Anda di halaman 1dari 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hipertensi

2.1.1.Definisi Hipertensi

Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik sama dengan atau di atas 140 mmHg dan atau
tekanan darah diastolik sama dengan atau di atas 90 mmHg (Black dan Hawks, 2013). Hipertensi
merupakan kondisi yang dapat ditemukan pada fasilitas pelayanan kesehatan primer dan
berkembang menjadi infark miokard, stroke, gagal ginjal, dan kematian jika tidak didiagnosis dan
diterapi dengan tepat (James et al, 2013; Price dan Wilson, 2002). 2.1.2.Etiologi Berdasarkan
penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi hipertensi primer (esensial) dan hipertensi sekunder. Pada
pasien dengan hipertensi primer (esensial) penyebabnya tidak diketahui sedangkan pasien dengan
hipertensi sekunder mempunyai penyebab khusus baik endogen maupun eksogen (Departemen
Kesehatan, 2006). Faktor genetik memegang peranan penting pada patofisiologi hipertensi primer
(esensial) dikarenakan hipertensi ini memiliki kecenderungan terjadi secara turun temurun.
Ditemukan gambaran bentuk disregulasi monogenik dan poligenik. Banyak dari gen-gen ini yang
mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga ditemukan mutasi-mutasi genetik yang
mengubah ekskresi kallikrein urine, pelepasan nitrit oksida, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan
angiotensinogen. Hipertensi sekunder dapat disebabkan penyakit komorbid seperti disfungsi renal
akibat gagal ginjal kronis atau penyakit renovaskular dan juga dapat disebabkan oleh konsumsi obat-
obatan tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah seperti kortikosteroid, estrogen, OAINS,
dan lain-lain (Departemen Kesehatan, 2006).
2.1.3.Patofisiologi

Hipertensi Terdapat tiga sistem yang sangat berperan dalam peningkatan tekanan darah yakni
sistem saraf simpatis, sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (RAA), dan keseimbangan antara
natrium dan cairan tubuh terkait hormon aldosteron. Hal lain yang terlibat dalam peningkatan
tekanan darah ialah resistensi insulin disebabkan peningkatan produksi angiotensinogen oleh
jaringan adiposa viseral yang resisten terhadap insulin, penurunan kadar nitrit oksida (NO) karena
resistensi insulin yang dapat menyebabkan disfungsi endotel, peningkatan reseptor antitrombin- 1
(AT-1) dan ekspresi endotelin-1, peningkatan reabsorpsi natrium di tubulus proksimal, serta
peningkatan aktivitas simpatik (Tedjasukmana, 2012). Beberapa faktor yang mendukung
peningkatan hipertensi diantaranya gangguan saraf, reseptor adrenergik atau baroreseptor,
abnormalitas ginjal, abnormalitas humoral, defisiensi sintesis substansi vasodilator pada endotelium
vaskuler seperti prostasiklin, bradikinin, dan nitrit oksida, atau peningkatan produksi substansi
vasokontriktor seperti angiotensin II dan endotelin-1 (Tyashapsari dan Zulkarnain, 2012) Beberapa
faktor yang mendorong timbulnya hipertensi biasanya tidak berdiri sendiri, tetapi secara bersama-
sama sesuai dengan teori mozaik pada hipertensi esensial (Nuraini, 2015).
2.1.4.Klasifikasi

Hipertensi Menurut World Health Organization (WHO)/International Society of Hypertension (ISH)


klasifikasi tekanan darah tinggi terbagi menjadi kelompok optimal, normal, normal tinggi, hipertensi
derajat 1 (ringan), hipertensi derajat 2 (sedang), hipertensi derajat 3 (berat), dan hipertensi sistolik
yang terisolasi (WHO, 2003a). Pembagian derajat keparahan hipertensi menurut WHO/ISH dapat
dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan WHO Klasifikasi Sistolik (mmHg)
Diastolik (mmHg) Optimal
2.1.4.Klasifikasi Hipertensi Menurut World Health Organization (WHO)/International Society of
Hypertension (ISH) klasifikasi tekanan darah tinggi terbagi menjadi kelompok optimal, normal,
normal tinggi, hipertensi derajat 1 (ringan), hipertensi derajat 2 (sedang), hipertensi derajat 3
(berat), dan hipertensi sistolik yang terisolasi (WHO, 2003a). Pembagian derajat keparahan
hipertensi menurut WHO/ISH dapat dilihat pada Tabel 1.

