Anda di halaman 1dari 70

Laporan Kasus

Neonatal Jaundice ec Sepsis dan BreastFeeding

Oleh:
Pahrul Rozi 04084822124001
Riafatin Ulfi Ilyasa 04084822124002
Nur Zam Zam 04084822225043
Taufiqurrahman 04084822225059
Devitania Azahra 04084822225061

Pembimbing:
dr. Muhammad Aulia, Sp. A

BAGIAN/ KELOMPOK STAF MEDIK ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD SITI FATIMAH PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Neonatal Jaundice ec Sepsis dan BreastFeeding

Oleh:

Pahrul Rozi 04084822124001


Riafatin Ulfi Ilyasa 04084822124002
Nur Zam Zam 04084822225043
Taufiqurrahman 04084822225059
Devitania Azahra 04084822225061

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik di Bagian/Kelompok Staf Medik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya RSUD Siti Fatimah Palembang.

Palembang, Juli 2022

dr. Muhammad Aulia, Sp.A

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Neonatal Jaundice ec Sepsis
dan BreastFeeding”.
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di
Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Siti Fatimah Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Muhammad Aulia, Sp.A
selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan
penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan. Semoga laporan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Palembang, Juli 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii


KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
BAB II STATUS PASIEN ...................................................................................... 3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 10
BAB IV ANALISIS KASUS ................................................................................ 38
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 42

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Ikterus neonatorum adalah kondisi perubahan warna kuning pada kulit,


mukosa dan sklera karena kadar serum bilirubin dalam darah mengalami
peningkatan > 5mg/dl, bilirubin terbentuk ketika komponen heme sel darah merah
dipecah dilimpa menjadi biliverdin dengan istilah lain adalah bilirubin tak
terkojugasi, kondisi terjadinya peningkatan tersebut menyebabkan muncul tanda
dan gejala kuning pada bayi.1
Pada neonatus dengan ikterik perlu dibedakan fisiologis ataupun patologis.
Pada kuning fisiologis umumnya terjadi 24 – 72 jam setelah lahir dengan puncak
usia hari ke 4-5 pada neonatus cukup bulan dan hari ke-7 pada bayi kurang bulan
serta menghilang pada usia 10-14 hari, kadar bilirubin total <15 mg/dl, serta
peningkatan bilirubin total per hari <5 mg/dl/hari. Sedangkan pada kuning
patologis terjadi pada usia <24 jam atau >2 minggu, persisten 8 hari pada bayi
cukup bulan dan 14 hari pada bayi kurang bulan, kadar bilirubin total >12 mg/dl
dalam waktu kapan pun, peningkatan bilirubin perhari >5 mg/dl, serta fraksi
bilirubin direk >1 mg/dl atau 20% dari bilirubin total.2 Kejadian ikterus fisiologis
terjadi pada 40 - 60% bayi cukup bulan sedangkan ikterus patologis terjadi sekitar
80% pada bayi dengan diagnosa sekunder seperti berat bayi lahir rendah dan lain-
lain.3
Penatalaksanaan ikterik neonatorum diberikan berdasarkan klasifikasi dan
waktu timbulnya ikterik. Jika setelah tiga-empat hari kelebihan bilirubin masih
terjadi, anak bayi harus segera mendapatkan terapi seperti terapi sinar (fototerapi),
terapi transfusi tukar, terapi farmakologi, terapi sinar matahari, ataupun menyusui
bayi dengan ASI agar bayi mendapatkan cukup ASI.4
Pada masa neonatus, terjadi perubahan yang sangat besar dari kehidupan
di dalam rahim dan terjadi pematangan organ hampir pada semua sistem.
Neonatus merupakan golongan umur yang memiliki risiko gangguan kesehatan
paling tinggi, berbagai masalah kesehatan bisa muncul seperti sepsis neonatorum.

1
Sepsis neonatorum adalah sindroma klinis yang terjadi pada 28 hari awal
kehidupan, dengan manifestasi infeksi sistemik dan atau isolasi bakteri patogen
dalam aliran darah. Angka kejadian sepsis neonatal adalah 1-10 per 1000
kelahiran hidup, dan mencapai 13-27 per 1000 kelahiran hidup pada bayi dengan
berat <1500gram. Angka kematian 13-50%, terutama pada bayi premature (5-10
kali kejadian pada neonatus cukup bulan) dan neonatus dengan penyakit berat
dini.5
Sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu sepsis
neonatorum awitan dini (early-onset neonatal sepsis) yang terjadi segera dalam
periode postnatal (kurang dari 72 jam) dan diperoleh pada saat proses kelahiran
atau in utero dan sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis)
yang merupakan infeksi postnatal (lebih dari 72 jam) yang diperoleh dari
lingkungan di sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial). Apabila disertai
dengan gejala hipoperfusi atau disfungsi minimal 1 sistem organ, maka
dinamakan sepsis berat. Akhirnya, apabila sepsis ini diikuti oleh hipotensi dan
memerlukan vasopresor selain resusitasi cairan, hal ini dinamakan syok septik.5,6
Manajemen tatalaksana tergantung pada sejumlah faktor termasuk usia,
tempat infeksi, organisme penyebab yang dicurigai, pola resistensi mikroba, dan
sumber daya yang tersedia. Beberapa penelitian mengatakan bahwa terapi
antibiotik harus dimulai segera setelah sepsis neonatorum dicurigai, tetapi tidak
ada konsensus mengenai durasi pengobatan. Diagnosis dini, pemberian antibiotik
yang tepat, dan manajemen suportif yang tepat waktu adalah kunci keberhasilan
pengobatan.7,8

2
BAB II

STATUS PASIEN

2.1 Identifikasi

Nama : By. Ny. AM


Tanggal Lahir : 27 Juni 2022
Umur : 3 hari
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat badan : 3183 gram
Panjang badan : 49 cm
Nama Ayah : Tn. S, 28 tahun
Nama Ibu : Ny. AM, 29 tahun
Agama : Islam
Suku Bangsa : Indonesia
Alamat : Jl. Padang Selasa, Palembang
MRS : 27 Juni 2022

2.2 Anamnesis

Tanggal : Jum’at, 1 Juli 2022


Diberikan oleh : Ibu Kandung (Alloanamnesis)

A. Riwayat Penyakit Sekarang

Keluhan Utama : Kulit tampak kuning


Keluhan Tambahan : -
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Neonatus lahir sectio caesaria dari ibu G2P1A0 hamil 40 minggu
dengan cairan ketuban berwarna hijau keruh dan terlilit tali pusat.
Demam pada ibu tidak ada. Bayi langsung menangis. Gerak aktif, sesak
tidak ada, bayi tidak tampak biru.

3
Sejak 69 jam perawatan, kulit pasien tampak kuning dari kepala,
badan hingga ke lutut dan lengan atas. Kuning pada mata ada. Demam
tidak ada. Muntah tidak ada. BAK seperti teh tidak ada. BAB seperti
dempul tidak ada. Pasien baru mendapat ASI hari kedua sebanyak 120
cc ditambah susu formula. Golongan darah kedua orang tua B+, trauma
lahir tidak ada, katarak tidak ada, ruam pada kulit tidak ada.

Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


Riwayat sakit kuning pada saudara kandung saat lahir tidak ada
Riwayat sakit kuning pada ibu selama kehamilan tidak ada

Riwayat Sosial Ekonomi


Ayah pasien seorang pengacara dan ibu pasien seorang ibu rumah tangga
Kesan: status sosial ekonomi menengah ke atas

B. Riwayat Sebelum Masuk Rumah Sakit

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


GPA : G2P1A0 hamil 40 minggu inpartu kala 1 fase
aktif
janin tunggal hidup presentasi kepala dengan
lilitan
tali pusat
HPHT : 20/09/2021
Riwayat ANC : kontrol setiap bulan ke dokter spesialis kandungan
Riwayat kebiasaan : minum jamu, perut diurut tidak ada
Minum alkohol : tidak ada
Merokok : tidak ada
Konsumsi obat : suplemen besi, asam folat
Penyakit saat hamil : - Lilitan tali pusat

4
- Riwayat sakit kuning saat hamil tidak ada
- Riwayat ibu DM, preeklamsia tidak ada
Riwayat Persalinan
Presentasi : Kepala
Cara persalinan : Sectio Caesaria
KPSW : tidak ada
Riwayat demam saat persalinan : tidak ada
Riwayat ketuban hijau berbau : Ketuban berwarna hijau keruh
Keadaan bayi saat lahir : Langsung menangis
Jenis Kelamin : Perempuan
Kondisi saat lahir : sesak tidak ada, sianosis tidak ada

2.3 Pemeriksaan Fisik (Kamis, 30 Juni 2022)

Keadaan Umum

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Berat badan : 3183 gram

Panjang badan : 49 cm

Lingkar kepala : 33 cm

Lingkar lengan atas : 10 cm

Aktivitas : Gerakan aktif

Refleks hisap : kuat

Tangis : kuat

Anemis : tidak ada

Sianosis : tidak ada

Ikterus : kepala badan hingga ke lutut dan lengan atas

Dispnea : tidak ada

HR : 122 x/menit

5
Pernafasan : 48 x/menit

Suhu : 36,3 oC

SpO2 : 97%

Keadaan Spesifik

Kepala

Bentuk : Normocephali, ubun-ubun terbuka datar

Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut

Wajah : Simetris, dismorfik tidak ada

Mata : Pupil bulat, isokor, ø3mm/3mm, refleks cahaya


(+/+)
konjungtiva anemis tidak ada, sklera ikterik ada
Hidung : Nafas cuping hidung(-), sekret (-), epistaksis (-)

Mulut : bibir sianosis tidak ada

Telinga : sekret tidak ada

Trauma lahir : tidak ada

Leher : Pembesaran kelenjar getah bening tidak ada

Thorax : pergerakan dinding dada simetris, retraksi sela iga,

retraksi suprasternal tidak ada

Cor : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)

Pulmo : vesikuler (+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)


Abdomen : tampak cembung, lemas, bising usus (+) 4x/menit,
Hepar dan lien tidak teraba
Genitalia : tidak ada kelainan

Ekstremitas : akral hangat, tidak tampak kebiruan, CRT <2 detik

Kulit : kuning dari wajah, badan hingga ke lutut, lengan atas

6
Refleks Primitif

Oral :+
Moro :+
Tonic neck :+
Withdrawal :+
Plantar grasp :+
Palmar grasp :+

2.4 Pemeriksaan Penunjang:

Pemeriksaan Laboratorium (RSUD Siti Fatimah, 27 Juni 2022)


PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL
Hematologi – CBC
Hemoglobin 16.9 17 - 22 g/dL
Eritrosit 4,9 3,0 - 5,4 jt/mm3
Hematokrit 49 31 - 55%
Trombosit 220.000 150 - 450 ribu/mm3
Leukosit 31.700 9000 - 30000/mm3
LED 11 0 - 15 mm/jam
Hematologi – Hitung Jenis Sel
Basofil 1 0 - 1%
Eosinofil 1 2 - 4%
Leukosit Segmen 76 50 – 70%
Limfosit 10 25 – 40%
Monosit 12 2 - 8%
Kimia Klinik – Gula Darah
Glukosa Sewaktu 60 80 - 120 mg/dl
Sero-Imunologi – Infeksi lain
CRP kualitatif +12 Negatif
Rasio N/L 7,6 <3.14
Bilirubin (30/06/2022) 12,9 10 – 14 mg/dl

Interpretasi:
 Leukositosis
 CRP meningkat

7
 Rasio N/L meningkat
 Hiperbilirubin

2.5 Resume

By Ny. AM lahir sectio caesaria dari ibu G2P1A0 hamil 40 minggu


dengan cairan ketuban berwarna hijau keruh. Sejak 69 jam perawatan, kulit
pasien tampak kuning dari kepala, badan hingga ke lutut dan lengan atas.
Kuning pada mata ada. Pasien baru mendapat ASI hari ke-2 sebanyak 120
cc.
Pemeriksaan laboratorium tanggal (27/01/2022) didapatkan
peningkatan leukosit 31.700/mm3, CRP 12 mg/dl, dan rasio N/L 7,6.
Pemeriksaan bilirubin total pada 69 jam perawatan (30/06/2022) meningkat
12,9 mg/dl.

2.6 Daftar Masalah


- Neonatus terduga infeksi
- Sklera ikterik + Kramer test = 3
- Peningkatan leukosit, CRP, dan rasio N/L
- Hiperbilirubin

2.7 Diagnosis Banding


- Neonatal jaundice ec breastfeeding + sepsis
- Neonatal jaundice ec breastmilk + sepsis
- Neonatal jaundice ec inkompabilitas ABO dan/atau Rhesus + sepsis

2.8 Diagnosis Kerja


Neonatal jaundice ec breastfeeding + sepsis

2.9 Rencana Pemeriksaan


- Pemeriksaan laboratorium darah rutin, CRP, bilirubin.
- Pemeriksaan golongan darah.

