TUBERKULOSIS
Disusun oleh :
PUSKESMAS BAMBANGLIPURO
YOGYAKARTA
2022
BAB I
PENDAHULUAN
1.2. TUJUAN
1. Memberikan informasi mengenai angka kejadian TBC di puskesmas
Bambanglipuro.
2. Meningkatkan pengetahuan mengenai skrining/deteksi dini penyakit
TBC dengan segera melakukan pemeriksaan di puskesmas.
3. Meningkatkan pengetahun akan pentingnya kepatuhan minum obat
pada pasien TBC.
4. Meningkatkan pengetahuan mengenai pencegahan penyakit TBC.
1.3. MANFAAT
1. Memberikan informasi bagi pasien dan lingkungan sekitar puskesmas
Bambanglipuro mengenai penyakit TBC sehingga dapat dilakukan
pencegahan dan terapi pada pasien dengan TBC.
2. Memberikan informasi secara luas pada masyarakat yang tinggal di
sekitar puskesmas Bambanglipuro, sehinnga dapat melakukan deteksi
dini dan pencegahan penyakit TBC.
BAB II
DATA KLINIS PERORANGAN DAN EVIDENS DASAR
2.7. LIFESTYLE
Merokok : perokok aktif (-), perokok pasif (+)
terpapar dari tetangga sebelah rumah
Alkohol : (-)
Napza : (-)
Aktivitas sehari-hari
Pasien merupakan seorang guru honorer, mata pelajaran PPKN
di SMP 4 Sewon. Pasien bekerja kurang lebih dari pukul 07.00-14.00.
Pasien sudah menekuni profesi tersebut sekitar 2 tahun.
Pola tidur
Pasien dapat tidur dengan nyenyak, namun sering terbangun
pukul 01.00. Saat terbangun, pasien mengatakan dapat tertidur
kembali.
Pola makan
Pola makan pasien memiliki menu yang lengkap, mulai dari
karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral. Pasien sering membawa
bekal makanan dari rumah dan sekali dua kali membeli makanan di
warung makan.
Pola minum
Pola minum pasien terpenuhi, yaitu sekitar 2 liter per hari.
Pasien selalu membawa botol air dari rumah.
Olahraga
Melakukan olahraga sepeda, dengan frekuensi 1x/minggu, dan
durasi sekitar 30-45 menit.
Kondisi tempat tinggal
Pasien tinggal serumah bersama 5 orang anggota keluarga
lainnya. Lima orang anggota keluarga tersebut, yaitu bapak, ibu,
kakak kandung, kakak ipar, keponakan yang masih berumur 1 tahun.
Lingkungan rumah pasien, secara umum tampak lembab dan kurang
saluran ventilasi. Pasien mengatakan, orang tua pasien selama 1-2
bulan ini juga mengalami batuk kering yang kambuh-kambuhan.
Budaya
Pasien bersuku jawa, dan asli dari dusun ceme. Pasien tidak
pernah pindah, selalu bertempat tinggal di dusun ceme. Budaya di
daerah tersebut mengenai TBC, belum menganggap TBC sebagai
penyakit yang perlu segera diperiksakan ke puskesmas. Hal ini
dikarenakan masih menggap jika mengalami gejala-gejala TBC sudah
membaik, tidak perlu lagi diperiksakan.
Religi
Pasien dan keluarga pasien memeluk agama islam. Pasien serta
keluarga taat beribadah, dan selalu merayakan hari raya umat islam.
Pendidikan
Pasien menempuh pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta,
dengan jurusan sarjana pendidikan guru. Saat berkuliah pasien tidak
menyewa kos di yogyakarta dikarenakan tidak mendapat ijin dari
orang tua. Pasien mengatakan jika saat awal kuliah, sering mudah
capek dan saat merasa badan "drop", pasien menginap di rumah
teman. Pasien menambahkan, teman pasien ada yang terdiagnosis
TBC paru pada tahun 2019. Informasi mengenai penyakit TBC,
maupun penyakit lainnya didapatkan pasien dari media sosial. Pasien
belum pernah mendapatkan informasi maupun penyuluhan dari
puskesmas setempat terkait penyakit TBC.
