Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menieres disease atau penyakit Meniere atau dikenali juga dengan hydrops
endolimfatik. Penyakit Meniere ditandai dengan episode berulang dari vertigo yang
berlangsung dari menit sampai hari, disertai dengan tinnitus dan tuli sensorineural yang
progresif.
Penyakit Meniere pertama kali dijelaskan oleh seorang ahli dari Perancis bernama
Prospere Meniere dalam sebuah artikel yang diterbitkannya pada tahun 1861. Definisi
penyakit Meniere adalah suatu penyakit pada telinga dalam yang bisa mempengaruhi
pendengaran dan keseimbangan. Penyakit ini ditandai dengan keluhan berulang berupa
vertigo, tinnitus, dan pendengaran yang berkurang ssecara progresif, biasanya pada satu
telinga. Penyakit ini disebabkan oleh peningkatan volume dan tekanan dari endolimfe pada
telinga dalam. Endolimph atau cairan Scarpa adalah cairan yang berada di dalam labirin
telinga dalam. Kation utama yang berada di cairan ekstraselular ini adalah kalium. Ion yang
terdapat di dalam endolimfe lebih banyak dari perilimfe. Sedangkan perilimfe adalah cairan
ekstraseluler yang terletak di koklea, tepatnya pada bagian skala timpani dan skala vestibuli.
Komposisi ionik perimlife seperti pada plasma dan cairan serebrospinal. Kation terbanyak
adalah natrium. Perilimfe dan endolimfe memiliki komposisi ionik yang unik yang sesuai
untuk menjalankan fungsinya yaitu mengatur rangsangan elektrokimiawi dari sel-sel
rambut di indera pendengaran. Potensoal listrik dari endolimfe ~80-90 mV lebih positif dari
perilimfe.
Canalis semisirkularis (saluran setengah lingkaran), merupakan suatu struktur yang
terdiri dari 3 buah saluran setengah lingkaran yang tersusun menjadi satu kesatuan dengan
posisi yang berlainan, yaitu: canalis semisirkularis horizontal, canalis semisirkularis
vertikal superior, canalis semisirkularis vertikal posterior. Masing-masing canalis
semisirkularis berisi cairan endolympha dan pada salah satu ujungnya yang membesar
disebut ampula, berisi reseptor keseimbangan yang disebut cristac ampularis. Masing-
masing cristac terdiri dari sel-sel bercillia dan sel-sel penyangga yang keseluruhannya
ditutupi oleh suatu selaput yang disebut cupula. Karena kelembamannya, maka endolymph
yang terdapat di dalam canalis semisirkularis akan bergerak ke arah yang berlawanan
dengan arah putaran. Aliran endolymph akan mendorong cupula melengkungkan cillia-
cillia dari sel-sel rambut, dengan demikian maka sel bercillia tersebut terangsang dan
merubahnya menjadi impuls sensori yang untuk selanjutnya ditransmisikan ke pusat
keseimbangan di otak. Canalis semisirkularis merupakan organ keseimbangan dinamis
yaitu memberikan respons terhadap pemutaran tubuh.

1
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua
kelompok usia usia meskipun paling sering ditemukan pada usia antara 30-50 tahun dengan
perbandingan yang relatif sama antara laki-laki dan perempuan. SGB jarang terjadi pada
anak-anak, khususnya selama 2 tahun pertama kehidupan dan setelah umur tersebut
frekuensinya cenderung meningkat. (Mayoclinic 2015).
Insidensi SGB bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun.
Belum diketahui angka kejadian penyakit ini di Indonesia. SGB tampil sebagai salah satu
penyebab kelumpuhan yang utama di negara maju atau berkembang seperti Indonesia.
(Munandar)
Penyebab pasti dari penyakit Meniere sampai sekarang belum diketahui secara pasti,
banyak ahli mempunyai pendapat yang berbeda. Sampai saat ini dianggap penyebab dari
penyakit ini disebabkan karena adanya gangguan dalam fisiologi sistem endolimfe yang
dikenal dengan hidrops endolimfe, yaitu suatu keadaan dimana jumlah cairan endolimfe
mendadak meningkat sehingga mengakibakan dilatasi dari skala media. Tetapi, penyebab
hidrops endolimfe sampai saat ini belum dapat dipastikan.
Berdasarkan hal tersebut, maka kami memandang perlu dilakukan pembuatan
makalah mengenai penyaki Meniere guna pemahaman mendalam mengenai penyakit ini.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sindrom Guillain-Barre (SGB) merupakan paralisis neuropati perifer yang bersifat


ascending, progresif dan berhubungan dengan proses autoimun (Kuwabara, 2010). Sindrom
gullian barre adalah penyakit yang biasanya terjadi dalam satu atau dua sampai empat
minggu setelah infeksi virus akut seperti sakit tenggorokkan, bronkitis, atau flu. Penyakit
ini terjadi akibat peradangan dan kerusakan mielin (material lemak, terdiri dari lemak dan
protein yang membentuk selubung pelindung disekitar saraf perifer (Inawati, 2011).

