Anda di halaman 1dari 25

CASE REPORT

RHINITIS ALERGI

Oleh:

Andini Bakti Putri (1718012076)


Bella Pratiwi Anzani (1718012109)
Fistana Bella Valani (1718012046)
Kholifah Nawang Wulan (1718012114)
Ni Made Ayu Linggayani Pasek (1718012118)
Zhafran R. Tobing (1918012026)

Preceptor:

dr. Fivien Fedriani, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT-KL


RUMAH SAKIT UMUM DR. H. ABDUL MOELOEK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyusun makalah
Case report ini. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas dalam
kepaniteraan klinik pada bagian THT-KL RS Dr. H. Abdul Moeloek.

Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan laporan kasus ini, baik
dari segi isi, bahasa, analisis dan sebagainya. Oleh karena itu, penulis ingin
meminta maaf atas segala kekurangan tersebut, hal ini disebabkan karena masih
terbatasnya pengetahuan, wawasan dan keterampilan penulis. Selain itu, kritik dan
saran dari pembaca sangat diharapkan guna kesempurnaan makalah selanjutnya
dan sebagai bahan pembelajaran untuk kita semua. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat dan dapat memberikan wawasan berupa ilmu pengetahuan untuk kita
semua.

Bandarlampung, September 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Rinitis alergi (RA) merupakan reaksi radang yang diperantarai oleh IgE setelah
terjadi paparan alergen. Gejala RA meliputi rinore, hidung tersumbat, gatal pada
hidung, dan bersin-bersin yang revesibel baik secara spontan ataupun dengan
pengobatan. Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang mengenai
kurang lebih 10-25% populasi di seluruh dunia. Data epidemiologik RA di
Indonesia berdasrkan penelitian dari beberapa sentra pendidikan didapatkan angka
prevalensi yang bervariasi antara 1,14-23,34%. Pada survey di Semarang dengan
menggunakan kuesioner ISAAC pada murid SMP usia 13-14 tahun didapatkan
sebesar 18,6%.

WHO melalui International Rhinitis Management Working Group and Allergic


Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) mengklasifikasikan rinitis alergi
menjadi 2 tipe yaitu intermiten dan persisten dengan tingkat keparahan penyakit
dibagi menjadi derajat ringan dan sedang-berat. Gejala hidung tersumbat
merupakan gejala yang paling sering terjadi (86%) pada penderita RA dan
merupakan gejala yang paling mengganggu. Gejala tersebut disebabkan karena
kombinasi respon alergi fase cepat dan respon alergi fase lambat.

Respon sumbatan hidung setelah pemberian vasokonstriktor intrasal dapat diniai


dengan menggunakan tes dekongestan. Relevansi klinik tes dekongestan pada RA
adalah untuk membedakan sumbatan hidung oleh karena inflamasi akut yang
reversibel dan inflamasi kronik yang menyebabkan remodeling mukosa hidung
sehingga respon dekongestan menjadi minimal atau tidak ada respon sama sekali.
BAB II
STATUS PASIEN

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 44 tahun
Agama : Islam
Alamat : Tulang Bawang Barat
Pekerjaan : Wiraswasta

2.2 ANAMNESIS
Anamnesis pada pasien dilakukan secara autoanamnesis dan alonamanesis
pada tanggal 10 September 2019 di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. H. Abdul
Moeloek.

Keluhan Utama:
Hidung tersumbat hilang timbul sejak ±6 bulan yang lalu.

Keluhan Tambahan:
Bersin-bersin, hidung berair, gatal, dan mata berair.

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang ke Poliklinik THT-KL RSUD Dr. H. Abdul Moeloek dengan
keluhan hidung tersumbat hilang timbul dirasakan sejak ±6 bulan yang lalu.
Keluhan hidung tersumbat terjadi terutama saat pagi dan malam hari atau
cuaca dingin. Keluhan disertai dengan bersin-bersin, hidung berair, gatal, dan
mata berair. Saat bersin, dari hidung pasien keluar cairan bewarna bening
encer dengan jumlah banyak, tidak berbau dan tidak disertai darah. Keluhan
bersin dan gatal pada hidung sering kambuh ketika pasien terpapar debu.
Pasien sudah pernah berobat dan diberikan obat minum, namun keluhan masih
berulang dan mengganggu aktivitasnya. Pasien juga kadang tidak dapat tidur
nyenyak akibat keluhan tersebut. Keluhan tidak disertai nyeri pada dahi atau
kedua pipi, demam, infeksi gigi, sakit tenggorokan, sesak napas, napas
berbunyi, ataupun gangguan pendengaran pada pasien.