Ekonomi
Kondisi ekonomi dari pasien menengah kebawah, untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari masih tergolong cukup. Pasien sudah
membiayai dirinya sendiri secara mandiri, sedangkan untuk pola
makan masih mengikuti menu yang disediakan orang tua karena
memang masih tinggal satu rumah dengan orang tua.
Medical
Pasien terdiagnosis TBC ekstra paru sejak awal Januari 2022
setelah melakukan biopsi di RS Elisabeth. Sejak terdiagnosis TBC
ekstra paru, pasien rutin melakukan pemeriksaan kesehatan di
puskesmas. Selain pemeriksaan kesehatan, pasien juga rutin meminta
obat ke puskesmas saat obat TBnya sudah habis. Pasien dan keluarga
pasien memiliki jaminan kesehatan berupa BPJS PBI.
2.15. TATALAKSANA
R/ 4KDT TB Tab No XLV
S 1 dd Tab IV
R/ Loratadin Tab 10 mg No X
S 1 dd Tab I
Temukan
a) Memberikan informasi dasar kepada individu, keluarga,
kelompok berisiko, komunitas, dan masyarakat umum
tentang informasi dasar TBC yang mencakup gejala, cara
penularan, pencegahan, pemeriksaan, dan pengobatan
TBC.
b) Memberikan pemahaman kepada individu, keluarga,
kelompok berisiko, komunitas, dan masyarakat umum
tentang TBC bisa disembuhkan.
c) Memberikan pemahaman kepada individu, keluarga,
kelompok berisiko, komunitas, dan masyarakat umum
tentang pentingnya deteksi dini.
Obati
a) Memberikan informasi tentang layanan kesehatan publik
yang berkualitas dan sesuai standar untuk menjadi rujukan
pertama saat mengalami gejala TBC.
b) Memotivasi pasien dan keluarga pasien agar segera
menjalani pengobatan TBC setelah diagnosis ditegakkan.
c) Memberikan informasi kepada pasien, keluarga pasien,
kelompok berisiko, komunitas, dan masyarakat umum
bahwa pemerintah menyediakan obat TBC yang
berkualitas dan gratis.
d) Menyampaikan informasi kepada pasien dan keluarga
pasien tentang pengobatan TBC.
Sampai Sembuh
a) Meningkatkan kesadaran pasien dan keluarga pasien
tentang pentingnya pengobatan TBC sesuai standar sampai
sembuh.
b) Meningkatkan partisipasi keluarga dan komunitas dalam
memastikan kepatuhan pasien TBC dalam pengobatannya.
c) Memotivasi pasien dan keluarga pasien agar patuh
menjalani pengobatan TBC sampai sembuh.
BAB III
METODE PENGAMBILAN DAN INTERPRETASI DATA
20
15
10
0
SIDOMULYO MULYODADI SUMBERM...
LAKI-LAKI
27% PEREMPUAN
JUMLAH
KASUS: 3
73%
JUMLAH
KASUS: 8
L P L+P L P L+P
Sidomulyo 0 1 1 0 3 3
Mulyodadi 0 1 1 0 2 2
Sumbermulyo 3 2 5 3 3 6
Jumlah 3 4 7 3 8 11
Tabel 3.1 Data Jumlah Kasus Tuberkulosis Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang
Terdaftar dan Diobati dan Jumlah Semua Kasus Tuberkulosis Terdaftar dan Diobati
Periode 1 Januari 2021-31 Desember 2021
Keterangan:
L : Laki-Laki
P : Perempuan
L+P : Laki-Laki dan Perempuan
*) : Kasus Tuberkulosis terdaftar dan diobati berdasarkan kohort yang sama
dari kasus yang dinilai kesembuhan dan pengobatan lengkap
Puskesmas
Laki-Laki &
Laki-Laki Perempuan
Perempuan
Puskesmas
Laki-Laki &
Laki-Laki Perempuan
Perempuan
Puskesmas
Laki-Laki &
Laki-Laki Perempuan
Perempuan
A. Host
1. Usia
Di sebagian besar suvei kesehatan, tingkat kejadian
tuberkulosis lebih tinggi pada laki-laki pada semua usia kecuali
pada masa kanak-kanak, ketika lebih tinggi pada wanita. Studi
telah melaporkan bahwa perbedaan jenis kelamin dalam tingkat
prevalensi mulai muncul antara 10 dan 16 tahun, dan tetap lebih
tinggi untuk laki-laki daripada perempuan setelahnya.
