Anda di halaman 1dari 77

1

LAPORAN KASUS
HEPATOMA , KOLESISTOLITIASIS DAN ASCITES

Oleh :
ANISA HANIF RIZKI AINIA
132011101063

Pembimbing :
dr. Arief Suseno, Sp. PD

SMF/LAB ILMU PENYAKIT DALAM RSD dr. SOEBANDI JEMBER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2017

BAB 1. PENDAHULUAN

Hepatoma (Hepatocellular Carcinoma/HCC) adalah tumor ganas hati primer


yang berasal dari hepatosit (kanker hati primer). Hepatoma juga dikenali dengan
2

nama lain yaitu kanker hati primer, hepatokarsinoma dan kanker hati. Dari seluruh
tumor ganas hati yang pernah didiagnosis, 85 % merupakan HCC, 10 %
Cholangiocarcinoma/CC dan sisanya adalah jenis lainnya. HCC meliputi 5,6 %
dari seluruh kasus kanker pada manusia, menempati peringkat kelima pada laki-
laki dan peringkat kesembilan pada perempuan sebagai kanker tersering di dunia.
Secara epidemiologis tingkat kekerapannya banyak terjadi di negara berkembang
dengan prevalensi tinggi hepatitis virus.
Selain infeksi hepatitis virus, adanya kelompok jamur aflatoksin, obesitas,
diabetes mellitus, alkohol dan penyakit hati metabolik lain diakui sebagai faktor
resiko terjadinya proses patologi pada sel hepar yang menyebabkan terbentuknya
HCC. Manifestasi klinisnya sangat bervariasi dari asimptomatik sampai gejala
yang sangat jelas dan disertai gagal hati. Namun gejala yang paling sering
dikeluhkan adalah perasaan tidak nyaman di kuadran kanan atas abdomen disertai
dengan adanya keluhan gastrointestinal lain. Ketiadaan ataupun ketidakmampuan
penerapan terapi yang bersifat kuratif menyebabkan HCC berprognosis buruk
dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Insiden kolesistolitiasis atau batu kandung empedu di Amerika Serikat
diperkirakan 20 juta orang yaitu 5 juta pria dan 15 juta wanita. Pada pemeriksaan
autopsy di Amerika, batu kandung empedu ditemukan pada 20 % wanita dan 8 %
pria.
Dengan perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru USG maka
banyak penderita batu kandung empedu yang ditemukan secara dini sehingga
dapat dicegah kemungkinan terjadinya komplikasi. Semakin canggihnya peralatan
dan semakin kurang invasifnya tindakan pengobatan sangat mengurangi
morbiditas dan moralitas.
Batu kandung empedu biasanya baru menimbulkan gejala dan keluhan bila batu
menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus. Oleh karena itu gambaran
klinis penderita batu kandung empedu bervariasi dari yang berat atau jelas sampai
yang ringan atau samar bahkan seringkali tanpa gejala (silent stone).1
Dikenal tiga jenis batu empedu yaitu, batu kolesterol, batu pigmen atau batu
bilirubin yang terdiri dari kalsium bilirubinat, serta batu campuran. Patofisiologi
3

dari terjadinya batu tersebut berbeda-beda. Kolelitiasis kronik menyebabkan


fibrosis dan hilangnya fungsi dari kandung empedu, selain itu merupakan factor
predisposisi terjadinya kanker pada kandung empedu.

BAB 2. LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


4

Nama : Tn. I
Usia : 32 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan : SMK
Pekerjaan : Administrasi Pabrik
Agama : Islam
Status perkawinan : Menikah
Suku : Jawa
Alamat : JL. Semeru XVII, Sumebersari Jember
Tanggal MRS : 23 Mei 2017
Tanggal pemeriksaan : 24 Mei 2017
Tanggal KRS : 31 Mei 2017
No. RM : 168814

2.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan kepada pasien (Autoanamnesis) pada tanggal 24 Mei
2017 di Ruang Anturium RSD dr Soebandi Jember.
2.2.1 KELUHAN UTAMA :
Nyeri perut kanan dan tengah bagian atas
2.2.2 RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien mengeluhkan nyeri perut kanan dan tengah bagian atas. Nyeri
bersifat tumpul, terus menerus. Pasien mengaku keluhan tidak nyaman di perut
sudah mulai dirasakan sejak lama berupa rasa penuh di perut, tetapi sekitar 2
minggu terakhir nyeri di bagian kanan atas dirasakan semakin sering sehingga
pasien memutuskan untuk berobat. Nyeri perut juga disertai dengan keluhan perut
yang dirasakan semakin membesar sekitar 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Akibatnya nafsu makan pasien menurun. Untuk buang air besar dirasakan kurang
lancar, akhir-akhir ini pasien biasanya buang air besar 2-3 hari sekali, riwayat
BAB hitam (-). Buang air kecil berwarna kuning keruh, nyeri atau panas saat
BAK (-), darah (-).
Perut yang terasa penuh dan membesar membuat pasien kadang merasa
sesak yang bersifat hilang timbul dan tidak dipengaruhi aktivitas ataupun cuaca
dan debu. Sesak juga tidak disertai adanya nyeri dada ataupun bengkak di kedua
kaki. Riwayat demam (-).
2.2.3 RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Riwayat batu empedu (+)
5

Riwayat penyakit hati (+)


Riwayat penggunaan alcohol disangkal
Riwayat merokok (+)
Riwayat transfusi darah sebelumnya disangkal
Hipertensi disangkal
DM disangkal
Gagal ginjal disangkal
2.2.4 RIWAYAT PENGOBATAN
disangkal

2.2.5 RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Orang tua (ibu dan ayah) tidak pernah menderita keluhan yang sama.

2.2.6 ANAMNESIS SISTEM:


o Sistem Cerebrospinal :Nyeri kepala (-), kesadaran menurun (-)
o Sistem Kardiovaskular : Nyeri sekitar jantung dan epigastrium (-),
bedebar (-)
o Sistem Pernapasan : Sesak (+) hilang timbul, batuk (-)
o Sistem Gastrointestinal : Mual (+), muntah darah (-), nafsu makan
menurun (+), abdominal discomfort (+), BAB berwarna hitam (-),
asites (+)
o Sistem Urogenital : BAK berwarna kuning keruh
o Sistem Integumentum : Purpura (-), ptekie (-), spider telengiektasis
(-), eritema palmaris (-), ikterus (-)
o Sistem Muskuloskeletal: Edema (-)

Kesimpulan: Ditemukan sesak, gejala mual, nafsu makan menurun,


abdominal discomfort, terdapat asites.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


A. Keadaan umum : Lemah
Kesadaran : 4-5-6 Compos Mentis
Vital sign :
Tekanan Darah :110/70 mmHg
Nadi : 88x / menit, reguler, kuat angkat
Pernafasan : 22 x / menit
6

Suhu aksila : 36,5o C


Status gizi :
BB : 55 kg
TB :168
BMI = Berat Badan (Kg) = 55
Tinggi Badan(m)2 (1,68)2
BMI = 19,49 (cukup)
Kesimpulan: keadaan umum lemah dan status gizi normal

B. Pemeriksaan Kepala Leher


1. Kepala
Bentuk : Normocephal
Rambut : Hitam, lurus
Mata : Konjungtiva anemis : -/-
Sklera ikterus : -/-
Edema palpebra : -/-
Refleks cahaya : +/+
Hidung : sekret (-), bau (-), pernapasan cuping hidung (-),
perdarahan (-)
Telinga : sekret (-), bau (-), perdarahan (-)
Mulut : sianosis (-), kering, bau (-)
2. Leher :
KGB : tidak ada pembesaran
Tiroid : tidak membesar
JVP : tidak dilakukan
Kaku kuduk : tidak ada
Deviasi trakea : tidak ada

C. Thorax :
1. Umum
Bentuk : normal
Kulit : normal, spider nevi (-), vena kolateral (-),ikterik (-)
Axilla : pembesaran kelenjar getah bening (-)

2. Paru
Ventral Dorsal
7

Inspeksi: Inspeksi:
simetris simetris
ICS tidak melebar ICS tidak melebar
Retraksi -/- Retraksi -/-
Ketinggalan gerak -/- Ketinggalan gerak -/-

Palpasi: P: Palpasi:

Fremitus raba Fremitus raba


N N N N
N N N N
N N N N

Perkusi : Perkusi :

S S S S
S S S S
S S S S
S S S S S S S S
S S S S
8

Ventral Dorsal
Auskultasi : Auskultasi :
DS DS
V V V V
V V V V
V V V V
V V V V V V V V
V V V V

Rhonki Rhonki
- - - -
- - - -
- - - -
- - - - - - - -
- - - -

Wheezing Wheezing
- - - -
- - - -
- - - -
- - - - - - - -
- - - -
Dextra Sinistra

I: simetris I: simetris
P: fremitus raba normal P: fremitus raba normal
P: sonor P: sonor
A: vesikuler (+) ,rhonki (-), wheezing A: vesikuler (+), rhonki (-) ,wheezing
(-) (-)

3. Jantung
Inspeksi Ictus cordis tidak tampak
Palpasi Ictus cordis teraba di ICS V midclavikula sinistra
Perkusi Batas kanan atas: redup pada ICS 2 PSL D
Batas kanan bawah: redup pada ICS 4 PSL D
Batas kiri atas : redup pada ICS III PSL S
Batas kiri bawah: redup pada ICS V midklavikula S
Auskultasi S1, S2: tunggal, murmur -, gallop -, ekstrasistole -
Kesimpulan : jantung dalam batas normal
9

D. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi Bentuk:
Cembung
Kulit: turgor normal, ikterus (-)
Auskultasi Bising usus: (+) normal
Palpasi Slight distended, tugor kulit normal
Hepar teraba 3 jari di bawah arkus costae, konsistensi padat
keras, permukaan berbenjol, tepi tumpul, lien schuffner 1
Nyeri tekan(+)
Ginjal tidak teraba
Nyeri ketok ginjal (-)
Perkusi Shifting dullness (+), , Meteorismus (-)

Kesimpulan: ascites, hepatomegaly, splenomegali


E. Pemeriksaan Ekstremitas
Atas Akral hangat
Tidak didapatkan petekie, purpura dan ekimosis
Tidak didapat deformitas
Sendi: tidak ada nyeri
Kuku: tidak didapat kelainan
Jari: tidak didapat kelainan
Edema (-), eritema palmaris (-)
Bawah Akral hangat
Tidak didapatkan petekie, purpura dan ekimosis
Tidak didapat deformitas
Sendi: tidak ada nyeri
Kuku: tidak didapat kelainan
Jari: tidak didapat kelainan
Edema (-)
Kesimpulan: Ekstremitas superior dan inferior dbn

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


2.4.1 Pemeriksaan Laboratorium
a. Hasil Laboratorium tanggal 23 Mei 2017 dari RSD dr. Soebandi
Jenis
Hasil Nilai Normal Satuan
Pemeriksaan
10

Darah Lengkap
Hemoglobin 15,3 13,5-17,5 gr/dL
Leukosit 11,0 4.3-11,0 109/L
Hematokrit 43.9 41-53 %
Trombosit 398 150-450 109/L
Faal Hati
SGOT 23 10-35 U/L(370C)
SGPT 20 9-43 U/L(370C)
Albumin 3,6 3,4-4,8 Gr/dL
Gula Darah
Glukosa Sewaktu 107 <200 mg/DL
Faal Ginjal
Kreatinin serum 1,1 0,6-1,3 mg/dL
BUN 9 6-20 mg/DL
Urea 19 12-43 mg/dL
Elektrolit
Na 130 135-155 mmol/L
K 4,0 3,5-5,0 mmol/L
Cl 98 90-110 mmol/L
Pada hasil laboratorium didapatkan : hiponatremi
b. Hasil Laboratorium tanggal 24 Mei 2017 dari RSD dr. Soebandi
Jenis
Hasil Nilai Normal Satuan
Pemeriksaan
Serologi-Imunologi
Hbs-Ag Negatif Negatif
Anti-HCV Negatif Negatif
c. Hasil Laboratorium tanggal 24 Mei 2017 dari RSD dr. Soebandi
Jenis
Hasil Nilai Normal Satuan
Pemeriksaan
Faal Hati
Bil. Direct 0,57 0,2-0,4 mg/dl
Bil. Total 1,21 < 1,2 mg/dl

2.4.2 Pemeriksaan Radiologi


a. USG Abdomen tanggal 18 Mei 2017
11

Kesan USG Abdomen :


Multiple nodul uniform pada lobus kana kiri hepar curiga metastasis
Cholesistolitiasis
Ascites
Organ intra abdomen lainnya dalam batas normal
VI. Resume
Anamnesis :
Pasien laki-laki usia 32 tahun mengeluhkan nyeri perut kanan dan tengah
atas yang semakin memberat sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit,
disertai perut yang semakin membesar sejak 1 minggu sebelum masuk
rumah sakit. Nyeri perut dirasakan tumpul dan terus menerus. Perut yang
semakin membesar membuat perasaan penuh dan tidak nyaman sehingga
terkadang dikeluhkan sesak. Mual (+) dengan penurunan nafsu makan.
Riwayat hematemesis melena (-) BAB dan BAK normal.
Pemeriksaan fisik :
o Keadaan umum lemah
o Thoraks:
Pulmo: simetris, retraksi -/-, ICS hemithoraks dalam batas
normal, fremitus raba normal, perkusi sonor (+/+), auskultasi
vesikuler (+/+). Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
o Abdomen :
Cembung, slight distended, hepatomegali teraba 3 jari di bawah
arcus costae, konsistensi padat keras bernodul, lien membesar
schuffner 1.
shifting dullnes (+) asites
o Ekstremitas superior dan inferior dalam batas normal.
12

Pemeriksaan penunjang :
Laboratorium :
DL : dalam batas normal
Faal hati : peningkatan bilirubin direct
Faal ginjal : dalam batas normal
Elektrolit : dalam batas normal
USG : Multiple nodul hepar, Ascites ,
Cholesistolitiasis

VII. Assesment
Diagnosis:
Hepatoma
Cholesistolitiasis
Ascites
VIII. Planning
Planning Diagnostik:
o Asites :
DL, SGOT/SGPT, Alb, Bilirubin, HbsAg, HbeAg, anti-
HCV.
o Hepatoma
USG Abdomen
o Cholesitolitiasis
USG Abdomen
Daftar masalah:
a. Asites
b. Sesak
c. Mual
d. Penurunan nafsu makan

Planning Terapi:
inf. PZ 14 tpm
inj. Cefoperazone 3 x 1 ampul
inj. Santagesic 3 x 1 ampul
13

inj. Omeperazole 2 x1 ampul


inj. Ranitidin 2 x 1 ampul
P/O Urdahex 3 x 1
P/O Curcuma 3 x 1
P/O Braxidin 3 x 1

Planning Monitoring:
o Kesadaran (GCS)
o Vital sign (TD, nadi, RR, Tax)
o Lingkar abdomen
o DL, LFT, RFT dan Albumin

Planning Edukasi:
o Menjelaskan mengenai penyakit, pemeriksaan yang perlu
dilakukan, dan tindakan medis kepada pasien serta keluarga.
o Menjelaskan kemungkinan komplikasi dan prognosis kepada
pasien dan keluarga.
o Menjelaskan tentang faktor risiko yang perlu dihindari nantinya.

