Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

ASMA PADA ANAK

Oleh :
dr. Betharia Lorenza Br Surbakti

Massa Tugas:
Agustus 2023-Februari 2024

Dokter Penanggungjawab
dr. Billy Chietra, Sp.A

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA (PIDI)


RUMAH SAKIT BUDI MULIA
KOTA BITUNG
2024
KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA (PIDI)
RUMAH SAKIT BUDI MULIA
KOTA BITUNG
2024

LEMBAR PENGESAHAN

Telah dikoreksi dan disetujui Laporan Kasus dengan judul :

ASTHMA PADA ANAK


Oleh :
dr. Betharia Lorenza br Surbakti

Massa Tugas :
Agustus 2023 – Februari 2024

Telah dilaksanakan pada tanggal 10 Mei 2023 di Wilayah Kerja


Rumah Sakit Budi Mulia

Mengetahui,
Dokter Pembimbing Peserta Internship

dr. Rixi Yosua Gahung dr. Betharia Lorenza br Surbakti

Dokter Penanggungjawab

dr. Billy Chietra Sp.A

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................................ 2


BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................ 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................ 4
2.1 Defenisi ....................................................................................................................... 4
2.2 Epidemiologi ............................................................................................................... 4
2.3 Etiologi ........................................................................................................................ 4
2.4 Klasifikasi.................................................................................................................... 5
2.5 Faktor Risiko ............................................................................................................... 8
2.6 Patofisiologi dan Patogenesis ...................................................................................... 8
2.7 Diagnosis ................................................................................................................... 12
2.8 Diagnosa Banding ..................................................................................................... 13
2.9 Terapi ........................................................................................................................ 14
2.9.1 Serangan Asma Ringan ........................................................................................... 14
2.9.2 Serangan Asma Sedang........................................................................................... 15
2.9.3 Serangan Asma Berat 2 ........................................................................................... 15
2.9.4 Jenis- jenis Obat Pengendali Asma ......................................................................... 17
2.9.5 Penentuan derajat kendali ...................................................................................... 20
2.9.6 Obat-obatan untuk serangan asma .......................................................................... 22
2.10 Pencegahan ................................................................................................................ 24
2.11 Prognosis ................................................................................................................... 25
BAB III LAPORAN KASUS ............................................................................................... 26
3.1 Identitas Pasien ...................................................................................................... 26
1.2 Anamnesa .............................................................................................................. 26
1.3 Status Present ......................................................................................................... 27
1.4 Pemeriksaan Penunjang ......................................................................................... 29
1.5 Diagnosa Kerja ...................................................................................................... 29
1.6 Diagnosa Banding.................................................................................................. 29
1.7 Penatalaksanaan ..................................................................................................... 29
1.8 Prognosis ............................................................................................................... 30
KESIMPULAN ...................................................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 33

2
BAB I
PENDAHULUAN
Asma adalah suatu kelainan inflamasi (peradangan) kronik pada saluran napas yang
emnyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan
gejala episodic berulang berupa mengi, batuk, sesak napas yang bersifat reversible.
Asma adalah penyakit kronis paling umum pada masa kanak-kanak di negara-negara
industri, menyerang lebih dari 5 juta anak di bawah usia 18 tahun di Amerika Serikat (7,5%
anak-anak). Pada orang dewasa, perempuan lebih besar kemungkinannya menderita asma
dibandingkan laki-laki, namun pada anak-anak justru sebaliknya. Pada tahun 2016 di Amerika
Serikat, rawat inap anak karena asma melebihi 80.000, dan terdapat hampir 550.000 kunjungan
ke unit gawat darurat karena asma anak. Kematian akibat asma terjadi; pada tahun 2018, 192
kematian disebabkan oleh asma. Untuk anak-anak, angka kematiannya adalah 2,6 per juta.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun 2020, Asma merupakan salah satu jenis
penyakit yang paling banyak diidap oleh masyarakat Indonesia, hingga akhir tahun 2020,
jumlah penderita asma di Indonesia sebanyak 4,5 persen dari total jumlah penduduk Indonesia
atau sebanyak 12 juta lebih.
Inflamasi pada asma berbeda dengan gangguan inflamasi jalan nafas lainnya, yaitu
inflamasi disertai dengan infiltrasi eosinofil. Eosinofil terbukti sebagai inflamasi utama pada
asma setelah inhalasi alergen dengan ditemukan peningkatan eosinofil pada cairan kurasan
bronkoalveolar saat reaksi asma lambat yang disertai inflamasi 1.
Pembentukan eosinofil terjadi di sumsum tulang. Eosinofil memiliki kemampuan
eliminasi bakteri dan mikroorganisme serta fagositosis. Eosinofil menghasilkan dua mediator
lipid yang terlibat dalam penyakit alergi (leukotrien C4 dan Platetet Activating Factor (PAF)).
Kedua mediator menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas, meningkatkan permeabilitas
vaskular, meningkatkan produksi mukus, dan membantu infiltrasi eosinofil. Eosinofil diyakini
memiliki kemampuan bekerja sama dengan limfosit dan sel imun serta kemampuan berperan
sebagai antigen presenting cell (APC) 1.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi
Asma adalah suatu kelainan inflamasi (peradangan) kronik pada saluran napas yang
menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan
gejala episodic berulang berupa mengi, batuk, sesak napas yang bersifat reversible2.

