai efektivitas aneka
terapi. Dengan zat kontras spesifik hepatosit dapat menemukan hepatoma kecil
kurang dari 1cm dengan angka keberhasilan 55%
6. Pemeriksaan lainnya
Untuk pasien yang dicurigai hepatoma atau lesi penempat ruang dalam
hati yang tak dapat menyingkirkan hepatoma, semua harus diupayakan kejelasan
diagnosisnya dalam waktu sesingkat mungkin. Teknik pemeriksaan pencitraan
modern tidak dapat dilewatkan, biasanya dimulai dengan pemeriksaan noninvasif,
bila perlu barulah dilakukan pemeriksaan invasif. Untuk kasus yang dengan
berbagai pemeriksaan masih belum jelas diagnosisnya, harus dipantau
ditindaklanjuti secaraketat, bila perlu pertim-bangkan laparotomi eksploratif.
Standar diagnosis
(1) AFP > 400 ug/L, dapat menyingkirkan kehamilan, tumor embrional sistem
repro-duksi, penyakit hati aktif, hepatoma metastatik, selain itu teraba hati
mem-besar, keras dan bermassa nodular besar atau pemeriksaan pencitraan
menun-jukkan lesi penempat ruang karakteristik hepatoma.
(2) AFP < 400 ug/L, dapat menyingldrkan kehamilan, tumor embrional sistem
reproduksi, penyakit hati aktif, hepatoma metastatik, selain itu terdapat
dua jenis pemeriksaan pencitraan menunjukkan lesi penempat ruang
karakteristik hepatoma atau terdapat dua petanda hepatoma (DCP, GGT-
II, AFU, CA19-9, dll.) positif serta satu pemeriksaan pencitraan
menunjukkan lesi penempat ruang karakteristik hepatoma.
(3) Menunjukkan manifestasi klinis hepatoma dan terdapat kepastian lesi
metastatik ekstrahepatik (termasuk asites hemoragis makroskopik atau
34
la : tumor tunggal berdiameter < 3 cm, tanpa emboli rumor, tanpa metastasis
kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh; Child A.
Ib : tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan <5cm, di separuh
hati, tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun
jauh; Child A.
Ha : tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan < 10 cm, di separuh
hati, atau dua tumor dengan diameter gabungan < 5 cm, di kedua belahan hati
kiri dan kanan, tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal
ataupun jauh; Child A.
lib : tumor tunggal atau multipel dengan diameter gabungan > 10 cm, di separuh
hati, atau tumor multipel dengan diameter gabungan > 5 cm, di kedua belahan
hati kiri dan kanan, tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe
peritoneal ataupun jauh; Child A. Terdapat emboli tumor di percabangan vena
portal, vena hepatik atau saluran empedu dan/atau Child B.
Ilia : tidak peduli kondisi tumor, terdapat emboli tumor di pembuluh utama vena
porta atau vena kava inferior, metastasis kelenjar limfe peritoneal atau jauh,
salah satu daripadanya; Child A atau B.
Illb : tidak peduli kondisi tumor, tidak peduli emboli tumor, metastasis; Child C.
35
Terapi operasi
1. Metode hepatektomi.
cm) dapat mencapai 50-60%. Hepatektomi beraruran adalah sebelum insisi hati
dilakukan diseksi, me-mutus aliran darah ke lobus hati (segmen, subsegmen)
terkait, kemudian menurut lingkup anatomis lobus hati (segmen, subsegmen)
tersebut dilakukan reseksi jaringan hati. Hepatektomi tak beraruran tidak perlu
mengikuti secara ketat distribusi anatomis pembuluh dalam hati, tapi hanya perlu
ber-jarak 2-3cm dari tepi tumor, mereseksi jaringan hati dan percabangan
pembuluh darah dan saluran empedu yang menuju lesi, lingkup reseksi hanya
mencakup tumor dan jaringan hati sekitarnya. Pada kasus dengan sirosis hati,
obstruksi porta hati setiap kali tidak boleh lebih dari 10-15 menit, bila perlu dapat
diobstruksi berulang kali.
