RHINITIS ALERGI
Oleh:
Preceptor:
Puji dan syukur kami ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyusun makalah
Case report ini. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas dalam
kepaniteraan klinik pada bagian THT-KL RS Dr. H. Abdul Moeloek.
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan laporan kasus ini, baik
dari segi isi, bahasa, analisis dan sebagainya. Oleh karena itu, penulis ingin
meminta maaf atas segala kekurangan tersebut, hal ini disebabkan karena masih
terbatasnya pengetahuan, wawasan dan keterampilan penulis. Selain itu, kritik dan
saran dari pembaca sangat diharapkan guna kesempurnaan makalah selanjutnya
dan sebagai bahan pembelajaran untuk kita semua. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat dan dapat memberikan wawasan berupa ilmu pengetahuan untuk kita
semua.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Rinitis alergi (RA) merupakan reaksi radang yang diperantarai oleh IgE setelah
terjadi paparan alergen. Gejala RA meliputi rinore, hidung tersumbat, gatal pada
hidung, dan bersin-bersin yang revesibel baik secara spontan ataupun dengan
pengobatan. Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang mengenai
kurang lebih 10-25% populasi di seluruh dunia. Data epidemiologik RA di
Indonesia berdasrkan penelitian dari beberapa sentra pendidikan didapatkan angka
prevalensi yang bervariasi antara 1,14-23,34%. Pada survey di Semarang dengan
menggunakan kuesioner ISAAC pada murid SMP usia 13-14 tahun didapatkan
sebesar 18,6%.
2.2 ANAMNESIS
Anamnesis pada pasien dilakukan secara autoanamnesis dan alonamanesis
pada tanggal 10 September 2019 di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. H. Abdul
Moeloek.
Keluhan Utama:
Hidung tersumbat hilang timbul sejak ±6 bulan yang lalu.
Keluhan Tambahan:
Bersin-bersin, hidung berair, gatal, dan mata berair.
Status Generalis
Kepala : Normocephal, tidak ada kelainan
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera anikterik
Leher : Pembesaran KGB leher (-), nyeri tekan (-)
Thoraks : Jantung dan paru dalam batas normal
Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Tidak tampak edema tungkai
Hidung
HIDUNG LUAR KANAN KIRI
Inspeksi
Bentuk Simetris kanan dan kiri
Sikatrik (-) (-)
Hematom (-) (-)
Palpasi
Nyeri Tekan Sinus Paranasal (-) (-)
Krepitasi (-) (-)
Massa (-) (-)
Cavum Oris
CAVUM ORIS Hasil Pemeriksaan
Mukosa Tidak hiperemis
Gingiva Ulkus (-), edema (-)
Gigi Karies dentis (-)
Lidah Bentuk normal, atrofi papil (-)
Palatum Durum Permukaan licin
Palatum Mole Permukaan licin
Uvula Posisi letak tengah
Tumor Tidak ditemukan
Faring
FARING Hasil Pemeriksaan
Dinding Faring Edema (-), Granular (-)
Mukosa Hiperemis (-)
Uvula Ditengah
Arkus Faring Simetris, Hiperemis (-)
Sekret Tidak Ada
Tonsil
TONSIL Hasil Pemeriksaan
Pembesaran T1-T1
Kripta Tidak Melebar
Detritus Tidak Ada
Perlekatan Tidak Ada
Sikatrik Tidak Ada
Pemeriksaan Laring
Tidak dilakukan pemeriksaan
2.8 PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
Fluticasone furoate 27,5 mcg nasal spray 1x2 puff
Cetirizine 1x10mg
Non‒ Medikamentosa
Kontrol ulang 2 minggu kemudian
Hindari faktor resiko pencetus (debu) dengan menggunakan masker,
menjaga kebersihan rumah, dan kurangi mengucek hidung
2.9 PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Ad bonam
Quo ad Functionam : Ad bonam
Quo ad Sanationam : Ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Septum membagi kavum nasi menjadi ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian
anterior oleh kartilago septum, premaksila dan kolumela
membranosa. Bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista
maksila, krista palatina dan krista sfenoid. Pada bagian depan septum
terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid
anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut
Pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi
sumber epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada anak.
3.3 Epidemiologi
Prevalensi rinitis alergi di Indonesia mencapai 1,5-12,4% dan cenderung
mengalami peningkatan setiap tahunnya. Rinitis alergi lebih sering dijumpai
pada anak usia sekolah, dijumpai pada sekitar 15% anak usia 6-7 tahun dan
40% pada usia 13-14 tahun. Sekitar 80% pasien rinitis alergi mulai timbul
gejala sebelum usia 20 tahun. Meskipun rinitis alergi lebih banyak muncul
pada anak yang lebih besar, namun pajanan alergen (sensitisasi) sudah
terjadi sejak dini. Seorang anak yang mempunyai salah satu gejala atopi
(rinitis alergi, asma, eksim) mempunyai risiko 3 kali lebih besar untuk
menderita gejala atopi yang berikutnya.