IX. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad Sanationam : dubia ad malam
14

X. Follow Up

Kamis, 25 Mei 2017 Jumat, 26 Mei 2017


H3MRS H4MRS
S Nyeri perut bagian tengah Nyeri perut diulu hati , mual, muntah
Sesak (+) , tidak bisa BAB +- 2 hari
O KU : lemah KU : lemah
Kes : CM Kes : CM
TD : 120/80mmHg TD : 110/80mmHg
N : 104x/mnt N : 104x/mnt
RR : 32x/mnt RR : 28x/mnt
Tax : 36,2 oC Tax : 36,4 oC
K/L : a/i/c/d : -/-/-/+ K/L : a/i/c/d : -/-/-/+
Thorax: Thorax:
Cor Cor
I : ictus cordis tidak tampak I : ictus cordis tidak tampak
P : ictus cordis teraba di ICS V mcl s P : ictus cordis teraba di ICS V mcl s
P : redup P : redup
A : S1S2 tunggal, reguler, e/g/m : -/-/- A : S1S2 tunggal, reguler, e/g/m :
Pulmo : -/-/-
I : simetris (+/+), retraksi ( -/-), Pulmo :
P : fremitus raba normal I : simetris (+/+), retraksi ( -/-),
P : sonor/sonor P : fremitus raba normal
A : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/- P : sonor/sonor
Abd : Cembung, BU (+) , slight A : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
distended, , hepatomegali (+), 3 jari di Abd : Cembung, BU (+) , slight
bawah arcus costae, padat bernodul distended, , hepatomegali (+), 3 jari
splenomegali schuffner 1, asites (+) di bawah arcus costae, padat
Ext : AH (+) & edema (-) di keempat bernodul splenomegali schuffner 1,
ekstremitas asites (+)
Ext : AH (+) & edema (-) di keempat
15

ekstremitas

A Hepatoma , kolesistolitiasis, ascites Hepatoma , kolesistolitiasis, ascites


P inf. PZ 14 tpm inf. PZ 14 tpm
inj. Ranitidin 2 x 1 inj. Ranitidin 2 x 1
inj. Omeperazole 2x 1 inj. Omeperazole 2x 1
inj. Santagesic 3 x 1 inj. Santagesic 3 x 1
inj. Cefoperazone 3 x 1 gr inj. Cefoperazone 3 x 1 gr
p/o urdahex 3 x 1 p/o urdahex 3 x 1
p/o curcuma 3 x 1 p/o curcuma 3 x 1
p/o braxidin 3x 1 p/o braxidin 3x 1

Sabtu , 27 Mei 2017 Minggu, 28 Mei 2017


H5MRS H6MRS
Panas diulu hati Panas diulu hati , mual, muntah ,

KU : lemah KU : lemah
Kes : CM Kes : CM
TD : 140/90mmHg TD : 120/80mmHg
N : 90x/mnt N : 110x/mnt
RR : 28x/mnt RR : 32x/mnt
Tax : 36,5 oC Tax : 36,6 oC
K/L : a/i/c/d : -/-/-/+ K/L : a/i/c/d : -/-/-/+
Thorax: Thorax:
Cor Cor
I : ictus cordis tidak tampak I : ictus cordis tidak tampak
P : ictus cordis teraba di ICS V mcl s P : ictus cordis teraba di ICS V mcl s
P : redup P : redup
A : S1S2 tunggal, reguler, e/g/m : -/-/- A : S1S2 tunggal, reguler, e/g/m : -/-/-
Pulmo : Pulmo :
I : simetris (+/+), retraksi ( -/-), I : simetris (+/+), retraksi ( -/-),
P : fremitus raba normal P : fremitus raba normal
16

P : sonor/sonor P : sonor/sonor
A : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/- A : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
Abd : Cembung, BU (+) , slight Abd : Cembung, BU (+) , slight
distended, , hepatomegali (+), 3 jari di distended, , hepatomegali (+), 3 jari di
bawah arcus costae, padat bernodul bawah arcus costae, padat bernodul
splenomegali schuffner 1, asites (+) splenomegali schuffner 1, asites (+)
Ext : AH (+) & edema (-) di keempat Ext : AH (+) & edema (-) di keempat
ekstremitas ekstremitas

Hepatoma , kolesistolitiasis, ascites Hepatoma , kolesistolitiasis, ascites


inf. PZ 14 tpm inf. PZ 14 tpm
inj. Ranitidin 2 x 1 inj. Ranitidin 2 x 1
inj. Omeperazole 2x 1 inj. Omeperazole 2x 1
inj. Santagesic 3 x 1 inj. Santagesic 3 x 1
inj. Cefoperazone 3 x 1 gr inj. Cefoperazone 3 x 1 gr
p/o urdahex 3 x 1 p/o urdahex 3 x 1
p/o curcuma 3 x 1 p/o curcuma 3 x 1
p/o braxidin 3x 1 p/o braxidin 3x 1

Senin, 29 Mei 2017 Selasa, 30 Mei 2017


H7MRS H8MRS
Nyeri perut bagian tengah Perut terasa penuh, sulit tidur
Sulit tidur
KU : lemah KU : lemah
Kes : CM Kes : CM
TD : 130/80mmHg TD : 130/80mmHg
N : 88x/mnt N : 100x/mnt
RR : 24x/mnt RR : 26x/mnt
Tax : 36,6 oC Tax : 36,4 oC
K/L : a/i/c/d : -/-/-/+ K/L : a/i/c/d : -/-/-/+
Thorax: Thorax:
Cor Cor
17

I : ictus cordis tidak tampak I : ictus cordis tidak tampak


P : ictus cordis teraba di ICS V mcl s P : ictus cordis teraba di ICS V mcl s
P : redup P : redup
A : S1S2 tunggal, reguler, e/g/m : -/-/- A : S1S2 tunggal, reguler, e/g/m : -/-/-
Pulmo : Pulmo :
I : simetris (+/+), retraksi ( -/-), I : simetris (+/+), retraksi ( -/-),
P : fremitus raba normal P : fremitus raba normal
P : sonor/sonor P : sonor/sonor
A : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/- A : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
Abd : Cembung, BU (+) , slight Abd : Cembung, BU (+) , slight
distended, , hepatomegali (+), 3 jari di distended, , hepatomegali (+), 3 jari di
bawah arcus costae, padat bernodul bawah arcus costae, padat bernodul
splenomegali schuffner 1, asites (+) splenomegali schuffner 1, asites (+)
Ext : AH (+) & edema (-) di keempat Ext : AH (+) & edema (-) di keempat
ekstremitas ekstremitas
Hepatoma , kolesistolitiasis, ascites Hepatoma , kolesistolitiasis, ascites
inf. PZ 14 tpm inf. PZ 14 tpm
inj. Ranitidin 2 x 1 inj. Ranitidin 2 x 1
inj. Omeperazole 2x 1 inj. Omeperazole 2x 1
inj. Santagesic 3 x 1 inj. Santagesic 3 x 1
inj. Cefoperazone 3 x 1 gr inj. Cefoperazone 3 x 1 gr
p/o urdahex 3 x 1 p/o urdahex 3 x 1
p/o curcuma 3 x 1 p/o curcuma 3 x 1
p/o braxidin 3x 1 p/o braxidin 3x 1

BAB 3. PEMBAHASAN
Hepatoma
18

Textbook Pasien
Anamnesis
Mudah lelah -
Lemas +
Nafsu makan berkurang +
Kulit berwarna kuning -
Gatal -
Mual +
Berat badan turun -
Nyeri perut +
Muntah berdarah -
Berak kehitaman -
Pemeriksaan Fisik
Integumen
Spider telengiektasis -
Kepala Leher
Ikterus -
Abdomen
Hepatomegali Teraba 3 jari dibawah arcus costae
Splenomegali Membesar schuffner 1
Asites +
Hematemesis -
Melena -
Ektremitas
Edema -
Eritema palmaris -

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
SGOT/SGPT yang meningkat -
tetapi tidak terlalu tinggi
19

ALP meningkat 2 3 kali -


GGT meningkat 2 3 kali -
Hipoalbumin -
Faktor pembekuan darah -
menurun
Bilirubin /normal +
Globulin -
PTT memanjang -
Natrium serum -
Anemia +

USG +
Hepatomegali +
Splenomegali +
Asites
CT
MRI
Pungsi asites
Tatalaksana
Mencegah kerusakan +
hepar lebih lanjut
Obati komplikasi +
Asites +
konsumsi garam +
Cairan 1 liter/hari +
Spironolakton -
Furosemid -
Albumin i.v
Perdarahan varises -
Propanolol -
20

Somatostatin -
Antibiotik +

Kolesistolitiasis
Textbook Pasien
Anamnesis
- Nyeri perut epigastrium, kuadran +
kanan atas -
- Ikterus -
- Urin seperti teh
- Tinja pucat +

Pemeriksaan Fisik
Abdomen
- Nyeri tekan punctum maksimum +
- Murphy sign +

Pemeriksaan Penunjang
Darah rutin +
Urine lengkap -
Bilirubin +
Aminotransferase dan alkali fosfatase -
Biopsi hati -
USG +
CT Scan -
PTC -
ERCP -
Foto polos Abdmen -

Tatalaksana
1. Operatif -

Asites
21

Textbook Pasien
Anamnesis
- Perut membesar +
- Kuning -
- Riwayat transfusi
- Riwayat penyakit hati -
+
Pemeriksaan Fisik
Abdomen
- Abdomen cembung +
- Perkusi redup +
- Shifting dullness
- Fluid wave +
- Puddle sign +
-
Pemeriksaan Penunjang
USG +
CT -

Tatalaksana
2. Obati penyakit yang mendasari +
3. Pungsi asites
-
4. Diuretik
-

3.1 Hepatoma

3.1.1 Definisi
Karsinoma hati primer (KHP) atau hepatoma adalah merupakan salah satu
tumor ganas hati yang paling sering ditemukan (Desen, 2011). .Karsinoma
hepatoseluler atau hepatoma adalah keganasan pada hepatosit dimana stem sel
dari hati berkembang menjadi massa maligna yang dipicu oleh adanya proses
fibrotik maupun proses kronik dari hati (cirrhosis). Massa tumor ini berkembang
di dalam hepar, di permukaan hepar maupun ekstrahepatik seperti pada metastase
jauh. Tumor ini paling sering merupakan metastasis dari berbagai organ lain. Yang
tergolong tumor hepar ganas primer yaitu karsinoma sel hepar (karsinoma
22

hepatoseluler), kolangiokarsinoma (adenokarsinoma ductus biliaris),


angiosarkoma (neoplasma ganas endotel vaskuler), dan hepatoblastoma (tumor
hepar primer pada anak-anak) (Underwood, 2000)..

Tumor dapat muncul sebagai massa tunggal atau sebagai suatu massa yang
difus dan sulit dibedakan dengan jaringan hati disekitarnya karena konsistensinya
yang tidak dapat dibedakan dengan jaringan hepar biasa. Massa ini dapat
mengganggu jalan dari saluran empedu maupun menyebabkan hipertensi portal
sehingga gejala klinis baru akan terlihat setelah massa menjadi besar. Tanpa
pengobatan yang agresif, hepatoma dapat menyebabkan kematian dalam 6 20
bulan.

3.1.2 Epidemiologi
Terdapat suatu distribusi geografik insiden hepatoma didunia. Szmuness telah
menggambarkan-nya secara skematik .Seperti terlihat pada gambar peta dunia diatas,
gambaran distribusi geografik hepatoma ternyata mirip dengan peta geografik
prevalensi infeksi virus hepatitis B didunia. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa
keduanya mungkin mempunyai hubungan kausal.

Insiden hepatoma nampak meningkat dibeberapa negara dalam 3 dokade


terakhir ini. Keterangan mengenai terjadinya peningkatan ini tidak jelas. Agaknya
terdapat kecenderungan paparan terhadap "environmental carcinogen" bertambah,
atau penderita sirosis hati lebih banyak yang hidup lebih tua.

