Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Sistem Urogenital


Sistem urogenital secara fungsional dapat dibagi menjadi dua
komponen yang berbeda yaitu sistem uranius dan sistem genitalis. Akan
tetapi, secara embriologi dan anatomi, keduanya saling berkaitan erat.
Sistem urogenital berasal dari satu mesoderm ridge di sepanjang dinding
posterior rongga abdomen, dan pada awalnya saluran ekskresi kedua sistem
tersebut masuk ke rongga yang sama (Sadler, 2009).
Berdasarkan anatomi, sistem urinarius terdiri dari ginjal, sistem
pengumpul, kandung kemih dan uretra sedangkan sistem genitalis terdiri
dari gonad, duktus genitalis dan genitalia eksterna. Genitalia eksterna laki-
laki berbeda dengan perempuan. Bagian genitalia eksterna laki-laki yaitu
penis, testis dan skrotum sedangkan pada perempuan berupa vagina, uterus
dan ovarium (Sadler, 2009).

2.1.2 Embriologi Sistem Urogenital


Pembentukan ginjal pada fase intrauterin dibagi menjadi tiga urutan
yaitu pronefros, mesonefros, dan metanefros. Pronefros merupakan struktur
pertama yang terbentuk bersifat nonfungsional dan sementara. Pronefros
terdiri dari kelompok sel solid yang kemudian akan membentuk unit
ekskretorik vestigial, nefrotom dan mengalami regresi sebelum mesonefros
terbentuk atau pada akhir minggu keempat gestasi. Mesonefros sendiri
berfungsi secara singkat selama masa janin. Mesonefros berasal dari
mesoderm intermediat dari segmen torakal atas sampai lumbal atas. Setelah
pronefros lenyap, muncul tubulus ekskretorik pertama mesonefros yang

6
7

akan membentuk glomerulus diikuti dengan munculnya kapsula bowman,


dan gonadal ridge. Kemudian disebelah lateralnya, akan terbentuk duktus
mesonefrikus (duktus wolfii). Pada akhir bulan kedua, sebagian besar
tubulus kranial akan lenyap diiringi dengan tubulus kaudal yang terus
berdiferensiasi. Selanjutnya, metanefros atau ginjal tetap muncul pada
minggu kelima (Sadler, 2009).
Unit ekskretorik metanefros terbentuk dari mesoderm metanefros.
Pada saat pembentukan sistem pengumpul, duktus koligentes metanefros
terbentuk dari tunas ureter. Tunas ureter merupakan suatu pertumbuhan
yang keluar dari duktus mesonefrikus dekat dengan kloaka. Tunas tersebut
akan menembus jaringan metanefros lalu melebar membentuk pelvis
renalis primitif, dan akhirnya akan membelah menjadi bakal kaliks mayor
pada akhir minggu keenam. Selanjutnya, kaliks-kaliks membentuk dua
tunas baru sambil menembus jaringan metanefros dan akan membelah lagi
sampai terbentuk 12 generasi tubulus atau lebih. Dari pembelahan tersebut
akan terbentuk kaliks minor, piramis renalis dan sekitar 1-3 juta tubulus
koligentes (Sadler, 2009). Pada saat pembentukan sistem ekskretorik,
terdapat sel-sel jaringan penutup pada setiap tubulus koligentes yang baru
terbentuk. Sel-sel penutup tersebut membentuk vesikel ginjal yang
kemudian menghasilkan tubulus-tubulus kecil berbentuk S. Kantong di
tubulus S ini akan ditumbuhi kapiler dan berdiferensiasi menjadi
glomerulus sehingga membentuk unit ekskretorik atau nefron. Masing-
masing nefron tersebut akan membentuk kapsula bowman pada tiap ujung
proksimalnya (Sadler, 2009). Perkembangan ginjal manusia menjadi
sempurna pada usia kehamilan minggu ke-34 sampai minggu ke-36 (Hei
dan Yi, 2014).
8

Gambar 1. A. Hubungan sistem ginjal pada fase intrauterine : pronefros,


mesonefros, dan metanefros. B. Tubulus ekskretorik sistem
pronefros dan mesonefros pada minggu ke-5 (Sadler, 2009).

Beberapa interaksi epitel mesenkim terlibat dalam proses


pembentukan ginjal. Diantaranya yaitu mesenkim blastema metanefros
yang berinteraksi dengan epitel tunas ureter dari mesonefros
mengekspresikan WT1. WT1 merupakan faktor transkripsi yang
menyebabkan jaringan ini berespons terhadap induksi oleh tunas ureter.
WT1 juga mengatur pembentukan GDNF (glial-derived neurotrophic
factor) dan faktor pembentukan hepatosit (HGF atau scatter factor) yang
merangsang pembentukan cabang dan tunas ureter (Sadler, 2009).
Rongga saluran ekskresi sistem urogenital atau kloaka terbagi
menjadi dua yaitu sinus urogenitalis dan kanalis alis. Terdapat tiga bagian
sinus urogenitalis yaitu kandung kemih, pelvis sinus urogenitalis, dan
phallus sinus urogenitalis. Pada pria, bagian pelvis sinus urogenitalis akan
9

menghasilkan uretra pars prostatika dan pars membranasea. Pada akhir


minggu ke-12, epitel uretra pars prostatika berproliferasi dan akan
membentuk pertumbuhan keluar yang menembus mesenkim atau kelenjar
prostat. Sedangkan pada wanita, akan terbentuk kelenjar uretra dan
parauretra pada bagian kranial uretra (Sadler, 2009).