2. Transplantasi hati
Dewasa ini, teknik transplantasi hati sudah sangat matang, namun biayanya
tinggi,donornya sulit. Pasca operasi pasien menggunakan obat imunosupresan anti
rejeksi membuat kanker residif tumbuh lebih cepat dan bermetastasis. hasil terapi
kurang baik untuk hepatoma stadium sedang dan lanjut. Umumnya berpendapat
mikrohepatoma stadium dini dengan sirosis berat merupakan indikasi lebih baik
untuk transplantasi hati.
Misalnya, pasca laparotomi, karena tumor menyebar atau alasan lain tidak
dapat dilakukan reseksi, dapat dipertimbangkan terapi operatif nonreseksi,
mencakup: injeksi obat melalui kateter transarteri hepatik atau kemoterapi
embolisasi saat operasi; kemoterapi melalui kateter vena porta saat operasi; ligasi
arteri hepatika; koagulasi tumor hati dengan gelombang mikro, ablasi
radiofrekuensi, krioterapi dengan nitrogen cair, evaporisasi dengan laser energi
tinggi saat operasi; injeksi alkohol absolut intratumor saat operasi
37
Terapi lokal
Terapi lokal terdiri atas dua jenis terapi, yaitu terapi ablatif lokal dan
injeksi obat intratumor.
Ini adalah metode ablasi lokal yang [paling sering dipakai dan efektif
dewasa ini. Elektroda RFA ditusukkan ke dalam tumor melepaskan energi
radiofrekuensi, hingga jaringan tumor mengalami nekrosis koagulatif panas,
denaturasi, jadi secara selektif mem-bunuh jaringan tumor. Satu kali RFA meng-
hasilkan nekrosis seukuran bola berdiameter 3-5 cm, sehingga dapat membasmi
tuntas mikrohepatoma, dengan hasil kuratif. RFA perkutan memiliki keunggulan
mikroinvasif, aman, efektif, sedikit komplikasi. mudah di-ulangi dll. sehingga
mendapat perhatian luas untuk terapi hepatoma.
fungsi hati terganggu berat, kondisi umum buruk, diperkirakan tak tahan terapi,
semua iru merupakan kontraindikasi kemoembolisasi arteri hepatik.
Terapi Paliatif
Adapun beberapa jenis terapi lain untuk HCC yang tidak resektabel seperti
imunoterapi dengan interferon, terapi antiestrogen, antiandrogen, oktreotid,
radiasi internal, kemoterapi arterial atau sistemik masih memerlukan penelitian
lebih lanjut untuk mendapatkan penilaian yang meyakinkan.
Prognosis dari hepatoma lebih dipengaruhi oleh stadium tumor pada saat
diagnosis, status kesehatan pasien, fungsi sintesis hati dan manfaat terapi.
39
3.2 Kolesistolitiasis
3.2.1 Definisi
Kolesistolitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di
dalam kandung empedu. Sebagian besar batu empedu, terutama batu
kolesterol, terbentuk di dalam kandung empdu. Bila batu kandung empedu
ini berpindah ke dalam saluran empedu ke ekstrahepatik disebut batu
saluran empedu sekunder atau koledokolitiasis sekunder (Doherty, 2010 :
Sjamsuhidayat dan DeJong, 1997).
3.2.2 Anatomi
Sistem biliaris disebut juga sistem empedu. Sistem biliaris dan hati tumbuh
bersama. Berasal dari divertikulum yang menonjol dari foregut, dimana
tonjolan tersebut akan menjadi hepar dan sistem biliaris. Bagian kaudal dari
divertikulum akan menjadi gallbladder (kandung empedu), ductus cysticus,
ductus biliaris communis (ductus choledochus) dan bagian cranialnya
menjadi hati dan ductus hepaticus biliaris (Doherty, 2010).
Kandung empedu berbentuk bulat lonjong seperti buah pear/alpukat
dengan panjang sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml empedu . Apabila
kandung empedu mengalami distensi akibat bendungan oleh batu, maka
infundibulum menonjol seperti kantong (kantong Hartmann). Vesica fellea
dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan
biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar, dimana fundus
berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa
IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya
keatas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang
berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus
hepaticus comunis membentuk duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi
fundus vesica fellea dengan sempurna menghubungkan corpus dan collum
dengan permukaan visceral hati.
Ductus cysticus berjalan dari hati ke arah kandung empedu,
40
panjangnya 1-2 cm, diameter 2-3 cm, diliputi permukaan dalam dengan
mukosa yang banyak sekali membentuk duplikasi (lipatan-lipatan) yang
disebut Valve of Heister, yang mengatur pasase bile ke dalam kandung
empedu dan menahan alirannya dari kandung empedu.
