Anda di halaman 1dari 60

LAPORAN KASUS

INFLAMMATORY BOWEL DISEASE

Disusun Oleh :

Kurnia Pralisa

I4061202075

Pembimbing :

dr. Yustar Mulyadi, Sp.PD.,KGEH

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD DR. SOEDARSO PONTIANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2023
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui laporan kasus dengan judul :

“Inflammatory Bowel Disease”

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Pontianak, Desember 2023

Pembimbing Disusun oleh

dr. Yustar Mulyadi, Sp.PD.,KGEH Kurnia Pralisa


BAB I
PENDAHULUAN
2.1 Latar Belakang
Inflammatory bowel disease (IBD) merupakan istilah yang digunakan untuk
mendeskripsikan 2 jenis kelainan idiopatik yang berkaitan dengan inflamasi
traktus gastrointestinal , yaitu Penyakit Crohn dan Kolitis ulserativa. Kedua
kelainan tersebut harus dibedakan dengan kelainan yang mirip seperti infeksi,
alergi dan keganasan, karena IBD sering berhubungan dengan gejala klinis
ekstraintestinal yang beragam dan men#akup berbagai organ seperti kulit,
muskuloskeletal, hepatobilier, mata, ginjal hematokrit dan gangguan tumbuh
kembang, maka klinisi harus memperhatikan kelainan tersebut sebagai bagian dari
gejala klinis IBD" Penyakit Crohn pertama kali dikenal oleh Crohn, %in&burg,
dan 'ppenheimer pada tahun *2" +aat ini, penyakit Crohn diketahui sebagai
suatu proses inflamasi kronis transmural yang melibatkan traktus gastrointestinal
dari mulut sampai rektum" Kolitis lserati!a sebagai proses inflamasi idiopatik
yang bersifat kronis dan hilang timbul serta terbatas pada mukosa kolon dan
rektum" Proses inflamasi yang terjadi pada Kolitis lserati!a relatif homogen
pada mukosa yang dimulai pada rektum dan melibatkan kolon kearah proksimal"
Kedua tipe IBD ini paling sering didiagnosa pada orang$orang berusia deasa
muda" Insiden paling tinggi dan men#apai pun#aknya pada usia -$./ 1 tahun,
kemudian baru yang berusia --$0- tahun" 1amun, pada anak$anak di baah -
tahun maupun pada orang usia lanjut terkadang dapat ditemukan kasusnya" Dari
semua pasien IBD, /$nya berusia kurang dari 3 tahun" Berdasarkan
statistik internasional, insiden IBD sekitar 2,2$.,* kasus per ///// orang per
tahun untuk Klolitis lseratif dan *,$.,0 kasus per ///// orang per tahun
untuk Penyakit Crohn" 4ata$rata, insiden IBD / kasus per ///// orang tiap
tahunnya" Insidens IBD lebih tinggi dinegara maju dibanding negara
berkembang" Di 5merika +erikat diperkirakan *,- kasus baru Penyakit Crohn
setiap //"/// populasi6tahun dan 2,* kasus baru Kolitis lserati!a pada
kelompok usia /$ tahun" +e#ara umum, pre!alensi IBD hampir sama angka
kejadiannya pada laki$ laki dan perempuan, lebih banyak diderita oleh ras berkulit
putih, didaerah urban, akan tetapi laki$laki mempunyai insidens 2/ lebih tinggi
pada Penyakit Crohn" " Pada anak, Penyakit Crohn biasanya dijumpai saat usia
/$0 tahun, dan sekitar 2- kasus baru di populasi berusia 72/ tahun "
Penyakit Crohn dan Kolitis lserati!a merupakan 2 kelainan yang berbeda, akan
tetapi memiliki banyak kesamaan gejala klinis dan histopatologi" Penyakit Crohn
dan Kolitis lserati!a telah dikenal selama satu setengah abad namun proses
inflamasi kronis yang terjadi menimbulkan kerusakan usus" Pada referat ini akan
dibahas mengenai etiologi, patologi, epidemiologi, gejala klinis, komplikasi,
diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan dan prognosis Penyakit Crohn dan
Kolitis lserati!a"
BAB II
PENYAJIAN KASUS

2.2 Identitas Pasien


Nama : Nn. JE
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal lahir/Usia : 24 Juli 1990 / 33 tahun
Agama : Islam
Alamat : Dusun Timaga, Sanggau
Pekerjaan : Swasta
Nomor RM : 1016xx
Masuk RS : 04 November 2023
Pembiayaan : BPJS
2.3 Anamnesis
Autoanamnesis pada tanggal 04 November 2023.
a. Keluhan Utama
BAB cair sejak 7 jam SMRS
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD dengan keluhan BAB cair sebanyak ± 11
kali sejak 7 jam SMRS. Konsistensi cair, ampas sedikit, berwarna kuning
dan disertai dengan riwayat gumpalan seperti darah pada 1 minggu SMRS,
lendir (-). Pasien mengatakan sudah mengalami keluhan ini sejak 3 tahun
yang lalu, hilang dan timbul. Selama 2 tahun, pasien selalu berobat ke
bidan didekat rumah pasien ketika mengalami keluhan BAB cair. Keluhan
pasien disertai dengan nyeri perut kanan atas yang menusuk, terkadang
panas seperti terbakar dan terkadang nyeri dirasakan juga di kanan bawah.
Nyeri dirasakan tiba-tiba dan tidak diperberat maupun diperingan dengan
makan. Pasien juga mengeluhkan nyeri kepala hebat sejak ± 2 hari yang
lalu. Nyeri kepala dirasakan lebih dominan di kepala bagian belakang
hingga leher. Pasien juga merasakan lemah, mual hingga muntah sebanyak
2 kali (terutama setelah makan). Muntah terkadang berisi makanan, darah
(-). Pasien juga memiliki riwayat demam 1 minggu SMRS selama 2 hari.
Riwayat menggigil dan keringat dingin disangkal oleh pasien. Pasien juga
menyangkal adanya penurunan berat badan. Pasien sempat berobat ke RS
Bayangkari pada 1 minggu SMRS dan pasien mengatakan ia disarankan
untuk dilakukan tindakan colonoskopi di RSDS.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan pernah di operasi atas indikasi sinusitis di
RSDS pada tahun 2022 bulan Agustus. Pasien juga mengaku selalu
mimisan apabila cuaca panas atau badan sedang lelah. Pasien juga
memiliki riwayat hipertensi sejak memeriksakan diri ke dokter spesialis
THT (1 tahun yang lalu) dan sudah berhenti minum obat dengan alasan
tekanan darahnya yang sudah tidak pernah tinggi lagi. Pasien juga
memiliki riwayat penyakit perlemakan hati pada bulan oktober 2023
setelah melakukan pemeriksaan USG perut. Riwayat DM (-), Asma (-),
Sariawan (-). Nyeri sendi (-), Kelainan kulit (-), Infeksi mata (-) dan
Penyakit empedu (-).
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan neneknya memiliki riwayat penyait kanker
rahim. Pasien juga mengatakan paman pasien meninggal dunia akibat
kanker colon dan awalnya memiliki keluhan yang serupa dengan pasien.
Selain itu, adik laki-laki pasien juga meninggal dunia pada usia 17 tahun
dikarenakan keluhan BAB darah terus menerus.
e. Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi, baik pada obat-obatan
maupun pada makanan.
f. Riwayat Pengobatan
Selama 2 tahun pertama setelah mengalami keluhan BAB cair,
pasien selalu berobat ke praktek bidan di kampung halaman pasien. Pasien
kemudian diberikan cairan via infus dan obat pereda nyeri. Terkadang
pasien memeriksakan diri ke Puskesmas di Sanggau dan diberikan obat
pereda diare dan anti nyeri, keluhan kemudian dirasakan sedikit berkurang
tetapi tidak bertahan lama dan dapat kambuh lagi di kemudian hari (tidak
hilang maupun sembuh sepenuhnya). Kemudian pasien mengatakan 1
tahun sebelum masuk RS, pasien mulai sering berobat ke Puskesmas.
Hingga pada bulan september 2023, pasien mengalami BAB cair disertai
darah warna merah terang selama 3 minggu. Pasien tidak berobat ke
Dokter saat itu dan hanya mengkonsumsi sari kunyit dan madu. 3 minggu
kemudian, keluhan BAB darah pasien berkurang dan kembali kambuh lagi
beberapa minggu kemudian. Hingga pasien pergi berobat lagi ke
Puskesmas. Puskesmas menganjurkan pasien untuk berobat ke RS di
Pontianak dan menemui Dokter spesialis Penyakit Dalam. Pasien
kemudian berobat ke RS bayangkara Pontianak dan melakukan
peeriksaaan darah, USG perut dan feses lengkap. Setelah pemeriksaan
sudah keluar, pasien dianjurkan untuk melakukan kolonoskopi di RSDS.
g. Riwayat Sosioekonomi dan lingkungan.
Pasien bekerja swasta dan berdomisili di Sanggau. Pasien datang
berobat ke Pontianak sendirian dan saat ini tinggal di kos. Pasien memiliki
kebiasaan mengonsumsi makanan berminyak (gorengan) dan makanan
yang dibakar atau dipanggang hingga saat ini. Pasien berobat di RSDS
dengan BPJS.
2.4 Pemeriksaan Fisik (04 November 2023)
a. Pemeriksaan Tanda-Tanda Vital
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Frekuensi Pernapasan : 22 x/menit
Frekuensi Nadi : 79 x/menit
Suhu : 36,3°C
SpO2 : 99% (room air)

b. Status Gizi
Umur : 33 Tahun
BB : 89 kg
TB : 165 cm
BMI : 32,7 kg/m2 (Obesitas)

c. Status Generalis
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-) Sklera ikterik (-/-), Pupil bulat
isokor,RCL (+/+), RCTL (+/+)
Hidung : Sekret (-), Deviasi septum (-), Krepitasi (-)
Telinga : Sekret (-), Nyeri tekan tragus (-)
Mulut : Mukosa bibir lembab, gusi berdarah (-)
Leher : Deviasi Trakea (-), Pembesaran KGB (-), Peningkatan
JVP (-)
Tenggorokan : Faring hiperemis (-), Tonsil T1-T1
Thorax : Simetris, Bekas luka (-), Benjolan (-), Retraksi (-)

