Anda di halaman 1dari 31

GAMBARAN RADIOLOGIS KELAINAN MUSKULOSKELETAL

PADA PENYAKIT SISTEMIK LUPUS ERITEMATOSUS

Oleh :

Ira Safitri, dr.

Pembimbing :

Atta Kuntara, dr. SpRad (K)

Penyanggah : Indrarini Listyowati, dr.

Penanya wajib :

Taufik Ridwan, dr.

Dema S.Senjaya,dr.

DEPARTEMEN RADIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

2013
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI…………………………………………………………………ii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………..2

2.1. Terminologi……………………………………………………………...2

2.2. Etiologi dan Pathogenesis………………………………………………2

2.3. Gejala Klinis dan Gambaran Radiologis Kelainan Muskuloskeletal

pada Sistemik Lupus Eritematosus…………………………………….5

2.3.1. Jaccoud’s Arthropathy…………………………………………...7

2.3.2. Rhupus hand dan Mild Deforming Arthropathy………………11

2.3.3. Kelainan Ligamentum dan Tendon…………………………....12

2.3.4. Osteonekrosis……………………………………………………14

2.3.5. Insufisiensi fraktur……………………………………………...17

2.3.6. Infeksi……………………………………………………………18

2.3.7. Myalgia dan Myositis…………………………………………..20

2.3.8. Nodul dan kalsifikasi jaringan lunak…………………………21

2.4. Diagnosis Banding……………………………………………………..22

2.4.1. Rematoid Artritis………………………………………………22

BAB III RINGKASAN……………………………………………………..26

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….iii
BAB I

PENDAHULUAN

Sistemik lupus eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang dapat

melibatkan beragam sistem organ dengan gejala klinis tergantung organ yang

terlibat. Penyakit ini terjadi pada rentang usia mulai dari anak hingga dewasa dan

dapat terjadi baik pada pria maupun wanita, meskipun lebih sering mengenai wanita

terutama di usia reproduktif. Secara klinis SLE merupakan penyakit yang

perkembangannya sulit diprediksi karena dalam perjalanannya dapat terjadi remisi

dan kekambuhan dengan kerusakan organ yang timbul seiring waktu secara

signifikan akan menyebabkan penurunan kualitas hidup. Sistem organ yang sering

terkena diantaranya adalah sistem muskuloskeletal. Manifestasi kelainan

muskuloskeletal dapat dinilai dengan modalitas radiologi sehingga keterlibatan tulang

dan jaringan lunak dapat tergambar dengan lebih baik.1,2,3

Radiologi memegang peranan penting dalam penegakan diagnosis, perluasan

penyakit dan penanganan SLE sehingga pengetahuan mengenai temuan gambaran

radiologi pada SLE dan komplikasinya sangat penting agar dapat memberikan

interpretasi imejing yang tepat.2


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Terminologi

Sistemik lupus eritematosus (SLE) adalah penyakit inflamasi jaringan ikat

dengan gambaran bervariasi, termasuk di dalamnya demam, kelemahan, fatigue, nyeri

sendi atau artritis yang menyerupai rematoid artritis, eritema difus pada kulit di

daerah wajah, leher, ekstremitas atas, dengan degenerasi likuefaksi dari lapisan basal

dan atrofi epidermal, limfadenopati, pleuritis atau perikarditis, lesi glomerular,

anemia, hiperglobinemia, dan tes sel LE positif, dengan serum antibodi terhadap

protein inti dan terkadang terhadap double-stranded DNA dan substansi lainnya.4

2.2. Etiologidan Patogenesis

Etiologi spesifik dari SLE meskipun masih belum diketahui pasti, tapi adanya

predisposisi genetik multipel dan interaksi genetik-lingkungan telah diidentifikasi.

Keadaan kompleks ini mungkin dapat menjelaskan manifestasi klinis yang bervariasi

pada seseorang dengan SLE.5,6,7

Patogenesis dari SLE dipengaruhi oleh banyak faktor seperti tampak pada

Gambar 2.3.1.Interaksi antara faktor genetik dan lingkungan menyebabkan respon

imun yang abnormal.7


Gambar 1. Patogenesis SLE. Interaksi antara faktor genetik dan lingkungan menyebabkan
respon imun abnormal.

Interaksi dari faktor genetik dan lingkungan menghasilkan respon imun abnormal

yang menyebabkan kompleks imun dan autoantibodi patogen di deposit pada

jaringan, mengaktifkan sistem komplemen dan menyebabkan inflamasi kemudian

seiring waktu menyebabkan kerusakan jaringan.Respon imun abnormal dari interaksi

tersebut berupa:

1. Aktivasi innate immunity (sel dendritik) oleh CpG DNA, DNA dalam kompleks

imun, dan RNA dalam RNA/protein self-antigen

2. Penurunan ambang aktivasi sel imun adaptif (antigen-spesifik T dan limfosit B)

3. Regulasi inefektif dan inhibitor CD4+ dan CD8+ T cell


4. Klirens reduksi dari sel apoptosis dan kompleks imun.7

Penegakkan diagnosis standar untuk pasien SLE menggunakan kriteria klasifikasi

revisi dari American College of Rheumatology Classification Criteriatahun 1997.