Saluran empedu ekstrahepatik terletak di dalam ligamentum
hepatoduodenale dengan batas atas porta hepatis sedangkan batas bawahnya
distal papila Vateri. Bagian hulu saluran empedu intrahepatik bermuara ke
saluran yang paling kecil yang disebut kanikulus empedu yang meneruskan
curahan sekresi empedu melalui duktus interlobaris ke duktus lobaris dan
selanjutkan ke duktus hepatikus di hilus.
Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4
cm. Panjang duktus hepatikus komunis sangat bervariasi bergantung pada
letak muara duktus sistikus. Ductus choledochus berjalan menuju duodenum
dari sebelah belakang, akan menembus pankreas dan bermuara di sebelah
medial dari duodenum descendens. Dalam keadaan normal, ductus
choledochus akan bergabung dengan ductus pancreaticus Wirsungi (baru
mengeluarkan isinya ke duodenum) Tapi ada juga keadaan di mana masing-
masing mengeluarkan isinya, pada umumnya bergabung dulu. Pada
pertemuan (muara) ductus choledochus ke dalam duodenum, disebut
choledochoduodenal junction. Tempat muaranya ini disebut Papilla Vatteri.
Ujung distalnya dikelilingi oleh sfingter Oddi, yang mengatur aliran empedu
ke dalam duodenum (Doherty, 2010).
Pembuluh arteri kandung empedu adalah a. cystica, cabang a.
hepatica kanan. V. cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta.
Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena vena juga berjalan antara hati
dan kandung empedu.
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang
terletak dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan
melalui nodi lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan a. hepatica menuju
ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung empedu berasal
dari plexus coeliacus (Doherty, 2010).
41
Menurut Guyton &Hall, 1997 empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :
Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak,
karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam empedu
membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi
partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan
dalam getah pankreas, Asam empedu membantu transpor dan absorpsi
produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa
intestinal.
Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk
buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir
dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk
oleh sel- sel hati.
Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen
terbesar (90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan
garam anorganik. Garam empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit
dan berasal dari kolesterol. Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme
umpan balik yang dapat ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal kalau
diperlukan (Sjamsuhidayat, 1997).
Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial
kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan
berlemak kedalam duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon
kolesistokinin dari mukosa duodenum, hormon kemudian masuk kedalam
darah, menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama,
otot polos yang terletak pada ujung distal duktus coledokus dan ampula
relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya empedu yang kental ke dalam
duodenum. Garam garam empedu dalam cairan empedu penting untuk
43
2. Bilirubin
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan
globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi
bilverdin yang segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma
terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain (konjugasi)
yaitu 80 % oleh glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel darah merah berlebihan
45
misalnya pada malaria maka bilirubin yang terbentuk sangat banyak (Silbernagi,
2013).
2.3.4 Etiologi
Batu Kolesterol
Batu kolestrol berhubungan dengan jenis kelamin wanita, ras Eropa,
penduduk asli Amerika, dan penambahan usia. Faktor risiko lainnya :
Obesitas, kehamilan, kandung empedu yang statis, obat, dan keturunan.
Metabolik sindrom, resistensi insulin, tipe 2 DM, hiperlipidemia
sangat berhubungan dengan peningkatan sekresi kolestrol dan merupakan
faktor risiko major dari terjadinya batu kolestrol.
Batu kolestrol lebih sering pada wanita dengan kehamilan yang
berulang. Karena tingginya progesterone. Progesteron menurunkan motilitas
kandung empedu, sehingga terjadi retensi dan meningkatnya konsentrasi
empedu pada kandung empedu. Penyebab lain statisnya kandung empedu,
pemberian nutrisi secara parenteral, penurunan berat badan yang cepat (diet,
gastric bypass surgery).
Pemakaian estrogen meningkatkan risiko terjadi batu kolestrol.
Clofibrate atau golongan fibrate meningkatkan eliminasi kolestrol via
sekresi empedu. Analog somatostatin menurunkan proses pengosongan
pada kandung empedu (Doherty, 2010 ; Sjamsuhidayat, 1997).
