Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Miastenia gravis merupakan penyakit autoimun, dimana antibodi menyerang


sel tubuh yang dalam hal ini adalah reseptor asetilkolin di membrane post-sinaps
neuromuscular junction. Penyakit ini meberikan gambaran klinis berupa
kelemahan dan kelelahan otot, dimana penderita merasa cepat lelah dan akan
membaik setelah beristirahat.
Secara epidemiologi, miastenia gravis terjadi pada 20 orang dalam 100.000
populasi, Pola distribusi usia penyakit ini bersifat bifasik dimana kasus banyak
terjadi pada wanita berusia antara 20-40 tahun, sedang pada usia tua mempunyai
rasio angka kejadian yang sama untuk laki-laki dan perempuan.3 Pada anak-anak,
kasus lebih banyak dialami oleh perempuan, usia awitan rata-rata biasanya 4 tahun
dan tipe okuler lebih sering daripada tipe generalisata.5 Hasil yang berbeda pernah
dilaporkan bahwa usia awitan terjadi pada anak yang lebih tua, yaitu usia 13 tahun
dan lebih banyak tipe generalisata.14 Miastenia gravis tipe okuler lebih banyak pada
ras Asia, sedangkan tipe generalisata lebih banyak pada ras Eropa dan Amerika.
Etiologi auto-imunologi dibuktikan dari adanya hubungan erat antara kelenjar
timus dengan penyakit ini. Pada 80% penderita Miastenia didapati kelenjar timus
yang abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan
pada penderita-penderita lainnya terdapat infiltrat limfositer pada pusat germinativa
kelenjar timus tanpa perubahan di jaringan limfositer lainnya. Kelainan di glandula
timus seperti ini juga dijumpai pada penderita dengan lupus eritematous sistemik,
tirotoksikosis, miksedema, penyakit addison dan anemia hemolitik eksperimental
pada tikus.15

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Miastenia gravis adalah penyakit autoimun, Miastenia artinya “kelemahan
otot” dan gravis artinya “parah”. Penyakit ini mengganggu transmisi neuromuscular
post-sinapsis, dimana target antibodi adalah reseptor asetilkolin nikotinik di
neuromuscular junction sehingga terjadi penurunan fungsi reseptor yang
menyebabkan kelemahan otot.1
Penyakit ini dimediasi oleh sel B dimana terdeteksi autoantibodi pada 80-90%
kasus, autoantibodi ini menyerang 1 nAChR namun pada penelitian lain
didapatkan adanya autoreaktif sel T.2 Penyakit ini ditandai oleh suatu kelemahan
dan kelelahan pada otot terutama yang dipersyarafi oleh nervus kranialis namun
juga bisa terjadi pada otot rangka dan pernapasan3. Kelemahan abnormal dan
progresif terjadi pada otot rangka yang digunakan secara terus- menerus disertai
dengan kelelahan saat beraktivitas namun kekuatan otot akan pulih kembali setelah
penderita beristirahat 4.

2.2 Epidemiologi
Angka kejadian penyakit ini adalah 20 dalam 100.000 populasi, Myasthenia
gravis mempunyai pola distribusi usia yang bifasik, kebanyakan kasus terjadi pada
wanita berusia antara 20-40 tahun sedang pada usia tua mempunyai rasio angka
kejadian yang sama untuk laki-laki dan perempuan3. Di Kanada insidensi penyakit
pada anak-anak 0.9-2.0 kasus per 1 juta anak tiap tahun pada populasi pediatric usia
0-17 tahun yang terjadi dari tahun 2010-2011, miastenia gravis tipe okuler lebih
banyak pada ras Asia sedangkan tipe generalisata lebih banyak pada ras Eropa dan
Amerika5.