Hepatoma jarang ditemukan pada usia muda, kecuali di wilayah yang


endemik infeksi HBV serta banyak terjadi transmisi HBV perinatal. Rasio kasus
laki-laki dan perempuan dapat sampai delapan berbanding satu. Masih belum jelas
apakah hal ini disebabkan oleh lebih rentannya laki-laki terhadap timbulnya tumor
mungkin dihubungkan dengan faktor hormonal, atau karena laki-laki lebih banyak
terpajan oleh faktor risiko hepatoma seperti virus hepatitis dan alcohol

3.1.3 Etiologi
Dewasa ini hepatoma dianggap terjadi dari hasil interaksi sinergis
multifaktor dan multifasik, melalui inisisasi, akselerasi, dan transformasi dan
23

proses banyak tahapan, serta peran serta banyak onkogen dan gen terkait,
mutasi multigenetik. Etiologi hepatoma belum jelas, menurut data yang ada,
virus Hepatitis, aflatoksin, dan pencemaran air minum merupakan 3 faktor
utama yang terkait dengan timbulnya hepatoma.1 Sampai saat sekarang,
belum diketahui dengan pasti penyebab sebenarnya dari karsinoma hati
primer. Tetapi ada beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab atau
merupakan faktor predisposisi (Hadi, 2002).
Sirosis hati
Sering disebut-sebut bahwa sebagai predisposisi yang terbanyak
ialah sirosis hati, atau bahkan sering karsinoma hati primer ditemukan
bersama-sama dengan sirosis hati. Kemungkinan timbulnya karsinoma
pada sirosis hepatis adalah adanya hiperplasia noduler yang akan berubah
menjadi adenomata multipel, dan kemudian berubah menjadi karsinoma
yang multipel. Ini terbukti bahwa sirosis bentuk makronoduler (post
nekrotik) sering ditemukan pada penderita karsinoma hati primer ( Hadi,
2002).
Hepatitis
Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya HCC
terbukti kuat, baik secara epidemiologis, klinis, maupun eksperimental.
Karsinogenitas HBV terhadap hati mungkin terjadi melalui proses
inflamasi kronik, peningkatan proliferasi hepatosit, integrasi HBV DNA
ke dalam DNA sel penjamu, dan aktivitas protein spesifik HBV
berinteraksi dengan gen hati. Diwilayah dengan tingkat infeksi HBV
rendah, HCV merupakan faktor resiko penting dari HCC. Metaanalisis
dari 32 penelitian kasus-kelola menyimpulkan bahwa resiko terjadinya
HCC pada pengidap infeksi HCV adalah 17 kali lipat dibandingkan
dengan resiko pada bukan pengidap (Sudoyo, 2009).
Aflatoksin (AFT)
Sejak ditemukannya aflatoksin pada tahun 1960-an sudah berkali-
kali dibuktikan aflatoksin dapat memicu hepatoma pada hewan,
diantaranya AFT-B1 dianggap salah satu karsinogenik paling poten pada
hewan, dosis minimal untuk memicu hepatoma adalah konsumsi hanya
24

10 mikrogram perhari. Tidak sedikit data penelitian menunjukkan


aflatoksin dan HBV berefek sinergistis ( Desen, 2011).
Pencemaran air minum
Dari hasil survey epidemiologi China, ditemukan pencemaran air
minum dan kejadian hepatoma berkaitan erat, menunjukkan peminum air
saluran perumahan dan air kolam memiliki mortalitas hepatoma secara
jelas lebih tinggi dari peminum air sumur dalam. Algae biru-hijau dalam
air saluran perumahan dan air kolam dianggap sebagai salah satu
karsinogen utama ( Desen, 2011).

3.1.4 Faktor Risiko


Sirosis Hati
Sirosis hati (SH) merupakan faktor risiko utama hepatoma di dunia dan
melatarbelakangi lebih dari 80% kasus hepatoma. Otopsi pada pasien SH
mendapatkan 20-80% diantaranya telah menderita HCC. Prediktor utama
hepatoma pada SH adalah jenis kelamin laki-laki, peningkatan kadar alfa
feto protein (AFP) serum, beratnya penyakit dan tingginya aktifitas
proliferasi sel hati.

Obesitas
Seperti diketahui, obesitas merupakan faktor risiko utama untuk non-
alcoholic fatty liver disease (NAFLD), khususnya nonalcoholic
steatohepatitis (NASH) yang dapat berkembang menjadi sirosis hati dan
kemudian dapat berlanjut menjadi HCC.

Diabetes Melitus (DM)


DM merupakan faktor risiko baik untuk penyakit hati kronik maupun
untuk HCC melalui terjadinya perlemakan hati dan steatohepatitis non-
alkoholik (NASH). Di samping itu, DM dihubungkan dengan peningkatan
kadar insulin dan insulin-like growth factors (IGFs) yang merupakan
faktor promotif potensial untuk kanker.

Alkohol
25

Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik, peminum berat


alkohol (>50-70 g/hari dan berlangsung lama) berisiko untuk menderita
HCC melalui sirosis hati alkoholik. Efek hepatotoksik alkohol bersifat
dose-dependent, sehingga asupan sedikit alkohol tidak meningkatkan
risiko terjadinya HCC.

Selain yang telah disebutkan di atas, bahan atau kondisi lain yang
merupakan faktor risiko HCC namun lebih jarang dibicarakan/ditemukan,
antara lain : penyakit hati autoimun( hepatitis autoimun, sirosis bilier
primer), penyakit hati metabolik(hemokromatosis genetik, defisiensi
antitripsin-alfa 1, penyakit Wilson), kotrasepsi oral, senyawa
kimia( thorotrast, vinil klorida, nitrosamin, insektisida organoklorin, asam
tanik), tembakau.

3.1.5 Patofisiologi
Inflamasi, nekrosis, fibrosis, dan regenerasi dari sel hati yang terus
berlanjut merupaka proses khas dari cirrhosis hepatic yang juga merupakan proses
dari pembentukan hepatoma walaupun pada pasien pasien dengan hepatoma,
kelainan cirrhosis tidak selalu ada. Hal ini mungkin berhubungan dengan proses
replikasi DNA virus dari virus hepatitis yang juga memproduksi HBV X protein
yang tidak dapat bergabung dengan DNA sel hati, yang merupakan host dari
infeksi Virus hepatitis, dikarenakan protein tersebut merupakan suatu RNA. RNA
ini akan berkembang dan mereplikasi diri di sitoplasma dari sel hati dan
menyebabkan suatu perkembangan dari keganasan yang nantinya akan
mengahambat apoptosis dan meningkatkan proliferasi sel hati. Para ahli genetika
mencari gen gen yang berubah dalam perkembangan sel hepatoma ini dan
didapatkan adanya mutasi dari gen p53, PIKCA, dan -Catenin.

Sementara pada proses cirrhosis terjadi pembentukan nodul nodul di


hepar, baik nodul regeneratif maupun nodul diplastik. Penelitian prospektif
menunjukan bahwa tidak ada progresi yang khusus dari nodul nodul diatas yang
menuju kearah hepatoma tetapi, pada nodul displastik didapatkan bahwa nodul
26

yang terbentuk dari sel sel yang kecil meningkatkan proses pembentukan
hepatoma. Sel sel kecil ini disebut sebagai stem cel dari hati.

Sel sel ini meregenrasi sel sel hati yang rusak tetapi sel sel ini juga
berkembang sendiri menjadi nodul nodul yang ganas sebagai respons dari
adanya penyakit yang kronik yang disebabkan oleh infeksi virus.nodul nodul
inilah yang pada perkembangan lebih lanjut akan menjadi hepatoma.

Gambar 1. Patobiologi hepatoma

3.1.6 Gejala Klinis

Kanker hati pada mulanya tidak terdeteksi secara klinis karena kanker ini
sering timbul pada pasien yang telah menderita sirosis dan gejala serta tanda
mungkin mengisyaratkan perburukan penyakit yang mendasari. Gambaran
pertama yang paling sering timbul adalah nyeri abdomen dsertai adanya
massa abdomen dikuadran kanan atas. Mungkin terdengar friction rub atau
bruit diatas hati. Pada 20% kasus ditemukan cemaran darah dalam asites.
Ikterus jarang terjadi, kecuali terdapat perburukan hebat fungsi hati atau
sumbatan mekanis saluran empedu. Sering terdapat peningkatan fosforilase
alkali dan alfa fetoprotein (AFP) serum. Suatu protrombin jenis abnormal,
27

des-gamma-karboksi protrombin, juga dapat ditemukan dan secara umum


berkorelasi dengan peningkatan AFP ( Isselbacher , 2000).
Sebagian kecil pasien karsinoma hepatoseluler mungkin memperlihatkan
tanda sindroma paraneoplastik : dapat terjadi eritrositosis akibat aktivitas
mirip eritropoetin yang dihasilkan oleh tumor, atau timbul hiperkalemia
akibat sekresi hormon mirip paratiroid.4 Hipoglikemia merupakan manifestasi
paraneoplastik yang sering dijumpai dan berbahaya. Diperkirakan bahwa
glukosa masuk ke dalam sel kanker dimana tidak terdapat insulin. Sel kanker
bersifat sebagai karet busa (sponse) terhadap glukosa (Sulaiman, 1997).
Manifestasi lain adalah hiperkolestronemia, hipoglikemia, porfiria didapat,
disfibrogenemia, dan kriofibrinogenemia (Isselbacher, 2000).
Secara umum, manifestasi klinis hepatoma terbagi atas :
hepatoma fase subklinis
Yang dimaksud hepatoma fase subklinis atau stadium dini adalah
pasien yang tanpa gejala dan tanda fisik hepatoma yang jelas, biasanya
ditemukan melalui pemeriksaan AFP dan teknik pencitraan. Sebelum awal
tahun 1970-an, hepatoma subklinis sulit ditemukan. Pada akhir tahun
1970-an dan awal 1980-an, dengan kemajuan teknik pencitraan medis,
meningkatnya taraf hidup dan kesadaran kesehatan masyarakat, lewat
pemeriksaan kesehatan hepatoma subklinis dapat ditemukan. Caranya
adalah dengan gabungan pemeriksaan AFP dan pencitraan, teknik
pencitraan terutama dengan USG terlebih dahulu, bila perlu dapat
digunakan CT atau MRI (Densen , 2011).
Hepatoma fase klinis
Hepatoma fase klinis tergolong hepatoma stadium sedang, lanjut,
manifestasi utama yang sering ditemukan adalah nyeri abdomen kanan,
massa abdomen atas, perut kembung, anoreksia, letih, berat badan
menurun, demam, ikterus, asites, dan gejala lainnya seperti terdapatnya
kecenderungan pendarahan, diare, nyeri bahu belakang kanan, udem kedua
tungkai bawah, kulit gatal dan lainnya, juga manifestasi sirosis hati seperti
splenomegali, palmar eritema, lingua hepatik, spider nevi, venodilatasi
dinding abdomen, dll. Pada stadium akhir hepatoma sering timbul
metastasis ke paru, tulang, dan banyak organ lain (Densen,2011).
28

3.1.8 Diagnosis
Anamnesis:

Tanyakan riwayat pemakaian alkohol jangka panjang, penggunaan


narkotik dalam bentuk suntikan, juga adanya penyakit hati menahun terutama
yang berisiko tinggi adalah hepatitis B dan C.

Pemeriksaan Fisik:

Hepatomegali dan atau splenomegali. Pada palpasi hati teraba keras dan
berbentuk lebih tak teratur daripada hati normal.
Spider telangiektasis (spider naevi) terutama pada pasien dengan sirosis
alkoholik. Spider ini terutama ditemukan di kulit dada. Namun spider juga
dapat dijumpai pada mereka yang tidak mempunyai penyakit hati.
Ikterus atau jaundice
Eritema Palmaris
Asites dan atau edema tungkai bawah
Pasien dengan deposit tembaga yang abnormal di matanya atau yang
menunjkkan gejala neurologi tertentu, mungkin mengidap penakit Wilson,
yang merupakan kelainan genetik akibat akumulasi tembaga yang abnormal di
seluruh tubuh, termasuk dalam hati yang dapat menimbulkan sirosis
(Tjokropawiro, 2015).

3.1.9 Pemeriksaan laboratorium:


Sel-sel darah
Sering tidak terjadi perubahan. Bila ada perubahan, yang sering
ditemukan yaitu sedikit penurunan kadar Hb, biasanya sekitar 10 gr%.
Jumlah lekosit sedikit meningkat. Kenaikan laju endap darah bermacam-
macam, tergantung dari kerusakan sel hati dan metastase, tetapi
umumnya meningkat (Hadi, 2002).
Tes biokimiawi
29

Tes biokimiawi yang perlu dilakukan yaitu tes faal hati, walaupun
sampai sekarang belum ada tes faal hati yang khas untuk KHP. Namun
demikian, ada beberapa tes faal hati yang kadang-kadang dapat
membantu menegakkan diagnosis antara lain : alkali fosfatase, SGOT,
SGPT yang biasanya terdapat kenaikan kadarnya. Tes faal hati yang
dapat memperkuat dugaan kearah KHP adalah terdapat peninggian kadar
alkali fosfatase. Belakangan ini telah dikembangkan pemeriksaan asam
empedu, yang untuk KHP diperoleh hasil yang meningkat. Tes faal hati
lainnya yang dapat berubah bila pada penderita disertai dengan sirosis
hati, yaitu kadar albumin menurun, kolestrol dan trigliserida juga
menurun (Hadi, 2002).
Pemeriksaan serologis
1. Alfa-fetoprotein (AFP)
AFP memiliki spesifitas tinggi dakam diagnosis karsinoma
hepatoselular. Jika AFP 500 ng/L bertahan 1 bulan atau 200 ng/L
bartahan 2 bulan, tanpa bukti penyakit hati aktif, dapat disingkirkan
kehamilan dan kanker embrional kelenjar reproduksi, maka dapat
dibuat diagnosis hepatoma, diagnosis ini dapat lebih awal 6-12 bulan
dari timbulnya gejala hepatoma. AFP sering dapat dipakai untuk
menilai hasil terapi. Pasca reseksi hepatoma, kadar AFP darah terus
menurun dengan wakru paruh 3-9,5 hari, umumnya pasca operasi
dalam 2 bulan kadarnya turun hingga normal, jika belum dapat turun
hingga normal, atau setelah turun naik lagi, maka petanda terjadi
residif atau rekurensi tumor (Desen, 2011).
2. HbsAg
Berdasarkan hasil penelitian Prof. Dr. dr. Sujono Hadi, pada
penderita dengan HbsAg positif secara RPHA, ditemukan pada
hepatitis kronis aktif 36,4 %, sirosis hati 38,3 %, dan KHP 34,5 %.
Demikian pula dengan hasil penelitian Nishioka (1978) menemukan
HbsAg positif pada 30 % kasus dengan hepatitis kronis dan sirosis
hati. Disamping itu, ditemukan lebih dari 10 % HbsAg positif pada
penderita KHP. Selanjutnya, Nishioka mengadakan penelitian Anti
30

HBc pada kasus KHP, ditemukan 80-90 % positif, walaupun beberapa


diantara penderita memperlihatkan HbsAg negatif (Hadi, 2002).