2.2 Epidemiologi

Sepuluh studi melaporkan kejadian pada anak-anak (0-15tahun), dan menemukan


kejadian tahunan menjadi antara 0.34 dan 1.34/100.000 penduduk. Kebanyakan penelitian
menyelidiki populasi di Eropa dan Amerika Utara dan melaporkan angka kejadian serupa
tahunan , yaitu antara 0.84 dan 1.91/100.000. Rata-rata pertahun 1-3/100.000 populasi dan
perempuan lebih sering terkena daripada laki-laki dengan perbandingan rasio perempuan :
laki-laki = 1,5 : 1 untuk semua usia. Penurunan insiden selama waktu antara tahun 1980-an
dan 1990-an ditemukan. Sampai dengan 70% dari kasus Sindroma Guillain Barre
disebabkan oleh infeksi anteseden. Inflamasi akut demielinasi
poliradikuloneuropati (AIDP) adalah bentuk paling umum di negara-negara barat dan
berkontribusi 85% sampai 90% kasus. Kondisi ini terjadi pada semua umur, meskipun
jarang pada masa bayi. Usia termuda dan tertua dilaporkan adalah, masing masing 2 bulan
dan 95 tahun. Usia rata onset adalah sekitar 40 tahun, dengan kemungkinan dominasi laki-
laki (NIH, 2012).

3
Sindroma Guillain Barre adalah penyebab paling umum dari acute
flaccid paralysis pada anak - anak. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) sering
didapatkan di daerah Jepang dan Cina, terutama pada orang muda.
Hal ini terjadi lebih sering selama musim panas, sporadis AMAN seluruh dunia
mempengaruh 10% sampai 20% pasien dengan Sindroma Guillain Barre (NIH, 2012).

2.3 Etiologi

Sekitar 1-4 minggu sebelum onset GBS terjadi sindrom viral akut atau
manifestasi penyakit infeksi lainnya. Tetapi rentang waktu yang lebih singkat
atau lama masih dapat terjadi sebagai variasi antar individu. Pada saat onset GBS
dimulai biasanya infeksi antesenden telah berakhir. Infeksi yang sering
mendahului GBS adalah infeksi saluran respirasi dan saluran pencernaan. Kondisi
antesenden yang berkaitan dengan GBS, yaitu infeksi virus (Cocksackie, CMV, Echo,
EBV, virus hepatitis A dan B, HSV, virus Herpes Zoster, HIV, Influenza, Parainfluenza,
Rubella, Mumps, Measles), infeksi bakteri (Borrelia burgdorferi, Campylobacter jejuni,
Legionella pneumoniae, Mycoplasma pneumonia, Shigella, Typhoid, Brucellosis, Yersinia
enterocolitica), kondisi sistemik (penyakit Addison, limfoma Hodgkin, leukemia,
paraproteinemia, kehamilan, sarkoidosis, tumor padat terutama tumor paru, operasi,
eritematosus lupus sistemik, penyakit tiroid, trauma, dan vaksinasi) (Gorson dan Ropper,
2002; David, 2011).

Infeksi CMV antesenden merupakan infeksi virus paling sering yang


mendahului GBS dengan konversi serologi hampir 15%. Infeksi CMV an- tesenden
lebih sering mengenai individu usia muda dengan manifestasi GBS yang lebih berat,
kegagalan respirasi, gangguan sensorik prominen, keterlibatan saraf kranial, dan
peningkatan antibodi terhadap gangliosida GM2 (Gorson dan Ropper, 2002).

Infeksi C. Jejuni merupakan infeksi bakteri yang paling banyak mendahului GBS
terutama strain Penner 19 dan Lior 11. Sebelum onset GBS, individu mengalami demam,
diare cair, dan nyeri perut. Sekitar 30% kasus GBS hanya disertai bukti infeksi
antesenden C. Jejuni secara serologi tanpa manifestasi enteritis. GBS terkait infeksi C.
Jejuni mengalami proses pemulihan lebih lama, kerusakan aksonal yang lebih
ekstensif, dan adanya antibodi gangliosida GM1. Lipopolisakarida C. Jejuni memiliki
kemiripan dengan epitop gangliosida saraf perifer (GM1, GQ1b, Ga-1NAc-GD1a)
sehingga terjadi mimikri molekular pada keduanya, antibodi yang dirancang untuk
mengeradikasi C. Jejuni menginduksi inflamasi pada sistem saraf perifer (Gorson dan
Ropper, 2002).

4
Infeksi antesenden M. pneumonia dengan gejala batuk nonproduktif,
demam, dan sakit kepala terjadi pada 5% kasus GBS. Penyakit Lyme yang
disebabkan oleh B. burgdorferi merupakan penyebab polineuropati sensori-motor
aksonal kronik, poliradikulitis yang nyeri (Bannwarth Syndrome), diplegia fasial akut
yang menyerupai GBS tetapi adanya polineuritis pascainfeksi dan asosiasinya dengan
GBS masih belum jelas. Pada infeksi HIV terjadi gambaran pleositosis limfositik CSF
yang berbeda dengan gambaran klasik disosiasi sitoalbumin. Kondisi lain noninfeksi
lebih banyak berkaitan dengan CIDP. GBS juga dikaitkan dengan pascaoperasi.
Beberapa kasus memang terbukti terjadi pascaoperasi sedangkan lainnya lebih
disebabkan oleh polineuropati pada keadaan kritis yang disebabkan oleh kegagalan
multiorgan dan sepsis. Asosiasi GBS dengan trauma, medikasi tertentu, dan vaksinasi
selain influenza belum jelas (Gorson dan Ropper, 2002).