2
2.3 Etiologi
Penyebab utama terjadinya miastenia gravis adalah karena adanya autoantibodi
pada reseptor asetilkolin nikotinik pada subunit  di neuromuscular junction bagian
post-sinapsis.
Beberapa faktor yang mungkin berperan dalam terjadinya miastenia gravis adalah
sebagai berikut: 3,6
 Idiopatik pada kebanyakan pasien
 Penisilamin dan interferon alfa
 Usia
Biasanya terjadi pada usia 20-30 tahun, selanjutnya puncak kejadian terjadi
setelah usia 50 tahun
 Jenis kelamin
Sampai usia 40 tahun, wanita lebih sering terkena sedangkan selanjutnya
angka kejadian laki-laki dan wanita sama walaupun laki-laki lebih sering
terkena diatas usia 50 tahun
 Genetik
Transmisi tidak terjadi berdasarkan hukum mendelian tapi bagi yang
mempunyai riwayat keluarga maka risiko risiko meningkat 1000 kali lipat,
didapatkan juga peningkatan insiden penyakit pada pasien yang mempunyai
keluarga dengan penyakit automiun lainnya seperti SLE, RA dan penyakit
tiroid.
 Faktor-faktor lain
 Kelainan kelenjar timus
Penderita miastenia gravis biasanya mempuyai kelenjar timus yang
abnormal, 70% mengalami hiperplasia folikel limfoid dan lebih dari
10% dengan timoma. Kelenjar timus yang mengalami hiperplasi
mengandung komponen penting bagi perkembangan respon imun
terhadap AChR seperti sel T, sel B, sel plasma dan muscle-like myoid
cells yang mengekspresikan AChR. Timoma adalah tumor
mediastinum anterior yang merupakan 20% keganasan mediastinum
anterior pada dewasa muda, dimana pada kasus ini sel epitel

3
neoplastiknya akan mengekspresikan beberapa self-like antigens
seperti AChR-, titin-, dan ryanodine receptor-like epitopes. Miastenia
yang berhubungan dengan timoma mengandung banyak sel T
autoreaktif, cortical dan cortex timoma mempunyai morfologi yang
sama dimana kedua bagian ini berperan dalam maturasi sel T CD4 naive
dan mengirim sel T mature ke perifer. Gangguan regulasi dari sel T
yang autoreaktif pada timoma disebabkan oleh kurangnya ekspresi dari
gen regulator autoimun (AIRE) dan hilangnya sel T regulator (Gambar
1). 17

Gambar 1. Intrathymic immunization


.
 Penyakit tiroid
 Rheumatoid arthtritis
 Skleroderma
 SLE (Systemic Lupus Erythematosus)
 Faktor- faktor yang menyebabkan eksaserbasi
 Obat-obatan : antibiotic tertentu seperti aminoglikosida, ciprofloxacin
dan klorokuin
 Mood Stabilizer seperti litium dan phenothiazine

4
 Obat-obat antiaritmia atau penurun tekanan darah seperti phenytoin,
procainamide, quinidine, -blockers, Calcium channel blockers.
 Obat antasida yang mengandung magnesium
Peran dari abnormalitas timus pada penyakit ini masih belum jelas walaupun pada
pasien dengan tingkat remisi 80-90% direkomendasikan melakukan timektomi.

2.4 Anatomi dan Fisiologi Neuromuscular Junction


Sebelum memahami tentang Miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi
dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Potensial aksi di
neuron motorik merambat cepat dari badan sel di dalam sistem saraf pusat (SSP) ke
otot rangka di sepanjang akson bermielin besar (serat eferen) neuron. Sewaktu
mendekati otot, akson membentuk banyak cabang terminal dan kehilangan
selubung mielinnya. Masing-masing dari terminal akson ini membentuk
persambungan khusus (neuromuscular junction) dengan satu dari banyak sel otot
yang membentuk otot secara keseluruhan. Sel otot atau serat otot berbentuk silindris
dan panjang. Terminal akson membesar membentuk struktur mirip tombol,
terminal button yang pas masuk ke cekungan dangkal, atau groove, di serat otot
dibawahnya. Sebagian ilmuwan menyebut neuromuscular junction sebagai “motor
end plate”.7
Pada neuromuscular junction, sel saraf dan sel otot sebenarnya tidak berkontak
satu sama lain. Celah antara kedua struktur ini terlalu besar untuk memungkinkan
transmisi listrik suatu impuls antara keduanya. Karenanya, seperti di sinaps saraf,
terdapat suatu pembawa pesan kimiawi yang mengangkut sinyal antara ujung saraf
dan serat otot. Neurotransmitter ini disebut sebagai asetilkolin (ACh).7
Membran Pre Synaptic mengandung asetilkolin (ACh) yang disimpan dalam
bentuk vesikel-vesikel. Jika terjadi potensial aksi, maka Ca2+ Voltage Gated
Channel akan teraktivasi. Terbukanya channel ini akan mengakibatkan terjadinya
influx kalsium. Influx ini akan mengaktifkan vesikel-vesikel tersebut untuk
bergerak ke tepi membran. Vesikel ini akan mengalami docking pada tepi
membran. Karena proses docking ini, maka asetilkolin yang terkandung di dalam
vesikel tersebut akan dilepaskan ke dalam celah synaptic. ACh yang dilepaskan