Cor :
Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis teraba di ICS V Linea midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas atas jantung terletak di linea sternalis kiri sela iga ke
2, Bataskiri jantung terletak di linea midklavikularis sela
iga ke-4, batas kanan jantungterletak di linea sternalis
kanan sela iga ke-4
Auskultasi : S1 S2 regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo :
Inspeksi : Pengembangan dada simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : Nyeri tekan (-), teraba massa (-), Fremitus kanan=kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : SND vesikuler (+/+). Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-), Pelebaran Vena (-), sikatrik (-), skin tag (+)
a/r RLQ
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani (+) di seluruh lapang perut
Palpasi : Supel, Massa (-), Nyeri tekan (+) ad regio seluruh
lapang perut, Hepatomegali (+), Splenomegali (-)
Ektremitas : Akral hangat, Capillary refill time (<2 detik), Edema (-)

2.5 Pemeriksaan Penunjang


1) Laboratorium
a. Darah lengkap
Pemeriksaan 19/10/2023 31/10/2023 04/11/2023 06/11/2023 Nilai Rujukan
DARAH RUTIN
Leukosit 13,76 x - 15,76 x 103/uL - 4,0 -12,0x
103/uL H H 103/uL
Eritrosit 4,74 x - 5,01 x 106/uL - 4,0–5,0x 106/uL
106/uL
Hemoglobin 13,4 g/dL - 14,1 g/dL - 12,0–14,0g/dL
Hematokrit 40,0 % - 42,6 % - 37 – 42 %
3 3
Trombosit 369 /uL - 446 /uL - 150 – 450 x
103/uL
MCV 84,6 fL - 85,0 fL - 80 –100fL
MCH 28,2 pg - 28,1 pg - 27 – 34 pg
MCHC 33,4 g/dL - 33,1 g/dL - 31– 37 g/dL
KIMIA KLINIK
GDS - - 64 mg/dL - 70-150 mg/dL
GDP 106 mg/dL - - - 70 – 100 mg/dL
H
GD2PP 141 mg/dL - - - 80 -150 mg/dL
HB1A1C - 5,2 % - - 4,0 – 6,5 %
Ureum - - 31,2 mg/dL - 10,0-50,0
mg/dL
Kreatinin - - 0,66 mg/dL - 0,60-1,10
mg/dL
SGOT 14 U/L - - 23,6 U/L 0-37 U/L
SGPT 21 U/L - - 22,7 U/L 0-42 U/L
Kolesterol total 198 mg/dL - - 192 mg/dL < 200 mg/dL
Kolesterol HDL 39,0 mg/dL - - 22,6 mg/dL > 65 mg/dL
L
Kolesterol LDL 117,0 mg/dL - - 124 mg/dL < 100 mg/dL
H
Trigliserida 120,0 mg/dL - - 228 mg/dL < 150 mg/dL
H
ELEKTROLIT
Na+ - - - 141,50 135,0 – 145,0
mmol/L
K+ - - - 3,90 mmol/L 3,50 – 5,10
Cl- - - - 103,66 96,0 – 106,0
mmol/L
Ca - - - 1,13 mg/dL 1,12 – 1,32
IMUNOLOGI
Anti HCV - - - Non Reaktif Non Reaktif
HbsAg - - - Non Reaktif Non Reaktif
Anti HIV I - Non Reaktif - Non Reaktif Non Reaktif
HORMON
FT4 1,01 ng/dL - - - 0,82 – 1,63
ng/dL
TSH 1,268 IU/mL - - - 0,38 – 4,31

b. Pemeriksaan feses (31/10/2023)


Parameter Hasil Nilai Rujukan
31/10/2023
Salmonella Typhi O Reaktif 1/400 H Non Reaktif
Salmonella Typhi H Reaktif 1/200 H Non Reaktif
Salmonella Paratyphi AH Non Reaktif Non Reaktif
Salmonella Paratyphi BH Non Reaktif Non Reaktif
Salmonella Paratyphi CH Non Reaktif Non Reaktif
Salmonella Paratyphi AO Reaktif 1/400 H Non Reaktif
Salmonella Paratyphi BO Non Reaktif Non Reaktif
Salmonella Paratyphi CO Non Reaktif Non Reaktif
19/10/2023
Warna Coklat
Konsistensi Lembek
Lendir Negatif Negatif
Darah Negatif Negatif
Leukosit 0-1 sel / LPB H Negatif
Eritrosit 1-3 sel / LPB H Negatif
Amoeba Negatif Negatif
Telur Cacing Negatif Negatif
Sisa Makanan Negatif Negatif
Lain – lain Negatif Negatif
Darah Samar Negatif Negatif

c. Pemeriksaan urin (19/10/2023)


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
MAKROSKOPIK
Warna urin Kuning -
Kekeruhan urin Jernih -
KIMIA URIN
Glukosa Urin Negatif Negatif
Bilirubin Urin Negatif Negatif
Keton Urin Negatif Negatif
Berat Jenis Urin 1,025 1,003 – 1,035
Blood Urin Negatif Negatif
pH Urin 5,5 4,5 – 8,0
Protein Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif 0,1 – 0,9
Parasit Negatif Negatif
Nitrit Urin Negatif Negatif
Leukosit esterase Negatif Negatif
MIKROSKOPIS
Leukosit 0/LPB 0-5
Eritrosit 0/LPB 0–2
Silinder Negatif Negatif

Epitel Gepeng 6 – 8 /LPK < 10

Epitel Bulat 0 /LPK < 10

Kristal Negatif Negatif

Lain – lain Negatif Negatif

2) Radiologis
USG Abdomen (19/10/2023)
a) Liver : Tak membesar, permukaan rata, tepi tajam, parenkim echo
meningkat homogen, tak tampak mass/ nodul. Sistem porta dan
bilier baik
b) Kandung empedu : Terisi cukup, dinding tak menebal, tak tamak
batu
c) Spleen dan pancreas : besar bentuk baik, parenkim echo normal
d) Ginjal kanan dan kiri : besar bentuk baik, sistem pelviokalises tak
melebar, differensiasi kortex dan medulla baik, tak tampak batu/
cyst
e) Uterus : Besar bentuk baik, parenkim homogen, tak tampak
massa/ cyst
f) Bulli : Terisi cukup, tak tampak batu
Tak tampak mass / cairan bebas intraabdomen
Appendix tidak tervisualisasi
Kesan : Sesuai fatty liver

2.6 Diagnosis
a. Diare kronik ec susp Inflammatory Bowel Disease (IBD)
b. Dislipidemia
c. Fatty liver

2.7 Tatalaksana
1) Farmakologi
- IVFD Asering 20 tpm
- Antasida 3x1 po
- Attapulgite tab 3x2 jika BAB cair >3x
- Zinc tab 1x1
- Omeprazole 2x1 iv
- Tramadol iv
- Ketorolac Iv
- Ondansentron iv
- Mesalazin 2 x 250 mg
- Rhodium tab 2x1
- Ciprofloxacin 2x1 iv
- UDCA 2 x 250 mg
- Atorvastatin 1 x 20 mg

2) Non farmakologi
- Menghindari makan makanan dengan kadar asam tinggi dan
pedas
- Selalu gunakan air bersih, curi tangan dengan sabun, terutama
setelah BAB dan saat sebelum makan
- Banyak mengkonsumsi makanan berserat seperti sayur
- Banyak minum air putih
- Mengurangi konsumsi makanan berlemak dan yang dipanggang

2.8 Saran pemeriksaan


1) Foto polos abdomen
2) Colonoscopy
3) Histopatology (secara biopsi perendoskopik)
4) Darah rutin
5) LED dan CRP
6) Profil lipid, SGOT, SGPT, ALP, GGT

2.9 Prognosis
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Functionam : dubia ad malam
Ad Sanationam : dubia ad malam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Inflammatory Bowel Disease


3.1.1 Definisi1
Hematuria adalah kondisi abnormal yang ditandai oleh adanya
eritrosit di dalam urin.Hematuria terbagi menjadi dua yaitu hematuria
makroskopis dan mikroskopis. Hematuria makroskopis (gross
hematuria) yaitubila kondisi hematuria menyebabkan warna air kemih
berubah menjadi merah atau cokelat keruh. Hematuria dapat terlihat
dari konsentrasi serendah 1 mL darah per liter urin. Hematuria
mikroskopik yaitu bila hematuria tidak mengubah warna air kemih dan
terdeteksi secara mikroskopik atau dengan carik celup air kemih.Pseudo
hematuria merupakan urine berwarna merah atau berwarna kecoklatan
di mana bukan disebabkan oleh sel-sel darah merah.
3.1.2 Etiologi1
Hematuria biasanya disebabkan oleh penyakit genitourinari
meskipun penyakit sistemik juga dapat bermanifestasi dengan adanya
darah dalam urin. Hematuria dibagi menjadi hematuria glomerulus dan
non-glomerulus untuk membantu evaluasi dan
penatalaksanaan.Beberapa penyebab glomerulus yang umum adalah:
a. Sindrom Alport
b. Penyakit membran basal tipis
c. Glomerulonefritis pasca streptokokus
d. Nefropati IgA
e. Glomerulonefritis imun Pauci
f. Nefritis lupus
g. Glomerulonefritis membranoproliferatif
h. Sindrom Goodpasture
i. Sindrom nefrotik
j. Penyakit ginjal polikistik
Penyebab non-glomerulus meliputi:
a. Febrile illness
b. Haid
c. Nefrolitiasis
d. Sistitis, uretritis, prostatitis
e. Keganasan: karsinoma sel ginjal, kanker kandung kemih, kanker
prostat
f. Cedera mukosa genitourinari akibat instrumentasi
g. Trauma
h. Kecenderungan perdarahan: trombositopenia, koagulopati,
penggunaan pengencer darah, kelainan hematologi seperti anemia sel
sabit.
Gambar 1.Etiologi Berdasarkan Asal Organ Perdarahan