Riwayat penyakit dahulu:


Keluhan yang sama telah berulang sejak 6 bulan yang lalu.
Riwayat alergi disangkal.

Riwayat penyakit keluarga:


Riwayat alergi dalam keluarga disangkal.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum
Kesadaran : Compos mentis
Tekannan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 78 x/menit
Suhu : 36,3 ˚C
Pernapasan : 20 x/menit
Berat Badan : 80 kg
Tinggi Badan : 16 cm

Status Generalis
Kepala : Normocephal, tidak ada kelainan
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera anikterik
Leher : Pembesaran KGB leher (-), nyeri tekan (-)
Thoraks : Jantung dan paru dalam batas normal
Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Tidak tampak edema tungkai

Status Lokalis THT


Telinga
TELINGA LUAR KANAN KIRI
Bentuk Telinga Luar Normotia Normotia
Normal, peradangan (-), nyeri Normal, peradangan (-), nyeri
Aurikula
tarik (-), nyeri tekan tragus (-) tarik (-), nyeri tekan tragus (-)
Kelainan kongenital (-), Kelainan kongenital (-),
Preaurikular dan peradangan (-), massa (-), peradangan (-), massa (-),
Retroaurikular sikatrik (-), nyeri tekan (-), sikatrik (-), nyeri tekan (-),
fistel (-), abses (-) fistel (-), abses (-)

LIANG TELINGA KANAN KIRI


Lapang/Sempit Lapang Lapang
Warna Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Sekret (-) (-)
Serumen (-) (-)
Massa (-) (-)
MEMBRAN TIMPANI KANAN KIRI
Bentuk Intak (+) Intak (+)
Warna Hiperemis (-) Hiperemi (-)
Cone of Light (+) arah jam 5 (+) arah jam 7

Hidung
HIDUNG LUAR KANAN KIRI
Inspeksi
Bentuk Simetris kanan dan kiri
Sikatrik (-) (-)
Hematom (-) (-)
Palpasi
Nyeri Tekan Sinus Paranasal (-) (-)
Krepitasi (-) (-)
Massa (-) (-)

RHINOSKOPI ANTERIOR KANAN KIRI


Cavum Nasi Lapang, perdarahan (-) Lapang, perdarahan (-)
Pucat (+), Edema (+), Pucat (+), Edema (+),
Mukosa Cavum Nasi
hiperemis (-) hiperemis (-)
Sekret (-) (-)
Konka Inferior Hipertrofi, livid (+) Hipertrofi, livid (+)
Konka Media Sulit dinilai Sulit dinilai
Septum Nasi Deviasi (-) Deviasi (-)
Abses, Massa Tidak ditemukan Tidak ditemukan

RHINOSKOPI POSTERIOR KANAN KIRI


Mukosa Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sekret Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Konka superior Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Septum Nasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Abses, Massa Tidak ditemukan Tidak ditemukan

Cavum Oris
CAVUM ORIS Hasil Pemeriksaan
Mukosa Tidak hiperemis
Gingiva Ulkus (-), edema (-)
Gigi Karies dentis (-)
Lidah Bentuk normal, atrofi papil (-)
Palatum Durum Permukaan licin
Palatum Mole Permukaan licin
Uvula Posisi letak tengah
Tumor Tidak ditemukan

Faring
FARING Hasil Pemeriksaan
Dinding Faring Edema (-), Granular (-)
Mukosa Hiperemis (-)
Uvula Ditengah
Arkus Faring Simetris, Hiperemis (-)
Sekret Tidak Ada

