Anda di halaman 1dari 64

CASE BASED DISSCUSION & PEMBINAAN

ILMU KESEHATAN KOMUNITAS

TUBERKULOSIS

Disusun oleh :

Ni Nyoman Widya Kusuma Wardani 42200455

Desy Tiovanda Lumban Gaol 42200456

Naftali Novian Kristianto 42200457

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS

PUSKESMAS BAMBANGLIPURO

PERIODE 14 MARET 2022 – 10 APRIL 2022

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA

YOGYAKARTA

2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Tuberkulosis merupakan suatu penyakit kronik menular yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini memiliki
bentuk batang (basil), serta memiliki sifat tahan asam. Dikarenakan bentuk
dan sifat tersebut, bakteri TBC kerap disebut dengan Basil Tahan Asam
(BTA). Pada umumnya, bakteri TBC kerap ditemukan menginfeksi
parenkim paru, sehingga menyebabkan TBC paru. Namun, bakteri ini
memiliki daya infeksi bagian tubuh lain, atau biasa disebut dengan TB
ekstra paru. TB ekstra paru dapat ditemukan di pleura, kelenjar limfa,
tulang, dan organ ekstra paru lainnya (Burhan et al., 2020).
Berdasarkan Global TB Report 2018, pada tahun 2017 terdapat
842.000 kasus baru TB (319 per 100.000 penduduk) dan kematian karena
TB sebesar 116.400 (44 per 100.000 penduduk) termasuk pada TB-HIV
positif. Angka notifikasi kasus pada tahun 2017, didapatkan 171 per
100.000 penduduk. Hal ini menyebabkan negara Indonesia menempati
posisi ketiga dunia dalam hal jumlah penyakit TBC (Floyd et al., 2018).
Secara nasional, pada tahun 2017 didapatkan insidensi TBC sebanyak
36.000 kasus (14 per 100.000 penduduk). Jumlah kasus TB Resistan Obat
diperkirakan sebanyak 12.000 kasus. Angka tersebut didapatkan dari pasien
TB paru yang ternotifikasi. Angka kematian tuberkulosis pada tahun 2017,
didapatkan 3,6 per 100.000 penduduk (termasuk diantaranya TB-HIV)
(Floyd et al., 2018).
Prevalensi TBC di provinsi DIY masuk ke dalam 10 besar penyakit di
DIY pada tahun 2020. Angka prevalensi TBC di provinsi DIY berdasarkan
surveilans terpadu penyakit tahun 2020, didapatkan sebanyak 2721 kasus
TBC paru BTA +. Kabupaten bantul menempati urutan kedua dalam hal
keberhasilan pengobatan TB. Angka keberhasilan TB di kabupaten Bantul,
didapatkan 83,6% menempati urutan kedua terendah setelah kota
Yogyakarta (Dinkes Provinsi DIY, 2021). Insidensi TBC di puskesmas
Bambanglipuro sendiri pada tahun 2021 yaitu 182,3/100.000 penduduk,
dengan 73% kasus pada perempuan dan 37% kasus pad laki-laki.
Terlepas dari kemajuan yang telah dicapai oleh dinkes Bantul,
terkhusus dalam hal ini daerah puskesmas Bambanglipuro, penyakit TBC
tetap memerlukan perhatian dari semua pihak karena tetap memberikan
beban morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Berdasarkan, hal tersebut maka
kelompok kami ingin mengkaji lebih dalam lagi mengenai penyakit TBC di
wilayah puskesmas Bambanglipuro.

1.2. TUJUAN
1. Memberikan informasi mengenai angka kejadian TBC di puskesmas
Bambanglipuro.
2. Meningkatkan pengetahuan mengenai skrining/deteksi dini penyakit
TBC dengan segera melakukan pemeriksaan di puskesmas.
3. Meningkatkan pengetahun akan pentingnya kepatuhan minum obat
pada pasien TBC.
4. Meningkatkan pengetahuan mengenai pencegahan penyakit TBC.

1.3. MANFAAT
1. Memberikan informasi bagi pasien dan lingkungan sekitar puskesmas
Bambanglipuro mengenai penyakit TBC sehingga dapat dilakukan
pencegahan dan terapi pada pasien dengan TBC.
2. Memberikan informasi secara luas pada masyarakat yang tinggal di
sekitar puskesmas Bambanglipuro, sehinnga dapat melakukan deteksi
dini dan pencegahan penyakit TBC.
BAB II
DATA KLINIS PERORANGAN DAN EVIDENS DASAR

 Judul Kasus : TBC


 Metode Anamnesis : Autoanamnesis pada hari selasa, 29 Maret
2022 pukul 15.30, di rumah pasien (Ceme,
Sanden).
2.1. IDENTITAS PASIEN
 Nama :P
 Jenis kelamin : Perempuan
 Tempat, tanggal lahir : Bantul, 27 April 1997
 Usia : 24 tahun
 Alamat : Ceme, Sanden
 Agama : Islam
 Pekerjaan : Guru
 Pendidikan : Sarjana Pendidikan
 Status perkawinan : Belum kawin
 Jaminan kesehatan : BPJS (JKN-KIS)

2.2. KELUHAN UTAMA


Batuk dengan dahak bening, disertai adanya benjolan sejak 1 tahun
yang lalu.

2.3. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG (RPS)


Pasien datang ke poli batuk puskesmas Bambanglipuro dengan
keluhan batuk dahak bening. Batuk terutama saat pagi hari dan saat udara
dingin. Pasien mengatakan keluhan batuk ini sudah dirasakan sejak 1 bulan
yang lalu dan bertambah parah sejak 3 bulan ini. Selain itu pasien juga
mengeluhkan adanya benjolan. Benjolan ini juga sudah muncul sejak 1
tahun yang lalu dan saat muncul terdapat benjolan di leher kanan dan ketiak
kanan. Karakteristik benjolan di regio axilla terdapat massa dengan ukuran
kurang lebih 5 cm x 3 cm, konsistensi padat, batas tegas, sedangkan
karakteristik benjolan di regio supraclavicula (colli), didapatkan massa
berukuran 1 cm x 1 cm, dengan konsistensi kenyal padat.Keluhan lain yang
dirasakan mengeluhkan demam malam hari, badan meriang, dan keringat
dingin. Keluhan lain tersebut hilang timbul.

2.4. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU (RPD)


 Hipertensi : (-)
 Diabetes Melitus : (-)
 Kolesterol : (-)
 Asam Urat : (-)
 Benjolan : (+) -> muncul benjolan di ketiak, awal
tahun 2021
 Alergi : (+) -> udara pagi, udara dingin - dahak
bening
 Bronkitis : (+) -> tahun 2017, di RS PKU Bantul
 Mondok/operasi : (+) mondok karena pengangkatan benjolan
dan biopsi di RS Elisabeth, Januari 2022
 Kecelakaan/trauma : (-)
 Tranfusi/donor darah : (-)

2.5. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA (RPK)


 Hipertensi : (-)
 Diabetes Melitus : (-)
 Riwayat TBC : (-)
 Tumor : (-)

2.6. RIWAYAT PENGOBATAN


 Pengobatan Bronkitis : Antibiotik, bronkodilator-salbutamol,
vitamin
 Pengobatan TBC : On going pengobatan TBC kategori I,
sudah berjalan sekitar 2 bulan, sudah mau
berpindah ke fase lanjutan

2.7. LIFESTYLE
 Merokok : perokok aktif (-), perokok pasif (+)
terpapar dari tetangga sebelah rumah
 Alkohol : (-)
 Napza : (-)
 Aktivitas sehari-hari
Pasien merupakan seorang guru honorer, mata pelajaran PPKN
di SMP 4 Sewon. Pasien bekerja kurang lebih dari pukul 07.00-14.00.
Pasien sudah menekuni profesi tersebut sekitar 2 tahun.
 Pola tidur
Pasien dapat tidur dengan nyenyak, namun sering terbangun
pukul 01.00. Saat terbangun, pasien mengatakan dapat tertidur
kembali.
 Pola makan
Pola makan pasien memiliki menu yang lengkap, mulai dari
karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral. Pasien sering membawa
bekal makanan dari rumah dan sekali dua kali membeli makanan di
warung makan.
 Pola minum
Pola minum pasien terpenuhi, yaitu sekitar 2 liter per hari.
Pasien selalu membawa botol air dari rumah.
 Olahraga
Melakukan olahraga sepeda, dengan frekuensi 1x/minggu, dan
durasi sekitar 30-45 menit.
 Kondisi tempat tinggal
Pasien tinggal serumah bersama 5 orang anggota keluarga
lainnya. Lima orang anggota keluarga tersebut, yaitu bapak, ibu,
kakak kandung, kakak ipar, keponakan yang masih berumur 1 tahun.
Lingkungan rumah pasien, secara umum tampak lembab dan kurang
saluran ventilasi. Pasien mengatakan, orang tua pasien selama 1-2
bulan ini juga mengalami batuk kering yang kambuh-kambuhan.

2.8. KOMPILASI PERJALANAN PENYAKIT


Tahun Keterangan
2017 Terdiagnosis bronkitis di RS PKU Bantul dengan gejala batuk tiap
pagi dengan dahak bening, dan nafsu makan turun disertai dengan
berat badan turun dari 60 kg ke 45 kg. Keluhan batuk hilang timbul.
Setelah terdiagnosis bronkitis, pasien mengonsumsi antibiotik,
menggunakan nebulizer (salbutamol), dan vitamin.
2019 Kontak erat dengan teman satu kampus yang bergejala TBC.
Gejalanya tersebut, diantaranya batuk dahak kuning kehijauan, badan
lemas, sering demam malam hari disertai meriang.
2020 Teman satu kampus, dengan gejla TBC tersebut, terdiagnosis TBC
paru BTA (+)
2021 Saat awal tahun, pasien mengeluhkan batuk berdahak bening disertai
benjolan di leher kanan. Pasien menganggap benjolah sudah hilang,
tetapi justru semakin membesar. Pasien memutuskan ke puskesmas
Bambanglipuro, lalu disarankan untuk ke RS Elisabeth.
2022 Saat di RS Elisabeth, dilakukan biopsi. Hasil biopsi yaitu ditemukan
limfadenitis tuberkulosa kaseosa pada pengambilan sampel regio colli
dekstra dan axilla dekstra. Setelah dilakukan biopsi, pasien dirujuk
balik ke puskesmas Bambanglipuro. Saat di puskesmas
Bambanglipuro dilakukan skrining TB-01, dam TB-02. Namun, saat
skrining, pasien mengatakan belum dilakukan pemeriksaan VCT
(HIV) dan DM. Pemeriksaan VCT dan gula darah akan dilakukan
pada 20 April 2022.