Gambar 2. Penyebab gangguan warna pada urin3


3.1.3 Patofisiologi2
Hematuria sering terjadi akibat perubahan struktural akibat
cedera, infeksi, atau massa. Integritas membran basal glomerulus dapat
rusak akibat proses imunologi dan/atau inflamasi. Beberapa obat, batu,
dan bahan kimia dapat menyebabkan erosi pada permukaan mukosa
saluran kemih, yang menyebabkan hematuria.
Patofisiologi hematuria bergantung lokasi anatomik saluran
kemih tempat perdarahan berlangsung. Bila perdarahan berasal dari
nefron dinamakan hematuria glomerulus. Pada glomerulonefritis,
terjadi kerusakan di membran basal glomerulus yang menyebabkan
eritrosit berpindah dari kapiler glomerulus menuju kapsula
Bowman.Eritrosit yang melewati tubulus ginjal mengalami perubahan
bentuk menjadi dismorfik dan ketika perdarahan glomerulus bertambah,
terbentuk silinder eritrosit di dalam tubulus ginjal.Keberadaan eritrosit
dismorfik dan atau silinder eritrosit di dalam air kemih menandakan
hematuria glomerulus. Pada bagian tebal lengkung Henle asenden
disekresikan mukoprotein yang disebut uromodulin atau protein Tamm
Horsfall.Pada air kemih yang pekat dan asam (pH<6), mukoprotein ini
akan berubah menjadi substansi gel yang akan mengambil bentuk
lumen tubulus.Semua sel dan protein dalam filtrat akanterperangkap
saat pembentukan silinder.Pembentukan silinder akan berakhir saat
sampai di tubulus kolektivus. Eritrosit yang terperangkap dalam protein
Tamm-Horsfall akan membentuk silinder eritrosit. Komponen edaran
lainnya yang secara normal ditahan oleh membrane basal glomerulus,
seperti protein plasma, juga di dalam air kemih, sehingga hematuria
glomerulus terdapat bersamaan dengan proteinuria. Keberadaan eritrosit
dismorfik, proteinuria (>2 g/hari), atau silinder eritrosit meningkatkan
kecurigaan ke arah hematuria yang berasal dari glomerulus. Hematuria
glomerulus ditandai keberadaan silinder eritrosit serta eritrosit
dismorfik >40% dengan pola polimorfik pada sedimen air kemih.
Hematuria nonglomerulus ditandai oleh keberadaan eritrosit dismorfik
<40% dengan pola monomorfik dan tidak dijumpai silinder eritrosit di
sedimen air kemih.
Gambar 3.Struktur barrier filtrasi glomerulus dan keluarnya sel darah
merah yang menyebab kan hematuria.
CL: Capillarylumen
BC: Bowman’scapsule
E: EndothelialCell
GBM: Glomerular basement membrane
Gly: Glycosaminoglicans
M: Mesangium
P: Podocyte
RBC: Redbloodcell
SD: Slitdiaphragm
SP: SubpodocyteSpace
TC: Tubularcell
US: Urinaryspace

3.1.4 Diagnosis
Hematuria bisa menyakitkan atau tidak menimbulkan rasa sakit.
Pasien dapat menunjukkan gejala yang berbeda-beda, seringkali mereka
melihat urin berwarna merah atau gelap, atau mengeluarkan gumpalan
darah. Gejala terkait meliputi:1
a. Sakit pinggang
b. Sakit perut bagian bawah
c. Buang air kecil yang menyakitkan
d. Urgensi atau frekuensi buang air kecil
e. Demam
f. Menstruasi aktif
g. Melewati batu atau bubur jagung
h. Infeksi tenggorokan atau kulit baru-baru ini
i. Nyeri sendi, sariawan, ruam
j. Hemoptisis
k. Kaki bengkak
l. Gangguan pendengaran
m. Massa sayap
n. Gejala konstitusional seperti penurunan berat badan, anoreksia,
cachexia
o. Sakit punggung
p. Pasien harus ditanyai tentang episode sebelumnya dan riwayat
hematuria dalam keluarga. Riwayat medis dan riwayat prosedur
terkini sangat penting dalam evaluasi. Obat-obatan harus ditinjau
dengan cermat. Pastikan riwayat merokok dan penggunaan narkoba
lainnya.
Pemeriksaan fisik yang lengkap dapat membantu membuat diagnosis
banding yang valid. Tanda-tanda penting yang harus diperhatikan
adalah:
a. Demam
b. Hipertensi
c. Edema periorbital
d. Adanya pucat, ikterus, sariawan atau ruam
e. Gangguan pendengaran
f. Limfadenopati generalisata
g. Pembengkakan sendi
h. Massa sayap
i. Ginjal kistik yang membesar dan teraba
j. Nyeri tekan pada sudut costovertebral
k. Kelembutan kemaluan
l. Keluarnya cairan atau robekan uretra
m. Edema ekstremitas bawah
Anamnesis yang menyeluruh dan pemeriksaan fisik yang terfokus dapat
menghasilkan evaluasi yang tepat dan penatalaksanaan selanjutnya.

Gambar 4. Assessment pasien hematuria4


Gambar 5. Tahapan diagnostik untuk analisis pasien pengidap hematuria
tanpa gejala2
Urinalisis adalah tes awal dan paling berguna untuk dilakukan.
Meskipun dipstick urin tersedia secara luas dan dapat dilakukan dengan
cepat, tes ini dapat memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu
dan memerlukan analisis urin dan mikroskop urin untuk menegakkan
diagnosis. Kehadiran 3 atau lebih sel darah merah per High Power Field
pada sedimen urin didefinisikan sebagai hematuria mikroskopis
meskipun tidak ada batas bawah hematuria yang "aman". Penampilan
urin, pH, keberadaan protein, sel darah putih, nitrit, leukosit esterase,
kristal, dan RBC casts sangat membantu. Spesimen urin kotor dengan
sel darah putih yang signifikan dan nitrit serta esterase leukosit positif
menunjukkan adanya infeksi saluran kemih dan kemungkinan penyebab
hematuria. Kehadiran protein berlebihan dengan hematuria mendukung
glomerulonefritis.3
Mikroskop urin memeriksa sedimen urin untuk mengetahui
morfologi sel darah merah, dan RBC casts adalah satu-satunya tes
paling signifikan yang dapat membedakan antara perdarahan
glomerulus dan non-glomerulus. Sel darah merah dismorfik >25% per
Bidang Daya Tinggi sangat spesifik (>96%) dengan nilai prediksi
positif yang tinggi (94,6%) namun tidak terlalu sensitif (20%) untuk
Glomerulonefritis. RBC casts jarang ditemukan tetapi hampir bersifat
diagnostik untuk patologi Glomerulus.
Parameter ginjal harus diperoleh untuk menyingkirkan
kemungkinan cedera ginjal akut.
Pencitraan: Pencitraan awal bisa berupa USG ginjal, ureter, dan
kandung kemih. Ini dapat membantu dalam mendiagnosis penyebab
anatomi hematuria seperti batu ginjal atau kandung kemih atau massa
ginjal. Ini juga dapat mendeteksi kista ginjal. CT scan abdominopelvis
dengan atau tanpa kontras merupakan modalitas pilihan untuk
mendeteksi batu ginjal dan kelainan morfologi ginjal lainnya. MRI
perut dan panggul adalah modalitas lain yang berguna jika CT scan
merupakan kontraindikasi atau tidak membantu.
Sistoskopi: Setelah menyingkirkan infeksi saluran kemih dan
mendapatkan gambaran negatif pada ginjal dan ureter untuk mendeteksi
kelainan apa pun, sistoskopi oleh ahli urologi adalah langkah
berikutnya dalam evaluasi hematuria. Ini dapat mendeteksi karsinoma
urothelial, peradangan dinding kandung kemih atau penebalan mukosa.
Ini juga bisa menjadi terapi untuk menghilangkan batu kandung kemih.4
Sitologi Urine dapat dilakukan untuk mendeteksi sel-sel ganas
atau untuk mendeteksi karsinoma urothelial, namun ini bukan pengganti
sistoskopi.
Biopsi ginjal: Standar emas untuk mendiagnosis penyebab
hematuria glomerulus adalah biopsi ginjal oleh ahli nefrologi atau ahli
radiologi intervensi.[5] Adanya sel darah merah dismorfik dan RBC
casts harus diikuti dengan biopsi ginjal. Karena ini merupakan tes
invasif, tes ini dapat menyebabkan komplikasi seperti pendarahan yang
mengancam jiwa, namun frekuensi kejadiannya rendah. Sampel ginjal
yang memadai adalah 2-3 inti biopsi dengan jumlah glomeruli yang
cukup. Mikroskop cahaya, mikroskop elektron, dan imunofluoresensi
dilakukan untuk melihat struktur glomerulus untuk mendiagnosis
glomerulonefritis dan mendeteksi jenis tertentu.
3.1.5 Tatalaksana1
Penatalaksanaan bergantung pada etiologi yang mendasarinya.
Untuk hematuria intermiten asimtomatik dengan pencitraan negatif,
fungsi ginjal stabil, dan tidak adanya proteinuria, observasi mungkin
merupakan pendekatan yang masuk akal. Hematuria yang nyata
membutuhkan penanganan segera. Stabilitas hemodinamik harus
terjamin terlebih dahulu. Kelainan hematologi apa pun harus diperbaiki
dengan produk darah, transfusi, atau obat-obatan. Dalam kasus yang
jarang terjadi, emboli yang dipandu radiologi intervensi diperlukan
untuk menghentikan perdarahan yang mengancam jiwa dari pembuluh
darah ginjal atau untuk sistitis hemoragik yang sulit disembuhkan
dengan pengobatan konvensional.
a. Penyebab hematuria non-Glomerular: Infeksi saluran kemih akut
diobati dengan antibiotik oral atau intravena selama 7-14 hari.
Penatalaksanaan nefrolitiasis bersifat suportif, dengan pengendalian
nyeri dan pemberian cairan. Ukuran dan lokasi batu ginjal
memerlukan penanganan lebih lanjut.Kebanyakan batu <0,5 cm
keluar secara spontan. Batu dengan gejala yang lebih besar mungkin
memerlukan litotripsi atau nefrostomi. Karsinoma sel ginjal yang
terbatas pada ginjal memerlukan nefrektomi. Kanker metastatik
memerlukan penentuan stadium dan penatalaksanaan lebih lanjut.
Karsinoma sel transisi juga memerlukan penentuan stadium yang
tepat dan pendapat ahli untuk pengobatan tambahan.
b. Penyebab hematuria glomerulus: Beberapa penyakit keturunan
seperti Alport, penyakit membran basal tipis, dan penyakit ginjal
polikistik memerlukan pemantauan fungsi ginjal, dan tindak lanjut
yang teratur. Glomerulonefritis pasca-streptokokus memerlukan
perawatan suportif. Pengobatan nefropati IgA tergantung pada
derajat proteinuria dan fungsi ginjal. Kreatinin yang relatif normal
dengan proteinuria minimal dapat ditangani secara konservatif.
Gambaran risiko tinggi termasuk kreatinin yang memburuk,
proteinuria persisten 1000mg/hari, dan penyakit aktif pada biopsi
ginjal merupakan indikasi untuk mempertimbangkan terapi
imunosupresif terutama steroid. Nefritis lupus secara histologis
diklasifikasikan menjadi enam jenis untuk memandu pengobatan.
Sindrom nefrotik dan etiologi lainnya memerlukan pendapat ahli
untuk penatalaksanaan lebih lanjut.
3.2 Chronic Kidney Disease
3.2.1 Definisi
Chronic kidney disease (CKD) didefinisikan sebagai kelainan
struktur atau fungsi ginjal yang terjadi > 3 bulan yang berimplikasi pada
kesehatan.
Kriteria penyakit ginjal kronik:
a. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan,
berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa
penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR), dengan manifetasi
1) Kelainan patologis
2) Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam
komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan
(imaging test)
b. Laju filtrasi glomerulus (GFR) kurang dari 60ml/menit/1,73m 2
selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan,
dan GFR sama atau lebih dari 60ml/menit/1,73m 2, tidak termasuk
kriteria penyakit ginjal kronik.
Tabel 1. Kriteria CKD5