Tonsil
TONSIL Hasil Pemeriksaan
Pembesaran T1-T1
Kripta Tidak Melebar
Detritus Tidak Ada
Perlekatan Tidak Ada
Sikatrik Tidak Ada

Pemeriksaan Laring
Tidak dilakukan pemeriksaan

Pemeriksaan Nervus Kranialis


Tidak dilakukan pemeriksaan

Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Leher


Inspeksi : tidak terlihat pembesaran kelenjar getah bening
Palpasi : tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening, nyeri tekan (-)

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tidak dilakukan

2.5 PEMERIKSAAN ANJURAN


Pemeriksaan IgE spesifik
Skin Prick Test

2.6 DIAGNOSIS BANDING


Suspek Rinitis Alergi Persisten sedang-berat
Suspek Rinitis Vasomotor

2.7 DIAGNOSIS KERJA


Suspek Rinitis Alergi persisten sedang-berat

2.8 PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
 Fluticasone furoate 27,5 mcg nasal spray 1x2 puff
 Cetirizine 1x10mg

Non‒ Medikamentosa
 Kontrol ulang 2 minggu kemudian
 Hindari faktor resiko pencetus (debu) dengan menggunakan masker,
menjaga kebersihan rumah, dan kurangi mengucek hidung

2.9 PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Ad bonam
Quo ad Functionam : Ad bonam
Quo ad Sanationam : Ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung


3.1.1 Anatomi Hidung
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari
nares anterior hingga koana di posterior yang memisahkan rongga
hidung dari nasofaring. Septum nasi membagi tengah bagian hidung
dalam menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi
mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan
superior. Bagian inferior kavum nasi berbatasan dengan kavum oris
dipisahkan oleh palatum durum. Ke arah posterior berhubungan
dengan nasofaring melalui koana. Di sebelah lateral dan depan
dibatasi oleh nasus externus. Di sebelah lateral belakang berbatasan
dengan orbita yaitu sinus maksilaris, sinus etmoidalis, fossa
pterygopalatina, fossa pterigoides (Will, 1998).

Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan


prosesus horizontal os palatum. Atap hidung terdiri dari kartilago
lateralis superior dan inferior, dan tulang-tulang os nasale, os
frontale lamina cribrosa, os etmoidale, dan corpus os sphenoidale.
Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Septum nasi
terdiri atas kartilago septi nasi, lamina perpendikularis os etmoidale,
dan os vomer. Sedangkan di daerah apex nasi, septum nasi
disempurnakan oleh kulit, jaringan subkutis, dan kartilago alaris
major (Howard, 2005). Dinding lateral dapat dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu di anterior terdapat prosesus frontalis os maksila, di
medial terdapat os etmoidal, os maksila serta konka, dan di posterior
terdapat lamina perpendikularis os palatum, dan lamina pterigoides
medial. Bagian terpenting pada dinding lateral adalah empat buah
konka. Konka terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka
inferior kemudian konka yang lebih kecil adalah konka media, konka
superior dan yang paling kecil adalah konka suprema. Konka
suprema biasanya akan mengalami rudimenter. Diantara konka-
konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
dinamakan dengan meatus. Terdapat tiga meatus yaitu meatus
inferior, media dan superior (Howard, 2005; Ballenger, 2009).

Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang


sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka
media. Resesus sfenoetmoidal terletak di posterosuperior konka
superior dan di depan konka os spenoid. Resesus sfenoetmoidal
merupakan tempat bermuaranya sinus sfenoid. Meatus media
merupakan salah satu celah yang di dalamnya terdapat muara sinus
maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik
bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada
dinding lateralnya terdapat celah berbentuk bulan sabit yang disebut
sebagai infundibulum. Muara atau fisura berbentuk bulan sabit yang
menghubungkan meatus medius dengan infundibulum dinamakan
hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum
membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai
prosesus unsinatus. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel
etmoid anterior bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel
etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus
maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Meatus nasi
inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai
muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai
3,5 cm di belakang batas posterior nostril (Howard, 2005).