Batu Pigmen
Batu pigmen terjadi pada penderita dengan high heme turnover.
Penyakit hemolisis yang berkaitan dengan batu pigmen adalah sickle cell
anemia, hereditary spherocytosis, dan beta-thalasemia.
Pada penderita sirosis hepatis, hipertensi portal menyebabkan
splenomegali, sehingga meningkatkan hemoglobin turnover. Setengah dari
penderita sirosis memiliki batu pigmen (Doherty, 2010 ; Sjamsuhidayat,
1997).
2.3.5 Patofisiologi
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan
jarang pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan
46
b. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan sekitar 10 % dari batu empedu di Amerika
Serikat. Ada dua bentuk yaitu batu pigmen murni yang lebih umum dan batu
kalsium bilirubinat. Batu pigmen murni lebih kecil (2 sampai 5 mm),
50
2.3.7 Diagnosis
Anamnesis
53
2. Pemeriksaan Radiologis
Foto Polos Abdomen
55
Gambar 9. Kolesistogram
Kolangiografi Transhepatik Perkutan
Merupakan cara yang baik untuk mengetahui adanya obstruksi dibagian
atas kalau salurannya melebar, meskipun saluran yang ukurannya normal
dapat dimasuki oleh jarum baru yang "kecil sekali" Gangguan pembekuan,
asites dan kolangitis merupakan kontraindikasi.
57
2.3.8 Penatalaksanaan
61
Simptomatik
- Kolesistektomi
62
1. Insisi kocher
7. Insisi transverse
Yang pertama didiseksi ialah duktus sistikus dan arteri kemudian dipisahkan
setelah kandung empedu diangkat.
Indikasi : tidak ada adhesi atau eksudat pada CBD, CHD dan CD
Kontraindikasi : adanya adhesi dan eksudat.
b. Metode fundus first
Diseksi dimulai dari fundus kandung empedu dan kemudian berlanjut pada duktus
sistikus.
Indikasi : adanya adhesi atau eksudat di CBD, CHD dan CD
- Laparoskopik kolesistektomi
Berbeda dengan kolesistektomi terbuka, pada laparoskopik hanya membutuhkan 4
insisi yang kecil. Oleh karena itu, pemulihan pasca operasi juga cepat. Kelebihan
tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal, pemulihan lebih cepat,
hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan perawatan di rumah sakit dan biaya
yang lebih murah. Indikasi tersering adalah nyeri bilier yang berulang. Kontra
indikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka yaitu tidak dapat mentoleransi
tindakan anestesi umum dan koagulopati yang tidak dapat dikoreksi. Komplikasi
yang terjadi berupa perdarahan, pankreatitis, bocor stump duktus sistikus dan
trauma duktus biliaris. Resiko trauma duktus biliaris sering dibicarakan, namun
umumnya berkisar antara 0,51%. Dengan menggunakan teknik laparoskopi
kualitas pemulihan lebih baik, tidak terdapat nyeri, kembali menjalankan aktifitas
normal dalam 10 hari, cepat bekerja kembali, dan semua otot abdomen utuh
sehingga dapat digunakan untuk aktifitas olahraga.
- Kolesistostomi
Pada pasien dengan kandung empedu yang mengalami empiema dan sepsis, yang
dapat dilakukan ialah kolesistostomi. Kolesistostomi adalah penaruhan pipa
drainase di dalam kandung empedu. Setelah pasien stabil,maka kolesistektomi
dapat dilakukan.
- Endoscopic Sphincterotomy
64
Dilakukan apabila batu pada CBD tidak dapat dikeluarkan. Pada prosedur ini
kanula diletakan pada duktus melalui papila vateri. Dengan mennggunkan
spinterectome elektrokauter, dibuat insisi 1 cm melalui sfingter oddi dan bagian
CBD yang mengarah ke intraduodenal terbuka dan batu keluar dan diekstraksi.
Prosedur ini terutama digunakan pada batu yang impaksi di ampula vateri
(Klingensmith, 2008 ; Townsend, 2004).
3.2.9 Prognosis
Ratio mortalitas pada kolesistektomi adalah 0,5% dan morbiditas kurang
dari 10%. Setelah kolesistektomi, batu kandung empedu dapat timbul
kembali. Sekitar 10-15% pasien dapat terjadi koledokolitiasis. Prognosis
pada pasien dengan koledokolitiasis tergantung dari adanya dan berat
ringannya komplikasi. Pada pasien yang menolak dilakukannya
pembedahan , 45% tetap asimptomatik koledokolitiasis (Sjamsuhidayat,
2004 ).