Kriteria klasifikasi diagnostik tersebut dijelaskan pada tabel 1.5,7

Tabel 1. Kriteria Diagnostik untuk SLE


Revised American College of Rheumatology Criteriafor Classification ofSystemic
Lupus Erythematosus
Malar rash Fixed erythema, flat or raised, over the malar eminences
Discoid rash Erythematous circular raised patches with adherent keratotic
scaling and follicular plugging; atrophic scarring may occur
Photosensitivity Exposure to ultraviolet light causes rash
Oral ulcers Includes oral and nasopharyngeal ulcers, observed by physician
Arthritis Nonerosive arthritis of two or more peripheral joints, with
tenderness, swelling, or effusion
Serositis Pleuritis or pericarditis documented by ECG or rub or evidence
of effusion
Renal disorder Proteinuria >0.5 g/d or 3+, or cellular casts
Neurologic Seizures or psychosis without other causes
disorder
Hematologic Hemolytic anemia or leukopenia (<4000/L) or lymphopenia
disorder (<1500/L) or thrombocytopenia (<100,000/L) in the absence of
offending drugs
Immunologic Anti-dsDNA, anti-Sm, and/or anti-phospholipid
disorder
Antinuclear An abnormal titer of ANA by immunofluorescence or an
antibodies equivalent assay at any point in time in the absence of drugs
known to induce ANAs
2.3. Gejala Kinis dan Gambaran Radiologis Kelainan Muskuloskeletal pada

Sistemik Lupus Eritematosus

Penelitian menunjukkan keterlibatan sistem muskuloskeletal yang

memberikan gejala klinis keluhan nyeri sendi pada penyakit SLE dapat mencapai

95% dan merupakan gejala awal pada 50% kasus.1

Gejala klinis umum kelainan muskuloskeletal pada penyakit SLE berupa

artralgia, artritis, dan artropati yang non erosif, reversibel dan melibatkan pergelangan

tangan, lutut, bahu dan sendi tangan terutama sendi interpalang proksimal pada

sekitar 80% pasien SLE. Karakteristik intrinsik dari SLE adalah artropati dengan

deformitas hanya terjadi pada sekitar 5% pasien, dengan mekanisme etiopatogenesis

yang belum jelas diketahui tapi dipercaya berhubungan dengan intrinsic

capsuloligamentous dan tendinous laxity pada pasien SLE.8

Bywaters telah mendefinisikan bentuk deformitas artropati pada SLE

berdasarkan deviasi aksis metacarpal, apakah reversibel atau tidak, dan disebut

sebagai Jaccoud”s index (tabel 2). Tiga bentuk deformitas artropati pada penyakit ini

disebutJaccoud’s arthropati (JA), rhupus hand, dan mild deforming arthropathy

(gambar 2).8
Tabel 2.Jaccoud’s arthropathy index8
Jaccoud’s arthropathy index Number of affected fingers Score
Ulnar deviation 1-4 2
5-8 3
Swan neck deformity 1-4 2
5-8 3
Boutonniere deformity 1-4 2
5-8 3
Z deformity of thumb 1 2
2 3

Gambar 2.Algoritma klasifikasi keterlibatan sendi pada SLE .8

Sistemik lupus eritematosusmemberikan gambaran radiologis kelainan

muskuloskeletal bilateral, deformitas reversibel yang simetris, artropati minimal,

osteoporosis, atrofi jaringan lunak, kalsifikasi dan peningkatan terjadinya

osteonekrosis.Gambaran ini sering didapatkan pada tangan.9

Deformitas pada tangan dapat berupa deviasi digital-ulnar, deformitas

boutonniere, dan deformitas swan-neck, deformitas pada tangan merupakan


karakteristik SLE tapi umumnya tidak bersifat permanen. Deformitas ini dapat

reversibel tergantung pada kelenturan tendon dan ligamentum tapi akan kembali

terlihat saat tangan digerakkan.2

Sebanyak lebih dari 80% pasien SLE mengalami poliartritis non-erosif, tanpa

deformitas, dan simetris yang meliputi persendian di daerah jari tangan, pergelangan

tangan, lutut dan bahu sedangkan sekitar 10% akan mengalami deformitas

irreversibel dan pergeseran ulnar di sendi-sendi metakarpopalangeal juga deformitas