2.2 Epidemiologi
Asma adalah penyakit kronis paling umum pada masa kanak-kanak di negara-negara
industri, menyerang lebih dari 5 juta anak di bawah usia 18 tahun di Amerika Serikat (7,5%
anak-anak). Pada orang dewasa, perempuan lebih besar kemungkinannya menderita asma
dibandingkan laki-laki, namun pada anak-anak justru sebaliknya. Pada tahun 2016 di Amerika
Serikat, rawat inap anak karena asma melebihi 80.000, dan terdapat hampir 550.000 kunjungan
ke unit gawat darurat karena asma anak. Kematian akibat asma terjadi; pada tahun 2018, 192
kematian disebabkan oleh asma. Untuk anak-anak, angka kematiannya adalah 2,6 per juta 3.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun 2020, Asma merupakan salah satu
jenis penyakit yang paling banyak diidap oleh masyarakat Indonesia, hingga akhir tahun 2020,
jumlah penderita asma di Indonesia sebanyak 4,5 persen dari total jumlah penduduk Indonesia
atau sebanyak 12 juta lebih.
Asma banyak menyerang anak- anak karena pada usia kanak-kanak dipengaruhi oleh
sistem kekebalan tubuh yang belum terbentuk dengan baik serta asupan gizi yang masuk
digunakan tubuh untuk pertumbuhan, perkembangan organ dan tulang sehingga persentase
asupan nutrisi untuk pertumbuhan jaringan perifer kurang tercukupi.

2.3 Etiologi
Sel inflamasi (sel mast, eosinofil, limfosit T, neutrofil), mediator kimia (histamin,
leukotrien, faktor pengaktif trombosit, bradikinin), dan faktor kemotaktik (sitokin, eotaxin)
memediasi inflamasi yang mendasari yang ditemukan pada saluran napas penderita asma.
Peradangan berkontribusi terhadap hiperresponsif saluran napas (penyempitan saluran napas
sebagai respons terhadap alergen, iritan, infeksi virus, dan olahraga). Hal ini juga
mengakibatkan edema, peningkatan produksi lendir di paru-paru, masuknya sel inflamasi ke
jaringan saluran napas, dan penggundulan sel epitel. Peradangan kronis dapat menyebabkan
remodeling saluran napas, yang diakibatkan oleh proliferasi protein matriks ekstraseluler dan

4
hiperplasia vaskular dan dapat menyebabkan perubahan struktural yang ireversibel dan
hilangnya fungsi paru secara progresif 3.