3.4 Etiologi
Untuk menimbulkan reaksi alergi harus dipenuhi 2 faktor, yaitu adanya
sensitivitas terhadap suatu alergn (atopi) yang biasanya bersifat herediter
dan adanya kontak ulang dengan alergen tersebut. Contoh alergen tersebut
antara lain serbuk bunga, bulu hewan maupun debu rumah (Soepardi,2012).
Selain itu, gejala rinitis alergi dapat dicetuskan oleh berbagai faktor,
diantaranya adalah pajanan udara dingin, debu, uap, bau cat, polusi udara,
bubuk detergen, serta bau minuman beralkohol. Umumnya faktor pencetus
ini berupa iritan non spesifik. Alergen penyebab pada bayi dan anak sering
disebabkan oleh alergen makanan, sedangkan alergen inhalan lebih berperan
pada anak yang lebih besar (UNAIR, 2017).
3.5 Patofisiologi
Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction
atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak
dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction
atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan
puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung sampai 24-48 jam. Pada kontak pertama dengan alergen atau
tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji
(Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di
permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major Histocompatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0).
Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang
akan mengaktifkan Th0 utuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan
IL-13 dapat diikat oleh reseptornya dipemukaan sel limfosit B, sehingga
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE
di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan di ikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini
menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator
yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan
alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik
dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan
akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed
Mediator) tertama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly
Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4
(LT D4), Leukotrien C4 (LT D4), bradikinin, Platelet Activating Factor
(PAF) dan berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte
Macrophage Colony Stimulating Factor). Inilah yang disebut sebagai reaksi
alergi fase cepat.
3.6 Klasifikasi
Klasifikasi alergen berdasarkan cara masuknya:
1. Alergen inhalan : debu rumah, tungau, kapuk
2. Alergen ingestan : udang, telur, ikan, coklat
3. Alergen injektan : penisilin, sengatan lebah
4. Alergen kontaktan : bahan kosmetik, perhiasan
5. Faktor non-spesifik : asap rokok, bau yang merangsang, polutan, bau
parfum, perubahan cuaca, kelembaban tinggi
3.7 Diagnosis
3.7.1 Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan adalah lama, frekuensi, waktu
timbulnya dan beratnya penyakit, persisten atau intermiten. Gejala
yang ditanyakan berupa hidung berair, hidung tersumbat, postnasal
drip, gatal di hidung dan palatum, bersin-bersin. Serangan bersin
biasanya berulang, terutama pagi hari atau bila terdapat kontak
dengan sejumlah debu atau hal lain. Gejala hidung berair/ keluar
ingus biasanya encer. Selain itu perlu ditanyakan gejala mata
merah, gatal dan berair. Tak lupa harus ditanyakan mengenai
fungsi penciuman, tidur mengorok dan ada/tidaknya gangguan
tidur. Riwayat atopi dalam keluarga (asma, dermatitis atopi, rinitis
alergi) perlu ditanyakan untuk mendukung status atopi pasien.
b. Pemeriksaan in vivo
Tes cukit kulit dan SET (Skin End-point Tiration), dilakukan
untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen inhalan
dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.
Alergen penyebab dan derajat alergi serta dosis inisial menjadi
keuntungan pemeriksaan ini. IPDFT (Intracutaneus
provocative dilutional food test), untuk alergen makanan,
namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet
eliminasi dan provokasi (Soepardi, 2007).
.
3.7.4 Penatalaksanaan
Tata laksana utama adalah penghindaran alergen. Sedangkan
pengobatan medikamentosa tergantung dari lama dan berat-
ringannya gejala. Pengobatan medikamentosa dapat berupa pilihan
tunggal maupun kombinasi dari antihistamin H1 generasi satu
maupun generasi dua, kortikosteroid intranasal, dan stabilisator sel
mast. Imunoterapi spesifik dianjurkan pada semua penderita rinitis
kategori berat. Tindakan bedah hanya dilakukan pada kasus
selektif misalnya sinusitis dengan airfluid level atau deviasi septum
nasi.
a. Rinitis alergi intermiten
Ringan
Antihistamin H1 generasi I, misalnya CTM 0,25 mg/kg/hari
dibagi 3 dosis. Bila terdapat gejala hidung tersumbat dapat
ditambah dekongestan seperti pseudoefedrin 1 mg/kg/dosis,
diberikan 3 kali sehari.