2.1.3 Kelainan Kongenital Sistem Urogenital


Kelainan kongenital dapat didefinisikan sebagai kelainan
struktural atau fungsional termasuk kelainan metabolik yang terjadi selama
fase intrauterine. Kelainan kongenital dapat diidentifikasi sejak saat
prenatal, lahir, atau kadang-kadang hanya dapat dideteksi pada masa bayi
(WHO, 2016). Waktu paling rawan terjadinya kelainan kongenital yaitu
pada minggu ketiga sampai kedelapan kehamilan (Sadler, 2009).
Berdasarkan sumber dari World Health Organization (WHO) pada tahun
2015, diperkirakan 303.000 neonatus mengalami kematian dalam waktu 4
minggu setelah kelahiran setiap tahunnya di seluruh dunia akibat kelainan
kongenital. Sedangkan di Indonesia, berdasarkan Riskesdas (2007)
kelainan kongenital dapat menyebabkan kematian sampai dengan 1,4%
pada usia 0-6 hari dan 18% kematian pada usia 7-28 hari.
Kelainan kongenital dapat mengenai seluruh sistem termasuk
sistem urogenital. Kelainan sistem urogenital merupakan kelainan
kongenital terbanyak kelima di beberapa populasi. Keempat kelainan
terseringnya yaitu sistem muskuloskletal, mata dan wajah, kelainan
kromosom, dan sistem kardiovaskular (Tain et al., 2016). Prevalensinya
bervariasi di berbagai negara. Prevalensi di Amerika seperti Negara Brazil,
kelainan kongenital sistem urogenital dilaporkan sekitar 17,7 dari 1000
kelahiran hidup dan Negara Colombia diperkirakan 43 per 100.000
kelahiran dalam periode waktu 2001-2004 (Quirino et al., 2012; Calderon
dan Zarante dalam Fernandez et al., 2012). Kemudian prevalensi di Eropa
10

pada tahun 2012 ialah sekitar 3,3 dari 1000 kelahiran menderita kelainan
kongenital sistem urinarius (EUROCAT dalam Postoev, 2016).
Selanjutnya, di Asia seperti India Utara, insiden kelainan sistem urogenital
terjadi sekitar 39,1 per 1000 kelahiran pada periode 2012-2015 (Bhat et al.,
2016). Sedangkan di Taiwan, rata-rata insiden kelainan sistem urinarius
berkisar 0,42 dari 1000 kelahiran sejak tahun 2004-2011 (Tain et al.,
2016). Perbedaan ini terjadi mungkin karena beragam faktor terlibat
didalamnya seperti perbedaan ras, populasi, usia ibu, usia gestasi, berat
badan lahir, paritas, riwayat keluarga, riwayat penyakit selama kehamilan,
hingga kebiasaan seperti merokok, atau terpapar pestisida dan bahan kimia
lainnya.
Kelainan kongenital sistem urogenital memiliki dampak baik
mortalitas dan morbiditas yang cukup tinggi. Contohnya seperti
hidronefrosis yang dapat menyebabkan obstruksi dan disfungsi dari saluran
urinarius atas bahkan ginjal, dan infeksi urinarius yang berulang pada bayi
serta merupakan penyebab utama morbiditas anak yang bertanggung
jawab sekitar 30% - 50% dari seluruh anak didunia dengan gagal ginjal
kronik (Gheissari, 2012; Junior, Miranda dan Silva, 2014). Selain itu,
kelainan genital seperti hipospadia dapat berdampak pada aspek
perkembangan psikologi anak (Fernandez, 2012).
Pada kasus kelainan kongenital urogenital, beberapa kelainan
mudah dikenali, dan beberapa dapat tersamarkan. Kelainan yang mudah
ditemukan dengan pemeriksaan fisik saja antara lain seperti hipospadia,
dan ekstrofi kandung kemih. Sedangkan pada kasus kelainan kongenital
yang mengenai sistem urinarius, banyak anak yang memiliki keluhan samar
misalnya kegagalan tumbuh kembang, nyeri abdomen non spesifik, mual,
muntah, demam berulang yang tidak terjelaskan. Dan, apabila tidak diatasi
dengan cepat karena keterlambatan diagnosis akan menyebabkan anak
menderita gagal ginjal (Nogueria dan Paz, 2016).
11

Beberapa literatur mendiskripsikan beberapa gejala klinis pada


kasus kelainan kongenital sistem urinarius diantaranya :
1. Kegagalan sistem urinarius atas menjadi disfungsi renal dan
menyebabkan poliuria, polakisuria, nokturia, infeksi saluran urinarius,
sistemic arterial hypertension dan berat badan rendah
2. Tanda kegagalan sistem urinarius bawah dengan terjadinya obstruksi
seperti pancaran BAK melemah, sulit memulai BAK, distended
bladder, non-monosymptomatic enuresis, inkontinensia urin dan
disfungsi kandung kemih (Nogueria dan Paz, 2016)