2.1.5.Kontrol Tekanan Darah

Faktor-faktor yang mendorong timbulnya hipertensi adalah (Yogiantoro, 2009; Anggara dan
Prayitno, 2013; Kementerian Kesehatan RI, 2014) : 1. Faktor risiko, seperti umur, jenis kelamin, diet
dan asupan garam, konsumsi lemak jenuh, kurang aktifitas fisik, stres, ras, obesitas, merokok,
penggunaan estrogen serta genetis. 2. Sistem saraf simpatis yaitu tonus simpatis dan variasi diurnal.
3. Keseimbangan antara modulator vasodilator dan vasokontriktor. 4. Pengaruh sistem otokrin
setempat yang berperan pada sistem ReninAngiotenasi-Aldosteron (RAA).

2.1.6.Diagnosis Hipertensi

Dalam menegakkan diagnosis hipertensi, diperlukan beberapa tahapan pemeriksaan yang harus
dijalani sebelum menentukan terapi atau tatalaksana yang akan diambil. Algoritma diagnosis ini
diadaptasi dari Canadian Hypertension Education Program The Canadian Hypertension Education
Program The Canadian Recommendation for The Management of Hypertension 2014 (Dasgupta et
al, 2014; PERKI, 2015).
Gambar 3. Algoritma Diagnosis Hipertensi (Dasgupta et al, 2014; PERKI, 2015)

2.1.7.Komplikasi Hipertensi

Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Kerusakan organ-organ target yang umum ditemui pada pasien hipertensi adalah (Kumar
et al, 2007; Sherwood, 2010): 1. Jantung a. Hipertrofi Ventrikel Kiri b. Angina atau Infark Miokardium
c. Gagal Jantung 2. Otak a. Stroke atau Transient Ischemic Attack 3. Penyakit Ginjal Kronis 4. Penyakit
Arteri Perifer 5. Retinopati Selain mempengaruhi kesehatan fisik, hipertensi juga mempengaruhi
kesehatan mental. Pengaruh pada kesehatan mental terlihat pada stadium lanjut (Mollaoğlu et al,
2015). 2.1.8.Penatalaksanaan Hipertensi Pengobatan hipertensi bersifat individualistis dan
sepanjang masa dengan tetap memperhatikan gaya hidup. Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi
nonfarmakologi dan farmakologi. Target dari terapi hipertensi adalah menjaga hipertensi tetap
terkontrol seumur hidup pasien (Mollaoğlu et al, 2015).

Ketika hipertensi terdeteksi, intervensi terapetik dapat mengurangi perjalanan dan keparahan
penyakit ini. Pengaturan diet, termasuk penurunan berat badan, disertai berbagai obat yang
memanipulasi penanganan air dan garam atau aktivitas otonom pada sistem kardiovaskular dapat
digunakan untuk mengobati hipertensi. Selain itu, olahraga secara teratur dapat dilakukan untuk
membantu mengurangi tekanan darah tinggi (Sherwood, 2010; PERKI, 2015; Weber et al, 2010).

2.1.8.1. Tatalaksana Farmakologi

Terapi farmakologi dimulai pada pasien hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan
setelah >6 bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien hipertensi derajat ≥2. Salah satu
prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu diperhatikan untuk menjaga kepatuhan dan
meminimalisasi efek samping adalah dengan melakukan pemantauan efek samping obat secara
teratur (PERKI, 2015). Pada tahun 2013, Joint National Committee (JNC) 8 mengeluarkan guideline
terbaru mengenai tatalaksana hipertensi. Secara umum, JNC memberikan 9 rekomendasi terkait
target tekanan darah dan rekomendasi golongan obat hipertensi (James et al, 2013)

Rekomendasi 1. Pada populasi yang secara umum berusia ≥60 tahun, terapi farmakologi inisiasi
dimulai untuk menurunkan tekanan darah pada saat sistolik ≥150 mmHg atau diastolik ≥90 mmHg
menjadi sistolik Corollary Recommendation. Pada populasi yang umumnya berusia ≥60 tahun, jika
terapi farmakologi untuk tekanan darah tinggi mencapai sistolik yang lebih rendah (missal < 140
mmHg) dan terapi masih ditoleransi dengan baik dan tanpa efek samping terhadap kesehatan dan
kaulitas hidup, terapi tidak perlu disesuaikan (Expert opinion-Grade E).