Sedang/Berat
Antihistamin H1 generasi II misalnya setirizin
0,25mg/kg/kali diberikan sekali sehari atau 2 kali sehari
pada anak usia kurang dari 2 tahun, atau generasi ketiga
seperti desloratadine dan levocetirizin pada anak > 2 tahun.
Bila tidak ada perbaikan atau bertambah berat dapat
diberikan kortikosteroid misalnya prednison 1 mg/kg/hari
dibagi 3 dosis, paling lama 7 hari (UNAIR, 2017).
Diagnosis rinitis alergi pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis berupa
keluhan gejala klinis yang dirasakan oleh pasien dan pemeriksaan fisik untuk
membuktikan gejala dan mencari tanda yang menunjang keluhan dari pasien.
Pada anamnesis, tergambar mengenai etiologi dan perjalanan penyakit pasien.
Anamnesis adanya keluhan hidung tersumbat hilang timbul dirasakan sejak 6
bulan yang lalu terjadi hampir setiap hari terutama saat pagi dan malam hari.
Keluhan disertai dengan bersin-bersin, hidung berair, gatal. Saat bersin, dari
hidung pasien keluar cairan bewarna bening encer dengan jumlah banyak, tidak
berbau dan tidak disertai darah. Keluhan bersin dan gatal pada hidung sering
kambuh ketika pasien terpapar debu. Pasien pernah melakukan pengobatan namun
keluhan masih berulang dan mengganggu aktivitasnya. Berdasarkan pemeriksaan
fisik pada kedua kelopak mata pasien didapati allergic shiner, serta pada
rinoskopi anterior didapatkan mukosa cavum nasi pucat (+), sekret (-), konka
inferior livid, hipertrofi (+).
Diagnosis banding pada pasien ini adalah rinitis vasomotor. Rinitis vasomotor
adala reaksi neurovaskular terhadap beberapa rangsang mekanis/kimia juga
psikologis, namun tidak ada riwayat terpapar alergen. Pada rinitis vasomotor
gejala hidung tersumbat bervariasi, bergantian dari satu sisi ke sisi yang lain.
Berdasarkan anamnesis diagnosis rinitis vasomotor dapat di eliminasi. Secara
garis besar, penatalaksanaan pada rinitis terdiri dari 3 cara yaitu menghindari atau
eliminasi alergen dengan cara edukasi, farmakoterapi, dan imunoterapi. Pada
kasus ini penatalaksanaan rinitis alergi persisten sedang-berat yaitu edukasi,
pemberian cetirizine (antihistamin) dan fluticasone furoate (kortikosteroid
inhalasi). Edukasi untuk menghindari pajanan alergen merupakan terapi ideal
rinitis alergi, pasien disarankan untuk menggunakan masker saat melakukan
aktivitas yang diduga akan berkontak dengan debu.Antihistamin merupakan
farmakoterapi utama rinitis alergi, bekerja secara inhibitor kompetitif pada
reseptor H-1. Efeknya mengurangi vasodilatasi, hipersekresi kelenjar mukus, dan
refleks iritasi untuk bersin. Kortikosteroid inhalasi bekerja dengan mengurangi
kadar histamin sehingga mencegah epitel hidung bersifat sensitif terhadap
rangsang alergen baik pada fase cepat atau lambat.
DAFTAR PUSTAKA
Ballenger. 2009. Hidung dan Sinus Paranasal. In: Penyakit Telinga, Hidung,Tenggorokan,
Kepala, dan Leher; jilid I. Tangerang: Bina Rupa 57 Aksara. p. 4–243.
Dhingra, P.L. 2007. Disease of Ear Nose and Throat. 4thEd. New Delhi, India : Elsevier. pp :
129-135; 145-148.
Howard, L., M, Pais. 2005. Sinus Surgery : Endoscopic and Microscopic Approaches. New
York : Thieme. p 16-19 16.
Nugraha, B.W. 2005, Validitas Pemeriksaan Sitologi Eosinofil Mukosa Hidung Metode
Sikatan untuk Diagnosis Rinitis Alergi, Tesis, Bagian Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorok. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R.D. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: FK UI.
Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R.D. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta: FK UI.
UNAIR. 2017. Rinitis Alergi pada Anak. FK UNAIR.
WHO, GA2LEN, AllerGen. 2008. ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) 2008
Update. WHO
Will, Corbridge., Rogan, H. 1998. Essential ENT Practice: A Clinical Text. 19-20 p. 127-135