2.1.4 Jenis-jenis Kelainan Kongenital Sistem Urogenital


Beberapa jenis kelainan kogenital sistem urogenital diantaranya yaitu :

2.1.4.1 Kelainan Obstruktif Pelvis Ginjal Kongenital


Kelainan obstruktif pelvis ginjal merupakan kelainan
perkembangan ginjal yang mengalami obstruktif sebagian atau
komplit dan merupakan penyebab tersering terjadinya hidronefrosis
sehingga memerlukan tindakan pembedahan. Kelainan ini terjadi
pada 1/1000-1500 kelahiran dengan rasio laki-laki dan perempuan
2:1. Berdasarkan teori, kelainan ini mungkin disebabkan oleh
kompresi ekstrinsik dari arteri atau vena yang menyimpang, insersi
uretra yang tinggi, katup lokal, iskemik, dan defisiensi dari fibers otot
halus proksimal ureter. Defisiensi dari fibers otot halus proksimal
ureter mungkin berhubungan dengan terjadinya fibrosis yang
mengakibatkan obstruksi pada pelvis sehingga pelvis dan kaliks akan
berdilatasi (Cohen et al., 2004).
12

2.1.4.2 Agenesis Ginjal atau Aplasia Ginjal


Agenesis ginjal dapat didefinisikan sebagai kelainan dengan
tidak adanya ginjal pada saat lahir. Keadaan ini akibat dari tahap
perkembangan metanefros yang gagal. Agenesis ginjal dapat
diklasifikasikan menjadi dua yaitu agenesis ginjal unilateral (tidak
terdapat satu ginjal) dan agenesis ginjal bilateral (tidak terdapat ginjal
dikedua sisi) (Parikh et al., 2002). Agenesis ginjal biasanya terjadi
sebelum minggu kelima pada kehamilan, dan lebih sering terjadi
pada laki-laki. Terdapat faktor genetik dan lingkungan yang
berperan penting dalam mekanisme terjadinya kelainan tersebut
(Cohen et al., 2004).
Agenesis ginjal juga dapat terjadi apabila tidak ada interaksi
antara mesoderm metanefros dan tunas ureter. Dalam keadaan
normal, selama interaksi, GDNF yang dihasilkan oeh mesoderm
metanefros menyebabkan percabangan dan pertumbuhan tunas ureter.
Sehingga, jika terdapat mutasi di gen-gen yang mengatur ekspresi
sinyal GDNF akan menyebabkan tidak adanya percabangan dan
pertumbuhan tunas ureter dan akhirnya menyebabkan agenesis ginjal.
Agenesis ginjal bilateral yang terjadi pada 1/10.000 kelahiran
menyebabkan gagal ginjal. Bayi memperlihatkan sekuens potter
yang ditandai oleh anuria, hipoplasia paru akibat oligohidramnion,
wajah yang datar, hidung lebar, terdapat lipatan epikantus, dan
hipertelorisme. Sedangkan agenesis ginjal unilateral biasanya bersifat
asimptomatik. Agenesis ginjal juga berhubungan dengan kelainan
pada organ genital. Laki-laki dengan agenesis ginjal unilateral sering
ditemukan adanya hipospadia, kista ipsilateral vesikula seminalis.
(Sadler, 2013; Sahay, 2013; Cohen et al., 2004).
13

Gambar 2. Sekuens Potter, yang memiliki kelainan utama agenesis


ginjal (Effendi, 2014)
Keterangan: Bayi memperlihatkan sekuens potter yang ditandai oleh anuria karena
agenesis ginjal, hipoplasia paru akibat oligohidramnion. Oligohidramnion juga dapat
menyebabkan tekanan intrauterin sehingga menimbulkan wajah yang datar, hidung
lebar, terdapat lipatan epikantus, dan hipertelorisme

2.1.4.3 Displasia Ginjal


Displasia ginjal ditandai dengan diferensiasi mesenkim dan
epithelium yang abnormal, berkurangnya jumlah nefron, hilangnya
diferensiasi corticomedullary dan metaplasia dari mesenkim ke
kartilago dan tulang (Sahay, 2013). Displasia ginjal merupakan
penyebab paling banyak penyakit ginjal kronik pada anak dan gagal
ginjal pada neonatus (Phua dan Ho, 2016).

2.1.4.4 Fusi Ginjal


Istilah Fusi ginjal adalah kelainan yang terbentuk akibat ginjal
yang yang menyatu dan bentuk terbanyak yang ditemukan ialah mirip
dengan bentuk tapal kuda sehingga dinamakan ginjal tapal kuda.
Kelainan ini diidentifikasi terjadi sekitar 1 per 400-500 individu dan
dua kali lebih banyak terjadi pada laki-laki. Fusi ginjal biasanya
berhubungan dengan pelvis yang dekat akibat trisomi 18. Kadang-
kadang fusi ginjal juga berhubungan dengan uteropelvicjunction
14

obstruction (UPJ) (Blanc et al., 2014). Letak ginjal tapal kuda


biasanya setinggi vertebra lumbal bawah (L4 atau L5) akibat proses
naiknya terhambat oleh pangkal arteri mesenterika posterior (Sadler,
2009).