2.9. KOMPILASI PROGRESS PENGOBATAN


Bulan Jumlah Berat badan Efek samping
Februari (Fase 20 dosis 60 kg Pegal di tangan kanan-kiri,
intensif) kencing berwarna merah
Maret ((Fase 31 dosis 60,4 kg Pegal di tangan kanan-kiri,
intensif) kencing berwarna merah
April (Fase 5 dosis 62,3 kg Pegal di tangan kanan-kiri,
intensif) kencing berwarna merah
April (On 8 dosis 61,5 kg -
Going -> Fase (turun
lanjutan) karena
puasa)

2.10. RIWAYAT PERSONAL SOSIAL


 Sosial
Pasien tinggal bersama 5 orang anggota keluarga lainnya.
Hubungan pasien dengan 5 orang anggota keluarga lainnya baik dan
harmonis. Orang tua pasien bekerja sebagai petani, kakak kandung
bekerja sebagai guru, dan kakak ipar bekerja sebagai ibu rumah
tangga. Keluarga pasien mendukung dan memberikan support saat
pasien terdiagnosis TBC ekstra paru. Orang tua pasien juga
memberikan perhatian lebih saat pasien sempat dirawat di rumah sakit
untuk biopsi. Pasien mengatakan tidak ada Pengawas Menelan Obat
(PMO). Saat minum obat, sebagai pengingat, pasien menggunakan
alarm dari handphone. Pasien juga tinggal bersebelahan dengan
tetangga yang masih saudara, namun jarang berkomunikasi
dikarenakan kesibukan pasien.
Jenis Umur
Nama Pendidikan Pekerjaan
Kelamin (tahun)
Bapak L 66 SD Petani
Ibu P 66 SD Petani
Anak L 31 S1 Guru
Pertama
Anak Kedua P 24 S1 Guru

 Budaya
Pasien bersuku jawa, dan asli dari dusun ceme. Pasien tidak
pernah pindah, selalu bertempat tinggal di dusun ceme. Budaya di
daerah tersebut mengenai TBC, belum menganggap TBC sebagai
penyakit yang perlu segera diperiksakan ke puskesmas. Hal ini
dikarenakan masih menggap jika mengalami gejala-gejala TBC sudah
membaik, tidak perlu lagi diperiksakan.
 Religi
Pasien dan keluarga pasien memeluk agama islam. Pasien serta
keluarga taat beribadah, dan selalu merayakan hari raya umat islam.
 Pendidikan
Pasien menempuh pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta,
dengan jurusan sarjana pendidikan guru. Saat berkuliah pasien tidak
menyewa kos di yogyakarta dikarenakan tidak mendapat ijin dari
orang tua. Pasien mengatakan jika saat awal kuliah, sering mudah
capek dan saat merasa badan "drop", pasien menginap di rumah
teman. Pasien menambahkan, teman pasien ada yang terdiagnosis
TBC paru pada tahun 2019. Informasi mengenai penyakit TBC,
maupun penyakit lainnya didapatkan pasien dari media sosial. Pasien
belum pernah mendapatkan informasi maupun penyuluhan dari
puskesmas setempat terkait penyakit TBC.
 Ekonomi
Kondisi ekonomi dari pasien menengah kebawah, untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari masih tergolong cukup. Pasien sudah
membiayai dirinya sendiri secara mandiri, sedangkan untuk pola
makan masih mengikuti menu yang disediakan orang tua karena
memang masih tinggal satu rumah dengan orang tua.
 Medical
Pasien terdiagnosis TBC ekstra paru sejak awal Januari 2022
setelah melakukan biopsi di RS Elisabeth. Sejak terdiagnosis TBC
ekstra paru, pasien rutin melakukan pemeriksaan kesehatan di
puskesmas. Selain pemeriksaan kesehatan, pasien juga rutin meminta
obat ke puskesmas saat obat TBnya sudah habis. Pasien dan keluarga
pasien memiliki jaminan kesehatan berupa BPJS PBI.

2.11. RIWAYAT KONDISI HIDUP DAN LINGKUNGAN


A. Keadaan rumah
 Lokasi
Rumah pasien berlokasi di Dusun Ceme, Kecamatan
Sanden.
 Bentuk rumah
Luas bangunan rumah kurang lebih 10x12 meter
persegi. Bangunan rumah pasien berdinding semen dan batu
bata. Bagian alas rumah pada bagian ruang tamu dan keluarga
sudah menggunakan lantai keramik. Pada bagian belakang
rumah, meliputi area dapur dan kamar mandi menggunakan
semen. Atap rumah terbuat dari pondasi kayu dan terbuat dari
genteng tanah liat. Terdapat 3 kamar tidur pada rumah pasien.
 Kondisi rumah
Rumah pasien memiliki 1 pintu utama dan 2 pintu
belakang. Satu jendela dari kayu, dan dapat dibuka pada bagian
depan ruang tamu. Perabot di rumah pasien, sebagian besar
terbuat dari kayu dan triplek. Tampak perabot dari rumah
berdebu dan jarang dibersihkan. Kondisi kamar tampak lebab
dan tidak ada pencahayaan maupun ventilasi. Kondisi ruang
keluarga terdapat 1 ventilasi yang juga merupakan pintu
belakang, dan juga terkesan lembab, serta berdebu.
Pencahayaan di seluruh bagian rumah tampak minimal dan
kurang pencahayaan.
 Kondisi kamar mandi
Rumah pasien memiliki 2 kamar mandi dengan lantai
keramik. Ventilasi udara untuk kamar mandi cukup dengan
terdapat 3 lubang ventilasi pada bagian atap kamar mandi.
Pencahayaan walaupun sudah ada dari atap, namun tetap
kurang. Bak mandi terbuat dari keramik dan tampak air tampak
jernih dan tidak ditemukan jentik nyamuk.
 Sumber air
Sumber air rumah pasien utamanya berasal dari sumur.
Pasien mengatakan jika air sumur lebih bersih dan bening
daripada air minum. Air sumur digunakan untuk kebutuhan
sehari-hari, seperti mencuci, mandi, dan minum (merebus air
sumur). Air sumur berasal dari sumur yang berada di halaman
belakang pasien. Air PAM hanya digunakan untuk menyiram
lingkungan sekitar rumah dan tanaman saja.
 Pengelolaan limbah
Limbah padat seperti sampah kering dan sampah dapur
dibakar seminggu sekali di pekarangan rumah.Limbah cair
rumah tangga termasuk cairan septik tank berada di belakang
rumah. Saluran air kotor sudah tertutup semen sehingga limbah
rumah tangga tidak menimbulkan bau di dalam rumah.
B. Kondisi lingkungan sekitar rumah
Kondisi halaman masih berupa tanah, dan terdapat lubang untuk
membakar sampah kering. Terdapat beberapa tanaman dan pohon di
halaman depan pasien. Pada halaman belakang terdapat kolam ikan,
yang berisi ikan nila dan gurame. Secara umum kondisi sekitar
lingkungan rumah tampak bersih dan tidak ada tumpukan sampah
maupun genangan air.

2.12. PEMERIKSAAN FISIK


A. Vital Sign
 Keadaan Umum : Sedang
 Kesadaran : CM
 GCS : E4V5M6
 Status Psikologis : Tenang
 Tensi : 130/80 mmHg
 Nadi : 84x/menit
 Napas : 16x/menit
 Suhu : 36,7 C
 SpO2 : 98%
 BB : 62,3 kg
B. Status Lokalis
 Kepala
 Kepala : Normochepali
 Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
 Hidung : Normal, deviasi septum (-), sekret (-)
 Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-)
 Leher : Pembesaran KGB leher kanan, massa
multipel pada bagian leher kanan , nyeri
tekan (-)
 Axilla : Terdapat bekas luka jahitan pada axilla
kanan, massa/benjolan (-)
 Thorax
 Pulmo
 Inspeksi : Terdapat ada jejas atau bekas luka,
ketertinggalan gerak nafas (-)
 Palpasi : Fremitus dalam batas normal (+/+)
 Perkusi : Sonor pada semua lapang paru
 Auskultasi : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-),
rhonki basal basah (-/-)
 Cor
 Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
 Palpasi : iktus cordis tidak teraba di
midclavicularis sinistra
 Perkusi : kardiomegali (-)
 Auskultasi : Suara jantung normal S1 dan S2,
mur-mur (-)
 Abdomen
 Inspeksi : tidak ada jejas, bekas luka
 Auskultasi : Bising usus normal
 Perkusi : Timpani, Shifting dullness (-)
 Palpasi : Nyeri tekan (-)
 Ekstremitas : Tidak ada jejas/bekas luka, Edema (-/-),
CRT < 2 detik (+/+)

2.13. DIAGNOSIS KLINIS


TBC ekstra paru

2.14. DIAGNOSIS KOMUNITAS


Masalah kurangnya pengetahuan keluarga/masyarakat tentang
program kesehatan (TB paru), disertai dengan adanya masalah gaya hidup
(stressor) dan masalah kesehatan lingkungan dalam hal ini kurangnya
ventilasi dan pencahayaan rumah di Puskesmas Bambanglipuro periode
tahun 2021.

2.15. TATALAKSANA
R/ 4KDT TB Tab No XLV
S 1 dd Tab IV

R/ Loratadin Tab 10 mg No X
S 1 dd Tab I

R/ Asetilsistein Caps 200 mg No X


S 3 dd Tab I p.c

2.16. EDUKASI & PEMBINAAN


1. Edukasi Pentingnya Mengetahui Gejala TBC
Gejala penyakit TB tergantung pada lokasi lesi, sehingga dapat
menunjukkan manifestasi klinis sebagai berikut:
a. Batuk ≥ 2 minggu
b. Batuk berdahak
c. Batuk berdahak dapat bercampur darah
d. Dapat disertai nyeri dada
e. Sesak napas

Dengan gejala lain meliputi :


a. Malaise
b. Penurunan berat badan
c. Menurunnya nafsu makan
d. Menggigil
e. Demam
f. Berkeringat di malam hari

Diagnosis TB dengan konfirmasi bakteriologis atau klinis dapat


diklasifikasikan berdasarkan :
 Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomis :
a. TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru
atau trakeobronkial. TB milier diklasifikasikan sebagai TB
paru karena terdapat lesi di paru. Pasien yang mengalami
TB paru dan ekstra paru harus diklasifikasikan sebagai
kasus TB paru.
b. TB ekstra paru adalah kasus TB yang melibatkan organ di
luar parenkim paru seperti pleura, kelenjar getah bening,
abdomen, saluran genitorurinaria, kulit, sendi dan tulang,
selaput otak. Kasus TB ekstra paru dapat ditegakkan
secara klinis atau histologis setelah diupayakan
semaksimal mungkin dengan konfirmasi bakteriologis.

2. Edukasi Pentingnya Pemeriksaan Dahak SPS


Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis,
menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan sewaktu-pagi-sewaktu (SPS).
a. S (sewaktu): Dahak dikumpulkan pada saat suspek tuberculosis
datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek
membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pada
pagi hari kedua.
b. P (pagi): Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua,
segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri
kepada petugas.
c. S (sewaktu): Dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi hari.

Risiko penularan akan berkurang setelah pemeriksaan dahak


negative ? YA! Karena itu selama menjalani pengobatan, Anda harus
(Kemenkes RI, USAID and KNCV, no date):
a. Memakai masker selama ada orang lain, baik di rumah maupun
di luar rumah. Anda boleh melepas masker jika dalam keadaan
sendirian.
b. Menutup mulut dengan sarung tangan atau lengan baju ketika
batuk atau bersin.
c. Membuka jendela, ventilasi di kamar dan di rumah agar udara
terus mengalir.
d. Mengurangi kontak erat dengan bayi, anak, dan lansia karena
daya tahan tubuhnya rentan.
e. Tidur terpisah dari pasangan dan anggota keluarga lain jika
memungkinkan.

Resiko penularan akan berkurang setelah pasien menjalani


pengobatan yang ditandai perubahan (konversi) kuman menjadi
negatif pada pemeriksaan dahak yang dilakukan secara berkala.