swan-neck dan boutonniere.2 Radiografi tangan memberikan gambaran

pembengkakan jaringan lunak perikapsular yang menandakan adanya sinovitis

disekitar sendi, juga dapat terlihat gambaran juksta artikular osteoporosis dengan

gambaran menyerupai rematoid artritis. Terkadang sulit untuk membedakan kedua

proses penyakit ini karena dapat terjadi secara simultan pada satu individu dengan

gambaran artritis erosif akibat kedua penyakit tersebut. Pada kasus semacam ini

kriteria diagnostik lainnya untuk SLE akan membantu menentukan penyakit mana

yang predominan. Pada pergelangan tangan instabilitas karpal terjadi pada 15%

pasien SLE.Kondisi ini bermanifestasi sebagai pertambahan jarak (_3mm) antara

tulang skapoid dan lunatum atau tulang karpalia lainnya.Instabilitas dari sendi

pergelangan tangan dapat terlihat pada pemeriksaan radiologi berupa deviasi

radioulnar.

2.3.1. Jaccoud’s arthropathy


Sigismond Jaccoud di tahun 1869 merupakan orang pertama yang

mendeskripsikan Jaccoud’s arthropathy (JA) pada pasien demam rematik. Bentuk


artropati dengan deformitas artritis ini menyerupai artritis pada penyakit rematoid

artritis (RA) klasik, tapi reversibel. Kondisi ini ditandai dengan subluksasi dari sendi

metakarpopalangeal, deformitas berbentuk swan neck dan boutonniere, juga

deformitas berbentuk Z pada jari jempol (Gambar 3).8

Gambar 3.Jaccoud’s arthropaty di tangan seorang pasien SLE umur 55 tahun, menunjukkan deviasi
metakarpal-ulnar, swan neck (panah putih), boutonniere (panah hitam), jempol Z (panah putih tebal).

Data histologis dari JA menunjukkan adanya sinovitis dengan infiltrat

inflamasi, perikapsular fibrosis dan gangguan mikrovaskular tanpa adanya panus


yang pada RA klasik ditemukan.Selain ditemukan pada tangan, deformitas ini juga

dapat melibatkan sendi lain seperti sendi lutut, sendi bahu, sendi kaki dan

didapatkannya hallux valgus, hammer toes dan subluksasi sendi metakarpopalangeal.

Sebagai tambahan, keterlibatan sendi pada SLE ini mempengaruhi kualitas hidup

pasien, juga perlu diperhatikan hasil pemeriksaan laboraturium yang dapat

membedakan antara pasien SLE dengan atau tanpa JA.8

Radiografi menunjukkan gambaran deformitas klasik seperti pada RA tapi

tanpa erosi tulang, uniknya gambaran radiologi yang secara klasik didapatkan pada

literatur berupa erosi fokal pada aspek radial dari metakarpal atau metatarsal korpus

(hook erosion) terlihat sebagai deviasi ulnardan mungkin menunjukkan adaptasi lokal

dari stress anomali akibat deviasi tulang ini, akan tetapi temuan ini jarang didapatkan

pada praktek klinis.8

Magnetic resonance imaging (MRI) dapat memberikan gambaran yang lebih

akurat dari keterlibatan sinovial dan tendon pada kondisi ini.Selain adanya penebalan

sinovial dan penyangatan setelah pemberian kontras, adanya panus ekstuberan yang

ditemukan pada RA ternyata tidak didapatkan pada SLE, bahkan pada SLE dengan

deformitas lanjut. Ostendorf dkk, di tahun 2003 mendemonstrasikan gambaran MRI

berupa edema tenosinovitis, dan sinovitis di tangan pada 14 pasien SLE dimana 3

diantaranya dengan JA. Penelitian lain oleh Ribiero, dkk tahun 2010 menunjukkan

dari 20 pasien yang memenuhi kriteria JA di tangan dan dilakukan pemeriksaan MRI

didapatkan lebih dari 90% kasus dengan fleksor tenosinovitis dan juga didapatkan

sekitar 50% pasien dengan erosi subartikular. Ini menunjukkan tidak adanya erosi
mungkin bukan merupakan patognomonik temuan JA sebagaimana disimpulkan

sebelumnya dalam pandangan radiologi, dan metode imejing baru dapat memberikan

informasi yang relevan dari gambaran JA, baik pada tangan atau persendian lainnya.

(Gambar 4).

Gambar 4.A-C. Pasien SLE wanita, umur 60 tahun, menderita SLE selama 24 tahun, MRI T2WI FS,
dan T1WI menunjukkan deformitas jempol Z dengan subluksasi dan efusi pada sela sendi basis
metakarpal satu (panah lurus), luksasi sendi interpalang (panah lengkung). D-E Pasien SLE wanita lain
yang menderita SLE selama 13 tahun, MRI koronal T2WI FS menunjukkan tenosinovitis (panah lurus)
(D) koronal, T1WI dengan kontras (E) dan aksial (F,G). Sinovitis pada sendi interpalang jempol
(panah lengkung).

