Oleh :
Pembimbing :
Penanya wajib :
Dema S.Senjaya,dr.
DEPARTEMEN RADIOLOGI
2013
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI…………………………………………………………………ii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………1
2.1. Terminologi……………………………………………………………...2
2.3.4. Osteonekrosis……………………………………………………14
2.3.6. Infeksi……………………………………………………………18
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….iii
BAB I
PENDAHULUAN
melibatkan beragam sistem organ dengan gejala klinis tergantung organ yang
terlibat. Penyakit ini terjadi pada rentang usia mulai dari anak hingga dewasa dan
dapat terjadi baik pada pria maupun wanita, meskipun lebih sering mengenai wanita
dan kekambuhan dengan kerusakan organ yang timbul seiring waktu secara
signifikan akan menyebabkan penurunan kualitas hidup. Sistem organ yang sering
radiologi pada SLE dan komplikasinya sangat penting agar dapat memberikan
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Terminologi
sendi atau artritis yang menyerupai rematoid artritis, eritema difus pada kulit di
daerah wajah, leher, ekstremitas atas, dengan degenerasi likuefaksi dari lapisan basal
anemia, hiperglobinemia, dan tes sel LE positif, dengan serum antibodi terhadap
protein inti dan terkadang terhadap double-stranded DNA dan substansi lainnya.4
Etiologi spesifik dari SLE meskipun masih belum diketahui pasti, tapi adanya
Keadaan kompleks ini mungkin dapat menjelaskan manifestasi klinis yang bervariasi
Patogenesis dari SLE dipengaruhi oleh banyak faktor seperti tampak pada
Interaksi dari faktor genetik dan lingkungan menghasilkan respon imun abnormal
tersebut berupa:
1. Aktivasi innate immunity (sel dendritik) oleh CpG DNA, DNA dalam kompleks
memberikan gejala klinis keluhan nyeri sendi pada penyakit SLE dapat mencapai
artralgia, artritis, dan artropati yang non erosif, reversibel dan melibatkan pergelangan
tangan, lutut, bahu dan sendi tangan terutama sendi interpalang proksimal pada
sekitar 80% pasien SLE. Karakteristik intrinsik dari SLE adalah artropati dengan
berdasarkan deviasi aksis metacarpal, apakah reversibel atau tidak, dan disebut
sebagai Jaccoud”s index (tabel 2). Tiga bentuk deformitas artropati pada penyakit ini
(gambar 2).8
Tabel 2.Jaccoud’s arthropathy index8
Jaccoud’s arthropathy index Number of affected fingers Score
Ulnar deviation 1-4 2
5-8 3
Swan neck deformity 1-4 2
5-8 3
Boutonniere deformity 1-4 2
5-8 3
Z deformity of thumb 1 2
2 3
reversibel tergantung pada kelenturan tendon dan ligamentum tapi akan kembali
Sebanyak lebih dari 80% pasien SLE mengalami poliartritis non-erosif, tanpa
deformitas, dan simetris yang meliputi persendian di daerah jari tangan, pergelangan
tangan, lutut dan bahu sedangkan sekitar 10% akan mengalami deformitas
disekitar sendi, juga dapat terlihat gambaran juksta artikular osteoporosis dengan
proses penyakit ini karena dapat terjadi secara simultan pada satu individu dengan
gambaran artritis erosif akibat kedua penyakit tersebut. Pada kasus semacam ini
kriteria diagnostik lainnya untuk SLE akan membantu menentukan penyakit mana
yang predominan. Pada pergelangan tangan instabilitas karpal terjadi pada 15%
tulang skapoid dan lunatum atau tulang karpalia lainnya.Instabilitas dari sendi
radioulnar.
artritis (RA) klasik, tapi reversibel. Kondisi ini ditandai dengan subluksasi dari sendi
Gambar 3.Jaccoud’s arthropaty di tangan seorang pasien SLE umur 55 tahun, menunjukkan deviasi
metakarpal-ulnar, swan neck (panah putih), boutonniere (panah hitam), jempol Z (panah putih tebal).