3. Petanda tumor lainnya


Zat petanda hepatoma sangat banyak, tetapi semuanya tidak
spesifik untuk diagnosis sifat hepatoma primer. Penggunaan gabungan
untuk diagnosis kasus dengan AFP negatif memiliki nilai rujukan
tertentu, yang relatif umum digunakan adalah : des-gama karboksi
protrombin (DCP), alfa-L-fukosidase (AFU), glutamil transpeptidase
(GGT-II), CA 19-9, antitripsin, feritin, CEA, dll (Desen, 2011).

3.1.10 Pemeriksaan Penunjang

l. Ultrasonografi (USG)

USG merupakan metode paling sering digunakan dalam diagnosis


hepatoma. Ke-gunaan dari USG dapat dirangkum sebagai berikut: memastikan
ada tidaknya lesi pe-nempat ruang dalam hati; dapat dilakukan penapisan
gabungan dengan USG dan AFP sebagai metode diagnosis penapisan awal untuk
hepatoma; mengindikasikan sifat lesi penempat ruang, membedakan lesi berisi
cairan dari yang padat; membantu memahami hubungan kanker dengan pembuluh
darah penting dalam hati, berguna dalam meng-arahkan prosedur operasi;
membantu memahami penyebaran dan infiltrasi hepatoma dalam hati dan jaringan
organ sekitarnya, memperlihatkan ada tidaknya trombus tumor dalam
percabangan vena porta intrahepatik; di bawah panduan USG dapat dilakukan
biopsi
31

2. CT

CT telah menjadi parameter pemeriksaan rutin terpenting untuk diagnosis


lokasi dan sifat hepatoma. CT dapat membantu memperjelas diagnosis,
menunjukkan lokasi tepat, jumlah dan ukuran tumor dalam hati hubungannya
dengan pembuluh darah penting, dalam penentuan modalitas terapi sangatlah
penting. Terhadap lesi mikro dalam hati yang sulit ditentukan CT rutin dapat
dilakukan CT dipadukan dengan angiongrafi (CTA), atau ke dalam arteri hepatika
disuntikkan lipiodol, sesudah 1-3 minggu dilakukan lagi pemeriksaan CT, pada
waktu ini CT-lipiodol dapat menemukan hepatoma sekecil 0,5 cm.

3. MRI

MRI merupakan teknik pemeriksaan nonradiasi, tidak memakai zat


kontras berisi iodium, dapat secara jelas menunjukkan struktur pembuluh darah
dan saluran empedu dalam hati, juga cukup baik memperlihatkan struktur internal
32

jaringan hati dan hepatoma, sangat membantu dalam menilai efektivitas aneka
terapi. Dengan zat kontras spesifik hepatosit dapat menemukan hepatoma kecil
kurang dari 1cm dengan angka keberhasilan 55%

4. Angiografi arteri hepatika

Sejak tahun 1953 Seldinger merintis penggunaan metode kateterisasi arteri


femoralis perkutan untuk membuat angiografi organ dalam, kini angiografi arteri
hepatika selektif atau supraselektif sudah menjadi salah satu metode penting
dalam diagnosis hepatoma. Namun karena metode ini tergolong invasif,
penampilan untuk hati kiri dan hepatoma tipe avaskular agak kurang baik, dewasa
ini indikasinya adalah: klinis suspek hepatoma atau AFP positif tapi hasil
pencitraan lain negatif hasilnya; berbagai teknik pencitraan noninvasif sulit
menentukan sifat lesi penempat ruang tersebut.

5. Tomografi emisi positron (PET)

Dewasa ini diagnosis terhadap hepatoma masih kurang ideal, namun


karsinoma kolangioselular dan karsinoma hepatoselular berdiferensiasi buruk
memiliki daya ambil terhadap 18F-FDG yang relatif kuat, maka pada pencitraan
PET tampak sebagai lesi metabolisme tinggi.

6. Pemeriksaan lainnya

Pungsi hati mengambil jaringan tumor untuk pemeriksaan patologi, biopsi


kelenjar limfe supraklavikular, biopsi nodul sub-kutis, mencari sel ganas dalam
33

asites, perito-neoskopi dll. juga mempunyai nilai tertentu pada diagnosis


hepatoma primer.

Prinsip diagnosis hepatoma

Untuk pasien yang dicurigai hepatoma atau lesi penempat ruang dalam
hati yang tak dapat menyingkirkan hepatoma, semua harus diupayakan kejelasan
diagnosisnya dalam waktu sesingkat mungkin. Teknik pemeriksaan pencitraan
modern tidak dapat dilewatkan, biasanya dimulai dengan pemeriksaan noninvasif,
bila perlu barulah dilakukan pemeriksaan invasif. Untuk kasus yang dengan
berbagai pemeriksaan masih belum jelas diagnosisnya, harus dipantau
ditindaklanjuti secaraketat, bila perlu pertim-bangkan laparotomi eksploratif.

Standar diagnosis

Pada tahun 2001 Komite Khusus Hepatoma Asosiasi Antitumor China


telah menetapkan standar diagnosis dan klasifikasi stadium klinis hepatoma
primer.

1. Standar diagnosis klinis hepatoma primer.

(1) AFP > 400 ug/L, dapat menyingkirkan kehamilan, tumor embrional sistem
repro-duksi, penyakit hati aktif, hepatoma metastatik, selain itu teraba hati
mem-besar, keras dan bermassa nodular besar atau pemeriksaan pencitraan
menun-jukkan lesi penempat ruang karakteristik hepatoma.
(2) AFP < 400 ug/L, dapat menyingldrkan kehamilan, tumor embrional sistem
reproduksi, penyakit hati aktif, hepatoma metastatik, selain itu terdapat
dua jenis pemeriksaan pencitraan menunjukkan lesi penempat ruang
karakteristik hepatoma atau terdapat dua petanda hepatoma (DCP, GGT-
II, AFU, CA19-9, dll.) positif serta satu pemeriksaan pencitraan
menunjukkan lesi penempat ruang karakteristik hepatoma.
(3) Menunjukkan manifestasi klinis hepatoma dan terdapat kepastian lesi
metastatik ekstrahepatik (termasuk asites hemoragis makroskopik atau
34

di dalamnya ditemukan sel ganas) serta dapat meny ing-kirkan hepatoma


metastatik
2. Standar klasifikasi stadium klinis hepatoma primer

la : tumor tunggal berdiameter < 3 cm, tanpa emboli rumor, tanpa metastasis
kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh; Child A.

Ib : tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan <5cm, di separuh
hati, tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun
jauh; Child A.

Ha : tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan < 10 cm, di separuh
hati, atau dua tumor dengan diameter gabungan < 5 cm, di kedua belahan hati
kiri dan kanan, tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal
ataupun jauh; Child A.

lib : tumor tunggal atau multipel dengan diameter gabungan > 10 cm, di separuh
hati, atau tumor multipel dengan diameter gabungan > 5 cm, di kedua belahan
hati kiri dan kanan, tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe
peritoneal ataupun jauh; Child A. Terdapat emboli tumor di percabangan vena
portal, vena hepatik atau saluran empedu dan/atau Child B.

Ilia : tidak peduli kondisi tumor, terdapat emboli tumor di pembuluh utama vena
porta atau vena kava inferior, metastasis kelenjar limfe peritoneal atau jauh,
salah satu daripadanya; Child A atau B.

Illb : tidak peduli kondisi tumor, tidak peduli emboli tumor, metastasis; Child C.
35

3.1.11 Tata Laksana


Tiga prinsip penting dalam terapi hepatoma adalah terapi dini efektif,
terapi gabungan, dan terapi berulang. Terapi dini efektif. Semakin dini diterapi,
semakin baik hasil terapi terhadap rumor. Untuk hepatoma kecil pasca reseksi 5
tahun survivalnya adalah 50-60%, sedangkan hepatoma besar hanya sekitar 20%.

Terapi operasi

Indikasi operasi eksploratif: tumor mungkin resektabel atau masih ada


kemung-kinan tindakan operasi paliatif selain reseksi; fungsi hati baik,
diperkirakan tahan operasi; tanpa kontraindikasi operasi. Kontraindikasi operasi
eksploratif: umumnya pasien dengan sirosis hati berat, insufisiensi hati disertai
ikterus, asites; pembuluh utama vena porta mengandung trombus kanker;
rudapaksa serius jantung, paru, ginjal dan organ vital lain, diperkirakan tak tahan
operasi.

1. Metode hepatektomi.

Hepatektomi merupakan cara terapi dengan hasil terbaik dewasa ini.


Survival 5 tahun pasca operasi sekitar 30-40%, pada mikrokarsinoma hati (< 5
36

cm) dapat mencapai 50-60%. Hepatektomi beraruran adalah sebelum insisi hati
dilakukan diseksi, me-mutus aliran darah ke lobus hati (segmen, subsegmen)
terkait, kemudian menurut lingkup anatomis lobus hati (segmen, subsegmen)
tersebut dilakukan reseksi jaringan hati. Hepatektomi tak beraruran tidak perlu
mengikuti secara ketat distribusi anatomis pembuluh dalam hati, tapi hanya perlu
ber-jarak 2-3cm dari tepi tumor, mereseksi jaringan hati dan percabangan
pembuluh darah dan saluran empedu yang menuju lesi, lingkup reseksi hanya
mencakup tumor dan jaringan hati sekitarnya. Pada kasus dengan sirosis hati,
obstruksi porta hati setiap kali tidak boleh lebih dari 10-15 menit, bila perlu dapat
diobstruksi berulang kali.

Hepatektomi 2 fase: pasien hepatoma setelah dilakukan eksplorasi bedah


ternyata tumor tak dapat direseksi. sesudah diberikan terapi gabungan. tumor
mengecil, dilakukan laparotomi lagi dan dapat dilakukan reseksi

2. Transplantasi hati

Dewasa ini, teknik transplantasi hati sudah sangat matang, namun biayanya
tinggi,donornya sulit. Pasca operasi pasien menggunakan obat imunosupresan anti
rejeksi membuat kanker residif tumbuh lebih cepat dan bermetastasis. hasil terapi
kurang baik untuk hepatoma stadium sedang dan lanjut. Umumnya berpendapat
mikrohepatoma stadium dini dengan sirosis berat merupakan indikasi lebih baik
untuk transplantasi hati.

3. Terapi operatif nonreseksi

Misalnya, pasca laparotomi, karena tumor menyebar atau alasan lain tidak
dapat dilakukan reseksi, dapat dipertimbangkan terapi operatif nonreseksi,
mencakup: injeksi obat melalui kateter transarteri hepatik atau kemoterapi
embolisasi saat operasi; kemoterapi melalui kateter vena porta saat operasi; ligasi
arteri hepatika; koagulasi tumor hati dengan gelombang mikro, ablasi
radiofrekuensi, krioterapi dengan nitrogen cair, evaporisasi dengan laser energi
tinggi saat operasi; injeksi alkohol absolut intratumor saat operasi
37

Terapi lokal

Terapi lokal terdiri atas dua jenis terapi, yaitu terapi ablatif lokal dan
injeksi obat intratumor.

1. Ablasi radiofrekuensi (RFA)

Ini adalah metode ablasi lokal yang [paling sering dipakai dan efektif
dewasa ini. Elektroda RFA ditusukkan ke dalam tumor melepaskan energi
radiofrekuensi, hingga jaringan tumor mengalami nekrosis koagulatif panas,
denaturasi, jadi secara selektif mem-bunuh jaringan tumor. Satu kali RFA meng-
hasilkan nekrosis seukuran bola berdiameter 3-5 cm, sehingga dapat membasmi
tuntas mikrohepatoma, dengan hasil kuratif. RFA perkutan memiliki keunggulan
mikroinvasif, aman, efektif, sedikit komplikasi. mudah di-ulangi dll. sehingga
mendapat perhatian luas untuk terapi hepatoma.

2. Injeksi alkohol absolut intratumor perkutan

Di bawah panduan teknik pencitraan, dilakukan pungsi tumor hati


perkutan, ke dalam tumor disuntikkan alkohol absolut. Sehubungan dengan
pengaruh dari luas pe-nyebaran alkohol absolut dalam tumor hati dan dosis
toleransi tubuh manusia, maka sulit mencapai efek terapi ideal terhadap hepatoma
besar, penggunaannya umumnya untuk hepatoma kecil yang tak sesuai direseksi
atau terapi adjuvan pasca kemoembolisasi arteri hepatik. Meskipun hepatoma
kecil tapi suntikan hams berulang kali di banyak titik barulah dapat membuat
kanker nekrosis memadai.

Kemoembolisasi arteri hepatik perkutan

Kemoembolisasi arteri hepatik transkateter (TAE, TACE) merupakan cara


terapi yang sering digunakan untuk hepatoma stadium sedang dan lanjut yang
tidak sesuai dioperasi reseksi. Sesuai digunakan untuk tumor sangat besar yang
tak dapat direseksi; tumor dapat direseksi tapi diperkirakan tak tahan operasi;
hepatoma rekuren yang tak dapat direseksi; pasca reseksi hepatoma, suspek
terdapat residif, dll. Sedangkan bila volume tumor lebih dari 70% parenkim hati,
38

fungsi hati terganggu berat, kondisi umum buruk, diperkirakan tak tahan terapi,
semua iru merupakan kontraindikasi kemoembolisasi arteri hepatik.