2.4 Klasifikasi
Asma merupakan penyakit yang sangat heterogen dengan variasi yang sangat luas. Atas
dasar itu, ada berbagai cara mengelompokkan asma 4:
a. Berdasarkan Umur

 Asma bayi-baduta(bawah dua tahun)


 Asma balita(bawah lima tahun)
 Asma usia sekolah(5-11 tahun)
 Asma remaja(12-17 tahun)

b. Berdasarkan Fenotip

Fenotip asma adalah pengelompokan asma berdasarkan kenampakan yang serupa dalam
aspek klinis, patofisiologis, atau demografis.
 Asma Tercetus infeksi virus
 Asma tercetus aktivitas (exercise induced asthma)
 Asma tercetus alergen
 Asma Terkait Obesitas
 Asma dengan banyak pencetus (multiple triggered asthma)

c. Berdasarkan kekerapan timbulnya gejala

d. Berdasarkan derajat beratnya serangan


Asma merupakan penyakit kronik yang dapat mengalami episode gejala akut yang
memberat dengan progresif yang disebut sebagai serangan asma.
 Asma Serangan Ringan-sedang
 Asma serangan berat
 Serangan asma dengan ancaman henti napas

5
Dalam pedoman ini klasifikasi derajat serangan digunakan sebagai dasar penentuan
tatalaksana.

e. Berdasarkan derajat kendali


Tujuan utama tata laksana asma adalah terkendalinya penyakit. Asma terkendali adalah
asma yang tidak bergejala, dengan atau tanpa obat pengendalian kualitas hidup pasien baik.
 Asma Terkendali penuh(well controlled)
- Tanpa obat pengendali:pada asma intermiten
- Dengan obat pengendali : pada asma persisten (ringan/sedang/berat)
- Asma terkendali sebagian (partly controlled)
- Asma tidak terkendali (uncontrolled)
- Dalam pedoman ini, klasifikasi derajat kendali dipakai untuk menilai
keberhasilan tata laksana yang tengah dijalani dan untuk penentuan naik jenjang
(step-up), pemeliharaan (maintenance) atau turun jenjang (step-down)
tatalaksana yang akan diberikan.

f. Berdasarkan Keadaan Saat Ini:


 Tanpa gejala
 Ada gejala
 Serangan ringan-sedang
 Serangan berat
 Ancaman gagal napas : Serangan asma adalah episode perburukan yang progresif akut
dari gejala-gejala batuk, sesak napas, wheezing, rasa dada tertekan,atau berbagai
kombinasi dari gejala-gejala tersebut.

Tahapan penegakan diagnosis asma


 Diagnosis kerja : Asma dibuat sesuai alur diagnosis asma anak, kemudian diberi
tatalaksana umum yaitu penghindaran pencetus, pereda, dan tatalaksana penyakit
penyulit.
 Diagnosis klasifikasi kekerapan :Dibuat dalam waktu 6 minggu, dapat kurang dari 6
minggu bila informasi klinis sudah kuat.
 Diagnosis derajat kendali : Dibuat Setelah 6 minggu menjalani tata laksana jangka
panjang awal sesuai klasifikasi kekerapan

6
7
2.5 Faktor Risiko
Faktor risiko asma yang mempengaruhi perkembangan dan ekspresi asma terdiri dari
faktor internal dan eksternal, dimana untuk faktor internal terdiri dari genetik, obesitas, jenis
kelamin, usia, aktivitas fisik, dan ekspresi emosi yang kuat atau berlebihan. Sedangkan faktor
eksternal meliputi occupational irritant, infeksi virus di saluran nafas, alergen, asap rokok,
polusi udara, obat-obatan, dan perubahan suhu terkait perubahan musim atau kondisi geografis
lainnya 3.