8
2.10 Tatalaksana Awal
Non Farmakologis
- Observasi keadaan umum dan TTV
- Kebutuhan cairan 380cc/hari (Hari ke-3 = 120cc/kgBB/24 jam)
- Kebutuhan nutrisi ((89 x 3,183) – 100) + 175 = 358 kal
- Fototerapi : target bilirubin <12 mg/dl
 Standar fototerapi : 25 – 20 microW/cm2/nm
 Panjang gelombang : UV-A (320 – 400 nm) dan UV-B (290 – 302 nm)
 Durasi 24 jam; Intensitas 3
 Jarak 46 cm
Farmakologis
- inj Ceftazidim 3 x 160 mg IV

2.11 Prognosis
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad functionam : dubia ad bonam
- Quo ad sanationam : dubia ad bonam

Follow-Up

01/07/2022 02/07/2022

S Kuning di wajah Kuning di wajah tidak ada

O BB : 3212 BB : 3227
Kebutuhan cairan : 415 cc/hari Kebutuhan cairan : 435 cc/hari
Kebutuhan nutrisi : 360 kal Kebutuhan nutrisi : 362 kal

Pemeriksaan spesifik dbn Pemeriksaan spesifik dbn


Kramer test = 1 Hb : 15,6 mg/dl
Leukosit : 10.720 mm/3
CRP : negative

9
A Neonatal jaundice ec Breastfeeding + Sepsis

P Inj Ceftazidime 3 x 160 mg

10
DOKUMENTASI FOTOTERAPI

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Ikterus Neonatorum


3.1.1 Definisi
Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai
dengan pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak
terkonjugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis mulai tampak pada bayi baru
lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL.9 Ikterus atau jaundice atau sakit
kuning adalah warna kuning pada sklera mata, mukosa dan kulit karena
peningkatan kadar bilirubin dalam darah.10 Ikterus adalah keadaan transien
yang sering ditemukan baik pada bayi cukup bulan (50-70%) maupun bayi
prematur (80-90%).11 Dalam keadaan normal kadar bilirubin dalam darah
tidak melebihi 1 mg/dL (17 µmol/L) dan bila kadar bilirubin dalam darah
melebihi 1.8 mg/dL (30 µmol/L) akan menimbulkan ikterus. Sebagian besar
hiperbilirubinemia adalah fisiologis dan tidak membutuhkan terapi khusus,
tetapi karena potensi toksik dari bilirubin maka semua neonatus harus dipantau
untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya hiperbilirubinemia berat.12

3.1.2 Epidemiologi
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi merupakan masalah yang
sering dijumpai pada masa neonatus. Diperkirakan sekitar 60% aterm dan 80%
neonatus preterm akan datang dengan ikterus klinis dengan total serum
bilirubin (TSB) >5 mg/dl. Namun, hanya sekitar 10% bayi baru lahir yang
diperkirakan memerlukan fototerapi untuk ikterus. Ikterus fisiologis dianggap
sebagai penyebab paling sering dari ikterus klinis setelah hari pertama
kehidupan, terhitung sekitar 50% kasus. Sekitar 15% bayi yang diberi ASI
akan mengalami UCH yang berlangsung lebih dari tiga minggu.13
Hanya sebagian kecil bayi dengan ikterus neonatorum yang memiliki
penyebab patologis ikterus. Insiden hiperbilirubinemia berat, didefinisikan

12
sebagai TSB>25 mg/dl, adalah sekitar 1 dari 2500 kelahiran hidup. Di
antaranya, inkompatibilitas ABO diikuti oleh defisiensi G6PD adalah
penyebab yang paling sering diidentifikasi. Bayi baru lahir dengan keturunan
Asia Tenggara dan Timur Jauh memiliki tingkat TSB yang tercatat lebih tinggi
daripada rekan kulit putih dan Afrika. Penyakit kuning neonatus juga
tampaknya lebih umum pada orang yang tinggal di dataran tinggi dan mereka
yang tinggal di sekitar laut mediterania, terutama di Yunani.13
Insiden ensefalopati bilirubin akut terlihat pada tingkat sekitar 1 dalam
10.000 kelahiran hidup, sedangkan kejadian ensefalopati bilirubin kronis lebih
rendah, dengan perkiraan kejadian 1 dari 50.000 hingga 100.000 kelahiran
hidup. Namun, di negara berkembang, perkiraan terjadinya kernikterus jauh
lebih tinggi.13
Hiperbilirubinemia terkonjugasi jauh lebih jarang dibandingkan
dengan UCH, dengan frekuensi sekitar 1 dari 2500 bayi cukup bulan.
Penyebab ikterus kolestatik yang paling umum diidentifikasi pada periode
neonatal adalah atresia bilier terhitung sekitar 25% sampai 40% dari semua
kasus, diikuti oleh infeksi dan kolestasis yang diinduksi TPN. Diperkirakan
bahwa 60% sampai 70% pasien dengan BA pada akhirnya akan membutuhkan
transplantasi hati di masa kanak-kanak, dan BA tetap menjadi indikasi paling
umum untuk transplantasi hati pediatrik.13

3.1.3 Etiologi
Etiologi ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun
disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar etiologi itu dapat dibagi
sebagai berikut:14
a. Produksi yang berlebihan, lebih daripada kemampuan bayi untuk
mengeluarkannya, misalnyahemolisi yang meningkat pada
inkompatibilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim
G6PD, pyruvate kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar gangguan ini dapat
disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi

13
bilirubin, gangguan fungsi hepar akibat asidosis, hipoksia, dan infeksi
atau tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase (criggler najjar
syndrome). Penyebab lain ialah defisiensi protein Y dalam hepar yang
berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel-sel hepar.
c. Gangguan dalam transportasi bilirubin dalam darah terikat oleh albumin
kemudian diangkut ke hepar, ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat
dipengaruhi oleh obat-obatan misalnya salisilat, sulfatfurazole. Defisiensi
albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang
bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam sekresi, gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi
dalam hepar atau diluar hepar, biasanya akibat infeksi atau kerusakan
hepar oleh penyebab lain.
e. Obstruksi saluran pencernaan (fungsional atau struktural) dapat
mengakibatkan hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi akibat penambahan
dari bilirubin yang berasal dari sirkulais enterahepatik.
f. Ikterus akibat air susu ibu (ASI)
Bayi yang diberi ASI eksklusif memiliki pola fisiologis ikterus yang
berbeda dibandingkan dengan bayi yang diberi makan secara artifisial.
Penyakit kuning pada bayi yang diberi ASI biasanya muncul antara usia
24-72 jam, memuncak pada 5-15 hari kehidupan dan menghilang pada
minggu ketiga kehidupan. Dapat dibedakan dari penyebab lain dengan
reduksi kadar bilirubin yang cepat bila disubstitusi dengan susu formula
selama 1-2 hari.15 Hal ini untuk membedakan ikterus pada bayi yang
disusui ASI selama minggu pertama kehidupan. Sebagian bahan yang
terkandung dalam ASI (beta glucoronidase) akan memecah bilirubin
menjadi bentuk yang larut dalam lemak sehingga bilirubin indirek akan
meningkat dan kemudian akan diresorbsi oleh usus. Bayi yang mendapat
ASI bila dibandingkan dengan bayi yang mendapat susu formula,
mempunyai kadar bilirubin yang lebih tinggi berkaitan dengan penurunan
asupan pada beberapa hari pertama kehidupan.14 Salah satu prosedur
penting untuk mengatasi penyakit kuning pada bayi cukup bulan yang

14
sehat adalah dorongan ibu untuk menyusui bayinya setidaknya 10-12 kali
per hari. Sekitar 2-4% bayi yang mendapat ASI eksklusif mengalami
ikterus lebih dari 10 mg/kali pada minggu ketiga kehidupan.15
Pengobatannya bukan dengan menghentikan pemberian ASI melainkan
dengan meningkatkan frekuensi pemberian.14 Ibu harus disarankan untuk
terus menyusui dengan interval yang lebih sering dan kadar bilirubin
biasanya berkurang secara bertahap. Penghentian menyusui tidak
dianjurkan kecuali kadarnya melebihi 20 mg/dl.15

3.1.4 Faktor Risiko


Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus nonfisiologis)
dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor dibawah ini:16
a. Faktor Maternal: ras atau kelompok etnik tertentu, komplikasi dalam
kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO, Rh), penggunaan oksitosin
dalam larutan hipotonik, ASI, mengonsumsi jamu-jamuan.
b. Faktor perinatal: trauma lahir (chepalhematom, ekimosis): infeksi
(bakteri, virus, protozoa).
c. Faktor Neonatus: prematuritas, faktor genetic, obat (streptomisin,
kloramfenikol, benzylalkohol, sulfisoxazol), rendahnya asupan ASI
(dalam sehari minimal 8 kali sehari), hipoglikemia, hiperbilirubinemia,
infeksi, hematoma, obstruksi usus

Faktor yang berhubungan dengan ikterus menurut Prawihardjo:17


a. Usia ibu
b. Tingkat Pendidikan
c. Tingkat pengetahuan ibu tentang perawatan bayi icterus
d. Riwayat kesehatan ibu
e. Masa gestasi
f. Jenis persalinan
g. Inkomtabilitas Rhesus
h. Inkompatibilitas ABO

15
i. Berat badan lahir
j. Asfiksia
k. Prematur
l. APGAR score
m. Asupan Nutrisi
n. Terpapar sinar matahari.

3.1.5 Patofisiologi
Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang
merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses
reaksi oksidasi-reduksi. Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang
dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim
yang sebagian besar terdapat dalam sel hati, dan organ lain. Pada reaksi
tersebut juga terbentuk besi yang digunakan kembali untuk pembentukan
hemoglobin dan karbon monoksida (CO) yang dieksresikan kedalam paru.
Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin
reduktase.9
Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan diubah
menjadi bilirubin melalui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan
biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hidrogen serta pada
pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan mengekskresikan, diperlukan
mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.9
Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari
katabolisme heme haemmoglobin dari eritrosit sirkulasi. Satu gram
hemoglobin akan menghasilkan 34 mg bilirubin dan sisanya (25%) disebut
early labelled bilirubin yang berasal dadi pelepasan hemoglobin karena
eritropoesis yang tidak efektif didalam sumsum tulang, jaringan yang
mengandung protein heme (mioglobin, sitokrom, katalase, peroksidase) dan
heme bebas.9
Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10 mg/kgBB/hari,
sedangkan orang dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi

16
bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan masa hidup eritrosit bayi lebih
pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan orang dewasa (120 hari),
peningkatan degradasi heme, turn oversitokrom yang meningkat dan juga
reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat (sirkulasi enterohepatik).9

3.1.6 Klasifikasi
Ikterus dikelompokkan menjadi ikterus fisiologis dan patologis.
Ikterus fisiologis merupakan peningkatan bilirubin tanpa adanya penyebab
patologis pada neonatus. Ikterus diklasifikasikan menjadi beberapa macam:
a. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis adalah ikterus yang timbul pada hari ke dua dan
hari ke tiga yang tidak mempunyai dasar patologik, kadarnya tidak
melewati kadar yang membahayakan atau yang mempunyai potensi
menjadi kern ikterus dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi.
Ikterus fisiologis ini juga dapat dikarenakan organ hati bayi belum matang
atau disebabkan kadar penguraian sel darah merah yang cepat.14
Ikterus fisiologis ini umumnya terjadi pada bayi baru lahir dengan
kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama >2 mg/dL. Pada
bayi cukup bulan yang mendapatkan susu formula kadar bilirubin akan
mencapai puncaknya sekitar 8 mg/dL pada hari ke tiga kehidupan dan
kemudian akan menurun secara cepat selama 2-3 hari diikuti dengan
penurunan yang lambat sebesar 1 mg/dL selama satu sampai dua minggu.
Sedangkan pada bayi cukup bulan yang diberikan air susu ibu (ASI) kadar
bilirubin puncak akan mencapai kadar yang lebih tinggi yaitu 7-14 mg/dL
dan penurunan akan lebih lambat. Bisa terjadi dalam waktu 2-4 minggu,
bahkan sampai 6 minggu. Bilirubin tak terkonjugasi adalah bentuk yang
dominan dan biasanya kadar serumnya kurang dari 15 mg/dl (28).
Berdasarkan rekomendasi terbaru dari AAP, kadar bilirubin hingga 17-18
mg/dl dapat dianggap normal pada bayi baru lahir yang sehat.9
Faktor yang berhubungan dengan ikterus fisiologis9

17
Dasar Penyebab
Peningkatan bilirubin yang
tersedia
a. Peningkatan produksi Peningkatan sel darah merah
bilirubin Penurunan umur sel darah merah
Peningkatan early bilirubin.

b. Peningkatan Peningkatan aktivitas β-glukuronidase


resirkulasi melalui Tidak adanya flora bakteri
enterohepatik shunt Pengeluaran mekonium yang terlambat.
Penurunan bilirubin
clearance Defisiensi protein karier
a. Penurunan clearance
dari plasma Penurunan aktivitas UDPG-T
b. Penurunan
metabolisme hepatik

b. Ikterus Patologis
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologi
atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut
hiperbilirubinemia. Ikterus yang kemungkinan menjadi patologik atau
dapat dianggap sebagai hiperbilirubinemia adalah:14
1) Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran
2) Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau lebih setiap 24 jam
3) Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus kurang
bulan dan 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan
4) Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah,
defisiensi enzim C6PD dan sepsis)
5) Ikterus yang disebabkan oleh bayi baru lahir kurang dari 200 gram
yang disebbakan karena usia ibu dibawah 20 tahun atau diatas 35

18
tahun dan kehamilan pada remaja, masa gestasi kurang dari 35
minggu, asfiksia, hipoksia, syndrome gangguan pernapasan, infeksi,
hipoglikemia, hiperkopnia, hiperosmolitas.