3. Edukasi Etika Batuk


Penularan tuberkulosis paru dipengaruhi tiga aspek seperti
pengetahuan, sikap dan tindakan dalam penularan tuberkulosis paru
(Asiah, Suryanto & Munir, 2014). Sehingga harus ada etika untuk
mencegah penularan akibat droplet.
Etika batuk merupakan salah satu komponen perilaku
pencegahan penularan tuberkulosis. Etika batuk merupakan cara
pencegahan penularan dengan Tindakan memalingkan kepala dan
menutup mulut atau hidung dengan tisu apabila sedang bersin atau
batuk akan tetapi apabila tidak terdapat tisu maka mulut dan hidung
bisa ditutup oleh lengan atas.
Salah satu komponen perilaku pencegahan TB adalah etika
batuk. Etika batuk adalah serangkaian tindakan yang harus dilakukan
seseorang saat batuk atau bersin dengan menutup mulut dan hidung
menggunakan tisu sekali pakai atau lengan siku. Etika batuk
merupakan hal penting untuk mengendalikan penyebaran infeksi
(Depkes, 2008). Pasien TB harus melakukan etika batuk yang benar
karena droplet yang keluar saat batuk dan bersin merupakan penyebab
penularan TB. Oleh karena itu, pencegahan penularan TB sangat
penting untuk dilaksanakan, karena merupakan dasar eliminasi yang
dapat memutus mata rantai penularan TB.
4. Edukasi Pasien dan Keluarga dalam Mencapai Kesembuhan

Berbicara dengan keluarga dan teman (Kemenkes RI, USAID


and KNCV, no date)
a. Keluarga:
o Diskusikan pengobatan Anda dengan keluarga agar
mendapatkan dukungan.
o Tetaplah beraktivitas normal.
o Ingatkan pada anggota keluarga bahwa TB Kebal Obat
dapat menular lewat udara dan percikan ludah, dan tidak
menular apabila sudah mendapatkan pengobatan.
b. Teman-teman:
o Berusahalah untuk bersikap jujur mengenai penyakit Anda
dengan orang-orang terdekat, agar mereka dapat
memberikan dukungan.
o Berusaha untuk menerima reaksi apapun yang akan
muncul dengan sikap jujur tersebut.
o Jika dibutuhkan dapat meminta orang lain untuk
memediasi.

5. Edukasi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat


PHBS adalah semua perilaku kesehatan yang dilakukan atas
kesadaran sehingga anggota rumah tangga dapat menolong dirinya
sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam kegiatan-
kegiatan kesehatan di masyarakat. Setiap rumah tangga dianjurkan
untuk melaksanakan semua perilaku kesehatan. PHBS di rumah
tangga adalah upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga
agar tahu, mau, dan mampu melaksanakan perilaku hidup bersih dan
sehat serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat.
PHBS di rumah tangga dilakukan untuk mencapai Rumah Tangga
Ber-PHBS (Azies, 2017).
Rumah Tangga Ber-PHBS untuk rumah tangga dengan
penderita TB menurut Departemen Kesehatan adalah rumah tangga
yang melakukan 10 (sepuluh) PHBS di Rumah Tangga, yaitu (Azies,
2017):
a. Menjemur peralatan tidur
b. Membuka Pintu dan Jendela setiap pagi agar udara dan sinar
matahari masuk
c. Jangan tukar menukar peralatan mandi dan makan.
d. Mencuci pakaian hingga bersih
e. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun
f. Menggunakan jamban sehat
g. Istirahat cukup
h. Makan buah dan sayur setiap hari
i. Tidak merokok di dalam rumah dan tidak minum minuman
keras
j. Olahraga secara teratur
Penerapan 10 (sepuluh) indikator PHBS di tingkat rumah tangga
sangat bergantung dengan kesadaran dan peran aktif masyarakat di
lingkungan tempat tinggal masing-masing. Jika masyarakat telah
berhasil mewujudkan suatu pola hidup bersih dan sehat dalam tatanan
rumah tangga, sehingga menjadi rumah tangga ber-PHBS, maka
banyak manfaat yang akan bisa dirasakan pada masa kini dan ke masa
depan. Adapun manfaat utama Rumah Tangga Ber-PHBS dijelaskan
sebagai berikut (Azies, 2017).

a. Manfaat bagi rumah tangga, antara lain:


1) Setiap anggota rumah tangga menjadi sehat dan tidak
mudah sakit.
2) Anak tumbuh sehat dan cerdas.
3) Anggota rumah tangga giat bekerja.
4) Pengeluaran biaya rumah tangga dapat ditujukan untuk
memenuhi gizi, pendidikan, dan modal usaha untuk
menambah pendapatan rumah tangga.
b. Manfaat bagi masyarakat, antara lain:
1) Masyarakat mampu mengupayakan lingkungan sehat
2) Masyarakat mampu mencegah dan menanggulangi
masalah-masalah kesehatan.
3) Masyarakat memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada.
4) Masyarakat mampu mengembangkan Upaya Kesehatan
Bersumber Masyarakat (UKBM), seperti Posyandu,
tabungan ibu bersalin, arisan jamban, ambulans desa, dan
lain-lain.
6. Edukasi TB Kebal Obat (Resisten)
Apa artinya TBC Kebal Obat? TBC Kebal Obat adalah TBC
yang sudah tidak bisa diobati dengan pengobatan TBC biasa yang
berlangsung selama 6 bulan. TBC Kebal Obat adalah
resistansi/kekebalan kuman M. TB di mana kuman tidak dapat lagi
dibunuh dengan obat anti TBC yang sudah digunakan selama ini
(Kemenkes RI, USAID and KNCV, no date).
Pengobatan TBC yang masih sensitif obat selama 6 bulan
menggunakan 5 macam obat yaitu: Isoniazid (H), Rifampisin (R),
Pirazinamid (Z), Streptomisin (S). Ke-empat macam obat ini memiliki
sifat bakterisidal (membunuh kuman). Obat ke-lima adalah Etambutol
(E) yang bersifat bakteriostatik atau menghentikan pertumbuhan
bakteri (Kemenkes RI, USAID and KNCV, no date).
Apa saja jenis TBC Kebal Obat? Ada 5 kategori kekebalan
terhadap obat anti TB yaitu monoresistan, poliresistan, MDR, XDR
dan RR. Resistansi tersebut dapat diketahui melalui pemeriksaan
dahak di Rumah Sakit rujukan dan Sub Rujukan yang ditunjuk.

Mengapa bisa terkena TBC Kebal Obat? Ada beberapa


kemungkinan mengapa Anda bisa terkena TBC Kebal Obat.
a. Pernah sakit TBC sebelumnya, lalu diobati tapi tidak sampai 6
bulan atau sampai dinyatakan sembuh. Mungkin Anda
menghentikan sendiri pengobatan karena merasa sudah baikan.
b. Pernah sakit TBC sebelumnya tapi diobati dengan cara dan obat
yang tidak tepat.
c. Tertular langsung dari orang dengan kuman TBC Kebal Obat di
tubuhnya. Orang tersebut bisa jadi punya Riwayat pengobatan
TBC.

Pengobatan TBC harus dilakukan tepat dosis tepat cara, dan


tepat waktu. Jika TBC tidak diobati selama 6 bulan atau obat anti TBC
yang diminum tidak lengkap atau tidak tepat, makakuman TBC akan
berubah menjadi kebal. Orang dengan penyakit penyerta seperti HIV,
Diabetes, juga rentan terkena TBC maupun TBC Kebal Obat.
a. TBC Kebal Obat adalah TBC yang sudah tidak bisa diobati
dengan pengobatan TBC.
b. TBC Kebal Obat terjadi karena pengobatan TBC sebelumnya
yang tidak tepat dosis, tepat cara, dan tepat waktu.
c. TBC kebal obat bisa disembuhkan.
d. Namun untuk bisa sembuh, pasien harus berkomitmen menjalani
dan menuntaskan pengobatan sampai dinyatakan sembuh oleh
dokter.
e. Pengobatan TBC Kebal Obat terdiri dari 2 (dua) tahap, yaitu
Tahap Awal dan Tahap Lanjutan yang total waktunya paling
pendek 11 bulan dan paling lama 24 bulan.
f. Selama pengobatan pasien kemungkinan akan mengalami ESO
yang bisa ringan, bisa juga berat.
g. Pasien harus datang ke Puskesmas/RS untuk berobat dan minum
obat TBC setiap hari agar bila terjadi ESO, bisa segera
ditangani.
h. Perbaikan kondisi biasanya akan mulai terjadi di tahap awal
berupa hilangnya gejala dan naik berat badan. Namun, pasien
harus terus menuntaskan pengobatan hingga dinyatakan sembuh.
i. Pengobatan TBC gratis, pemerintah telah menyediakan obat
berkualitas dan teruji standar WHO. Pasien juga akan diberikan
uang transportasi selama pengobatan.
j. Jika pasien tidak berobat maka risikonya adalah penyakit yang
bertambah parah, menulari orang terdekat, dan kematian.

7. Edukasi Pencegahan Penularan


Untuk mencegah penularan kepada keluarga, lakukan hal-hal
berikut (Kemenkes RI, USAID and KNCV, no date b):
a. Memakai masker selama ada orang lain, baik di rumah maupun
di luar rumah. Anda boleh melepas masker jika dalam keadaan
sendirian.
b. Menutup mulut dengan sarung tangan atau lengan baju ketika
batuk atau bersin.
c. Membuka jendela, ventilasi, di kamar dan di rumah agar udara
terus mengalir.
d. Mengurangi kontak erat dengan bayi, anak, dan lansia karena
daya tahan tubuhnya rentan.
e. Tidur terpisah dari pasangan dan anggota keluarga lain jika
memungkinkan.
f. Menjemur kasur, bantal, dan guling.
g. Tidak merokok dan minum alkohol.
h. Olah raga ringan seperti peregangan.
i. Makan makanan bergizi (jangan makan gorengan, minuman
bersoda, gula)
j. Semakin cepat TBC kebal obat diobati, semakin cepat penularan
oleh kuman bisa dihentikan.
k. Semakin lama Anda memutuskan untuk memulai pengobatan,
semakin besar risiko penularan.

8. Edukasi Efek Samping OAT


Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa
mengalami efek samping yang bermakna. Namun, sebagian kecil dapat
mengalami efek samping yang signifikan sehingga mengganggu
pekerjaannya sehari-hari. Penting dilakukannya pemantauan gejala klinis
pasien selama pengobatan sehingga efek tidak diinginkan tersebut dapat
dideteksi segera dan ditata laksana dengan tepat.
Efek tidak diinginkan dari OAT dapat diklasifikasikan menjadi
efek mayor dan minor. Pasien yang mengalami efek samping OAT minor
sebaiknya melanjutkan pengobatan dan diberikan terapi simtomatik. Pada
pasien yang mengalami efek samping mayor maka paduan OAT atau OAT
penyebab sebaiknya dihentikan pemberiannya.
Efek samping dibagi atas 2 klasifikasi yaitu efek samping berat dan
ringan. Bila terjadi efek samping yang masuk ke dalam klasifikasi berat,
maka OAT dihentikan segera dan pasien dirujuk ke fasilitas yang lebih
tinggi.