2.4 Klasifikasi

Sindrom Guillainbarre memiliki beberapa varian, yaitu :

1. VARIAN SINDROM MILLER-FISHER


Merupakan varian GBS yang sering ditemukan, sekitar 5% dari kasus GBS.
Manifestasinya berupa ataksia, oftalmoplegia, dan arefleksia. Ataksia tampak
prominen pada trunkus dan gait, tetapi tidak prominan pada ekstremitas.
Kekuatan mo- torik biasanya masih baik. Perjalanan penyakitnya akan membaik
secara gradual dan komplit dalam beberapa minggu atau bulan. Terdapat
asosiasi kuat dengan antibodi antigangliosida terutama antibodi anti-GQ1b
yang diinduksi C. jejuni. Konsentrasi antibodi tersebut ditemukan di saraf
okulomotor, troklear, dan abdusens yang menjelaskan manifestasi
oftalmoplegia (Levin, 2010).

2. VARIAN TIPE AKSONAL


a. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN). Varian AMAN berkaitan
erat dengan C. Jejuni dan disertai peningkatan titer antibodi
gangliosida (GM1, GD1a, GD1b). Pada varian ini ditemu- kan gangguan
motorik murni dan secara klinis menyerupai demielinisasi pada GBS
dengan paralisis asenden simetris. Varian ini dibedakan dengan GBS
klasik berdasarkan gambaran elektrofisiologi yang berupa aksonopati
motorik murni yang konsisten. Histopatologi menunjukkan
degenerasi Wallerian tanpa inflamasi limfositik signifikan. Banyak
kasus ditemukan di area pedesaan Cina terutama pada anak dan
dewasa muda selama musim panas. Kasus aksonal murni sering

5
ditemukan di luar Eropa dan Amerika Utara. Prognosisnya cukup baik
melalui pemulihan yang cepat pada sebagian besar kasus. Pada kasus
yang berat pemulihan dapat berlangsung selama bertahun-tahun
(Levin, 2010).
b. Acute Motor and Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN). Perjalanan
varian ini cepat, disertai paralisis berat, proporsi pemakaian ventilator yang
tinggi dan pemulihan yang lambat dan tidak memuaskan, dan berkaitan
dengan C. jejuni. Pada varian ini diperkirakan terjadi demielinisasi radikular
yang diperantarai makrofag dan diikuti degenerasi Wallerian. Pada
pemeriksaan elektrofisiologis ditemukan ganguan aksonal motorik dan
sensorik dan sedikit demielinisasi (Levin, 2010).

Tabel 1. Varian Sindrom GuillainBarre (Kuwabara, 2010)

3. VARIAN DENGAN GANGGUAN MOTORIK MURNI


Manifestasi varian ini adalah progresif, paralisis ekstremitas simetris, arefleksia,
dan sedikit atau tidak ada gangguan sensorik. Perbedaan varian ini dengan
GBS klasik adalah cepatnya progresifitas paresis otot distal, ketidakterlibatan
saraf kranial, titik nadir yang awal, peningkatan titer antibodi anti-GM1 yang
lebih tinggi dari biasanya, dan infeksi C. jejuni antesenden. Perjalanan
pemulihan serupa dengan GBS klasik. Pada pemeriksaan elektrofisiologi
didapatkan gangguan aksonal prominen. Varian ini secara klinis mirip dengan
AMAN yang sering terjadi di Cina tetapi dengan gambaran demielinisasi yang
lebih banyak (Levin, 2010).

4. VARIAN DENGAN GANGGUAN SENSORIK MURNI

6
Manifestasi varian ini meliputi gangguan sensorik secara cepat, arefleksia dengan
distribusi simetris dan luas. Studi CSF menunjukkan disosiasi sitoalbumin dan
pemeriksaan elektrofisiologis menunjukkan demielinisasi saraf tepi. Prognosisnya
baik secara umum. Plasmafaresis dan Intravenous Immunoglobulin (IVIG) dapat
diaplikasikan pada kasus yang berat dan pemulihan yang lambat (Levin, 2010).

5. VARIAN DENGAN DISAUTONOMIA MURNI


Pandisautonomia akut tanpa keterlibatan motorik atau sensorik signifikan
merupakan varian yang jarang. Disfungsi simpatis dan parasimpatis
menyebabkan hipotensi postural, retensi urin dan alvi, anhidrosis, penurunan
salivasi dan lakrimasi, dan abnormalitas pupil.

6. VARIAN FARINGEAL, SERVIKAL, BRAKIAL.


Pada varian ini ditemukan paralisis fasial, orofaring, servikal, dan ekstremitas
superior tanpa keterlibatan ekstremitas inferior.

7. VARIAN PARAPARESIS
Manifestasi varian ini berupa kelemahan ekstremitas inferior, arefleksia, nyeri
radikular, gangguan sensorik, dan normalnya saraf bulbar serta ekstremitas atas
yang disebabkan keterlibatan konus medularis dan kauda ekuina. Pada kasus ini
harus dilakukan MRI untuk mengeksklusi diagnosis lain.

8. VARIAN ENSEFALITIS BATANG OTAK BICKERSTAFF


Varian ini serupa dengan Sindrom Miller Fisher tetapi juga terdapat gangguan
kesadaran (ensefalopati) dan tanda-tanda UMN (hiperefleksia) (Levin, 2010).