c. Kern Ikterus
Kern ikterus adalah sindrom neurologik akibat dari akumulasi bilirubin
indirek di ganglia basalis dan nuklei di batang otak. Faktor yang terkait
dengan terjadinya sindrom ini adalah kompleks yaitu termasuk adanya
interaksi antara besaran kadar bilirubin indirek, pengikatan albumin, kadar
bilirubin bebas, pasase melewati sawar darah-otak, dna suseptibilitas neuron
terhadap injuri.10
d. Ikterus Hemolitik
Ikterus hemolitik atau ikterus prahepatik adalah kelainan yang terjadi
sebelum hepar yakni disebbakan oleh berbagai hal disertai meningkatnya
proses hemolisis (pecahnya sel darah merah) yaitu terdapat pada inkontabilitas
golongan darah ibubayi, talasemia, sferositosis, malaria, sindrom
hemolitikuremik, sindrom Gilbert, dan sindrom Crigler-Najjar. Pada ikterus
hemolitik terdapat peningkatan produksi bilirubin diikuti dengan peningkatan
urobilinogen dalam urin tetapi bilirubin tidak ditemukan di urin karena
bilirubin tidak terkonjugasi tidak larut dalam air. Pada neonatus dapat terjadi
ikterus neonatorum karena enzim hepar masih belum mampu melaksanakan
konjugasi dan ekskresi bilirubin secara semestinya sampai ± umur 2 minggu.
Temuan laboratorium adalah pada urin didapatkan urobilinogen, sedangkan
bilirubin adalah negatif, dan dalam serum didapatkan peningkatan bilirubin
tidak terkonjugasi, dan keadaan ini dapat mengakibatkan hiperbilirubinemia
dan kern ikterus (ensefalopati bilirubin).10
1) Inkompabilitas Rhesus
Penyakit hemolitik rhesus pada bayi baru lahir (RHDN) dihasilkan dari
alloimunisasi sel darah merah ibu. Antibodi ibu diproduksi terhadap sel
darah merah janin, ketika sel darah merah janin positif untuk antigen
tertentu, biasanya pada jam berapa bayi memiliki Rh positif lahir dari ibu

19
Rh negatif (dan ayah Rh positif), kemudian antibodi imunoglobulin (IgG)
mungkin melewati plasenta ke dalam sirkulasi janin dan menyebabkan
berbagai gejala pada janin.15
Bayi dengan Rh positif dari ibu Rh negatif tidak selamanya menunjukkan
gejala-gejala klinik pada waktu lahir (15-20%). Gejala klinik yang dapat
terlihat ialah ikterus tersebut semakin lama semakin berat, disertai
dengan anemia yang semakin lama semakin berat juga. Jika sebelum
kelahiran terdapat hemolisis yang berat, maka bayi dapat lahir dengan
edema umum disertai ikterus dan pembesaran hepar dan lien
(hidropsfoetalis).14 Untuk memudahkan pengobatan dini pada neonatus
yang diduga memiliki faktor Rh, perlu dilakukan pemeriksaan golongan
darah dan Rh, DCT, PCV (packed cell volume) dan serum bilirubin pada
darah tali pusat.15 Terapi ditunjukkan untuk memperbaiki anemia dan
mengeluarkan biliruin yang berlebihan dalam serum agar tidak terjadi
kern ikterus.14
2) Inkompabilitas ABO
Insiden ketidaksesuaian golongan darah ABO ibu dan janin, bila ibu
bergolongan darah O dan bayi baru lahir bergolongan darah A atau B,
adalah 15-20% dari seluruh kehamilan. Bayi dengan ibu golongan darah
O harus diperiksa ketat dan dipulangkan setelah 72 jam.15 Skrining darah
tali pusat secara rutin tidak direkomendasikan untuk bayi baru lahir
dengan ibu kelompok O. Ikterus dapat terjadi pada hari pertama dan
kedua dan biasanya bersifat ringan. Bayi tidak tampak sakit, anemia
ringan, hepar dan lien tidak membesar. Kalau hemolisisnya berat,
seringkali diperlukan juga transfuse tukar untuk mencegah terjadinya
kernikterus. Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan kadar
bilirubin serum sewaktu.14
3) Inkompabilitas Golongan Darah
Ikterus hemolitik karena inkompatibilitas golongan darah lain, pada
neonatus dengan ikterus hemolitik dimana pemeriksaan kearah
inkompatibilitas Rh dan ABO hasilnya negatif sedangkan coombs test

20
positif, kemungkinan ikterus akibat hemolisis inkompatibilitas golongan
darah lain harus dipikirkan.14
4) Kelainan Eritrosit Kongenital
Golongan penyakit ini dapat menimbulkan gambaran klinik yang
menyerupai eritroblastisis fetalis akibat iso-imunitas. Pada penyakit ini
biasanya coombs testnya negatif.14
5) Defisiensi Enzim G6PD
G6PD (glukosa 6 phosphate dehidrogenase) adalah enzim yang
menolong memperkuat dinding sel darah merah, ketika mengalami
kekurangan maka sel darah merah akan lebih mudah pecah dan
memproduksi bilirubin lebih banyak. Defisiensi G6PD ini merupakan
salah satu penyebab utama ikterus neonatorum yang memerlukan
tranfuse tukar. Ikterus yang berlebihan dapat terjadi pada defisiensi
G6PD akibat hemolisis eritrosit walaupun tidak terdapat faktor eksogen
misalnya obat-obatan sebagai faktor lain yang ikut berperan, misalnya
faktor kematangan hepar.14 Pemeriksaan untuk defisiensi G6PD harus
dipertimbangkan pada bayi dengan ikterus berat dalam keluarga dengan
riwayat ikterus yang signifikan atau asal geografis yang terkait dengan
defisiensi G6PD.15

e. Ikterus Hepatik
Ikterus hepatik atau ikterus hepatoseluler disebabkan karena adanya
kelainan pada sel hepar (nekrosis) maka terjadi penurunan kemampuan
metabolisme dan sekresi bilirubin sehingga kadar bilirubin tidak terkonjugasi
dalam darah menjadi meningkat. Terdapat pula gangguan sekresi dari bilirubin
terkonjugasi dan garam empedu ke dalam saluran empedu hingga dalma darah
terjadi peningkatan bilirubin terkonjugasi dan garam empedu yang kemudian
diekskresikan ke urin melalui ginjal. Transportasi bilirubin tersebut menjadi
lebih terganggu karena adanya pembengkakan sel hepar dan edema karena
reaksi inflamasi yang mengakibatkan obstruksi pada saluran empedu
intrahepatik. Pada ikterus hepatik terjadi gangguan pada semua tingkat proses

21
metabolisme bilirubin, yaitu mulai dari uptake, konjugasi, dan kemudian
ekskresi. Temuan laboratorium urin ialah bilirubin terkonjugasi adalah positif
karena larut dalam air, dan urobilinogen juga positif > 2 U karena hemolisis
menyebabkan meningkatnya metabolisme heme. Peningkatan bilirubin
terkonjugasi dalam serum tidak mengakibatkan kern ikterus.10

f. Ikterus Obstruktif
Ikterus obstruktif atau ikterus pasca hepatik adalah ikterus yang
disebabkan oleh gangguan aliran empedu dalam sistem biliaris. Penyebab
utamanya yaitu batu empedu dan karsinoma pankreas dan sebab yang lain
yakni infeksi cacing Fasciola hepatica, penyempitan duktus biliaris komunis,
atresia biliaris, kolangiokarsinoma, pankreatitis, kista pankreas, dan sebab
yang jarang yaitu sindrom Mirizzi. Bila obstruktif bersifat total maka pada
urin tidak terdapat urobilinogen, karena bilirubin tidak terdapat di usus tempat
bilirubin diubah menjadi urobilinogen yang kemudian masuk ke sirkulasi.
Kecurigaan adanya ikterus obstruktif intrahepatik atau pascahepatik yaitu bila
dalam urin terdapat bilirubin sedang urobilinogen adalah negatif. Pada ikterus
obstruktif juga didapatkan tinja berwarna pucat atau seperti dempul serta urin
berwarna gelap, dan keadaan tersebut dapat juga ditemukan pada banyak
kelainan intrahepatik. Untuk menetapkan diagnosis dari tiga jenis ikterus
tersebut selain pemeriksaan di atas perlu juga dilakukan uji fungsi hati, antara
lain adalah alakli fosfatase, alanin transferase, dan aspartat transferase.10

g. Ikterus Retensi
Ikterus retensi terjadi karena sel hepar tidak merubah bilirubin menjadi
bilirubin glukuronida sehingga menimbulkan akumulasi bilirubin tidak
terkonjugasi di dalam darah dan bilirubin tidak terdapat di urin.10

h. Ikterus Regurgitasi
Ikterus regurgitasi adalah ikterus yang disebabkan oleh bilirubin setelah
konversi menjadi bilirubin glukuronida mengalir kembali ke dalam darah dan

22
bilirubin juga dijumpai di dalam urin.10

3.1.7 Tanda dan Gejala


a. Tanda
Tanda dan gejala yang timbul dari ikterus menurut Surasmi yaitu:18
1) Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar- putar.
2) Letargis (lemas).
3) Kejang.
4) Tidak mau menghisap.
5) Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental.
6) Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot,
episiototonus, kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot.
7) Perut membuncit.
8) Feses berwarna seperti dempul
9) Tampak ikterus: sklera, kuku, kulit dan membran mukosa.
10) Muntah, anoreksia, fatigue, warna urin gelap, warna tinja gelap
b. Gejala
1) Gejala akut: gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus
pada neonatus adalah letargi, tidak mau minum dan hipotonus.
2) Gejala kronik: tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi
hipertonus dan opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita
gejala sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis, gangguan
pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan dysplasia dentalis).18

3.1.8 Diagnosis
Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat
membantu dalam menegakkan diagnosis hiperbilirubinemia pada bayi.
Termasuk anamnesis mengenai riwayat inkompabilitas darah, riwayat
transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya. Disamping itu faktor
risiko kehamilan dan persalinan juga berperan dalam diagnosis dini ikterus
atau hiperbilirubinemia pada bayi. Faktor risiko antara lain adalah kehamilan

23
dengan komplikasi, obat yang diberikan pada ibu hamil atau persalinan,
kehamilan dengan diabetes mellitus, gawat janin, malnutrisi intrauterine,
infeksi intranatal dan lain-lain.4
Secara klinis ikterus pada bayi dapat dilihat segera setelah lahir
atau setelah beberapa hari kemudian. Pada bayi dengan peninggian bilirubin
indirek, kulit tampak berwarna kuning terang sampai jingga, sedangkan pada
penderita dengan gangguan obstruksi empedu warna kuning kulit tampak
kehijauan.4 Pengamatan ikterus kadang-kadang agak sulit dalam cahaya
buatan. Paling baik pengamatan dilakukan dalam cahaya matahari dan dengan
menekan sedikit kulit yang akan diamati untuk menghilangkan warna karena
pengaruh sirkulasi darah. Ada beberapa cara untuk menentukan derajat ikterus
yang merupakan risiko terjadinya kern-ikterus, misalnya kadar bilirubin bebas;
kadar bilirubin 1 dan 2 atau secara klinis dilakukan di bawah sinar matahari
biasa (day-light). Sebaiknya penilaian ikterus dilakukan secara laboratoris,
apabila fasilitas tidak memungkinkan dapat dilakukan secara klinis.19
Beberapa cara yang dapat digunakan untuk penegakan diagnosa ikterus,
yaitu:20
a. Visual
WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus
secara visual, yaitu sebagai berikut:
1) Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di
siang hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat
lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan biasanya
tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.
2) Tekan kulit bayi dengan lembut menggunakan jari untuk
mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan subkutan.
3) Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian
tubuh yang tampak kuning. Daerah kulit bayi yang berwarna
kuning ditentukan menggunakan rumus Kremer, seperti di
bawah ini.

24
Gambar 2. Pemeriksaan Kramer

Tabel. Rumus Kramer19


Daerah (Lihat Gambar) Luas Ikterus Kadar Bilirubin (mg%)
1 Kepala dan leher 5
2 Daerah 1 (+) 9
Badan bagian atas
3 Daerah 1,2 (+) 11
Badan bagian bawah dan
tungkai
4 Daerah 1,2,3 (+) 12
Lengan dan kaki di
bawah dengkul
5 Daerah 1,2,3,4 (+) 16
Tangan dan kaki

Pada kern-ikterus, gejala klinik pada permulaan tidak jelas antara


lain, bayi tidak mau menghisap, letargi, mata berputar, gerakan tidak
menentu (involuntary movements), kejang, tonus otot meninggi,
leher kaku dan akhirnya epistotonus.

25
b. Bilirubin Serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan
diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya
intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan
dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini
merupakan tindakna invasif yang dianggap dapat meningkatkan
morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin
total. Sampel serum harus dilindungi dari cahaya dengan aluminium
foil. Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila
kadar bilirubin total >20 mg/dl atau usia bayi >2 minggu.
c. Bilirubinometer Transkutan
Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja
dengan prinsip memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya
dengan panjang gelombang 450 nm. Cahaya yang dipantulkan
merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang diperiksa.
Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat
yang amat dipengaruhi pigmen kulit. Saat ini yang dipakai alat
menggunakan multiwavelength spectral reflectance yang tidak
terpengaruh pigmen. Pemeriksaan bilirubin transkutan dilakukan
untuk tujuan skrining, bukan untuk diagnosis.
d. Pemeriksaan Bilirubin Bebas dan CO
Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal
ini menerangkan mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada
konsentrasi bilirubin serum yang rendah. Beberapa metode
digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas. Salah
satunya dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip dari metode
ini berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi terhadap
bilirubin. Bilirubin menjadi substansi tidak berwarna. Dengan
pendekatan bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan
lebih terarah. Seperti telah diketahui bahwa pada pemecahan heme
dihasilkan bilirubin dan gas CO dalam jumlah yang ekuivalen.