Rekomendasi 2. Rekomendasi kedua dari JNC 8 adalah pada populasi umum berusia ≤60 tahun,
terapi farmakologi dimulai ketika diastoliknya ≥90 mmHg untuk untuk menurunkan tekanan darah
diastolik ≥90 mmHg untuk untuk menurunkan tekanan darah diastolik (Untuk pasien berusia 30-59
tahun, Strong recommendation-Grade A; Untuk pasien berusia 18-29 tahun, Expert opinion-Grade
E).

Rekomendasi 3. Pada populasi < 40 tahun, terapi farmakologi inisiasi dimulai saat sistolik ≥140
mmHg , untuk mencapai sistolik < 140 mmHg, Expert opinion-Grade E).

Rekomendasi 4. Pada populasi berusia ≥18 tahun dengan Gagal Ginjal Kronis (GGK), terapi
farmakologi inisiasi untuk menurunkan tekanan darah dari sistolik ≥140 mmHg atau diastolik ≥90
mm Hd menjadi sistolik <140 mmHg dan diastolik < 90 mmHg , Expert opinion-Grade E).

Rekomendasi 5. Pada populasi berusia ≥18 tahun dengan diabetes, terapi farmakologi inisiasi untuk
menurunkan tekanan darah dari sistolik ≥140 mmHg atau diastolik ≥90 mmHg menjadi sistolik <140
mmHg dan diastolik <90 mmHg (Expert opinion-Grade E ).

Rekomendasi 6. Pada populasi umum non kulit hitam (negro), termasuk pasien dengan diabetes,
terapi antihipertensi inisial sebaiknya menyertakan diuretik tipe tiazid, Calcium Channel Blocker
(CCB), Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
(Moderate recommendation-Grade B).

Rekomendasi 7. Pada populasi kuit hitam, termasuk mereka dengan diabetes, terapi inisial
hipertensi sebaiknya menggunakan diuretik tipe tiazid atau CCB. (Rekomendasi untuk populasi kulit
hitam secara umum: Moderate recommendation-Grade B); sedangkan populasi kulit hitam dengan
diabetes: Weak recommendation-Grade C).
Rekomendasi 8. Pada populasi berusia ≥18 tahun dengan GGK, ACEI atau ARB sebaiknya digunakan
dalam terapi inisial atau terapi tambahan untuk meningkatkan outcome pada ginjal. Hal ini berlaku
pada semua pasien GGK dalam semua ras maupun status diabetes (Moderate recommendation-
Grade B).