2. Jenis Kelamin
Berdasarkan penelitian Marçôa., et al (2018), TB
notification rate secara signifikan lebih tinggi pada laki-laki
dibandingkan dengan perempuan setelah dekade kedua
kehidupan. Pada laki-laki, tingkat notifikasi tertinggi adalah
52,2 per 100.000 penduduk (95% CI 49,9–54,5) pada kelompok
usia 40–49 dan pada wanita adalah 23,4 (95% CI 21,7–25,2)
pada kelompok usia 20–29. Setelah dekade kedua kehidupan,
terjadi peningkatan progresif dalam rasio pria-wanita yang
mencapai nilai tertinggi pada kelompok usia 50-59 (rasio
pria:wanita =3,4; 95% CI 3,0-3,7).
Keadaan ini dipicu oleh dominasi lebih banyak
komorbiditas dan faktor risiko TB pada pria dibandingkan
wanita, seperti penyalahgunaan alcohol, HIV, merokok, PPOK,
ca paru, silicosis dan pengobatan TB sebelumnya (Marçôa,
2018).
3. Status Imunitas (Daya Tahan Tubuh)
Menurut data WHO, orang yang hidup dengan HIV 18
(Interval ketidakpastian: 15-21) kali lebih mungkin untuk
menderita TB aktif dibandingkan orang tanpa HIV. HIV dan TB
membentuk kombinasi yang mematikan, masing-masing
mempercepat progresifitas penyakit satu sama lain. Pada tahun
2020, sekitar 215.000 orang meninggal karena TB terkait HIV.
Persentase pasien TB yang diberitahu yang memiliki hasil tes
HIV yang terdokumentasi pada tahun 2020 hanya 73%, naik
dari 70% pada tahun 2019.
4. Pekerjaan dan Status Sosial
Pasien bekerja sebagai seorang guru honorer di SMP 4
Sewon, Bantul selama hampir 2 tahun. Pasien diketahui belum
menikah dan masih tinggal bersama orang tua dan kakak
kandung serta iparnya. Kedua orang tua pasien bekerja sebagai
petani dan kakak kandung pasien juga seorang guru SMP.
Pada penelitian Hasan M. Semilan, et al., (2021),
dijelaskan bahwa di Amerika Serikat, paparan silika kristalin
yang tinggi secara signifikan meningkatkan risiko infeksi TB
paru bersama dengan penyakit paru-paru lainnya. Paparan
infeksi TB meningkat pada petugas kesehatan, pekerja
pemakaman, pekerjaan konstruksi, tukang batu, tukang kayu,
dan operator mesin pertambangan karena pekerjaan mereka.
Selain itu, pekerjaan dengan status sosial ekonomi rendah
seperti tukang jagal, mekanik mobil, pekerjaan juru tulis, tukang
reparasi peralatan industri/perdagangan listrik, dan entertainers
merupakan faktor risiko infeksi TB.
Pendapatan rendah adalah faktor yang paling signifikan
dalam hal ketidakpatuhan terhadap pengobatan dibandingkan
dengan penyalahgunaan narkoba, ketidakpatuhan terhadap
rejimen pengobatan sebelumnya, dan riwayat merokok. Dalam
subkelompok kasus pengobatan ulang, kemiskinan dikaitkan
dengan risiko dropout yang lebih tinggi (Semilan et al., 2021).
B. Agent
1. M.tuberculosis
Mycobacterium tuberculosis menyebar dari orang ke
orang melalui udara. Ketika penderita TBC paru batuk, bersin
atau meludah, mereka mendorong kuman TBC ke udara.
Seseorang hanya perlu menghirup beberapa kuman ini untuk
terinfeksi.
Menurut WHO, pada individu yang imunokompeten,
pajanan terhadap M.tuberculosis biasanya menyebabkan infeksi
laten/dorman. Hanya sekitar 5% dari orang-orang ini kemudian
menunjukkan bukti penyakit klinis. Perubahan pada sistem imun
host yang menyebabkan penurunan efektivitas imun dapat
memungkinkan organisme MTBC untuk aktif kembali, dengan
penyakit tuberkulosis yang dihasilkan dari kombinasi efek
langsung dari organisme infeksius yang bereplikasi dan dari
respons imun pejamu terhadap antigen tuberkulosis.