26
Berdasarkan hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO yang
dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan sebagai indeks
produksi bilirubin.

3.1.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan menurut Yulianti dan Rukiyah (2012)
berdasarkan waktu timbulnya ikterus. Ikterus neonatorum dapat dicegah
berdasarkan waktu timbulnya gejala dan diatasi dengan penatalaksanaan di
bawah ini.4
a. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama pemeriksaan yang dilakukan
yaitu Kadar bilirubin serum berkala, darah tepi lengkap, golongan darah
ibu dan bayi diperiksa, pemeriksaan penyaring defisiensi enzim G6PD
biakan darah atau biopsi hepar bila perlu.
b. Ikterus yang timbul 24-72 jam setelah lahir. Pemeriksaan yang perlu
diperhatikan yaitu bila keadaan bayi baik dan peningkatan tidak cepat
dapat dilakukan pemeriksaan darah tepi, periksa kadar bilirubin berkala,
pemeriksaan penyaring enzim G6PD dan pemeriksaan lainnya.
c. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai ikterus yang timbul
pada akhir minggu pertama dan selanjutnya. Pemeriksaan yang
dilakukan yaitu Pemeriksaan bilirubin direct dan indirect berkala,
pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan penyaring G6PD biakan darah,
biopsi hepar bila ada indikasi.
d. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan yaitu pemeriksaan bilirubin berkala,
pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan penyaring G6PD, biakan darah,
biopsi hepar bila ada indikasi.

Terapi
Jika setelah tiga-empat hari kelebihan bilirubin masih terjadi, anak
bayi harus segera mendapatkan terapi. Bentuk terapi ini bermacam- macam,
disesuaikam dengan kadar kelebihan yang ada.

27
a. Terapi Sinar (fototerapi)
Ikterus klinis dan hiperbilirubin indirek akan berkurang kalau bayi
dipaparkan pada sinar dalam spectrum cahaya yang mempunyai
intensitas tinggi. Bilirubin akan menyerap cahaya secara maksimal dalam
batas wilayah warna biru (mulai dari 420-470 mm). Bilirubin dalam kulit
akan menyerap energi cahaya, yang melalui fotoisomerasi mengubah
bilirubin tak terkonjugasi yang bersifat toksik menjadi isomer-isomer
terkonjugasi yang dikeluarkan ke empedu dan melalui otosensitisasi yang
melibatkan oksigen dan mengakibatkan reaksi oksidasi yang
menghasilkan produk-produk pemecahan yang akan diekskresikan oleh
hati dan ginjal tanpa memerlukan konjugat. Indikasi fototerapi hanya
setelah dipastikan adanya hiperbilirubin patologik. Komplikasi fototerapi
meliputi tinja yang cair, ruam kulit, bayi mendapat panas yang berlebihan
dan dehidrasi akibat cahaya, menggigil karena pemaparan pada bayi, dan
sindrom bayi perunggu, yaitu warna kulit menjadi gelap, cokelat dan
keabuan.4
b. Terapi Transfusi Tukar
Dilakukan untuk mempertahankan kadar bilirubin indirek dalam serum
bayi aterm kurang dari 20 mg/dl atau 15 mg/dl pada bayi kurang bulan.
Dapat diulangi sebanyak yang diperlukan, atau keadaan bayi yang
dipandang kritis dapat menjadi petunjuk melakukan transfuse tukar
selama hari pertama atau kedua kehidupan, kalau peningkatan yang lebih
diduga akan terjadi, tetapi tidak dilakukan pada hari ke empat pada bayi
aterm atau hari ketujuh pada bayi premature, kalau diharapkan akan
terjadi segera terjadi penurunan kadar bilirubin serum atau akibat
mekanisme konjugasi yang bekerja lebih efektif. Transfuse tukar
mungkin merupakan metode yang paling efektif untuk mengontrol
terjadinya hiperbilirubinemia.4 Tujuan dari tranfusi tukar atau transfuse
darah yaitu menurunkan kadar bilirubin indirek, mengganti eritrosit yang
dapat dihemolisis, membuang antibodi yang menyebabkan hemolisis,
dan mengoreksi anemia.18

28
c. Terapi Farmakologi
Fenobarbital dapat meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin.
Pemberian obat ini akan mengurangi timbulnya ikterus fisiologik pada
bayi neonatus, kalau diberikan pada ibu dengan dosis 90 mg/24 jam
beberapa hari sebelum kelahiran atau bayi pada saat lahir dengan dosis 5
mg/kgBb/24 jam. Pada suatu penelitian menunjukkan pemberian
fenobarbital pada ibu untuk beberapa hari sebelum kelahiran baik pada
kehamilan cukup bulan atau kurang bulan dapat mengontrol terjadinya
hiperbilirubinemia. Namun karena efeknya pada metabolism bilirubin
biasanya belum terwujud sampai beberapa hari setelah pemberian obat
dan oleh karena keefektifannya lebih kcil dibandingkan fototerapi, dan
mempunyai efek sedative yang tidak diinginkan dan tidak menambah
respon terhadap fototerapi, maka fenobarbital tidak dianjurkan untuk
pengobatan ikterus pada bayi neonatus.4 Selain itu, imunoglobulin
intravena (IVIG) dosis tinggi (0,5-1 gr/kg) terbukti efektif dalam
menurunkan kebutuhan transfusi tukar dan fototerapi pada bayi dengan
penyakit hemolitik Rh.15
d. Menyusui Bayi dengan ASI
Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan feses dan urin.
Untuk itu bayi harus mendapatkan cukup ASI. Seperti diketahui, ASI
memiliki zat-zat terbaik bagi bayi yang dapat memperlancar buang air
besar dan kecilnya.21
e. Terapi Sinar Matahari
Terapi dengan sinar matahari hanya memerlukan terapi tambahan.
Biasanya dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di rumah sakit. Caranya,
bayi dijemur selama setengah jam dengan posisi yang berbeda-beda.
Seperempat jam dalam keadaan telentang, misalnya, seperempat jam
kemudian telungkup. Lakukan antara jam 07.00 sampai 09.00 pagi.
Inilah waktu dimana sinar surya efektif mengurangi kadar bilirubin.
Dibawah jam tujuh, sinar ultraviolet belum cukup efektif, sedangkan
diatas jam Sembilan kekuatannya sudah terlalu tinggi sehingga akan

29
merusak kulit. Hindari posisi yang membuat bayi melihat langsung ke
matahari karena dapat merusak matanya. Perhatikan pula situasi
disekeliling, keadaan udara harus bersih.21

Fototerapi
 Indikasi
Menurunkan kadar bilirubin direk pada bayi dengan
hiperbilirubinemia/ ikterus non fisiologis. Beberapa keadaan yang
mempengaruhi pemberian terapi sinar antara lain: masa gestasi, berat
lahir, umur bayi, faktor risiko (hipoksia, asidosis, sepsis, kelainan
hemolisis).9

 Panduan terapi sinar berdasarkan masa gestasi menurut American


Academy of Pediatrics (AAP)
Pada bayi dengan usia kehamilan 35-37 minggu terapi sinar diberikan
jika kadar bilirubin total terletak sekitar garis bayi risiko sedang atau
pada kadar bilirubin total serum yang lebih rendah untuk bayi-bayi
yang mendekati usia 35 minggu dan dengan kadar bilirubin total serum
yang lebih tinggi untuk bayi yang berusia mendekati 37 minggu.9

Gambar 1. Panduan Fototerapi pada bayi usai kehamilan ≥35 minggu.

30
Faktor risiko: isoimune hemolytic disease, defisiensi G6PD, asfiksia,
letargis, suhu tubuh yang tidak stabil, sepsis, asidosis, atau kadar
albumin <3 g/dL.9

 Panduan terapi sinar berdasarkan usia bayi (tabel 1)

 Panduan terapi sinar berdasarkan berat bayi (tabel 3)

31
 Kontra indikasi
1. Hiperbilirubin direk/konjugasi
2. Phofiria kongenital9

 Alat
1. Unit terapi sinar
2. Lampu dapat berupa:
 Tabung fluoresens penghasil sinar blue-green spectrum
(panjang gelombang 430-490 nm) dengan kekuatan 30
uW/cm2
 Lampu halogen
 Sistem fiberoptic
 Lampu gallium nitrid
3. Pelindung mata
4. Pelindung lampu
5. Kotak penghangat atau inkubator
6. Kain atau tirai putih
7. Pengukur suhu tubuh dan ruangan9
 Teknik
1. Persiapan
Alat
 Hangatkan ruangan sehingga suhu di bawah lampu
28oC - 30oC.
 Nyalakan tombol alat dan periksa apakah seluruh lampu
fluoresens menyala dengan baik.
 Ganti lampu fluoresens bila terbakar atau mulai
berkedip-kedip:
 Gunakan kain pada boks bayi atau inkubator, letakkan
tirai putih mengelilingi are sekeliling alat tersebutberada
untuk memantulkan Kembali sinar sebanyak mungkin
ke arah bayi.

32
 Bila berat bayi 2000 gram atau lebih, letakkan bayi
dalam keadaan telanjang di box bayi. Bayi yang lebih
kecil diletakkan dalam inkubator.
 Tutup mata bayi dengan penutup, pastikan penutup
mata tidak menutupi lubang hidung. Jangan gunakan
plester untuk memfiksasi penutup.9

Gambar 2. Bayi di bawah lampu sinar.

Pemberian terapi sinar


 Letakkan bayi di bawah lampu terapi sinar dengan jarak
45-50 cm
 Letakkan bayi sedekat mungkin dengan lampu sesuai
dengan petunjuk atau manual dari pabrik pembuat alat.
 Ubah posisi bayi tiap 3 jam.
 Pastikan bayi terpenuhi kebutuhan cairannya.
 Pantau suhu tubuh bayi dan suhu udara ruangan setiap 3
jam.
 Periksa kadar bilirubin serum tiap 6-12 jam pada bayi
dengan kadar bilirubin yang cepat meingkat, bayi
kurang bulan atau bayi sakit. Selanjutnya lakukan
pemeriksaan ulang setelah 12-24 jam terapi sinar
dihentikan.

33
 Hentikan terapi sinar bila kadar bilirubin turun di bawah
batas untuk dilakukan terapi sinar atau mendekati nilai
untuk dilakukan transfusi tukar.9
2. Komplikasi
 Kerusakan retina
 Kelainan kulit: hiperpigmentasi, ruam, eritema, luka
bakar
 Dehidrasi
 Diare
 Hipertermi
 Bronze baby syndrome9
 Perhatian
1. Bila kadar bilirubin tidak menurun atau cenderung naik pada
bayi-bayi yang mendapat fototerapi intensif, kemungkinan
besar terjadi proses hemolisis.
2. Kebutuhan cairan meningkat selama pemberian terapi sinar
 Anjurkan ibu menyusui sesuai keinginan bayi, paling
tidak setiap 3 jam, tidak perlu menambah atau
mengganti asi dengan air, dekstrosa atau formula.
 Bila bayi tidak dapat menyusu, berikan ASI peras
dengan menggunakan salah satu cara alternatif
pemberian minum. Selama dilakukan terapi sinar,
naikkan kebutuhan hariannya dengan menambah 25
mL/kgBB.
 Bila bayi mendapat cairan IV, naikkan kebutuhan
hariannya 10-20%.
 Bila bayi mendapat cairan IV atau diberi minum melalui
pipa lambung, bayi tidak perlu dipindahkan dari lampu
terapi sinar.
3. Selama dilakukan terapi sinar, feses bayi bisa menjadi cair dan
berwarna kuning. Keadaan ini tidak memerlukan terapi khusus.

