Anda di halaman 1dari 5

Jakarta, 22 Maret 2016

Memantau status gizi penduduk secara rutin merupakan bentuk komitmen untuk menjaga
akuntabilitas pelaksanaan program melalui penyediaan data dan informasi berbasis bukti dan
spesifik wilayah untuk daerah dan pusat. Untuk itu, sejak tahun 2014 telah dilaksanakan
Pemantauan Status Gizi (PSG) yang bermanfaat sebagai sumber informasi yang cepat, akurat,
teratur dan berkelanjutan yang dapat digunakan untuk perencanaan, penentuan kebijakan dan
monitoring serta pengambilan tindakan intervensi.

Demikian pernyataan Menteri Kesehatan RI, Prof. dr. Nila Farid Moeloek, Sp.M(K), pada
pembukaan Puncak Peringatan Hari Gizi Nasional ke-56 tahun 2016 di salah satu gedung
pertemuan di kawasan Jakarta Selatan, Selasa pagi (21/3).

Berkaitan dengan hal tersebut, Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan, Ir. Doddy Izwardi,
MA, menjelaskan bahwa tahun 2014, pemantauan status gizi (PSG) masih terbatas di 150
Kabupaten dan Kota di Indonesia dengan jumlah sampel 13.168 balita.. Pada tahun 2015 PSG telah
berhasil dilakukan di seluruh Kabupaten dan kota di Indonesia, yakni 496 Kabupaten/Kotamadya
dengan melibatkan lebih kurang 165.000 Balita sebagai sampelnya.

PSG 2015 menunjukkan hasil yang lebih baik dari tahun sebelumnya. Persentase balita dengan gizi
buruk dan sangat pendek mengalami penurunan. PSG 2015 menyebut 3,8% Balita mengalami gizi
buruk. Angka ini turun dari tahun sebelumnya yakni 4,7%, ujar Ir. Doddy.
Berikut adalah Hasil PSG 2015, antara lain:

 Status Gizi Balita menurut Indeks Berat Badan per Usia (BB/U), didapatkan hasil: 79,7% gizi baik;
14,9% gizi kurang; 3,8% gizi buruk, dan 1,5% gizi lebih.
 Status Gizi Balita Menurut Indeks Tinggi Badan per Usia (TB/U), didapatkan hasil: 71% ormal dan
29,9% Balita pendek dan sangat pendek.
 Status Gizi Balita Menurut Indext Berat Badan per Tinggi Badan (BB/TB), didapatkan hasil,: 82,7%
Normal, 8,2% kurus, 5,3% gemuk, dan 3,7% sangat kurus.

Dari 496 Kab/kota yang dianalisis, sebanyak 404 Kab/Kota mempunyai permasalahan gizi yang
bersifat Akut-Kronis; 20 Kab/Kota mempunyai permasalahan gizi yang bersifat Kronis; 63 Kab/Kota
mempunyai permasalahan gizi yang bersifat Akut; dan 9 Kab/Kota yang tidak ditemukan masalah
gizi. Kesembilan Kab/Kota tersebut, antara lain: 1) Kab. Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan; 2)
Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan; 3) Kab. Mukomuko, Bengkulu; 4) Kota Bengkulu, Bengkulu; 5)
Kab. Belitung Timur, Bangka Belitung; 6) Kota Semarang, Jawa Tengah; 7) Kota Tabanan, Bali; 8)
Kota Tomohon, Sulawesi Utara; dan 9) Kota Depok, Jawa Barat.

Untuk itu, upaya perbaikan gizi bukan hanya yang bersifat intervensi Spesifik (kesehatan)namun
juga diperlukan intervensi Sensitif (non kesehatan), ujar Ir. Doddy.

Intervensi spesifik atau intervensi sektor kesehatan, dengan sasaran khusus kelompok 1000 Hari
Pertama Kehidupan, yaitu Ibu Hamil, Ibu Menyusui, dan anak 0-23 Bulan. Kegiatannya antara lain
berupa imunisasi, pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil (PMT Bumil), PMT Balita, dan
monitoring pertumbuhan Balita di Posyandu.