2. Merokok
Pasien dan keluarga yang ada di rumah tidak ada yang
merokok (perokok aktif maupun pasif). Namun, tetangga di
sebelah rumah pasien yang juga merupakan paman pasien
marupakan seorang perokok aktif selama bertahun-tahun.
Berdasarkan penelitian dari Roya Alavi-Naini, et al.,
(2012), merokok telah terbukti berhubungan dengan infeksi TB.
Selain itu, merokok juga dikaitkan dengan prognosis negatif TB.
Merokok dapat mempengaruhi banyak sistem organ, tetapi paru-
paru mengalami kerusakan yang paling parah. Merokok
merusak paru-paru dan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh,
membuat perokok lebih rentan terhadap infeksi TBC. Terjadinya
TB telah terbukti terkait dengan perubahan respon imun dan
beberapa defek pada sel imun seperti makrofag, monosit dan
limfosit CD4. Mekanisme lain, seperti gangguan mekanis pada
fungsi silia dan efek hormonal, juga dapat muncul secara
sekunder akibat merokok. Oleh karena itu, semua faktor ini
dapat berkontribusi pada peningkatan kerentanan seseorang
untuk mengembangkan infeksi TB (Alavi-Naini, Sharifi-Mood
and Metanat, 2012).
3. Alkohol
Menurut penelitian Simou, et al., (2018), konsumsi
alkohol merupakan faktor risiko potensial untuk TB karena
alkohol dapat merusak sistem kekebalan dan meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi primer dan reaktivasi penyakit.
Konsumsi alcohol itu juga terkait dengan risiko malnutrisi dan
penyakit hati yang lebih tinggi, yang keduanya merusak
kekebalan. Konsumsi alkohol selanjutnya dapat meningkatkan
risiko TB sebagai akibat buruknya penggunaan layanan medis di
antara konsumen alkohol berat (Simou, Britton and Leonardi-
Bee, 2018).
4. Nutrisi
Berdasarkan penelitian Feleke, et al., (2019), hubungan
antara TB dan malnutrisi bersifat dua arah, TB mempengaruhi
pasien untuk malnutrisi dan malnutrisi meningkatkan risiko
berkembangnya TB aktif sebesar 6 hingga 10 kali lipat.
Seperempat dari TB di dunia adalah akibat dari kekurangan gizi,
peningkatan status gizi individu menurunkan risiko TB. Selain
itu, malnutrisi meningkatkan kekambuhan dan kematian TB
(Feleke, Feleke and Biadglegne, 2019).
C. Environment
1. Sosial
Pasien tinggal bersama 5 orang anggota keluarga lainnya.
Hubungan pasien dengan 5 orang anggota keluarga lainnya baik
dan harmonis. Orang tua pasien bekerja sebagai petani, kakak
kandung bekerja sebagai guru, dan kakak ipar bekerja sebagai
ibu rumah tangga. Keluarga pasien mendukung dan memberikan
support saat pasien terdiagnosis TBC ekstra paru. Orang tua
pasien juga memberikan perhatian lebih saat pasien sempat
dirawat di rumah sakit untuk biopsy, namun pasien sudah
terbiasa mandiri dalam menjalani berbagai proses pengobatan
yang dijalani pasien, seperti berobat ke RS saat mengalami
bronchitis, tindakan biopsy semuanya dijalani pasien sendiri
tanpa didampingi oleh keluarga. Pasien mengatakan tidak ada
Pengawas Menelan Obat (PMO). Saat minum obat, sebagai
pengingat, pasien menggunakan alarm dari handphone. Pasien
juga tinggal bersebelahan dengan tetangga yang masih saudara
(paman), namun jarang berkomunikasi dikarenakan kesibukan
pasien. Pasien juga mengakui bahwa pasien sangat jangan
bersosialisasi dengan warga sekitar atau tetangga sekitar rumah
dikarenakan sejak kuliah seringkali pulang sudah larut malam,
dan saat ini sibuk dengan pekerjaan di sekolah.
2. Budaya
Pasien bersuku jawa, dan asli dari dusun ceme. Pasien
tidak pernah pindah, selalu bertempat tinggal di dusun ceme.