34
4. Bayi dipindahkan dari alat terapi sinar hanya bila akan
dilakukan tindakan yang tidak dapat dikerjakan di bawah lampu
terapi sinar.
5. Bila bayi mendapat terapi oksigen, matikan lampu saat
memeriksa bayi untuk mengetahui sianosis sentral.
6. Warna kulit tidak dapat digunakan sebagai petunjuk untuk
menentukan kadar bilirubin serum selama bayi dilakukan terapi
sinar dan selama 24 jam setelah dihentikan.9

3.1.10 Komplikasi
Kernikterus (ensefalopati biliaris) adalah suatu kerusakan otak
akibat adanya bilirubin indirek pada otak. Kernikterus ditandai dengan kadar
bilirubin darah yang tinggi (lebih dari 20 mg% pada bayi cukup bulan atau
lebih dari 18 mg% pada bayi berat lahir rendah) disertai dengan gejala
kerusakan otak berupa mata berputar, letargi, kejang, tak mau mengisap, tonus
otot meningkat, leher kaku, epistotonus, dan sianosis, serta dapat juga diikuti
dengan ketulian, gangguan berbicara, dan retardasi mental di kemudian hari.22

3.2 Sepsis
3.2.1 Definisi
Sepsis neonatarum adalah sindrom klinik penyakit sistemik,
disertai bakteremia yang terjadi pada bayi dalam satu bulan pertama
kehidupan. Probable sepsis merupakan gejala dan tanda sepsis neonatorum
yang dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium yaitu ditemukan dua atau
lebih parameter sepsis neonatorum tetapi hasil biakan tidak ditemukan kuman
(kultur negatif), sedangkan proven sepsis merupakan gejala dan tanda sepsis
neonatorum yang dibuktikan dengan adanya kuman dalam pemeriksaan
biakan (kultur positif).5,23
Jika ditemukan gejala dan atau tanda sepsis neonatorum saja tetapi
tidak ditunjang oleh parameter laboratorium dan tidak ditemukan kuman pada
pemeriksaan biakan maka disebut klinis sepsis, sedangkan pasien yang tidak

35
menunjukkan gejala dan atau tanda klinis sepsis tetapi memiliki faktor risiko
infeksi neonatorum disebut tersangka infeksi atau suspicious infection.5,23

3.2.2 Etiologi
Berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus, parasit atau jamur
dapat menyebabkan sepsis. Sepsis neonatorum awitan dini sering dikaitkan
dengan adanya infeksi bakteri yang didapat dari ibu, biasanya diperoleh saat
proses persalinan atau in utero. Pola bakteri penyebab sepsis dapat berbeda-
beda antar negara dan selalu berubah dari waktu ke waktu.5
Di negara maju, bakteri yang sering ditemukan pada sepsis
neonatorum awitan dini adalah Streptococcus grup B, Escherichia coli,
Haemophillus influenzae dan Listeria monocytogenes. Sedangkan di
Indonesia yang termasuk negara berkembang, penyebab terbanyak sepsis
neonatorum awitan dini adalah bakteri batang gram negatif. Escherichia coli
merupakan kuman patogen utama penyebab sepsis pada bayi prematur. Data
dari RS Dr. Cipto Mangunkusumo selama tahun 2002 kuman yang ditemukan
pada sepsis neonatorum awitan dini berturut-turut adalah Enterobacter sp,
Acinetobacter sp dan Coli sp.5,6

3.2.3 Epidemiologi
Insiden sepsis lebih tinggi pada kelompok neonatus dan bayi 1-18
tahun (9,7 versus 0,23 kasus per 1000 anak). Pasien sepsis berat, sebagian
besar berasal dari infeksi saluran nafas (36-42%), bakteremia, dan infeksi
saluran kemih. Angka kejadian sepsis neonatarum adalah 1-10 per 1000
kelahiran hidup, dan mencapai 13-27 per 1000 kelahiran hidup pada bayi
dengan berat <1500gram. Angka kematian 13-50%, terutama pada bayi
premature (5-10 kali kejadian pada neonatus cukup bulan) dan neonatus
dengan penyakit berat dini.
Angka mortalitas sepsis neonatorum awitan lambat lebih rendah 10-20%
dibanding dengan sepsis neonatorum awitan dini. Sepsis neonatorum awitan
dini terjadi pada 48-72 jam setelah lahir dan merupakan penyebab terpenting

36
dalam morbiditas dan mortalitas pada neonatus. Angka kejadian sepsis
neonatorum awitan dini sebanyak 3,5 kasus per 1000 kelahiran hidup dengan
angka mortalitas 15-50%. 23

3.2.4 Patofisiologi
Sepsis terjadi karena adanya gangguan keseimbangan antara
sitokin proinflamasi dan antiinflamasi, komponen koagulan dan antikoagulan
serta antara integritas endotel dan sel yang beredar. Gangguan keseimbangan
tersebut disebabkan oleh infeksi bakteri patogen.24 Bakteri mencapai aliran
darah melalui aspirasi janin atau tertelan melalui kontaminasi cairan amnion,
menyebabkan bakteremia.25
Proses molekuler dan seluler yang memicu respon sepsis berbeda
tergantung dari mikroorganisme penyebab. Respon sepsis karena bakteri gram
negatif dimulai saat pelepasan dari lipopolisakarida (LPS) yang merupakan
endotoksin dari dalam dinding sel bakteri. Lipopolisakarida berikatan secara
spesifik di dalam plasma dengan lipoprotein binding protein (LPB). Kemudian
kompleks LPS-LPB akan berikatan dengan CD14. CD14 merupakan reseptor
pada membran makrofag. CD14 mempresentasikan LPS pada Toll-like
receptor 4 (TLR4) yang merupakan trasnduksi sinyal untuk aktivasi
makrofag.24,25
Bakteri gram positif dapat menyebabkan sepsis dengan dua
mekanisme yaitu dengan menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai
superantigen yang mengaktifkan sebagian besar sel T untuk melepaskan
sitokin proinflamasi dalam jumlah yang sangat banyak dan dengan
melepaskan fragmen dinding sel yang dapat merangsang sel imun non spesifik
melalui mekanisme yang sama dengan bakteri gram negatif. Kedua kelompok
bakteri tersebut akan memicu kaskade sepsis yang dimulai dengan pelepasan
mediator inflamasi sepsis. Mediator inflamasi primer dilepaskan oleh sel-sel
yang teraktivasi makrofag. Pelepasan mediator akan mengaktivasi sistem
koagulasi dan komplemen. Sistem komplemen merupakan komponen yang
sangat penting dari sistem imun bawaan yang memfasilitasi pembunuhan

37
bakteri melalui opsonisasi dan aktivitas bakterisidal secara langsung.
Komponen komplemen juga memiliki aktivitas kemotaktik atau anafilaktik
yang akan meningkatkan agregasi leukosit dan permeabilitas vaskuler di
tempat yang terinvasi. Selain itu, komponen komplemen juga saling
mengaktifkan sejumlah proses penting lainnya seperti koagulasi, produksi
sitokin proinflamasi dan aktivasi leukosit. Disregulasi dari aktivasi
komplemen dapat menyebabkan efek yang tidak diinginkan seperti pada
neonatus dengan sepsis berat atau syok septik. Pada neonatus prematur terjadi
penurunan kadar protein komplemen dan fungsi dari kedua jalur sistem imun.
Opsonisasi yang dimediasi oleh komplemen juga sangat rendah pada neonatus
prematur dan terbatas pada neonatus cukup bulan.26,27

3.2.5 Klasifikasi
Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat
diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini
(early-onset neonatal sepsis) dan sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset
neonatal sepsis). Sepsis neonatorum awitan dini (SNAD) merupakan infeksi
perinatal yang terjadi segera dalam periode postnatal (kurang dari 72 jam) dan
diperoleh pada saat proses kelahiran atau in utero. Sepsis neonatorum awitan
lambat (SNAL) merupakan infeksi postnatal (lebih dari 72 jam) yang
diperoleh dari lingkungan di sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial).
Proses ini didsebut juga infeksi dengan transmisi horizontal. Apabila disertai
dengan gejala hipoperfusi atau disfungsi minimal 1 sistem organ, maka
dinamakan sepsis berat. Akhirnya, apabila sepsis ini diikuti oleh hipotensi dan
memerlukan vasopresor selain resusitasi cairan, hal ini dinamakan syok septik.
5,28

3.2.6 Diagnosis
Kultur darah merupakan baku emas sepsis. Hasilnya dapat berupa
steril palsu yang disebabkan oleh sampel yang tidak cukup, bakteremia yang
intermiten atau densitas rendah, atau supresi akibat pemakaian antibiotik.

38
Kultur positif ditemukan pada 8−75% dari diagnosis sepsis neonatus. Selain
itu, ditemukan juga hasil kultur yang kontaminan.28
Berikut ini adalah urutan penegakan diagnosis sepsis.
a) Anamnesis, terdiri atas keterangan lengkap data mengenai keadaan
antenatal, intranatal, dan postnatal.
b) Pemeriksaan fisis
 keadaan umum
 gangguan tanda vital
 kelainan sistem organ
 gangguan umum, urine output, gerakan-gerakan abnormal
c) Laboratorium
 tanda infeksi: hasil kultur (darah, LCS, dll)
 terdapat mikrob pada jaringan/cairan
 deteksi molekuler (darah, urine, LSC)
 autopsi
 tanda inflamasi:
 leukositosis, peningkatan ratio netrofil imatur/total
 reaksi fase akut: CRP, LED
 sitokin: interleukin -6, interleukin -8, tumor necrosis factor
 pleositosis pada LCS atau cairan sinovial atau pleural
 DIC: fibrin degradation products, D-dimer
 Tanda kelainan multiorgan:
 asidosis metabolik: pH, pCO2
 fungsi paru-paru: pO2, pCO2
 fungsi ginjal: BUN, kreatinin
 fungsi hati, bilirubin, ALT, AST, amonia, PT, APTT
 fungsi sumsum tulang: neutropenia, anemia, trombositopenia

Penapisan sepsis29
Walaupun tes diagnosis sering kali diminta untuk identifikasi sepsis
neonatal, tujuan utama menyingkirkan kemungkinan penyakit pada bayi yang

39
berisiko rendah. Berikut ini dikemukakan suatu tes kombinasi satu skrining sepsis
sebagai berikut:

Tabel 1 Tes Skrining Sepsis


Tes Point Value
Absolute neutrophil count <1.750/cmm 1 poin
Jumlah leukosit <7.500 atau 1 poin
>40.000/cmm
I:T neutrophil ratio > 0,2 1 poin
I:T neutrophil ratio > 0,4 2 poin
CRP + (>1,0 mg/dL) 1 poin
CRP + (> 5,0 mg/dL) 2 poin
Hasil menunjukkan positif apabila diperoleh 2 atau lebih angka. Penting untuk
diketahui bahwa tidak ada satupun teknik skrining yang sempurna.

Alat diagnosis baru


Candidate biomarkers for diagnosis of sepsis:30

 Acute phase reactants: C-reactive protein, feritin, laktoferrin, neopterin,


prokalsitonin, amiloid A serum
 Sitokin: tumor necrosis factor-alpha, Interleukin (1-alpha, 1-beta, 6, 8, 10,
18)
 Leucocyte surface markers: Cell differentiation antigen CD11b,
intercellular adhesion molecule
 ICAM-1), CD63, CD64, CD66b
 Microbial products: endotoksin
 Polymerase chain reaction (PCR):100% sensitivitas dan 95,6%
spesifisitas. Ketepatan diagnostik dan count effective harus
dipertimbangkan sebelum melakukan pemeriksaan-pemeriksaan ini.

Diagnosis berdasarkan kriteria yang ditetapkan pada tahun 2004 oleh


The International Sepsis Forum.

40
Tabel 2. Kriteria diagnostik sepsis pada neonatus
 Suhu tubuh tidak stabil (<36 0C atau >37,5 0C)

 Laju nadi >180 x/menit atau < 100 x/menit

 Laju nafas > 60 x/menit, dengan retraksi atau

Variabel klinis desaturasi oksigen, apnea atau laju nafas <30 x/menit

 Letargi

 Intoleransi glukosa: hiperglikemia (plasma glukosa


>10 mmol/L atau >170 mg/dl) atau hipoglikemia (<2,5
mmol/L atau < 45 mg/dl), Intoleransi minum

Variabel  Pengisian kembali kapiler/capillary refill time > 3 detik


perfusi
 asam laktat plasma > 3 mmol/L
jaringan
 Tekanan darah < 2 SD menurut usia bayi
Variabel
 Tekanan darah sistolik < 50 mmHg (usia 1 hari)
hemodinamik
 Tekanan darah sistolik < 65 mmHg (usia < 1 bulan)

 Leukositosis (> 34.000 x 109/L)

 Leukopenia (< 4.000 x 109/L)

 Netrofil muda > 10%

 Perbandingan netrofil muda/total netrofil atau I/T ratio


Variabel > 0,2 Trombositopenia < 100.000 x 109/L)
inflamasi
 CRP > 10 mg/dl atau >2 SD dari normal

 Procalcitonin > 8,1 mg/dl atau >2 SD dari normal

 IL-6 atau IL-8 > 70 pg/ml

 16 SrRNA gene PCR: positif

41
Tabel 3. Patofisiologis dan perjalan penyakit infeksi pada neonatus
FIRS (Fetal  Bila ditemukan dua atau lebih keadaan :
Inflammatory
 Laju napas > 60 x/menit atau <30 x/menit atau
Response Syndrome/
apnea dengan atau tanpa retraksi dan desaturasi
Sindroma Respon
oksigen
Inflamasi Janin)
 Suhu tubuh tidak stabil (< 360C atau > 37,50C)

 Waktu pengisian kapiler > 3 detik, hitung


leukosit < 4.000 x 109/L atau > 34.000 x 109/L

 CRP > 10 mg/dl

 IL-6 atau IL-8 > 70 pg/ml

 16 SrRNA gene PCR: positif

Terduga/ Suspek Adanya satu atau lebih kriteria FIRS disertai


Sepsis gejala klinis infeksi (seperti pada tabel 1)
Terbukti/ Proven Adanya satu atau lebih kriteria FIRS disertai
Sepsis bakteremia / kultur darah positif
Sepsis Berat Sepsis disertai hipotensi dan disfungsi organ
tunggal
Syok Sepsis Sepsis disertai hipotensi dan kebutuhan resusitasi
cairan dan obat inotropik
Sindroma Disfungsi Adanya disfungsi multiorgan pada pasien yang
Multiorgan mendapatkan pengobatan optimal