Tabel 2.1 Pendekatan berdasarkan gejala untuk mengobati efek samping


dari OAT
9. Edukasi Peran PMO
WHO (World Health Organization) mengembangkan strategi
pengendalian TB termasuk untuk di Indonesia yaitu dengan strategi
TOSS (Temukan, Obati Sampai Sembuh). Fokus utama TOSS
(Temukan, Obati Sampai Sembuh). adalah penemuan dan
penyembuhan pasien TB. Salah satu dari komponen TOSS (Temukan,
Obati Sampai Sembuh) adalah panduan OAT (Obat Anti
Tuberkulosis) jangka pendek dengan pengawasan langsung (WHO,
2018). Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang
Pengawas Menelan Obat (PMO) (Kemenkes, 2017). Salah satu usaha
untuk menjamin pasien tetap semangat menelan obat sampai sembuh
adalah menyiapkan seseorang untuk mendampingi pasien TB, disebut
PMO (Pengawas Menelan Obat).
Tugas seorang PMO adalah: 1) Mengawasi pasien TB agar
menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan, 2) Memberi
dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur, 3) Mengingatkan
pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan,
4) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang
mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera
memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.
Siapa Saja Yang Akan Berperan Dalam Pengobatan Saya? Anda
tidak akan menjalaninya sendirian, akan ada banyak yang membantu
Anda:
a. Anda sendiri yang akan menentukan berhasil tidaknya
pengobatan ini. Jika Anda semangat, optimis, maka pengobatan
biasanya akan berjalan baik.
b. Dokter dibantu perawat yang akan memberikan obat, membantu
Anda mengatasi ESO, dan memantau keberhasilan pengobatan.
c. Keluarga (pasangan, anak, orang tua) harus memberikan
semangat dan dukungan.
d. Pendidik sebaya, mantan pasien TBC Kebal Obat yang sudah
sembuh, mereka bisa berbagi pengalaman keberhasilan mereka
menjalani pengobatan.
e. Manajer Kasus yang akan membantu Anda mengkomunikasikan
masalah tidak hanya kesehatan namun masalah lain.
f. Kader Kesehatan yang akan membantu Anda memecahkan
masalah-masalah lain yang Anda hadapi selama pengobatan.

10. Penanggulangan TBC melalui Gerakan TOSS TBC


TOSS TBC merupakan singkatan dari Temukan Obati Sampai
Sembuh Tuberkulosis. Program ini merupakan salah satu pendekatan
yang dilakukan untuk menemukan, mendiagnosis, mengobati, dan
menyembuhkan pasien TBC serta untuk menghentikan penularan
TBC yang terjadi di tengah masyarakat (Dirjen P2P Kemenkes, 2020).
TOSS TBC sendiri telah dicanangkan oleh pemerintah sejak tahun
2016. TOSS TBC merupakan program atau gerakan yang mengajak
masyarakat untuk memahami dengan benar mengenai penyakit TB
dan penanggulangannya, sehingga diharapkan mampu membentuk
masyarakat yang peduli TB (Pamela Sari & Rachmawati, 2019).
Gerakan ini memiliki tiga langkah, yaitu menemukan gejala di
masyarakat, mengobati TBC dengan tepat dan cepat, dan melakukan
pemantauan TBC sampai sembuh (Kemenkes, 2019).

Strategi komunikasi TOSS TBC adalah sebagai berikut:


(Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Kemenkes RI, 2020)

 Temukan
a) Memberikan informasi dasar kepada individu, keluarga,
kelompok berisiko, komunitas, dan masyarakat umum
tentang informasi dasar TBC yang mencakup gejala, cara
penularan, pencegahan, pemeriksaan, dan pengobatan
TBC.
b) Memberikan pemahaman kepada individu, keluarga,
kelompok berisiko, komunitas, dan masyarakat umum
tentang TBC bisa disembuhkan.
c) Memberikan pemahaman kepada individu, keluarga,
kelompok berisiko, komunitas, dan masyarakat umum
tentang pentingnya deteksi dini.
 Obati
a) Memberikan informasi tentang layanan kesehatan publik
yang berkualitas dan sesuai standar untuk menjadi rujukan
pertama saat mengalami gejala TBC.
b) Memotivasi pasien dan keluarga pasien agar segera
menjalani pengobatan TBC setelah diagnosis ditegakkan.
c) Memberikan informasi kepada pasien, keluarga pasien,
kelompok berisiko, komunitas, dan masyarakat umum
bahwa pemerintah menyediakan obat TBC yang
berkualitas dan gratis.
d) Menyampaikan informasi kepada pasien dan keluarga
pasien tentang pengobatan TBC.
 Sampai Sembuh
a) Meningkatkan kesadaran pasien dan keluarga pasien
tentang pentingnya pengobatan TBC sesuai standar sampai
sembuh.
b) Meningkatkan partisipasi keluarga dan komunitas dalam
memastikan kepatuhan pasien TBC dalam pengobatannya.
c) Memotivasi pasien dan keluarga pasien agar patuh
menjalani pengobatan TBC sampai sembuh.

Langkah-langkah TOSS TBC: (Direktorat Jenderal Pencegahan


dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI, 2020)
 Temukan Gejala TBC di Masyarakat
1. Bila anda batuk terus menerus dan ada gejala tambahan
TBC lainnya (berat badan menurun, nafsu makan
berkurang, demam dan meriang, berkeringat malam hari
tanpa melakukan aktifitas) segera sampaikan ke petugas
kesehatan di Fasilitas Kesehatan terdekat.
2. Bila ada keluarga dan masyarakat disekitar anda memiliki
gejala yang sama, segera rujuk untuk memeriksakan diri
ke Fasilitas Kesehatan terdekat.
 Obati TBC denga tepat
1. Diagnosa TBC dapat di lakukan di Fasilitas Kesehatan
secara gratis.
2. Lakukan pemeriksaan dahak sesuai anjuran petugas agar
mendapatkan hasil yang optimal.
3. Obat TBC yang berkualitas tersedia gratis di Fasilitas
Kesehatan.
 Pantau Pengobatan TBC sampai sembuh
1. Pengobatan TBC menggunakan jenis obat dan dosis yang
tepat yang telah disediakan oleh Fasilitas Kesehatan.
2. Obat harus diminum secara teratur sampai pengobatan
tuntas dan sembuh.
3. Pengawas Menelan Obat (PMO) dari petugas kesehatan
dana tau orang terdekat anda.
4. Lakukan pemeriksaan di bulan kedua, kelima dan keenam
di akhir pengobatan.
11. Cegah TBC dengan PHBS
Perilaku preventif yang sebaiknya dilaksankan supaya dapat
mencegah penyakit TBC diantaranya adalah dengan melakukan
kebiasaan hidup bersih dan sehat. Pemahaman tentang penyakit dan
hidup sehat harus selalu ditekankan pada seluruh masyrakat terutama
santri. Karena santri umumnya tinggal di asrama dengan jumlah
penghuni yang banyak. Hal ini menjadi dasar agar seluruh santri
mampu melakukan Tindakan PHBS sebagai salah satu wujud prevensi
penyakit TBC Paru di lingkungan pesantren. Menurut Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, terdapat sepuluh Tindakan PHBS
dimana terdapat tujuh perilaku PHBS dan tiga perilaku gaya hidup
sehat yang perlu dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu: (Putri,
Nugraha, & Syamsulhuda, 2017)

1. Seluruh jendela dan pintu rumah sebaiknya dibuka lebar


terutama pada pagi hari agar seluruh ruangan rumah
mendapatkan cahaya matahari dan udara bersih berganti.
2. Seluruh peralatan tidur seperti Kasur, bantal dan lainya
sebaiknya dijemur secara regular minimal seminggu sekali.
3. Jumlah penghuni harus sesuai dengan luas rumah hunian.
4. Selalu memperhatikan kebersihan individu, tempat tinggal dan
sekitar rumah.
5. Sebaiknya lantai rumah dialaskan dengan semen atau dipasang
keramik.
6. Membiasakan batuk dan bersin yang beretika.
7. Ludah atau dahak sebaiknya dibuang di kloset dan jangan
dibuang didepan banyak orang.
8. Tidur malam yang cukup dan tidak begadang.
9. Selalu makan dengan nutrisi yang berimbang.
10. Sebaiknya menghindari asap dapur dan asap rokok yang
berlebihan di dalam rumah.

Pencegahan penularan TB dalam kategori lingkungan misalnya


dalam bentuk konstruksi rumah. Melalui ventilasi, udara dapat keluar
membawa M. tuberculosis dan mati terkena sinar ultraviolet. Tidak
cukupnya luas ventilasi juga dapat meningkatkan kelembaban
ruangan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang
baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen
termasuk M. tuberculosis (Setiadi and Adi, 2019). Kelembaban yang
tinggi disebabkan karena beberapa factor seperti kurangnya cahaya
yang masuk kedalam rumah, jenis lantai, jenis dinding, dan ventilasi,
sehingga dapat menyebabkan tingginya kelembaban pada ruangan.
Pencahayaan yang kurang disebabkan karena kurangnya kesadaran
untuk membuka jendela, gorden, dan pintu rumah. Kurangnya kaca
pada atap rumah juga dapat mempengaruhi banyaknya sinar matahari
yang masuk kedalam rumah. Sinar matahari juga tidak dapat masuk
karena terhalang oleh dinding atau tembok rumah tetangga (Mulasari,
2019). Hal tersebut sesuai dengan kenyataan di lapangan bahwa
kategori pertanyaan pencegahan TB dengan PHBS belum banyak
diketahui oleh masyarakat, misalnya rutin membuka jendela setiap
hari agar cahaya matahari masuk dan udara tidak lembab, karena
baketri TB akan mati karena cahaya; memisahkan alat makan dan
minum dengan penderita ; dan rutin menjemur alas tidur.