2.1.4.5 Penyakit Polikistik Ginjal Kongenital


Penyakit polikistik ginjal kongenital dapat diwariskan sebagai
penyakit resesif autosom atau dominan autosom. Pada penyakit ginjal
polikistik resesif autosom, terbentuk kista-kista yang berasal dari
duktus koligentes, ginjal menjadi sangat besar, serta dapat terjadi
gagal ginjal pada masa bayi atau anak. Sedangkan pada penyakit
ginjal polikistik dominan autosom, terbentuk kista yang berasal dari
semua segmen nefron dan biasanya tidak menyebabkan gagal ginjal
sampai dewasa (Sadler, 2009).

2.1.4.6 Ekstrofi Kandung Kemih


Ekstrofi kandung kemih merupakan cacat dinding tubuh ventral
sehingga mukosa kandung kemih menjadi terpajan. Ekstrofi kandung
kemih terjadi pada 1:10.000-40.000 kelahiran dan lebih sering terjadi
pada laki-laki. Hal ini dapat disebabkan oleh tidak terjadinya migrasi
mesoderm ke region antara umbilikus dan tuberkulum genital selama
minggu keempat kehamilan. Pada keadaan ini, tidak terdapat otot
rektus abdominus inferior, serta otot oblique eksternal, dan
transversalis tidak lengkap Ekstrofi kandung kemih berhubungan
dengan epispadia, dan imperforata anus (Sadler, 2009; Cohen et al.,
2004).
15

2.1.4.7 Hipospadia
Hipospadia merupakan kelainan kongenital pada sistem
urogenital dimana posisi muara uretra tidak pada tempatnya akibat
penyatuan lipatan uretra yang tidak sempurna. Hipospadia biasanya
terjadi di dekat glans, di dekat pangkal penis, atau di sepanjang
batang penis. Insiden hipospadia sekitar 3-5/1000 kelahiran (Baskin,
et al., 2006; Sadler, 2013). Hipospadia dapat mengakibatkan
pancaran urin lemah ketika berkemih dan dapat berdampak pada
aspek perkembangan psikologi maupun infertilitas. Contohnya
seperti kurangnya rasa percaya diri, penurunan kapasitas untuk
hubungan sosial, terisolasi dalam lingkungan sosial, serta dapat
terjadi gangguan ejakulasi dan gangguan kuantitas semen (Krisna et
al., 2017: Singh et al., 2008).

Gambar 3. Klasifikasi hipospadia berdasarkan pembagian


subtipe (Hadidi, 2006)

Keterangan: Klasifikasi berdasarkan beberapa pembagian subtipe menurut


Smith, Schaefer, Avellan, Browne, Duckett, dan yang terbaru yaitu Hadidi
(glanular, distal, dan proximal)
16

Klasifikasi hipospadia dapat dibagi berdasarkan fenotip dan


gejala klinis. Terdapat beberapa macam klasifikasi hipospadia
berdasarkan fenotip. Namun, klasifikasi yang paling umum
digunakan ialah klasifikasi yang diperkenalkan oleh Duckett (Hadidi,
2006). Sedangkan, klasifikasi hipospadia berdasarkan gejala klinis
terbagi menjadi dua yaitu isolated hypospadias (hipospadia yang
ditemukan secara tunggal tanpa gejala tambahan lain) dan syndromic
hypospadias (hipospadia yang merupakan bagian dari suatu
kumpulan sindrom).
Hipospadia merupakan salah satu kondisi yang bersifat
multifaktorial dengan berbagai macam faktor risiko yang terlibat
didalamnya, salah satunya ialah faktor genetik. Isolated hypospadias
dapat terjadi akibat polimerfisme pada gen-gen yang terlibat dalam
perkembangan struktur genital laki-laki. Contoh dari polimerfisme
tersebut antara lain seperti gen ESR1 dan ESR2 yang mengkodekan
reseptor estrogen ER dan ERβ, serta polimerfisme V89L di 5--
reductase gene (Carmichael et al., 2013). Kemudian, beberapa
contoh sindrom yang berkaitan dengan syndromic hypospadias yaitu
sindrom Fraser, Wolf Hirschhorn, de Lange Syndrome, sindrom
Smith Lemli Opitz (Autosomal resesif), dan Reifenstein (Leung, dan
Robsonn, 2007; Holmes, 2012). Variasi jumlah CAG repeat pada
androgen reseptor (AR) juga diketahui sebagai salah satu faktor yang
mempengaruhi hipospadia. Karena, fungsi dari gen AR ialah
membuat protein androgen reseptor yang berperan memediasi kerja
hormon androgen. Akibatnya, jika kerja hormon androgen terganggu,
pembentukan fenotip laki-laki juga akan terganggu (Maritska, 2015).
17

Beberapa kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan


hipospadia yaitu kelainan kromosom dan pseudohermafrodit dan
ambigu genitalia (Leung, 1986). Sampai saat ini di Indonesia, belum
ada penelitian yang melaporkan prevalensi hipospadia secara pasti.
Namun menurut beberapa penelitian yang tersebar di beberapa
daerah di Indonesia, jumlah kasus hipospadia tidak dalam jumlah
yang sedikit atau cukup tinggi (Krisna et al., 2017).