Hepatoma terutama mendapat pasokan darah dari arteri hepatik, setelah


embolisasi arteri hepatik, nodul kanker menjadi iskemik, nekrosis, sedangkan
jaringan hati normal mendapat pasokan darah terutama dari vena porta sehingga
efek terhadap fungsi hati secara keseluruhan relatif kecil. Pasca kemoembolisasi
arteri hepatik survival 1 tahun pasien hepatoma adalah 44-66,9%, lama ketahanan
hidup rata-rata 8-10 bulan. Tapi terapi itu bersifat paliatif, terapi intervensi
berulang kali pun sulit secara total membasmi semua sel kanker, efek terapi
jangka panjang belum memuaskan, selain juga mencederai rungsi hati. Oleh
karena itu setelah dengan terapi intervensi hepatoma mengecil hingga batas
tertentu, harus diupayakan memanfaatkan peluang reseksi bedah 2 tahap untuk
mencapai terapi kuratif. Pasca reseksi hepatoma 3-4 minggu, bila ditunjang
dengan kemoembolisasi arteri hepatik dapat membasmi lesi yang mungkin residif
dalam hati, menurunkan rekurensi pasca operasi, meningkatkan survival.

Terapi Paliatif

Sebagian besar pasien HCC didiagnosis pada stadium menengah-lanjut


(intermediate-advanced stage) yang tidak ada terapi standarnya. TAE/ TACE
dengan frekuensi 3 hingga 4 kali setahun dianjurkan pada pasien yang fungsi
hatinya cukup baik (Child-Pugh A) serta tumor multinodular asimtomatik tanpa
invasi vaskular atau penyebaran ekstrahepatik, yang tidak dapat diterapi secara
radikal. Sebaliknya bagi pasien yang dalam keadaan gagal hati (Child-Pugh B-C),
serangan iskemik akibat terapi ini dapat mengakibatkan efek samping yang berat.

Adapun beberapa jenis terapi lain untuk HCC yang tidak resektabel seperti
imunoterapi dengan interferon, terapi antiestrogen, antiandrogen, oktreotid,
radiasi internal, kemoterapi arterial atau sistemik masih memerlukan penelitian
lebih lanjut untuk mendapatkan penilaian yang meyakinkan.

Prognosis dari hepatoma lebih dipengaruhi oleh stadium tumor pada saat
diagnosis, status kesehatan pasien, fungsi sintesis hati dan manfaat terapi.
39

3.2 Kolesistolitiasis
3.2.1 Definisi
Kolesistolitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di
dalam kandung empedu. Sebagian besar batu empedu, terutama batu
kolesterol, terbentuk di dalam kandung empdu. Bila batu kandung empedu
ini berpindah ke dalam saluran empedu ke ekstrahepatik disebut batu
saluran empedu sekunder atau koledokolitiasis sekunder (Doherty, 2010 :
Sjamsuhidayat dan DeJong, 1997).

3.2.2 Anatomi
Sistem biliaris disebut juga sistem empedu. Sistem biliaris dan hati tumbuh
bersama. Berasal dari divertikulum yang menonjol dari foregut, dimana
tonjolan tersebut akan menjadi hepar dan sistem biliaris. Bagian kaudal dari
divertikulum akan menjadi gallbladder (kandung empedu), ductus cysticus,
ductus biliaris communis (ductus choledochus) dan bagian cranialnya
menjadi hati dan ductus hepaticus biliaris (Doherty, 2010).
Kandung empedu berbentuk bulat lonjong seperti buah pear/alpukat
dengan panjang sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml empedu . Apabila
kandung empedu mengalami distensi akibat bendungan oleh batu, maka
infundibulum menonjol seperti kantong (kantong Hartmann). Vesica fellea
dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan
biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar, dimana fundus
berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa
IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya
keatas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang
berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus
hepaticus comunis membentuk duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi
fundus vesica fellea dengan sempurna menghubungkan corpus dan collum
dengan permukaan visceral hati.
Ductus cysticus berjalan dari hati ke arah kandung empedu,
40

panjangnya 1-2 cm, diameter 2-3 cm, diliputi permukaan dalam dengan
mukosa yang banyak sekali membentuk duplikasi (lipatan-lipatan) yang
disebut Valve of Heister, yang mengatur pasase bile ke dalam kandung
empedu dan menahan alirannya dari kandung empedu.
Saluran empedu ekstrahepatik terletak di dalam ligamentum
hepatoduodenale dengan batas atas porta hepatis sedangkan batas bawahnya
distal papila Vateri. Bagian hulu saluran empedu intrahepatik bermuara ke
saluran yang paling kecil yang disebut kanikulus empedu yang meneruskan
curahan sekresi empedu melalui duktus interlobaris ke duktus lobaris dan
selanjutkan ke duktus hepatikus di hilus.
Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4
cm. Panjang duktus hepatikus komunis sangat bervariasi bergantung pada
letak muara duktus sistikus. Ductus choledochus berjalan menuju duodenum
dari sebelah belakang, akan menembus pankreas dan bermuara di sebelah
medial dari duodenum descendens. Dalam keadaan normal, ductus
choledochus akan bergabung dengan ductus pancreaticus Wirsungi (baru
mengeluarkan isinya ke duodenum) Tapi ada juga keadaan di mana masing-
masing mengeluarkan isinya, pada umumnya bergabung dulu. Pada
pertemuan (muara) ductus choledochus ke dalam duodenum, disebut
choledochoduodenal junction. Tempat muaranya ini disebut Papilla Vatteri.
Ujung distalnya dikelilingi oleh sfingter Oddi, yang mengatur aliran empedu
ke dalam duodenum (Doherty, 2010).
Pembuluh arteri kandung empedu adalah a. cystica, cabang a.
hepatica kanan. V. cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta.
Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena vena juga berjalan antara hati
dan kandung empedu.
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang
terletak dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan
melalui nodi lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan a. hepatica menuju
ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung empedu berasal
dari plexus coeliacus (Doherty, 2010).
41

Gambar 1. Anatomi Sistem Bilier


3.2.3 Fisiologi
Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1000 ml/hari.
Diluar waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung
empedu, dan di sini mengalami pemekatan sekitar 50%. Fungsi primer dari
kandung empedu adalah memekatkan empedu dengan absorpsi air dan
natrium. Kandung empedu mensekresi glikoprotein dan H+. Glikoprotein
berfungsi untuk memproteksi jaringan mukosa, sedangkan H+ berfungsi
menurunkan pH yang dapat meningkatkan kelarutan kalsium, sehingga
dapat mencegah pembentukan garam kalsium. Pengaliran cairan empedu
diatur oleh tiga faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung
empedu, dan tahanan sfingter koledokus. Dalam keadaan puasa, empedu
yang diproduksi akan disimpan di dalam kandung empedu. Setelah makan,
kandung empedu akan berkontraksi, sfingter relaksasi dan empedu mengalir
ke dalam duodenum. Aliran tersebut sewaktu-waktu seperti disemprotkan
karena secara intermiten tekanan saluran empedu akan lebih tinggi daripada
tahanan sfingter. Kolesistokinin (CCK) hormon sel APUD (Amine Precusor
Uptake and Decarboxylation cells) dari selaput lendir usus halus,
dikeluarkan atas rangsang makanan berlemak atau produk lipolitik di dalam
42

lumen usus. Hormon ini merangsang nervus vagus sehingga terjadi


kontraksi kandung empedu. Dengan demikian, CCK berperan penting
terhadap terjadinya kontraksi kandung empedu setelah makan
(Sjamsuhidayat, 1997).

Menurut Guyton &Hall, 1997 empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :
Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak,
karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam empedu
membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi
partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan
dalam getah pankreas, Asam empedu membantu transpor dan absorpsi
produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa
intestinal.
Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk
buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir
dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk
oleh sel- sel hati.
Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen
terbesar (90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan
garam anorganik. Garam empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit
dan berasal dari kolesterol. Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme
umpan balik yang dapat ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal kalau
diperlukan (Sjamsuhidayat, 1997).
Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial
kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan
berlemak kedalam duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon
kolesistokinin dari mukosa duodenum, hormon kemudian masuk kedalam
darah, menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama,
otot polos yang terletak pada ujung distal duktus coledokus dan ampula
relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya empedu yang kental ke dalam
duodenum. Garam garam empedu dalam cairan empedu penting untuk
43

emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu pencernaan dan


absorbsi lemak.
Proses koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu :
Hormonal :
Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan
merangsang mukosa sehingga hormon Cholecystokinin akan terlepas.
Hormon ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung
empedu.
Neurogen :
o Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari
sekresi cairan lambung atau dengan refleks intestino-intestinal
akan menyebabkan kontraksi dari kandung empedu.
o Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke
duodenum dan mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan
dimana kandung empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar
walaupun sedikit.
Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis
maupun hormonal memegang peran penting dalam perkembangan inti
batu.2

Gambar 2. Fisiologi Kandung Empedu


KOMPOSISI CAIRAN EMPEDU
44

Komponen Dari Hati Dari Kandung


Empedu
Air 97,5 gm % 95 gm %
Garam Empedu 1,1 gm % 6 gm %
Bilirubin 0,04 gm % 0,3 gm %
Kolesterol 0,1 gm % 0,3 0,9 gm %
Asam Lemak 0,12 gm % 0,3 1,2 gm %
Lecithin 0,04 gm % 0,3 gm %
Elektrolit - -
Tabel 1. Komposisi Cairan Empedu
1. Garam Empedu
Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua
macam yaitu : Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.
Fungsi garam empedu adalah :
o Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat
dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah
menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut.
o Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan
vitamin yang larut dalam lemak
Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-kuman
usus dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian besar (90 %) garam
empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi kembali oleh mukosa usus sedangkan
sisanya akan dikeluarkan bersama feses dalam bentuk lithocholat. Absorbsi garam
empedu tersebut terjadi disegmen distal dari ilium. Sehingga bila ada gangguan
pada daerah tersebut misalnya oleh karena radang atau reseksi maka absorbsi
garam empedu akan terganggu (Silbernagi, 2000).

2. Bilirubin
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan
globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi
bilverdin yang segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma
terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain (konjugasi)
yaitu 80 % oleh glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel darah merah berlebihan
45

misalnya pada malaria maka bilirubin yang terbentuk sangat banyak (Silbernagi,
2013).

2.3.4 Etiologi
Batu Kolesterol
Batu kolestrol berhubungan dengan jenis kelamin wanita, ras Eropa,
penduduk asli Amerika, dan penambahan usia. Faktor risiko lainnya :
Obesitas, kehamilan, kandung empedu yang statis, obat, dan keturunan.
Metabolik sindrom, resistensi insulin, tipe 2 DM, hiperlipidemia
sangat berhubungan dengan peningkatan sekresi kolestrol dan merupakan
faktor risiko major dari terjadinya batu kolestrol.
Batu kolestrol lebih sering pada wanita dengan kehamilan yang
berulang. Karena tingginya progesterone. Progesteron menurunkan motilitas
kandung empedu, sehingga terjadi retensi dan meningkatnya konsentrasi
empedu pada kandung empedu. Penyebab lain statisnya kandung empedu,
pemberian nutrisi secara parenteral, penurunan berat badan yang cepat (diet,
gastric bypass surgery).
Pemakaian estrogen meningkatkan risiko terjadi batu kolestrol.
Clofibrate atau golongan fibrate meningkatkan eliminasi kolestrol via
sekresi empedu. Analog somatostatin menurunkan proses pengosongan
pada kandung empedu (Doherty, 2010 ; Sjamsuhidayat, 1997).
Batu Pigmen
Batu pigmen terjadi pada penderita dengan high heme turnover.
Penyakit hemolisis yang berkaitan dengan batu pigmen adalah sickle cell
anemia, hereditary spherocytosis, dan beta-thalasemia.
Pada penderita sirosis hepatis, hipertensi portal menyebabkan
splenomegali, sehingga meningkatkan hemoglobin turnover. Setengah dari
penderita sirosis memiliki batu pigmen (Doherty, 2010 ; Sjamsuhidayat,
1997).

2.3.5 Patofisiologi
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan
jarang pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan
46

sempurna, akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya


adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan
empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan
empedu mungkin merupakan yang paling penting pada pembentukan batu
empedu, karena terjadi pengendapan kolesterol dalam kandung empedu.
Stasis empedu dalam kandung empedu dapat meningkatkan supersaturasi
progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan unsur tersebut. Infeksi
bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam pembentukan
batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan pembentukan mukus.
Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu.
Pada kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan
pembentukan batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan
pengendapan kolesterol adalah : terlalu banyak absorbsi air dari empedu,
terlalu banyak absorbsi garam-garam empedu dan lesitin dari empedu,
terlalu banyak sekresi kolesterol dalam empedu, Jumlah kolesterol dalam
empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel
hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme lemak
dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang mendapat diet tinggi lemak
dalam waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami perkembangan batu
empedu.
Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus
melalui duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu
tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau
komplet sehingga menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti
di dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh
striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu duktus sistikus
(Sjamsuhidayat, 2004).