2.5 Patogenesis Dan Patofisiologi

Patofisiologi GBS melibatkan konsep imunopa- togenesis baik selular maupun


humoral. GBS diduga oleh karena suatu fenomena mimikri molekular, yaitu sistem
imun yang seharusnya mengeradikasi agen infeksi juga ikut menginvasi jaringan
sendiri akibat kemiripan epitop (Hauser dan Asbury, 2006).

Pada eksperimen yang menggunakan hewan coba, beberapa hari pasca


dilakukan imunisasi jaringan saraf perifer autolog dan ajuvan Freud (material yang
menginduksi respon imun) terjadi paralisis progresif dengan gambaran patologi
inflamasi endoneurial dan demielinisasi yang menyerupai GBS. Pbbrosedur tersebut
menghasilkan sensitisasi terhadap protein P2, fenomena tersebut dinamakan
Experimental Allergic Neu- ritis (EAN), dimana respon inflamasi tersebut dimediasi oleh

7
sel T yang mentarget mielin (Hauser dan Asbury, 2006). Pada GBS, antigen dari
agen infeksi antesenden berinteraksi dengan sel APC (Antigen Presenting Cell)
sehingga sel APC mengekspresikan molekul MHC kelas II. Sel APC akan
mengaktifkan sel T yang juga akan mengekspresikan MHC kelas II yang serupa. Karena
antigen agen infeksi antesenden memiliki epitop yang mirip dengan antigen saraf tepi
maka terjadi mimikri molekular, sehingga terjadi invasi juga ke jaringan saraf perifer.
Sel T aktif akan merusak sawar darah saraf sehingga mentarget antigen endoneurial
dan melepaskan sitokin inflamasi, seperti IL-2 dan TNF. Peningkatan sitokin IL-2 di
serum dan IL-6 serta TNF- di CSF merupakan bukti aktivasi imun selular. Pelepasan
sitokin inflamasi akan merekrut makrofag untuk menginvasi mielin. Selain itu juga
terjadi invasi makrofag. Inflamasi paling intens terjadi pada area perivaskular dan radiks
spinal dimana terjadi invasi sel imun (Gorson dan Ropper, 2002).

Gambar 1. Imunopatogenesis GBS

Patofisiologi GBS juga melibatkan sistem imun humoral. Injeksi serum dari
pasien GBS yang ditransfer ke saraf perifer hewan coba menginduksi demielinisasi
lokal. Koski et al mendemonstrasikan peningkatan level antibodi antimielin
komplemen berhubungan dengan aktivitas penyakit pada pasien GBS. Peneliti lainnya
berhasil mendemonstrasikan deposisi komplemen di permukaan luar sel Schwann
melalui imunositokimia. Keberadaan kompleks komplemen terminal (C5b-9)
berkaitan dengan perubahan vesikular pada lamela mielin terluar yang terjadi
sebelum invasi sel T dan makrofag. Pada GBS dengan keterlibatan aksonal yang
prominen, produk aktivasi komplemen (C3d) berikatan dengan aksolema akson
motorik dan pada kasus yang berat Ig dan C3d juga ditemukan di ruang periaksonal
internodal (Gorson dan Ropper, 2002).

8
Gambar 2. Imunopatogenesis GBS (2)

9
Tabel 2 Antibodi pada GBS dan Variannya (Hauser dan Asbury, 2006)
GBS Dan Varian GBS Target Antibodi Isotipe yang umum

AIDP Tidak ada pola yang jelas IgG poliklonal


Paling sering GM1

GD1a, GM1, GM1b, Ga1NAc-GD1a


AMAN (<50% dati setiap antibodi) IgG poliklonal

Sindrom Miller-Fisher GQ1b (>90%) IgG poliklonal

Varian Faringeal, Servikal, dan


Bravikal GT1a IgG poliklonal

Target invasi sistem imun adalah gangliosida, yaitu suatu kompleks


glikosfingolipid yang terdiri dari satu atau lebih residu asam sialat. Gangliosida berperan
dalam interaksi antarsel (akson dan sel glia), modulasi reseptor, dan regulasi
pertumbuhan. Gangliosida terdapat di membran sel sehingga rentan terhadap paparan
sistem imun. Gangliosida terdistribusi luas pada jaringan saraf terutama pada nodus
Ranvier. Antibodi antigangliosida, terutama antibodi anti GM1, banyak terdapat pada
kasus GBS (20-50% kasus) terutama yang dipicu infeksi C. jejuni. Terdapat kesamaan
struktur dan reaksi silang antara glikolipid C. jejuni dengan gangliosida (Hauser dan
Asbury, 2006).

Antibodi yang terlibat dalam patofisiologi GBS bervariasi dan distribusinya


menjelaskan varian-varian GBS. Antigen yang dieskpresikan oleh saraf tepi adalah
gangliosida (GM1, asialo-GM1, GQ1b, GD1a, GT1a) dan distribusi anatomisnya pada saraf
tepi menjelaskan patofisiologi var- ian GBS. Tabel di bawah memaparkan antibodi yang
terlibat pada berbagai varian GBS. Sindrom Miller-Fisher berkaitan dengan antibodi
IgG anti-GQ1b. Antigen GQ1b banyak terdapat di saraf motorik ekstraokular
dibandingkan di saraf motorik ekstremitas sehingga men- jelaskan manifestasi Sindrom
Miller-Fisher. Antibodi monoclonal anti-GQ1b yang diinduksi oleh C. jejuni juga memblok
transmisi neuromuskular secara eksperimental (Gorson dan Ropper, 2002).