5
tadi, akan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChR) yang terdapat pada
membran post-synaptic. AChR ini terdapat pada lekukan- lekukan pada membran
post-synaptic. AChR terdiri dari 5 subunit protein, yaitu 2 alpha, dan masing-
masing satu beta, gamma, dan delta. Subunit-subunit ini tersusun membentuk
lingkaran yang siap untuk mengikat ACh. Ikatan antara ACh dan AChR akan
mengakibatkan terbukanya gerbang Natrium pada sel otot, yang segera setelahnya
akan mengakibatkan influx Na+. Influx Na+ ini akan mengakibatkan terjadinya
depolarisasi pada membran post-synaptic. Jika depolarisasi ini mencapai nilai
ambang tertentu (firing level), maka akan terjadi potensial aksi pada sel otot
tersebut. Potensial aksi ini akan dirambatkan ke segala arah sesuai dengan
karakteristik sel eksitabel, dan akhirnya akan mengakibatkan kontraksi. ACh yang
masih tertempel pada AChR kemudian akan dihidrolisis oleh enzim
Asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat dalam jumlah yang cukup banyak pada
celah synaptic. ACh akan dipecah menjadi Kolin dan Asam Laktat. Kolin kemudian
akan kembali masuk ke dalam membran pre-synaptic untuk membentuk ACh lagi.
Proses hidrolisis ini dilakukan untuk dapat mencegah terjadinya potensial aksi terus
menerus yang akan mengakibatkan kontraksi terus menerus (Gambar 2).7,8, 9, 10

Gambar 2. Neuromuscular Junction

6
2.5 Patofisiologi
Ikatan antibodi-reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan
mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuscular melalui beberapa cara,
antara lain: ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor
asetilkoin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction
dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post-sinaps,
sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor
asetilkolin yang baru disintesis (gambar 3). Antibodi AChR pada subunit 
didominasi oleh IgG1 dan IgG3 yang dapat mengaktifkan komplemen sehingga
terjadi kerusakan membrane dan bloking jalur sinyal sedangkan IgG4 sebagai
antibodi Muscle specific kinase (MuSK) berikatan dengan N-terminal Ig-like
domains pada AChR sehingga terjadi penurunan massa jenis AChR post-sinaps
yang menyebabkan rusaknya keselarasan antara syaraf motor terminal dan
membran post-sinaps.
Kondisi ini mengakitbatkan Ach yang tetap dilapaskan dalam jumlah normal
tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju membran post-sinaps. Kurangnya
reseptor dan kehadiran kehadiran ACH yang tetap dalam jumlah normal akan
mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh impuls
tertentu, inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada pasien.
Etiopatogenesis proses autoimun pada miastenia gravis tidak sepenuhnya diketahui,
walaupun demikian diduga kelenjar timus turut berperan pada pathogenesis
penyakit ini. Sekitar 75% pasien menunjukkan timus yang abnormal, 65%

7
menunjukkan hiperplasi timus yang menandakan aktifnya respon imun dan 10%
berhubungan dengan timoma. 10

Gambar 3. Perbedaan transmisi impuls syaraf menuju otot yang


normal dengan penderita miastenia gravis

2.6 Klasifikasi
Miastenia gravis diklasifikasikan sebagai berikut:
 Miastenia gravis okular
Inisial, tingkat ringan yang bisa berkembang menjadi lebih parah dan
menyeluruh (generalisasi) pada kebanyakan pasien
 Miastenia gravis general
 Kelemahan lebih sering menyebar dari otot-otot okular ke wajah
hingga otot bulbar, lalu ke otot trunkus dan ekstremitas
 Kelemahan berkembang dari ringan ke berat dalam beberapa
minggu atau bulan, dengan eksaserbasi dan remisi
 Dalam 13 bulan onset penyakit okular ringan, pasien akan
mengalami penyakit generalis