Gambaran pemeriksaan radiologi terkini dari pasien SLE dengan artritis pada

sendi jari tangan menunjukkan bahwa MRI dapat mendeteksi tanda karakteristik dari
gangguan tulang (seperti erosi, yang terkadang tidak terlihat pada radiografi

konvensional), karena itu MRI dapat membantu membedakan tipe artritis lupus yang

akan membantu pada pemilihan terapi dan monitoring penyakit.1

Ultrasonografi merupakan metode yang bagus untuk menemukan dan

menindaklanjuti sinovitis, tenosinovitis dan erosi tulang tapi kurang digunakan di

komunitas radiologi sebagai metode untuk mengevaluasi pasien SLE secara umum.8

2.3.2. Rhupus Hand dan Mild Deforming Arthropathy

Rhupus di deskripsikan sebagai artritis yang menyerupai rematoid artritis dan

berhubungan dengan penyakit erosif serta adanya rematoid faktor.Terminologi

rhupus awalnya digunakan untuk mendeskripsikan kondisi erosi sendi tangan pada

pasien SLE yang menyerupai pasien RA karena karakteristik pasien yang memenuhi

kriteria klasifikasi dari SLE maupun RA. Telah banyak perdebatan mengenai kondisi

ini untuk menentukan apakah rhupus hand merupakan subgroup dari lupus artropati

atau terdapat hubungan antara kedua penyakit SLE dan RA. Kemungkinan adanya

tumpang tindih dari kedua penyakit ini diperkirakan kurang dari 5 %.Gambaran

imejing, kondisi yang menggambarkan deformitas dengan adanya erosi tulang dapat

diidentifikasi pada foto konvensional,menyerupai gambaran RA. 10

Artropati dengan deformitas ringan (mild deforming arthropathy)

memberikan gambaran adanya keterlibatan sendi ringan, tanpa erosi yang tidak

memenuhi klasifikasi dari JA (skore JA<5). Deviasi ulnar dan deformitas swan-neck

tampak predominan, tanpa ada deformitas di jempol dan di kaki.8


2.3.3. Kelainan Ligamentum dan tendon

Ligamentum instabilitas dan kelemahan (laxity) dari struktur penyokong

menyebabkan deformitas pada SLE menjadi reversibel, meskipun jika terjadi atropi

otot dan kontraktur, deformitas reversibel bisa menjadi menetap, sebagaimana terlihat

pada Jaccoud syndrome.Pada pasien lupus meskipun jarang, tapi dapat terjadi ruptur

spontan dari tendon.Etiologi pasti dari kondisi ini belum diketahuidan diduga

berhubungan dengan trauma lokal, proses inflamasi kronis basal dan penggunaan

kortikosteroid. Saat ini belum di dapatkan data insidensi pasti dari keadaan ini di

kepustakaan sedangkan komplikasi ruptur tendon spontan pada penyakit RA telah

diketahui dan diduga berhubungan dengan erosi tulang yang secara sekunder

menyebabkan laserasi pada tendon. Berlawanan dengan RA dimana ruptur tendon

hampir selalu terjadi di tangan, pada pasien SLE ruptur tendon justru sering terlihat

pada ekstremitas bawah, melibatkan tendon quadriseps dan terkadang tendon patella

dan tendon achilles yang juga berhubungan dengan komponen mekanis. Terapi

kortikoid diketahui merupakan faktor predisposisi dan aksinya berhubungan dengan

efek antimikotik dan inhibisi fibroblas dengan stimulus kolagen dan consequential

structural fiber disorganization. Penelitian terbaru menunjukkan komplikasi rupture

tendon pada SLE mungkin berhubungan dengan proses inflamasi primer di sarung

tendon yang menyebabkan kelemahan fokal tendon dan selanjutnya ruptur.2,8

Tenosinovitis dan bursitis sering di dapatkan pada pasien SLE sedangkan

lupus tendinitis sangat jarang disebutkan di kepustakaan, akan tetapi ruptur tendon

cukup sering ditemukan dan diduga berhubungan dengan trauma, penggunaan steroid,
durasi penyakit dan lebih sering didapatkan pada pria. Grigor dkk., melaporkan

adanya kontraktur tendon pada 12% pasien yang mereka teliti. Pemeriksaan imejing

pasien SLE dengan artritis, menggunakan MRI dapat mendeteksi adanya tanda

karakteristik dari kelainan jaringan lunak seperti pembengkakan kapsular, edema dan

tenosinovitis proliferatif, serta hipertropi sinovial.2,10

A. B.
Gambar 5. A. Tenosinovitis pada pasien SLE di tendonfleksor jari ke-3 menunjukkan signal positif
power doppler sonografi. B.Pasien SLE dengan erosi dan efusi sendi MCP jari ke-210