2.6 Patofisiologi dan Patogenesis


a. Patofisiologi
 Obstruksi saluran respiratori

Inflamasi saluran respiratori yang ditemukan pada pasien asma diyakini merupakan hal
yang mendasari gangguan fungsi.Obstruksi saluran respiratorik menyebabkan keterbatasan
aliran udara yang dapat kembali baik secara spontan maupun setelah pengobatan.Perubahan
fungsional yang terjadi dihubungkan dengan gejala khas pada asma, yaitu batuk, sesak,
wheezing, dan hiperaktivitas saluran respiratori terhadap berbagai rangsangan. Batuk sangat
mungkin disebabkan oleh stimulasi saraf sensoris pada saluran respiratori oleh mediator
inflamasi. Terutama pada anak, batuk berulang dapat menjadi satu-satunya gejala asma yang
ditemukan4.
Penyempitan saluran respiratori pada asma dipengaruhi oleh banyak faktor. Penyebab
utama penyempitan saluran respiratori adalah kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi
oleh pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi. Yang termasuk agonis adalah histamin,triptase,
prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dari sel mast,neuropeptida dari saraf aferen setempat, dan
asetilkolin dari saraf eferen postganglionic. Kontraksi otot polos saluran respiratori diperkuat
oleh penebalan dinding saluran respiratori akibat edema akut, infiltrasi sel-sel inflamasi dan
remodeling, hiperplasia dan hipertrofi kronik otot polos, vaskular, dan sel-sel sekretori, serta
deposisi matriks pada dinding saluran respiratori. Selain itu, hambatan saluran respiratori juga
bertambah akibat produksi sekret yang banyak, kental, dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar
submukosa,protein plasma yang keluar melalui mikrovaskular bronkus, dan debris selular4.

 Hiperreaktivitas saluran respiratori


Penyempitan Saluran Respiratori Secara Berlebihan merupakan patofisiologi yang
secara klinis paling relevan pada penyakit asma.Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap

8
reaktivitas yang berlebihan atau hiperaktivitas ini belum diketahui. Akan tetapi, kemungkinan
berhubungan dengan perubahan otot polos saluran respiratori (hiperplasia dan hipertrofi) yang
terjadi secara sekunder,yang menyebabkan perubahan kontraktilitas. Selain itu, inflamasi
dinding saluran respiratori terutama daerah peribronkial dapat memperberat penyempitan
saluran respiratori selama kontraksi otot polos4.
Hiperreaktivitas bronkus secara klinis sering diperiksa dengan memberikan stimulus
aerosol histamin atau metakolin yang dosisnya dinaikkan secara progresif, kemudian dilakukan
pengukuran perubahan fungsi paru (PFR atau FEV1). Provokasi/stimulus lain seperti latihan
fisis, hiperventilasi, udara kering, aerosol garam hipertonik, dan adenosin tidak mempunyai
efek langsung terhadap otot polos (tidak seperti histamin dan metakolin) tetapi dapat
merangsang pelepasan mediator dari sel mast, ujung serabut saraf, atau sel-sel lain pada saluran
respiratori. Dikatakan hiperreaktif bila dengan cara pemberian histamin didapatkan penurunan
FEV1 20% pada konsentrasi histamin kurang dari 8 mg%4.

b. Patogenesis
Asma dapat terjadi pada usia berapapun, tetapi paling sering berawal pada anak usia
dini. Asma terjadi sebagai hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungan sehingga upaya
dikerahkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat dimodifikasi untuk pencegahan.
Banyak pedoman menyebutkan bahwa faktor tersebut antara lain infeksi, pajanan mikroba,
alergen, stres, polusi, dan asap tembakau. Perkembangan alergen-IgE spesifik, terutama jika
terjadi pada awal kehidupan, merupakan faktor risiko penting berkembangnya asma,terutama
di negara-negara maju 4.
Konsep terkini patogenesis asma adalah asma merupakan suatu proses inflamasi kronik
yang khas, melibatkan dinding saluran respiratori, peningkatan reaktivitas saluran respiratori
dan menyebabkan terbatasnya aliran udara. Hiperreaktivitas ini merupakan predisposisi terjadi
penyempitan saluran respiratori sebagai respons terhadap berbagai macam rangsang.
Gambaran khas adanya inflamasi saluran respiratori adalah aktivasi eosinofil, sel
mast,makrofag, dan sel limfosit T pada mukosa dan lumen saluran respiratori. Perubahan ini
dapat terjadi meskipun secara klinis asmanya tidak bergejala. Pemunculan sel-sel tersebut
secara luas berhubungan dengan derajat beratnya penyakit secara klinis. Sejalan dengan proses
inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus merangsang proses reparasi saluran respiratori.
Proses tersebut menghasilkan perubahan struktural dan fungsional yang menyimpang pada
saluran respiratori,dikenal dengan istilah remodeling 4.

