GENDER DYSPHORIA
Disusun Oleh:
Dokter Muda Stase Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
Periode 11 November 2019– 15 Desember 2019
HALAMAN PENGESAHAN
Oleh:
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan sukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ilmiah dengan judul
“GENDER DYSPHORIA” untuk memenuhi tugas ilmiah yang merupakan bagian
dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya di Departemen Ilmu
Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Ernaldi
Bahar Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dr. Bintang
Arroyantri, Sp.KJ selaku pembimbing yang telah membantu memberikan
bimbingan dan masukan sehingga tugas ilmiah ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ilmiah ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan tugas ilmiah
ini, semoga bermanfaat.
Tim Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Anak perempuan yang dirujuk secara klinis dengan usia < usia 12 tahun
adalah 5%. Rasio jenis kelamin anak-anak yang dirujuk untuk gender dysphoria
adalah 4 sampai 5 anak laki-laki untuk setiap anak perempuan, yang
dihipotesiskan sebagian karena stigma sosial yang diarahkan pada anak laki-laki
feminin. Pada orang dewasa perkiraan gender dysphoria baik secara
hormonal/bedah di Eropa dengan prevalensi 1 dari 11.000 pria dan 1 dari 30.000
wanita.1
Terapi yang dapat diberikan pada pasien dengan dysphoria gender adalah
pada anak-anak umumnya terdiri dari terapi individual, keluarga, dan kelompok
yang membimbing anak untuk mengekspor minat dan identitas gendernya. Dan
pada dewasa terapi hormon pada lelaki transgender utamanya menggunakan
testosterone.1
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2
Berlawanan dengan kepercayaan umum, kebanyakan transgender tidak
menjalani operasi kelamin. Beberapa tidak menginginkannya dan yang lain
mungkin melakukannya. Transgender memiliki banyak orientasi seksual. Sebagai
contoh, seorang pria transgender, wanita sejak lahir, dapat mengidentifikasi diri
mereka sebagai gay (tertarik pada pria lain), straight (tertarik pada wanita), atau
biseksual (tertarik pada pria dan wanita).1
Kriteria diagnosis anak dan dewasa berbeda. Pada anak, gender dysphoria
dapat bermanifestasi sebagai pernyataan keinginan untuk menjadi jenis kelamin
yang lain dan cenderung berperilaku yang secara konvensional ditunjukkan oleh
anak-anak dari jenis kelamin yang berbeda. Identitas jenis kelamin mengkristal
pada usia 2 hingga 3 tahun.1
2.2 Epidemiologi
2.2.1 Anak-anak 1
Banyak anak dengan gender dysphoria dirujuk untuk evaluasi klinis pada
tahun-tahun awal sekolah dasar. Orangtua, menyatakan bahwa perilaku yang
menyimpang dari jenis kelamin anak dapat dilihat pada usia sebelum 3 tahun.
Di antara sampel anak laki-laki berusia 12 tahun yang dirujuk untuk
berbagai masalah klinis, keinginan yang dilaporkan untuk jenis kelamin yang lain
adalah 10%. Untuk anak perempuan yang dirujuk secara klinis dengan usia < usia
12 tahun, keinginan yang dilaporkan untuk menjadi jenis kelamin lain adalah 5%.
Rasio jenis kelamin anak-anak yang dirujuk untuk gender dysphoria adalah 4
sampai 5 anak laki-laki untuk setiap anak perempuan, yang dihipotesiskan
sebagian karena stigma sosial yang diarahkan pada anak laki-laki feminin.
Rasio jenis kelamin adalah sama pada remaja yang dirujuk untuk gender
dysphoria. Para peneliti telah mengamati bahwa banyak anak-anak yang dianggap
menunjukkan perilaku tidak sesuai jenis kelamin tidak tumbuh menjadi orang
dewasa; sebaliknya banyak orang yang kemudian menjadi orang dewasa
3
transgender melaporkan bahwa mereka tidak diidentifikasi sebagai gender yang
tidak sesuai selama masa kanak-kanak.