Patofisiologi GBS meliputi demielinisasi (paling banyak) dan gangguan aksonal


(pada beberapa varian) yang menjelaskan manifestasi motorik dan sensoriknya. Pada

10
demielinisasi, integritas aksonal intak sedangkan mielin mengalami kerusakan sehingga
didapatkan blok konduksi, penurunan kecepatan hantar saraf, dan normal- nya
amplitudo secara elektrofisiologi. Pemulihan dapat terjadi cepat seiring dengan proses
remielinisasi. Tetapi pada kasus yang berat terjadi degenerasi aksonal sekunder yang
tampak secara elektrofisiologi dan berasosiasi dengan pemulihan yang lambat dan
disabilitas residu. Gangguan aksonal dapat terjadi secara primer. Prognosis pada tipe
tersebut dapat baik apabila gangguan aksonal terjadi preterminal sehingga reinervasi
mudah terjadi atau reinervasi dapat disuplai dari akson motorik lainnya yang masih cukup
baik (Avila, Mariona dan Melano, 2004).

2.6 ` Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan LCS
Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 1,5 g/dl ) tanpa
diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain (1961) disebut sebagai disosiasi
albumin sitologis. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit
tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada
minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan
menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm3 (albuminocytologic dissociation).

2. Pemeriksaan EMG
Gambaran EMG pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan terjadi
pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada akhir minggu
ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan.

3. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira-kira pada
hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran cauda
equina yang bertambah besar.

2.7 Diagnosis

Gambaran elektrofisiologis berkembang selama 5-8 minggu sejak onset.


Abnormalitas elektrofisiologi tertinggal bila dibandingkan manifestasi klinis. Pada tipe
demielinisasi terjadi pemanjangan latensi distal, penurunan kecepatan hantar saraf, blok
konduksi, dan disperse temporal CMAP. Pada tipe gangguan aksonal terjadi penurunan
amplitudo. Pada 1-2 minggu sejak onset, kecepatan konduksi saraf masih normal.
Abnormalitas awal yang dapat ditemukan adalah hilangnya gelombang F dan refleks

11
H. Blok konduksi dapat ditemukan di sepanjang trunkus saraf termasuk di akson
terminal. Gambaran tersebut dapat disertai disperse temporal CMAP yang
menghasilkan kompleks gelombang berdurasi panjang. Profil elektrofisiologis pada
stadium awal berupa blok konduksi atau perlambatan yang melibatkan beberapa
trunkus saraf. Amplitudo respon sensorik berkurang terutama pada tangan
dibandingkan kaki. Pemanjangan latensi distal dan penurunan kecepatan konduksi
terjadi pada stadium yang lebih lanjut dan dapat tetap prominen pada saat telah terjadi
pemulihan klinis. Perbaikan motorik berjalan sebanding dengan resolusi blok
konduksi. Perbaikan gambaran elektrofisiologi dimulai beberapa hari setelah fase
plateau atau pascaplasmafaresis dan IVIG tetapi dapat juga beberapa minggu atau bulan
setelahya (Gorson dan Ropper, 2002). Profil CSF dapat normal pada 48 jam pertama
onset GBS. Pada akhir minggu pertama terjadi peningkatan protein di CSF. Pleositosis
transien (10-100/ul) dapat terjadi bahkan pada GBS klasik tetapi pleositosis persisten
mengarahkan ke di- agnosis alternatif seperti infeksi viral atau infeksi HIV (Hauser dan Asbury,
2006).

12
Tabel 3. Kriteria Diagnostik GBS (Gorson dan Ropper, 2002; Hauser dan Asbury, 2006)

Manifestasi klinis Gambaran yang diperlukan untuk Kelemahan progresif lengan dan tungkai
diagnosis
Arefleksia
Gambaran yang mendukung kuat Progresi gejala selama beberapa hari hingga 4 minggu

Gejala relatif simetri


Gejala sensorik ringan
Keterlibatan saraf kranial terutama diplegia fasial

Pemulihan dimulai 2-4 minggu setelah progresi


berhenti

Disfungsi otonom
Tidak adanya demam saat onset
Gambaran yang tidak mendukung Adanya level sensorik
Asimetri gejala dan tanda yang prominen dan persisten

Disfungsi miksi dan yang promine dan persisten

Gambaran yang mengeksklusi GBS Diagnosis botulisme, miastenia gravis, poliomyelitis,


neuropati toksic

Metabolisme porfirin abnormal


Difteria dalam jangka pendek

Kriteria Laboratorium Peningkatan konsentrasi protein


CSF 50-150 mg/dl dengan jumlah
leukosit <10 sel/mm3, tanpa
eritrosit

Kriteria Penurunan kecepatan konduksi pada


Elektrofisiologis (3 dari dua atau lebih saraf motorik
4 kriteria) <80% dari batas bawah normal
(BBN) jika amplitudo >80% dari
BBN atau <70% dari BBN bila
amplitudo <80% dari BBN

Tidak adanya atau pemanjangan


latensi gelombang F pada dua atau
lebih saraf motorik >120%
dari BAN jika amplitudo >80% dari
BBN atau >150% dari BAN jika
amplitudo <80% dari BBN

Blok konduksi atau dispersi


temporal abnormal (penurunan
amplitudo >20% atau perubahan
durasi >15% antara proksimal dan
distal) pada satu atau lebih saraf
motorik

