Adrian Wirahamedi
(1261050064)
Pembimbing: dr.Rita Juniriana P., SpA
STATUS PASIEN
Identitas
Identitas Pasien
Nama Lengkap : An. BMF
Tanggal Lahir : 28 April 2013
Umur : 3 tahun 10 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan : PAUD
Alamat : Gunung Pabuaran RT03/007, Cicadas, Gn. Putri, Bogor
Tanggal masuk RS: 13 Maret 2017
Tanggal keluar RS: 21 Maret 2017
Status Pasien
Orang Tua / Wali
Ayah
Nama Lengkap : Tn. S
Tanggal Lahir : 28 Juli 1975
Suku : Jawa
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Alamat : Gunung Pabuaran RT03/007, Cicadas, Gn. Putri, Bogor
Ibu
Nama Lengkap : Ny. I
Tanggal Lahir : 06 Januari 1981
Suku : Jawa
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Alamat : Gunung Pabuaran RT03/007, Cicadas, Gn. Putri, Bogor
ANAMNESIS
Alloanamnesis ibu kandung pasien pada tanggal 17 Maret
2017
Kelahiran
Tempat Lahir : Praktek bidan
Penolong Persalinan : Bidan
Cara Persalinan : Spontan
Penyulit : KPD (durasi 2 jam), terlilit tali pusar
Masa Gestasi : kurang bulan (36 minggu)
Keadaan Bayi
Berat Badan Bayi : 1900 gram
Panjang Badan : 45 cm
Lingkar Kepala : ibu pasien lupa
Menangis : tidak langsung menangis, 1 menit setelah diberi rangsanga baru
mengangis
Kelainan Bawaan : VSD
Apgar : ibu pasien lupa (kondisi pasien bergerak aktif dan 1 menit
setelah diberi rangsangan baru menangis)
Kesan : Riwayat kehamilan kurang bulan serta penyulit KPD dengan persalinan normal.
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :
Pertumbuhan gigi I : Umur 6 bulan (Normal: 5-9 bulan)
Gangguan perkembangan mental : Tidak ada
Psikomotor
Tengkurap : Umur 4 bulan (Normal: 4-5 bulan)
Berdiri : Umur 10 bulan (Normal: 9-12 bulan)
Berjalan : Umur 13 bulan (Normal: 13 bulan)
Bicara : Umur 12 bulan (Normal: 9-12 bulan)
Baca dan Tulis : Umur 6,5 tahun
Kesan :Pertumbuhan dan perkembangan pasien sesuai dengan umurnya
Riwayat Imunisasi
Status Gizi
Berat Badan : 8,7 kg
Tinggi Badan : 78 cm
Lingkar Lengan Atas : 9,5 cm
Pemeriksaan Neurologis :
Nervus Cranialis :
I : Normosomia
II : Visus DBN
III, IV, VI : Bola mata letak ditengah, RCL +/+, RCTL +/+, Strabismus -/-, Ptosis
-/-
V : Rasa Raba Simetris
VII : Wajah Simetris
IX,X : Disfagia (-), Disartia (-), Disfonia (-)
XI : Menoleh (+)
XII : Sulit Diniliai
Pemeriksaan Refleks
Refleks fisiologis : Biceps ++/++, Triceps ++/++, KPR ++/++, APR ++/++
Refleks Patologis : Babinski -/-, Chaddock -/-, Rossolimo -/-, Mendel -/-
Tanda Vital
Tekanan Darah :-
Nadi : 100 x/menit, reguler, isi cukup, ekual kanan kiri
Suhu : 38,3 C
Pernapasan : 21 x/menit
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak
Palpasi : Ictus Cordis teraba
Perkusi : tidak dilakukan pemeriksaan batas jantung
Auskultasi : SISII reguler, murmur (+), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : tampak mendatar
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : Supel, hepar tidak teraba membesar dan lien tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani di semua kuadran abdomen, ascites (-).
Kulit
Distribusi : universal
Efloresensi : DBN
Klasifikasi PJB
Penyakit Jantung Bawaan Asianotik
Penyakit jantung bawaan asianotik adalah kelainan
struktur dan fungsi jantung yang dibawa sejak lahir dan
sesuai dengan namanya, pasien ini tidak ditandai dengan
sianosis. Penyakit jantung bawaan ini merupakan bagian
terbesar dari seluruh penyakit jantung bawaan.