Gambar 6. A. Pasien SLE wanita, 24 tahun sonografi normal tendon fleksor jari tangan kedua
potongan transversa dan longitudinal. 11
Gambar 7.Pasien yang sama dengan (Gambar 6) menunjukkan ruptur tendon fleksor jari tangan ketiga
potongan transversal dan longitudinal.11

2.3.4. Osteonekrosis

Osteonekrosis atau avascular necrosis(AVN),dapat terjadi pada 5%-50%

pasien SLE dan terutama mengenai weight-bearing joints(Gambar. 6), dapat

disebabkan karena SLE sendiri atau dipicu oleh terapi steroid. Keadaan ini sering

terjadi bersamaan karena hampir seluruh pasien SLE diobati dengan steroid pada saat

tertentu, meskipun dapat juga diobati dengan cyclophosphamide, azathioprine, atau

NSAID (non steroid anti-inflammatory drugs) saat terjadi kekambuhan. Kaput

femoris merupakan lokasi yang paling sering terkena, diikuti kaput humerus, kondilus

femoralis, dan lempeng tibial .Radiografi biasanya normal pada awal AVN, dan

perubahan lanjutan berupa sklerosis tulang, merupakan indikasi adanya kerusakan

irreversibel dari sendi.Dua faktor pada bone scintigraphy yaitu hiperemia pada tulang

yang terkena dan osteogenesis berperan penting dalam diagnosa AVN, akan tetapi

hiperemia dan osteogenesis tidak didapatkan pada infark tulang akut, sehingga

gambaran awal AVN akan tampak sebagai area photopenic pada bone scan

menggunakan technetium-99m methylene diphosponate. Dalam hitungan hari, terjadi


pembentukan osteoklas untuk meresorbsi tulang yang nekrotik dan osteoblas untuk

membangun jembatan tulang baru akan meningkatkan pengambilan radiotracer di

daerah tepi infark karenanya gambaran bone scintigraphy dapat non spesifik

sebagaimana gambaran AVN lebih lanjut.2

Penelitian prospektif menunjukkan pemeriksaan MRI lebih superior dan lebih

sensitif dibandingkan radiografi ataupun scintigraphy untuk menentukan AVN

awal.MRI telah digunakan untuk menentukan osteonekrosis pada pasien SLE

simptomatik yang mendapatkan kortikosteroid dosis tinggi. Gambaran MRI pada

AVN berhubungan dengan proses patofisiologis dari penyakit. Insufisiensi vaskular

akan menyebabkan nekrosis beragam sel, dimulai dengan sel hematopoetik, diikuti

adiposit dan akhirnya osteosit, karenanya gambaran awal MRI dapat normal akibat

minimnya edema, perdarahan, atau respon sumsum tulang. Pada keadaan ini MRI

dengan kontras gadolinium dapat memberikan gambaran penyangatan minimal dari

area yang devaskularisasi sedangkan pada spin echo(SE) dan short inversion

timeinversion recovery(STIR) gambarannya masih normal. Awal gambaran

abnormalitas pada MRI berupa bone marrow edema, yang dapat terjadi luas

walaupun daerah infark kecil. Setelah beberapa hari perubahan reaktif dari tepi

infark menjadi terlihat dan bermanifestasi sebagai daerah dengan low-signal intensity

area pada spin-echo T1 dan T2 weighted images(WI). Jaringan granulasi dengan

vaskularisasi di dalam tulang yang reaktif memberikan gambaran signal

intermediate-highintensitypada T2-WI, membentuk garis dengan low signal intensity

yang berdampingan dengan garis high signal intensity. Fraktur subkondral


bermanifestasi sebagai high signal intensity pada T2-WI dan bersamaan dengan

intensitas signal cairan atau edema. Kolaps dari permukaan sendi menyebabkan

hilangnya kontur normal spheris dari bone incongruity dari permukaan sendi.