2.2.2 Dewasa 1
Perkiraan gender dysphoria pada orang dewasa baik secara hormonal/bedah
di Eropa dengan prevalensi 1 dari 11.000 pria dan 1 dari 30.000 wanita. DSM-5
melaporkan tingkat prevalensi mulai dari 0,005 hingga 0,014% untuk pria dan
0,002 hingga 0,003% wanita. Sebagian besar pusat klinis melaporkan rasio jenis
kelamin 3-5% pria untuk setiap pasien wanita. Kebanyakan orang dewasa dengan
gender dysphoria melaporkan merasa berbeda dengan anak-anak dari jenis
kelamin yang sama, walaupun, jika dipikir-pikir, banyak yang tidak dapat
mengidentifikasi sumber perbedaan itu. Banyak yang melaporkan perasaan lintas
gender yang diidentifikasi sejak awal, dengan identifikasi lintas gender menjadi
lebih mendalam di masa remaja dan dewasa muda.
Secara keseluruhan prevalensi disforia pria ke wanita lebih tinggi daripada
disforia wanita ke pria. Faktor penting dalam diagnosis adalah bahwa ada
penerimaan sosial yang lebih besar dari perempuan yang berpakaian dan
berperilaku sebagai anak laki-laki (disebut tomboi) daripada ada laki-laki yang
bertindak sebagai perempuan (disebut banci). Beberapa peneliti berspekulasi
bahwa satu dari 500 orang dewasa mungkin jatuh di suatu tempat pada spektrum
transgender, berdasarkan data populasi daripada data klinis.
2.3 Etiologi
2.3.1 Faktor Biologis
Steroid seks mempengaruhi ekspresi perilaku seksual pada laki-laki
maupun perempuan dewasa; yaitu, testoteron dapat meningkatkan libido
dan agresivitas pada perempuan, dan estrogen dapat menurunkan libido dan
keagresifan pada laki-laki. Namun, maskulinitas, feminitas, dan identitas
gender lebih merupakan akibat peristiwa kehidupan pascalahir daripada
pengaturan hormon prenatal.
4
Prinsip yang sama mengenai maskulinitas atau feminisasi telah
diterapkan pada otak. Testoteron memengaruhi saraf otak yang turut
berperan terhadap maskulinisasi otak di area seperti hipothalamus. Masih
menjadi kontroversi, apakah testoteron turut berperan dalam pola perilaku
feminin atau maskulin pada gangguan identitas gender. Temuan baru-baru
ini mengacu pada perbedaan di otak transeksual laki-laki-lebih-menjadi
perempuan. Pada enam sampel pascakematian, nukleus merah bersesuaian
ukurannya pada perempuan tipikal dibandingkan laki-laki tipikal; tidak
berkaitan apakah laki-laki transeksual adalah heteroseksual atau
homoseksual.2
Transgender adalah mereka yang mengidentifikasi diri mereka dengan
jenis kelamin yang berbeda dari jenis kelamin saat lahir. Pada gambar 1
menunjukkan perbedaan cisgender (identifikasi jenis kelamin sesuai dengan
jenis kelamin saat lahir). Identitas transgender tidak tergantung pada
orientasi seksual. Subset dari individu transgender yang memilih untuk
menjalani operasi pergantian seksual sering dilambangkan sebagai
transseksual.3
5
Pada gambar 2 menunjukkan bahwa wanita transgender cenderung
memiliki struktur otak yang menyerupai wanita cisgender, bukan pria
cisgender. Dua area dimorfik (membedakan pria dan wanita) di otak sering
dibandingkan antara pria dan wanita. Nukleus inti stria terminalis (Bed
nucleus of stria terminalis BSTc) dan nukleus dimorfik seksual wanita
transgender lebih mirip dengan wanita cisgender daripada pria cisgender,
menunjukkan bahwa struktur otak umum wanita ini sesuai dengan identitas
gender mereka. Transgender pria-ke-wanita memiliki BSTc yang lebih
mirip dengan wanita cisgender daripada pria dalam ukuran dan kepadatan
sel, dan bahwa pria transgender wanita-ke-pria memiliki BSTc yang
menyerupai pria cisgender. Perbedaan-perbedaan ini tetap ada bahkan
setelah menggunakan estrogen dan testosteron selama masa transisi mereka
dengan memasukkan pria dan wanita cisgender yang juga menggunakan
hormon yang tidak sesuai dengan jenis kelamin biologis (untuk berbagai
alasan medis). 3
6
Perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh lingkungan prenatal -
hormon apa yang terpapar janin dalam rahim ibunya. Pria transgender
wanita-ke-pria, misalnya, telah terpapar dengan kadar estrogen yang tidak
memadai selama perkembangan (Gambar 3). Fenomena ini dapat terjadi
akibat dua penyebab:
1) Tidak cukup estrogen pada perkembangan fetus,
2) Cukup estrogen pada perkembangan fetus, tetapi sensitivitas yang buruk
pada janin.