Rekomendasi 9. Tujuan utama terapi hipertensi adalah untuk mencapai dan mempertahankan target
tekanan darah. Jika target tekanan darah tidak tercapai dalam waktu satu bulan pengobatan,
meningkatkan dosis obat awal atau menambahkan obat kedua dari satu kelas direkomendasi sesuai
rekomendasi 6. Seorang klinisi harus terus mengontrol tekanan darah dan menyesuaikan rejimen
pengobatan sampai target tekanan darah tercapai. Jika target tekanan darah tidak dapat tercapai
dengan 2 obat, menambah dan titrasi obat ketiga dari daftar yang tersedia diperbolehkan. Jika
target tekanan darah tidak tercapai karena pasien memiliki kontraindikasi terhadap obat yang sesuai
rekomendasi 6, obat antihipertensi dari kelas lain dapat dipergunakan. Rujukan ke spesialis
diindikasikan untuk pasien yang tidak dapat mencapai target tekanan darah dengan strategi di atas
atau untuk manajemen pasien yang rumit dan memerlukan konsultasi tambahan (Expert opinion-
Grade E).
2.1.8.2. Tatalaksana Nonfarmakologi Terapi nonfarmakologi harus dilaksanakan oleh semua pasien
hipertensi dengan tujuan menurunkan tekanan darah dan mengendalikan faktor-faktor risiko serta
penyakit penyerta lainnya (Yogiantoro, 2009; Hadiyah dan Setiawan, 2006). Terapi nonfarmakologi
dapat dilakukan dengan menjalani pola hidup sehat diantaranya dengan : a. Menurunkan berat
badan dapat dilakukan dengan mengganti makanan tidak sehat dengan memperbanyak asupan
sayur dan buah (PERKI, 2015). b. Mengurangi asupan garam dengan menghindari makanan cepat
saji, makanan kaleng, daging olahan dan sebagainya. Dianjurkan asupan garam tidak melebihi 2
gram per hari (PERKI, 2015; Hikmaharidha, 2011). c. Olahraga yang dilakukan secara teratur
sebanyak 30 – 60 menit per hari minimal 3 hari per minggu dapat membantu menurunkan tekanan
darah. Bila pasien tidak dapat melakukan olahraga secara khusus, dianjurkan untuk berjalan kaki,
mengendarai sepeda atau menaiki tangga dalam aktivitas rutin sehari-hari (PERKI, 2015). d.
Mengurangi konsumsi alkohol sangat membantu dalam penurunan tekanan darah. Konsumsi alkohol
lebih dari 2 gelas per hari pada pria atau 1 gelas per hari pada wanita dapat meningkatkan tekanan
darah (PERKI, 2015). 20 20 e. Merokok merupakan salah satu faktor risiko penyakit kardiovaskular,
pasien hipertensi dianjurkan untuk berhenti merokok. Penting juga untuk cukup istirahat (6-8 jam)
dan mengendalikan stress (PERKI, 2015; Kementerian Kesehatan RI, 2014a). 2.1.9.Faktor yang
Mempengaruhi Penatalaksanaan Hipertensi a. Sikap Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan
antara sikap dengan upaya pengendalian hipertensi. Faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap
manusia antara lain pengaruh orang lain yang dianggap penting. Orang penting yang dimaksud
adalah petugas kesehatan yang memberikan informasi tentang pentingnya pengendalian dan
pencegahan terhadap penyakit hipertensi. Pembentukan sikap juga dapat dipengaruhi oleh faktor
emosional pasien (Dalyoko, 2010). b. Pengawasan Keluarga Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada
hubungan antara pengawasan keluarga dengan upaya pengendalian hipertensi. Adanya pengawasan
keluarga dalam pengendalian hipertensi merupakan bentuk dukungan keluarga agar responden
tetap dalam kondisi yang sehat. Bentuk dukungan tersebut dapat berupa anjuran asupan makanan
yang baik seperti masakan yang tidak banyak garam, anjuran berolahraga seperti jalan sehat
ataupun senam, anjuran minum obat secara teratur (Dalyoko, 2010). 21 21 c. Pengetahuan Hasil
penelitian menunjukkan ada hubungan antara pengetahuan dengan upaya pengendalian hipertensi.
Pengetahuan berperan penting dalam membentuk perilaku atau tindakan seseorang. Pengetahuan
dapat diperoleh baik dari diri pasien sendiri berdasarkan pengalaman hidup sehari-hari dan dari
orang lain (Dalyoko, 2010). d. Faktor fisiologis dan psikologis. Faktor fisiologis yaitu pemakaian obat
jangka panjang yang dapat menyebabkan timbulnya efek samping hingga kerusakan organ. Faktor
psikologis yaitu pemakaian obat jangka panjang membuat pasien hipertensi merasa tertekan. Hal ini
dikarenakan pasien diwajibkan untuk mengonsumsi obat setiap hari dan adanya efek samping yang