3.2.2 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronis menurut KDIGO pada tahun
2012 meliputi kriteria penurunan GFR dan peningkatan rasio
albuminuria dan serum kreatinin. Klasifikasi penyakit ginjal kronis
menurut KDIGO bertujuan untuk menentukan penanganan pasien, dan
urgensi penanganan dari penyakit ginjal kronis tersebut.
Kriteria pertama yang digunakan KDIGO untuk menentukan
urgensi penyakit ginjal kronis adalah GFR, GFR (Glomerulus Filtration
Rate) merupakan kemampuan glomerulus ginjal untuk memfiltrasi
darah.GFR dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault
sebagai berikut:

( )
ml
mnt ( 140−umur ) x berat badan
LFG = ∗¿
1 , 73 m ²
72 x kreatini plasma ( )
mg
dl
*) Pada perempuan dikalikan 0,85
Hasil GFR diinterpretasikan dengan table berikut:
Tabel 2. Kategori GFR pada CKD

Selanjutnya dilakukan pengukuran albuminuria dan serum


kreatinin untuk mengetahui kategori penyakit ginjal kronis berdasarkan
rasio albuminuria dan serum kreatinin. Kategori menurut KDIGO 2012
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3. Kategori Albuminuria pada CKD

Dengan mengkombinasikan kedua kriteria diatas dapat


dimasukkan ke cross-table untuk mengetahui resiko referral untuk
pasien ginjal kronis dan urgensi penanganan penyakit ginjal kronis.
Cross table untuk referral dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 4. Perujukan berdasarkan GFR dan Albuminuria.


Sedangkan untuk grading penyakit ginjal kronis itu sendiri
hanya menggunakan GFR dengan beberapa kriteria tambahan yang
dapat dilihat pada tabel dibawah:
Tabel 4. Grading Penyakit Ginjal Kronis Menggunakan GFR dan
Kriteria Tambahan.5
Grade GFR Kategori Keterangan
1 >= 90 Normal atau sedikit Disertai dengan
berkurang albuminuria yang
persisten
2 60-89 Penurunan ringan Disertai dengan
peningkatan serum
kreatinin dan
albuminuria
3 30-59 Penurunan sedang
4 15-29 Penurunan berat Persiapan untuk terapi
ginjal
5 <15 Gagal ginjal/end stage Terapi ginjal permanen
renal disease (hemodialisa) atau
transplantasi ginjal

3.2.3 Epidemiologi
Angka prevalensi penyakit ginjal kronis di Indonesia pada tahun
2018 cukup tinggi yaitu mencapai 3.8 permil populasi Indonesia
menderita penyakit ginjal kronis yang terdiagnosis dokter. Angka ini
lebih tinggi dibandingkan prevalensi penyakit ginjal kronis pada tahun
2013 yaitu 2 permil di seluruh Indonesia. Prevalensi tertinggi terdapat
pada provinsi Kalimantan utara yaitu sebanyak 6.4 permil sedangkan
prevalensi terendah di Indonesia terdapat pada provinsi Sulaswesi Barat
pada angka 1.8 permil. Penderita penyakit ginjal kronis tersering berada
pada umur 65-74 tahun, lebih banyak terjadi pada laki-laki. Persentase
penderita penyakit ginjal kronis yang sedang menjalani hemodialisa di
Indonesia juga cukup rendah dimana hanya 19.3% penderita penyakit
ginjal kronis menjalani terapi hemodialisa.
Gambar 5. Prevalensi Penyakit Ginjal Kronis Permil Berdasarkan
Diagnosis Dokter pada Penduduk Umur ≥15 Tahun Meurut Provinsi,
2013-2018.

Gambar 6. Prevalensi Permil Penyakit Ginjal Kronis Berdasarkan


Diagnosis Dokter pada Umur ≥ 15 Tahun Menurut Karakteristik, 2018.
Di dunia, sebanyak 1 dari 10 orang mempunyai penyakit ginjal
kronis. Daerah-daerah seperti Afrika, Amerika, Asia Selatan, dan Asia
Tenggara merupakan daerah yang paling sering ditemukannya penyakit
ginjal kronis. Penyakit ginjal kronis merupakan penyebab dari 956.000
kematian di seluruh dunia pada tahun 2013. Pada tahun 2016, Penyakit
ginjal kronis terdapat pada sekitar 753 juta orang di seluruh dunia yang
meliputi 336 juta pada pasien laki-laki dan 417 juta pada pasien
perempuan. Di seluruh dunia terdapat 1,2 juta kematian per tahun akibat
penyakit ginjal kronis, Penyebab tersering penyakit ginjal kronis adalah
Hipertensi pada 550 ribu pasien, diabetes melitus pada 418 ribu pasien,
dan glomerulonephritis pada 238 ribu pasien.4,6
3.2.4 Faktor Risiko
Kondisi-kondisi yang meningkatkan risiko terjadinya CKD
adalah sebagai berikut:
a. Penyakit ginjal monogenik (misalnya, penyakit ginjal polikistik
autosomal dominan, podositopati yang menyebabkan sindrom
nefrotik resisten steroid, penyakit Fabry, sindrom Alport, dan
pelengkap seperti sindrom hemolitik-uremik atipikal)
b. Kelainan kongenital (misalnya, anomali kongenital ginjal dan
saluran kemih dan refluks vesiko-ureter)
c. Diabetes melitus tipe 1 atau tipe 2*
d. Hipertensi arteri yang tidak terkontrol dengan baik
e. Obesitas*
f. Paparan yang lama terhadap nefrotoksin* (misalnya, kemoterapi
untuk pengobatan kanker, penghambat pompa proton, NSAID, agen
antimikroba, herbal yang terkontaminasi dan makanan nabati, bahan
kimia pertanian, logam berat dan iradiasi)
g. Iklim (paparan panas yang berlebihan dan dehidrasi)
h. Infeksi dan peradangan kronis* (misalnya, HIV, virus hepatitis,
malaria, infeksi bakteri, dan penyakit autoimun)
i. Keganasan* (misalnya, multiple myeloma)
j. Episode cedera ginjal akut*
k. Endowment nefron yang rendah saat lahir (karena berat lahir rendah
atau dismaturitas janin)
l. Uropati obstruktif
m. Menunjukkan faktor risiko yang juga mempengaruhi perkembangan
penyakit ginjal kronis, yang juga meliputi: hipertensi arteri,
proteinuria, uropati obstruktif, merokok, hiperhomosisteinemia dan
hiperurisemia.7
3.2.5 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung
pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan
selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa
ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang
masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang
diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors.
Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses
adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini
akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan
aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan
kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifiasi
tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron,
sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth
factor β (TGF- β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap
terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria,
hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas
interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus
maupun tubulointerstisial.8
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi
kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan dimana
basal GFR masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara
perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif,
yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada GFR sebesar 60%, pasien masih belum merasakan
keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Sampai pada GFR sebesar 30%, mulai terjadi keluhan
pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang
dan penurunan berat badan. Sampai pada GFR di bawah 30%, pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena
infeksi seperti infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan
keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada GFR
dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius,
pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement
therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini
pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.9
Gambar 7. Patofisiologi CKD
3.2.6 Manifestasi Klinis
Penyakit ginjal kronis secara umum pada stadium awal tidak
terdapat gejala yang khas, namun penyakit ginjal kronis stadium awal
hanyak dapat dideteksi dengan peningkatan serum kreatinin dan
proteinuria. Namun jika fungsi ginjal terus menerus mengalami
penurunan akan menimbulkan gejala-gejala sebagai berikut:
a. Peningkatan tekanan darah akibat kelebihan cairan dan produksi dari
hormone vasoaktif yang diekskresikan oleh ginjal melalui sistam
Renin-Angiotensin-Aldosterone-System (RAAS), menyebabkan
resiko penderita penyakit ginjal kronis menderita hipertensi atau
penyakit jantung kongestif
b. Akumulasi urea pada darah yang menyebabkan uremia, gejala
uremia dapat berupa pericarditis, ensefalopati, gastropati. Akibat
jumlah urea yang tinggi dalam darah, urea dapat diekskresikan
melalui kelenjar keringat dalam konsentrasi tinggi dan mengkristal
pada kulit yang disebut dengan “uremic frost”
c. Kalium terakumulasi dalam darah sehingga menyebabkan
hiperkalemi yang mempunyai gejala-gejala seperti malaise, hingga
aritmia jantung. Hiperkalemi dapat terjadi jika GFR dari ginjal
mencapai <25 ml/min/1.73mm3 dimana kemampuan ginjal
mengekskresikan kalium melalui berkurang
d. Penurunan produksi eritropoietin yang dapat menyebabkan
penurunan produksi sel darah merah yang dapat menyebabkan
anemia, eritropoietin diproduksi di jaringan interstitial ginjal, dalam
penyakit ginjal kronis, jaringan ini mengalami nekrosis sehingga
produksi eritropoietin berkurang
e. Overload volume cairan yang disebabkan oleh retensi natrium dan
cairan pada ginjal sehingga dapat menyebabkan edema ringan
hingga edema yang mengancam nyawa misalnya pada edema paru
f. Hyperphosphatemia yang disebabkan oleh berkurangnya ekskresi
phosphate oleh ginjal. Hiperphospatemia meningkatkan resiko dari
penyakit kardiovaskular, dimana phosphate merupakan stimulus dari
kalsifikasi vaskular
g. Hipokalsemia yang disebabkan oleh stimulasi pembentukan FGF-23
oleh osteosit dibarengi dengan penurunan masa ginjal. FGF-23
merupakan inhibitor dari enzim pembentukan vitamin D yang secara
kronis akan menyebabkan hipertropi kelenjar paratiroid, kelainan
tulang akibat panyakit ginjal, dan kalsifikasi vaskular.
h. Asidosis metabolic yang disebabkan oleh akumulasi dari fosfat dan
urea. Asidosis juga dapat disebabkan oleh penuruan kemampuan
produksi ammonia pada sel-sel ginjal.
i. Anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh beberapa factor yaitu:
peningkatan inflamasi yang disebabkan oleh akumulasi urea,
penurunan eritropoietin dan penurunan fungsi sumsum tulang.10,11
3.2.7 Diagnosis
a. Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
1. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus,
infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi,
hiperurikemi, Lupus Erimatosus Sistemik (LES), dan lain
sebagainya.
2. Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload),
neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-
kejang sampai koma.
3. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi
renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan
elektrolit (sodium, kalium, khlorida).
b. Gambaran Laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
1. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
2. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan
kreatinin serum, dan penurunan GFR yang dihitung
mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum
saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
3. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar
hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau
hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolic
4. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria,
cast, isostenuria
c. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
1. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak.
2. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak
bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran
terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang
sudah mengalami kerusakan.
3. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan
indikasi
4. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu
ginjal, kista, massa kalsifikasi
5. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjaan bila ada
indikasi.
d. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada
pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana
diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan
histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan
terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan.
Biopsi ginjal indikasi-kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran
ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik,
hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan
pembekuan darah, gagal nafas dan obesitas.8
Gambar 8. Diagnosis CKD.12