Budaya di daerah tersebut mengenai TBC, belum menganggap
TBC sebagai penyakit yang perlu segera diperiksakan ke
puskesmas. Hal ini dikarenakan masih menggap jika mengalami
gejala-gejala TBC sudah membaik, tidak perlu lagi
diperiksakan.
3. Agama
Pasien dan keluarga menganut agama Islam dan taat
beribadah sesuai ajaran agama.
4. Pendidikan
Pasien menempuh pendidikan di Universitas Negeri
Yogyakarta, dengan jurusan sarjana pendidikan guru (gelar
S.Pd). Sejak kecil, pasien tidak pernah bersekolah di luar Jogja,
sehingga saat pasien menempuh pendidikan tinggi, pasien tidak
menyewa kos di yogyakarta dikarenakan tidak mendapat ijin
dari orang tua. Pasien mengaku setiap harinya selama 4 tahun
berkuliah pasien selalu pulang-pergi Sanden-kota Yogyakarta.
Pasien mengatakan jika saat awal kuliah, sering mudah capek
dan saat merasa badan "drop", pasien menginap di rumah teman.
Pasien menambahkan, teman pasien ada yang terdiagnosis TBC
paru pada tahun 2019. Informasi mengenai penyakit TBC,
maupun penyakit lainnya didapatkan pasien dari media sosial.
Pasien belum pernah mendapatkan informasi maupun
penyuluhan dari puskesmas setempat terkait penyakit TBC.
Terutama di masa pandemic COVID-19 ini kegiatan dari
fasilitas layanan Kesehatan setempat untuk terjun langsung ke
masyarakat sangat terbatas.
5. Ekonomi
Kondisi ekonomi dari pasien tergolong dalam kelompok
menengah kebawah, namun untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari masih tergolong cukup. Pasien sudah membiayai diri sendiri
secara mandiri, dikarenakan sudah bekerja sebagai guru honorer
sejak tahun 2020. Pasien mengatakan bahwa untuk kebutuhan
makan di rumah masih mengikuti menu yang disediakan orang
tua dan biaya makan tersebut masih ditanggung oleh kedua
orang tua pasien, karena memang masih tinggal satu rumah
dengan orang tua, bersama kakak kandung, ipar dan keponakan
pasien. Orang tua pasien sehari-harinya bekerja sebagai petani
dan ternak ikan di kolam belakang rumah, sedangkan kakak
kandung pasien bekerja sebagai guru di SMP 2 Sewon.
6. Kondisi Kehidupan Sehari-hari
Pasien sehari-hari beraktivitas sebagai seorang guru
honorer SMP, dimana jam kerja pasien dimulai pukul 07.00-
15.00 WIB setiap hari Senin-Jumat. Pasien menyampaikan
bahwa pekerjaan yang ditugaskan kepadanya dirasakan cukup
berat mengingat pasien sendiri adalah junior di tempat pasien
bekerja, karena usia pasien yang masih muda, dan baru saja
lulus dari perguruan tinggi sehingga seringkali mendapat
pekerjaan tambahan yang lebih banyak dari para seniornya.
Keadaan tersebut sudah biasa dialami oleh pasien, namun
memang pasien mengatakan bahwa seringkali pasien merasa
kelelahan. Saat pasien pulang kerja, pasien hanya beristirahat di
rumah dan tidak melakukan pekerjaan rumah yang berat
mengingat kondisi pasien saat ini sedang sakit dan harus
menjalani pengobatan yang cukup lama.
7. Layanan Kesehatan
Pasien terdiagnosis TBC Ekstra Paru sejak Januari 2022,
namun proses penegakkan diagnosis yang dijalani pasien sudah
lebih dari 1 tahun sejak benjolan di leher dan ketiak muncul.
Pasien awalnya pergi ke RS PKU Muhammadiyah Bantul dan di
diagnosis bronchitis. Pasien sempat menjalani terapi nebulizer
namun hanya dijalani pasien sebanyak 1x. Kemudian pasien
pergi periksa ke RS Santa Elisabeth dan dianjurkan untuk
dilakukan tindakan biopsy pada akhir tahun 2021. Tindakan
biopsy dilakukan pada benjolan di ketiak pasien, kemudian hasil
biopsy menunjukkan bahwa pasien mengalami TBC kelenjar
getah bening. Sejak saat itu pasien mulai menjalani pengobatan
di Puskesmas Bambanglipuro dan hingga saat ini pasien selalu
patuh meminum obat setiap harinya. Pasien saat ini sudah
menempuh tahap akhir fase intensif.