9
Keterbatasan aliran udara pada asma bersifat berulang dan disebabkan oleh berbagai
perubahan pada saluran napas. Ini termasuk:

- Bronkokonstriksi. Pada asma, peristiwa fisiologis dominan yang menimbulkan gejala


klinis adalah penyempitan saluran napas dan selanjutnya gangguan aliran udara. Pada
asma eksaserbasi akut, kontraksi otot polos bronkus (bronkokonstriksi) terjadi dengan
cepat untuk mempersempit saluran napas sebagai respons terhadap paparan berbagai
rangsangan termasuk alergen atau iritan. Bronkokonstriksi akut yang diinduksi alergen
terjadi akibat pelepasan mediator yang bergantung pada IgE dari sel mast yang meliputi
histamin, triptase, leukotrien, dan prostaglandin yang secara langsung berkontraksi
pada otot polos saluran napas. Selain itu, rangsangan lain (termasuk olahraga, udara
dingin, dan bahan iritan) dapat menyebabkan penyumbatan aliran udara akut.
Mekanisme yang mengatur respons saluran napas terhadap faktor-faktor ini masih
kurang jelas, namun intensitas respons tampaknya berhubungan dengan peradangan
saluran napas yang mendasarinya. Stres juga mungkin berperan dalam memicu
eksaserbasi asma. Mekanisme yang terlibat belum diketahui dan mungkin mencakup
peningkatan produksi sitokin pro-inflamasi.
- Edema saluran napas. Ketika penyakit menjadi lebih persisten dan peradangan menjadi
lebih progresif, faktor-faktor lain semakin membatasi aliran udara. Hal ini termasuk
edema, peradangan, hipersekresi mukus dan pembentukan sumbat mukus, serta
perubahan struktural termasuk hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran napas.
Perubahan terakhir ini mungkin tidak merespons pengobatan biasa.
- Hiperresponsif saluran napas. Hiperresponsif saluran napas—respon bronkokonstriktor
yang berlebihan terhadap berbagai macam rangsangan—merupakan ciri utama asma,.
Sejauh mana hiperresponsif saluran napas dapat ditentukan oleh respons kontraktil
terhadap tantangan dengan metakolin berkorelasi dengan tingkat keparahan klinis
asma. Mekanisme yang mempengaruhi hiperresponsif saluran napas bermacam-macam
dan mencakup peradangan, disfungsi regulasi saraf, dan perubahan struktural;
peradangan tampaknya menjadi faktor utama dalam menentukan derajat hiperresponsif
saluran napas. Pengobatan yang ditujukan untuk mengurangi peradangan dapat
mengurangi hiperresponsif saluran napas dan meningkatkan pengendalian asma.
- Remodeling jalan napas. Pada beberapa penderita asma, keterbatasan aliran udara
mungkin hanya bersifat reversibel sebagian. Perubahan struktural permanen dapat
terjadi pada saluran napas, hal ini berhubungan dengan hilangnya fungsi paru secara