3.2.8 Komplikasi
Secara umum komplikasi pada penyakit ginjal kronis
disebabkan oleh berkurangnya kemampuan ginjal untuk
mengekskresikan zat-zat berlebihan dalam tubuh. Zat-zat ini dapat
berupa: urea, kalium, fosfat. Penyebab komplikasi pada ginjal lain
adalah berkurangnya produksi darah akibat kematian jaringan ginjal
yang ireversibel yang menyebabkan produksi eritropoietin yang
berkurang. Penyakit-penyakit yang dapat timbul akibat penyakit ginjal
kronis adalah sebagai berikut:
a. Sindrom Uremia: sindrom uremia disebabkan oleh akumulasi urea
dalam darah. Akumulasi ini disebabkan oleh berkurangnya
kemampuan ginjal untuk mengekskresikan urea sehingga urea
diabsorbsi kembali ke peredaran darah dan terakumulasi di darah.
Penyakit-penyakit yang dapat ditimbulkan oleh uremia antara lain:
1) Sistem saraf pusat: kelelahan, gangguan memori, insomnia, nyeri
kepala, kebingungan, ensefalopati (infeksi pada system saraf
pusat)

2) Sistem saraf perifer: keram, neuropati perifer

3) Gastrointestinal: anorexia, mual/muntah, gastroparesis, ulkus


gastrointestinal

4) Hematologi: anemia, gangguan hemostasis

5) Kardiovaskular: hipertensi, atherosclerosis, penyakit arteri


coroner, pericarditis, edema pulmonal

6) Kulit: gatal-gatal, kulit kering, uremic frost (sekresi urea yang


berlebihan melalui kelenjar keringat)

7) Nutrisi: malnutrisi, berat badan menurun, katabolisme otot

b. Hypoalbuminemia: hipoalbumin pada darah disebabkan oleh


ekskresi albumin yang berlebihan oleh ginjal yang ditandai dengan
proteinuria pada urinalisis. Secara umum gejala albuminuria ditandai
dengan edema pada wajah atau tungkai, dapat terjadi juga edema
yang mengancam nyawa misalnya seperti edema paru
c. Gagal Jantung Kongestif: penyakit ini juga disebut “high-output
heart failure” penyakit ini pada penyakit ginjal kronis disebabkan
oleh tingginya volume darah akibat retensi cairan dan natrium pada
ginjal. Peningkatan volume darah menyebabkan jantung tidak dapat
memompa secara adekuat dan menyebabkan gagal jantung.
d. Anemia: Anemia pada penyakit ginjal kronis secara umumnya
disebabkan oleh penurunan produksi eritropoietin dalam ginjal
dimana eritropoietin berfungsi sebagai hormone untuk maturasi sel
darah merah. Mekanisme lain anemia adalah berkurangnya absorpsi
besi dan asam folat dari pencernaan sehingga terjadi defisiensi besi
dan asam folat.
e. CKD-MBD (Chronic Kidney Disease-Mineral Bone Disorder):
merupakan kelainan tulang yang disebabkan oleh penyakit ginjal
kronis yang disebabkan oleh bebebrapa hal: 1) Kelainan pada
mineral seperti kalsium, fosfat, dan kelainan pada hormone
paratiroid serta vitamin D; 2) Kelainan pada pembentukan tulang; 3)
Kalsifikasi sel-sel vaskular13,14
3.2.9 Tatalaksana
Penatalaksanaanpenyakitginjalkronikmeliputi:8
a. Terapispesifikterhadap penyakitdasarnya
b. Pencegahandanterapiterhadakondisikomorbid (comorbidcondition)
c. Memperlambatpemburukan(progression)fungsiginjal
d. Pencegahandanterapiterhadappenyakitkardiovaskular
e. Pencegahandanterapiterhadapkomplikasi
f. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi
ginjalPerencanaantatalaksana(actionplan)PenyakitGinjalKroniksesua
idenganderajatnya,dapat dilihatpadatabel8.
Tabel 5. Rencana tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai
denganDerajatnya6
Derajat GFR(ml/mnt/1,73m2) Rencanatatalaksana
1 ≥90 Terapipenyakitdasar,kondisikomorbid
,evaluasipemburukan(progression)fun
gsiginjal,
memperkecilresikokardiovaskular
2 60 – 89 Menghambatpemburukan
(progression)fungsiginjal
3 30 – 59 Evaluasidanterapikomplikasi
4 15 – 29 Persiapanuntuk terapi pengganti
ginjal
5 <15 Terapipenggantiginjal

Penatalaksanaansecarafarmakologisdibagiberdasarkanfokuskont
rolpenyakityangmendasarimaupunkomplikasinya sebagai berikut:5

1) Kontroltekanandarah
a) PadaorangdenganCKD,harusmengontroltekanansistolik<140mm
Hg(dengankisarantarget120-
139mmHg)dantekanandiastolic<90mmHg.
b) Pada orang dengan CKD dan diabetes dan juga orang dengan
ACR 70mg/mmol atau lebih (kira-kira ekuivalent dengan PCR
100 mg/mmolatau lebih, atau proteinuria 1 g/24 jam atau lebih),
diharuskan untukmenjaga tekanan sistolik <130 mmHg (dengan
kisaran target 120-129mmHg)dan tekanan diastolic <80 mmHg5
2) Pemilihanagen antihipertensi
Firstline:ACEinhibitor/ARB
ACEinhibitor /ARBdiberikanpada:
- PadaCKDdengandiabetesdanACRlebihdari2,5mg/
mmol(pria)ataulebih dari 3,5 mg/mmol (wanita), tanpa adanya
hipertensi atau
stadiumCKD.Note:PerbedaankeduabatasACRberbedadiberikand
isiniuntukmemulai pengobatan ACE Inhibitor pada orang CKD
dan proteinuria.Potensi manfaat ACE Inhibitor dalam konteks
ini sangat meninkat
jikaseseorangjugamemilikidiabetesdanhipertensidandalamkeadaa
nini,sebuahbatasyanglebih rendah diterapkan.

- CKD pada non diabetic dengan hipertensi dan ACR 30


mg/mmol
ataulebih(kira-kiraekuivalendenganPCR50mg/mmolataulebih,pr
oteinuria 0,5gr/24 jamatau lebih)

- CKD pada non diabetic dan ACR 70 mg/mmol atau lebih (kira-
kiraekuivalendenganPCR100mg/mmolataulebih,proteinuria1gr/2
4jamataulebih),tanpaadanyahipertensiataupenyakit
kardiovaskular
- CKDpadanondiabeticdenganhipertensidanACR<30mg/
mmol(kira-kiraekuivalentdenganPCR<50mg/
mmol),atauproteinuria<0,5gram/24 jam.
- Saat menggunakan ACE Inhibitor / ARBs, upayakan agar
mencapaidosisterapimaksimalyangmasihdapatditoleransisebelum
menambahkan terapisecond line(spironolakton).
- Hal-halyangperludiingatsaatmenggunakanACEInhibitor/ARBs

 OrangdenganCKD,harusmengetahuikonsentrasiserumpot
assiumdanperkiraanGFRsebelunmemulaiterapiACEInhib
itor/
ARBs.Pemeriksaainidiulangantara1sampai2minggusetela
hpenggunaanobat,dansetelahpeningkatandosis.
 TerapiACEInhibitor/
ARBstidakbolehdimulaiapabilakonsentrasiserumpotassiu
msecarasignifikan≥5,0mmol/L.
 Keadaan hyperkalemia menghalangi dimulainya terapi
tersebut,karenamenuruthasilpenelitiantersebutdapatmenc
etuskanhyperkalemia
 Obat-obat lain yang digunakan saat terapi ACE
Inhibitor/ARBsyangdapatjugamencetuskanhyperkalemia,
bukankontraindikasi penggunaan terapi tersebut, tapi
harus menjagakonsentrasiserum potassium
 Stopterapitesebut,bilakonsentrasiserumpotassiummening
kat>6,0 mmol/L atau lebihdan obat lainyang diketahui
dapatmeningkatkanhyperkalemiasudahtidak digunakan.
 DosisterapitidakbolehditingkatkanbilabatasGFRsaatsebel
umterapikurangdari25%ataukreatininplasmameningkatda
ribatas awal kurangdari 30%
 ApabilperubahanGFR25%ataulebihatauperubahankreatin
inplasma30%atau lebih:

o Investigasi adanya deplesi volume ataupun


penggunaanNSAIDs.
o Apabila tidak ada penyebab (yang diatas), stop
terapiataudosisharusditurunkandanalternativeanti
hipertensilainbisadigunakan5
3) Pemilihanstatindanantiplatelet
- Terapistatindigunakanuntukpencegahanprimerpenyakitkardiovas
kuler. Pada orang dengan CKD, penggunaannya pun
tidakberbeda
- Penggunaan statin pada orang dengan CKD merupakan
pencegahansekunderdaripenyakitkardiovaskular,terlepasdaribata
snilailipidnya.
- PenggunaanantiplateletpadaorangdenganCKDmerupakanpenceg
ahansekunderdaripenyakitkardiovaskular.CKDbukanmerupakan
kontraindikasi dari penggunaan aspirin dosis rendah,
tetapidokter harus memperhatikan adanya kemungkinan
perdarahan minorpadaorangdenganCKD yangdiberikan
antiplateletmultiple.5
4) Komplikasilainnya
- Metabolismetulangdanosteoporosis5
 Melakukan pengukuran rutin untuk kalsium, fosfat,
paratiroidhormone (PTH) dan level vitamin D pada orang
dengan CKDstadium1,2,3A/3B, tidakdirekomendasikan
 Melakukan pengukuran kalsium, fosfat, konsentrasi PTH
padaorangdengan CKDstadium 4dan 5 (GFR<30
ml/min/1,73m2)
 Memberikanbisphosphonate,apabilaadaindikasiuntukmen
cegahdanmengobatiosteoporosispadaorangdenganCKDst
adium 1,2,3A,3B
 Monitor konsentrasi serum kalsium dan fosfat pada orang
yangmendapatkanterapi1,25-
dihydroxycholecalciferol(calcitriol)atau1-alpha-
hydroxycholecalciferol (alacidol).
 PemberiansuplemenvitaminD:15

o CKD stadium 1,2,3A/3B diberikan


cholecalciferol atauergocalciferol
o CKDstadium4dan5diberikan1-alpha-
hydroxycholecalciferol(alfacalcidol)atau1,25-
dihydroxycholecalciferol (calcitriol)
5) Anemia5
- PenanganananemiapadaCKDharusdilakukansaatHb<11g/
dl(atau10g/dl padausia<2 tahun)
- MenentukanapakahanemiadisebabkanolehCKD
ataubukan.Dengan memperhatikanGFR <60ml/min/1,73 m2
- Anemiadefisiensibesi biasanyapada
 OrangdenganCKDstadium5denganlevelferritin<100mikr
ogram/L
 OrangdenganCKDstadium3dan4denganlevelferritin<100
mikrogram/L
- Penanganananemia5
 Suplementasieritropoetin

Terapiyangsangatefektifdanmenjanjikansetelahtersediam
enggunakanrecombinanthumaneritropoetinyangtelahdipr
oduksiuntukaplikasiterapi.Humanrecombinanteritropoeti
ndiberikanintravenakepadapasienhemodialisa,telah
dibuktikan menyebabkan peningkatan eritropoetin
yangdrastic.Halinimemungkinkanuntukmempertahankan
kadarHbnormal setelah transfuse darah berakhir pada
pasien
bilateralnefrektomiyangmembutuhkantransfuseregular.Se
jumlaheritropoetindiberikanIV3xseminggusetelahsetiapd
ialis,pasien regular hemodialysis merespon dengan
peningkatan
Htdengandosistertentudalambeberapaminggu.Percobaan
menunjukkan bahwa AB yang melawan materi
rekombinan
danmenghambatterhadappenggunaaneritropoetintidakterj
adi.

Efeksampingutamanyaadalahmeningkatkantekanandarah
danmemerlukandosisheparinyangtinggiuntukmencegahp
embekuanpadasirkulasiekstrakorporialselamadialysis.Pad
abeberapapasien,thrombosispadapembuluhdarahdapatterl
ihatPeningkatantekanandarahbukanhanyaakibatpeningkat
anviskositas darah tetapi juga peningkatan tonus vascular
perifer.Komplikasithrombosisjugaberkaitandengantinggi
nyaviskositasarahbagaimanapunsedikitnyasatukelompoki
nvestigator terlihat peningkatan trombosit. Penelitian in
vitromenunjukkan efek stimulasi human recombinant
eritropoetinpadadiferensiasimegakariosit.Lalutrombosito
sismungkinmempengaruhihiperkoagulabilitas.Konsentras
iserumpredialisis ureum kreatinin yang meningkat dan
hyperkalemiadapatmengakibatkanberkurangnyaefisiensi
dialyzerkarenatingginya Ht dan peningkatan nafsu
makan karena peningkatankeadaan umum. Kecepatan
eritropoesis yang dipengaruhi oleheritropoetin dapat
menimbulkan defisiensi besi khususnya
padapasiendengan peningkatanblood loss.15

 IndikasiterapiEPO:
BilaHb<10g/
dl,Ht<30%padabeberapakalipemeriksaandanpenyebablai
nanemiasudahdisingkirkan.Syaratpemberianadalah:
ferritin serum >100 mcg/L, saturasi transferrin
>20%,tidakadainfeksi berat.
Kontraindikasi:hipersensitivitasEPO
Hati-
hatipadakeadaanhipertensitidakterkontrol,hiperkoagulasi,
beban cairan berlebihan.15
o TerapieritropoetinFasekoreksi:
Tujuanuntukmengoreksianemiarenalsampaitaget
Hb/Httercapai.Padaumumnyamulaidengan2000-
4000IU subkutan, 2-3x seminggu selama 4
minggu.
TargetresponyangdiharapkanadalahHbnaik1-2g/dl
dalam4 mingguatauHtnaik2-4%dalam2-
4minggu,pantauHbdanHttiap4minggu.Bilatargetr
espontercapai,pertahankandosisEPOsampaitarget
Hbtercapai(>10g/
dl).Bilatargetbelumtercapainaikkandosis50%.Bila
Hbnaik>2,5g/dl,atauHtnaik>8%dalam4minggu,
turunkandosis 25%.12
o TerapiEPOfasepemeliharaan:
Dilakukan bila target Hb >12 g/dL. Dosis 2 atau 1
kali2000IU/minggu.PantauHbdanHtsetiapbulan.P
eriksastatusbesisetiap3bulan.Biladenganterapipe
meliharaan Hb >12g/dL maka dosis EPO
diturunkan25%.Pemberianeritropoetinternyatadap
atmenimbulkanefek samping:
1. Hipertensi:pasienmungkinmembutuhkanterapi
antihipertensiataupeningkatandosisobatantihip
ertensi.Peningkatantekanandarahpadapasien
dengan terapi eritropoetin tidak
berhubungandengankadar Hb
2. Kejang: berhubungan dengan kenaikan Hb/Ht
yangcepadantekanandarahyangtidakterkontrol
.TerkadangpemberianEPOmenghasilkanrespo
nsyang tidak adekuat. Respons EPO tidak
adekuat
bilapasiengagalmencapaikenaikanHb/Htyangd
ikehendakisetelahpemberianEPOselama4-
8minggu 5
o Terdapat beberapa penyebab respons EPO yang
tidakadekuatyaitu:5
1. defisiensibesiabsolutdanfungsional(merupaka
npenyebabtersering)
2. infeksi/inflamasi

3. kehilangandarahkronik

4. malnutrisi

5. dialysistidakadekuat

6. obat-obatan(dosistinggiACEI)
7. Lain-
lain(hiperparatiroidismefibrosa,intoksikasialu
minium, hemoglobinopati seperti talasemia
betadansicklecellanemia,defisiensiasamfolatd
anvitamin B12, multiple mioloma dan
mielofibrosis,hemolysisdan keganasan)
o Agarpemberianterapieritropoetinoptimal,perludib
erikan terapi penunjangyangberupapemberian:15
1. asamfolat:5mg/hari

2. vitaminB6:100-150mg

3. vitaminB12:0,25mg/bulan

4. vitaminC:300mgIVpascaHDpadaanemiadefisi
ensibesifungsionalyangmendapatterapiEPO
5. VitaminD:mempunyaiefeklangsungterhadapp
recursoreritrosit
6. VitaminE:1200IUuntukmencegahefekinduksi
stressoksidatifyangdiakibatkanterapibesiintrav
ena
7. Preparatandrogen(2-3x/
minggu)untukmengurangikebutuhanEPOtapiti
dak dianjurkanpada wanita
 Terapitransplantasiginjalekstrakorporealatauperitonealdia
lysis5

Seluruhterapipenggantiginjalekstrakorporealdanperitonea
l dialysis pada dasarnya mempengaruhi
pathogenesisanemia pada gagal ginjal, sejak prosedur ini
dapat
membuangtoksinyangmenyebabkanhemolysisdanmengha
mbateritropoesis. Selain itu, pengalaman klinis
membuktikan
bahwaperkembangannyalebihcepatdaripadamenggunakan
terapieritropoetin.Ketidakefektivanpadaterapipenggantigi
njalmerupakanakibatketerbatasanpengetahuantentangtoks
indancara terbaik untuk menghilangkannya. Pendekatan
sederhanauntuk meningkatkan terapi detoksifikasi pada
uremia
denganmeningkatkanbatasatasukuranmolecularyangdibua
ngdengandifusi dan atau transportasi konvektif tidak
menghasilkan hasilyang memuaskan. Selain itu
continuous ambulatory peritonealdialysis (CAPD) juga
merupakan terapi dengan pembuanganjangkauan
molecular yang besar, ini lebih baik dibandingkandengan
hemodialysis standar dengan membrane selulosa
yangkecil.BeberapapenelitianmengindikasikanCAPDmen
ingkatkanproduksieritropoetin,mungkinjugadiluarginjald
anolehkarenaitumeningkatkaneriropoesis,walaupunmeka
nismenya belum diketahui.5
 Pembuangankelebihanaluminiumdengandeferoxamine