Asites Refrakter
Asites yang tidak dapat dimobilisasi atau yang kambuh lebih awal,
(yaitu,setelah terapi paracentesis) yang tidak dapat dicegah dengan terapi medis.
65
3.3.2 Patofisiologi
- Hipotesis underfilling
66
Urutan kejadian antara hipertensi portal dan retensi natrium ginjal belum
jelas. Hipertensi portal juga menyebabkan peningkatan kadar nitrat oksida Nitrat
oksida merupakan mediator kimia yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh
darah splanknik dan perifer. Kadar NO pada arteri hepatika pasien asites lebih
besar daripada pasien tanpa asites. Peningkatan kadar epinefrin dan norepinefrin,
dan hipoalbuminemia juga berkontribusi dalam pembentukan asites.
Hipoalbuminemia mengakibatkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga
terjadi ekstravasasi cairan plasma ke rongga peritoneum.Dengan demikian, asites
jarang terjadi pada pasien sirosis tanpa hipertensi portal dan hipoalbuminemia.
67
3.3.3 Diagnosis
Tahap awal untuk menegakkan diagnosis asites adalah dengan melakukan
anamnesis mengenai perjalanan penyakit. Saat melakukan anamnesis sebaiknya
dokter mencari tahu faktor risiko yang dapat menyebabkan gangguan pada hati,
seperti: riwayat kolestasis, jaundice, hepatitis kronik, riwayat transfusi atau
suntikan, atau riwayat keluarga dengan penyakit hati. Selain itu, biasanya perlu
ditanyakan apakah terjadi peningkatan berat badan yang berlebihan.
Tahap selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh.
Pada awal pemeriksaan fisik, perlu dibedakan apakah pembesaran perut yang
terjadi karena asites, atau penyebab lain seperti: kegemukan, obstruksi usus, atau
adanya massa di abdomen. Flank dullness yang biasanya terdapat pada 90%
pasien dengan asites merupakan tes yang paling sensitif, sedangkan shifting
dullness lebih spesifik tetapi kurang sensitif.
68
Tes lain yang bisa dilakukan untuk mengetahui asites, contohnya pada
anak adalah melalui pemeriksaan puddle sign. Puddle sign ini bisa digunakan
untuk mengetahui asites pada jumlah yang masih sedikit (+120 ml). Untuk
melakukan pemeriksaan ini posisi pasien harus bertumpu pada siku dan lutut
selama pemeriksan.Pemeriksaan fisik yang menyeluruh dan seksama dapat
memberi arahan mengenai penyebab asites. Tanda-tanda dari penyakit hati kronis
adalah eritema palmaris, spider naevi, jaundice. Splenomegali dan pembesaran
venakolateral merupakan indikasi telah terjadi peningkatan tahanan vena
porta.Asites yang disebabkan oleh gagal jantung kronis, memberikan tambahan
temuan pemeriksaan fisik berupa peningkatan tahanan vena jugularis.Pembesaran
KGB m mengacu pada limfoma atau TBC.
Paracentesis abdomen
Abdominal parasentesis umum dikerjakan pada pasien dengan asites yang
belum diketahui penyebabnya, dan pada pasien dengan penambahan jumlah asites
yang sangat cepat,perburukan klinis, disertai demam dan nyeri perut. Pemeriksaan
ini berguna untuk mendeteksi terjadinya spontaneous bacterial peritonitis (SBP).
Cairan asites kemudian dikirim untuk mengetahui jumlah sel, albumin,
kultur asites, protein total, gram stain dan sitologi. Pemeriksaan cairan asites
meliputi:
- Inspeksi. Sebagian besar cairan asites berwarna transparan dan
kekuningan. Warna cairan akan berubah menjadi merah muda jika terdapat
sel darah Merah >10 000/l, dan menjadi merah jika SDM >20 000/l.