Selama feminisasi normal, estrogen cukup dalam pembentukan
fetus. Estrogen dikenali oleh sel-sel janin dan memicu perkembangan janin
perempuan. Pada gambar 3 dalam Skenario 1, sangat sedikit estrogen pada
proses perkembangan janin. Meskipun sel-sel janin mampu mensensitisasi
estrogen, estrogen tidak cukup untuk perkembangan janin, sehingga janin
tidak cukup feminin. Dalam Skenario 2, ada cukup estrogen dalam
perkembangan janin, tetapi sel-sel janin secara efektif "tuli" terhadap
estrogen dan janin tidak cukup femininisasi. 3
7
2.3.2 Faktor Psikososial
8
sosok ayah, ibu dan anak bisa jadi terlalu dekat. Bagi anak perempuan,
sosok ayah normalnya merupakan suatu gambaran cintanya di masa depan.
Sedangkan bagi anak laki-laki, ayah merupakan model untuk identifikasi
seorang laki-laki.1
Teori pembelajaran mengatakan bahwa anak dapat dipuji atau
dihukum orangtua atau gurunya atas perilaku gendernya, sehingga
mempengaruhi bagaimana cara anak mengekspresikan identitas gendernya. 1
9
digunakan untuk mendiagnosis anak-anak dengan disforia gender harus
disertai dengan tekanan atau gangguan signifikan secara klinis pada anak,
dan tidak hanya pada orangtua atau pengasuh, yang mungkin merasa tidak
nyaman dengan perilaku gender nonconforming.1
10
2.4.3 Manifestasi Klinik pada Remaja dan Dewasa
Remaja dan dewasa juga didiagnosis disforia gender jika
menunjukkan ketidakcocokan antara gender yang diekspresikan dan gender
bawaan. Sebagai tambahan, mereka harus memenuhi setidaknya 2 dari 6
kriteria (Tabel 18-1). 1
Pada praktiknya, kebanyakan orang dewasa yang berobat ke dokter
sadar akan konsep identitas transgender. 1
11
2.4.4 Diagnosis Banding pada Remaja dan Dewasa
Seperti pada anak-anak, diagnosis disforia gender pada remaja dan
dewasa juga memerlukan perasaan menderita atau terganggu terkait
identitas gender yang dirasakan oleh pasien sendiri, bukan karena penilaian
orang lain. Terdapat beberapa penyakit jiwa dimana terdapat pemikiran
delusional tentang identitas transgender, seperti pada schizophrenia. Namun
hal ini tergolong sangat jarang dan dapat dibedakan dari hasil pengobatan
psikosis. Orang dengan disforia gender akan tetap merasakan perasaan
tersebut pada periode bebas psikosis. 1
Body dismorphic disorder mungkin dapat menjadi diagnosis banding
pada pasien yang menginginkan perubahan pada satu bagian tubuhnya, pada
kasus ini adalah bagian genital. Namun pada kelainan ini, keinginan tersebut
didasari perasaan yang menganggap bagin tubuh tersebut tidak normal,
bukan karena keinginan untuk merubah gender. 1
Gangguan transvestic yang masuk ke golongan gangguan paraphilic
pada DSM 5 merupakan perasaan terangsang yang intens dan berulang yang
didapatkan dari berpakaian dalam lawan jenis yang dapat menyebabkan
hendaya atau penderitaan yang signifikan. Diagnosis ini dapat dibedakan
dengan disforia gender dari identitas gender pasien yang konsisten dengan
gender bawaannya, serta dari kesenangan seksual terkait berpakaian lawan
jenis yang sampai mengganggu fungsi hidup.1
12
orang dewasa lain selain pengasuhnya. Beberapa anak yang nantinya
teridentifikasi transgender pada saat dewasa tidak selalu menunjukkan
perilaku lawan jenis pada masa kanak-kanak. Mereka mungkin berusaha
keras untuk berpenampilan stereotipe seperti gender bawaannya. Saat mulai
masuk ke masa pubertas, anak-anak dengan disforia gender mulai
merasakan kecemasan terkait perubahan yang terjadi pada tubuhnya.1
Selain itu, anak yang didiagnosis disforia gender pada masa kecil
tidak selalu tumbuh menjadi transgender saat dewasa. Banyak penelitian
yang menemukan bahwa lebih dari setengah yang didiagnosis gangguan
identitas gender nantinya mengidentifikasi dirinya sebagai gender bawaan
lahir pada saat dewasa. Anak yang menjadi transgender saat dewasa
dilaporkan memiliki disforia gender yang lebih ekstrim pada saat anak-
anak.1
2.5.3 Dewasa