Patofisiologi Batu Empedu


a. Batu Kolesterol
Batu kolestrol murni merupakan hal yang jarang ditemui dan
prevalensinya kurang dari 10%. Biasanya merupakan soliter, besar, dan
47

permukaannya halus. Empedu yang di supersaturasi dengan kolesterol


bertanggung jawab bagi lebih dari 90 % kolelitiasis di negara Barat.
Sebagian besar batu empedu ini merupakan batu kolesterol campuran yang
mengandung paling sedikit 75 % kolesterol berdasarkan berat serta dalam
variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu, senyawa organik dan inorganik
lain. Kolesterol dilarutkan di dalam empedu dalam daerah hidrofobik
micelle, sehingga kelarutannya tergantung pada jumlah relatif garam
empedu dan lesitin. Ini dapat dinyatakan oleh grafik segitiga, yang
koordinatnya merupakan persentase konsentrasi molar garam empedu,
lesitin dan kolesterol (Doherty, 2010 ; Sjamsuhidayat, 2004).
Proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi dalam tiga tahap:
- Supersaturasi empedu dengan kolesterol.
Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah
komponen yang tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan
tertentu membentuk micelle yang mudah larut. Di dalam kandung empedu
ketiganya dikonsentrasikan menjadi lima sampai tujuh kali lipat. Pelarutan
kolesterol tergantung dari rasio kolesterol terhadap lecithin dan garam
empedu, dalam keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 : 30. Pada keadaan
supersaturasi dimana kolesterol akan relatif tinggi rasio ini bisa mencapai
1 : 13. Pada rasio seperti ini kolesterol akan mengendap.
Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut :
o Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu
dan lecithin jauh lebih banyak.
o Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga
terjadi supersaturasi.
o Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet)
o Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan
tinggi.
o Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada
gangguan ileum terminale akibat peradangan atau reseksi (gangguan
sirkulasi enterohepatik).
48

o Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan


kadar chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya
melarutkan batu kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol.
Penelitian lain menyatakan bahwa tablet KB pengaruhnya hanya
sampai tiga tahun.
- Fase Pembentukan inti batu
Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen.
Inti batu heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat
atau sel-sel yang lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal
dari kristal kolesterol sendiri yang menghadap karena perubahan rasio
dengan asam empedu.
- Fase Pertumbuhan batu menjadi besar.
Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup
waktu untuk bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana
kontraksi kandung empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti
batu yang sudah terbentuk akan dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila
konstruksi kandung empedu lemah, kristal kolesterol yang terjadi akibat
supersaturasi akan melekat pada inti batu tersebut.
Hal ini mudah terjadi pada penderita Diabetes Mellitus, kehamilan,
pada pemberian total parental nutrisi yang lama, setelah operasi trunkal
vagotomi, karena pada keadaan tersebut kontraksi kandung empedu
kurang baik. Sekresi mucus yang berlebihan dari mukosa kandung empedu
akan mengikat kristal kolesterol dan sukar dipompa keluar (Doherty,
2010 ; Sjamsuhidayat, 2004).
49

Gambar 3. Batu Kolesterol

Gambar 4. Formasi Batu Kolesterol Kandung Empedu

b. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan sekitar 10 % dari batu empedu di Amerika
Serikat. Ada dua bentuk yaitu batu pigmen murni yang lebih umum dan batu
kalsium bilirubinat. Batu pigmen murni lebih kecil (2 sampai 5 mm),
50

multipel, sangat keras dan penampilan hijau sampai hitam. Batu-batu


tersebut mengandung dalam jumlah bervariasi kalsium bilirubinat, polimer
bilirubin, asam empedu dalam jumlah kecil kolesterol (3 sampai 26%) dan
banyak senyawa organik lain. Didaerah Timur, batu kalsium bilirubinat
dominan dan merupakan 40 sampai 60 % dari semua batu empedu. Batu ini
lebih rapuh, berwarna kecoklatan sampai hitam. Bilirubin pigemen kuning
yang berasal dari pemecahan heme, aktiv disekresikan ke empedu oleh sel
liver. Kebanyakan bilirubin dalam empedu dibentuk dari konjugat
glukorinide yang larut air dann stabil. Tetapi ada sedikit yang terdiri dari
bilirubin tidak terkkonjugasi yang tidak larut dengan kalsium.
Patogenesis batu pigmen berbeda dari batu kolesterol. Kemungkinan
mencakup sekresi pigmen dalam jumlah yang meningkat atau pembentukan
pigmen abnormal yang mengendap dalam empedu. Sirosis dan stasis biliaris
merupakan predisposisi pembentukan batu pigmen. Pasien dengan
peningkatan beban bilirubin tak terkonjugasi (anemia hemolitik), lazim
membentuk batu pigmen murni. Di negara Timur, tingginya insiden batu
kalsium bilirubinat bisa berhubungan dengan invasi bakteri sekunder dalam
batang saluran empedu yang di infeksi parasit Clonorchis sinensis atau
Ascaris Lumbricoides. E.coli membentuk B-glukoronidase yang dianggap
mendekonjugasikan bilirubin di dalam empedu, yang bisa menyokong
pembentukan kalsium bilirubinat yang tak dapat larut(Doherty, 2010 ;
Sjamsuhidayat, 2004).
Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase :
- Saturasi bilirubin
Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan
eritrosit yang berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sicklecell.
Pada keadaan infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi konjugasi
bilirubin menjadi unkonjugasi yang sukar larut. Konversi terjadi karena
adanya enzim b glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada
keadaan normal cairan empedu mengandung glokaro 1,4 lakton yang
menghambat kerja glukuronidase.
51

- Pembentukan inti batu


Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa juga
oleh bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki melaporkan
bahwa 55 % batu pigmen dengan inti telur atau bagian badan dari cacing
ascaris lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam mendapatkan 70 %
inti batu adalah dari cacing tambang.

Gambar 5. Batu Pigmen


c. Batu campuran
Merupakan batu campuran kolesterol yang mengandung kalsium. Batu ini
sering ditemukan hampir sekitar 90 % pada penderita kolelitiasis. batu ini
bersifat majemuk, berwarna coklat tua. Sebagian besar dari batu campuran
mempunyai dasar metabolisme yang sama dengan batu kolesterol

2.3.6 Manifestasi Klinik


1. Asimtomatik
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan
gejala (asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat
kolesistitis, nyeri bilier, nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia,
mual. Studi perjalanan penyakit sampai 50 % dari semua pasien dengan batu
kandung empedu, tanpa mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik.
Kurang dari 25 % dari pasien yang benar-benar mempunyai batu empedu
asimtomatik akan merasakan gejalanya yang membutuhkan intervensi
52

setelah periode waktu 5 tahun. Tidak ada data yang merekomendasikan


kolesistektomi rutin dalam semua pasien dengan batu empedu asimtomatik
(Sjamsuhidayat, 2004).
2. Simtomatik
Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran
kanan atas. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih
dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Kolik
biliaris, nyeri pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh
makanan berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir setelah
beberapa jam dan kemudian pulih, disebabkan oleh batu empedu, dirujuk
sebagai kolik biliaris. Mual dan muntah sering kali berkaitan dengan
serangan kolik biliaris (Sjamsuhidayat, 2004).
3. Komplikasi
Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang paling
umum dan sering meyebabkan kedaruratan abdomen, khususnya diantara
wanita usia pertengahan dan manula. Peradangan akut dari kandung
empedu, berkaitan dengan obstruksi duktus sistikus atau dalam
infundibulum. Gambaran tipikal dari kolesistitis akut adalah nyeri perut
kanan atas yang tajam dan konstan, baik berupa serangan akut ataupun
didahului sebelumnya oleh rasa tidak nyaman di daerah epigastrium post
prandial. Nyeri ini bertambah saat inspirasi atau dengan pergerakan dan
dapat menjalar kepunggung atau ke ujung skapula. Keluhan ini dapat
disertai mual, muntah dan penurunan nafsu makan, yang dapat berlangsung
berhari-hari. Pada pemeriksaan dapat dijumpai tanda toksemia, nyeri tekan
pada kanan atas abdomen dan tanda klasik Murphy sign (pasien berhenti
bernafas sewaktu perut kanan atas ditekan). Masa yang dapat dipalpasi
ditemukan hanya dalam 20% kasus. Kebanyakan pasien akhirnya akan
mengalami kolesistektomi terbuka atau laparoskopik (Sjamsuhidayat, 2004).

2.3.7 Diagnosis
Anamnesis
53

Setengah sampai duapertiga penderita kolesistolitiasis adalah


asimtomatis. Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang
disertai intoleran terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis,
keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau
perikondrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin
berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam
kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30%
kasus timbul tiba-tiba.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke
puncak bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita
melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau
terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu
menarik nafas dalam (Sjamsuhidayat, 2004).
Pemeriksaan fisik
Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan
komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum,
hidrop kandung empedu, empiema kandung empedu, atau pankretitis.
Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum
didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila
nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena
kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa
dan pasien berhenti menarik nafas (Sjamsuhidayat, 2004)..
54

Gambar 6. Murphy Sign


Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak
menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi
peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma
mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan
duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin
disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali
serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang
setiap setiap kali terjadi serangan akut (Sjamsuhidayat, 2004).
Alanin aminotransferase ( SGOT = Serum Glutamat Oksalat
Transaminase ) dan aspartat aminotransferase ( SGPT = Serum Glutamat
Piruvat Transaminase ) merupakan enzym yang disintesis dalam
konsentrasi tinggi di dalam hepatosit. Peningkatan serum sering
menunjukkan kelainan sel hati, tapi bisa timbul bersamaan dengan
penyakit saluran empedu terutama obstruksi saluran empedu
(Sjamsuhidayat, 2004).
Fosfatase alkali disintesis dalam sel epitel saluran empedu. Kadar
yang sangat tinggi, sangat menggambarkan obstruksi saluran empedu
karena sel ductus meningkatkan sintesis enzym ini.
Pemeriksaan fungsi hepar menunjukkan tanda-tanda obstruksi.
Ikterik dan alkali fosfatase pada umumnya meningkat dan bertahan lebih
lama dibandingkan dengan peningkatan kadar bilirubin.
Waktu protombin biasanya akan memanjang karena absorbsi
vitamin K tergantung dari cairan empedu yang masuk ke usus halus, akan
tetapi hal ini dapat diatasi dengan pemberian vitamin K secara parenteral
(Sjamsuhidayat, 2004).

2. Pemeriksaan Radiologis
Foto Polos Abdomen
55

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas


karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat
radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu
berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan
akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung
empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan
atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatica
(Sjamsuhidayat, 2004 ; Klingensmith, 2008).

Gambar 7. Foto Polos Abdomen dengan Batu Empedu


Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi
untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat
dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang
diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada
duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara
di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu
kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa
(Sjamsuhidayat, 2004 ; Klingensmith, 2008).

Gambar 8. USG Abdomen


Kolesistografi
56

Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena


relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen
sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan
gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2
mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan
tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral
lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.

Gambar 9. Kolesistogram
Kolangiografi Transhepatik Perkutan
Merupakan cara yang baik untuk mengetahui adanya obstruksi dibagian
atas kalau salurannya melebar, meskipun saluran yang ukurannya normal
dapat dimasuki oleh jarum baru yang "kecil sekali" Gangguan pembekuan,
asites dan kolangitis merupakan kontraindikasi.
57

Gambar 10. Kolangiografi Transhepatik Perkutan


Kolangiopankeatografi Endoskopik Retrograde (ERCP= Endoscopic
Retrograde Cholangio Pancreaticography)
Kanulasi duktus koledokus dan/atau duktus pankreatikus melalui ampula
Vater dapat diselesaikan secara endoskopis. Lesi obstruksi bagian bawah
dapat diperagakan. Pada beberapa kasus tertentu dapat diperoleh informasi
tambahan yang berharga, misalnya tumor ampula, erosis batu melalu
ampula, karsinoma yang menembus duodenum dan sebagainya) Tehnik ini
lebih sulit dan lebih mahal dibandingkan kolangiografi transhepatik.
Kolangitis dan pankreatitis merupakan komplikasi yang mungkin terjadi.
Pasien yang salurannya tak melebar atau mempunyai kontraindikasi
sebaiknya dilakukan kolangiografi transhepatik, ERCP semakin menarik
karena adanya potensi yang 'baik untuk mengobati penyebab penyumbatan
tersebut (misalnya: sfingterotomi untuk jenis batu duktus koledokus yang
tertinggal).4,5

Gambar 11. ERCP


58

Gambar 12. ERCP


CT Scan
CT scan dapat memperlihatkan saluran empedu yang melebar, massa
hepatik dan massa retroperitoneal (misalnya, massa pankreatik).Bila hasil
ultrasound masih meragukan, maka biasanya dilakukan CT scan.
59
60

2.3.8 Penatalaksanaan
61

Penatalaksanaan dari batu empedu tergantung dari stadium penyakit. Saat


batu tersebut menjadi simptomatik maka intervensi operatif diperlukan. Biasanya
yang dipakai ialah kolesistektomi. Akan tetapi, pengobatan batu dapat dimulai
dari obat-obatan yang digunakan tunggal atau kombinasi yaitu terapi oral garam
empedu ( asam ursodeoksikolat), dilusi kontak dan ESWL. Terapi tersebut akan
berprognosis baik apabila batu kecil < 1 cm dengan tinggi kandungan kolesterol
(Klingensmith, 2008).
Asimptomatik
Penanganan operasi pada batu empedu asimptomatik tanpa komplikasi tidak
dianjurkan. Indikasi kolesistektomi pada batu empedu asimptomatik ialah
-Pasien dengan batu empedu > 2cm
-Pasien dengan kandung empedu yang kalsifikasi yang resikko tinggi
keganasan
-Pasien dengan cedera medula spinalis yang berefek ke perut
- Disolusi batu empedu
Agen disolusi yang digunakan ialah asam ursodioksikolat. Pada manusia,
penggunaan jangka panjang dari agen ini akan mengurangi saturasi kolesterol
pada empedu yaitu dengan mengurangi sekresi kolesterol dan efek deterjen dari
asam empedu pada kandung empedu. Desaturasi dari empedu mencegah
kristalisasi.
Dosis lazim yang digunakan ialah 8-10 mg/kgBB terbagi dalam 2-3 dosis
harian akan mempercepat disolusi. Intervensi ini membutuhkan waktu 6-18
bulan dan berhasil bila batu yang terdapat ialah kecil dan murni batu kolesterol.

- Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)


Litotripsi gelombang elektrosyok meskipun sangat populer beberapa tahun
yang lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini hanya terbatas untuk pasien
yang benar-benar telah dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini. Efektifitas
ESWL memerlukan terapi adjuvant asam ursodeoksilat (Klingensmith, 2008).