12. Etika Batuk yang Benar sebagai Upaya Pencegahan TBC

TB bisa dicegah salah satunya dengan cara memberikan


penjelasan pada penderita untuk menutup mulut dengan sapu
tangan bila batuk serta tidak meludah atau mengeluarkan
dahak disembarang tempat dan menyediakan tempat ludah yang
diberi Lysol atau bahan lain yang dianjurkan. Etika Batuk
merupakan tata cara batuk yang baik dan benar, dengan cara
menutup hidung dan mulut dengan tissue atau lengan baju
sehingga bakteri tidak menyebar ke udara dan tidak menular
ke orang lain. Tujuan utama menjaga etika batuk adalah
mencegah penyebaran suatu penyakit secara luas melalui udara
bebas (Droplets) dan membuat kenyamanan pada orang di
sekitarnya. Droplets tersebut dapat mengandung kuman infeksius dari
Mycobacterium Tuberculosis yang berpotensi menular ke orang
lain disekitarnya melalui udara pernafasan. Mengingat TB adalah
kasus yang membutuhkan penanganan yang lama dan bersifat
menular, maka dibutuhkan komitmen yang kuat dari semua
pihakdalam penanggulangannya. Penjangkauan suspek yang lebih
intens dan luas, sosialisasi yang lebih gencar kepada masyarakat,
pelatihan yang kontinyu bagi petugas kesehatan serta dukungan
dalam penganggaran adalah upaya yang bisa dilakukan untuk
menurunkan angka kejadian TB. Individu dalam lingkup
bermasyarakat bisa berperan dalam penerapan strategi ini, salah
satunya dengan menerapkan etika batuk yang benar. Melihat
kebiasaan sebagian orang saat berinteraksi di tempat umum atau
kerumunan, ternyata belum banyak yang paham tentang tata cara
etika batuk yang benar agar tidak menularkan penyakit TB ke
orang lain sehingga edukasi tentang etika batuk yang benar perlu
dilakukan. (Hapipah, H., Istianah, I., Arifin, Z., & Hadi, I., 2021)

BAB III
METODE PENGAMBILAN DAN INTERPRETASI DATA

3.1 KAJIAN EPIDEMIOLOGIS DISTRIBUSI FREKUENSI SESUAI


JUMLAH TERDUGA TUBERKULOSIS, KASUS TUBERKULOSIS,
KASUS TUBERKULOSIS ANAK, CASE NOTIFICATION RATE
(CNR) PER 100.000 PENDUDUK DAN CASE DETECTION RATE
(CDR) MENURUT JENIS KELAMIN, KECAMATAN, DAN
PUSKESMAS KABUPATEN/ KOTA BAMBANGLIPURO TAHUN
2021
Metode pengambilan data diambil dari data Prevalensi Terduga
Tuberkulosis, Kasus Tuberkulosis, Kasus Tuberkulosis Anak, Case
Notification Rate (CNR) per 100.000 penduduk dan Case Detection Rate
(CDR) menurut Jenis Kelamin, Kecamatan, dan Puskesmas Kabupaten/
Kota Bambanglipuro pada tiga Desa, yaitu Sidomulyo, Sumbermulyo, dan
Mulyodadi dalam periode 1 Januari 2021 sampai 31 Desember 2021.

a) Jumlah Terduga Tuberkulosis Berdasarkan Wilayah Kerja Puskesmas

FREKUENSI KASUS TERDUGA TBC


BERDASARKAN WILAYAH KERJA PUSKESMAS
PERIODE 1 JANUARI 2021 - 31 DESEMBER 2021
30
30
24
25 22

20

15

10

0
SIDOMULYO MULYODADI SUMBERM...

Diagram 3.1 Data Jumlah Terduga Tuberkulosis Yang Mendapatkan Pelayanan


Sesuai Standar Berdasarkan Wilayah Kerja Puskesmas
Periode 1 Januari 2021-31 Desember 2021
Berdasarkan data jumlah terduga tuberkulosis yang mendapatkan
pelayanan sesuai standar berdasarkan wilayah kerja puskesmas periode
1 Januari 2021-31 Desember 2021 menunjukan bahwa Sidomulyo
merupakan wilayah yang memiliki prevalensi kejadian tuberkulosis
tertinggi yaitu sebanyak 30 kasus, diikuti oleh wilayah Mulyodadi
dengan prevalensi kejadian tuberkulosis sebanyak 24 kasus, dan
Sumbermulyo menempati urutan terakhir dengan prevalensi kejadian
tuberkulosis sebanyak 22 kasus.

b) Jumlah Seluruh Kasus Tuberkulosis Berdasarkan Pemantauan


Wilayah Setempat (PWS) Kecamatan Bambanglipuro
c) Jenis Kelamin

FREKUENSI KASUS TBC


BERDASARKAN JENIS KELAMIN
PERIODE 1 JANUARI 2021 - 31 DE-
SEMBER 2021

LAKI-LAKI
27% PEREMPUAN
JUMLAH
KASUS: 3

73%
JUMLAH
KASUS: 8

Diagram 3.2 Data Jumlah Semua Kasus Tuberkulosis Berdasarkan Jenis


Kelamin Periode 1 Januari 2021-31 Desember 2021

Berdasarkan data semua kasus tuberkulosis di Kecamatan


Bambanglipuro pada periode 1 Januari 2021 – 31 Desember 2021
menunjukan bahwa prevalensi kejadian tuberkulosis lebih tinggi pada
perempuan dengan jumlah 3 orang (27%) dan pada laki-laki sebanyak
8 orang (73%).

d) Kasus TB Anak (0-14 tahun)


FREKUENSI KASUS TB ANak (0 -14 Tahun)
PERIODE 1 JANUARI 2021 - 31 DESEM-
BER 2021
1
1
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1 0 0
0
SIDOMULYO MULYODADI SUMBERMULYO

Diagram 3.3 Data Kasus Tuberkulosis Anak 0-14 Tahun


Periode 1 Januari 2021-31 Desember 2021

Berdasarkan data kasus tuberkulosis anak 0-14 tahun di


Kecamatan Bambanglipuro pada periode 1 Januari 2021 – 31
Desember 2021 menunjukan bahwa Sidomulyo merupakan wilayah
yang memiliki prevalensi kejadian tuberkulosis anak lebih tinggi yaitu
1 kasus, sedangkan pada wilayah Mulyodadi dan Sumbermulyo tidak
didapatkan kasus TB anak.
e) Perkiraan Insiden Tuberkulosis (Dalam Absolut) Berdasarkan
Modeling Tahun 2021
Jumlah kasusbaru penyakit dalam suatu
populasi pada periode waktu tertentu
Incidence Rate= x 100.000
Jumlah orang yang berisiko mengalami penyakit
tersebut pada periode waktu yang sama
76
Incidence Rate= x 100.000
41.693
Incidence Rate = 182,3/100.000

Perkiraan insiden tuberkulosis (dalam absolut) di Kecamatan


Bambanglipuro berdasarkan modeling tahun 2021 adalah
182,3/100.000 penduduk.

f) Case Notification Rate (CNR)


Angka Case Notification Rate (CNR) seluruh kasus TB
menggambarkan jumlah pasien baru semua tipe (TB Paru, Ekstra paru
dan TB Anak) yang ditemukan dan tercatat diantara 100.000
penduduk. CNR semua kasus tuberkulosis per 100.000 penduduk di
Kecamatan Bambanglipuro tahun 2021 adalah 24 per 100.000
penduduk.
g) Case Detection Rate (CDR)
Jumlah pasienbaru TB BTA positif yang dilaporkan
CDR= x 100 %
Perkiraan jumlah ( insiden ) pasienbaru TB BTA Positif
11
CDR= x 100 %
182,3
CDR=6 %
Angka Case Detection Rate (CDR) menggambarkan jumlah
proporsi pasien baru BTA positif yang ditemukan dan pengobatan
terhadap jumlah pasien baru BTA positif yang diperkiran di suatu
wilayah. CDR kasus tuberkulosis BTA positif di Kecamatan
Bambanglipuro tahun 2021 adalah 6%.
3.2 KAJIAN EPIDEMIOLOGIS DISTRIBUSI FREKUENSI SESUAI
ANGKA KESEMBUHAN DAN PENGOBATAN LENGKAP SERTA
KEBERHASILAN PENGOBATAN TUBERKULOSIS MENURUT
JENIS KELAMIN, KECAMATAN, DAN PUSKESMAS
KABUPATEN/ KOTA BAMBANGLIPURO TAHUN 2021
Metode pengambilan data diambil dari data Angka Kesembuhan dan
Pengobatan Lengkap serta Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis Menurut
Jenis Kelamin, Kecamatan, dan Puskesmas Kabupaten/ Kota
Bambanglipuro pada tiga Desa, yaitu Sidomulyo, Sumbermulyo, dan
Mulyodadi dalam periode 1 Januari 2021 sampai 31 Desember 2021

a) Jumlah Kasus Tuberkulosis

Jumlah Kasus Tuberkulosis


Jumlah Semua Kasus
Paru Terkonfirmasi
Tuberkulosis Terdaftar
Puskesmas Bakteriologis yang
dan Diobati*)
Terdaftar dan Diobati*)

L P L+P L P L+P
Sidomulyo 0 1 1 0 3 3
Mulyodadi 0 1 1 0 2 2
Sumbermulyo 3 2 5 3 3 6
Jumlah 3 4 7 3 8 11
Tabel 3.1 Data Jumlah Kasus Tuberkulosis Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang
Terdaftar dan Diobati dan Jumlah Semua Kasus Tuberkulosis Terdaftar dan Diobati
Periode 1 Januari 2021-31 Desember 2021
Keterangan:
L : Laki-Laki
P : Perempuan
L+P : Laki-Laki dan Perempuan
*) : Kasus Tuberkulosis terdaftar dan diobati berdasarkan kohort yang sama
dari kasus yang dinilai kesembuhan dan pengobatan lengkap

Berdasarkan data diatas, jumlah kasus tuberkulosis paru


terkonfirmasi bakteriologis yang terdaftar dan diobati di
Bambanglipuro periode 1 Januari 2021-31 Desember 2021 adalah 7
kasus. Prevalensi kejadian lebih tinggi pada perempuan dengan
jumlah 4 kasus dan laki-laki 3 kasus. Sedangkan jumlah semua kasus
tuberculosis terdaftar dan diobati di Bambanglipuro periode 1 Januari
2021-31 Desember 2021 adalah 11 kasus. Prevalensi kejadian lebih
tinggi pada perempuan dengan jumlah 8 kasus sedangkan pada laki-
laki 3 kasus.

b) Angka Kesembuhan (Cure Rate)

Angka Kesembuhan (Cure Rate) Tuberkulosis Paru


Terkonfirmasi Bakteriologis

Puskesmas
Laki-Laki &
Laki-Laki Perempuan
Perempuan

Jumlah % Jumlah % Jumlah %


Sidomulyo 0 0 1 100,0 1 100
Mulyodadi 0 0 1 100,0 1 100
Sumbermulyo 2 66,7 2 100,0 4 80
Jumlah 2 66,7 4 100 6 85,7
Tabel 3.2 Angka Kesembuhan (Cure Rate) Tuberkulosis Paru Terkonfirmasi
Bakteriologis Periode 1 Januari 2021-31 Desember 2021

Berdasarkan data diatas, angka kesembuhan (cure rate)


tuberkulosis paru terkonfirmasi bakteriologi di Bambanglipuro
periode 1 Januari 2021-31 Desember 2021 adalah 85,7% (6 kasus).
Angka kesembuhan pada perempuan lebih tinggi yaitu 100% (4 kasus)
sedangkan pada laki-laki 66,7% (2 kasus).

c) Angka Pengobatan Lengkap (Complete Rate)

Angka Pengobatan Lengkap


(Complete Rate) Semua Kasus Tuberkulosis

Puskesmas
Laki-Laki &
Laki-Laki Perempuan
Perempuan

Jumlah % Jumlah % Jumlah %


Sidomulyo 0 0 2 66,7 2 66,7
Mulyodadi 0 0 1 50,0 1 50
Sumbermulyo 0 0 0 0,0 0 0
Jumlah 0 0 3 37,5 3 27,3
Tabel 3.3 Angka Pengobatan Lengkap (Complete Rate) Semua Kasus
Tuberkulosis Periode 1 Januari 2021-31 Desember 2021

Berdasarkan data diatas, angka pengobatan lengkap (complete


rate) semua kasus tuberkulosis di Bambanglipuro periode 1 Januari
2021-31 Desember 2021 adalah 27,3% (3 kasus). Angka pengobatan
lengkap (complete rate) pada perempuan lebih tinggi yaitu 37,5% (3
kasus).
d) Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate/ SR)

Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate/ SR)


Semua Kasus Tuberkulosis

Puskesmas
Laki-Laki &
Laki-Laki Perempuan
Perempuan

Jumlah % Jumlah % Jumlah %


Sidomulyo 0 0 3 100 3 100
Mulyodadi 0 0 2 100 2 100
Sumbermuly
2 66,7 2 66,7 4 66,7
o
Jumlah 2 66,7 7 87,5 9 81,8
Tabel 3.4 Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate/SR) Semua Kasus
Tuberkulosis Periode 1 Januari 2021-31 Desember 2021