13
2.8 Diagnosis Banding

Manifestasi yang menyerupai GBS dapat ditemukan pada berbagai neuropati


perifer, gangguan transmisi neuromuskular, miopati (miositis dan miopati akut
lainnya misalnya yang diinduksi obat), gangguan metabolik (hipokalemia,
hipofosfatemia), dan gangguan sistem saraf pusat (infark batang otak pada sindrom
arteri basilaris, locked-in syndrome, ensefalomielitis batang otak, mielitis transversa,
mielopati nekrotik akut, kompresi neoplasma pada foramen magnum atau medula
spinais servikal, histeria, malingering). Neuropati perifer dapat berupa neuropati
toksik akibat logam berat (arsenik, timbal, emas), medikasi (vinkristin, disulfiram,
nitrofurantoin, izsoniazid), organofosfat, heksakarbon (glue sniffers neuropathy),
porfiria intermiten akut, poliomielitis, difteria, paralisis Tick, penyakit Lyme,
polineuropati pada kondisi kritis, poliradikulopati dan ganglionopati pada meningitis
karsinomatosis atau limfomatosis, sindrom neuropati sensorik akut. Gangguan
transmisi neuromuskular berupa botulisme, miastenia gravis, hipermagnesemia,
paralisis yang diinduksi antibiotik, racun ular (Gorson dan Ropper, 2002).

Gambar 3. Diagnosis Banding Sindrom GuillainBarre (Doarn, Ruts, dan Jacobs, 2008).

14
2.9 Tatalaksana

Tujuan tatalaksana GBS meliputi tatalaksana suportif dan etiologis. Tatalaksana


suportif diperlukan untuk mengantisipasi dan menangani akibat dari imobilisasi dan
keterlibatan saraf yang mengurus tanda vital. Manajemen suportif meliputi:

1. Pengukuran kapasitas vital. Jika kapasitas vital 12-15 ml/kgBB maka diperlukan
intu- basi, sedangkan kapasitas 15-19 ml/kgBB memerlukan intubasi apabila
terdapat paralisis bulbar.
2. Spirometri insentif untuk mencegah atelektasis.
3. Pembersihan bronkus dan bantuan batuk.
4. Rontgen toraks satu kali per minggu atau lebih sering.
5. Pemeriksaan albumin, natrium, nitrogen urea, dan kalsium serum setiap dua
minggu.
6. Pemeriksaan urinalisis setiap minggu.
7. Profilaksis emboli paru menggunakan 5000 unit heparin dua kali sehari.
8. Pemeriksaan peristaltik.
9. Profilaksis perdarahan gastrointestinal menggunakan antasida yang
mengandung magnesium 30-120 ml atau sukralfat.
10. Profilaksis dekubitus dengan perubahan posisi secara berkala dan penggunaan
matras antidekubitus.
11. Tidak menggunakan antibiotik profilaksis. Infeksi paru atau saluran kemih
ditatalak- sana dengan antibiotik setelah ada hasil kultur dan resistensi kecuali
terdapat septicemia
12. Pemberian diet kaya serat melalui tube nasogastrik apabila proses menelan
terganggu.
13. Tatalaksana nyeri, gangguan tidur, dan komplikasi psikiatri.
14. Pembatasan flebotomi antekubital apabila direncanakan plasmafaresis (Hughes,
2003).

15
Tatalaksana etiologi sindrom Guillainbarre meliputi:

1. Plasmafaresis

Plasmaferesis dilakukan dengan dosis 50 ml/ kgBB 5 kali pada waktu yang
terpisah dalam jangka waktu 1-2 minggu. Pada analisis 6 studi eksperimen
didapatkan perbaikan disabilitas setelah 4 minggu pada kasus yang mendapat
plasmaferesis dibandingkan kontrol. Pada studi metaanalisis dari keenam studi
eksperimen tersebut, terdapat penurunan proporsi peng- gunaan ventilator (RR 0.56,
95%CI 0.41-0.76, p 0.0003. Keluaran berupa perbaikan komplit kekuatan motorik
pada satu tahun lebih baik pada plasmaferesis dibandingkan kontrol (RR 1.24, 95%CI
1.07-1.45, p 0.005). Satu eksperimen kelas II menunjukkan manfaat plasmafaresis
pada kasus GBS yang ringan. Kejadian efek samp- ing antara kelompok plasmafaresis
dan kontrol sama. Plasmafaresis diasosiakan dengan jangka waktu rawat inap yang
lebih pendek dibandingkan dengan terapi suportif. Penelitian di Inggris menunjukkan
bahwa 4 seri plasmafaresis lebih menghemat biaya dibandingkan 2 seri plasmafaresis.
Perbandingan efektivitas filtrasi CSF dengan plasmafaresis dikatakan sebanding tetapi
besar sampel terlalu sedikit sehingga perbedaan manfaat keduanya belum dapat
dipastikan. Filtrasi CSF intratekal berisiko menyebabkan infeksi. Plasmafaresis
direkomendasikan untuk kasus GBS imobilisasi dalam durasi 4 minggu pascaonset
(level A, kelas II) dan untuk kasus GBS nonimobilisasi dalam durasi 2 minggu pascaon-
set (level B, kelas II). Efektivitas plasmafaresis dan IVIG setara. Belum ada data adekuat
yang mendukung filtrasi CSF (level U, kelas II). Plasmafaresis dilakukan dengan
kecepatan 40-50 ml/kgBB empat kali dalam satu minggu (Hughes, 2003).