Beberapa orang dewasa yang didiagnosis disforia gender mengingat
bahwa sejak kecil mereka sudah memiliki identitas transgender. Pada kasus
ini, beberapa pernah mencoba menyembunyikan identitasnya dengan cara
berperilaku sesuai stereotipe untuk meyakinkan dirinya dan orang lain
bahwa mereka tidak memiliki identitas gender yang tidak sesuai. Beberapa
yang lain tidak memiliki gangguan identitas gender saat kecil. Beberapa
13
orang mengidentifikasi dirinya sebagai gay, lesbian, atau biseksual sebelum
menjadi transgender. 1
2.6 Tatalaksana
2.6.1 Anak-anak
Pengobatan masalah identitas gender pada anak-anak umumnya terdiri
dari terapi individual, keluarga, dan kelompok yang membimbing anak
untuk mengekspor minat dan identitas gendernya. Terdapat beberapa yang
menyediakan praktik reparasi atau terapi konversi, yang mencoba untuk
mengubah identitas gender dan orientasi seksual seseorang. Terapi jenis ini
bertentangan dengan pernyataan dari American Psychiatric Association dan
panduan praktik dari American Academy of Child and Adolescent
Psychiatry. 1
2.6.2 Remaja
Saat menuju pubertas, dengan gangguan identitas gender mulai
merasakan rasa takut yang intens dan preokupasi terkait perubahan fisik
yang diantisipasi atau yang mulai dialaminya. Sebagai tambahan
psikoterapi, banyak dokter menjadikan reaksi terhadap pubertas ini sebagai
14
kompas untuk menentukan apakah obat-obat penghambat pubertas dapat
dipertimbangkan. Obat penghambat pubertas adalah agonis GnRH yang
dapat digunakan sementara untuk memblok pelepasan hormon untuk
perkembangan karakteristik seks sekunder, sehingga memberi waktu kepada
pasien dan keluarganya untuk berpikir bagaimana kedepannya. Pemberian
agonis GnRH dianggap aman namun harus dipertimbangkan secara hati-
hati . 1
2.6.3 Dewasa
Pengobatan orang dewasa transgender termasuk psikoterapi, terapi
hormon, dan pembedahan. Intervensi hormon dan pembedahan dapat
menurunkan depresi dan meningkatkan kualitas hidup bagi orang-orang
tersebut. 1
2.6.4 Hormon
Terapi hormon pada lelaki transgender utamanya menggunakan
testosterone, biasanya diberikan dengan injeksi setiap minggu atau setiap 2
minggu. Pada awalnya terapi testosterone dapat menyebabkan perubahan
seperti jerawat, pertambahan massa otot, libido, dan hilangnya menstruasi
pada beberapa bulan pertama. Perubahan selanjutnya yang lebih permanen
termasuk memberatnya suara, bertambahnya rambut-rambut tubuh, dan
pembesaran klitoris. Pemantauan terhadap hemoglobin dan hemtokrit juga
harus dilakukan karena testosterone dapat meningkatkan kedua komponen
darah tersebut dan menyebabkan stroke. Testosterone, seperti hormon
steroid lainnya, juga diproses di liver, sehingga pemantauan rutin fungsi hati
juga harus dilakukan. Monitor kadar kolestrol dan skrining diabetes juga
dapat dipertimbangkan karena testosterone dapat menyebebkan
abnormalitas lemak dan diabetes. Selain itu orang yang sedang dalam terapi
hormon juga dapat dikonsul ke bagian fertilitas karena kesuburan di masa
depan dapat terganggu akibat testosterone. 1
15
Pada wanita transgender, terapi dapat menggunakan estrogen,
testosterone blocker, atau progesterone, biasanya dikombinasi. Hormon ini
dapat menyebabkan kulit melembut dan distribusi lemak serta pertumbuhan
payudara. Perkembangan payudara pada orang berbeda-beda, namun
biasanya tidak melebihi ukuran bra cup B. Pada umumnya pasien
direkomendasikan untuk menjalani terapi hormon selama 18-24 bulan
sebelum melakukan augmentasi payudara, sehingga payudara dapat
berkembang ke ukuran akhirnya. Dorongan seksual serta ereksi dan
ejakulasi dapat berkurang. Rambut-rambut tubuh berkurang, namun tidak
banyak. Tidak terdapat perubahan pada suara karena testosterone
sebelumnya sudah merubah vocal cord secara permanen. Pasien yang
sedang dalam terapi estrogen disarankan untuk berhenti merokok karena
kombinasi keduanya dapat meningkatkan risiko pembentukan bekuan darah.