Cairan asites yang berwarna merah akibat trauma akan bersifat heterogen
dan akan membeku, tetapi jika penyebabnya non trauma akan bersifat
homogen dan tidak membeku. Cairan asites yang keruh menunjukan
adanya infeksi.9
- Hitung jumlah sel. Cairan asites yang normal biasanya mengandung
PMN >250/mm3 ,bisa diperkirakan kemungkinan terjadinya SBP. Selain
peningkatan PMN, diagnosa SBP ditegakkan bila jumlah leukosit >500
sel/mm3 dan konsentrasi protein 50.000/mm3 ), dan 30%nya disebabkan
oleh karsinoma hepatoseluler.
69
Bedrest
Istirahat pada pasien dengan sirosis dan asites, asumsi postur tegak
dikaitkan dengan aktivasi renin-angiotensin-aldosteron dan sistem saraf
simpatik,pengurangan ditingkat filtrasi glomerulus dan ekskresi natrium, serta
respon menurun terhadap diuretic. Efek ini bahkan lebih mencolok dalam
hubungan dengan latihan fisik moderat. Data ini sangat menyarankan bahwa
pasien harus diobati dengan diuretik saat istirahat. Namun, belum ada studi klinis
yang menunjukkan keberhasilan peningkatan diuresis dengan istirahat atau durasi
penurunan rawat inap. Tirah baring dapat menyebabkan atrofi otot, dan
komplikasi lainnya, serta memperpanjang lama tinggal di rumah sakit, tirah baring
umumnya tidak direkomendasikan untuk manajemen pasien dengan asites tanpa
komplikasi.
Retriksi diet garam saja dapat membuat balans natrium negatif pada10%
pasien. Pembatasan natrium telah terkait dengan persyaratan diuretik lebih rendah,
resolusi asites lebih cepat, danmasa rawat di RS lebih pendek. Di masalalu,
makanan garam sering dibatasi sampai 22 atau 50mmol/hari, diet ini dapat
menyebabkan malnutrisi protein dan hasil yang serupa, dan tidak lagi dianjurkan.
Bimbingan ahli diet dan informasi leaflet akan membantu dalam mendidik
pasien dan kerabat tentang retrriksi garam. Obat tertentu, terutama dalam bentuk
tablet effervescent, memiliki kandungan natrium yangtinggi. Antibiotik intravena
umumnya mengandung 2,1-3,6 mmol natrium per gramdengan pengecualian
siprofloksasin yang berisi 30 mmol natrium dalam 200 ml (400mg) untuk infuse
intravena.Meskipun secara umum lebih baik untuk menghindari infus cairan yang
mengandung garam pada pasien dengan asites, ada peluang, seperti berkembang
menjadi sindroma hepatorenal atau gangguan ginjal dengan hiponatremia berat,
Jika sesuai dan diindikasikan untuk memberikan ekspansi volume
dengan kristaloid atau koloid. Untuk pasien sindrom hepatorenal, International
Ascitesclubmerekomendasikan infus garamnormal.
Diuretik
Regimen diuretik yang biasa digunakan terdiri dari dosisi tunggal
spironolactone oral dan furosemide, dosis inisial dimulai dengan 100 mg
sebelumnya dan 40 mg yang selanjutnya. Sebelumnya, dosis tunggal
spironolactone itu dianjurkan, tapi hiperkalemia dan waktu paruh obat yang
panjang mengakibatkan penggunaannya sebagai agen tunggal hanya pada pasien
dengan overload cairan minimal.
Dosis tunggal furosemide telah di uji coba dalam percobaan terkontrol
secara acak kurang efektif daripada spironolactone. Bioavailabilitas furosemide
oral pada pasien dengan sirosis, bersama-sama dengan pengurangan pada laju
filtrasi glomerulus terkait dengan furosemide intravena, mendukung
penggunaanoral furosemid. Diuresis lebih lambat pada kelompok spironolactone
tunggal dengan kebutuhan yang lebih rendah untuk penyesuaian dosis, sehingga
pendekatan ini mungkin berguna untuk pasien rawat jalan.Namun percobaan lain
secara acak menunjukkan bahwa terapi kombinasi awal mempersingkat waktu
untuk mobilisasiascites yang tingkat keparahannya sedang.