16
2. Imunoabsorbsi

Imunoabsorbsi merupakan teknik alternatif plasmafaresis untuk menyingkirkan


immunoglobulin dengan keuntungan tidak menggunakan produk darah manusia
sebagai cairan pengganti. Pada studi prospektif, tidak ditemukan perbedaan keluaran
antara 11 kasus yang diplasmafaresis dengan 13 kasus yang menjalani imunoabsorbsi.
Akan tetapi belum ada bukti adekuat untuk merekomendasikan imunoabsorbsi (level
U, ke las IV) (Hughes, 2003).

3. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)

Studi eksperimental kelas III menunjukkan adanya perbedaan keluaran yang


lebih baik dalam 4 minggu pada kasus yang ditatalaksana dengan IVIG dibandingkan
terapi suportif. Tidak terdapat perbedaan efektivitas plasmafaresis dibandingkan
dengan IVIG pada 3 studi eksperimen. Selain itu pada studi tersebut juga disimpulkan
bahwa tidak ada perbedaan waktu pemulihan signifikan pada kasus ringan (masih
dapat mobilisasi) dengan pemberian IVIG. Pada studi lainnya menunjukkan bahwa
proporsi kasus yang membaik satu grade dalam 4 minggu dan kecepatan kembalinya
fungsi optimal kasus pada kelompok IVIG lebih baik dibandingkan dengan
plasmafaresis. Tidak ada perbedaan antara waktu ketergantungan ventilator dan
proporsi kasus yang mengalami disabilitas atau kematian dalam 1 tahun di antara
kelompok IVIG dan plasmafaresis. Menurut studi eksperimen, kejadian efek samping
lebih ban- yak pada plasmafaresis dibandingkan IVIG tetapi hal tersebut belum terbukti
secara metaanalisis. Komplikasi pneumonia, atelektasis, trombosis, dan gangguan
hemodinamik lebih banyak pada kelompok plasmafaresis (22% vs 7%). Tetapi pada
studi yang lebih besar menunjukkan bahwa kejadian efek samping plasmafaresis
(hipotensi, septicemia, pneumonia, malaise, koagulopati, dan hipokalsemia) sebesar
7% dibandingkan dengan kelompok IVIG (muntah, meningismus, gagal ginjal, infark
miokardium, dan eritema lokal) sebesar 5%. Dua studi terbesar menyim- pulkan
bahwa proporsi diskontinuitas terapi lebih sedikit pada kelompok IVIG dibandingkan
plasmafaresis. Pada kesimpulannya, IVIG memi- liki efektivitas yang sama dengan

17
plasmafaresis apabila diberikan dalam 2 minggu onset pada kasus yang masih bisa
mobilisasi (kelas I). Belum ada perbandingan efektivitas antara IVIG dengan
plasmafaresis pada GBS tipe aksonal. Pemberian IVIG direkomendasikan untuk pasien
yang memerlukan bantuan mobilisasi dalam 2 minggu onset (level A) atau 4 minggu
dari onset gejala neuropati (level B). Efek IVIG dan plasmafaresis dianggap ekuivalen.
Dosis IVIG total adalah 2 g/ kgBB yang diberikan harian sebanyak 5 kali (Hughes, 2003).

4. Kombinasi
Satu studi menunjukkan bahwa plasmafaresis diikuti IVIG tidak menunjukkan
manfaat signi- fikan dibandingkan plasmafaresis atau IVIG saja (level A, kelas I). Terapi
sekuensial imunoabsorbsi diikuti IVIG belum ditelaah lebih lanjut (level U, kelas IV).

5. Steroid

Studi tentang penggunaan steroid pada GBS meliputi penggunaan ACTH


IM 100 unit selama 10 hari, metiplrednisolon IV 500 mg selama 5 hari, dan prednison
100 mg atau prednisolon 40-60 mg oral. Tidak ada perbedaan antara kelompok yang
diberikan steroid dengan kelompok plasebo dalam hal perbaikan grade dalam 4
minggu setelah pemberian, perbaikan kekuatan motorik, ketergantungan ventilator,
mortalitas, disabilitas dalam 1 tahun. Komplikasi antara kelompok steroid dan plasebo
setara kecuali hipertensi lebih banyak pada kelompok plasebo. Pada kesimpulannya,
steroid tidak direkomendasikan untuk GBS (level A, kelas I). Efektivitas kombinasi IVIG
dan streroid belum dapat dibuktikan (Doarn, Ruts, dan Jacobs, 2008).