Kolaps seperti ini biasanya menghasilkanlow signal intensity pada T2-WI yang

cocok dengan gambaran perubahan fibrotik di dalam infark sumsum tulang.2

A B C
Gambar 8. A,B,C. AVN dari kaput femoris sekunder terhadap SLE. A. Fraktur subkondral dan
kerusakan permukaan sendi kaput femoris kiri. B. Sklerosis distal femur dan proksimal tibia.
C.Sagital T1WI menunjukkan infark tulang dengan hipointens rim (jaringan granulasi). 2

Gambar 9. A. AVN okulta akut pada pasien SLE. MRI T1WI Koronal, hip joint bilateral. B.T1WI
FS dengan kontras menunjukkan area nekrotik dengan kontur serpiginus (panah) di daerah subkondral
kaput femoris, jika didapatkan bilateral biasanya berhubungan dengan terapi kortikoid. C. MRI T1WI
lutut kanan pasien SLE dalam terapi kortikoid. D. Infark medulla dengan tanda double line akibat
iskemik tulang pada daerah proksimal metafisis dari tibia (panah hitam).8
2.3.5. Insufisiensi Fraktur

Stress/tekanan normal pada tulang abnormal dapat menyebabkan insufisiensi

fraktur (Gambar 8). Pada pasien SLE patogenesis insufisiensi fraktur masih belum

jelas, tapi mungkin berhubungan dengan perubahan kondisi, akselerasi bone loss

karena terapi steroid atau keduanya. Hasil akhir berupa insufisiensi fraktur.MRI

dapat menemukan insufisiensi fraktur awal atau ringan yang dapat tersembunyi pada

radiografi karena osteoporosis berat. Pada MRI T2-WI insufisiensi fraktur tampak

berupa area dengan high intensity signal akibat bone marrow edema di daerah lokasi

stress (Gambar 9).2,8

Gambar 10. Insufisiens fraktur


pada ankle joint kanan di distal
diafisis fibula (panah) pada
pasien SLE tanpa riwayat trauma. 2
Gambar 11. Fraktur insufisiensi akut korpus vertebra pada pasien SLE umur 47 tahun dalam terapi
kortikoid. A. Sagital MRI T1WI. B. FSE T2WI. Tampak kolaps parsial dari korpus vertebra T12
bagian atas (panah). C.Edema lebih jelas tampak pada sekuens STIR berhubungan dengan reaksi
inflamasi local dengan pengambilan kontras pada T1WI FS. 8

2.3.6. Infeksi

Faktor dermatologis, kortikosteroid dan vaskulopati memudahkan pasien SLE

terkena septikartritis dan osteomyelitis (Gambar 10).Terapi steroid meyebabka infeksi

dapat tersamar dan terjadichronic indolent disease.Jenis organisme yang di dapat

adalah S.aureus, gram negatif-basil dan M.tuberkulosis secara hematogen. Gambaran

radiografi berupakerusakan tulang progresif, hilangnya kartilago, periostitis, dan

efusi sendi.2

Sehubungan dengan osteomyelitis, patogenesisnya juga multifaktorial, dan

berhubungan dengan virulensi organisme infeksius, penyakit penyerta dan status

imunpasien dan tipe serta lokasi dari tulang yang terlibat dengan S. aureusmerupakan
penyebab utama.8Pada kasus persisten monoartikular artritis, tidak adanya respon

terapi terhadap kortikosteroid atau obat imunosupresif lainnya harus diwaspadai

kemungkinan adanya proses infeksi, tergantung pada fase penyakit, metode imejing

yang berbeda dapat mengenali adanya komplikasi tersebut sehingga radiologi

memegang peranan penting dalam mengidentifikasi penyakit (Gambar 11)

Gambar 12. Osteomyelitis pada pasien SLE dengan


destruksi tulang dan periostitis di distal tibia kanan. 2
Gambar 13.A. septik arthritis pada sendi interpalang proksimal jari ke-5 pada pasien SLE. B,C,
Koronal dan sagital MRI T2WI-FS, menunjukkan edema medulla tulang (B) dan strain akibat cairan
dalam kapsul artikuler pada sendi interpalang proksimal jari ke-5(panah putih di C). D.Koronal MRI
T1WI dengan kontras menunjukkan penyangatan disekitar tulang, sinovia dan jaringan lunak
sekitarnya.8

2.3.7. Myalgia dan Myositis

Myalgia dan myositis didapatkan pada pasien SLE dengan gambaran nyeri

otot generalisata dirasakan sekitar 40%-80% pasien hingga myositis inflamasi pada

sekitar 5%-11% kasus.Gambaran histologi otot pasien dengan SLE sekunder karena

SLE dapat identik dengan pasien polimyositis, perbedaannya lebih jelas terlihat

karena kondisi klinis pasien.MRI merupakan pilihan imejing untuk myositis

meskipun dengan spesifisitas yang rendah, tapi pengggunaan MRI membantu

menentukan diagnosis banding, menilai respon terapi dan menentukan daerah biopsy

jika diperlukan. Gambaran MRI yang terlihat berupa peningkatan intensitas sinyal

pada sekuens T2WI dan STIR akibat peningkatan cairan dan infiltrat inflamasi
intraseluler yang akan meningkatkan volume otot (Gambar 12).Penggunaan obat-

obatan termasuk kortikosteroid, antimalaria dan statin perlu dipertimbangkan dapat

memberikan efek samping myositis.Fibromyalgia dapat berhubungan dengan SLE

dan memberikan kontribusi terjadinya kelemahan pada pasien SLE yang

mempengaruhi kualitas hidup dari penderita SLE.1,8,13,14

Gambar 14.Pasien SLE, wanita, usia 39 tahun MRI femur kiri (aksial) dan femur bilateral (koronal).
A.T2WI FS dilakukan 4 bulan setelah keluhan nyeri femur menunjukan edema progresif ekstensif
sesuai dengan myositis inflamasi bilateral di daerah femur terutama kiri (panah menunjukkan daerah
edema/inflamasi)14
2.3.8. Nodul dan kalsifikasi jaringan lunak