Bergantung pada ada tidaknya pirau (kelainan berupa
lubang pada sekat pembatas antar jantung), kelompok ini
dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
PJB asianotik dengan pirau
Adanya celah pada septum mengakibatkan terjadinya aliran pirau
(shunt) dari satu sisi ruang jantung ke ruang sisi lainnya. Karena
tekanan darah di ruang jantung sisi kiri lebih tinggi disbanding sisi
kanan, maka aliran pirau yang terjadi adalah dari kiri ke kanan.
Akibatnya, aliran darah paru berlebihan. Aliran pirau ini juga bisa
terjadi bila pembuluh darah yang menghubungkan aorta dan
pembuluh pulmonal tetap terbuka. Karena darah yang mengalir dari
sirkulasi darah yang kaya oksigen ke sirkulasi darah yang miskin
oksigen, maka penampilan pasien tidak biru (asianotik). Namun,
beban yang berlebihan pada jantung dapat menyebabkan gagal
jantung kiri maupun kanan. Yang termasuk PJB asianotik dengan
aliran pirau dari kiri kanan ialah :
a) Atrial Septal Defect (ASD)
Atrial Septal Defect (ASD) atau defek septum atrium adalah kelainan akibat adanya lubang
pada septum intersisial yang memisahkan antrium kiri dan kanan. Defek ini meliputi 7-10%
dari seluruh insiden penyakit jantung bawaan dengan rasio perbandingan penderita
perempuan dan laki-laki 2:1. Berdasarkan letak lubang defek ini dibagi menjadi defek
septum atrium primum, bila lubang terletak di daerah ostium primum, defek septum atrium
sekundum, bila lubang terletak di daerah fossa ovalis dan defek sinus venosus, bila lubang
terletak di daerah sinus venosus, serta defek sinus koronarius. Sebagian besar penderita
defek atrium sekundum tidak memberikan gejala (asimptomatis) terutama pada bayi dan
anak kecil, kecuali anak sering batuk pilek sejak kecil karena mudah terkena infeksi paru.
Bila pirau cukup besar maka pasien dapat mengalami sesak napas. Diagnosa dapat dilakukan
dengan pemeriksaan fisik yakni dengan askultasi ditemukan murmur ejeksi sistolik di daerah
katup pulmonal di sela iga 2-3 kiri parasternal. Selain itu terdapat juga pemeriksaan
penunjuang seperti elektrokardiografi (EKG) atau alat rekam jantung, foto rontgen jantung,
MRI, kateterisasi jantung, angiografi koroner, serta ekokardiografi. Pembedahan dianjurkan
untuk semua penderita yang bergejala dan juga yang tidak bergejala dan penutupan defek
tersebut dilakukan pada pembedahan jantung terbuka dengan angka mortalitas kurang dari
1%.
b) Ventricular Septal Defect (VSD)
Defek septum ventrikel atau Ventricular Septal Defect
(VSD) merupakan kelainan berupa lubang atau celah
pada septum di antara rongga ventrikal akibat kegagalan
fusi atau penyambungan sekat interventrikel. Defek ini
merupakan defek yang paling sering dijumpai, meliputi
20-30% pada penyakit jantung bawaan.
Berdasarkan letak defek, VSD dibagi menjadi 3 bagian,
yaitu defek septum ventrikel perimembran, defek septum
ventrikel muskuler, defek subarterial. Prognosis kelainan
ini memang sangat ditentukan oleh besar kecilnya defek.
Pada defek yang kecil seringkali asimptomatis dan anak
masih dapat tumbuh kembang secara normal. Sedangkan
pada defek baik sedang maupun besar pasien dapat
mengalami gejala sesak napas pada waktu minum,
memerlukan waktu lama untuk
menghabiskan makanannya, seringkali menderita infeksi
paru dan bahkan dapat terjadi gagal jantung. Pada
pemeriksaan fisik, terdengar intensitas bunyi jantung ke-2
yang menigkat, murmur pansistolik di sela iga 3-4 kiri
sternum dan murmur ejeksi sistolik pada daerah katup
pulmonal. Terapi ditujukan untuk mengendalikan gejala
gagal jantung serta memelihara tumbuh kembang yang
normal. Jika terapi awal berhasil, maka pirau akan
menutup selama tahun pertama kehidupan. Operasi
dengan metode transkateter dapat dilakukan pada anak
dengan risiko rendah (low risk) setelah berusia 15 tahun.