8
Klasifikasi berdasarkan Myasthenia Gravis Foundation of America Clinical
Classification :11
1. Kelas I: semua kelemahan otot okular; mungkin kelemahan menutup
mata sedangkan semua otot lainnya normal
2. Kelas II: kelemahan ringan yang mempengaruhi otot non-okular,
mungkin juga mengalami kelemahan otot okular dengan tingkat
keparahan manapun
 Kelas IIa: lebih dominan mempengaruhi otot-otot ekstremitas dan
aksial, mungkin juga sedikit mempengaruhi otot orofaring
 Kelas IIb: lebih dominan mempengaruhi otot-otot orofaring,
pernapasan atau keduanya, mungkin juga sedikit atau sama
beratnya mempengaruhi otot ekstremitas, aksial atau keduanya

3. Kelas III: kelemahan sedang yang mempengaruhi otot-otot non-okular,


mungkin juga mengalami kelemahan otot okular dengan tingkat
keparahan manapun
 Kelas IIIa: lebih dominan mempengaruhi otot-otot ekstremitas dan
aksial, mungkin juga sedikit mempengaruhi otot orofaring
 Kelas IIIb: lebih dominan mempengaruhi otot-otot orofaring,
pernapasan atau keduanya, mungkin juga sedikit atau sama
beratnya mempengaruhi otot ekstremitas, aksial atau keduanya

4. Kelas IV: kelemahan sedang yang mempengaruhi otot-otot non-okular,


mungkin juga mengalami kelemahan otot okular dengan tingkat
keparahan manapun
 Kelas IVa: lebih dominan mempengaruhi otot-otot ekstremitas dan
aksial, mungkin juga sedikit mempengaruhi otot orofaring
 Kelas IVb: lebih dominan mempengaruhi otot-otot orofaring,
pernapasan atau keduanya, mungkin juga sedikit atau sama

9
beratnya mempengaruhi otot ekstremitas, aksial atau keduanya.
Menggunakan selang NGT tanpa intubasi

5. Kelas V: Membutuhkan intubasi, dengan atau tanpa ventilasi meknanik


kecuali digunakan selama manajemen rutin post-operative

Berdasarkan derajat keparahan, dapat dinilai dengan klasifikasi Osserman:16


1. Derajat 1: kelemahan terbatas pada otot ekstraokuler (ocular
myasthenia gravis)
2. Derajat 2: kelemahan generalisata yang ringan atau sedang tanpa
keterlibatan otot pernapasan, perjalanan penyakit lambat, krisis (-),
respons terhadap obat baik (mild generalized myasthenia gravis)
3. Derajat 3: gejala skeletal dan bulbar berat, krisis (-), respons terhadap
obat kurang baik (moderate generalized myasthenia gravis)
4. 4. Derajat 4: perjalanan penyakit cepat, penyakit akut fulminan dengan
gangguan pernapasan awal, krisis (+), respons terhadap obat buruk,
timoma (insiden tinggi), kematian tinggi (acute fulminating myasthenia
gravis)
5. Derajat5: penyakit berat dengan keterlibatan gangguan pernapasan
yang
mengancam jiwa, gejala sama dengan derajat 3 tetapi perjalanan dari
derajat 2, krisis (+), angka kematian tinggi (late severe myasthenia
gravis)

2.7 Gejala Klinis


Tanda paling khas pada penyakit Miastenia gravis adalah adanya kelemahan
dan kelelahan yang berfluktuasi. Kelemahan otot terjadi seiring dengan penggunaan
otot secara berulang, dan semakin berat dirasakan di akhir hari lalu menghilang atau
membaik dengan istirahat. Kelompok otot-otot yang melemah pada penyakit
miastenis gravis memiliki pola yang khas. Pada awal terjadinya Miastenia gravis,

10
otot kelopak mata dan gerakan bola mata terserang lebih dahulu yang
mengakibatkan munculnya gejala berupa penglihatan ganda atau diplopia dan
turunnya kelopak mata secara abnormal atau ptosis (gambar 4 dan 5). Ptosis yang
disebabkan oleh kelumpuhan dari nervus okulomotorius sering menjadi keluhan
utama penderita walaupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh,
namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal, tetapi pada tahap lanjut
kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis.