Nodul subkutan dapat ditemukan pada pasien SLE dan dapat terbentuk pada

tendon, terutama tendon fleksor di tangan. Gambaran histologist nodul pada SLE

sangat mirip dengan nodul pada rheumatoid artihritis .Kalsifikasi jaringan lunak

jarang ditemukan pada pasien SLE, kalsifikasi periartikular di persendian kecil

tangan pernah dilaporkan pada pasien SLE.1


2.4. Diagnosis Banding

2.4.1. Rematoid Artritis

Secara klinis rematoid artritis (RA) mengenai 1%-2% populasi dengan

deformitas permanen dan disabilitas sekitar 10% sampai 20%.Karekteristik RA

adalah simetris poliartropati. Diagnostik kriteria dari American Rheumatism

Association adalah sebagai berikut :

a. Kaku sendi pagi hari berlangsung sampai 1 jam sebelum perbaikan

b. Pembengkakan jaringan lunak dari 3 atau lebih persendian yang

tampak pada pemeriksaan fisik

c. Pembengkakan pergelangan tangan, sendi metakarpopalangeal, dan

sendi interpalang proksimal.

d. Pembengkakan yang simetris

e. Rematoid nodul

f. Positif rematoid faktor

g. Radiografi menunjukkan adanya erosi dengan atau tanpa juksta-

artikular osteopeni di tangan, pergelangan tangan atau keduanya

h. Kriteria 1 sampai 4 harus di dapatkan selama 6 minggu, jika

didapatkan 4 kriteria atau lebih, maka sensitivitasnya sekitar 91%

sampai 94% dan spesifisitas 89% untuk RA.

i. Umur antara 25 sampai 55 tahun

j. Wanita dibandingkan pria 3:1


k. Distribusi : sendi interpalang proksimal, sendi metakarpopalangeal,

sendi metatarsopalangeal, tumit, lutut, bahu dan yang lebih jarang

pada pinggul dan vertebra

Pemeriksaan laboraturium menunjukkan hasil rheumatoid factor (RF)positif,

dan peningkatan laju endap eritrosit.15

Rematoid arthritis diawali pada sendi perifer terutama sendi interpalang

proksimal, dan metakarpopalangeal di tangan.Seiring progresifitas penyakit sendi

yang lebih proksimal mulai terlibat, termasuk vertebra dan ekstremitas kemudian ke

seluruh sendi tubuh.Penyakit RA dapat berhenti di stadium manapun.Patogenesis RA

dimulai dari sinovitis pada stadium awal, tampak edema dan inflamasi dari sinovium

dan jaringan synovial disertai efus sendi.Semakin lanjut, sinovium semakin tebal

dengan pembesaran vili sinovial yang diikuti proliferasi jaringan ikat yang disebut

pannus. Pannus menyebabkan erosi marginal tulang di daerah kartilago sendi dan

insersi kapsul sendi, kemudian jika pannus berkembang akan menghancurkan

permukaan dan kartilago sendi.7,12

Gambaran radiografi awal menunjukkan adanya pembengkakan jaringan

lunak disekitar sendi yang sakit, juksta-artikular osteopeni dan erosi tulang minimal

marginal. Gambaran radiogragi fase lanjut berupa osteopeni (difus), penyempitan

sela sendi, erosi tulang, subluksasi sendi dan atropi jaringan lunak serta nodul

rematoid.15
Gambar 12. Fase awal RA. (A,B), foto manus bilateral menunjukkan pembengkakan
ringan (panah) dan osteopeni juksta-artikular.15

Gambar 13. Potongan koronal dengan kontras T1WI , FS, menunjukkan


perubahan awal pada RA berupa erosi (panah) dan penyangatan synovial.15
Gambar 14.RA fase lanjut. A. Perubahan erosive di ulna dan radius distal.
B. Beberapa tahun kemudian didapatkan erosive komplit dari pergelangan tangan.15

Gambar 15. RA fase lanjut. C. pembengkakan dan erosi dari sendi MTP join ke-5 (panah).
.D.Multipel subkutan nodul (panah).15
BAB III