Berdasarkan data diatas, angka keberhasilan pengobtan (Success


Rate/ SR) semua kasus tuberkulosis di Bambanglipuro periode 1
Januari 2021-31 Desember 2021 adalah 81,8% (9 kasus). Angka
kesembuhan pada perempuan lebih tinggi yaitu 87,5% (7 kasus)
sedangkan pada laki-laki 66,7% (2 kasus).
BAB IV
ANALISIS KASUS DAN DETERMINAN

4.1 ANALISIS KASUS


Pasien merupakan seorang Wanita berusia 25 tahun, bertempat tinggal
di Ceme, Gedongan, Sanden, Bantul. Berdasarkan data yang diperoleh dari
wawancara dengan pasien dan rekam medis, pasien terdiagnosis TB Ekstra
Paru pada Januari 2022. Pasien patuh meminum OAT setiap harinya selama
hampir 2 bulan menjalankan fase intensif pengobatan TB. Selama menjalani
rangkaian proses pemeriksaan sejak masih di perguruan tinggi hingga pasien
menjalani pengobatan TB, pasien tidak pernah didampingi oleh keluarga,
karena pasien merasa cukup mandiri dan kompeten dalam mengambil
keputusan terkait kondisi kesehatannya.
Keluhan saluran pernapasan yang dialami pasien sudah muncul sejak
tahun 2017, satu tahun sejak pasien kuliah di UNY dimana saat itu pasien
setiap harinya pergi kuliah pukul 06.00 WIB dan pulang malam hari di atas
jam 21.00 WIB. Pasien seringkali mengalami batuk berdahak, disertai
meriang, demam, keringat dingin, hingga nafsu makan yang menurun.
Pasien sudah sering berpindah-pindah pengobatan mulai dari RS PKU
Muhammadiyah, RS Elisabeth, dan Puskesmas Bambanglipuro. Pasien
awalnya di diagnosis mengalami bronchitis dan sudah pernah menerima
terapi nebulizer. Seiring berjalannya waktu dan aktivitas pasien yang
meskipun terkesan padat, namun pasien mulai merasa terbiasa dengan
kondisi kesehatannya yang sering kambuh-kambuhan namun membaik
dengan sendirinya, sehingga membuat pasien tidak pernah memeriksakan
kondisi kesehatannya ke layanan Kesehatan hingga mucul benjolan di leher
dan ketiak pada tahun awal tahun 2021. Selain itu, teman kuliah pasien ada
yang terdiagnosis TBC pada tahun 2019. Kondisi pasien ini dapat
memengaruhi system imun yang berperan penting dalam pertahanan tubuh
dalam melawan virus maupun bakteri.
Saat ini pasien tinggal bersama 5 orang anggota keluarga lainnya.
Lima orang anggota keluarga tersebut, yaitu bapak, ibu, kakak kandung,
kakak ipar, keponakan yang masih berumur 1 tahun. Lingkungan rumah
pasien, secara umum tampak lembab dan kurang saluran ventilasi. Pasien
mengatakan, orang tua pasien selama 1-2 bulan ini juga mengalami batuk
kering yang kambuh-kambuhan. Kondisi ekonomi dari pasien tergolong
dalam kelompok menengah kebawah, namun untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari masih tergolong cukup. Pasien sudah membiayai diri sendiri
secara mandiri, dikarenakan sudah bekerja sebagai guru honorer sejak tahun
2020. Pasien mengatakan bahwa untuk kebutuhan makan di rumah masih
mengikuti menu yang disediakan orang tua dan biaya makan tersebut masih
ditanggung oleh kedua orang tua pasien. Pasien bersuku jawa, dan asli dari
dusun ceme. Pasien tidak pernah pindah, selalu bertempat tinggal di dusun
ceme. Budaya di daerah tersebut mengenai TBC, belum menganggap TBC
sebagai penyakit yang perlu segera diperiksakan ke puskesmas. Hal ini
dikarenakan masih menggap jika mengalami gejala-gejala TBC sudah
membaik, tidak perlu lagi diperiksakan. Akses informasi mengenai penyakit
TBC, maupun penyakit lainnya didapatkan pasien dari media sosial. Pasien
belum pernah mendapatkan informasi maupun penyuluhan dari puskesmas
setempat terkait penyakit TBC. Terutama di masa pandemic COVID-19 ini
kegiatan dari fasilitas layanan Kesehatan setempat untuk terjun langsung ke
masyarakat sangat terbatas.
Pasien sehari-hari beraktivitas sebagai seorang guru honorer SMP,
dimana jam kerja pasien dimulai pukul 07.00-15.00 WIB setiap hari Senin-
Jumat. Pasien menyampaikan bahwa pekerjaan yang ditugaskan kepadanya
dirasakan cukup berat mengingat pasien sendiri adalah junior di tempat
pasien bekerja, karena usia pasien yang masih muda, dan baru saja lulus dari
perguruan tinggi sehingga seringkali mendapat pekerjaan tambahan yang
lebih banyak dari para seniornya. Keadaan tersebut sudah biasa dialami oleh
pasien, namun memang pasien mengatakan bahwa seringkali pasien merasa
kelelahan. Beberapa kondisi baik faktor internal dari pasien maupun faktor
eksternal dari lingkungan dapat meningkatkan risiko penularan penyakit
tuberculosis.

4.2 ANALISIS DETERMINAN


Berdasarkan segitiga epidemiologi, suatu penyakit dapat dialami
seseorang karena interaksi antara host (pejamu), agent (penyebab penyakit),
dan environment (lingkungan). Dalam konteks penyakit TBC, ketiga faktor
dalam segitiga epidemiologi saling memengaruhi satu sama lain, sehingga
akan menyebabkan imunitas host menjadi lebih rentan untuk tertular
penyakit dan memudahkan agent untuk mengganggu system pertahanan
tubuh host. Penjelasan keterkaitan antara ketiga faktor dalam segitiga
epidemiologi pada pasien dengan TBC tersebut adalah sebagai berikut.

A. Host
1. Usia
Di sebagian besar suvei kesehatan, tingkat kejadian
tuberkulosis lebih tinggi pada laki-laki pada semua usia kecuali
pada masa kanak-kanak, ketika lebih tinggi pada wanita. Studi
telah melaporkan bahwa perbedaan jenis kelamin dalam tingkat
prevalensi mulai muncul antara 10 dan 16 tahun, dan tetap lebih
tinggi untuk laki-laki daripada perempuan setelahnya.
2. Jenis Kelamin
Berdasarkan penelitian Marçôa., et al (2018), TB
notification rate secara signifikan lebih tinggi pada laki-laki
dibandingkan dengan perempuan setelah dekade kedua
kehidupan. Pada laki-laki, tingkat notifikasi tertinggi adalah
52,2 per 100.000 penduduk (95% CI 49,9–54,5) pada kelompok
usia 40–49 dan pada wanita adalah 23,4 (95% CI 21,7–25,2)
pada kelompok usia 20–29. Setelah dekade kedua kehidupan,
terjadi peningkatan progresif dalam rasio pria-wanita yang
mencapai nilai tertinggi pada kelompok usia 50-59 (rasio
pria:wanita =3,4; 95% CI 3,0-3,7).
Keadaan ini dipicu oleh dominasi lebih banyak
komorbiditas dan faktor risiko TB pada pria dibandingkan
wanita, seperti penyalahgunaan alcohol, HIV, merokok, PPOK,
ca paru, silicosis dan pengobatan TB sebelumnya (Marçôa,
2018).
3. Status Imunitas (Daya Tahan Tubuh)
Menurut data WHO, orang yang hidup dengan HIV 18
(Interval ketidakpastian: 15-21) kali lebih mungkin untuk
menderita TB aktif dibandingkan orang tanpa HIV. HIV dan TB
membentuk kombinasi yang mematikan, masing-masing
mempercepat progresifitas penyakit satu sama lain. Pada tahun
2020, sekitar 215.000 orang meninggal karena TB terkait HIV.
Persentase pasien TB yang diberitahu yang memiliki hasil tes
HIV yang terdokumentasi pada tahun 2020 hanya 73%, naik
dari 70% pada tahun 2019.
4. Pekerjaan dan Status Sosial
Pasien bekerja sebagai seorang guru honorer di SMP 4
Sewon, Bantul selama hampir 2 tahun. Pasien diketahui belum
menikah dan masih tinggal bersama orang tua dan kakak
kandung serta iparnya. Kedua orang tua pasien bekerja sebagai
petani dan kakak kandung pasien juga seorang guru SMP.
Pada penelitian Hasan M. Semilan, et al., (2021),
dijelaskan bahwa di Amerika Serikat, paparan silika kristalin
yang tinggi secara signifikan meningkatkan risiko infeksi TB
paru bersama dengan penyakit paru-paru lainnya. Paparan
infeksi TB meningkat pada petugas kesehatan, pekerja
pemakaman, pekerjaan konstruksi, tukang batu, tukang kayu,
dan operator mesin pertambangan karena pekerjaan mereka.
Selain itu, pekerjaan dengan status sosial ekonomi rendah
seperti tukang jagal, mekanik mobil, pekerjaan juru tulis, tukang
reparasi peralatan industri/perdagangan listrik, dan entertainers
merupakan faktor risiko infeksi TB.
Pendapatan rendah adalah faktor yang paling signifikan
dalam hal ketidakpatuhan terhadap pengobatan dibandingkan
dengan penyalahgunaan narkoba, ketidakpatuhan terhadap
rejimen pengobatan sebelumnya, dan riwayat merokok. Dalam
subkelompok kasus pengobatan ulang, kemiskinan dikaitkan
dengan risiko dropout yang lebih tinggi (Semilan et al., 2021).

B. Agent
1. M.tuberculosis
Mycobacterium tuberculosis menyebar dari orang ke
orang melalui udara. Ketika penderita TBC paru batuk, bersin
atau meludah, mereka mendorong kuman TBC ke udara.
Seseorang hanya perlu menghirup beberapa kuman ini untuk
terinfeksi.
Menurut WHO, pada individu yang imunokompeten,
pajanan terhadap M.tuberculosis biasanya menyebabkan infeksi
laten/dorman. Hanya sekitar 5% dari orang-orang ini kemudian
menunjukkan bukti penyakit klinis. Perubahan pada sistem imun
host yang menyebabkan penurunan efektivitas imun dapat
memungkinkan organisme MTBC untuk aktif kembali, dengan
penyakit tuberkulosis yang dihasilkan dari kombinasi efek
langsung dari organisme infeksius yang bereplikasi dan dari
respons imun pejamu terhadap antigen tuberkulosis.
2. Merokok
Pasien dan keluarga yang ada di rumah tidak ada yang
merokok (perokok aktif maupun pasif). Namun, tetangga di
sebelah rumah pasien yang juga merupakan paman pasien
marupakan seorang perokok aktif selama bertahun-tahun.
Berdasarkan penelitian dari Roya Alavi-Naini, et al.,
(2012), merokok telah terbukti berhubungan dengan infeksi TB.
Selain itu, merokok juga dikaitkan dengan prognosis negatif TB.
Merokok dapat mempengaruhi banyak sistem organ, tetapi paru-
paru mengalami kerusakan yang paling parah. Merokok
merusak paru-paru dan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh,
membuat perokok lebih rentan terhadap infeksi TBC. Terjadinya
TB telah terbukti terkait dengan perubahan respon imun dan
beberapa defek pada sel imun seperti makrofag, monosit dan
limfosit CD4. Mekanisme lain, seperti gangguan mekanis pada
fungsi silia dan efek hormonal, juga dapat muncul secara
sekunder akibat merokok. Oleh karena itu, semua faktor ini
dapat berkontribusi pada peningkatan kerentanan seseorang
untuk mengembangkan infeksi TB (Alavi-Naini, Sharifi-Mood
and Metanat, 2012).
3. Alkohol
Menurut penelitian Simou, et al., (2018), konsumsi
alkohol merupakan faktor risiko potensial untuk TB karena
alkohol dapat merusak sistem kekebalan dan meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi primer dan reaktivasi penyakit.
Konsumsi alcohol itu juga terkait dengan risiko malnutrisi dan
penyakit hati yang lebih tinggi, yang keduanya merusak
kekebalan. Konsumsi alkohol selanjutnya dapat meningkatkan
risiko TB sebagai akibat buruknya penggunaan layanan medis di
antara konsumen alkohol berat (Simou, Britton and Leonardi-
Bee, 2018).