Gambar 4. Ptosis Gambar 5. Diplopia

Otot-otot wajah juga mengalani gangguan yang menyebabkan penderita


menggeram saat berusaha tersenyum serta penampilan yang seperti tanpa ekspresi.
Penderita juga mengalami kelemahan otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring
yang mengakibatkan sulit menelan, mengunyah dan berbicara. Paresis dari
pallatum molle yang akan menimbulkan suara sengau, elemahan otot maseter
mengakibatkan mulut sulit ditutup.
Sebagian besar penderita Miastenia gravis akan mengalami kelemahan otot di
seluruh tubuh, termasuk tangan dan kaki. Kelemahan pada anggota gerak ini akan
dirasakan asimetris. Bila seorang penderita Miastenia gravis hanya mengalami
kelemahan di daerah mata selama 3 tahun, maka kemungkinan kecil penyakit
tersebut akan menyerang seluruh tubuh. Penderita dengan hanya kelemahan di

11
sekitar mata disebut Miastenia gravis okular. Penyakit Miastenia gravis dapat
menjadi berat dan membahayakan jiwa. Miastenia gravis yang berat menyerang
otot-otot pernafasan sehingga menimbuilkan gejala sesak nafas. Bila sampai
diperlukan bantuan alat pernafasan, maka penyakit Miastenia gravis tersebut
dikenal sebagai krisis miastenia gravis yang umumnya disebabkan oleh adanya
infeksi pada penderita.12
Secara umum, gambaran klisnis Miastenia yaitu:13
 Kelemahan otot yang progresif pada penderita
 Kelemahan meningkat dengan cepat pada kontraksis otot yang berulang
 Pemulihan dalam beberapa menit atau kurang dari satu jam, dengan istirahat
 Kelemahan biasanya memburuk menjelang malam
 Otot mata sering terkena pertama ( ptosis , diplopia ) , atau otot faring lainnya
( disfagia , suara sengau )
 Kelemahan otot yang berat berbeda pada setiap unit motorik
 Kadang-kadang , kekuatan otot tiba-tiba memburuk
 Tidak ada atrofi atau fasikulasi

2.7.1 Krisis Miastenia


Krisis miastenia ditandai dengan gejala klinik berupa kegagalan pernapasan
pada 15-30% pasien miastenia gravis. Hal ini bisa terjadi kapan saja saat onset
namun biasanya pada 2-3 tahun setelah diagnosis ditegakkan (rata-rata 8 bulan).
Faktor pemicu adalah segala macam bentuk stress baik fisik maupun emosi, infeksi
terutama di saluran pernapasan. Pasien miastenia biasanya menderita
immunocompromised dan yang lainnya tidak mampu untuk melindungi saluran
pernapasan secara adekuat karena adanya kelemahan otot yng berfluktuasi. Faktor
lain yang juga berperan adalah obat-obatan, penyakit lain yang tidak terkontrol,
kehamilan, operasi, peningkatan suhu tubuh secara akut dan emosi. Medikasi
miastenia berupa kortikosteroid dan cholinesterase inhibitor pada pasien dengan
sakit yang parah juga mungkin berperan dalam kejadian krisis miastenia.

12
2.8 Diagnosis
Diagnosis Miastenia gravis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik yang khas dan pemeriksaan penunjang berupa tes
antikolinesterase, EMG, serologi untuk antibodi AchR dan CT-Scan atau MRI
toraks untuk melihat adanya timoma.
 Anamnesis
Adanya kelemahan/ kelumpuhan otot yang berulang setelah aktivitas dan
membaik setelah istirahat. Tersering menyerang otot-otot mata (dengan
manifestasi: diplopi atau ptosis). Kesulitan menelan, mengunyah, tersedak, senyum
datar, suara sengau, meneteskan air liur, sesak karena mengenai otot pernafasan.
Sensasi biasanya tidk terganggu, dapat disertai kelumpuhan anggota gerak atas
(terutama triceps dan ekstensor jari-jari). Gejala yang paling parah biasanya timbul
dengan cepat, risiko tertinggi terjadinya krisis adalah pada 6 bulan pertama dan
membaik dalam 3 tahun.
 Pemeriksaan Fisik
 Terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan sengau,
regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita.
 kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat
terjadi aspirasi cairan yang menyebabkan penderita batuk dan tersedak
saat minum.
 Kelemahan otot bulbar yang ditandai dengan kelemahan otot-otot rahang
pada miastenia gravis yang menyebakan penderita sulit untuk menutup
mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan.
 Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan
pada saat fleksi serta ekstensi dari leher
 Otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan
dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah. Musculus deltoid serta
fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan
sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh
dibandingkan otot bisep.