Tekanan darah, fungsi hati, dan kolestrol harus dimonitor. Selain itu kadar
prolactin juga harus dimonitor karena dapat meningkat, dan dapat
menyebabkan prolactinoma walaupun jarang. Penting sekali untuk
melakukan konseling reproduksi sebelum memulai terapi estrogen karena
terapi ini hampir selalu menyebabkan sterilitas permanen. 1
2.6.5 Pembedahan
Pembedahan yang paling sering dilakukan pada lelaki maupun wanita
transgender adalah operasi dada. Lelaki trans dapat melakukan operasi
untuk membentuk dada seperti laki-laki, dan wanita trans melakukan
operasi augmentasi payudara. 1
Operasi bawah lebih jarang dilakukan. Lelaki transgender dapat
melalukan metoidioplasty, dimana klitoris dibebaskan dari ligamen
pengikatnya, dan ditambahkan jaringan sehingga panjang dan ketebalannya
bertambah. Scrotoplasty merupakan penempatan impan testis untuk
membuat tampilan kelamin seperti laki-laki. Phalloplasty merupakan
operasi pembuatan penis, jarang sekali dilakukan karena mahal, melibatkan
prosedur yang banyak, memerlukan donor kulit dari bagian tubuh lain, dan
16
memiliki fungsi yang terbatas. Operasi bawah pada wanita trans umumnya
adalah vaginoplasty, yang juga dikenal sebagai Sex Reassignment Surgery
(SRS). Pada prosedur ini, testis diangkat, penis direkonstruksi membentuk
klitoris, dan vagina dibuat. Teknik untuk vaginoplasty sekarang sudah
sangat berkembang namun prosedurnya tetap mahal. Karena alasan ini,
beberapa orang mungkin melakukan orhiectomy, dimana hanya testis yang
dipotong. Prosedur ini tidak harus dilakukan di kamar operasi dan hanya
menggunakan anestesi lokal, dan efektif untuk menurunkan produksi
androgen tubuh. Selain itu terdapat juga operasi feminisasi wajah yang
mengubah struktur pipi, dahi, hidung, dan bibir untuk membuat tampilan
wajah yang lebih feminine. Lelaki transgender jarang melakukan operasi
wajah karena umumnya testosterone menyebebkan wajah terlihat lebih
maskulin.1
Karena tidak semua orang dapat membayar untuk dioperasi, ada
orang-orang yang melakukan operasi sendiri atau melakukan operasi pada
kondisi yang tidak aman. Wanita mungkin menyuntikkan silikon untuk
membuat lekuk tubuh. Injeksi silikon yang tidak dilakukan oleh tenaga
medis ahli dapat menyebabkan mutilasi, infeksi, hingga bekuan darah yang
dapat menuju emboli dan kematian.1
17
BAB III
KESIMPULAN
Sigmund Freud percaya bahwa masalah identitas gender berasal dari konflik
yang dialami oleh anak-anak dalam segitiga Oedipal. Dalam pandangannya,
konflik ini dipicu oleh peristiwa keluarga nyata dan fantasi anak-anak. Apa pun
yang mengganggu anak mencintai orangtua lawan jenis dan mengidentifikasi
18
orang tua sesama jenis dapat mengganggu perkembangan identitas gender yang
normal. DSM-5 mendefinisikan disforia gender pada anak-anak sebagai
ketidaksesuaian antara gender yang diekspresikan dan gender bawaannya, dengan
kriteria yang paling penting adalah keinginan untuk menjadi gender lain atau
desakan bahwa dirinya adalah gender lain.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock J. B., Sadock A. V., Ruiz P. 2015. Kaplan & Sadock’s Synopsis of
Psychiatry Behavioral Science/Clinical Psychiatry. Edisi 11. New
York/SABAM, Brussels.
2. Sadock J. B., Sadock A. V. 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Paikiatri
Klinis, Edisi 2. Jakarta: EGC.
3. Wu J. K. 2016. Between the (Gender) Lines: The Science of Transgender
Identity. Harvard University. (Diakses pada tanggal 26 November 2019:
http://sitn.hms.harvard.edu/flash/2016/gender-lines-science-transgender-
identity/)
20