10
progresif yang tidak dapat dicegah atau dapat disembuhkan sepenuhnya dengan terapi
yang ada saat ini. Remodeling saluran napas melibatkan aktivasi banyak sel struktural,
yang mengakibatkan perubahan permanen pada saluran napas yang meningkatkan
obstruksi aliran udara dan respons saluran napas serta menjadikan pasien kurang
responsif terhadap terapi. Perubahan struktural ini dapat mencakup penebalan membran
subbasement, fibrosis subepitel, hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran napas,
proliferasi dan pelebaran pembuluh darah, serta hiperplasia dan hipersekresi kelenjar
mukosa 3.
Inflamasi akut dan kronik akibat paparan alergen inhalasi pada pasien alergi dapat
menimbulkan respons alergi fase cepat dan pada beberapa kasus dapat diikuti dengan respons
fase lambat. Reaksi cepat dihasilkan olehaktivasi sel-sel yang sensitif terhadap alergen IgE-
spesifik terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien-pasien dengan komponen alergi yang
kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Ikatan Antara sel dan IgE mengawali
reaksi biokimia serial yang menghasilkan sekresi mediator-mediator seperti histamin,
proteolitik, enzim lipolitik, dan heparin serta mediator newly generated seperti prostaglandin,
leukotrien, adenosin, dan oksigen reaktif. Bersama-sama dengan mediator-mediator yang
sudah terbentuk sebelumnya, mediator-mediator ini menginduksi kontraksi otot polos saluran
respiratori dan menstimulasi saraf aferen, hipersekresi mukus,vasodilatasi, dan kebocoran
mikrovaskuler. Reaksi fase lambat dipikirkan sebagai sistem model untuk mempelajari
mekanisme inflamasi pada asma. Selama respons fase lambat dan selama berlangsung pajanan
alergen, aktivasi sel-sel pada saluran respiratori menghasilkan sitokin-sitokin ke dalam
sirkulasi dan merangsang lepasnya leukosit proinflamasi terutama eosinofil dan sel prekursor
dari sumsum tulang ke dalam sirkulasi 4.
Remodeling saluran respiratori rangkaian proses yang menyebabkan deposisi jaringan
penyambung dan mengubah struktur saluran respiratori melalui proses dediferensiasi,
migrasi,diferensiasi ,dan maturasi struktur sel. Kombinasi kerusakan sel epitel,perbaikan epitel
yang berlanjut, produksi berlebih faktor pertumbuhan profibrotik/transforming growth factors
(TGF-β), dan proliferasi serta diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan
proses yang penting pada remodeling. Mio Fibroblas yang teraktivasi akan memproduksi
faktor-faktor pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot
polos saluran respiratori, meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, serta memperbanyak
vaskularisasi, neovaskularisasi, dan jaringan saraf 4.
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet kelenjar
submukosa timbul pada bronkus pasien asma terutama pada yang kronik dan berat. Secara
11
keseluruhan, saluran respiratori pada pasien asma memperlihatkan perubahan struktur yang
bervariasi yang dapat menyebabkan penebalan dinding saluran respiratori. Selama ini, asma
dipercaya sebagai suatu obstruksi saluran respiratori yang bersifat reversibel. Pada sebagian
besar pasien,reversibilitas yang menyeluruh dapat diamati pada pengukuran dengan spirometri
setelah diterapi dengan inhalasi steroid. Akan Tetapi, beberapa pasien asma mengalami
obstruksi saluran respiratori residual yang dapat terjadi pada pasien yang tidak menunjukkan
gejala4.

2.7 Diagnosis
Anak penderita asma memiliki gejala batuk, mengi, sesak napas, melakukan aktivitas
yang terbatas, atau dada sesak. Anamnesis harus mengetahui frekuensi, tingkat keparahan, dan
faktor pencetus serta riwayat asma dan alergi dalam keluarga. Faktor-faktor umum yang
memperparah penyakit ini adalah infeksi virus, paparan terhadap alergen dan iritan (misalnya
asap, polusi udara, bau menyengat, uap), olahraga, emosi, dan perubahan cuaca/kelembaban.
Gejala malam hari sering terjadi. Rinosinusitis, refluks gastroesofageal, dan aspirin dapat
memperburuk asma. Pengobatan terhadap kondisi ini dapat mengurangi frekuensi dan tingkat
keparahan asma. Selama episode akut, takipnea, takikardia, batuk, mengi, dan fase ekspirasi
berkepanjangan mungkin terjadi. Temuan fisik mungkin tidak kentara. Bunyi mengi mungkin
tidak terlalu menonjol jika aerasi buruk akibat obstruksi jalan napas. Ketika serangan berlanjut,
sianosis, berkurangnya pergerakan udara, retraksi, agitasi, ketidakmampuan berbicara, posisi
duduk tripod, diaphoresis, dan pulsus paradoxus (penurunan tekanan darah >15mm Hg saat
inspirasi) dapat diamati. Pemeriksaan fisik mungkin menunjukkan bukti penyakit atopik lain
seperti eksim atau rinitis alergi 3.
a. Anamnesa
Gejala Timbul secara episodik atau berulang. Timbul bila ada faktor pencetus.
 Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin, udara kering,
makanan minuman dingin, penyedap rasa, pengawet makanan, pewarna makanan.
 Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan,serbuk sari.
 Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold,rinofaringitis
 Aktivitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan.
 Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya.