dapat melibatkan sendi lain seperti sendi lutut, sendi bahu, sendi kaki dan
Sebagai tambahan, keterlibatan sendi pada SLE ini mempengaruhi kualitas hidup
tanpa erosi tulang, uniknya gambaran radiologi yang secara klasik didapatkan pada
literatur berupa erosi fokal pada aspek radial dari metakarpal atau metatarsal korpus
(hook erosion) terlihat sebagai deviasi ulnardan mungkin menunjukkan adaptasi lokal
dari stress anomali akibat deviasi tulang ini, akan tetapi temuan ini jarang didapatkan
akurat dari keterlibatan sinovial dan tendon pada kondisi ini.Selain adanya penebalan
sinovial dan penyangatan setelah pemberian kontras, adanya panus ekstuberan yang
ditemukan pada RA ternyata tidak didapatkan pada SLE, bahkan pada SLE dengan
berupa edema tenosinovitis, dan sinovitis di tangan pada 14 pasien SLE dimana 3
diantaranya dengan JA. Penelitian lain oleh Ribiero, dkk tahun 2010 menunjukkan
dari 20 pasien yang memenuhi kriteria JA di tangan dan dilakukan pemeriksaan MRI
didapatkan lebih dari 90% kasus dengan fleksor tenosinovitis dan juga didapatkan
sekitar 50% pasien dengan erosi subartikular. Ini menunjukkan tidak adanya erosi
mungkin bukan merupakan patognomonik temuan JA sebagaimana disimpulkan
sebelumnya dalam pandangan radiologi, dan metode imejing baru dapat memberikan
informasi yang relevan dari gambaran JA, baik pada tangan atau persendian lainnya.
(Gambar 4).
Gambar 4.A-C. Pasien SLE wanita, umur 60 tahun, menderita SLE selama 24 tahun, MRI T2WI FS,
dan T1WI menunjukkan deformitas jempol Z dengan subluksasi dan efusi pada sela sendi basis
metakarpal satu (panah lurus), luksasi sendi interpalang (panah lengkung). D-E Pasien SLE wanita lain
yang menderita SLE selama 13 tahun, MRI koronal T2WI FS menunjukkan tenosinovitis (panah lurus)
(D) koronal, T1WI dengan kontras (E) dan aksial (F,G). Sinovitis pada sendi interpalang jempol
(panah lengkung).
Gambaran pemeriksaan radiologi terkini dari pasien SLE dengan artritis pada
sendi jari tangan menunjukkan bahwa MRI dapat mendeteksi tanda karakteristik dari
gangguan tulang (seperti erosi, yang terkadang tidak terlihat pada radiografi
konvensional), karena itu MRI dapat membantu membedakan tipe artritis lupus yang
komunitas radiologi sebagai metode untuk mengevaluasi pasien SLE secara umum.8
rhupus awalnya digunakan untuk mendeskripsikan kondisi erosi sendi tangan pada
pasien SLE yang menyerupai pasien RA karena karakteristik pasien yang memenuhi
kriteria klasifikasi dari SLE maupun RA. Telah banyak perdebatan mengenai kondisi
ini untuk menentukan apakah rhupus hand merupakan subgroup dari lupus artropati
atau terdapat hubungan antara kedua penyakit SLE dan RA. Kemungkinan adanya
tumpang tindih dari kedua penyakit ini diperkirakan kurang dari 5 %.Gambaran
imejing, kondisi yang menggambarkan deformitas dengan adanya erosi tulang dapat
memberikan gambaran adanya keterlibatan sendi ringan, tanpa erosi yang tidak
memenuhi klasifikasi dari JA (skore JA<5). Deviasi ulnar dan deformitas swan-neck
menyebabkan deformitas pada SLE menjadi reversibel, meskipun jika terjadi atropi
otot dan kontraktur, deformitas reversibel bisa menjadi menetap, sebagaimana terlihat
pada Jaccoud syndrome.Pada pasien lupus meskipun jarang, tapi dapat terjadi ruptur
spontan dari tendon.Etiologi pasti dari kondisi ini belum diketahuidan diduga
berhubungan dengan trauma lokal, proses inflamasi kronis basal dan penggunaan
kortikosteroid. Saat ini belum di dapatkan data insidensi pasti dari keadaan ini di
diketahui dan diduga berhubungan dengan erosi tulang yang secara sekunder
hampir selalu terjadi di tangan, pada pasien SLE ruptur tendon justru sering terlihat
pada ekstremitas bawah, melibatkan tendon quadriseps dan terkadang tendon patella
dan tendon achilles yang juga berhubungan dengan komponen mekanis. Terapi
efek antimikotik dan inhibisi fibroblas dengan stimulus kolagen dan consequential
tendon pada SLE mungkin berhubungan dengan proses inflamasi primer di sarung
lupus tendinitis sangat jarang disebutkan di kepustakaan, akan tetapi ruptur tendon
cukup sering ditemukan dan diduga berhubungan dengan trauma, penggunaan steroid,
durasi penyakit dan lebih sering didapatkan pada pria. Grigor dkk., melaporkan
adanya kontraktur tendon pada 12% pasien yang mereka teliti. Pemeriksaan imejing
pasien SLE dengan artritis, menggunakan MRI dapat mendeteksi adanya tanda
karakteristik dari kelainan jaringan lunak seperti pembengkakan kapsular, edema dan