2.1.4.8 Kelainan pada Uterus, Vagina, dan Servix


Perkembangan organ genitalia perempuan melibatkan beberapa
mekanisme yang kompleks mulai dari diferensiasi seluler, migrasi,
fusi dan kanalisasi serta dipengaruhi oleh kromosom. Kelainan yang
terjadi pada organ genitalia perempuan terjadi akibat adanya defek
pada proses fusi lateral dan vertikal dari sinus urogenital dan duktus
Mulleri. Kegagalan fusi vertikal ini akan menyebabkan kelainan
gangguan kanalisasi organ genital. Kemudian, kegagalan untuk
melakukan fusi lateral akan mengakibatkan terjadinya duplikasi pada
organ genital (Prawirohardjo, 2011).
Duplikasi uterus disebabkan oleh menetapnya septum uterus
atau obliterasi lumen kanalis uteri. Bentuk-bentuk kelainan duplikasi
uterus ialah uterus didelfis (terdapat dua uterus), uterus arkuatus
(uterus yang hanya mengalami indentasi dibagian tengah), uterus
bikornis (uterus mempunyai dua tanduk yang masuk ke vagina yang
sama), dan septum uterus (Sadler, 2009). Selain dibutuhkan
anamnesis yang cermat untuk mencurigai kelainan tersebut, dapat
dilakukan pemeriksaan penunjang seperti ultrasonografi,
histerodalfingografi, atau seperti histeroskopi dan laparoskopi untuk
membantu menegakkan diagnosis. Namun, perlu diingat bahwa
18

secara embriologi perkembangan organ-organ genitalia sangat erat


dengan perkembangan organ-organ traktus urinarius. Maka dari itu,
perlu disarankan untuk melakukan pemeriksaan pielogram intravena
untuk mengetahui apakah juga terdapat kelainan pada organ traktus
urinarius (Prawirohardjo, 2011). Sistem klasifikasi untuk kelainan
pada duktus Mullleri yang dibuat oleh American Society of
Reproductive Medicine (ASRM) disajikan dalam tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Kelainan Duktus Mulleri menurut ASRM

Klasifikasi Gambaran
Tipe 1 Hipoplasia atau Agenesis duktus Muller
 Vaginal
 Servikal
 Fundal
 Tuba
 Kombinasi
Tipe 2 Uterus unikornus
 Ada hubungan (terdapat lapisan endometrium)
 Tidak berhubungan (terdapat lapisan
endometrium)
 Tanduk tanpa lapisan endometrium
 Tanpa tanduk rudimenter
Tipe 3 Uterus didelfis
Tipe 4 Uterus bikornus
 Komplit (mencapai ostium internum)
 Parsial
Tipe 5 Uterus septum
 Komplit (mencapai ostium internum)
 Parsial

Tipe 6 Uterus arkuatus


Tipe 7 Anomali terkait dengan paparan terhadap dietilstilbestrol
(DES)
 Uterus bentuk T
 Uterus bentuk T dengan dilatasi tanduk
 Uterus bentuk T dengan variasi
Sumber : Prawirohardjo, 2011
19

Gambar 4. Gambaran dari Variasi Defek yang dapat terjadi pada Organ
Genitalia Perempuan menurut Klasifikasi ASRM (Gould dan
Epelman, 2015)

2.1.4.9 Undescended testis (Cryptochidism)


Pada keadaan normal, testis bergerak melalui kanalis inguinalis
pada minggu ke-28 dan akan mencapai skrotum pada minggu ke-33
akibat regresi bagian ekstra-abdomen dari gubernakulum. Namun,
pada kurang dari 1% bayi, proses penurunan testis ke dalam skrotum
dapat gagal. Keadaan ini disebut dengan undescended testis atau
cryptochidism yang artinya “testis yang tersembunyi” dari bahasa
yunani. Undescended testis dapat berada di intra-abdominal, di
kanalis inguinalis, atau diatas skrotum. Satu atau kedua testis yang
tidak turun tersebut tidak dapat menghasilkan spermatozoa matang.
Kelainan lain yang berhubungan dengan undescended testis ialah
hipospadia, hipoplasia penis, dan skrotum bifida. Undescended testis
juga berkaitan dengan 3-5% insiden anomali ginjal (Sadler, 2009;
Holmes, 2012).
20