12
Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24 jam.
Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal). Reversibilitas, yaitu gejala dapat
membaik secara spontan atau dengan pemberian obat pereda asma 4.
b. Pemeriksaan fisis
Dalam keadaan stabil tanpa gejala, pada pemeriksaan fisis pasien biasanya tidak
ditemukan kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak, dapat terdengar
wheezing, baik yang terdengar langsung [audible wheeze) atau yang terdengar dengan
stetoskop. Selain itu, perlu dicari gejala alergi lain pada pasien seperti dermatitis atopik atau
rinitis alergi, dan dapat pula dijumpai tanda alergi seperti allergic shiners atau geographic
tongue 4.
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan ini untuk menunjukkan variabilitas gangguan saluran nafas akibat
obstruksi, hiperaktivitas, dan inflamasi saluran respiratori,atau adanya atopik pada pasien.
 Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibilitas dan untuk menilai
variabilitas. Pada fasilitas terbatas dapat dilakukan pemeriksaan dengan peak flow
meter.
 Uji cukit kulit (skin prick test), eosinofil total darah, pemeriksaan IgE spesifik.
 Uji inflamasi saluran respiratori:FeNO (fractional exhaled nitricoxide),eosinophils
sputum.
 Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, atau larutan salin hipertonik.
Jika terindikasi dan fasilitas tersedia, lakukan pemeriksaan untuk mencari kemungkinan
diagnosis banding, misalnya uji tuberkulin, foto sinus paranasalis, foto toraks, uji refluks
gastro-esofagus, uji keringat, uji gerakan silia, uji defisiensi imun, CT-scantoraks, endoskopi
respiratori (rinoskopi, laringoskopi, bronkoskopi) 4.

2.8 Diagnosa Banding


Gejala asma tidak patognomonik, dalam arti dapat disebabkan oleh berbagai penyakit
lain sehingga perlu dipertimbangkan kemungkinan diagnosis banding 4.
a. Inflamasi: infeksi, alergi  Rinitis, rinosinusitis
 Chronic upper airway cough
syndrome
b. Infeksi respiratori berulang  Bronkiolitis
 Aspirasi Berulang
 Defisiensi Imun

13
 Tuberkulosis
c. Obstruksi Mekanik  Laringomalasia,trakeomalasia
 Hipertrofi Timus
 Pembesaran Kelenjar Getah bening
 Aspirasi Benda Asing
 Vascularring,laryngeal web
 Disfungsi Pita suara
 Malformasi kongenital saluran
respiratori
d. Patologi bronkus  Displasia bronkopulmonal
 Bronkiektasis
 Diskinesia silia primer
 Fibrosis kistik
e. Kelainan Sistem Organ Lain  Penyakit refluksgastro-esofagus
(GERD)
 Penyakit Jantung Bawaan
 Gangguan Neuromuskular
 Batuk Psikogenik

2.9 Terapi
2.9.1 Serangan Asma Ringan
- Jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respons yang baik (complete
response), berarti derajat serangannya ringan.
- Pasien diobservasi selama 1-2 jam, jika respons tersebut bertahan, pasien dapat
dipulangkan. Pasien dibekali obat β-agonis (hirupan atau oral) yang harus diberikan
tiap 4-6 jam.
- Jika pencetus serangannya adalah infeksi virus, dapat ditambahkan steroid oral
jangka pendek (3-5 hari).
- Pasien kemudian dianjurkan kontrol ke klinik rawat jalan dalam waktu 24-48 jam
untuk evaluasi ulang tata laksana.
- Jika sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut
diteruskan hingga evaluasi ulang yang dilakukan di klinik rawat jalan. Namun, jika
setelah observasi 2 jam gejala timbul kembali, pasien diperlakukan sebagai
serangan asma sedang.