3.2.7 Tata laksana


Manajemen tatalaksana tergantung pada sejumlah faktor termasuk
usia, tempat infeksi, organisme penyebab yang dicurigai, pola resistensi
mikroba, dan sumber daya yang tersedia. Beberapa penelitian mengatakan
bahwa terapi antibiotik harus dimulai segera setelah sepsis neonatorum
dicurigai, tetapi tidak ada konsensus mengenai durasi pengobatan.31

42
Canadian Pediatric Society (CPS) dan AAP merekomendasikan
untuk memulai terapi antibiotik jika ada gejala klinis. AAP juga
merekomendasikan antibiotik apabila terdapat nilai laboratorium yang
abnormal atau lebih dari satu faktor risiko. Pada ibu dengan korioamnionitis,
neonates tanpa tanda klinis memerlukan inisiasi antibiotik sesuai AAP dan
hanya jika ada kelainan laboratorium menurut CPS. CDC merekomendasikan
terapi antibiotik empiris untuk semua bayi baru lahir dengan diagnosis ibu
korioamnionitis, terlepas dari kondisi klinis bayi. Evaluasi ulang pada 48 jam
dan penghentian antibiotik jika infeksi tidak mungkin dianjurkan secara
universal.27 Terapi antibiotik harus mencakup ampisilin intravena untuk GBS,
Escherichia coli dan bakteri gram negatif lainnya yang terlibat dalam sepsis
neonatal, seperti gentamisin, dengan pertimbangan resistensi antibiotik.
Penggunaan antibiotik spektrum luas harus dipertimbangkan di antara bayi
baru lahir cukup bulan yang sakit kritis sampai hasil kultur tersedia. Tes
genetik elektif sebelum penggunaan aminoglikosida semakin dipertimbangkan
untuk mengurangi kejadian gangguan pendengaran permanen.33 Penelitian
lebih lanjut diperlukan karena ini belum dievaluasi pada neonatal. Pada
sumber daya rendah, atau ketika rawat inap yang tidak memungkinkan,
penggunaan gentamisin intramuskular dan amoksisilin oral sebagai pengganti
obat intravena telah direkomendasikan.34
Diagnosis dini, pemberian antibiotik yang tepat, dan manajemen
suportif yang tepat waktu adalah kunci keberhasilan pengobatan.35 Sebagian
besar kasus disebabkan oleh spesies Staphylococcus dan GBS, tetapi sekitar
sepertiganya disebabkan oleh organisme gram negatif. Kebanyakan rejimen
antibiotik empiris termasuk ampisilin, sefalosporin generasi ketiga, atau
meropenem, ditambah aminoglikosida atau vankomisin. Dosis sefalosporin
generasi ketiga, 50 mg/kgBB dalam 2 kali pemberian. Antibiotic diberikan 7-
10 hari (antibiotic dihentikan setelah klinis membaik). Pada bayi prematur,
isolat yang paling umum adalah coagulase negative staphylococci (CONS).36
Vankomisin dan teicoplanin adalah antibiotik pilihan untuk infeksi CONS
yang terbukti dan signifikan, tetapi penggunaannya yang berlebihan telah

43
dikaitkan dengan perkembangan infeksi enterococcus (VRE) yang resisten
terhadap vankomisin dan infeksi gram negatif. Penggunaannya sebagai
antibiotik lini pertama untuk infeksi nosokomial harus dihindari. Kombinasi
flukloksasilin dan gentamisin dapat digunakan untuk mengobati sebagian
besar kasus yang disebabkan oleh organisme lain.33 Klindamisin atau
metronidazol kadang-kadang ditambahkan untuk menutupi organisme anaerob
dalam kasus enterokolitis nekrotikans. Cefotaxime umumnya disediakan
untuk pengobatan bayi dengan meningitis.35 Bayi dengan faktor risiko untuk
sepsis candida harus menerima terapi empiris jamur.37
Pengobatan dengan beta-laktam atau beta-laktamase inhibitor
dikombinasikan dengan aminoglikosida untuk Enterobacter, Serratia, atau
sepsis Pseudomonas direkomendasikan oleh banyak ahli.35 Meropenem
direkomendasikan untuk bayi prematur dengan infeksi beta-laktamase
spektrum luas sistemik. Dalam satu penelitian, infus meropenem intravena
yang berkepanjangan (lebih dari 4 jam setiap 8 jam) pada neonatus dengan
LONS gram negatif dikaitkan dengan hasil klinis yang lebih baik
dibandingkan dengan strategi konvensional (lebih dari 30 menit setiap 8
jam).38

3.2.8 Prognosis
Angka kematian berbanding terbalik dengan usia kehamilan,
sehingga neonatus kurang bulan memiliki angka kematian yang lebih tinggi
daripada neonatus cukup bulan.39 E. coli juga telah ditemukan terkait dengan
tingkat kematian yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan Grup B
Streptococcus (GBS). Profilaksis antibiotik pada GBS intrapartum telah
menurunkan angka kematian yang disebabkan oleh GBS. Pengobatan
neonatus dengan klinis sepsis dan hasil kultur negatif, secara signifikan
menurunkan angka kematian. Bayi prematur dengan sepsis dapat mengalami
gangguan perkembangan saraf dan gangguan penglihatan. Bayi-bayi yang
diobati dengan aminoglikosida juga dapat mengalami ototoksisitas dan
nefrotoksisitas.40

44
3.2.9 Pencegahan
Satu-satunya strategi pencegahan yang terbukti untuk Early Onset
Neonatal Sepsis (EONS) Intrapartum Antibiotik Prophylaxis (IAP) ibu yang
tepat.36 Tindakan yang dianjurkan untuk mengurangi infeksi neonatal di unit
perawatan intensif termasuk konsumsi 50 mL/kg/hari ASI, dan probiotik, serta
pembatasan H2-blocker, flukonazol, dan laktoferin.42 Baik Group B
Strptococcus (GBS) IAP maupun tindakan pencegahan yang disebutkan di
atas tidak akan mencegah Late Onset Neonatal Sepsis bacterial.41 Pedoman
pencegahan transmisi HSV perinatal merekomendasikan persalinan sesar
untuk wanita dengan lesi genital aktif atau gejala prodromal. Ibu hamil juga
dengan riwayat infeksi herpes genital direkomendasikan untuk memulai terapi
supresi oral pada usia kehamilan 36 minggu.43

45
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien By. Ny. AM, perempuan, usia 69 jam dirawat di ruang Neonatus
RSUD Siti Fatimah dengan kuning mulai dari kepala, badan, hingga ke lutut dan
lengan atas. Kejadian neonatal jaundice di Indonesia mencapai 50% bayi cukup
bulan dan kejadian neonatal jaundice pada bayi kurang bulan (premature)
mencapai 58%.44 Faktor risiko Neonatal jaundice ada 3 yaitu, faktor maternal,
faktor perinatal dan faktor neonatus.16 Pada pasien ini terdapat faktor neonatus
berupa rendahnya asupan ASI. Dari hasil anamnesis didapatkan ibu melahirkan
dengan ketuban hijau keruh yang merupakan faktor risiko sepsis.
Pada neonatus dengan ikterik perlu dibedakan fisiologis ataupun patologis.
Pada kuning fisiologis umumnya terjadi 24 – 72 jam setelah lahir dengan puncak
usia hari ke 4-5 pada neonatus cukup bulan dan hari ke-7 pada bayi kurang bulan
serta menghilang pada usia 10-14 hari, kadar bilirubin total <15 mg/dl, serta
peningkatan bilirubin total per hari <5 mg/dl/hari. Sedangkan pada kuning
patologis terjadi pada usia <24 jam atau >2 minggu, persisten 8 hari pada bayi
cukup bulan dan 14 hari pada bayi kurang bulan, kadar bilirubin total >12 mg/dl
dalam waktu kapan pun, peningkatan bilirubin perhari >5 mg/dl, serta fraksi
bilirubin direk >1 mg/dl atau 20% dari bilirubin total.45
Tanda dan gejala ikterus dapat berupa letargis, kejang, tidak mau mengisap,
spasme otot, epistotonus, stenosis, perut membuncit, feses berwarna seperti
dempul, muntah, anoreksia, fatigue, warna urin gelap, warna tinja gelap, tampak
ikterus pada sklera, kuku, kulit, dan membrane mukosa.18 Pada pemeriksaan fisik
ditemukan sklera ikterik dan kulit pasien tampak kuning mulai dari kepala, badan
hingga ke lutut dan lengan atas. Berdasarkan penilaian Kramer Scale termasuk
dalam katagori 3 dengan perikiraan bilirubin 12 – 14 mg/dl.

46
Gambar. Pemeriksaan Kramer Scale
Pada pasien tampak kuning saat usia 69 jam dengan kedua orang tua
memiliki golongan darah B dengan rhesus positif, Selain itu pada pasien tidak ada
riwayat trauma lahir, dan tidak ada riwayat kelahiran kuning pada anak pertama
sehingga kemungkinan kuning akibat proses hemolisis dapat disingkirkan. Pada
pasien tidak didapatkan BAB seperti dempul sehingga kemungkinan kuning
akibat obstruksi ataupun atresia bilier dapat disingkirkan. Pada pasien tidak
ditemukan tanda-tanda infeksi TORCH seperti hydrocephalus, mikrocephali,
katarak kongenital serta tidak ditemukan pembesaran hepar sehingga penyebab
kuning akibat TORCH dapat disingkirkan.
Pemeriksaan kadar bilirubin total merupakan baku emas dalam penegakan
diagnosis neonatal jaundice. Peningkatan kadar bilirubin dapat bermula dari
asupan gizi yang terbatas pada hari-hari pertama kehidupan dan memperpanjang
waktu transit usus. Bayi tersebut memiliki peningkatan risiko ikterik yang
disebabkan peningkatan sirkulasi enterohepatic sehingga uptake bilirubin
meningkat sehingga meyebabkan breast feeding jaundice. Kadar bilirubin normal
pada neonatus yaitu 5-7mg/dL. Pada pasien ini didapatkan nilai bilirubin total
12,9 mg/dL. Penegakan diagnosis sepsis apabila didapatkan gejala klinis sepsis
ditambah lebih dari atu pemeriksaan laboratorium yang positif (lekosit

47
<5000/mm3 atau >30.000/mm3, I/T ratio 0,2 atau lebih, mikro LED>15mm/jam,
CRP >9mg/dL, dan kultur darah positif. Pada pasien ini didapatkan peningkatan
leukosit 31.700/mm3, CRP 12 mg/dl, dan rasio N/L 7,6.
Pada pasien terdapat sepsis, sepsis dapat menyebabkan hiperbilirubin akibat
infeksi dihepar atau pemecahan eritrosit berlebihan, selain itu pada sepsis terjadi
pelepasan sitokin untuk melawan infeksi, sitokin dapat mengganggu regulasi
bilirubin sehingga menyebabkan hiperbilirubin. Hiperbilirubin karena sepsis
timbul pada hari ke 2-7 setelah lahir dan pada pemeriksaan fisik tampak ikterus
berat.9 Pada pasien juga baru mendapatkan ASI 120 cc atau sekitar 80 kkal dan
PASI 90 cc atau sekitar 60 kkal sehingga masih dibawah dari target nutrisi sekitar
358 kkal dan cairan sekitar 380cc/hari sehingga kuning pada pasien dapat
disebabkan breast feeding jaundice.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan
penunjang pasien didiagnosa neonatal jaundice ec breast feeding jaundice +
Sepsis.
Pada neonatal jaundice yang disebabkan oleh breastfeeding maka
penatalaksanaan utamanya dengan meningkatkan pemberian ASI. Pada pasien usia
gestasi 40 minggu disertai faktor risiko sepsis termasuk katagori medium
risk didapatkan cut off total serum bilirubin (mg/dl) pada 69 jam yaitu 15
mg/dl. Tindakan fototerapi dilakukan dengan target 2 -3 mg/dl dibawah garis
titik potong yaitu 12 – 13 mg/dl dengan nilai bilirubin pasien 12,9 mg/dl
sehingga pada pasien dilakukan fototerapi. Evaluasi bilirubin idealnya
dilakukan pengecekan ulang total serum bilirubin, akan tetapi jika pada lokasi
dengan keterbatasan alat penilaian klinis kuning dapat dilakukan dengan
pemeriksaan Kramer test yang memiliki tingkat sensitivitas 76,92%, spesifitas
89,4%, dan akurasi 86,27% yang cukup baik dalam menapis kuning pada
neonatus.46 Pada pasien setelah mendapatkan fototerapi dengan standar fototerapi 25 –
30 microW/cm2/nm, panjang gelombang UV-A (320 – 400 nm) dan UV B (290 – 302
nm), durasi, 24 jam, intensitas 3, jarak 46 cm. Kuning pada pasien tersisa di wajah atau
Kramer 1 dengan bilirubin kurang lebih 5,85 mg/dl.47 Sedangkan untuk penatalaksaan
sepsis dapat diberikan antibiotik empiris termasuk ampisilin, sefalosporin generasi

48
ketiga, atau meropenem, aminoglikosida atau vankomisin.48
Penyebab kuning pada pasien utamanya akibat pemberian ASI yang tidak
adekuat, sedangkan kuning akibat sepsis umumnya menunjukan respon yang lebih
lambat pada fototerapi.