ditimbulkan dari obat yang dikonsumsi. Masalahmasalah ini menyebabkan pasien hipertensi
cenderung banyak yang tidak mematuhi proses pengobatan seusai anjuran (Evadewi dan
Sukmayanti, 2013). e. Kepatuhan minum obat. Kepatuhan minum obat dipengaruhi oleh faktor
pasien, faktor sistem kesehatan, faktor lingkungan dan faktor sosial ekonomi (Asti, 2006). Faktor
sistem kesehatan meliputi sikap tenaga kesehatan, pembiayaan kesehatan, mudah tidaknya
mendapatkan obat yang diresepkan di apotek, informasi yang diberikan kepada pasien, kepemilikan
asuransi kesehatan, distribusi obat, dan hubungan yang terjalin antara pasien dan dokter (Amartiwi,
2012). 22 22 Selain kepatuhan minum obat, diagnosa yang tepat, pemilihan obat, pemberian obat
yang benar dari tenaga kesehatan juga sangat mempengaruhi terkontrolnya tekanan darah pasien
(Mutmainah dan Rahmawati, 2010; Asti, 2006; WHO, 2003). Banyak obat-obat untuk hipertensi yang
harganya cukup mahal dan tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat (Budisetio, 2007). Selain
itu kemampuan pasien untuk mengikuti perawatan secara optimal, sering terganggu oleh beberapa
penghalang diantaranya: faktor sosial ekonomi, sistem perawatan kesehatan, karakteristik penyakit,
terapi penyakit dan faktor yang terkait dengan pasien (Mutmainah dan Damayanti, 2014). 2.2.
PROLANIS 2.2.1.Definisi PROLANIS adalah suatu sistem pelayanan kesehatan dan pendekatan
proaktif yang dilaksanakan secara terintegrasi yang melibatkan peserta, fasilitas kesehatan dan BPJS
Kesehatan dalam rangka pemeliharaan kesehatan bagi peserta BPJS Kesehatan yang menderita
penyakit kronis untuk mencapai kualitas hidup yang optimal dengan biaya pelayanan kesehatan yang
efektif dan efisien (BPJS Kesehatan, 2015b). 2.2.2.Tujuan Mendorong peserta penyandang penyakit
kronis mencapai kualitas hidup optimal dengan indikator 75% peserta terdaftar yang berkunjung ke
Fasilitas Kesehatan (Faskes) Tingkat Pertama memiliki hasil “baik” pada pemeriksaan spesifik
terhadap penyakit Diabetes Melitus (DM) Tipe 2 23 23 dan Hipertensi sesuai Panduan Klinis terkait
sehingga dapat mencegah timbulnya komplikasi penyakit (BPJS Kesehatan, 2015b). 2.2.3.Sasaran
Seluruh Peserta BPJS Kesehatan penyandang penyakit kronis (Diabetes Melitus Tipe 2 dan
Hipertensi) (BPJS Kesehatan, 2015b). 2.2.4.Bentuk Pelaksanaan Aktifitas dalam PROLANIS meliputi
aktifitas konsultasi medis/edukasi, home visit, reminder, aktifitas klub dan pemantauan status
kesehatan (BPJS Kesehatan, 2015b). 2.2.5.Penanggungjawab Penanggungjawab adalah Kantor
Cabang BPJS Kesehatan bagian Manajemen Pelayanan Primer (BPJS Kesehatan, 2015b).
2.2.6.Langkah Pelaksanaan 2.2.6.1. Persiapan Pelaksanaan PROLANIS Persiapan dalam pelaksanaan
PROLANIS antara lain (BPJS Kesehatan, 2015b) : 1. Melakukan identifikasi data peserta sasaran
berdasarkan: a) Hasil Skrining Riwayat Kesehatan dan atau b) Hasil Diagnosa DM Tipe 2 dan
Hipertensi (pada Faskes Tingkat Pertama maupun RS) 2. Menentukan target sasaran 24 24 3.
Melakukan pemetaan Faskes Dokter Keluarga/ Puskesmas berdasarkan distribusi target sasaran
peserta 4. Menyelenggarakan sosialisasi PROLANIS kepada Faskes Pengelola 5. Melakukan pemetaan
jejaring Faskes Pengelola (Apotek, Laboratorium) 6. Permintaan pernyataan kesediaan jejaring
Faskes untuk melayani peserta PROLANIS 7. Melakukan sosialisasi PROLANIS kepada peserta
(instansi, pertemuan kelompok pasien kronis di RS, dan lain-lain) 8. Penawaran kesediaan terhadap
peserta penyandang DM Tipe 2 dan Hipertensi untuk bergabung dalam PROLANIS 9. Melakukan
verifikasi terhadap kesesuaian data diagnosa dengan form kesediaan yang diberikan oleh calon
peserta PROLANIS 10. Mendistribusikan buku pemantauan status kesehatan kepada peserta
terdaftar PROLANIS 11. Melakukan rekapitulasi data peserta terdaftar 12. Melakukan entri data
peserta dan pemberian flag peserta PROLANIS 13. Melakukan distribusi data peserta PROLANIS
sesuai Faskes Pengelola 14. Bersama dengan Faskes melakukan rekapitulasi data pemeriksaan status
kesehatan peserta, meliputi 25 25 pemeriksaan GDP, GDPP, Tekanan Darah, IMT, HbA1C. Bagi
peserta yang belum pernah dilakukan pemeriksaan, harus segera dilakukan pemeriksaan 15.
Melakukan rekapitulasi data hasil pencatatan status kesehatan awal peserta per Faskes Pengelola