Simptomatik
- Kolesistektomi
62

Kolesistektomi adalah pengangkatan kandung empedu yang secara umum


diindikasikan bagi yang memiliki gejala atau komplikasi dari batu, kecuali yang
terkait usia tua dan memiliki resiko operasi. Pada beberapa kasus empiema
kandung empedu, diperlukan drainase sementara untuk mengeluarkan pus yang
dinamakan kolesistostomi dan kemudian baru direncanakan kolesistektomi elektif.
Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren,
diikuti oleh kolesistitis akut. Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi
trauma CBD, perdarahan, dan infeksi.
Langkah-langkah pada kolesistektomi terbuka:
1. Insisi
Jenis insisi yang dapat digunakan ialah insisi subkosta kanan atas, insisi kocher,
insisi kocher termodifikasi dan insisi tranverse.

1. Insisi kocher

7. Insisi transverse

Gambar 13. Jenis insisi pada abdomen

2. Peletakan 2 mop basah


Yang pertama digunakan untuk menyingkirkan duodenum, kolon transversum dan
usus halus. Yang kedua digunakan di kiri common bile duct untuk menyingkirkan
gaster ke kiri.
3. Dapat melihat kandung empedu
Bagian bawah lobus kanan hepar ditarik ke atas menggunakan retracter agar
kandung empedu lebih terekspos.
4. Pengangkatan kandung empedu
Terdapat 2 metode
a. Metode duct first
63

Yang pertama didiseksi ialah duktus sistikus dan arteri kemudian dipisahkan
setelah kandung empedu diangkat.
Indikasi : tidak ada adhesi atau eksudat pada CBD, CHD dan CD
Kontraindikasi : adanya adhesi dan eksudat.
b. Metode fundus first
Diseksi dimulai dari fundus kandung empedu dan kemudian berlanjut pada duktus
sistikus.
Indikasi : adanya adhesi atau eksudat di CBD, CHD dan CD

- Laparoskopik kolesistektomi
Berbeda dengan kolesistektomi terbuka, pada laparoskopik hanya membutuhkan 4
insisi yang kecil. Oleh karena itu, pemulihan pasca operasi juga cepat. Kelebihan
tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal, pemulihan lebih cepat,
hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan perawatan di rumah sakit dan biaya
yang lebih murah. Indikasi tersering adalah nyeri bilier yang berulang. Kontra
indikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka yaitu tidak dapat mentoleransi
tindakan anestesi umum dan koagulopati yang tidak dapat dikoreksi. Komplikasi
yang terjadi berupa perdarahan, pankreatitis, bocor stump duktus sistikus dan
trauma duktus biliaris. Resiko trauma duktus biliaris sering dibicarakan, namun
umumnya berkisar antara 0,51%. Dengan menggunakan teknik laparoskopi
kualitas pemulihan lebih baik, tidak terdapat nyeri, kembali menjalankan aktifitas
normal dalam 10 hari, cepat bekerja kembali, dan semua otot abdomen utuh
sehingga dapat digunakan untuk aktifitas olahraga.

- Kolesistostomi
Pada pasien dengan kandung empedu yang mengalami empiema dan sepsis, yang
dapat dilakukan ialah kolesistostomi. Kolesistostomi adalah penaruhan pipa
drainase di dalam kandung empedu. Setelah pasien stabil,maka kolesistektomi
dapat dilakukan.

- Endoscopic Sphincterotomy
64

Dilakukan apabila batu pada CBD tidak dapat dikeluarkan. Pada prosedur ini
kanula diletakan pada duktus melalui papila vateri. Dengan mennggunkan
spinterectome elektrokauter, dibuat insisi 1 cm melalui sfingter oddi dan bagian
CBD yang mengarah ke intraduodenal terbuka dan batu keluar dan diekstraksi.
Prosedur ini terutama digunakan pada batu yang impaksi di ampula vateri
(Klingensmith, 2008 ; Townsend, 2004).

3.2.9 Prognosis
Ratio mortalitas pada kolesistektomi adalah 0,5% dan morbiditas kurang
dari 10%. Setelah kolesistektomi, batu kandung empedu dapat timbul
kembali. Sekitar 10-15% pasien dapat terjadi koledokolitiasis. Prognosis
pada pasien dengan koledokolitiasis tergantung dari adanya dan berat
ringannya komplikasi. Pada pasien yang menolak dilakukannya
pembedahan , 45% tetap asimptomatik koledokolitiasis (Sjamsuhidayat,
2004 ).

3.3 Asites Permagna


3.3.1 Definisi
Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga peritoneum.
Asites dapat disebabkan oleh banyak penyakit.

Asites Tanpa Komplikasi


Asites yang tidak terinfeksi dan yang tidak terkait dengan pengembangan
sindrom hepatorenal. Asites dapat dinilai sebagai berikut:

Grade 1 (mild), asites hanya terdeteksi oleh pemeriksaan USG.

Grade 2 (moderate), ascites yang menyebabkan distensi perut


simetrismoderat.

Grade 3 (large), ascites ditandai distensia bdomen.

Asites Refrakter
Asites yang tidak dapat dimobilisasi atau yang kambuh lebih awal,
(yaitu,setelah terapi paracentesis) yang tidak dapat dicegah dengan terapi medis.
65

Asites ini termasuk dua sub kelompok yang berbeda.

Diuretic resistant ascites -- asites refrakter terhadap retriksi diet


sodiumdan pengobatan diuretik intensif (spironolakton 400 mg / hari
dan frusemid 160 mg /hari selama setidaknya satu minggu, dan diet
retriksi garam kurang dari 90 mmol /hari (5,2 g garam) /hari).

Diuretic intractable ascites asites refrakter terhadap terapi karena


perkembangan komplikasi yang diinduksi diuretik yang menghalangi
penggunaan diuretikdosis efektif.

Tabel.1 Definisi dan kriteria diagnostik asites refrakter padasirosis

3.3.2 Patofisiologi

Akumulasi cairan asites dalam rongga peritoneum menggambarkan


ketidakseimbangan pengeluaran air dan garam. Saat ini penyebabnya belum
diketahui dengan pasti, namun ada beberapa teori yang telah dikemukakan untuk
menjelaskan mekanisme terbentuknya asites, yaitu:

- Hipotesis underfilling
66

Berdasarkan hipotesis ini, asites terbentuk karena sekuestrasi cairan yang


tidak memadai pada pembuluh darah splanknik akibat peningkatan
tekanan portal dan penurunan Effective Arterial Blood Volume
(EABV).Hal tersebut mengakibatkan aktivasi sistem renin-angiotensin-
aldosteron dan sistem persarafan simpatis sehingga terjadi retensi air dan
garam.
- Hipotesis Overflow
Berdasarkan hipotesis ini, asites terbentuk karena ketidakmampuan ginjal
dalam mengatasi retensi garam dan air, yang berakibat tidak adanya
penurunan volume.Dasar teori ini adalah kondisi hipervolemia
intravaskular yang umum dijumpai pada pasien dengan sirosis hati.
- Hipotesis vasodilatasi arteri perifer
Hipotesis ini adalah hipotesis terbaru yang merupakan gabungan dari
kedua hipotesis sebelumnya.Hipertensi portal menyebabkan vasodilatasi
arteri perifer, dan berakibat penurunan EABV.Sesuai dengan perjalanan
alami penyakit, terdapat peningkatan eksitasi neurohumoral, dan
peningkatan retensi natrium oleh ginjal sehingga volume plasma
meningkat.

Urutan kejadian antara hipertensi portal dan retensi natrium ginjal belum
jelas. Hipertensi portal juga menyebabkan peningkatan kadar nitrat oksida Nitrat
oksida merupakan mediator kimia yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh
darah splanknik dan perifer. Kadar NO pada arteri hepatika pasien asites lebih
besar daripada pasien tanpa asites. Peningkatan kadar epinefrin dan norepinefrin,
dan hipoalbuminemia juga berkontribusi dalam pembentukan asites.
Hipoalbuminemia mengakibatkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga
terjadi ekstravasasi cairan plasma ke rongga peritoneum.Dengan demikian, asites
jarang terjadi pada pasien sirosis tanpa hipertensi portal dan hipoalbuminemia.
67

3.3.3 Diagnosis
Tahap awal untuk menegakkan diagnosis asites adalah dengan melakukan
anamnesis mengenai perjalanan penyakit. Saat melakukan anamnesis sebaiknya
dokter mencari tahu faktor risiko yang dapat menyebabkan gangguan pada hati,
seperti: riwayat kolestasis, jaundice, hepatitis kronik, riwayat transfusi atau
suntikan, atau riwayat keluarga dengan penyakit hati. Selain itu, biasanya perlu
ditanyakan apakah terjadi peningkatan berat badan yang berlebihan.
Tahap selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh.
Pada awal pemeriksaan fisik, perlu dibedakan apakah pembesaran perut yang
terjadi karena asites, atau penyebab lain seperti: kegemukan, obstruksi usus, atau
adanya massa di abdomen. Flank dullness yang biasanya terdapat pada 90%
pasien dengan asites merupakan tes yang paling sensitif, sedangkan shifting
dullness lebih spesifik tetapi kurang sensitif.
68

Tes lain yang bisa dilakukan untuk mengetahui asites, contohnya pada
anak adalah melalui pemeriksaan puddle sign. Puddle sign ini bisa digunakan
untuk mengetahui asites pada jumlah yang masih sedikit (+120 ml). Untuk
melakukan pemeriksaan ini posisi pasien harus bertumpu pada siku dan lutut
selama pemeriksan.Pemeriksaan fisik yang menyeluruh dan seksama dapat
memberi arahan mengenai penyebab asites. Tanda-tanda dari penyakit hati kronis
adalah eritema palmaris, spider naevi, jaundice. Splenomegali dan pembesaran
venakolateral merupakan indikasi telah terjadi peningkatan tahanan vena
porta.Asites yang disebabkan oleh gagal jantung kronis, memberikan tambahan
temuan pemeriksaan fisik berupa peningkatan tahanan vena jugularis.Pembesaran
KGB m mengacu pada limfoma atau TBC.

Paracentesis abdomen
Abdominal parasentesis umum dikerjakan pada pasien dengan asites yang
belum diketahui penyebabnya, dan pada pasien dengan penambahan jumlah asites
yang sangat cepat,perburukan klinis, disertai demam dan nyeri perut. Pemeriksaan
ini berguna untuk mendeteksi terjadinya spontaneous bacterial peritonitis (SBP).
Cairan asites kemudian dikirim untuk mengetahui jumlah sel, albumin,
kultur asites, protein total, gram stain dan sitologi. Pemeriksaan cairan asites
meliputi:
- Inspeksi. Sebagian besar cairan asites berwarna transparan dan
kekuningan. Warna cairan akan berubah menjadi merah muda jika terdapat
sel darah Merah >10 000/l, dan menjadi merah jika SDM >20 000/l.
Cairan asites yang berwarna merah akibat trauma akan bersifat heterogen
dan akan membeku, tetapi jika penyebabnya non trauma akan bersifat
homogen dan tidak membeku. Cairan asites yang keruh menunjukan
adanya infeksi.9
- Hitung jumlah sel. Cairan asites yang normal biasanya mengandung
PMN >250/mm3 ,bisa diperkirakan kemungkinan terjadinya SBP. Selain
peningkatan PMN, diagnosa SBP ditegakkan bila jumlah leukosit >500
sel/mm3 dan konsentrasi protein 50.000/mm3 ), dan 30%nya disebabkan
oleh karsinoma hepatoseluler.
69

- SAAG. Dahulu asites dikategorikan menjadi eksudat dan transudat.


Eksudat jika konsentrasi protein >25 g/l, dan transudat jika konsentrasi
protein < 25g/l. Tujuan pembagian ini adalah untuk mencari penyebab
asites, misalnya asites pada kasus keganasan bersifat eksudat, sedangkan
pada sirosis bersifat transudat Saat ini pembagian tersebut sudah
digantikan oleh pemeriksan Serum Ascites Albumin Gradient (SAAG).
SAAG ini mengklasifikasikan asites menjadi hipertensi portal (SAAG
>1,1 g/dl) dan non-hipertensi portal (SAAG < 1,1 Cara penghitungan
SAAG adalah dengan menghitung jumlah albumin cairan asites dikurangi
jumlah albumin serum. Hal tersebut erat hubungannya dengan tekanan
vena porta. Pemeriksaan ini 97% akurat untuk membedakan asites dengan
atau tanpa hipertensi portal.1,7,9 Beberapa penyebab asites berdasarkan
pembagian menurut nilai SAAG dapat dilihat pada table 2.

Komplikasi pungsi asites terjadi pada sampai 1% dari pasien (hematoma


abdomen) tapi jarang serius atau mengancam nyawa. Komplikasi lebih serius
seperti haemoperitoneum atau perforasi usus jarang terjadi (<1/1000 prosedur).
Paracentesis tidak kontraindikasi pada pasien dengan profil koagulasi yang
abnormal.Sebagian besar pasien dengan asites karena sirosis memiliki
perpanjangan waktu protrombin dan beberapa tingkat trombositopenia. Tidak ada
data yang mendukung penggunaan fresh frozen plasma sebelum paracentesis
70

meskipun jika trombositopenia hebat(< 40.000) paling dokter akan memberikan


trombosit untuk mengurangi risiko perdarahan.

3.3.4 Tata Laksana

Bedrest
Istirahat pada pasien dengan sirosis dan asites, asumsi postur tegak
dikaitkan dengan aktivasi renin-angiotensin-aldosteron dan sistem saraf
simpatik,pengurangan ditingkat filtrasi glomerulus dan ekskresi natrium, serta
respon menurun terhadap diuretic. Efek ini bahkan lebih mencolok dalam
hubungan dengan latihan fisik moderat. Data ini sangat menyarankan bahwa
pasien harus diobati dengan diuretik saat istirahat. Namun, belum ada studi klinis
yang menunjukkan keberhasilan peningkatan diuresis dengan istirahat atau durasi
penurunan rawat inap. Tirah baring dapat menyebabkan atrofi otot, dan
komplikasi lainnya, serta memperpanjang lama tinggal di rumah sakit, tirah baring
umumnya tidak direkomendasikan untuk manajemen pasien dengan asites tanpa
komplikasi.