4. Nutrisi
Berdasarkan penelitian Feleke, et al., (2019), hubungan
antara TB dan malnutrisi bersifat dua arah, TB mempengaruhi
pasien untuk malnutrisi dan malnutrisi meningkatkan risiko
berkembangnya TB aktif sebesar 6 hingga 10 kali lipat.
Seperempat dari TB di dunia adalah akibat dari kekurangan gizi,
peningkatan status gizi individu menurunkan risiko TB. Selain
itu, malnutrisi meningkatkan kekambuhan dan kematian TB
(Feleke, Feleke and Biadglegne, 2019).

C. Environment
1. Sosial
Pasien tinggal bersama 5 orang anggota keluarga lainnya.
Hubungan pasien dengan 5 orang anggota keluarga lainnya baik
dan harmonis. Orang tua pasien bekerja sebagai petani, kakak
kandung bekerja sebagai guru, dan kakak ipar bekerja sebagai
ibu rumah tangga. Keluarga pasien mendukung dan memberikan
support saat pasien terdiagnosis TBC ekstra paru. Orang tua
pasien juga memberikan perhatian lebih saat pasien sempat
dirawat di rumah sakit untuk biopsy, namun pasien sudah
terbiasa mandiri dalam menjalani berbagai proses pengobatan
yang dijalani pasien, seperti berobat ke RS saat mengalami
bronchitis, tindakan biopsy semuanya dijalani pasien sendiri
tanpa didampingi oleh keluarga. Pasien mengatakan tidak ada
Pengawas Menelan Obat (PMO). Saat minum obat, sebagai
pengingat, pasien menggunakan alarm dari handphone. Pasien
juga tinggal bersebelahan dengan tetangga yang masih saudara
(paman), namun jarang berkomunikasi dikarenakan kesibukan
pasien. Pasien juga mengakui bahwa pasien sangat jangan
bersosialisasi dengan warga sekitar atau tetangga sekitar rumah
dikarenakan sejak kuliah seringkali pulang sudah larut malam,
dan saat ini sibuk dengan pekerjaan di sekolah.
2. Budaya
Pasien bersuku jawa, dan asli dari dusun ceme. Pasien
tidak pernah pindah, selalu bertempat tinggal di dusun ceme.
Budaya di daerah tersebut mengenai TBC, belum menganggap
TBC sebagai penyakit yang perlu segera diperiksakan ke
puskesmas. Hal ini dikarenakan masih menggap jika mengalami
gejala-gejala TBC sudah membaik, tidak perlu lagi
diperiksakan.
3. Agama
Pasien dan keluarga menganut agama Islam dan taat
beribadah sesuai ajaran agama.
4. Pendidikan
Pasien menempuh pendidikan di Universitas Negeri
Yogyakarta, dengan jurusan sarjana pendidikan guru (gelar
S.Pd). Sejak kecil, pasien tidak pernah bersekolah di luar Jogja,
sehingga saat pasien menempuh pendidikan tinggi, pasien tidak
menyewa kos di yogyakarta dikarenakan tidak mendapat ijin
dari orang tua. Pasien mengaku setiap harinya selama 4 tahun
berkuliah pasien selalu pulang-pergi Sanden-kota Yogyakarta.
Pasien mengatakan jika saat awal kuliah, sering mudah capek
dan saat merasa badan "drop", pasien menginap di rumah teman.
Pasien menambahkan, teman pasien ada yang terdiagnosis TBC
paru pada tahun 2019. Informasi mengenai penyakit TBC,
maupun penyakit lainnya didapatkan pasien dari media sosial.
Pasien belum pernah mendapatkan informasi maupun
penyuluhan dari puskesmas setempat terkait penyakit TBC.
Terutama di masa pandemic COVID-19 ini kegiatan dari
fasilitas layanan Kesehatan setempat untuk terjun langsung ke
masyarakat sangat terbatas.
5. Ekonomi
Kondisi ekonomi dari pasien tergolong dalam kelompok
menengah kebawah, namun untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari masih tergolong cukup. Pasien sudah membiayai diri sendiri
secara mandiri, dikarenakan sudah bekerja sebagai guru honorer
sejak tahun 2020. Pasien mengatakan bahwa untuk kebutuhan
makan di rumah masih mengikuti menu yang disediakan orang
tua dan biaya makan tersebut masih ditanggung oleh kedua
orang tua pasien, karena memang masih tinggal satu rumah
dengan orang tua, bersama kakak kandung, ipar dan keponakan
pasien. Orang tua pasien sehari-harinya bekerja sebagai petani
dan ternak ikan di kolam belakang rumah, sedangkan kakak
kandung pasien bekerja sebagai guru di SMP 2 Sewon.
6. Kondisi Kehidupan Sehari-hari
Pasien sehari-hari beraktivitas sebagai seorang guru
honorer SMP, dimana jam kerja pasien dimulai pukul 07.00-
15.00 WIB setiap hari Senin-Jumat. Pasien menyampaikan
bahwa pekerjaan yang ditugaskan kepadanya dirasakan cukup
berat mengingat pasien sendiri adalah junior di tempat pasien
bekerja, karena usia pasien yang masih muda, dan baru saja
lulus dari perguruan tinggi sehingga seringkali mendapat
pekerjaan tambahan yang lebih banyak dari para seniornya.
Keadaan tersebut sudah biasa dialami oleh pasien, namun
memang pasien mengatakan bahwa seringkali pasien merasa
kelelahan. Saat pasien pulang kerja, pasien hanya beristirahat di
rumah dan tidak melakukan pekerjaan rumah yang berat
mengingat kondisi pasien saat ini sedang sakit dan harus
menjalani pengobatan yang cukup lama.
7. Layanan Kesehatan
Pasien terdiagnosis TBC Ekstra Paru sejak Januari 2022,
namun proses penegakkan diagnosis yang dijalani pasien sudah
lebih dari 1 tahun sejak benjolan di leher dan ketiak muncul.
Pasien awalnya pergi ke RS PKU Muhammadiyah Bantul dan di
diagnosis bronchitis. Pasien sempat menjalani terapi nebulizer
namun hanya dijalani pasien sebanyak 1x. Kemudian pasien
pergi periksa ke RS Santa Elisabeth dan dianjurkan untuk
dilakukan tindakan biopsy pada akhir tahun 2021. Tindakan
biopsy dilakukan pada benjolan di ketiak pasien, kemudian hasil
biopsy menunjukkan bahwa pasien mengalami TBC kelenjar
getah bening. Sejak saat itu pasien mulai menjalani pengobatan
di Puskesmas Bambanglipuro dan hingga saat ini pasien selalu
patuh meminum obat setiap harinya. Pasien saat ini sudah
menempuh tahap akhir fase intensif.
Puskesmas Bambanglipuro merupakan pusat layanan
kesehatan yang berada dalam wilayah tempat tinggal pasien.
Lokasi Puskesmas Bambanglipuro diketahui lebih dekat
daripada Puskesmas Sanden dari lokasi rumah pasien, sehingga
pasien dan keluarga memutuskan untuk mendaftar BPJS di
Puskesmas Bambanglipuro sebagai FKTP. Puskesmas
Bambanglipuro merupakan salah satu puskesmas utama di
wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul. Puskesmas
Bambanglipuro memiliki spectrum pengendalian penyakit
menular, salah satunya TBC yang lengkap, mulai dari promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitative, serta tenaga kesehatan yang
memadai untuk pelaksanaan kegiatan.
Puskesmas Bambanglipuro memiliki berbagai program
terkait pengendalian penyakit menular salah satunya TBC,
diantaranya penyuluhan, ASCF (Acute Selective Case Finding),
home care, dan PE. Puskesmas sudah memiliki kartu berobat
khusus pasien TBC untuk memantau kemajuan dan kepatuhan
pasien dalam meminum OAT. Selain itu, program pengobatan
TBC di seluruh Indonesia membebaskan pasien dari biaya
apapun.
BAB V
KAJIAN MANAJEMEN - ORGANISASI PROGRAM
PEMBINAAN

5.1. KINERJA UTAMA


Target utama pembinaan ini yaitu, untuk individu dengan penyakit
TBC dan keluarga yang mendampingi individu dengan riwayat penyakit
TBC. Insidensi kejadian TBC di kecamatan Bambanglipuro pada periode
2021 tercatat 182/100.000 penduduk. Angka ini tergolong tinggi
dibandingkan dengan rata-rata nasional Indonesia. Permasalahan yang
menyebabkan tingginya angka kejadian TBC di kecamatan Bambanglipuro
disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarkat akan gejala-gejala TBC,
serta pentingnya segera memeriksakan diri jika mengalami gejala TBC.
Berdasarkan hal tersebut, kelompok kami memilih pembinaan dengan media
leaflet, dimana leaflet tersebut berisikan pengertian TBC, gejala TBC, dan
etika batuk untuk pencegahan TBC.
 Rumusan masalah
 Tingginya insidensi pasien dengan penyakit TBC di kecamatan
Bambanglipuro pada tahun 2021.
 Kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya deteksi dini
pada penyakit TBC.
 Kurangnya pengetahuan masyarakat akan cara pencegahan
penyakit TBC.
 Tujuan
 Memberikan informasi cara mengetahui gejala-gejala pada
penyakit TBC.
 Memberikan edukasi mengenai cara pencegahan dan pentingnya
skrining/deteksi dini pada penyakit TBC.
 Menjelaskan bahwa obat TBC yang diminum harus tepat secara
dosis, dan waktu
 Diagnosis komunitas
Masalah kurangnya pengetahuan keluarga/masyarakat tentang
program kesehatan (TB paru), disertai dengan adanya masalah gaya
hidup (stressor) dan masalah kesehatan lingkungan dalam hal ini
kurangnya ventilasi dan pencahayaan rumah di Puskesmas
Bambanglipuro periode tahun 2021.