13
 Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan melakukan
dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi
jari-jari kaki dan saat melakukan fleksi panggul
 kelemahan otot-otot pernapasan yang dapat menyebabkan gagal napas
akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan
intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot faring dapat
menyebabkan kolapsnya saluran napas atas dan kelemahan otot-otot
interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida
sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi. Sehinggga pengawasan
yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut
sangat diperlukan
 Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular,
dan tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus
kranialis. Serta biasanya kelemahan otot- otot ekstraokular terjadi secara
asimetris. Hal ini merupakan tanda yang sangat penting untuk
mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus
lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu
pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya
kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada mata
yang melakukan abduksi.
Penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan dengan
cara:
 penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama
kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi
kurang terang. Penderita menjadi anartris dan afonis.
 penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus
dan lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi
parau atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.
Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak
tampak lagi

14
 Pemeriksaan Penunjang
 Tes klinik sederhana:
 Tes watenberg/simpson test : memandang objek di atas bidang antara
kedua bola mata > 30 detik, lama-kelamaan akan terjadi ptosis (tes
positif)
 Tes pita suara : penderita disuruh menghitung 1-100, maka suara akan
menghilang secara bertahap (tes positif).
 Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Menyuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi
maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera
setelah tensilon disuntikkankita harus memperhatikan otot-otot yang
lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan adanya ptosis.
Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis
itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus
diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat
singkat.
 Uji Prostigmin (neostigmin)
Menyuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin 1⁄4 atau 1⁄2 mg). Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala
seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama
kemudian akan lenyap
 Uji Kinin
Memberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian
diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Untuk uji ini,
sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik
tidak bertambah berat.Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia
gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan
bertambah berat.
 Laboratorium

15
o Antistriated muscle (anti-SM) antibody: Tes ini menunjukkan hasil
positif pada sekitar 84% pasien yang menderita timoma dalam usia
kurang dari 40 tahun.Sehingga merupakan salah satu tes yang
pentingpada penderita miastenia gravis. Pada pasien tanpa
timomaanti-SM Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada pasien
dengan usia lebih dari 40 tahun,.
o Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-
AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil
yang positif untuk anti-MuSK Ab. Antistriational antibodies
Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan
ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien
timomadengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya
titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan
adanya timoma pada pasien muda dengan miastenia gravis. Hal ini
disebabkan dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis
menunjukkan adanya antibodi yang berikatan dalam pola cross-
striational pada otot rangka dan otot jantung penderita.
Antibodi anti AchR bisa digunakan untuk mendiagnosis suatu
miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien.
80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari
penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-
asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien timoma tanpa
miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody
 Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada
transmisi neuromuscular dengan 2 cara, yaitu:
o SFEMG
Single-fiber Electromyography (SFEMG) mendeteksi adanya
defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan titer
dan fiber density yang normal. Karena menggunakan jarum single-

16
fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot
penderita. Sehingga SFEMG dapat mendeteksi suatu
titer(variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih
serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatufiber
density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat
direkam oleh jarum perekam).
o RNS
Repetitive Nerve Stimulation (RNS) Pada penderita miastenia
gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga
pada RNS terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi.

2.9 Diagnosis Banding


Diagnosis banding miastenia gravis luas dan menyangkut semua penyakit yang
menyebabkan kelemahan otot terutama otot bulbar dan pernapasan. Kelemahan
bisa terjadi karena malfungsi dari neuromuscular junction atau area lain tubuh.
Masalah yang menyebabkan kegagalan transmisi impuls melewati neuromuscular
junction disebut sindrom miastenik, hal ini bisa terjadi karena:
 neonatal miastenia gravis
didapatkan dari transfer pasif antibodi maternal
 Lembert-Eaton myasthenic syndrome (LEMS)
Kelainan autoimun yang berhubungan dengan autoimun miastenia gravis,
pasien mungkin mengalami kelemahan otot bulbar dan pernapasan yang
bersifat sementara atau ringan, gagal napas yang disebabkan oleh LEMS
juga sangat jarang
 D-penicillamine-induced autoimmune disease
Obat ini digunakan untuk penyakit Wilson dan rematik namun gejalanya
menghilang dengan sempurna setelah pemberhentian konsumsi obat.
 Toxic causes (botulisme, organofosfat dan keracunan karbamet,
neuroparalisis dari bisa ular atau serangga, dan overdosis antikolinesterase),
hal ini mungkin bisa menyebabkan kelemahan dan kegagalan otot
pernapasan.