Sementara intervensi Sensitif atau Non Kesehatan memiliki sasaran masyarakat umu. Biasanya
berupa kegiatan pembangunan pada umumnya non-kesehatan. Kegiatannya antara lain penyediaan
air bersih, kegiatan penanggulangan kemiskinan dan kesetaraan gender.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI.
Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline (kode lokal)
1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan
alamat email kontak[at]kemkes[dot]go[dot]id. - See more at:
http://www.depkes.go.id/article/view/16032200005/tahun-2015-pemantauan-status-gizi-dilakukan-di-
seluruh-kabupaten-kota-di-indonesia.html#sthash.hx9Ubn5N.dpuf

Penyebab dan Dampak Gizi Buruk


Filed under GIZI MASYARAKAT, PUBLIC HEALTH

Pengertian, Dampak, dan Penyebab Gizi


Buruk
Terhadap perkembangan anak, dampak jangka pendek gizi buruk terhadap perkembangan anak menurut Nency
& Arifin (2005), diantaranya menjadikan anak apatis, gangguan bicara dan gangguan perkembangan yang lain.
Sedangkan dampak jangka panjang adalah penurunan skor intelligence quotient (IQ), penurunan
perkembangan kognitif, penurunan i ntegrasi sensori, gangguan pemusatan perhatian, gangguan penurunan
rasa percaya diri dan tentu saja merosotnya prestasi akademik di sekolah. Kurang gizi berpotensi menjadi
penyebab kemiskinan melalui rendahnya kualitas sumber daya manusia dan produktivitas. Tidak heran jika
gizi buruk yang tidak dikelola dengan baik, pada fase akutnya akan mengancam jiwa dan pada jangka panjang
akan menjadi ancaman hilangnya sebuah generasi penerus bangsa

Pengertian yang umum kita gunakan selama ini terkait gizi buruk diantaranya dikemukakan Gibson (2005),
yang mengemukakan bahwa gizi buruk merupakan salah satu klasifikasi status gizi berdasarkan pengukuran
antropometri. Sedangkan pengertian status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh
keseimbangan asupan zat gizi dengan kebutuhan. Keseimbangan tersebut dapat dilihat dari variabel-variabel
pertumbuhan, yaitu berat badan, tinggi badan/ panjang badan, lingkar kepala, lingkar lengan dan panjang
tungkai.

Menurut perkiraan WHO, sebanyak 54% penyebab kematian bayi dan balita disebabkan oleh keadaan gizi
anak yang buruk. Risiko meninggal dari anak yang bergizi buruk 13 kali lebih besar dibandingkan anak yang
normal (World Bank, 2006). Sementara di Indonesia berdasarkan data Susenas tahun 2005 prevalensi balita
gizi buruk masih sebesar 8.8%.
Menurut Depkes RI (2008), gizi buruk adalah suatu keadaaan
kurang gizi tingkat berat pada anak berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) < -3 standar
deviasi WHO-NCHS dan atau ditemukan tanda-tanda klinis marasmus, kwashiorkor dan marasmus
kwashiorkor. Beberapa pengertian gizi buruk menurut Depkes RI (2008) adalah sebagai berikut :
 Gizi buruk: adalah keadaan kurang gizi tingkat berat pada anak berdasarkan indeks berat badan menurut
tinggi badan (BB/TB) <-3 SD dan atau ditemukan tanda-tanda klinis marasmus, kwashiorkor dan
marasmus-kwashiorkor.
 Marasmus: adalah keadaan gizi buruk yang ditandai dengan tampak sangat kurus, iga gambang, perut
cekung, wajah seperti orang tua dan kulit keriput
 Kwashiorkor: adalah keadaan gizi buruk yang ditandai dengan edema seluruh tubuh terutama di punggung
kaki, wajah membulat dan sembab, perut buncit, otot mengecil, pandangan mata sayu dan rambut
tipis/kemerahan.
 Marasmus-Kwashiorkor: adalah keadaan gizi buruk dengan tanda-tanda gabungan dari marasmus dan
kwashiorkor
Beberpa tanda-tanda klinis gizi buruk diatas menurut (Gibson, 2005), sebagai berikut:

1. Marasmus : 1). Badan nampak sangat kurus; 2). Wajah seperti orang tua; 3). Cengeng dan atau rewel; 4).
Kulit tampak keriput, jaringan lemak subkutis sedikit sampai tidak ada (pada daerah pantat tampak seperti
memakai celana longgar/ ”baggy pants”); 5). Perut cekung; 6). Iga gambang; 7). Sering disertai penyakit
infeksi (umumnya kronis) dan diare
2. Kwashiorkor : 1). Edema, umumnya seluruh tubuh, terutama pada punggung kaki; 2). Wajah membulat
(moon face) dan sembab; 3). Pandangan mata sayu; 4). Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut
jagung, mudah dicabut tanpa rasa sakit dan mudah rontok; 5). Perubahan status mental, apatis, dan rewel;
6). Pembesaran hati; 7). Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau
duduk; 8). Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi coklat
kehitaman dan terkelupas (crazy pavement dermatosis); 9). Sering disertai penyakit infeksi (akut), anemia
dan diare.
3. Marasmus Kwashiorkor: Merupakan gabungan dari beberapa gejala klinis marasmus dan kwashiorkor.
Terdapat sebuah model yang dikembangkan Unicef tahun 1990, untuk mengurai faktor penyebab gizi buruk ini
(Soekirman, 2000). Dengan model tersebut, penyebab masalah gizi dibagi dalam tiga tahap, yaitu penyebab
langsung, penyebab tidak langsung dan penyebab mendasar.
1. Terdapat dua penyebab langsung gizi buruk, yaitu asupan gizi yang kurang dan penyakit infeksi.
2. Terdapat 3 faktor pada penyebab tidak langsung, yaitu tidak cukup pangan, pola asuh yang tidak
memadai, dan sanitasi, air bersih/ pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai.
3. Penyebab mendasar/akar masalah gizi buruk adalah terjadinya krisis ekonomi, politik dan sosial termasuk
bencana alam, yang mempengaruhi ketersediaan pangan, pola asuh dalam keluarga dan pelayanan
kesehatan serta sanitasi yang memadai, yang pada akhirnya mempengaruhi status gizi balita.
Sebagai langkah awal penanggulangan masalah gizi buruk diatas, diperlukan sistem kewaspadaan dini dengan
indikator dan alat ukur yang sensitif. Dalam kaitan ini diperlukan sebuah sistem surveilance gizi buruk.
Menurut WHO, survailans gizi merupakan kegiatan pengamatan keadaan gizi, dalam rangka untuk membuat
keputusan yang berdampak pada perbaikan gizi penduduk dengan menyediakan informasi yang terus menerus
tentang keadaan gizi penduduk, berdasarkan pengumpulan data langsung sesuai sumber yang ada, termasuk
data hasil survei dan data yang sudah ada (Mason et al., 1984)

Sementara mdenurut Keputusan Menteri Kesehatan nomor: 1116/Menkes/SK/VI II/2003 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi Kesehatan dan Penyakit salah satu kegiatannya adalah pelaksanaan
SKD KLB. SKD KLB merupakan kewaspadaan terhadap penyakit berpotensi KLB serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya dengan menerapkan teknologi surveilans epidemiologi dan dimanfaatkan untuk
meningkatkan sikap tanggap kesiapsiagaan, upaya pencegahan dan tindakan penanggulangan KLB yang cepat
dan tepat (Depkes RI, 2004).

Beberapa prinsip melaksanakan SKD-KLB gizi buruk tersebut antara lain: Kajian epidemiologi secara rutin;
Peringatan kewaspadaan dini; Peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan.