2.1.4.10 Pseudohermafrodit dan Ambiguous Genitalia


Pseudohermafrodit merupakan kelainan dimana jenis kelamin
genotip ditutupi oleh bentuk fenotip yang menyerupai dengan bentuk
jenis kelamin lawannya. Pseudohermafrodit wanita paling sering
terjadi karena hiperplasia adrenal kongenital yang dapat membuat
produksi androgen menjadi berlebihan pada seseorang. Apabila
terjadi pembentukan androgen yang berlebihan didalam tubuh wanita
tersebut, akan menyebabkan maskulinisasi genitalia eksterna
walaupun genotipenya wanita (kromosom 46XX dan memiliki
ovarium). Terjadinya maskulinisasi genitalia tersebut antara lain
seperti hipertrofi klitoris, penyatuan sebagian labia mayora sehingga
mirip skrotum, dan sinus urogenitalis kecil yang menetap (Sadler,
2009).
Berbanding terbalik dengan pseudohermafrodit wanita,
pseudohermafrodit pria terjadi karena berkurangnya produksi hormon
androgen dan MIS (Mullerian Inhibiting Substance). Karakteristik
jenis kelamin interna dan eksternanya sangat bervariasi tergantung
dengan derajat perkembangan genitalia eksterna dan adanya turunan
paramesonefros (Sadler, 2009).
Istilah Ambiguous Genitalia sering digunakan apabila bentuk
alat kelamin tidak memungkinkan untuk menentukan identitas
kelamin dari individu tersebut (Prawirohardjo, 2011).
21

2.1.5 Faktor Risiko Kelainan Kongenital Sistem Urogenital


Penyebab yang mendasari kelainan sistem urogenital diyakini bersifat
multifaktorial dengan beragam faktor risiko yang terlibat diantaranya
termasuk faktor genetik, faktor maternal dan fetus, dan faktor lingkungan
(Tain et al., 2016).

2.1.5.1. Faktor Genetik


Kelainan sistem urogenital mempunyai dasar umum genetik
dan keterilbatan melalui berbagai macam mekanisme molekul (Toka
et al., 2010). Kelainan ini dapat bersifat sporadik, familial,
sindromik, ataupun bersifat nonsindromik yang sering dijumpai
(Sanna et al., dalam Sahay, 2013). Berbagai studi melaporkan bahwa
10%-50% anak dengan kelainan kongenital yang mengenai ginjal dan
traktus urinarius mempunyai riwayat keluarga yang juga menderita
kelainan pada sistem tersebut (Uy dan Reidy, 2016). Hal tersebut
berkaitan akibat terjadinya mutasi dan polimerfisme gen yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan sistem
urogenital. Gen-gen yang berhubungan terhadap kelainan kongenital
sistem urogenital dapat dilihat pada tabel 2.

1. RET (Rearranged Transfection) tyrosine kinase


Reseptor tirosin kinase merupakan jalur umum untuk
perkembangan normal ginjal, ureter, peripheral. RET diaktifkan
dari interaksi dengan sel glial ligand derivat dari GDNF dan
koreseptor GFRa1 di ginjal. GDNF diekspresikan dari sel-sel
mesenkim metanefros. Sinyal yang mengubungkan GDNF dan
RET dimediasi interaksi dari dua jalur diantara jaringan epitel
mesenkim yang diperlukan bagi pembentukan percabangan ureter.
22

Mutasi pada RET ditemukan 5-30% pada kasus kelainan


kongenital sistem urinarius. Mutasi ini dapat menyebabkan
obstruktif pelvis ureter (Sahay, 2013).

Tabel 2. Gen-gen yang berhubungan terhadap kelainan kongenital sistem urogenital


No Gen Fenotip Referensi
1 AGTR2 Uteropelvic junction (Nishimura et al.,
obstruction (UPJ), 1999; Oshima et al.,
megaureter, multicystic 2001; Nakanishi dan
dysplastic kidney, Yoshikawa, 2003;
hidronefrosis, posterior Hahn et al., 2005;
urethral valves (PUV) Miranda et al., 2014)
2 BMP4 Renal hypodysplasia (Miyazaki et al., 2000;
Hoshino et al., 2008;
Weber et al., 2008;
Chi et al., 2011; Paces-
Fessy et al., 2012; Dos
Reis et al., 2014)
3 EYA1 Branchio-otorenal syndrome, (Xu et al., 2015; de
agenesis ginjal Pontual et al., 2011)
4 PAX2 Hipoplasia ginjal, coloboma (Dressler et al., 1993;
renal, Vesicoureteral reflux Nakanishi dan
Yoshikawa, 2003;
Dziarmaga et al.,
2006; Chen et al.,
2008; Harshman dan
Brophy, 2012; de
Miranda et al., 2014)
5 SALL1 Townes-Brocks syndrome, (Kanda et al., 2014;
agenesis ginjal Nishinakamura et al.,
2001)
6 SIX1 Branchio-oto-renal (BOR) (Ruf et al., 2004)
syndrome

7 SIX5 Branchio-oto-renal (BOR) (Hoskins et al., 2007)


syndrome
Sumber: Junior, Miranda dan Silva, 2014; Phua dan Ho, 2016.
23

2. GDNF
Pada mesenkim metanefros, gen SALL1, EYA1 dan SIX1
berperan dalam mengontrol ekspresi GDNF yang berperan penting
dalam percabangan ureter. Defisiensi EYA1 berhubungan dengan
branchio-otorenal syndrome yang ditandai dengan hipoplasia atau
agenesis ginjal. Begitu juga dengan mutasi pada SALL1 dapat
menyebabkan townes-brock syndrome yang ditandai dengan
imperforata anus, tuli sensorineural, agenesis ginjal, hipospadia,
dan hipodisplasia ginjal (Kohlhase et al., 1998; Sahay, 2013).