Pembatasan Asupan Garam

Retriksi diet garam saja dapat membuat balans natrium negatif pada10%
pasien. Pembatasan natrium telah terkait dengan persyaratan diuretik lebih rendah,
resolusi asites lebih cepat, danmasa rawat di RS lebih pendek. Di masalalu,
makanan garam sering dibatasi sampai 22 atau 50mmol/hari, diet ini dapat
menyebabkan malnutrisi protein dan hasil yang serupa, dan tidak lagi dianjurkan.

Diet garam harus dibatasi, 88 mmol/hari (2000mg). Dengan target


ekskresi sodium 78 mmol/hari (hanya 10 mmol/hari yang diserap tubuh).Pada
laki-laki dengan sirosis, eksksresi creatinin serum harus terbuang
>15mg/KgBB/hari.Dan wanita harus mengekskresi creatinin serum sebanyak
10mg/KgBB/hari. Jumlah natrium non urin ekskresi kurang dari 10 mmol per hari
pada pasien demam dengan sirosis tanpa diare. Salah satu tujuan dari pengobatan
adalah untuk meningkatkan ekskresi natrium sehingga melebihi 78 mmol per hari
71

( 88 asupan mmol per hari - 10 mmol ekskresi nonurinary per hari ).

Bimbingan ahli diet dan informasi leaflet akan membantu dalam mendidik
pasien dan kerabat tentang retrriksi garam. Obat tertentu, terutama dalam bentuk
tablet effervescent, memiliki kandungan natrium yangtinggi. Antibiotik intravena
umumnya mengandung 2,1-3,6 mmol natrium per gramdengan pengecualian
siprofloksasin yang berisi 30 mmol natrium dalam 200 ml (400mg) untuk infuse
intravena.Meskipun secara umum lebih baik untuk menghindari infus cairan yang
mengandung garam pada pasien dengan asites, ada peluang, seperti berkembang
menjadi sindroma hepatorenal atau gangguan ginjal dengan hiponatremia berat,
Jika sesuai dan diindikasikan untuk memberikan ekspansi volume
dengan kristaloid atau koloid. Untuk pasien sindrom hepatorenal, International
Ascitesclubmerekomendasikan infus garamnormal.

Diuretik
Regimen diuretik yang biasa digunakan terdiri dari dosisi tunggal
spironolactone oral dan furosemide, dosis inisial dimulai dengan 100 mg
sebelumnya dan 40 mg yang selanjutnya. Sebelumnya, dosis tunggal
spironolactone itu dianjurkan, tapi hiperkalemia dan waktu paruh obat yang
panjang mengakibatkan penggunaannya sebagai agen tunggal hanya pada pasien
dengan overload cairan minimal.
Dosis tunggal furosemide telah di uji coba dalam percobaan terkontrol
secara acak kurang efektif daripada spironolactone. Bioavailabilitas furosemide
oral pada pasien dengan sirosis, bersama-sama dengan pengurangan pada laju
filtrasi glomerulus terkait dengan furosemide intravena, mendukung
penggunaanoral furosemid. Diuresis lebih lambat pada kelompok spironolactone
tunggal dengan kebutuhan yang lebih rendah untuk penyesuaian dosis, sehingga
pendekatan ini mungkin berguna untuk pasien rawat jalan.Namun percobaan lain
secara acak menunjukkan bahwa terapi kombinasi awal mempersingkat waktu
untuk mobilisasiascites yang tingkat keparahannya sedang.

Spironolactone
72

Spironolactone merupakan antagonis aldosteron, bekerja terutama pada


tubulus distal untuk meningkatkan natriuresis dan mempertahankan kalium.
Spironolactone adalah obat pilihan diawal pengobatan asites karena sirosis.Dosis
harian inisial 100mg bias ditingkatkan sampai 400mg untuk mencapai natriuresis
adekuat. Berjalan lambat 3-5 hari antara awal pengobatan spironolactone dan
terjadinya efek.studi kontrol natriuretik telah menemukan bahwaspironolactone
mencapai natriuresis lebih baik dan dieresis dari loopdiuretic sepertifurosemide.
Efek samping paling sering spironolakton pada sirosis adalah yang berkaitan
dengan ativitas antiandrogeniknya, seperti penurunan libido, impotensi, dan
ginekomastia pada pria dan ketidakteraturan menstruasi pada wanita
(meskipun sebagian besar wanita dengan asites tidak menstruasi saja).
Ginekomastia dapat secara signifikan berkurang ketika
canrenoatekaliumhidrofilikderivatif digunakan, tetapi ini tidak tersedia di Inggris.
Tamoxifen pada dosis 20 mg dua kali sehari telah terbukti berguna dalam
pengelolaan gynaecomastia. Hiperkalemia merupakan komplikasi signifikan yang
sering membatasi penggunaan spironolactone dalam pengobatan asites.

Furosemid
Furosemid adalah diuretik loop yang menyebabkan tanda natriuresis dan
dieresis pada subyek normal. Hal ini umumnya digunakan sebagai tambahan
untuk pengobatan spironolactone karena keberhasilan rendah bila digunakan
sendirian pada sirosis. Dosis awal frusemid adalah 40mg/hari dan umumnya
meningkatsetiap 2-3 hari sampai dosis tidak melebihi 160 mg/hari. Tinggi dosis
frusemid berhubungan dengan gangguan elektrolit berat dan alkalosis metabolik,
dan harus digunakan hati- hati. Furosemid dan spironolactone bekerja
simultan meningkatkan efek natriuretik.

Diuretik lain

Amiloride bekerja pada tubulus distal dan menginduksi diuresis


pada80% pasien dengan dosis 15-30 mg/hari.Hal ini kurang efektif
dibandingkandengan spironolakton atau kalium canrenoate. Bumetanide mirip
dengan frusemid dalam kerja danefikasi. Secara umum, pendekatan '' stepped
73

care'' yang digunakan dalam pengelolaan ascites dimulai dengan diet pembatasan
garam sederhana, bersama dengan meningkatnya dosis spironolactone. Furosemid
hanya ditambahkan bila 400mg spironolakton sendiri telah terbukti inefektif. Pada
pasien dengan edema berattidak perlu untuk memperlambat laju harian penurunan
berat badan. Sekali edema telah diselesaikan tetapi asites berlanjut, maka tingkat
penurunan berat badan tidak melebihi 0,5 kg/hari. Selama diuresis dikaitkan
dengan deplesi volumeintravaskular (25%) yang mengarah ke ginjal, hati
penurunan ensefalopati (26%), dan hiponatremia (28%). Sekitar 10% pasien
dengan sirosis dan asites memiliki asites refrakter.Pada pasien yang gagal
merespons pengobatan, riwayat diet dan obat-hati harus diperoleh. Penting untuk
memastikan bahwa mereka tidak memakan obat yang kaya akan natrium, atau
obat yang menghambat garam dan ekskresi air seperti obat-obatan anti- inflamasi
non-steroid. Kepatuhan retriksi natrium makanan harus dipantau dengan
pengukuran ekskresi natrium urin. Jika natrium urin melebihi asupan sodiumyang
direkomendasikan, dan pasien tidak menanggapi pengobatan, maka dapat
diasumsikan bahwa pasien non-compliant.

Terapi paracentesis
Paracentesis terapi serial efektif dalam mengendalikan ascites. Biasanya
jumlah paracentesis dilakukan untuk meminimalkan jumlah paracenteses.
Percobaan terkontrol menunjukkan keamanan pendekatan ini sekarang telah
diterbitkan. Bahkan pada pasien tanpa ekskresi natriumurin , paracenteses
dilakukan kira-kira setiap 2 minggu. Diuretik biasanya telah dihentikan setelah
pasien dianggap resisten terhadap diuretik. Guideline Eropa merekomendasikan
menghentikan diuretik jika natrium urin < 30 mmol / hari selama diuretik terapi.
Frekuensi paracentesis tergantung pada kesadaran pasien terhadap kepatuhan diet,
limaliter telah dianggap sebagai paracentesis dengan volume yang besar.

Pasien dengan asites besar atau refrakter biasanya managemen inisial oleh
paracentesis ulangan dengan volume besar. Beberapa studi klinis terkontrol telah
menunjukkan bahwa besar Volume paracentesis dengan penggantian koloid cepat,
aman dan effective. Penelitian pertama menunjukkan bahwa seri volume besar
74

paracentesis (4 6 L/hari) dengan infus albumin (8 g/liter asites yang hilang)


lebih efektif dan berhubungan dengan komplikasi lebih sedikit dan durasi rawat
inapyang lebih singkat dibandingkan dengan terapi diuretik. Penelitian ini
diikutioleh penelitian lain yang mengevaluasi efikasi, keamanan, kecepatan
paracentesis, perubahan hemodinamik setelah paracentesis, dan kebutuhan
terapipenggantian koloid. Paracentesis total umumnya lebih aman dari
paracentesis berulang, jika ekspansi volume diberikan pasca-paracentesis. Jika
ekspansi volumepasca-paracentesis gagal memberikan volume ekspansi dapat
menyebabkangangguan sirkulasi, gangguan fungsi ginjal dan elektrolit.
Setelah paracentesis mayoritas asites berulang(93%) jika terapi diuretic tidak
dilakukan kembali, tapi berulang pada hanya 18% pasien yang diobati dengan
spironolactone. Memakai kembali diuretik setelah paracentesis (biasanya dalam 1-
2 hari) tampaknya tidak meningkatkan risiko disfungsi sirkulasi postparacentesis.
Prognosis
Perkembangan asites dikaitkan dengan mortalitas 50% dalam waktu dua
tahun diagnosis. Asites refrakter setelah terapi medis, 50% meninggal dalam
waktu enam bulan. Meskipun memperbaiki manajemen dan kualitas cairan, pasien
hidup sambil menunggu transplantasi hati. Perawatan seperti terapi paracentesis
dan TIPS tidak memperbaiki masa bertahan hidup jangka panjang tanpa
transplantasi untuk pasien. Mungkin karena itu, ketika setiap pasien dengan sirosis
berkembang menjadi asites, kesesuaian untuk transplantasi hati harus
dipertimbangkan. Perhatian harus diberikan untuk fungsi ginjal pada pasien
dengan asites pra-transplantasi, disfungsi ginjal menyebabkan morbiditas lebih
besar dan pemulihan tertunda setelah transplantasi hati dan berhubungan dengan
tinggal lama di ICU dan rumah sakit.
75

DAFTAR PUSTAKA

American Association for Study of the Liver. AASL clinical practice


guidelines Management of Adult Patients with Ascites Due to Cirrhosis:
Update 2012.Hal. 6467.

Anonymous. Portal hypertension & cirrhosis 2010. Available from:


http://www.scribed.com/doch/25439382/gi-pathophysiology.,
B.T Cooper, M. J Hall, R.E Barry; Manual Gastroenterologi, Churchill
Livingstone, 1989, 244 248

Desen, W. 2011. Buku Ajar Onkologi Klinis ed @. Jakarta : FK UI p.408-23

Doherty GM. Biliary Tract. In : Current Diagnosis & Treatment Surgery 13 th


edition. 2010. US : McGraw-Hill Companies,p544-55.

Europian Association for Study of the Liver. EASL clinical practise guidelines
onthe management of ascites, spontaneous bacterial peritonitis, and
hepatorenal syndromin cirrhosis. Journal of Hepatology 2010 vol. 53
j397417.

Gastrointestinal,Tumor & Endocrine Surgery, University of Colorado Denver and


Health Science Center, Denver Colorado Longo et al. 2013. Harrison`s
Manual of Medicine. Edisi ke- 18. New York: Mc Graw Hill Medical

Hadi S. 2002. Gastroentrologi. Bandung : Penerbit PT Alumni p.694-733

Isselbacher KJ, Denstag JL. 2000. Tumor Hati dalam Klein H G . Harrison
Prinsip- Prinsip Ilmu Pwnyakit Dalam , Edisi 13 volume 4. Jakarta : ECG
76

Klingensmith ME, Chen LE, Glasgow SC, Goers TA, Spencer J. Biliary Surgery.
In : Washington Manual of Surgery 5th edition. 2008. Washington :
Lippincott Williams & Wilkins.

Nurdjanah, Siti. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Kelima. Jakarta:
Interna Publishing.

Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis


Proses-Proses Penyakit. Vol 2. Ed. 6. Jakarta: EGC.

Siebernagl S, Lang F. Color Atlas of Pathophisiology.2000.New York:Thieme

Silbernagl S, Lang F. Gallstones Diseases. 2000. In : Color Atlas of


Pathophysiology. New York : Thieme,p:164-7.

Sjamsuhidayat R, de Jong W. Kolelitiasis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi


1. 1997. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 767-73.

Sjamsuhidayat R, de Jong W. Kolelitiasis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi


1. 2004. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 570-80.

Sudoyo, Ari W dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. Juni 2006. 452 454

Sudoyo W et al. 2009. Karsinoma Hati dalam Harmono MT Buku ajar Penyakit
Dalam Edisi V Jilid I. Jakarta :Interna Publishing p.685-91

Sulaiman A, Akbar N, Lesmana L,. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati Ed


Pertama.2007.Jakarta:Jayabadi
77

Tjokroprawiro, Askandar. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya :


Unair Press.

Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Biliary Tract. In :
Sabiston Textbook of Surgery 17th edition. 2004. Pennsylvania : Elsevier.

Tsochatzis, E. A., Bosch, J, dan Burroughs, A. K. 2014. Liver Cirrhosis. The


Lancet, S0140-6736 (14) : 60121-60125.

Underwood JCE. 2000. Patologi Umum dan Sistemik ed 2. Jakarta : EGC p.493-6

Wong,Florence. Advance in clinical practice: Management of ascites in


cirrhosis. Journal of Gastroenterology and Hepatology 2012;27:1120.

Young E, Yong E, Wong F,.Renal Dysfunction in cirrhosis:Diagnosis, Treatment,


and Prevention. Medscape General Medicine 2004;6(4):9
.

Anda mungkin juga menyukai