Septum membagi kavum nasi menjadi ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian
anterior oleh kartilago septum, premaksila dan kolumela
membranosa. Bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista
maksila, krista palatina dan krista sfenoid. Pada bagian depan septum
terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid
anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut
Pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi
sumber epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada anak.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan


berdampingan dengan arteri. Vena di vestibulum dan struktur luar
hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi
hingga ke intrakranial (Soetjipto, 2007).
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris
dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari
n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V1). Rongga hidung
lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila
melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain
memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan
vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini
menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V2), serabut
parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut
simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak
di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. Nervus
olfaktorius turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung (Soetjipto, 2007; Dhingra,
2007).
3.1.2 Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional,
maka fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah :
a. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air
conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang
dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal
b. Fungsi penghidu, karena terdapatnya mukosa olfaktorius
(penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus
penghidu
c. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu
proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui
konduksi tulang
d. Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala,
proteksi terhadap trauma dan pelindung panas
e. Refleks nasal (Soetjipto, 2007).

3.2 Definisi Rinitis Alergi


Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi pada mukosa hidung yang
disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien yang sebelumnya sudah
tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya mediator-
mediator kimia pada saat terpapar kembali dengan alergen tersebut.
Menurut WHO-ARIA (Allergic Rinitis its Impact on Asthma), rinitis alergi
merupakan suatu peradangan yang diperantarai oleh Imunoglobulin E (IgE)
yang terlibat menyebabkan suatu peradangan alergi bila terpapar kembali
oleh alergennya (Irawati, 2007).

3.3 Epidemiologi
Prevalensi rinitis alergi di Indonesia mencapai 1,5-12,4% dan cenderung
mengalami peningkatan setiap tahunnya. Rinitis alergi lebih sering dijumpai
pada anak usia sekolah, dijumpai pada sekitar 15% anak usia 6-7 tahun dan
40% pada usia 13-14 tahun. Sekitar 80% pasien rinitis alergi mulai timbul
gejala sebelum usia 20 tahun. Meskipun rinitis alergi lebih banyak muncul
pada anak yang lebih besar, namun pajanan alergen (sensitisasi) sudah
terjadi sejak dini. Seorang anak yang mempunyai salah satu gejala atopi
(rinitis alergi, asma, eksim) mempunyai risiko 3 kali lebih besar untuk
menderita gejala atopi yang berikutnya.

Meskipun pada umumnya rinitis alergi bukan merupakan penyakit berat,


tapi dapat berdampak pada kehidupan sosial penderita dan kinerja di
sekolah serta produktivitas kerja. Meskipun prevalensinya cukup tinggi,
rinitis alergi seringkali tidak terdiagnosis dan tidak diterapi secara adekuat
terutama pada populasi anak. Penyebab tidak adekuatnya terapi meliputi
ketidakmampuan anak untuk menggambarkan secara verbal gejala yang
dialami, anak tidak memahami bahwa mereka memiliki gangguan, dan
seringkali rinitis alergi dikelirukan dengan infeksi saluran napas atas
berulang (UNAIR, 2017).

3.4 Etiologi
Untuk menimbulkan reaksi alergi harus dipenuhi 2 faktor, yaitu adanya
sensitivitas terhadap suatu alergn (atopi) yang biasanya bersifat herediter
dan adanya kontak ulang dengan alergen tersebut. Contoh alergen tersebut
antara lain serbuk bunga, bulu hewan maupun debu rumah (Soepardi,2012).
Selain itu, gejala rinitis alergi dapat dicetuskan oleh berbagai faktor,
diantaranya adalah pajanan udara dingin, debu, uap, bau cat, polusi udara,
bubuk detergen, serta bau minuman beralkohol. Umumnya faktor pencetus
ini berupa iritan non spesifik. Alergen penyebab pada bayi dan anak sering
disebabkan oleh alergen makanan, sedangkan alergen inhalan lebih berperan
pada anak yang lebih besar (UNAIR, 2017).