A. B.
Gambar 5. A. Tenosinovitis pada pasien SLE di tendonfleksor jari ke-3 menunjukkan signal positif
power doppler sonografi. B.Pasien SLE dengan erosi dan efusi sendi MCP jari ke-210
Gambar 6. A. Pasien SLE wanita, 24 tahun sonografi normal tendon fleksor jari tangan kedua
potongan transversa dan longitudinal. 11
Gambar 7.Pasien yang sama dengan (Gambar 6) menunjukkan ruptur tendon fleksor jari tangan ketiga
potongan transversal dan longitudinal.11
2.3.4. Osteonekrosis
disebabkan karena SLE sendiri atau dipicu oleh terapi steroid. Keadaan ini sering
terjadi bersamaan karena hampir seluruh pasien SLE diobati dengan steroid pada saat
femoris merupakan lokasi yang paling sering terkena, diikuti kaput humerus, kondilus
femoralis, dan lempeng tibial .Radiografi biasanya normal pada awal AVN, dan
irreversibel dari sendi.Dua faktor pada bone scintigraphy yaitu hiperemia pada tulang
yang terkena dan osteogenesis berperan penting dalam diagnosa AVN, akan tetapi
hiperemia dan osteogenesis tidak didapatkan pada infark tulang akut, sehingga
gambaran awal AVN akan tampak sebagai area photopenic pada bone scan
daerah tepi infark karenanya gambaran bone scintigraphy dapat non spesifik
akan menyebabkan nekrosis beragam sel, dimulai dengan sel hematopoetik, diikuti
adiposit dan akhirnya osteosit, karenanya gambaran awal MRI dapat normal akibat
minimnya edema, perdarahan, atau respon sumsum tulang. Pada keadaan ini MRI
area yang devaskularisasi sedangkan pada spin echo(SE) dan short inversion
abnormalitas pada MRI berupa bone marrow edema, yang dapat terjadi luas
walaupun daerah infark kecil. Setelah beberapa hari perubahan reaktif dari tepi
infark menjadi terlihat dan bermanifestasi sebagai daerah dengan low-signal intensity
intensitas signal cairan atau edema. Kolaps dari permukaan sendi menyebabkan
hilangnya kontur normal spheris dari bone incongruity dari permukaan sendi.
Kolaps seperti ini biasanya menghasilkanlow signal intensity pada T2-WI yang
A B C
Gambar 8. A,B,C. AVN dari kaput femoris sekunder terhadap SLE. A. Fraktur subkondral dan
kerusakan permukaan sendi kaput femoris kiri. B. Sklerosis distal femur dan proksimal tibia.