3. BMP4 (Bone morphogenetic protein)


BMP4 yang berlokasi pada kromosom 14q22.2 merupakan
protein yang berpengaruh dalam perkembangan traktus urinarius.
BMP4 diekspresikan oleh sel stromal ke duktus wolfii dan tunas
ureter. Pada penelitian Miyazaki et al., tikus dengan ekspresi gen
BMP4 yang dikurangi menunjukkan kelainan hidronefrosis.
Heterozigot gen BMP4 dihubungkan dengan ektopik atau
duplikasi tunas ureter. (Junior, Miranda dan Silva, 2014; Sahay et
al.., 2013).

4. PAX2
PAX2 berada di lengan panjang kromosom 10. Gen ini
diekspresikan di duktus wolfii, tunas ureter, dan metanefros.
Beberapa contoh kelainan akibat mutasi PAX2 yaitu hipodisplasia
ginjal, multikistik displasia ginjal dan renal coloboma syndrome.
Renal coloboma syndrome ditandai dengan kelainan ginjal seperti
obstruksi pelvis ureter, dan displasia ginjal. (Junior, Miranda dan
Silva, 2014; Sahay et al., 2013)
24

5. HNF1B (Hepatocyte Nuclear Factor 1-Beta)


HNF1B berperan penting dalam perkembangan
organogenesis dibeberapa jaringan dan organ termasuk ginjal,
pankreas, hati, gonad, usus, dan timus. Mutasi pada HNF1B
berhubungan dengan penyakit yang luas seperti diabetes, kista
ginjal, serta kelainan pada hepar, genital, dan pankreas (Uy dan
Reidy, 2016).

2.1.5.2. Faktor Maternal


Usia risiko kehamilan paling rendah pada saat kehamilan ialah
antara 20-35 tahun (Prawirohardjo, 2011). Usia ibu saat hamil yang
lebih dari 35 tahun dan kurang dari 20 tahun merupakan salah satu
faktor risiko terjadinya kelainan kongenital sistem urogenital.
Kelainan kongenital sistem urogenital meningkat 13,33% dengan
usia ibu yang lebih dari 35 tahun (Bhat et al., 2016). Agenesis ginjal
pada neonatus berhubungan dengan ibu usia muda atau kurang dari
20 tahun, sedangkan jenis kelainan sistem urogenital lainnya
berhubungan dengan ibu usia tua atau lebih dari 35 tahun
(Lukomska et al., 2012). Pada hipospadia, usia ibu yang semakin tua
berbanding lurus terhadap tingkat keparahan kasus. Usia ibu yang
lebih tua akan menimbulkan paparan Endocrine Distrupting
Chemical (EDC) yang lebih lama juga terhadap gangguan endokrin,
sehingga menimbulkan deformitas yang lebih serius. Bahan kimia
Endocrine Distrupting Chemical (EDC) ini sering terkandung dalam
pestisida, dan produk industri (kosmetik, cat, plastik, dan sebagainya)
(Mufida, 2015).
Ibu yang hamil pada usia lebih dari 35 tahun dan kurang dari
20 tahun juga mempunyai risiko aliran darah plasenta yang kurang
baik sehingga dapat menimbulkan gangguan asupan nutrisi pada
25

janin. Terjadinya gangguan pada aliran nutrisi dari ibu ke janin


tersebut akan menimbukan proses metabolisme dan pertumbuhan
pada janin menjadi terhambat mengakibatkan ketidakcukupan hCG
ke fetus yang membuat terganggunya stimulasi pertumbuhan dan
perkembangan sistem urogenital (Carmichael et al., 2013; Mufida,
2015).
Ibu yang hamil kurang dari 20 tahun dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan janin karena belum cukup
dicapainya kematangan fisik, mental dan fungsi organ reproduksi
untuk hamil. Ibu yang kurang dari 20 tahun juga sering memiliki
pengetahuan yang terbatas mengenai kehamilan atau kurangnya
informasi dalam mengakses sistem pelayanan kesehatan (Manuaba,
2003).

2.1.5.3. Faktor Fetus


Di swedia kelainan kongenital sistem urogenital cenderung
banyak terjadi pada laki-laki. Pada kelainan genital, prevalensi laki-
laki 0,9% lebih banyak dibanding perempuan sebesar 0,04% sama
halnya dengan prevalensi kelainan sistem urinarius laki-laki sebesar
0,5% dan perempuan yang hanya 0,2%. Belum ada penjelasan pasti
mengenai kelainan kongenital sisten urogenital yang cenderung
banyak terjadi pada laki-laki. Namun, menurut penelitian Crespo et
al. (2005) terhadap embrio mencit, tingkat pertumbuhan embrio
mencit jantan cenderung lebih cepat dan mempunyai tingkat
metabolik yang tinggi dibanding embrio betina selama fase
preimplantasi yang membuat embrio jantan lebih rentan terhadap
beberapa stressor. Stressor panas pada embrio betina mempunyai
jumlah relatif dari H2O2 yang lebih sedikit dan lebih tahan terhadap
stressor panas dibanding embrio jantan (Crespo et al., 2005). Hal
26