3.5 Patofisiologi
Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction
atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak
dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction
atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan
puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung sampai 24-48 jam. Pada kontak pertama dengan alergen atau
tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji
(Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di
permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major Histocompatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0).
Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang
akan mengaktifkan Th0 utuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan
IL-13 dapat diikat oleh reseptornya dipemukaan sel limfosit B, sehingga
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE
di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan di ikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini
menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator
yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan
alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik
dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan
akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed
Mediator) tertama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly
Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4
(LT D4), Leukotrien C4 (LT D4), bradikinin, Platelet Activating Factor
(PAF) dan berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte
Macrophage Colony Stimulating Factor). Inilah yang disebut sebagai reaksi
alergi fase cepat.

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung syaraf vidianus sehingga


menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningakt sehingga terjadi rinore. Gejala ini adalah
hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang
ujung syaraf vidianus, juga mnyebabkan rangsangan pada mukosa hidung
sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Gejala
akan berlanjut dan mencapai puncakk 6-8 jam setelah pemaparan. Pada
RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi
seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung
serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte
Macrophage Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan Inter Cellular
Adhesion Molecule (ICAM 1) pada sekret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan
mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein
(ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP)
dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik
(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik memperberat gejala seperti asap
rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang
tinggi (Soetjipto, 2007).

3.6 Klasifikasi
Klasifikasi alergen berdasarkan cara masuknya:
1. Alergen inhalan : debu rumah, tungau, kapuk
2. Alergen ingestan : udang, telur, ikan, coklat
3. Alergen injektan : penisilin, sengatan lebah
4. Alergen kontaktan : bahan kosmetik, perhiasan
5. Faktor non-spesifik : asap rokok, bau yang merangsang, polutan, bau
parfum, perubahan cuaca, kelembaban tinggi

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat


berlangsungnya, yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)

Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya.


Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari
WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun
2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang) bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih
dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi


menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang
mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut
diatas (Soetjipto, 2007).

3.7 Diagnosis
3.7.1 Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan adalah lama, frekuensi, waktu
timbulnya dan beratnya penyakit, persisten atau intermiten. Gejala
yang ditanyakan berupa hidung berair, hidung tersumbat, postnasal
drip, gatal di hidung dan palatum, bersin-bersin. Serangan bersin
biasanya berulang, terutama pagi hari atau bila terdapat kontak
dengan sejumlah debu atau hal lain. Gejala hidung berair/ keluar
ingus biasanya encer. Selain itu perlu ditanyakan gejala mata
merah, gatal dan berair. Tak lupa harus ditanyakan mengenai
fungsi penciuman, tidur mengorok dan ada/tidaknya gangguan
tidur. Riwayat atopi dalam keluarga (asma, dermatitis atopi, rinitis
alergi) perlu ditanyakan untuk mendukung status atopi pasien.

3.7.2 Pemeriksaan fisis


Pada anak terdapat tanda karakteristik pada muka seperti allergic
salute, allergic crease, dan allergic shiner. Pemeriksaan THT
dapat dilakukan dengan menggunakan rinoskopi anterior, sekaligus
juga dapat menyingkirkan kelainan seperti infeksi, polip nasal atau
tumor. Pada rinitis alergi ditemukan tanda klasik yaitu mukosa
edema, basah, pucat atau livid dengan sekret encer banyak. Tanda
ini biasanya ditemukan pada pasien yang sedang dalam serangan.
Tanda lain yang mungkin ditemukan adalah otitis media serosa
atau hipertrofi adenoid. Selain itu, mulut sering terbuka dengan
lengkung langit-langit tinggi, sehingga menyebutkan gangguan
pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring
tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta
dinding lateral faring menebal. Pada lidah dapat adanya gambaran
peta (geographic tongue). Bila disertai keluhan pada mata maka
pemeriksaan palpebra dan konjungtiva diperlukan untuk
menemukan edema, sekret, dan kelainan lainnya.