17
2.10 Penatalaksanaan
Mastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati.
Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi
merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase
biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien
dengan miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang
rutin.Penatalaksanaan miastenia gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan,
timomektomiataupun dengan imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang dapat
memberikan prognosis yang baik pada kesembuhan miastenia gravis.
Terapi pemberian antibiotikyang dikombainasikan dengan imunosupresif dan
imunomodulasi yang ditunjangdengan penunjang ventilasi, mampu menghambat
terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas. Pengobatan ini dapat
digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan
tepat yang memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama
sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan.
Penggunaan Plasma Exchange (PE) paling efektif digunakan pada situasi
dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan menjadi prioritas.Dasar terapi
dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif.Respon dari terapi ini
adalah menurunnya titer antibodi. Dimana pasien yang mendapat tindakan berupa
hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama serta trakeostomi, dapat
diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE. Terapi ini digunakan pada pasien
yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat
memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani timektomi. Belum ada regimen
standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti sekitar satu
volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari.Albumin (5%)
dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat
digunakan untuk replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat
bertahan hingga lebih dari 10 minggu.
Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadi retensi kalsium, magnesium,
dan natrium yang dapat menimbulkan terjadinya hipotensi.Ini diakibatkan

18
terjadinya pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung.Trombositopenia dan
perubahan pada berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE
berulang.Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan yang dapat dihubungkan
dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian fresh- frozen plasma tidak
diperlukan.
Intravena Immunoglobulin (IVIG) yang mekanisme kerjanya belum diketahui
secara pasti diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer
antibodi tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien
tidak terdapat penurunan dari titer antibodi.Produk tertentu dimana 99% merupakan
IgG adalah complement-activating aggregates yang relatif aman untuk diberikan
secara intravena. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah
memulai terapi, tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat
respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan
yang tidak menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi
krisis.Sehingga IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE,
karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya
beberapa minggu.
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan
1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis
berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15
hari sejak dilakukan pemasangan infus.
Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah flulike symdrome
seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi
pada 24 jam pertama.Nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan
infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat.
Intravena Metilprednisolone(IVMp), IVMp diberikan dengan dosis 2 gram
dalam waktu 12 jam.Bila tidak ada respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari
kemudian.Jika respon masih juga tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari
kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon terhadap IVMp pada
terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga.
Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan

19
IVMp pada keadaan krisisakan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau tidak
dapat digunakan.
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah
untuk pengobatan miastenia gravis. Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks
terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih
belum diketahui.Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan,
dengan rata-rata selama 3 bulan.Dimana respon terhadap pengobatan kortikosteroid
akanmulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Pasien yang
berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer
antibodinya.Karena kortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T
helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel t serta antigen-presenting cell yang
teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan
kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis. Kortikosteroid
diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat menggangu, yang
tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase.Dosis maksimal penggunaan
kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada
pemberiannya.Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, aka
timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta
hipertensi.
Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin
yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan
RNA.Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan
baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya.Azathioprine biasanya digunakan
pada pasien miastenia gravis yang secara relatif terkontrol tetapi menggunakan
kortikosteroid dengan dosis tinggi. Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis
pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari.Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari
hingga dosis optimal tercapai. Respon Azathioprine sangat lambat, dengan respon
maksimal didapatkan dalam 12-36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada
sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat
imunomodulasi yang lain.