3 Hubungan Penyakit Jantung Bawaan dengan Kejadian ISPA
Perubahan dalam sirkulasi paru menyebabkan perubahan sistem pernapasan disertai penurunan kekebalan
seluler setempat yang memudahkan pasien terutama anak-anak terserang infeksi saluran pernapasan. PJB
asianotik mengalami peningkatan beban volume dan beban tekanan pada jantung membuat aliran darah ke
jantung menjadi bertambah.
Bertambahnya volume darah dalam paru-paru menurunkan kelenturan pulmonal dan menaikkan kerja
pernafasan. Peningkatan tekanan intravaskuler pada kapiler paru menyebabkan edema paru. Edema paru
ini yang menyebabkan gejala ISPA pada anak.
Sedangkan pada PJB sianotik dengan pirau kanan ke kiri sering ditemukan hipoksemia karena derajat
stenosis pulmonalnya bertambah setiap waktu sehingga meningkatkan risiko serangan hipersianotik.
Pasien juga akan mengalami penurunan volume paru, hipoplasia jalan napas serta gangguan ventilasi
perfusi. Semuanya ini akan menyebabkan kerusakan mukosa saluran napas, gangguan imunitas dan pada
akhirnya meningkatkan risiko infeksi saluran pernapasan.
Status gizi pada anak dengan PJB juga menjadi peranan penting dalam terjadinya infeksi penyakit. Dalam
keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap
infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun yang berarti
kemampuan tubuh mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi turun.
.
Penyakit jantung bawaan sendiri akan mengurangi jumlah
asupan makanan karena hipoksemia menyebabkan kelelahan
saat makan dan pada akhirnya mengakibatkan kekurangan gizi.
Pada keadaan gizi kurang, balita akan lebih mudah terserang
ISPA berat bahkan serangannya lebih lama Penelitian yang
dilakukan pada tahun 2005 mengenai ISPA pada anak dengan
penyakit jantung bawaan memberikan hasil bahwa didapatkan
rerata episode ISPA pada PJB asianotik 9-10 kali/tahun dan
pada PJB sianotik 15-16 kali/tahun.
Hal ini membuktikan bahwa anak PJB baik asianotik maupun
sianotik seringkali mengalami infeksi saluran napas dan bila
terkena lebih lama sembuh dibanding anak yang normal rata-
rata bisa mengalami episode ISPA 7- 9 kali per tahun
2.4 VSD (Ventricular Septal Defect)
VSD (Ventricular Septal Defect) adalah Penyakit Jantung
Bawaan (PJB) dimana terdapat lubang pada sekat pemisah
antara bilik kiri dan bilik kanan jantung (Ventricular
Septal). Defek septum ventrikel atau Ventricular Septal
Defect (VSD) adalah gangguan atau lubang pada septum atau
sekat di antara rongga ventrikel akibat kegagalan fusi atau
penyambungan sekat interventrikel.Kelainan ini tergolong
paling sering dijumpai diantara PJB lainnya. VSD terjadi pada
1,5 3,5 dari 1000 kelahiran hidup dan sekitar 20-25% dari
seluruh angka kejadian kelainan jantung kongenital. Umumnya
lubang terjadi pada daerah membranosa (70%) dan muscular
(20%) dari septum.
Pada penderita VSD terjadi tekanan di bilik kiri jantung
lebih tinggi dibanding bilik kanan, maka darah bersih di
bilik kiri yang semestinya beredar ke pembuluh utama
aorta untuk didistribusikan ke seluruh tubuh, sebagian
akan mengalir ke bilik kanan melewati VSD. Pasien tidak
terlihat biru, karena memang tak ada darah kotor yang
mengalir ke sirkulasi darah bersih.
Apabila aliran darah ke bilik kanan dan pembuluh darah paru melebihi jantung
normal. Akibatnya, paru-paru seolah-olah kebanjiran dan pasien merasa sesak
nafas, sulit minum, sering infeksi saluran nafas/paru (BP = bronkopnemonia),
berat badannya pun sulit naik. Kondisi ini terjadi bila lubang VSD besar, dan
umumnya harus dilakukan operasi. Kalau lubang VSD kecil/sedang dan letaknya
di area ventricular septum tertentu, memang bisa menutup atau mengecil sendiri.