Puskesmas Bambanglipuro merupakan pusat layanan
kesehatan yang berada dalam wilayah tempat tinggal pasien.
Lokasi Puskesmas Bambanglipuro diketahui lebih dekat
daripada Puskesmas Sanden dari lokasi rumah pasien, sehingga
pasien dan keluarga memutuskan untuk mendaftar BPJS di
Puskesmas Bambanglipuro sebagai FKTP. Puskesmas
Bambanglipuro merupakan salah satu puskesmas utama di
wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul. Puskesmas
Bambanglipuro memiliki spectrum pengendalian penyakit
menular, salah satunya TBC yang lengkap, mulai dari promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitative, serta tenaga kesehatan yang
memadai untuk pelaksanaan kegiatan.
Puskesmas Bambanglipuro memiliki berbagai program
terkait pengendalian penyakit menular salah satunya TBC,
diantaranya penyuluhan, ASCF (Acute Selective Case Finding),
home care, dan PE. Puskesmas sudah memiliki kartu berobat
khusus pasien TBC untuk memantau kemajuan dan kepatuhan
pasien dalam meminum OAT. Selain itu, program pengobatan
TBC di seluruh Indonesia membebaskan pasien dari biaya
apapun.
BAB V
KAJIAN MANAJEMEN - ORGANISASI PROGRAM
PEMBINAAN
5.2. INPUT
Sumber daya manusia
Sumber daya manusia yang dilibatkan dalam edukasi ini, yaitu
dokter muda, perawat, dan kader yang ada di wilayah puskesmas
Bambanglipuro.
Perangkat keras
Peralatan yang digunakkan dalam edukasi, meliputi leaflet,
pengeras suara, dan kamera untuk kebtuhan dokumentasi.
5.3. PROSES
Perencanaan
Menentukan sasaran pembinaan, yaitu individu dan keluarga
yang berada di wilayah puskesmas Bambanglipuro.
Menentukan kriteria inkulsi dan ekslusi pembinaan
Kriteria Inklusi
1. Penderita TBC
2. Individu dan keluarga yang berada di wilayah kerja
puskesmas Bambanglipuro
Kriteria Eksklusi
1. Bukan pasien di puskesmas Bambanglipuro.
Edukasi kepada masyarakat melalui kegiatan puseksmas keliling
dan saat di puskesmas Bambanglipuro dengan membagikan
leaflet.
Pelaksanaan
1. Puskesmas keliling
Hari/tanggal : Jumat, 1 April 2022
Waktu : 10.00-11.30
Tempat : Kelurahan Mulyodadi
Pendamping : Mbak Dina
Kegiatan : Melakukan kegiatan puskesmas keliling,
sekaligus memberikan edukasi mengenai
apa itu penyakit TBC, gejala
penyakit TBC dan cara pencegahannya.
2. Edukasi melalui leaflet di puskesmas Bambanglipuro
Hari/tanggal : Sabtu, 2 April 2022
Waktu : 07.30-08.00
Tempat : Halaman belakang puskesmas
Bambanglipuro
Kegiatan : Memberikan edukasi kepada pasien yang
datang ke puskesmas Bambanglipuro
mengenai penyakit TBC dan cara
pencegahannya, terkhusus dengan etika
batuk.
Pertanggungjawaban
Melalukan identifikasi masalah yang menyebabkan tingginya
kejadian penyakit TBC di puskesmas Bambanglipuro.
Menyampaikan hasil dan kesimpulan edukasi dalam presentasi
akhir di puskesmas Bambanglipuro
5.4. OUTPUT
Memberikan informasi mengenai kejadian penyakit TBC di
puskesmas Bambanglipuro.
Meningkatknya pengetahuan indvidu dan masyarakat akan pentingnya
deteksi dini dan mengetahui gejala-gejala pada penyakit TBC.
Meningkatnya pengetahuan individu dan masyarakat mengenai
pentingnya patuh minum obat pada penyakit TBC.
BAB VI
REFLEKSI