Gambar. Guildline fototerapi untuk neonatus usia gestasi ≥ 35 minggu

49
DAFTAR PUSTAKA

1. Brits, H., Adendorff, J., Huisamen, D., Beukes, D., Botha, K., Herbst, H.,
& Joubert, G. (2018). The Prevalence of Neonatal Jaundice and Risk
Factors In Healthy Term Neonates at National District Hospital In
Bloemfontein. African journal of primary health care & family medicine,
10(1), 1-6.
2. Kliegman, et al. Nelson textbook of Pediatrics. 20th ed. Philadelpia:
Elsevier; 2016.
3. Seriana, I., Yusrawati, & Lubis, G. (2015). Hubungan Kadar Zink (Zn)
Serum Ibu Hamil Aterm dengan Berat Badan Lahir di RSUP Dr. M.
Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Ilmiah Nasuwakes Vol.8 No.1.
4. Rukiyah, Yulianti. 2012. Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta : CV.
Trans Info Media.
5. Stoll BJ. Infections of the neonatal infant. Dalam: Kliegman RM. Edisi
ke−19. Nelson textbook of pediatrics. Philadelphia: PA: Elsevier
Saunders; 2011.
6. Gomella TL. Sepsis. Dalam: Gomella TL (eds): Neonatology:
management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs. New
York: McGraw-Hill; 2009:665-672.
7. Neonatal Sepsis Muhammed Ershad1 & Ahmed Mostafa1 & Maricel Dela
Cruz1 & David Vearrier1 Published online: 19 June 2019 # Springer
Science+Business Media, LLC, part of Springer Nature 2019
8. Huang F, Chen H, Yang P, Lin H. Birds eye view of a neonatologist:
clinical approach to emergency neonatal infection. Pediatr Neonatol.
2016;57(3):167–73. https://doi.org/10.1016/j.pedneo. 2015.06.004
9. Kosim MS. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2014.
10. Widagdo. Tatalaksana Masalah Penyakit Anak dengan Ikterus. Jakarta:
CV. Agung Seto; hal. 2012.
11. Yusuf Nurlathifah N., Anatun Aupia, dan Rizna Anita Sari. 2021.

50
Hubungan Frekuensi Pemberian ASI dengan Kejadian Ikterus Neonatorum
di Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi NTB. Jurnal Medika Hutama,
Vol. 2, No. 2, hlm. 764.
12. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2019. Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Hiperbilirubinemia. Jakarta: Menteri
Kesehatan Republik Indonesia.
13. Ansong-Assoku B, Shah SD, Adnan M, et al. Neonatal Jaundice. [Updated
2022 Feb 19]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532930/
14. Marmi dan KR. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Pra Sekolah.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2015
15. Ullah Sana, Khaista Rahman, dan Mehdi Hedayati. 2016.
Hyperbilirubinemia in Neonates: Types, Causes, Clinical Examinations,
Preventive Measures and Treatments: A Narrative Review Article. Iran J
Public Health, Vol. 45, No. 5, hlm. 559-563.
16. Moeslichan, dkk. 2009. Tatalaksana Ikterus Neonatorum. Jakarta:
Kementerian Kesehatan.
17. Prawirohardjo, Sarwono, 2014, Ilmu kebidanan, PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta.
18. Surasmi. 2013. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta: EGC.
19. Saifuddin, Abdul Bari D. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Jakarta: PT Bina Sarwono Prawirohardjo; 2009.
20. Assesment HT. Tatalaksana Ikterus Neonatorum. Jakarta; 2004.
21. Kristiyanasari. Weni. 2011. Asuhan Keperawatan Neonatus dan Anak.
Yogyakarta : Penerbit Nuha Medika
22. Dewi, Vivian Nanny Lia. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita.
Jakarta: Salemba Medika.
23. Lever A, Mackenzie I. Sepsis: definition, epidemiology, and diagnosis.
BMJ. 2007;335:879−83.

51
24. Neonatal Sepsis Muhammed Ershad1 & Ahmed Mostafa1 & Maricel Dela
Cruz1 & David Vearrier1 Published online: 19 June 2019 # Springer
Science+Business Media, LLC, part of Springer Nature 2019
25. Huang F, Chen H, Yang P, Lin H. Birds eye view of a neonatologist:
clinical approach to emergency neonatal infection. Pediatr Neonatol.
2016;57(3):167–73. https://doi.org/10.1016/j.pedneo. 2015.06.004
26. Haque KN. Definitions of bloodstream infection in the newborn. Pediatric
Critical care medicine [Internet]. 2005 (Cited 2014 Niv 25 ); 6(3): S45-
S49. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15857558
27. Wynn, J. L., & Wong, H. R. Pathophysiology and treatment of septic
shock in neonates. Clinics in perinatology [Internet]. 2010 (Cited 2015 jan
26); 37(2): 439-479. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2891980/
28. Saini S, Dutta S, Ray P, dan A. Narang: Short course versus 7-day course
of intravenous antibiotics for probable neonatal septicemia: a pilot, open-
label, randomized controlled trial. Indian Pediatrics. 2011; 48(1: 19–24).
29. Harris MC, Munson DA. Infection and immunity. Dalam: Polin RA,
Spitzer AR, penyunting: Fetal and neonatal secrets. New Delhi: Elsevier;
2007: hlm. 292−344. Neonatal Sepsis – A Review BANGLADESH J
CHILD HEALTH 2012; VOL 36 (2) : 88
30. Lever A, Mackenzie I. Sepsis: definition, epidemiology, and diagnosis.
BMJ. 2007;335:879−83.
31. Neonatal Sepsis Muhammed Ershad1 & Ahmed Mostafa1 & Maricel Dela
Cruz1 & David Vearrier1 Published online: 19 June 2019 # Springer
Science+Business Media, LLC, part of Springer Nature 2019
32. Herk WV, Helou SE, Janota J, et al. Variation in Current Management of
Term and Late- preterm Neonates at Risk for Early-onset SepsisAn
excellent review article describing and comparingn international neonatal
sepsis management guidelines. Pediatr Infect Dis J. 2016;35(5):494–500.
https://doi. org/10.1097/inf.0000000000001063.

52
33. Russell AB, Sharland M. Heath PT Improving antibiotic prescribing in
neonatal units: time to act. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed.
2012;97:F141–6.
34. World Health Organization (2019) Managing possible serious bacterial
infection in young infants when referral is not feasible. [online] Available
at: https://www.who.int/maternal_child_adolescent/ documents/bacterial-
infection-infants/en/
35. Huang F, Chen H, Yang P, Lin H. Birds eye view of a neonatologist:
clinical approach to emergency neonatal infection. Pediatr Neonatol.
2016;57(3):167–73. https://doi.org/10.1016/j.pedneo. 2015.06.004
36. Pont-Thibodeau GD, Joyal J, Lacroix J. Management of neonatal sepsis in
term newborns. F1000Prime Reports. 2014;6. https://doi.
org/10.12703/p6-67.
37. Simonsen KA, Anderson-Berry AL, Delair SF, Davies HD. Early onset
neonatal sepsis. Clin Microbiol Rev. 2014;27(1):21–47.
https://doi.org/10.1128/cmr.00031-13.
38. Shabaan AE, Nour I, Eldegla HE, Nasef N, Shouman B, AbdelHady H.
Conventional versus prolonged infusion of meropenem in neonates with
gram-negative late-onset sepsis. Pediatr Infect Dis J. 2017; 3 6 (4):358 –
63. https://doi.org/10.1097/inf. 0000000000001445.
39. Stoll BJ, Hansen NI., Eunice Kennedy Shriver National Institute of Child
Health and Human Development Neonatal Research Network. Neonatal
outcomes of extremely preterm infants from the NICHD Neonatal
Research Network. Pediatrics. 2010 Sep;126(3):443-56.
40. Singh M, Alsaleem M, Gray CP. Neonatal Sepsis. [Updated 2022 May 9].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022
Jan-.
41. Puopolo KM, Benitz WE, Zaoutis TE, COMMITTEE ON FETUS AND
NEWBORN, COMMITTEE ON INFECTIOUS DISEASES. Management
of neonates born at ≥35 0/7 weeks’ gestation with suspected or proven

53
early-onset bacterial sepsis. Pediatrics. 2018;142:e20182894.
https://doi.org/10.1542/peds. 2018-2894.
42. Manzoni P, De Luca D, Stronati M, Jacqz-Aigrain E, Ruffinazzi G,
Luparia M, et al. Prevention of nosocomial infections in neonatal intensive
care units. Am J Perinatol. 2013;30(2):81–8. https://doi. org/10.1055/s-
0032-1333131.
43. Harris JB, Holmes AP. Neonatal herpes simplex viral infections and
acyclovir: an update. J Pediatr Pharmacol Ther. 2017;22(2):88–93.
https://doi.org/10.5863/1551-6776-22.2.88.
44. Hafizah, & Imelda. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
hiperbilirubinemia di ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) Rumah
Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Undergraduated
Thesis. Aceh: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas U’budiyah Indonesia.
2013.
45. Kliegman, et al. Nelson textbook of Pediatrics. 20th ed. Philadelpia:
Elsevier; 2016.
46. Zesi A, Dewi G, and Fajar TW. Sensitivity, specifity, and Accuracy of
Kramer Examination of Neonatal Jaundice: Comparison with Total
Bilirubin Serum. Journal Comprehensive Chiled and Adolescent Nursing;
2017 (40).p.87-94.
47. Pearly M. Kramer Scale or Transcutaneus bilirubinomety: the ideal of
choice of a pediatrician? Can we trust our eye?. International Journal of
Contemporary Pediatrics. 2019;6(5): 1794-1801
48. Pont-Thibodeau GD, Joyal J, Lacroix J. Management of neonatal sepsis in
term newborns. F1000Prime Reports. 2014;6. https://doi.
org/10.12703/p6-67.

54
DISKUSI
1. Bagaimana cara menyiapkan fototerapi yang benar, dan apakah pada
pasien ini sudah sesuai atau belum?
 Persiapan Alat dan Pemberian Terapi
Alat
 Hangatkan ruangan sehingga suhu di bawah lampu 28oC -
30oC.
 Nyalakan tombol alat dan periksa apakah seluruh lampu
fluoresens menyala dengan baik.
 Ganti lampu fluoresens bila terbakar atau mulai berkedip-kedip.
 Gunakan kain pada boks bayi atau inkubator, letakkan tirai
putih mengelilingi area sekeliling alat tersebut berada untuk
memantulkan kembali sinar sebanyak mungkin ke arah bayi.
 Bila berat bayi 2000 gram atau lebih, letakkan bayi dalam
keadaan telanjang di box bayi. Bayi yang lebih kecil diletakkan
dalam inkubator.
 Tutup mata bayi dengan penutup, pastikan penutup mata tidak
menutupi lubang hidung. Jangan gunakan plester untuk
memfiksasi penutup.9

Gambar 2. Bayi di bawah lampu sinar.


Pemberian terapi sinar
 Letakkan bayi di bawah lampu terapi sinar dengan jarak 45-50

55
cm
 Letakkan bayi sedekat mungkin dengan lampu sesuai dengan
petunjuk atau manual dari pabrik pembuat alat.
 Ubah posisi bayi tiap 3 jam.
 Pastikan bayi terpenuhi kebutuhan cairannya.
 Pantau suhu tubuh bayi dan suhu udara ruangan setiap 3 jam.
 Periksa kadar bilirubin serum tiap 6-12 jam pada bayi dengan
kadar bilirubin yang cepat meningkat, bayi kurang bulan atau
bayi sakit. Selanjutnya lakukan pemeriksaan ulang setelah 12-24
jam terapi sinar dihentikan.
 Hentikan terapi sinar bila kadar bilirubin turun di bawah batas
untuk dilakukan terapi sinar atau mendekati nilai untuk
dilakukan transfusi tukar.9

Pada bayi ini sudah sesuai dengan prosedur yang ada. Diawali dengan bayi
(3183 gram) diletakkan di dalam boks, jarak antara bayi dengan lampu terapi
sinar diukur sepanjang 46 cm, memastikan suhu di bawah lampu hangat, mata
bayi ditutup dengan penutup mata dan pastikan tidak menutup lubang hidung,
mengatur intensitas dan durasi pemberian terapi dengan intensitas 3 dan durasi
pemberian terapi selama 24 jam, menyalakan tombol alat dan memeriksa

56
seluruh lampu fluoresens dipastikan menyala dengan baik, dan meletakkan
disekeliling area boks tirai putih untuk memantulkan kembali sinar terapi ke
bayi. Lalu memantau dan memeriksa secara berkala kondisi bayi, seperti
memastikan penutup mata yang terpasang dengan baik, memperbaiki posisi
bayi, memastikan sinar terapi tidak terhalang ke bayi, dan memeriksa adakah
kontra indikasi pemberian terapi sinar dan indikasi penghentian terapi sinar
pada bayi.

2. Apabila sudah dilakukan fototerapi, tetapi hasil lab nya tidak turun atau
naik, maka tatalaksana selanjutnya bagaimana?
Bila kadar bilirubin tidak menurun atau cenderung naik pada bayi-bayi yang
mendapat fototerapi intensif, kemungkinan besar terjadi proses hemolisis.
Lakukan penghentian fototerapi dan dilanjutkan dengan terapi transfuse tukar.