Tabel 5.1 Analisis SWOT


KEKUATAN (S) KELEMAHAN (W)

● Terdapat fasilitas ● Jadwal pelayanan kesehatan


kesehatan yang cukup kuratif puskesmas
memadai, berupa poli dipersingkat, menjadi pukul
INTERNAL batuk, gen x-pert, mobil 08.00-11.00 selama pandemi
ambulans COVID-19
● Terdapat program edukasi ● Pelayanan promotif dan
kesehatan, diantaranya preventif penyakit TBC
program pencegahan dan terbatas
pengendalian penyakit ● Terbatasnya program home-
TBC care pada kasus TBC, serta
● Adanya kegiatan kurang meratanya pelayanan
surveilans epidemiologi home-care pada penyakit
penyakit menular, dalam TBC
hal ini terkhusus penyakit ● GerMaS terbatas pada masa
EKSTERNAL TBC pandemi COVID-19
● Adanya tenaga kesehatan ● Kurangnya jumlah tenaga
yang kompeten untuk melaksanakan program
TBC secara rutin
PELUANG STRATEGI (SO) STRATEGI (WO)
(O)
● Meningkatkan kerja sama ● Program penyuluhan
● Akses ke fasilitas dengan tokoh masyarakat (germas) dibuat secara
kesehatan dapat (dukuh) untuk terjadwa, dan dalam
dicapai dengan meningkatkan informasi pelaksanannya rutin dan
mudah mengenai penyakit TBC. teratur
● Fasilitas jaminan ● Setiap kali pasien ● Memberikan pelatihan pada
kesehatan mudah kunjungan ke puskesmas kader terkait pentingnya
didapatkan difasiltasi dengan deteksi dini pada pasien
● Adanya kader program promosi terkait dengan TBC sehingga kader
posyandu dan penyakit menular, dalam juga memiliki kemampuan
posbindu sebagai hal ini secara khusus TBC untuk melakukan pelayanan
tenaga tambahan secara mandiri, dan
● Adanya tokoh melakukan rujukan ke
masyarakat (dukuh) puskesmas
yang dapat diajak
kerjasama
ANCAMAN STRATEGI (ST) STRATEGI (WT)
(THREAT)
● Melakukan optimalisasi ● Melakukan pembinaan
● Kurangnya program PHBS sekaligus kader terkait penyakit
pengetahuan kader sebagai upaya skrining menular, khususnya
akan penyakit TB secara rutin dengan penyakit TBC dan
menular, terkhusus metode door to door ditambahkan edukasi
penyakit TBC mengenai pentingnya
● Kurangnya health PMO
seeking behavior ● Memotivasi keluarga
pada individu dengan melalui kegiatan home-
TBC care maupun
● Status sosial- penyuluhan
ekonomi yang
rendah
● Tidak adanya
petugas PMO baik
dari kader maupun
lingkungan
masyarakat
● Kurangnya
pengetahuan dan
motivasi dari
keluarga

5.2. INPUT
 Sumber daya manusia
Sumber daya manusia yang dilibatkan dalam edukasi ini, yaitu
dokter muda, perawat, dan kader yang ada di wilayah puskesmas
Bambanglipuro.
 Perangkat keras
Peralatan yang digunakkan dalam edukasi, meliputi leaflet,
pengeras suara, dan kamera untuk kebtuhan dokumentasi.
5.3. PROSES
 Perencanaan
 Menentukan sasaran pembinaan, yaitu individu dan keluarga
yang berada di wilayah puskesmas Bambanglipuro.
 Menentukan kriteria inkulsi dan ekslusi pembinaan
 Kriteria Inklusi
1. Penderita TBC
2. Individu dan keluarga yang berada di wilayah kerja
puskesmas Bambanglipuro
 Kriteria Eksklusi
1. Bukan pasien di puskesmas Bambanglipuro.
 Edukasi kepada masyarakat melalui kegiatan puseksmas keliling
dan saat di puskesmas Bambanglipuro dengan membagikan
leaflet.
 Pelaksanaan
1. Puskesmas keliling
 Hari/tanggal : Jumat, 1 April 2022
 Waktu : 10.00-11.30
 Tempat : Kelurahan Mulyodadi
 Pendamping : Mbak Dina
 Kegiatan : Melakukan kegiatan puskesmas keliling,
sekaligus memberikan edukasi mengenai
apa itu penyakit TBC, gejala
penyakit TBC dan cara pencegahannya.
2. Edukasi melalui leaflet di puskesmas Bambanglipuro
 Hari/tanggal : Sabtu, 2 April 2022
 Waktu : 07.30-08.00
 Tempat : Halaman belakang puskesmas
Bambanglipuro
 Kegiatan : Memberikan edukasi kepada pasien yang
datang ke puskesmas Bambanglipuro
mengenai penyakit TBC dan cara
pencegahannya, terkhusus dengan etika
batuk.
 Pertanggungjawaban
 Melalukan identifikasi masalah yang menyebabkan tingginya
kejadian penyakit TBC di puskesmas Bambanglipuro.
 Menyampaikan hasil dan kesimpulan edukasi dalam presentasi
akhir di puskesmas Bambanglipuro

5.4. OUTPUT
 Memberikan informasi mengenai kejadian penyakit TBC di
puskesmas Bambanglipuro.
 Meningkatknya pengetahuan indvidu dan masyarakat akan pentingnya
deteksi dini dan mengetahui gejala-gejala pada penyakit TBC.
 Meningkatnya pengetahuan individu dan masyarakat mengenai
pentingnya patuh minum obat pada penyakit TBC.
BAB VI
REFLEKSI

Penyakit TBC merupakan penyakit yang dapat disembuhkan. Dalam


perjalanan penyakitnya, semakin baik jika penyakit TBC didiagnosis lebih dini,
sehingga terapi dapat bermanfaat secara maksimal. Namun, masa pandemi covid-
19 menyebabkan pergeseran pada social health determinant. Pergerseran ini
menyebabkan hampir semua prioritas terfokuskan pada penanganan covid-19,
sehingga penyakit infeksi lainnya, terkhusus penyakit TBC terkesampingkan.
Sebagai dokter muda, kami memberikan edukasi melalui puskesmas keliling dan
secara langsung ke individu serta masyarakat di puskesmas Bambanglipuro.
Promosi edukasi berisi mengenai pengertian penyakit TBC, gejala-gejala penyakit
TBC, dan pecengahan penyakit TBC. Harapannya setelah dilakukan edukasi,
masyarakat semakin aware akan pentingnya deteksi dini dan pencegahan penyakit
TBC. Promosi dan preventif penyakit TBC dapat dilakukan secara rutin di
puskesmas Bambanglipuro dikarenakan sudah adanya fasilitas yang memadai,
misalnya saat di poli batuk dengan membagikan leaflet dan melalui pengeras
suara.
BAB VII
LAMPIRAN

o Kunjungan ke Rumah Pasien

o Kondisi Tempat Tinggal Pasien


o Pembinaan
DAFTAR PUSTAKA

Alavi-Naini, R., Sharifi-Mood, B. and Metanat, M. (2012) ‘Association Between


Tuberculosis and Smoking’, International Journal of High Risk Behaviors
and Addiction, 1(2), pp. 71–4. doi: 10.5812/ijhrba.5215.
Azies, H. Al (2017) ‘Analisis Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS) Rumah
Tangga Penderita TB Di Wilayah Pesisir Kota Surabaya Menggunakan
Pendekatan Regresi Logistik Biner’, p. 108.
Burhan, E., Soeroto, A., & Isbaniah, F. (2020). Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tatalaksana Tuberkulosis. (S. Sastroasmoro, Ed.). Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Dinkes Provinsi DIY. (2021). Profil Kesehatan Provinsi DIY Tahun 2020.
Yogyakarta: Dinas Kesehatan Provinsi DIY.
Dirjen P2P Kemenkes RI. (2020). Bersama Menuju Eliminasi TBC dan Melawan
COVID-19. https://htbs.tbindonesia.or.id/
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI. (2020).
Strategi Komunikasi TOSS TBC. https://htbs.tbindonesia.or.id/
Feleke, B. E., Feleke, T. E. and Biadglegne, F. (2019) ‘Nutritional status of
tuberculosis patients, a comparative cross-sectional study’, BMC Pulmonary
Medicine. BMC Pulmonary Medicine, 19(1), pp. 1–9. doi: 10.1186/s12890-
019-0953-0.
Floyd, K., Anderson, L., Baddeley, A., & Dias, H. M. (2018). Chapter 3: TB
Disease Burden. In H. Cadman (Ed.), Global TB Report (pp. 27–48). New
York: WHO. https://doi.org/10.1016/j.pharep.2017.02.021
Hapipah, H., Istianah, I., Arifin, Z., & Hadi, I. (2021). Edukasi Etika Batuk Yang
Benar Sebagai Upaya Pencegahan Penyakit TB Paru di Dusun Aik Nyet
Lombok Barat. Jurnal Abdimas Kesehatan Perintis, 2 (2), pp. 17-21.
Kemenkes. (2019). Apa itu TOSS TBC dan Kenali Gejala TBC.
https://promkes.kemkes.go.id/apa-itu-toss-tbc-dan-kenali-gejala-tbc
Kemenkes RI, USAID and KNCV (no date a) Buku Saku Pasien Perjuangan
Menuju Sembuh.
Kemenkes RI, USAID and KNCV (no date b) Lembar Balik Edukasi Pasien TBC
Kebal Obat.
Marçôa, R. (2018) ‘Tuberculosis and gender – Factors influencing the risk of
tuberculosis among men and women by age group’, Pulmonology, 24(3),
pp. 199–202. doi: 10.1016/j.pulmoe.2018.03.004.
Mulasari, S. A. (2019) ‘Analisis Kesehatan Lingkungan Rumah , Penyuluhan dan
Pelatihan Pencegahan Tuberkulosis ( TB ) di Bantul , Yogyakarta’, Jurnal
Pengabdian Pada Masyarakat, 4(2), pp. 119–128. doi:
10.30653/002.201942.97.
Pamela Sari, N., & Rachmawati, A. S. (2019). Pendidikan Kesehatan
Tuberkulosis “TOSS TB (Temukan Obati Sampai Sembuh).” ABDIMAS:
Jurnal Pengabdian Masyarakat, 2(1), 103–107.
https://doi.org/10.35568/abdimas.v2i1. 338
Putri, F., Nugraha, P., & Syamsulhuda, B. (2017). Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Praktik Phbs Pencegahan Penyakit TB Paru Pada Santri Di
Pondok Pesantren Nurul Hasan Kabupaten Magelang. Jurnal Kesehatan
Masyarakat (e-Journal), 5(4), 527-539.
Semilan, H. M. et al. (2021) ‘Epidemiology of tuberculosis among different
occupational groups in Makkah region, Saudi Arabia’, Scientific Reports.
Nature Publishing Group UK, 11(1), pp. 1–8. doi: 10.1038/s41598-021-
91879-9.
Setiadi, D. and Adi, M. S. (2019). Pencegahan, Praktik Pencegahan dan Kondisi
Rumah Pada Kontak Serumah dengan Penderita TB Paru di Kabupaten
DemaK, Jurnal Kesehatan Masyarakat, 18(April), pp. 36–45. doi:
10.13243/j.cnki.slxb.2013.05.013.
Simou, E., Britton, J. and Leonardi-Bee, J. (2018) ‘Alcohol consumption and risk
of tuberculosis: A systematic review and meta-analysis’, International
Journal of Tuberculosis and Lung Disease, 22(11), pp. 1277–1285. doi:
10.5588/ijtld.18.0092.

Anda mungkin juga menyukai