Spironolactone
72
Furosemid
Furosemid adalah diuretik loop yang menyebabkan tanda natriuresis dan
dieresis pada subyek normal. Hal ini umumnya digunakan sebagai tambahan
untuk pengobatan spironolactone karena keberhasilan rendah bila digunakan
sendirian pada sirosis. Dosis awal frusemid adalah 40mg/hari dan umumnya
meningkatsetiap 2-3 hari sampai dosis tidak melebihi 160 mg/hari. Tinggi dosis
frusemid berhubungan dengan gangguan elektrolit berat dan alkalosis metabolik,
dan harus digunakan hati- hati. Furosemid dan spironolactone bekerja
simultan meningkatkan efek natriuretik.
Diuretik lain
care'' yang digunakan dalam pengelolaan ascites dimulai dengan diet pembatasan
garam sederhana, bersama dengan meningkatnya dosis spironolactone. Furosemid
hanya ditambahkan bila 400mg spironolakton sendiri telah terbukti inefektif. Pada
pasien dengan edema berattidak perlu untuk memperlambat laju harian penurunan
berat badan. Sekali edema telah diselesaikan tetapi asites berlanjut, maka tingkat
penurunan berat badan tidak melebihi 0,5 kg/hari. Selama diuresis dikaitkan
dengan deplesi volumeintravaskular (25%) yang mengarah ke ginjal, hati
penurunan ensefalopati (26%), dan hiponatremia (28%). Sekitar 10% pasien
dengan sirosis dan asites memiliki asites refrakter.Pada pasien yang gagal
merespons pengobatan, riwayat diet dan obat-hati harus diperoleh. Penting untuk
memastikan bahwa mereka tidak memakan obat yang kaya akan natrium, atau
obat yang menghambat garam dan ekskresi air seperti obat-obatan anti- inflamasi
non-steroid. Kepatuhan retriksi natrium makanan harus dipantau dengan
pengukuran ekskresi natrium urin. Jika natrium urin melebihi asupan sodiumyang
direkomendasikan, dan pasien tidak menanggapi pengobatan, maka dapat
diasumsikan bahwa pasien non-compliant.
Terapi paracentesis
Paracentesis terapi serial efektif dalam mengendalikan ascites. Biasanya
jumlah paracentesis dilakukan untuk meminimalkan jumlah paracenteses.
Percobaan terkontrol menunjukkan keamanan pendekatan ini sekarang telah
diterbitkan. Bahkan pada pasien tanpa ekskresi natriumurin , paracenteses
dilakukan kira-kira setiap 2 minggu. Diuretik biasanya telah dihentikan setelah
pasien dianggap resisten terhadap diuretik. Guideline Eropa merekomendasikan
menghentikan diuretik jika natrium urin < 30 mmol / hari selama diuretik terapi.
Frekuensi paracentesis tergantung pada kesadaran pasien terhadap kepatuhan diet,
limaliter telah dianggap sebagai paracentesis dengan volume yang besar.
Pasien dengan asites besar atau refrakter biasanya managemen inisial oleh
paracentesis ulangan dengan volume besar. Beberapa studi klinis terkontrol telah
menunjukkan bahwa besar Volume paracentesis dengan penggantian koloid cepat,
aman dan effective. Penelitian pertama menunjukkan bahwa seri volume besar
74
DAFTAR PUSTAKA
Europian Association for Study of the Liver. EASL clinical practise guidelines
onthe management of ascites, spontaneous bacterial peritonitis, and
hepatorenal syndromin cirrhosis. Journal of Hepatology 2010 vol. 53
j397417.
Isselbacher KJ, Denstag JL. 2000. Tumor Hati dalam Klein H G . Harrison
Prinsip- Prinsip Ilmu Pwnyakit Dalam , Edisi 13 volume 4. Jakarta : ECG
76
Klingensmith ME, Chen LE, Glasgow SC, Goers TA, Spencer J. Biliary Surgery.
In : Washington Manual of Surgery 5th edition. 2008. Washington :
Lippincott Williams & Wilkins.
Nurdjanah, Siti. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Kelima. Jakarta:
Interna Publishing.
Sudoyo, Ari W dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. Juni 2006. 452 454
Sudoyo W et al. 2009. Karsinoma Hati dalam Harmono MT Buku ajar Penyakit
Dalam Edisi V Jilid I. Jakarta :Interna Publishing p.685-91
Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Biliary Tract. In :
Sabiston Textbook of Surgery 17th edition. 2004. Pennsylvania : Elsevier.
Underwood JCE. 2000. Patologi Umum dan Sistemik ed 2. Jakarta : EGC p.493-6