RINGKASAN

Sistemik lupus eritematosus adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan

inflamasi sistem organ multipel termasuk muskuloskeletal. Karakteristik gambaran

radiologis SLE pada sistem muskuloskeletal berupa penyakit sendi

poliartikularbilateral simetris, deformitas reversibel umumnya tanpa erosi, artritis,

pembengkakan jaringan lunak periartikular, osteopeni jukstaartikular, tenosinovitis,

osteoporosis, atrofi jaringan lunak dan peningkatan terjadinya septik artritis,

insufisiensi fraktur dan osteonekrosis.Deformitas pada tangan dapat berupa deviasi

digital-ulnar, deformitas boutonniere, dan deformitas swan-neck, deformitas pada

tangan merupakan karakteristik SLE tapi umumnya tidak bersifat permanen.

Deformitas ini dapat reversibel tergantung pada kelenturan tendon dan ligamentum

tapi akan kembali terlihat saat tangan digerakkan.

Pemeriksaan radiologi penting dalam penegakan diagnosis, perluasan

penyakit dan penanganan SLE. Modalitas yang digunakan adalah radiografi atau

foto konvensional yang bisa digunakan untuk menilai kondisi sendi dan tulang,

ultrasonografi untuk menilai inflamasi di persendian dan jaringan lunak sekitarnya

seperti pada keadaan tenosinovitis ataupun ruptur tendon dan MRI yang sangat baik

untuk menilai kondisi persendian dan jaringan lunak sekitarnya baik tendon,

ligamantum ataupun otot yang mengalami inflamasi juga menilai erosi tulang, bone

marrow serta osteonekrosis.


DAFTAR PUSTAKA

1. Zoma, A. Musculoskeletal involvement in systemic lupus erythematosus.

Lanarkshire center for rheumatology,Scotland, UK. In lupus-journal (2004)

13 :851-853

2. TasneemA.Lalani, Jeffrey P.Kane, Gregory A.Hatfeld, Phebe Chen, Imaging

Finding in Systemic Lupus Erythematosus.Radiographic Journal.

2004:24:1069-1086

3. ChaimPutterman, Roberto Caricchio, Anne Davidson, Harris Perlman.

Systemic Lupus Erythematosus. Clinical and Fundamental Immunology

Journal.Volume 2012 article ID 437282.

4. Medical dictionary. diunduhdarihttp://www.medilexicon.com/medicaldiction

5. Symposium on Rheumatology in Adolescent. Comparison of Juvenile and

Adult Onset Systemic Lupus Erythematosus. British Journal of Hospital

Medicine, October 2012, Vol.73.No.10

6. George C Tsokos. Systemic Lupus Erythematosus a disease with complex

pathogenesis. The Lancet; Dec 2001:358:65. Proquest Biology Journal.

7. Fauci, Braunwald, Kasper, Longo, Jameson, Loscalzo. Harrison’s Principle

of Internal Medicine.Edisi 17. 2008.

8. Daniel SáRibeiro, César de AraújoNeto, Fernando D’Almeida ,

VerenaLoureiroGalvão, MittermayerBarreto Santiago, Imaging Finding of


Musculoskeletal Disorders Associated with Systemic Lupus Erythematosus.

RadiologiaBrasiliera Journal.2011. Vol.44 no.1.

9. Terry R.Yochum, Lindsay J.Rowe. Essentials of Skeletal Radiology. Third

Edition.2005.Vol.2:1065-1071.

10. Elisabeth M.A. Ball, Aubrey L Bell. Lupus Arthritis-Do We Have A Clinically

UsefullClassification?.British Society for Rheumatology

Journal.2012;51:771-779

11. S Wright, E Filippucci,W Grassi, A Grey and A Bell. Hand Arthritis in

Systemic Lupus Erythematosus: An Ultrasound Pictorial Essay.Sage, Lupus

Journal 2006.15:501-506

12. J.Hodler, G.K. Von Schultess, Ch.L.Zollikofer. Musculoskeletal Disease,

Diagnostic Imaging and Interventional Techniques.Springer 2005.Hal:143-

145.

13. Manaster, Roberts, Petersilge. Diagnostic Imaging Musculoskeletal : Non-

Traumatic Disease.Amirsys Publishing Inc. 2010. Hal :6-58.

14. Jeremy Sokolove, Andrew Copland, ShervinShirvani, Janice Brown, Keith

Posley, Lorinda Chung.Case Report: A 39-Year-Old Woman with Lupus,

Myositis and RecalcitranVasculopathy. Arthritis Care and Research Journal,

Vol.62 No.9 September 2010:1351-1356

15. Thomas H. Berquist. Arthropathies, Connective Tissue Disease in

Musculoskeletal Imaging Companion. Lippincot-William pub. 2007.

Anda mungkin juga menyukai