Sedangkan berbagai upaya yang dapat dilakukan dalam upaya penanggulangan masalah gizi buruk
menurut Depkes RI (2005) dirumuskan dalam beberapa kegiatan berikut :
a. Meningkatkan cakupan deteksi dini gizi buruk melalui penimbangan bulanan balita di posyandu.
b. Meningkatkan cakupan dan kualitas tata laksana kasus gizi buruk di puskesmas / RS dan rumah tangga.
c. Menyediakan Pemberian Makanan Tambahan pemulihan (PMT-P) kepada balita kurang gizi dari keluarga
miskin.
d. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ibu dalam memberikan asuhan gizi kepada anak (ASI/MP-
ASI).
e. Memberikan suplemen gizi (kapsul vitamin A) kepada semua balita

Liputan6.com, Jakarta Kekurangan gizi dan gizi buruk bisa menganggu proses tumbuh kembang
anak. Bahkan anak yang mengalami gizi buruk di masa bayi berpotensi mengalami penurunan IQ di
masa depan karena kemampuan kognitif tidak bekerja optimal.

Kasus menurunnya IQ pada anak yang mengalami gizi buruk menimpa seorang anak yang menjadi
pasien Damayanti Rusli Sjarif, dokter spesialis anak konsultan dari Divisi Nutrisi dan Penyakit
Metabolik di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM)

BACA JUGA

 Ini yang Terjadi Pada Bayi Kalau Ibu Suka Telat Makan Saat Hamil
 Ini yang Harus Dilakukan Orangtua untuk Cegah Anak Obesitas
 Derita Balita Idap Gizi Buruk karena HIV/AIDS
"Anak ini datang pada usia 16 bulan. Yang harusnya sudah bisa jalan, tapi dia masih tiduran. Kami
mengganti susu yang untuk alergi, yang ekstensif hidrolisat. Kemudian dalam waktu sembilan bulan
anak itu membaik, mukanya sudah cerah, perutnya sudah berisi, sudah bisa berjalan," kata
Damayanti dalam Seminar & Talkshow Interaktif Makanan Pendamping ASI oleh Badan
Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia di Hotel Bidakara, Rabu (9/11/2016).

Pasien anak yang tidak disebutkan namanya mengalami kekurangan gizi akibat sang ibu hanya
memberikan ASI selama empat bulan, lalu menggantinya dengan susu formula. Sang ibu yang tidak
mengetahui bahwa buah hatinya alergi terhadap susu sapi justru menggantinya dengan susu soya.
Yang membuat keadaan anak semakin memburuk. Damayanti menegaskan bahwa susu soya
bukan susu untuk anak yang alergi.

"Dari fisik berat badan anak sudah naik, status gizinya sudah naik. Kita lihat ke otaknya,
saat gizi buruk maka jaringan otaknya sedikit seperti tulang ikan yang membuat anak tidak
bisa ngapa-ngapain, hanya bisa tiduran saja," kata Damayanti.

Dalam waktu enam minggu saat anak mendapatkan makanan yang sudah tepat, jaringan otaknya
kembali membaik. Namun, menurut Damayanti anak tersebut masih mengalami perubahan
khususnya pada kognitif di masa depan.

"Sebuah penelitian akhirnya dilakukan pada anak yang pernah mengalami gizi buruk. Ternyata IQ-
nya turun sangat banyak dan penelitian ini dilakukan sampai anak umur 14 tahun. Bahkan sebuah
penelitian yang lebih panjang lagi, sampai dengan 40 tahun menunjukkan anak-anak yang pernah
mengalami gizi kurang dan gizi buruk itu 65 persen IQ mereka tidak lebih dari 90," kata
Damayanti mengungkapkan.

Kemudian Damayanti menjelaskan, anak yang memiliki IQ tidak lebih dari 90 poin, rata-rata hanya
bisa menjalankan pendidikan sampai kelas 3 SMP.

"Hal ini menunjukkan bahwa dampak dari malnutrisi di 1000 hari pertama tidak bisa diperbaiki," kata
Damayanti.

Anda mungkin juga menyukai