3.7.3 Pemeriksaan Penunjang


Meskipun tes kulit dapat dilakukan pada semua anak tetapi tes kulit
kurang bermakna pada anak berusia di bawah 3 tahun. Alergen
penyebab yang sering adalah inhalan seperti tungau debu rumah,
jamur, debu rumah, dan serpihan binatang piaraan, walaupun
alergen makanan juga dapat sebagai penyebab terutama pada bayi.
Susu sapi sering menjadi penyebab walaupun uji kulit sering
hasilnya negatif. Uji provokasi hidung jarang dilakukan pada anak
karena pemeriksaan ini tidak menyenangkan (UNAIR, 2017).
a. Pemeriksaan in vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau
meningkat. Pemeriksaan igE total seringkali normal. Lebih
bermakna adalah pemeriksaan igE spesifik dengan
RAST/ELISA, namun untuk alergen spesifik hasilnya kurang
sensitif dibandingkan dengan tes kulit dan lebih mahal. Kadar
normal IgE total dan IgE spesifik pada anak lebih rendah
dibandingkan dengan dewasa. Kurang dari setengah penderita
rinitis alergi anak mempunyai kadar IgE total yang meningkat.
Adapun kadar IgE total serum pada bayi adalah 0-1 IU/ml
yang meningkat sesuai dengan bertambahnya usia dan menetap
setelah usia 20-30 tahun (100-150 IU/ml), kemudian menurun
sesuai dengan bertambahnya usia. Pemeriksaan sekret hidung
dilakukan untuk mendapatkan sel eosinofil yang meningkat
>3% kecuali pada saat infeksi sekunder maka sel neutrofil
segmen akan lebih dominan. Gambaran sitologi sekret hidung
yang memperlihatkan banyak sel basofil, eosinofil, juga
terdapat pada rinitis eosinofilia nonalergi dan mastositosis
hidung primer. Ditemukannya eosinofil jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5
sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri
(Soepardi, 2007; UNAIR, 2017).

b. Pemeriksaan in vivo
Tes cukit kulit dan SET (Skin End-point Tiration), dilakukan
untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen inhalan
dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.
Alergen penyebab dan derajat alergi serta dosis inisial menjadi
keuntungan pemeriksaan ini. IPDFT (Intracutaneus
provocative dilutional food test), untuk alergen makanan,
namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet
eliminasi dan provokasi (Soepardi, 2007).
.
3.7.4 Penatalaksanaan
Tata laksana utama adalah penghindaran alergen. Sedangkan
pengobatan medikamentosa tergantung dari lama dan berat-
ringannya gejala. Pengobatan medikamentosa dapat berupa pilihan
tunggal maupun kombinasi dari antihistamin H1 generasi satu
maupun generasi dua, kortikosteroid intranasal, dan stabilisator sel
mast. Imunoterapi spesifik dianjurkan pada semua penderita rinitis
kategori berat. Tindakan bedah hanya dilakukan pada kasus
selektif misalnya sinusitis dengan airfluid level atau deviasi septum
nasi.
a. Rinitis alergi intermiten
 Ringan
Antihistamin H1 generasi I, misalnya CTM 0,25 mg/kg/hari
dibagi 3 dosis. Bila terdapat gejala hidung tersumbat dapat
ditambah dekongestan seperti pseudoefedrin 1 mg/kg/dosis,
diberikan 3 kali sehari.

 Sedang/Berat
Antihistamin H1 generasi II misalnya setirizin
0,25mg/kg/kali diberikan sekali sehari atau 2 kali sehari
pada anak usia kurang dari 2 tahun, atau generasi ketiga
seperti desloratadine dan levocetirizin pada anak > 2 tahun.
Bila tidak ada perbaikan atau bertambah berat dapat
diberikan kortikosteroid misalnya prednison 1 mg/kg/hari
dibagi 3 dosis, paling lama 7 hari (UNAIR, 2017).