4 tipe VSD :
VSD kecil : Biasanya tak ada gejala. Bising biasanya bukan pansistolik, tetapi
bising akhir sistolik tepat sebelum S2.
VSD sedang : Gejala tidak berat, berupa lekas lelah, batuk karena radang paru,
atau gagal jantung ringan. Bising pansistolik cukup keras (lihat di atas).
VSD besar : Sering dengan gagal jantung pada umur1-3 bulan, sering dengan
infeksiparu, kenaikan berat badan lambat. Bising seperti pada VSD sedang (lihat
atas).
VSD besar dengan hipertensi pulmonal menetap (Sindrom Eisenmenger) : Anak
sianosis; Bising sistolik lemah tipe ejeksi (lihat atas); Ada klik sistolik pendek
sesudah suara I.
Gejala klinis
Pasien dengan VSD ringan umumnya tidak menimbulkan
keluhan. Sepuluh persen dari bayi baru lahir dengan VSD
yang besar akan menimbulkan gejala klinis dini seperti
takipnue (napas cepat), tidak kuat menyusu, gagal
tumbuh, gagal jantung kongestif, dan infeksi saluran
pernafasan berulang.
Gejala Klinis
Roentgen dada yang akan memberikan hasil kondisi dan
anatomi jantung yang normal (apabila VSD kecil) sampai
dengan kardiomegali (pembengkakan jantung) serta
peningkatan corakan vascular (pembuluh darah) paru.
EKG (Electro Cardiography) alat rekam jantung serta
ekokardiografi dengan doppler.
Kateterisasi
Pemeriksaan Penunjang
INDIKASI PERAWATAN DI RUMAH SAKIT : Gagal
jantung berat., Sering menderita bronkitis (sebagai salah
satu gejala gagal jantung kiri), Ada kenaikan tekanan
sirkulasi kecil a. pulmonalis (P2 sangat keras). Akan
dilakukan tindakan kateterisasi/operasi jantung terbuka
Tatalaksana
TERAPI KONSERVATIF
Tatalaksana gagal jantung kalau ada, kelainan lain (infeksi, kurang
gisi) dan Pencegahan endokarditis infeksiosa
Pada usia 2 tahun, minimal sebanyak 50% VSD yang berukuran kecil
atau sedang akan menutup secara spontan baik sebagian atau
seluruhnya sehingga tidak diperlukan tatalaksana bedah. Operasi
penutupan sekat pada bayi usia 12-18 bulan direkomendasikan
apabila terdapat VSD dengan gagal jantung kongestif atau penyakit
pembuluh darah pulmonal. Gangguan atau lubang yang berukuran
sedang namun tanpa disertai dengan peningkatan tekanan pembuluh
darah pulmonal, penanganannya dapat ditunda. Terapi pengobatan
untuk profilaksis atau pencegahan endokarditis (peradangan pada
endokardium atau selaput jantung bagian dalam) diberikan untuk
semua pasien dengan VSD.
TATALAKSANA PENDERITA RAWAT JALAN
Medikamentosa : Pada penderita tanpa gagal jantung tidak perlu.
Penderita dengan gagal jantung ringan (dengan gejala batuk) perlu
digitalisasi rumatan, diuretik dan vasodilator (lihat bab gagal
jantung).
Kontrol : Untuk penderita tanpa keluhan : setiap 1-6 bulan, Untuk
penderita dengan keluhan : tiap bulan
Pemantauan : Keluhan, Gejala klinis : diperhatikan perubahan
bising, dari pansistolik pendek serta klik sistolik, P2 mengeras (ke
arah munculnya Sindrom Eisenmenger). Kalau perlu EKG dan foto
Rontgen dada posisi tegak
Operasi. Motivasi operasi setelah anak berumur 2-6 tahun, bila
keadaan umum anak baik, sebelum ada hipertensi pulmonal operasi
dapat dikerjakan pada umur lebih muda.
Operatif :
VSD kecil : biasanya tidak perlu, kadang-kadang menutup
spontan.
VSD sedang : kalau tidak ada gagal jantung dapat ditunggu
sampai anak berusia 2-4 tahun dengan berat badan minimal 10
kg, sekarang operasi dapat dipertimbangkan pada umur yang
lebih muda.