Sejakinhibitoreritropoesisdiketahui,padakasusintoksikasi
aluminium terapi dapat selektif dan efektif. Efek
aluminiumyangmemperberatanemiapadagagalginjalharus
selaludiasumsikan ketika terjadi anemia mikrositik
dengan
normalataupeningkatanferitnserumpadapasienregularhem
odialysis.Diagnosisditegakkandenganpeningkatannilaialu
miniumserum, riwayat terpapar aluminium baik oral
maupun
dialisat,Gejalaintoksikasialuminiumsepertiensefalopati,pe
nyakittulang
aluminiumdankeberhasilanpercobaanterapi.Terapiutama
adalah pemberian chelator deferoxamin IV selama
satusampai dua jam terakhir saat hemodialisa atau
hemofiltrasi atauCAPD. Dosis yang digunakan 0,5-2,0 gr
3 kali seminggu.
DFOmemobilisasialuminiumsebagailarutanyangkomplek
s,dimana kemudian dibuang dengan terapi filtrasi atau
prosedurfiltrasi. Efek samping utama adalah hipotensi,
toksisitas ocular,komplikasi neurologi seperti kejang dan
mudah terkena
infeksijamur.Efeksampinginiberesponsterhadappemberhe
ntianterapisementarawaktu,pengurangandosisataupember
hentianterapi. Efek DFO pada anemia dapat
berakibatdrastic
yangmenggambarkanperubahannilaihemoglobin,ferritins
erumdankonsentrasi aluminium, MCV, MCH. Setelah
beberapa bulanterapi dengan DFO, MCV dan MCH
berada diatas nilai normal,hemoglobin meningkat secara
signifikan dan ferritin serum danaluminium menurun. 5
 Mengkoreksihiperparatiroidisme
Sekunderhiperparatiroidpadaanemiadengangagalginjal,pa
ratiroidektomi bukan merupakan indikasi untuk
terapianemia. Pengobatan supresi aktivitas kelenjar
paratiroid dengan1,25-
dihidroksivitaminD3biasanyaberhubungandenganpengob
atananemia.5
 Terapiandrogen
Efek yang positif pada terapi ini yaitu meningkatkan
produksieritropoetin,meningkatkansensitiitasproliferasier
itropoetinyang sensitive terhadap populasi stem cell.
Testosteren
ester(testosteronepropionate,enanthane,cypionate),derivat
e17-
metilandrostanes(floxymesterone,oxymetholone,methylte
stosterone),dankomponen19nortestosteron9nandrolonede
kanoat, nandrolone phenpropionate) telah sukses
digunakanpada terapi anemia dengan gagal ginjal.
Responnya lambat
danefekdariobatinidapatterbuktidalam4mingguterapi.Nan
drolone dekanoat cukup diberikan dengan dosis 100-
200mg, 1 kali seminngu. Testosterone ester harus
dibatasi karenaefeksterilitasyangbesar.Komponen19-
nortestosteronmemiliki rasio anabolic:androgenic yang
paling tinggi dan yangpaling sedikit menyebabkan
hirsutisme dan paling aman
untuk[asienwanita.Fluoksimesteronedapatmenyebabkanp
riapismuspadapasienpria.Penyakithepatoselulerkolestatis
kdapatmenyebabkankomplikasipadapenggunaanzat
nidanlebihseringpada17methylatedsteroid.Padakeadaanm
eningkatnyatransamindarahyangprogresifdanbilirubinser
umyangmeningkat,terapiharusdihentikan.Namunkompon
en17-methylated steroid ini memiliki rasio
anabolic:androgen yangbaik dan dapat diberikan secara
oral. Terapi dengan androgendapat menimbulkan gejala
prostatisme atau pertumbuhan yangcepat dari Ca prostat.
Rash kulit, perubahan suara seperti laki-
lakidanperubahanfisikadalahefeksampinglainnyapadatera
piini
 Suplementasibesi
Penggunaan pengikat fosfat dapat mempengaruhi
absorpsi
besipadausus.Monitoringpenyimpananbesitubuhdengand
eterminasiferritinserumsatuatauduakalipertahunmerupaka
nindikasi.Absorpsibesiusustidakdipengaruhiolehurema,su
plementsi besi oral lebih dipilih ketika terjadi defisiensi
besi.Jikaterapioralgagaluntukmemperbaikidefisiensibesi,
penggantianbesisecaraparenteralharusdilakukan.Halinidil
akukan dengan iron dextran atau interferon. Terapi IV
lebihamandannyamandibandinginjeksiintramuscular.Syo
kanafilaktik dapat terjadi pada 1% pasien yang menerima
terapibesi parenteral. Untuk mengurangi kejadian
komplikasi
yangberbahayainipasienharusditesdengan5menitpertamad
engandosiskecildaritotaldosis.Jumlahyangdiperlukanuntu
kreplenishpenyimpananbesidapatdiberikandengandosister
bagi yaitu500mgdalam5-
10menitsetiapharinyaataudosistunggaldicampurdenganno
rmalsalinediberikan5%irondextrandan
diinfuskanperlahan dalam beberapajam.
Terapibesifasepemeliharaan:
o Target terapi: Ferritin serum >100 mcg/L- <500
mcg/L.Saturasitransferrin >20% -<40%
o Dosis:

i. IV:ironsucrose:max 100mg/minggu

Irondextran:50mg/minggu

Irongluconate:31,25-125mg/minggu

ii. IM: Irondextran:80mg/2minggu

iii. Oral:200 mgbesielemental 2-3x/hari

iv. Statusbesidiperiksasetiap3bulan

v. Bilaferritinserum>500mcg/
Latausaturasitransferrin>40%,suplementas
ibesidistopselama3 bulan
vi. Bila pemeriksaan ulang setelah 3 bulan
ferritinserum<500mcg/Ldansaturasitransfe
rrin<40%,suplementasibesidapatdilanjutka
ndengandosis1/3-1/2sebelumnya.
 Transfusidarah
Indikasitransfusidarahadalah:

o Perdarahanakutdengan
gejalagangguanhemodinamik

o TidakmemungkinkanpenggunaanEPIdanHb
<7g/dL

o Hb<8g/dLdengangangguanhemodinamik

o Pasiendengandefisiensibesiyangakandeprogramte
rapi EPO ataupunyang telah mendapat EPO
tetapirespons belum adekuat, sementara preparat
besi IV/IMbelum tersedia, dapat diberikan
transfuse darah denganhati-hati
o TargetpencapaianHbdengantransfusedarahadalah
7-9g/
dL.Transfusidiberikansecarabertahapuntukmengh
indaribahayaoverhidrasi,hiperkatabolik9asidosis)
dan hyperkalemia. Bukti klinis
menunjukkanbahwa pemberian transfuse darah
sampai kadar Hb 10-12 g/dL, berhubungan
dengan peningkatan mortalitasdan tidak terbukti
bermanfaat. Pada kelompok pasienyang
idrencanakan untuk transplantasi ginjal,
pemberiantransfusedarah sedapatmungkin
dihindar

 Nutrisi

Pemberian nutrisi yang seimbang ditujukan untuk


memenuhikebutuhan energy dannutrient sekaligus
mengurangi gejala-gejala uremia dan menunda
percepatan penurunan fungsi
ginjalataumemperlambatnya.Statusnutrisimemilikikaitan
eratdengan angka mortalitas pada pasien dengan CKD.
Dianjurkankecukupanenergy>35kkal/kgBB/hari,sedangk
anuntukusia>60 tahun diberikan 30 kkal/kgBB/hari.
Asupan kalori haruscukup untuk mencegah terjadinya
proses katabolic. Bila
asupanperoraltidakmemadaiuntukmemenuhikebutuhannu
trisisehai-hari sesuai dengan status gizi seseorang, dapat
ditambahkannutrisiparenteral.Perbandingankaloriyangber
sumberdarilemak dan karbohidrat sebesar 25% : 75%.
Selain itu diberikankombinasi dari asam amino esensial
dan non esensial. Jumlahmaksimal pemberian
karbohidrat adalah 5g/kgBB. Sedangkanlipid diberikan
maksimal 1 g/kgBB dalam bentuk fat emulsion10-20%
sebanyak 500 mL. Pasien dengan gagal ginjal
kronisharus mengurangi asupan protein karena protein
berlebih
akanmenyebabkanterjadinyapenumpukannitrogendaniona
norganik yang akan mengakibatkan gangguanmetabolic
yangdisebuturemia.
GFR(ml/min) Protein(g/kgBB/hari) Fosfor

(g/kgBB/hari
>60 Tidakperlurestriksiprotein Tidakperlurestriks
i
25-60 0,6g/kgBB/haritermasuk≥0,35g/ ≤10
kgBB/
hariproteindengannilaibiologictinggi
5-25 0,6g/kgBB/haritermasuk≥0,35g/ ≤10
kgBB/
hariproteindengannilaibiologictinggi

0,3g/kgBB/ ≤9
haridengansuplementasiasam
aminoesensialketoanalog
<60 0,8g/kgBB/hari ≤12
0,3g/kgBB/ ≤9
(sindromnefroti haridengansuplemetasiasamaminoesen
k) sial atau ketoanalog

BerbagaiformulacairanparenteraluntukpasienCKD5
Formulakoepple
 Air:1000-2000ml/hari
 Glukosa500-600 g/hari
 Asamamino35-45g/hari
 Kalori:35-50kkal/kgBB/hari
 NPC/N:300(CKD)500(GGA)
 Elektrolit:Na,K,Ca,Mg,Zn,Cu
 Vitamin dan lipid

FormulaTeraoka

 50%glukosa:1000ml
 10%NaCl: 40ml
 Kasparta:1mEq
 8,5%Caglukonas:6 mEq
 MgSulfat: 6mEq
 K2PO4:1mEq
 Kidmin: 400-600 ml
 Lipid:400ml/w
 Vitamin
Pemakaiankidmin
 Partialparenteralnutrisi:200ml,sekaliseharis
elama2jamataupadawaktudalisis
 Totalparenteralnutrisi:400mldengan300kkal
/100mlmelaluivenasentral
3.2.10 Prognosis
Dalam memprediksi prognosis CKD, dapat diidentifikasi
variabel-variabel berikut ini: 1) penyebab CKD; 2) kategori GFR; 3)
kategori albuminuria; 4) faktor risiko dan kondisi penyerta lainnya.

Tabel 6. Prognosis CKD berdasarkan GFR dan Albuminaria5


BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien datang ke IGD dengan keluhan BAK berdarah sejak 1 bulan SMRS.
Pasien mengatakan urin berwarna merah kecoklatan, jumlah urin cenderung
berkurang, semakin lama urin yang keluar sedikit-sedikit. Selama 1 bulan tersebut
pasien mengaku warna urin selalu merah kecoklatan dan tidak pernah normal.
Keluhan ini disertai nyeri pada daerah pinggang serta demam yang hilang timbul.
Keluhan nyeri saat berkemih disangkal. Pasien juga mengatakan perut terasa nyeri
dan mulai membesar sejak + 1 minggu sejak BAK berdarah. Pasien pada awalnya
masih dapat menahan rasa nyeri pada pinggang dan perut tersebut, pasien tidak
pernah pergi berobat selama + 3 minggu sejak pasien mengalami BAK berdarah
tersebut. Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya konjungtiva anemis.
Pemeriksaan abdomen didapatkan distensi (+), shifting dullness (+), nyeri tekan
(+) ad regio lumbar dextra dan nyeri ketok CVA (+/-). Pasien mengalami gross
hematuri. Penyebab hematuri dapat dilihat pada gambar.