3. Apabila tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium, maka untuk


mengetahui total serum bilirubin pedoman fototerapinya apa?
Pada neonatal jaundice penilaian Total Serum bilirubin idealnya diperiksa
laboratorium akan tetapi jika tidak bisa dapat menggunakan Transcutaneus
bilirubin tingkat sensitivitas 87,5% dan spesifitas 96,9%, jika alat tersebut
tidak ada dapat dilakukan pemeriksaan Kramer test tingkat sensitivitas
76,92%, spesifitas 89,47%, dan akurasi 86,27%.

57
Sumber:
 Zesi A, Dewi G, and Fajar TW. Sensitivity, specifity, and Accuracy of
Kramer Examination of Neonatal Jaundice: Comparison with Total
Bilirubin Serum. Journal Comprehensive Chiled and Adolescent Nursing;
2017 (40).p.87-94.
 Pearly M. Kramer Scale or Transcutaneus bilirubinomety: the ideal of
choice of a pediatrician? Can we trust our eye?. International Journal of
Contemporary Pediatrics. 2019;6(5): 1794-1801

58
4. Bagaimana mendiagnosis banding pada pasien?
Onset kuning pada pasien 69 jam (> 24 jam)

 Golongan darah orang tua B+, riwayat rauma lahir (-), riwayat kuning
pada anak sebelumnya (-)  kemungkinan hemolisis disingkirkan
 Tanda infeksi TORCH seperti hidrosefalus, mikrocephali, katarak (-), serta
tidak ditemukan pembesaran hepar  kemungkinan infeksi TORCH
disingkirkan
 BAB dempul (-)  kemungkinan obstruksi dan atresia bilier disingkirkan
 Riwayat ketuban hijau, leukosit 31.700/mm3, CRP +12 mg/dl, rasio
N/L 7,6  Sepsis
 Riwayat baru mendapatkan ASI di hari ke-2 120 cc = 80 kal/hari dari total
kebutuhan cairan per hari 380 cc dan nutrisi 358 cc  Breastfeeding
jaundice

Diagnosis : Neonatal jaundice ec Breastfeeding + Sepsis

5. Komplikasi neonatal jaundice


Hiperbilirubinemia dapat menyebabkan komplikasi seperti ensefalopati
(kernikterus ) walaupun hal tersebut jarang terjadi. Kernikterus terjadi bila
kadar serum bilirubin meningkat diatas 18mg%. Peningkatan total serum

59
bilirubin (TSB) > 324 µmol/L pada neonatus cukup bulan atau mendekati
cukup bulan berhubungan dengan 10% mortalitas dan 70% perpanjangan
morbiditas.

Sumber:
1. Surjono A. Manajemen hiperbilirubinemia pada Bayi Baru Lahir .
Preceeding of the Oda-Day Seminar of Management of Icterus in
neonatus;2003 May 24; Yogyakarta, Indonesia. Yogyakarta: FKUGM, 2003

2. Meyer Thomas C. A Study Of Serum Bilirubin Levels In Relation to


Kericterus and Prematurity.1955

3. Newman TB, Liljestrand P, Jeremy RJ, Ferriero DM, Wu YW, Hudes ES, et
al, for the Jaundice and Infant Feeding Study Team. Outcomes among
newborns with total serum bilirubin levels of 25 mg per deciliter or more. N
Engl J Med . 2006;354:1889–900

6. Perbedaan ikterus pada premature dan aterm


Anamnesis
1. Keluhan kuning timbul sudah berapa lama, awal muncul di bagian tubuh
mana dan apakah meluas ke bagian tubuh lain?
2. Ada keluhan malas minum, kejang dan tidak sadar?
3. Berapa usia kehamilan?berapa berat lahir?
4. Apa gorlongan darah dan Rh (ibu & bapak)
5. Adakah penyakit yang diturunkan berhubungan dengan kuning? (defisiensi
G6PD, megakolon kongenital, dan lainnya)
6. Adakah riwayat penyakit perinatal yang berhubungan dengan kuning?
(TORCH)
7. Adakah riwayat persalinan yang mempengaruhi kuning? (KPSW, gawat
janin, asfiksia lahir, dll)
8. Bagaimana cara persalinan? (spontan/tindakan)
9. Apakah susu yang diberikan? (ASI/formula)

60
10. Adakah trauma lahir?

Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan Umum

a. Keadaan umum : tingkat keparahan penyakit, kesadaran, status nutrisi,


postur/aktivitas anak, dan temuan fisis sekilas yang prominen dari
organ/sistem, seperti ikterus, sianosis, anemi, dispneu, dehidrasi, dan
lain-lain.

b. Tanda vital : suhu tubuh, laju nadi, tekanan darah, dan laju nafas.

c. Data antropometri : berat badan, tinggi badan, lingkar kepala, tebal


lapisan lemak bawah kulit, serta lingkar lengan atas.

2. Pemeriksaan Organ

a. Kulit : warna, ruam kulit, lesi, petekie, pigmentasi, hiper/hipohidrolisis,


dan angiektasis.
b. Kepala : bentuk, ubun-ubun besar, sutura, keadaan rambut, dan bentuk
wajah apakah simestris kanan atau kiri.
c. Mata : ketajaman dan lapangan penglihatan, hipertelorisme, supersilia,
silia, esksoptalmus, strabismus, nitagmus, miosis, midriasis, konjungtiva
palpebra, sclera kuning, reflek cahaya direk/indirek, dan pemeriksaan
retina dngan funduskopi.

d. Hidung : bentuk, nafas cuping hidung, sianosis, dan sekresi.

e. Mulut dan tenggorokan : warna mukosa pipi/lidah, ulkus, lidah kotor


berpeta, tonsil membesar dan hyperemia, pembengkakan dan perdarahan
pada gingival, trismus, pertumbuhan/ jumlah/ morfologi/ kerapatan gigi.

f. Telinga : posisi telinga, sekresi, tanda otitis media, dan nyeri tekan.

61
g. Leher : tiroid, kelenjar getah bening, skrofuloderma, retraksi,
murmur,bendungan vena, refluks hepatojugular, dan kaku kuduk.

h. Thorax : bentuk, simetrisisitas, pembengkakan, dan nyeri tekan.

i. Jantung : tonjolan prekordial, pulsasi, iktus kordis, batas


jantung/kardiomegali. Getaran, bunyi jantung, murmur, irama gallop,
bising gesek perikard (pericard friction rub)
j. Paru-paru : Simetrsitas static dan dinamik, pekak, hipersonor, fremitus,
batas paru-hati, suara nafas, dan bising gesek pleura (pleural friction rub)

k. Abdomen : bentuk, kolteral, dan arah alirannya, smiling umbilicus,


distensi, caput medusa, gerakan peristaltic, rigiditas, nyeri tekan, masa
abdomen, pembesaran hati dan limpa, bising/suara peristaltik usus, dan
tanda-tanda asites.

l. Anogenetalia : atresia anus, vesikel, eritema, ulkus, papula, edema


skrotum.

m. Ekstremitas : tonus/trofi otot, jari tabuh, sianosis, bengkak dan nyeri


otot/tulang/sendi, edema pretibial, akral dingin, capillary revill time,
cacat bawaan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan ikterik dengan luas daerah ikterus sebagai
berikut:

62
Pemeriksaan laboratorium
Pada Bayi dengan Berat Lahir Rendah (BBLR) atau bayi kurang bulan
(premature) bilirubin mencapai puncak pada 120 jam pertama dengan
peningkatan serum bilirubin sebesar 10 – 15 mg/dL dan akan menurun setelah 2
minggu. Apabila nilainya diatas 15 mg/dL maka dikatakan hiperbilirubinemia non
fisiologis atau patologis.1
Sumber:
1. Mansjoer, A. (2013). Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Edisi III. Jakarta:
Media Aesculapis Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

7. Perbedaan BMJ dan BFJ


Penyebab BFJ adalah kekurangan asupan ASI. Biasanya timbul pada hari
ke2 atau ke-3 pada waktu ASI belum banyak.1

63
Faktor etiologi yang mungkin berhubungan dengan hiperbilirubinemia
pada bayi yang mendapat ASI

- Kelaparan
- Frekusensi menyusu
Asupan cairan
- Kehilangan berat badan/
dehidrasi
- Pregnandiol
Hambatan ekskresi bilirubin
- Lipase-free fatty acid
hepatik
- Unidentified inhibitor
- Pasase mekonium terlambat
- Pembentukan urobilinoid
bakteri
Intestinal reabsorbtion of bilirubin
- Beta-glukoronidase
- Hidrolisis alkaline
- Asam empedu

Beberapa penelitian disebutkan bahwa TSB ≥ 12,9 mg/dL sangat


berhubungan dengan suplementary feeding dan peburunan berat badan, sedangkan
ASI tidak berhubungan dengan TSB ≥ 12,9 mg/dL pada hari pertama setelah
kelahiran. Hal ini disebabkan , neonatus langsung akan di susui ASI setelah
proses kelahiran di ruang bersalin. Sedangkan suplementary feeding hanya
diberikan apabila ASI tidak adekuat. Hal ini berhubungan dengan penurunan berat
badan dimana suplementary feeding mengalami penurunan berat badan lebih
besar dari ASI.36 Wu PYK, 1985 menyebutkan bahwa neonatus yang memperoleh
< 90 kalori/kg/24 jam memiliki kadar bilirubin serum lebih tinggi dibanding
dengan neonatus yang memperoleh >90 kalori/kg/24 jam, dan fototerapi yang
diberikan kurang efektif apabila diberikan pada asupan kalori dan cairan yang
kurang. 36,37
Breastmilk jaundice mempunyai karakteristik kadar bilirubin indirek yang
masih meningkat setelah 4-7 hari pertama. Kondisi ini berlangsung lebih lama

64
daripada hiperbilirubinemia fisiologis dan dapat berlangsung 3-12 minggu tanpa
ditemukan penyebab hiperbilirubinemia lainnya.

Penyebab BMJ belum jelas, beberapa faktor diduga telah berperan sebagai
penyebab terjadinya BMJ. Breastmilk jaundise diperkirakan timbul akibat
terhambatnya uridine diphosphoglucoronic acid glucoronyl transferase (UDPGA)
oleh hasil metabolisme progesteron yaitu pregnane-3-alpha 20 beta-diol yang ada
dalam ASI ibu–ibu tertentu. Pendapat lain menyatakan hambatan terhadap fungsi
glukoronil transferase di hati oleh peningkatan konsentrasi asam lemak bebas
yang tidak di esterifikasi dapat juga menimbulkan BMJ. Faktor terakhir yang
diduga sebagai penyebab BMJ adalah peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Kondisi ini terjadi akibat :
- Peningkatan aktifitas beta-glukoronidase dalam ASI dan juga pada usus
bayi yang mendapat ASI.

- Terlambatnya pembentukan flora usus pada bayi yang mendapat ASI

- Defek aktivitas uridine diphosphateglucoronyl transferase (UGT1A1) pada


bayi yang homozigot atau heterozigot untuk varian sindrom Gilbert.

Berbagai faktor yang terkandung dalam ASI meningkatkan siklus


enterohepatik bilirubin. ASI mengandung inhibitor enzim glukoronil transferase
yang berfungsi mengkonjugasi bilirubin dengan asam glukoronat, sehingga
bilirubin tak terkonjugasi jumlahnya meningkat. Hal ini menyababkan
hiperbilirubinemia pada bayi. Selain itu, peningkatan absorbsi bilirubin lebih
besar daripada produksinya menyebabkan jaundice breast milk. Terjadi 4 sampai
7 hari setelah lahir. Dimana terdapat kenaikan bilirubin tak terkonjugasi dengan
kadar 25 sampai 30 mg/dl selama minggu ke-2 sampai minggu ke-3. Biasanya
dapat mencapai usia 4 minggu dan menurun 10 minggu.1

Sumber:
1. Rinawati Rohsiswatmo. Buku Indonesia Menyusui. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta. 2009

65
2. Giovanna Bertini, MD; Carlo Dani, MD; Michele Tronchin, PhD, dkk. Is
Breastfeeding Really Favoring Early Neonatal Jaundice?. PEDIATRICS
Vol. 107 No. 3 . 2001

3. Wu PYK, Hodgman JE, Kirkpatrick BV, et al. Metabolic aspects of


phototherapy. Pediatrics. 1985

8. Indikasi Pemulangan pasien


1) Asupan adekuat
2) Pola buang air besar minimal 3-4x/hari
3) Buang air kecil minimal 6-7x/hari
4) Ada tidaknya kuning
5) Pastikan kadar bilirubin sudah turun (2-3 mg/dL dibawah hasil
pemeriksaan bilirubin pertama kali)
6) Bayi mengalami penambahan berat badan
7) Bayi bernapas tanpa kesulitan dan tidak mengalami masalah lain yang
berkelanjutan yang tidak dapat ditangani dengan rawat jalan
8) Suhu tubuh bayi dapat dipertahankan dalam rentang 36,5oC-37,5oC
9) Ibu percaya diri mengenai kemampuannya merawat bayi
10) Bayi menyusu dengan baik atau ibu percaya diri dalam menggunakan
metode pemberian makan alternatif

Sumber:
1. M. Sholeh kosim, dkk. Buku Ajar Neonatologi. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta . 2012
2. WHO.Buku Saku Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir, Panduan untuk
Dokter, Perawat, dan Bidan. Alih bahasa Nike Budi Subekti. Jakarta. EGC.
2007

66

Anda mungkin juga menyukai