20
Cyclosporine berespon lebih cepat dibandingkan azathioprine.Dosis awal
pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga
dosis.Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel
T- helper.Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi
antibodi.Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas dan
hipertensi.
Cyclophosphamide (CPM) yang secara teori CPM memiliki efek langsung
terhadap produksi antibodi dibandingkan obat lainnya.CPM adalah suatu alkilating
agent yang berefek pada proliferasi sel B, dan secara tidak langsung dapat menekan
sintesis imunoglobulin.
Timektomi (Surgical Care) yang telah banyak dilakukan penelitian tentang
hubungan antara kelenjar timus dengan kejadian miastenia gravis.Germinal center
hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab yang mungkin bertanggungjawab
terhadap kejadian miastenia gravis. Banyak ahli saraf memiliki pengalaman
meyakinkan bahwa timektomi memiliki peranan yang penting untuk terapi
miastenia gravis, walaupun kentungannya bervariasi, sulit untuk dijelaskan dan
masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang seksama. Timektomi telah
digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia gravis sejak tahun 1940 dan
untuk pengobatan timoma denga atau tanpa miastenia gravis sejak awal tahun
1900.Tujuan utama dari timektomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari
kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien,dimana
beberapa ahli percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-
40% tergantung dari jenis timektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa
remisi yang tergantung dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara
40-60%pada lima hingga sepuluh tahun setelah pembedahanadalah kesembuhan
yang permanen dari pasien.
Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu
satu tahun setelah timektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang
permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan).

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Sanders DB et al. Disorders of neuromuscular transmission. In: Daroff RB


et al, eds: Bradley's Neurology in Clinical Practice. 7th ed. Philadelphia,
PA: Elsevier; 2016:1896-914
2. Yi, Q., Lefvert, A.K., 1994. Idiotype- and anti-idiotype-reactive T lym-
phocytes in myasthenia gravis. Evidence for the involvement of different
subpopulations of T helper lymphocytes. J. Immunol. 153, 3353–3359.
3. Buku CK
4. James F.H. Epidemiology and Pathophysiology. Dalam Jr.M.D,
penyunting. Myasthenia Gravis A Manual for Health Care Provider. Edisi
ke . Amerika, 2008;8-14
5. Sri-udomkajorn S, Panichai P, Liumsuwan S. Childhood myasthenia gravis:
Clinical features and outcomes. J Medical Assoc Thailand 2011;94.
Suppl.3:S152-S157
6. Durelli, L., Maggi, G., Casadio, C., et al., 1991. Actuarial analysis of the
occurrence of remissions following thymectomy for myasthenia gravis in 400
patients. J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry 54, 406–411.

7. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. In: Taut Neuromuskular.


6 th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012.
8. Conti-Fine BM, Milani,Monica ,Kaminski,Henry J. . Myasthenia gravis:
past, present, and future. The Journal of Clinical Investigation
2006;116(Number 11).
9. Howard JF. Myasthenia Gravis A Manual for the Health Care Provider.
Myasthenia Gravis Foundation of America 2008
10. Hughes BW, Casillas, Maria Luisa Moro De , Kaminski, Henry J.,.
Pathophysiology of Myasthenia Gravis. Thieme Medical Publishers
2004;24 Number 1:p21-7.

22
11. Jaretzki A 3rd et al. 2000. Myasthenia Gravis:recommendations for clinical
research standards. Task Force of the Medical Scientific Advisory Board
of the Myasthenia Gravis Foundation of America. Neurology. 55(1):16-23
12. Mumenthaler M, Mattle H. Fundamentals of Neurology. In: Myasthenia
Gravis. Germany: Georg Thieme Verlag; 2006.
13. Setiyohadi B. Miologi. In: Sudoyo AW, Setiyohadi, Bambang, Alwi, idrus,
Simadibrata K.,Marcellus, Setiati, Siti, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
14. Vander Pluym J, Ajsar JV, Jacob FD, Mah JK, Grenier D, Kolski H. Clinical
characteristics of pediatric myasthenia: A surveillance study. Pediatrics
2013;132(4).pp. 1-8.
15. Ropper AH, Brown, Robert H. ,. Adam And Victor's Principles of
Neurology. In: Myasthenia Gravis And Related Disorders Of The
Neuromuscular Junction 8 th ed. United State of America: McGraw-Hill
Medical Publishing Division; 2005.
16. Gradient P, Bolton J, Puri V. Juvenile myasthenia gravis: Three case reports
and a literature review. J Child Neurol. 2009;24:584-90.
17. Romi F, Hong Y, Gilhus NE. Current opinion in immunology.
Netherland:Elsevier: 9-13.
18.

23

Anda mungkin juga menyukai