Hematuri yang pasien alami disebabkan oleh adanya batu pada vesika
urinaria. Urolitiasis dapat disebabkan oleh berbagai penyebab, diantaranya
idiopatik, gangguan aliran kemih ataupun adanya gangguan metabolic. Gangguan
aliran kemih dapat menjadi predisposisi terbentuknya batu saluran kemih
dikarenakan adanya stagnansi aliran urin sehingga urin berada lebih lama pada
tractus urinarius yang menyebabkan terjadinya endapan. Adanya gangguan
metabolic seperti hiperparatiroid, hiperurisemi, hiperkalsemi, akan menyebabkan
peningkatan saturasi promoter terjadinya batu (urin supersaturasi). Gejala yang
ditimbulkan mulai dari nyeri kolik, penjalaran nyeri sesuai lokasi batu, hematuri
baik makroskopis maupun mikroskopis, gejala LUTS iritatif, demam (waspada
urosepsis).Pasien mengaku sering mengonsumsi jengkol, dalam seminggu pasien
bisa makan jengkol 4-5 kali. Diketahui bahwa jengkol mengandung djenkolic acid
yang merupakan zat promotive kristal sehingga dapat menyebabkan hipersaturasi
urin.
Pasien juga mengeluhkan adanya rasa mual saat makan, keluhan muncul
sekitar 2 minggu SMRS, dan dirasakan akhir-akhir ini semakin memberat. Mual
dapat disebabkan oleh adanya ureum yang tinggi, yang dapat menyebabkan
inflamasi pada mukosa saluran sehingga terjadi gastropati. Selain itu, mual juga
dapat disebabkan oleh adanya rangsangan terhadap nervus vagus pada tractus
urinarius. Sejak 1 minggu SMRS, pasien kemudian merasa badan sangat lemah
yang membuat pasien tidak mampu bekerja lagi. Pasien juga mengaku muncul
keluhan sesak napas. Sesak napas juga semakin memberat. Pada pemeriksaan
auskultasi paru tidak didapatkan adanya rhonki. Pemeriksaan laboratorium
didapatkan adanya anemia dengan Hb 8,3 g/dL. Keluhan sesak dapat disebabkan
oleh adanya edema paru akibat overload cairan oleh karena retensi dari ekskresi
ginjal, namun pada pasien tidak ditemukan adanya rhonki. Pada pasien dicurigai
keluhan sesak dapat diakibatkan anemia yang dialami pasien. Anemia
adalahkomplikasi yang sering terjadi pada individu dengan CKD. Penyebab
anemia padaCKD adalah multifaktorial dan termasuk penurunan produksi
eritropoietin ginjal,penurunan umur sel darah merah, gangguan penyerapan zat
besi usus yang dimediasioleh hepcidin (pengatur utama sirkulasi zat besi) dan
kehilangan darah berulang padapasien hemodialisis. Anemia pada pasien juga
dikarenakan adanya perdarahan.
Keluarga pasien mengatakan, satu hari SMRS, badan pasien semakin
lemas, pasien tidak dapat melakukan aktivitas seperti biasanya dan hanya
terbaring di tempat tidur, pasien cenderung lebih sering tertidur dan tidak
nyambung ketika diajak berbicara. Hal ini dapat menandakan pasien mengalami
ensefalopati uremikum.
Pemeriksaan darah pada tanggal 23/8/2023 didapatkan adanya leukositosis
(28.000) dan anemia dengan Hb 8,3 g/dL, serta adanya trombositosis 664.000/uL.
SGOT ditemukan meningkat yaitu 75,8 U/L, ureum 253,3 mg/dL dan kreatinin
20,36 mg/dL. Dari pemeriksaan elektrolit didapatkan adanya hiponatremi
(114,98), hiperkalemi (6,79), hipochloremi (74,29) dan hipokalsemi (0,64)
dikarenakan adanya gangguan pada fungsi ginjal. Urinalisis didapatkan warna
merah, sangat keruh, protein +2, eritrosit penuh, leukosit +1. Bilirubin total
didapatkan 1,4 mg/dL dengan bilirubin direk 1,2 mg/dL. Hasil USG ginjal dan
buli didapatkan hidronefrosis bilateral, renal calculi kanan, batu buli dengan
curiga blood clot di buli.
Tatalaksana pada CKD antara lain: (1) terapi spesifik terhadap penyakit
dasarnya, (2) memperlambat perburukan fungsi ginjal, (3) pencegahan dan terapi
terhadap komorbid, (4) pencegahan dan terapi terhadap komplikasi, dan (5) terapi
pengganti ginjal. Pada kasus ini, pasien menderita CKD stage V, dan
penatalaksanaannya adalah persiapan untuk terapi pengganti ginjal. Terapi
pengganti ginjal yang dapat dipilih adalah hemodialisis.Inisiasi
hemodialysisdimulai jika terdapat tanda atau gejala yang berhubungan dengan
uremia, protein-energy wasting, adanya kelainan metabolik, dan/atau overload
cairan. Pada pasien ini menderita ensefalopati uremikum dan gangguan
keseimbangan elektrolit yang menjadi indikasi dari dilakukan hemodialisis.
CaCO3 merupakan pengikat fosfor untuk mengatasi hiperfosfatemia pada pasien
CKD. Pemberian obat pengikat fosfat diindikasikan pada CKD stadium 3-5, dan
sebaiknya CKD stadium 3-5 dengan hiperkalsemia tidak diberikan pengikat fosfat
yang mengandung kalsium. Pengikat fosfat diberikan secara oral, untuk
menghambat absorpsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang
banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium asetat.Pasien juga
diberikan tatalaksana pemberian asam folat. Asam folat diberikan karena berperan
dalam pemeliharaan eritropoiesis karena berfungsi untuk pemulihan dan
pemeliharaan hematopoiesis normal. Asam folat memiliki peranan asam dalam
proses sintesis nukleo protein, dimana ini merupakan inti dari pembentukan dan
produksi sel-sel darah merah. Kerja asam folat berhubungan dengan kerja dari
vitamin B12.
BAB V
KESIMPULAN
Pasien datang ke IGD dengan keluhan BAK berdarah sejak 1 bulan SMRS.
Pasien mengatakan urin berwarna merah kecoklatan, jumlah urin cenderung
berkurang,urin yang keluar sedikit. Keluhan ini disertai nyeri pada daerah
pinggang, demam yang hilang timbul,perut terasa nyeri dan membesar serta sesak
napas. Keluhan nyeri saat berkemih disangkal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
konjungtiva anemis, shifting dullness (+), nyeri tekan (+) ad regio lumbar dextra.
Pasien mengalami gross hematuri.Pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya
anemia dengan Hb 8,3 g/dL, leukositosis 24.10, kalium 6.79, ureum 253.3,
kreatinin 20.36, dari perhitungan GFR diperoleh 2.3 mL/min. Berdasarkan hal
tersebut diambil diagnosis grosshematuria ec batu saluran kemih, CKD stage V,
ensefalopati uremikum, hiperkalemia.Tatalaksana pada kasus ini yaitu terapi
pengganti ginjal, yang dipilih adalah hemodialisis.CaCO3 merupakan pengikat
fosfor untuk mengatasi hiperfosfatemia pada pasien CKD. Pasien juga diberikan
tatalaksana pemberian asam folatkarena berperan dalam pemeliharaan
eritropoiesis karena berfungsi untuk pemulihan dan pemeliharaan hematopoiesis
normal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Saleem MO, Hamawy K. Hematuria. InStatPearls [Internet] 2022 Aug 8.
StatPearls Publishing.
2. Desen W. Buku Ajar Onkologi Klinis. 2nd ed. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI. 2008.
3. Bolenz C, Schröppel B, Eisenhardt A, Schmitz-Dräger BJ, Grimm MO.
The investigation of hematuria. Deutsches Ärzteblatt International. 2018
Nov;115(48):801.
4. Hamadah AM, Gharaibeh K, Mara KC, Thompson KA, Lieske JC, Said S,
Nasr SH, Leung N. Urinalysis for the diagnosis of glomerulonephritis: role
of dysmorphic red blood cells. Nephrol Dial Transplant. 2018 Aug
01;33(8):1397-1403.
5. NKF-KDIGO. KDIGO 2012 clinical practice guideline for the evaluation
and management of chronic kidney disease. ISN. 2012; 3(1):1–163
6. Riskesdas 2018 [Internet]. Depkes.go.id. 2018. Available from:
http://www.depkes.go.id/resources/download/info-terkini/hasil-riskesdas-
2018.pdf
7. Romagnani, Paola, et al. Chronic kidney disease. Nature reviews Disease
primers, 2017, 3.1: 1-24.
8. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
9. Pernefri. 5 th report of Indonesian renal registry 2015;12–3.
10. Hruska KA, Mathew S, Lund R, Qiu P, Pratt R. Hyperphosphatemia of
chronic kidney disease. Kidney Int. 2008; 74 (2): 148–57.
11. Faul C, Amaral AP, Oskouei B, Hu MC, et al. FGF23 induces left
ventricular hypertrophy. J Clin Invest. 2011; 121 (11): 4393–408.
12. Kidney Health Australia. The Chronic Kidney Disease (CKD)
Management in Primary Care. 4th edition. Melbourne, 2020.
13. Bacchetta J, Sea JL, Chun RF, Lisse TS, et al. FGF23 inhibits extra-renal
synthesis of 1,25-dihydroxyvitamin D in human monocytes. J Bone Miner
Res. 2012; 28 (1): 46–55.
14. KDIGO: Kidney Disease Improving Global Outcomes. KDIGO Clinical
Practice Guideline for the Diagnosis, Evaluation, Prevention, and
Treatment of Chronic Kidney Disease-Mineral and Bone Disorder (CKD-
MBD); 2009.
15. Ganong. Renal Function & Micturition. Review of Medical Physiology,
25th ed. McGraw-Hill Education. p. 677; 2016
16. Garneata L, Mirescu G. Effect of low-protein diet supplemented with keto
acids on progression of chronic kidney disease. Journal of Renal Nutrition.
May 2013: 23 (3); 210-3.

Anda mungkin juga menyukai