inilah yang diduga berkaitan juga pada saat preimplantasi embrio


pada manusia. Pada saat preimplantasi, embrio laki-laki lebih rentan
terhadap panas yang menginduksi produksi Reactive Oxygen Species
(ROS) daripada preimplantasi embrio perempuan, sehingga
berkontribusi meningkatkan risiko malformasi (Persson et al., 2017).
Faktor lain yang memiliki hubungan dengan terjadinya
kelainan sistem urogenital ialah berat badan lahir yang rendah.
Beberapa hipotesis menjelaskan bahwa kelainan tersebut berkaitan
dengan insufisiensi plasenta. Insufisiensi plasenta dapat
menyebabkan suplai hCG ke fetus berkurang. hCG dibentuk oleh
sinsitiotrofoblast berfungsi sebagai stimulator pertumbuhan dan
perkembangan genitalia eksterna laki-laki secara sempurna pada
masa kehamilan. Apabila suplai hCG ke fetus tidak tercukupi, maka
dapat mengakibatkan kelainan pada perkembangan uretra seperti
hipospadia, pengurangan jumlah nefron dan hipoplasia ginjal
(Mufida, 2015: Welham et al., 2005).
Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa terdapat korelasi
antara kelahiran prematur atau usia gestasi kurang dari 37 minggu
dengan kelainan sistem urogenital. Pada bayi yang lahir prematur,
pematangan organ-organ belum sempurna termasuk organ pada
sistem urogenital. Sehingga, tingkat kecacatan sistem urogenital saat
lahir tinggi dibandingkan dengan bayi yang lahir cukup bulan.
Hal tersebut juga berkaitan dengan disfungsi plasenta yang
terlambat (Mufida, 2015). Insufisiensi plasenta dapat menyebabkan
hipoksia janin. Apabila hipoksia janin berlangsung kronis, hal ini
akan memicu mekanisme redistribusi darah dan berakibat terjadinya
penurunan aliran darah ke ginjal sehingga terjadi oligohidramnion.
Kelainan yang sering dikaitkan dengan oligohidramnion yaitu
kelainan kongenital pada ginjal (Prawirohardjo, 2011).
27

2.1.5.4. Faktor Lingkungan


Defisiensi vitamin A dan konsumsi obat-obatan selama
kehamilan, dilaporkan berhubungan dengan kejadian kelainan
kongenital sistem urogenital. Defisiensi vitamin A selama kehamilan
dapat meningkatkan risiko hipoplasia ginjal, serta pengurangan
jumlah glomerulus. Oleh karena itu, disarankan pemberian dosis
tunggal vitamin A pada ibu hamil saat bulan kelima kehamilan untuk
mencegah kelainan tersebut dan kebanyakan ilmuwan sepakat bahwa
25.000 IU vitamin A adalah kadar ambang untuk teratogenisitas
(Batourina et al., 2005; Sadler, 2009). Konsumsi obat-obatan selama
kehamilan yang berpengaruh terhadap kelainan ini terutama golongan
NSAID dan ACEi (Boubred et al., 2006). obat-obatan anti epilepsi
yang dikonsumsi ibu hamil seperti asam valproat diduga juga dapat
meningkatkan risiko hipospadia (Arpino, 2000).
Penggunaan pestisida atau bahan kimia lain seperti produk
industri (kosmetik, cat, plastik, dan sebagainya) dan pertanian juga
dilaporkan berhubungan dengan beberapa kelainan sistem urogenital
(Maritska et al., 2015; Schug et al., 2011). Hal ini dicurigai berkaitan
dengan adanya paparan Endocrine Distruping Chemicals (EDC) pada
ibu hamil yang sering terdapat pada produk sehari-hari termasuk
plastik (bisphenol A), detergen, kosmetik, pestisida [methoxychlor,
chlorphyrifos, dichlorodiphenyl-trichloroethane (DDT),
organophospate pesticides], fungisida (vinclozolin) dan obat-obatan
(dietilstilbestrol) (Carmichael, 2013; Unuvar dan Buyukgebiz, 2012).
EDC merupakan zat estrogenik atau antiandrogenik yang berperan
besar dalam perkembangan sistem urogenital selama fase intrauterin.
Terdapat penelitian yang mengemukakan bahwa peningkatan
kerusakan sitogenik berhubungan dengan peningkatan usia
28

perempuan dengan pekerjaan yang sering terpapar pestisida (Mufida,


2015).
EDC dapat mengganggu fungsi reproduksi seperti
berkurangnya kualitas semen dan infertilitas, menyebabkan kelainan
sistem urogenital termasuk hipospadia dan cryptochidsm (Schug et
al., 2011). Organophospate pesticides juga dapat menyebabkan
undescended testis dan labial fusion (Unuvar dan Buyukgebiz, 2012).
Pengaruh hormon estrogen sintesis dietilstilbestrol yang dahulu
digunakan untuk mencegah abortus, juga berpengaruh dalam
meningkatkan risiko malformasi kongenital sistem urogenital seperti
malformasi uterus, tuba uterine, vagina bagian atas, malformasi
testis, hipospadia dan kelainan pada hasil analisis sperma (Sadler,
2009).
.2 Kerangka Teori
29

Anda mungkin juga menyukai