VSD besar dengan hipertensi pulmonal yang belum menetap:
dikerjakan operasi paliatif setelah gagal menangani gagal
jantungnya (operasi tidak langsung menutup defek, tetapi
dengan operasi pengikatan batang a. Pulmonalis = Pulmonary
artery banding), setelah umur 4-6 tahun defek belum menutup,
dikerjakan koreksi total.
Pneumonia
Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut
bagian bawah yang mengenai parenkim paru. Pneumonia
pada anak dibedakan menjadi (Bennete, 2013) :
1. Pneumonia lobaris
2. Pneumonia interstisial (bronkiolitis)
3. Bronkopneumonia
Bronkopneumonia
Bronkopneumonia adalah peradangan pada
parenkim paru yang melibatkan bronkus atau bronkiolus
yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy
distribution). Pneumonia merupakan penyakit peradangan
akut pada paru yang disebabkan oleh infeksi
mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan oleh
penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas
setempat
Definisi
Bronkopneumonia
Patogenesis
Normalnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai
parenkim paru. Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme
pertahanan anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik.
Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan
mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan
respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin,
makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel.
Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila
virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian
bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas bagian
atas, dan jarang melalui hematogen. Virus dapat meningkatkan kemungkinan
terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan mempengaruhi
mekanisme pembersihan dan respon imun. Diperkirakan sekitar 25-75 % anak
dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus.
Patogenesis
Bronkopneumonia
Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi eksudatif jaringan ikat
paru yang bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar, atau intersisial. Pneumonia
bakteri dimulai dengan terjadinya hiperemi akibat pelebaran pembuluh darah,
eksudasi cairan intra-alveolar, penumpukan fibrin, dan infiltrasi neutrofil, yang
dikenal dengan stadium hepatisasi merah. Konsolidasi jaringan menyebabkan
penurunan compliance paru dan kapasitas vital. Peningkatan aliran darah yamg
melewati paru yang terinfeksi menyebabkan terjadinya pergeseran fisiologis
(ventilation-perfusion missmatching) yang kemudian menyebabkan terjadinya
hipoksemia. Selanjutnya desaturasi oksigen menyebabkan peningkatan kerja
jantung.
Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan fibrin dan disintegrasi
progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu). Pada kebanyakan kasus,
resolusi konsolidasi terjadi setelah 8-10 hari dimana eksudat dicerna secara
enzimatik untuk selanjutnya direabsorbsi dan dan dikeluarkan melalui batuk.
Apabila infeksi bakteri menetap dan meluas ke kavitas pleura, supurasi
intrapleura menyebabkan terjadinya empyema. Resolusi dari reaksi pleura dapat
berlangsung secara spontan, namun kebanyakan menyebabkan penebalan
jaringan ikat dan pembentukan perlekatan
Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral
dengan peningkatan corakan bronkhovaskular dan
infiltrat kecil dan halus yang tersebar di pinggir lapang
paru. Bayangan bercak ini sering terlihat pada lobus
bawah.
Pemeriksaan penunjang
. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan
jumlah leukosit. Hitung leukosit dapat membantu membedakan
pneumoni viral dan bakterial. Infeksi virus leukosit normal
atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit
predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000
/mm3 dengan neutrofil yang predominan. Pada hitung jenis
leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta peningkatan
LED. Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan
hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis
respiratorik. Isolasi mikroorganisme dari paru, cairan pleura
atau darah bersifat invasif sehingga tidak rutin dilakukan
Komplikasi
Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari
penyebaran bakteri dalam rongga thorax (seperti efusi
pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran
bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif,
dan osteomielitis adalah komplikasi yang jarang dari
penyebaran infeksi hematologi
Komplikasi
Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada anak
terdiri dari 2 macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus.
1. Penatalaksaan Umum
a. Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak
nafas hilang atau PaO2 pada analisis gas darah 60 torr.
b. Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
c. Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.
Penatalaksanaan
Pneumonia
2. Penatalaksanaan Khusus
a. Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya
tidak diberikan pada 72 jam pertama karena akan
mengaburkan interpretasi reaksi antibioti awal.
b. Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita
dengan suhu tinggi, takikardi, atau penderita kelainan jantung
c. Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme
penyebab dan manifestasi klinis. Pneumonia
ringan amoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis (di wilayah dengan
angka resistensi penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan
menjadi 80-90 mg/kgBB/hari).
Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi :
1. Kuman yang dicurigai atas dasar data klinis, etiologis dan
epidemiologis
2. Berat ringan penyakit
3. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis
4. Ada tidaknya penyakit yang mendasari
Pemilihan antibiotik dalam penanganan pneumonia pada anak harus
dipertimbangkan berdasakan pengalaman empiris, yaitu bila tidak
ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72 jam
pertama) menurut kelompok usia.
1. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :
a. ampicillin + aminoglikosid
b. amoksisillin - asam klavulanat
c. amoksisillin + aminoglikosid
d. sefalosporin generasi ke-3
2. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)
a. beta laktam amoksisillin
b. amoksisillin - asam klavulanat
c. golongan sefalosporin
d. kotrimoksazol
e. makrolid (eritromisin)
3. Anak usia sekolah (> 5 thn)
a. amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)
b. tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)
Kesimpulan
Penyakit Jantung Bawaan dan ISPA (Bronkopneumonia)
mempunyai keterkaitan yang cukup erat dan saling
mempengaruhi, oleh sebab itu diperlukan penatalaksanaan
yang tepat pada kedua penyakit tersebut, yang pertama terapi
tepat pada Bronkopneumonia dengan antibiotic yang tepat
sangat diperlukan dalam kaitan dengan PJB agar tidak
memperburuk keadaan pasien, selanjutnya pada
penatalaksanaan PJB diperlukan penatalaksanaan secara
operatif dan tepat sesuai tingkat berat nya PJB dalam kasus ini
adalah VSD
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
World Health Organization, author. Pneumonia. Fact sheet. 2015. Oct, [March 2017].
Owayad AF, Campbell DM, Wang EE. Underlying causes of recurrent pneumonia in
children. Arch Pediatr Adolesc Med. 2000;154:190194.
McDaniel NL, Gutgesell HP. Ventricular septal defect. In: Allen HD, Gutgesell HP, Clark
EB, Driscoll DJ, editors. Moss and Adams Heart disease in infants, children and adolescents,
in the fetus and young adults. Sixth Ed. Philadelphia USA: Lippincott Williams and Wilkins;
2001. pp. 636651.
Feldt RH, Edwards WD, Porter CJ, Dearani JA, Seward JB, Puga FJ. Atrioventricular septal
defect. In: Allen HD, Gutgesell HP, Clark EB, et al., editors. Moss and Adams Heart disease
in infants, children and adolescents, in the fetus and young adults. Sixth Ed. Philadelphia
USA: Lippincott Williams and Wilkins; 2001. pp. 619635.
Ruschhaupt DG. Truncus arteriosus. In: Koenig P, Hijazi ZM, Zimmerman F,
editors. Essential pediatric cardiology. London: McGraw-Hill Medical Publishing; 2004. pp.
253258.
Patel HT. Basic pathophysiology: left to right shunts. In: Koenig P, Hijazi ZM, Zimmerman
F, editors. essential pediatric cardiology. London: McGraw-Hill Medical Publishing; 2004.
pp. 7787.
Sadoh WE. Natural history of ventricular septal defect in Nigerian children. South Afr J Child
Hlth. 2010;4:1619.
Wald E. Recurrent pneumonia in children. Adv Pediatric Infect Dis. 1990;5:183203. [PubMed]
Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, Butler J, Casey DE, Drazner MH, et al. ACCF/AHA guideline for the
management of heart failure: a report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines. J Am Coll Cardiol. 2013; 62(16):e147-239
Siswanto BB, Hersunarti N, Erwinanto, Barack R, Pratikto RS, Nauli SE, et al. Pedoman tatalaksana gagal
jantung. Edisi ke-1. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). 2015. hlm.
14-28
Baim, Donald S. Hypertensive vascular disease. Dalam: Harrisons Principles of Internal Medicine. Edisi
ke-7. USA: Mcgraw-Hill; 2008. hlm 241
Rani, A. Aziz. Gagal jantung kronik. Dalam: Panduan Pelayanan Medik, Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta: PB PAPDI; 2008. hlm 54-6
Davy P. At a glance medicine. Jakarta: EGC; 2010
Sadoh WE, Nwaneri DU, Owobo AC. The cost of out-patient management of chronic heart failure in
children with congenital heart disease. Nig J Clin Pract. 2011;14:6569. [PubMed]
Djojodibroto RD. Respirologi: respiratory medicine. Jakarta: EGC; 2009