C.Sagital T1WI menunjukkan infark tulang dengan hipointens rim (jaringan granulasi). 2
Gambar 9. A. AVN okulta akut pada pasien SLE. MRI T1WI Koronal, hip joint bilateral. B.T1WI
FS dengan kontras menunjukkan area nekrotik dengan kontur serpiginus (panah) di daerah subkondral
kaput femoris, jika didapatkan bilateral biasanya berhubungan dengan terapi kortikoid. C. MRI T1WI
lutut kanan pasien SLE dalam terapi kortikoid. D. Infark medulla dengan tanda double line akibat
iskemik tulang pada daerah proksimal metafisis dari tibia (panah hitam).8
2.3.5. Insufisiensi Fraktur
fraktur (Gambar 8). Pada pasien SLE patogenesis insufisiensi fraktur masih belum
jelas, tapi mungkin berhubungan dengan perubahan kondisi, akselerasi bone loss
karena terapi steroid atau keduanya. Hasil akhir berupa insufisiensi fraktur.MRI
dapat menemukan insufisiensi fraktur awal atau ringan yang dapat tersembunyi pada
radiografi karena osteoporosis berat. Pada MRI T2-WI insufisiensi fraktur tampak
berupa area dengan high intensity signal akibat bone marrow edema di daerah lokasi
2.3.6. Infeksi
efusi sendi.2
imunpasien dan tipe serta lokasi dari tulang yang terlibat dengan S. aureusmerupakan
penyebab utama.8Pada kasus persisten monoartikular artritis, tidak adanya respon
kemungkinan adanya proses infeksi, tergantung pada fase penyakit, metode imejing
Myalgia dan myositis didapatkan pada pasien SLE dengan gambaran nyeri
otot generalisata dirasakan sekitar 40%-80% pasien hingga myositis inflamasi pada
sekitar 5%-11% kasus.Gambaran histologi otot pasien dengan SLE sekunder karena
SLE dapat identik dengan pasien polimyositis, perbedaannya lebih jelas terlihat
menentukan diagnosis banding, menilai respon terapi dan menentukan daerah biopsy
jika diperlukan. Gambaran MRI yang terlihat berupa peningkatan intensitas sinyal
pada sekuens T2WI dan STIR akibat peningkatan cairan dan infiltrat inflamasi
intraseluler yang akan meningkatkan volume otot (Gambar 12).Penggunaan obat-
Gambar 14.Pasien SLE, wanita, usia 39 tahun MRI femur kiri (aksial) dan femur bilateral (koronal).
A.T2WI FS dilakukan 4 bulan setelah keluhan nyeri femur menunjukan edema progresif ekstensif
sesuai dengan myositis inflamasi bilateral di daerah femur terutama kiri (panah menunjukkan daerah
edema/inflamasi)14
2.3.8. Nodul dan kalsifikasi jaringan lunak
Nodul subkutan dapat ditemukan pada pasien SLE dan dapat terbentuk pada
tendon, terutama tendon fleksor di tangan. Gambaran histologist nodul pada SLE
sangat mirip dengan nodul pada rheumatoid artihritis .Kalsifikasi jaringan lunak
e. Rematoid nodul
yang lebih proksimal mulai terlibat, termasuk vertebra dan ekstremitas kemudian ke
dimulai dari sinovitis pada stadium awal, tampak edema dan inflamasi dari sinovium
dan jaringan synovial disertai efus sendi.Semakin lanjut, sinovium semakin tebal
dengan pembesaran vili sinovial yang diikuti proliferasi jaringan ikat yang disebut
pannus. Pannus menyebabkan erosi marginal tulang di daerah kartilago sendi dan
lunak disekitar sendi yang sakit, juksta-artikular osteopeni dan erosi tulang minimal
sela sendi, erosi tulang, subluksasi sendi dan atropi jaringan lunak serta nodul
rematoid.15
Gambar 12. Fase awal RA. (A,B), foto manus bilateral menunjukkan pembengkakan
ringan (panah) dan osteopeni juksta-artikular.15
Gambar 15. RA fase lanjut. C. pembengkakan dan erosi dari sendi MTP join ke-5 (panah).
.D.Multipel subkutan nodul (panah).15
BAB III
RINGKASAN
Deformitas ini dapat reversibel tergantung pada kelenturan tendon dan ligamentum
penyakit dan penanganan SLE. Modalitas yang digunakan adalah radiografi atau
foto konvensional yang bisa digunakan untuk menilai kondisi sendi dan tulang,
seperti pada keadaan tenosinovitis ataupun ruptur tendon dan MRI yang sangat baik
untuk menilai kondisi persendian dan jaringan lunak sekitarnya baik tendon,
ligamantum ataupun otot yang mengalami inflamasi juga menilai erosi tulang, bone
13 :851-853
2004:24:1069-1086
Edition.2005.Vol.2:1065-1071.
10. Elisabeth M.A. Ball, Aubrey L Bell. Lupus Arthritis-Do We Have A Clinically
Journal.2012;51:771-779
Journal 2006.15:501-506
145.