Pasien biasanya akan melemah dalam waktu beberapa minggu, maka dari itu
perawatan intensif sangat diperlukan pada tahap-tahap saat GBS mulai terdeteksi. Sesuai
dengan tahap dan tingkat kelumpuhan pasien maka dokter akan menentukan apa pasien
memerlukan perawatan di ruang ICU atau tidak. Sekitar 25% pasien GBS akan mengalami
berbagai kesulitan antara pada : sistem pernafasan ditandai dengan sesak nafas bahkan
henti nafas, penurunan kemampuan menelan dan batuk. Pasien biasanya akan diberi
bantuan alat ventilator untuk membantu pernafasan dalam kondisi tersebut di atas. Setelah

18
beberapa waktu, kondisi mati rasa akan berangsur membaik. Pasien harus tetap waspada
karena hanya 80% pasien yang dapat sembuh total, tergantung parahnya penyakit. Pasien
bisa berjalan dalam waktu lagi setelah perawatan dalam hitungan minggu atau tahun.
Namun statistik membuktikan bahwa rata-rata pasien akan membaik dalam waktu 3
sampai 6 bulan. Pasien parah akan menjadi cacat pada bagian yang terserang paling parah,
perlu terapi yang cukup lama untuk mengembalikan fungsi-fungsi otot yang layuh akibat
GBS. Bisanya memakan waktu maksimal 4 tahun. Pengobatan GBS adalah dengan
pemberian imunoglobulin secara intravena dan plasmapharesis atau pengambilan antibodi
yang merusak sistem saraf tepi dengan jalan mengganti plasma darah. Selain terapi pokok
tersebut juga telah dijelaskan di atas tentang pemberian fisioterapi dan perawatan dengan
terapi khusus serta pemberian obat untuk mengurangi rasa sakit. GBS merupakan penyakit
akut akan tetapi bila diterapi dengan baik dan tepat maka dapat memperbaiki kualitas hidup
pasien (Kuwabara, 2004)

Kambuh atau episode berulang dari GBS terjadi di sekitar 5% sampai 10% kasus
dan mungkin sangat serius. Jika terjadi kekambuhan, pengobatan agresif dengan
pertukaran plasma atau imunoglobulin IV bias mengurangi keparahan serangan dan
mencegah lebih lanjut kambuh (CDC, 2012).

2.10 Prognosis

Prognosis GBS tergantung dari variannya. Faktor prognostik buruk meliputi usia
> 60 tahun, progresi cepat menjadi tetraparesis dalam 1 minggu, intubasi, dan
amplitudo motorik distal < 20% (Hughes, 2003). Pada umumnya penderita mempunyai
prognosis yang baik, tetapi pada sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai
gejala sisa. Penderita SGB dapat sembuh sempurna (75-90%) atau sembuh dengan gejala
sisa berupa dropfoot atau tremor postural (25-36%). Penyembuhan dapat memakan waktu
beberapa minggu sampai beberapa tahun (Newswanger dan Warren, 2010).

19
DAFTAR PUSTAKA

20
Avila-Funes JA, Mariona-Montero VA, Melano-Carranza E. 2002. Guillain-Barre
syndrome: etiology and pathogenesis. Rev Invest Clin. Jul-Aug;54(4):357-63.

Center for disease control (CDC). 2012. Guillain Barre Syndrome (GBS).
http://www.cdc.gov/flu/protect/vaccine//guillainbarre.htm. Diakses pada tanggal 7
September 2015.

Davids HR. Guillain-Barre syndrome. [cited on 2011 Aug 17]. Available


from:http://emedicine.medscape.com/article/315632overview#showall.

Doarn Pieter AV, Ruts Liselotte, and Jacobs Bart C. Clinical Fetures, Pathogenesis, and
Treatment of Guillain Barre Syndrome. Department of Neurology. Erasmus Medical
Center. Netherlands. Lancet Neural 2008;939-50.

Gorson KC, Ropper AH. Guillain-Barre Syndrome (Acute Inflammatory


Demyelinating Polyneuropathy) and related disorders. In: Katirji B et al, editors.
Neuromuscular disorders in clinical practice. Boston:Butterworth Heinemann;
2002.p.544-60.

Guillain-Barr Syndrome. Available from: http: //www.medicinenet.com/ guillain-


barre_syndrome/article.htm.

Hauser SL, Asbury AK. Guillain-Barre Syndrome and Other ImmuneMediated


Neuropathies. In: Hauser SL, ed. Harrisons Neurology in clinical medicine. New
York:McGraw- Hill; 2006.p.517-26.

Hughes RAC et al. Practice parameter: immunotherapy for Guillain-Barre syndrome:


Report of the quality standards subcommittee of the American Academy of
Neurology. Neurology 2003; 61:736 .

Kowalak J., William Wels, dkk. Guillan-Barre Sindrome dalam Professional Guide To
Pathophysiology. Penerbit EGC, Jakarta, 2011.

Kuwabara S. Guillain-Barre syndrome epidemiology, pathophysiology and management.

21
Drugs 2010;64:597610.

Levin KH. Variants and Mimics of Guillain-Barre Syndrome. 2010. Proceedings of the
62nd AAN Annual Meeting, Toronto, Kanada.

Munandar A. Laporan Kasus Sindroma Guillan-Barre dan Tifus Abdominalis. Unit


Neurologi RS Husada Jakarta. Available from : URL :
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/14SindormGuillainBarre93.pdf/14SindormGu
illainBarre93.html.

Newswanger Dana L., Warren Charles R. 2010. Guillain-Barre Syndrome.


http://www.americanfamilyphysician.com.

NIH. (2012). Guillain-Barre Syndrome.

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/guillainbarresyndrome.html [Diakses pada: 7


September 2015]

Overview of Guillain-Barre Syndrome. http:// www.mayoclinic.com /health/ guillain-


barre- syndrome /DS00413/ DSECTION.

Pinzon Rizaldy. Sindrom Guillan-Barre : Kajian Pustaka. Jurnal Kedokteran: Dexa


Medica, Jakarta, 2007.

22

Anda mungkin juga menyukai