b. Rinitis alergi persisten


 Ringan
Antihistamin generasi II (setirizin) jangka lama. Bila gejala
tidak membaik dapat diberikan kortikosteroid intranasal
misalnya mometason furoat atau flutikason propionat.
 Sedang/berat
Diberikan kortikosteroid intranasal jangka lama dengan
evaluasi setelah 2-4 minggu. Bila diperlukan ditambahkan
pula obat-obat simtomatik lain seperti rinitis alergi
intermiten sedang/berat (UNAIR, 2017).
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis rinitis alergi pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis berupa
keluhan gejala klinis yang dirasakan oleh pasien dan pemeriksaan fisik untuk
membuktikan gejala dan mencari tanda yang menunjang keluhan dari pasien.
Pada anamnesis, tergambar mengenai etiologi dan perjalanan penyakit pasien.
Anamnesis adanya keluhan hidung tersumbat hilang timbul dirasakan sejak 6
bulan yang lalu terjadi hampir setiap hari terutama saat pagi dan malam hari.
Keluhan disertai dengan bersin-bersin, hidung berair, gatal. Saat bersin, dari
hidung pasien keluar cairan bewarna bening encer dengan jumlah banyak, tidak
berbau dan tidak disertai darah. Keluhan bersin dan gatal pada hidung sering
kambuh ketika pasien terpapar debu. Pasien pernah melakukan pengobatan namun
keluhan masih berulang dan mengganggu aktivitasnya. Berdasarkan pemeriksaan
fisik pada kedua kelopak mata pasien didapati allergic shiner, serta pada
rinoskopi anterior didapatkan mukosa cavum nasi pucat (+), sekret (-), konka
inferior livid, hipertrofi (+).

Diagnosis banding pada pasien ini adalah rinitis vasomotor. Rinitis vasomotor
adala reaksi neurovaskular terhadap beberapa rangsang mekanis/kimia juga
psikologis, namun tidak ada riwayat terpapar alergen. Pada rinitis vasomotor
gejala hidung tersumbat bervariasi, bergantian dari satu sisi ke sisi yang lain.
Berdasarkan anamnesis diagnosis rinitis vasomotor dapat di eliminasi. Secara
garis besar, penatalaksanaan pada rinitis terdiri dari 3 cara yaitu menghindari atau
eliminasi alergen dengan cara edukasi, farmakoterapi, dan imunoterapi. Pada
kasus ini penatalaksanaan rinitis alergi persisten sedang-berat yaitu edukasi,
pemberian cetirizine (antihistamin) dan fluticasone furoate (kortikosteroid
inhalasi). Edukasi untuk menghindari pajanan alergen merupakan terapi ideal
rinitis alergi, pasien disarankan untuk menggunakan masker saat melakukan
aktivitas yang diduga akan berkontak dengan debu.Antihistamin merupakan
farmakoterapi utama rinitis alergi, bekerja secara inhibitor kompetitif pada
reseptor H-1. Efeknya mengurangi vasodilatasi, hipersekresi kelenjar mukus, dan
refleks iritasi untuk bersin. Kortikosteroid inhalasi bekerja dengan mengurangi
kadar histamin sehingga mencegah epitel hidung bersifat sensitif terhadap
rangsang alergen baik pada fase cepat atau lambat.
DAFTAR PUSTAKA

Ballenger. 2009. Hidung dan Sinus Paranasal. In: Penyakit Telinga, Hidung,Tenggorokan,
Kepala, dan Leher; jilid I. Tangerang: Bina Rupa 57 Aksara. p. 4–243.

Dhingra, P.L. 2007. Disease of Ear Nose and Throat. 4thEd. New Delhi, India : Elsevier. pp :
129-135; 145-148.

Howard, L., M, Pais. 2005. Sinus Surgery : Endoscopic and Microscopic Approaches. New
York : Thieme. p 16-19 16.

Nugraha, B.W. 2005, Validitas Pemeriksaan Sitologi Eosinofil Mukosa Hidung Metode
Sikatan untuk Diagnosis Rinitis Alergi, Tesis, Bagian Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorok. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.

Punagi, A.Q. 2016. Sistem Trauma dan kegawatdaruratan. FK UNHAS.

Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R.D. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: FK UI.

Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R.D. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta: FK UI.
UNAIR. 2017. Rinitis Alergi pada Anak. FK UNAIR.

WHO, GA2LEN, AllerGen. 2008. ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) 2008
Update. WHO

Will, Corbridge., Rogan, H. 1998. Essential ENT Practice: A Clinical Text. 19-20 p. 127-135

Anda mungkin juga menyukai