(data merupakan luaran Aplikasi P-Care) 16. Melakukan Monitoring aktifitas PROLANIS pada
masingmasing Faskes Pengelola: a) Menerima laporan aktifitas PROLANIS dari Faskes Pengelola b)
Menganalisa data 17. Menyusun umpan balik kinerja Faskes PROLANIS 18. Membuat laporan kepada
Kantor Divisi Regional/Kantor Pusat. 2.2.6.2. Aktivitas PROLANIS Adapun aktifitas PROLANIS antara
lain (BPJS Kesehatan, 2015b) : 1. Konsultasi Medis Peserta PROLANIS: jadwal konsultasi disepakati
bersama antara peserta dengan Faskes Pengelola 2. Edukasi Kelompok Peserta PROLANIS Edukasi
Klub Risti (Klub PROLANIS) adalah kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan dalam
upaya memulihkan penyakit dan mencegah timbulnya kembali penyakit serta meningkatkan status
kesehatan bagi peserta 26 26 PROLANIS. Terbentuknya kelompok peserta (Klub) PROLANIS minimal
1 Faskes Pengelola 1 Klub. Pengelompokan diutamakan berdasarkan kondisi kesehatan Peserta dan
kebutuhan edukasi. Langkah – langkah : a) Mendorong Faskes Pengelola melakukan identifikasi
peserta terdaftar sesuai tingkat severitas penyakit DM Tipe 2 dan Hipertensi yang disandang. b)
Memfasilitasi koordinasi antara Faskes Pengelola dengan Organisasi Profesi/Dokter Spesialis
diwilayahnya. c) Memfasilitasi penyusunan kepengurusan dalam Klub. d) Memfasilitasi penyusunan
kriteria Duta PROLANIS yang berasal dari peserta. Duta PROLANIS bertindak sebagai motivator dalam
kelompok PROLANIS (membantu Faskes Pengelola melakukan proses edukasi bagi anggota Klub). e)
Memfasilitasi penyusunan jadwal dan rencana aktifitas klub minimal 3 bulan pertama. f) Melakukan
monitoring aktifitas edukasi pada masingmasing Faskes Pengelola: menerima laporan aktifitas
edukasi dari Faskes Pengelola dan menganalisis data. g) Menyusun umpan balik kinerja Faskes
PROLANIS. 27 27 h) Membuat laporan kepada Kantor Divisi Regional/Kantor Pusat dengan tembusan
kepada Organisasi Profesi terkait diwilayahnya. 3. Reminder melalui SMS Gateway Reminder adalah
kegiatan untuk memotivasi peserta untuk melakukan kunjungan rutin kepada Faskes Pengelola
melalui pengingatan jadwal konsultasi ke Faskes Pengelola tersebut. Tersampaikannya reminder
jadwal konsultasi peserta ke masing-masing Faskes Pengelola. Langkahlangkah: a. Melakukan
rekapitulasi nomor handphone peserta PROLANIS/Keluarga peserta per masing-masing Faskes
Pengelola. b. Entri data nomor handphone kedalam aplikasi SMS Gateway. c. Melakukan rekapitulasi
data kunjungan per peserta per Faskes Pengelola. d. Entri data jadwal kunjungan per peserta per
Faskes Pengelola. e. Melakukan monitoring aktifitas reminder (melakukan rekapitulasi jumlah
peserta yang telah mendapat reminder). f. Melakukan analisa data berdasarkan jumlah peserta yang
mendapat reminder dengan jumlah kunjungan. 28 28 g. Membuat laporan kepada Kantor Divisi
Regional/Kantor Pusat. 4. Home Visit Home Visit adalah kegiatan pelayanan kunjungan ke rumah
Peserta PROLANIS untuk pemberian informasi/edukasi kesehatan diri dan lingkungan bagi peserta
PROLANIS dan keluarga. Kriteria sasaran peserta PROLANIS : a. Peserta baru terdaftar. b. Peserta
tidak hadir terapi di Dokter Praktek Perorangan/Klinik/Puskesmas 3 bulan berturut-turut. c. Peserta
dengan GDP/GDPP di bawah standar 3 bulan berturut-turut (PPDM). d. Peserta dengan Tekanan
Darah tidak terkontrol 3 bulan berturut-turut (PPHT). e. Peserta pasca opname. Langkah-langkah : a.
Melakukan identifikasi sasaran peserta yang perlu dilakukan home visit. b. Memfasilitasi Faskes
Pengelola untuk menetapkan waktu kunjungan. c. Bila diperlukan, dilakukan pendampingan
pelaksanaan home visit. 29 29 d. Melakukan administrasi home visit kepada Faskes Pengelola
dengan berkas formulir home visit yang mendapat tanda tangan Peserta/Keluarga peserta yang
dikunjungi dan lembar tindak lanjut dari home visit/lembar anjuran Faskes Pengelola. e. Melakukan
monitoring aktifitas home visit (melakukan rekapitulasi jumlah peserta yang telah mendapat home
visit). f. Melakukan analisa data berdasarkan jumlah peserta yang mendapat home visit dengan
jumlah peningkatan angka kunjungan dan status kesehatan peserta. g. Membuat laporan kepada
Kantor Divisi Regional/Kantor Pusat.

Anda mungkin juga menyukai