14
2.9.2 Serangan Asma Sedang
- Jika dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali pasien hanya menunjukkan
respon parsial (incomplete response), kemungkinan derajat serangannya sedang.
Untuk itu, derajat serangan harus dinilai ulang sesuai pedoman.
- Jika serangannya memang termasuk serangan sedang, pasien perlu diobservasi dan
ditangani di ruang rawat sehari (RRS). Pada serangan asma sedang, diberikan
kortikosteroid sistemik (oral) metilprednisolon dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari
selama 3-5 hari.
- Walaupun belum tentu diperlukan, untuk persiapan keadaan darurat, pasien yang
akan diobservasi di RRS langsung dipasang jalur parenteral sejak di unit gawat
darurat (UGD).
2.9.3 Serangan Asma Berat
 Bila dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak menunjukkan respon (poor
response), yaitu gejala dan tanda serangan masih ada (penilaian ulang sesuai
pedoman), pasien harus dirawat di ruang rawat inap.
 Oksigen 2-4L/menit diberikan sejak awal termasuk saat nebulisasi
 Kemudian dipasang jalur parenteral dan dilakukan foto toraks.
 Bila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas, pasien harus
langsung dirawat di ruang rawat intensif. Pada pasien dengan serangan berat dan
ancaman henti napas, foto toraks harus langsung dibuat untuk mendeteksi
komplikasi pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum.
 Jika ada dehidrasi dan asidosis, diatasi dengan pemberian cairan intravena dan
koreksi terhadap asidosis.
 Steroid intravena diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam.
 Dosis steroid intravena 0,5-1 mg/kg BB/hari.
 Nebulisasi β-agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam; jika
dengan 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat
diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.
 Aminofilin diberikan secara intravena dengan ketentuan sebagai berikut:
- Jika pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberikan aminofilin
dosis awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrosa 5% atau
garam fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan dalam 20-30 menit.

15
- Jika pasien telah mendapat aminofilin sebelumnya (kurang dari 4 jam), dosis
yang diberikan adalah setengah dosis inisial.
- Sebaiknya kadar aminofilin dalam darah diukur dan dipertahankan sebesar 10-
20 mcg/ml; Selanjutnya, aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1
mg/kgBB/jam
- Jika telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam, sampai
dengan 24 jam. Steroid dan aminofilin diganti dengan pemberian per oral.
 Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali
obat β-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam.
Selain itu, steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam
24-48 jam untuk evaluasi ulang tata laksana.
 Ancaman henti napas; hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberi oksigen
(kadar PaO2<60 mmHg dan/atau PaCO2 >45 mmHg). Pada ancaman henti napas
diperlukan ventilasi mekanik .

Obat asma dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan
obat pengendali (controller). Obat ini digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma
bila sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan gejala tidak ada lagi, maka pemakaian obat
ini dihentikan.Obat pengendali asma terdiri dari steroid anti-inflamasi inhalasi atau sistemik,
antileukotriene, kombinasi steroid-agonis β2 kerja panjang,teofilin lepas lambat,dan anti-
imunoglobulin E.
Pada umumnya obat asma diberikan secara inhalasi. Ada Perbedaan teknik inhalasi
sesuai dengan golongan umur dan kemampuan anak, sehingga pemilihan alat inhalasi harus
disesuaikan dengan kondisi masing-masing anak. Pemilihan alat inhalasi sebaiknya juga
mempertimbangkan efikasi obat, keamanan, kenyamanan penggunaan, dan biaya. Inhalasi
dosis terukur/Metered Dose Inhaler(MDI) dengan spacer merupakan pilihan utama karena
memberikan kenyamanan kepada pasien, jumlah obat yang mencapai paru lebih banyak, risiko
dan efek samping minimal, serta biaya lebih murah.Lebih dari 50% anak asma tidak dapat
memakai alat hirupan tanpa spacer (MDI)4.
Jenis alat inhalasi sesuai usia
Umur Alat Inhalasi
< 5 tahun  Nebulizer dengan masker
 MDI dengan Spacer

16
5-8 tahun  Nebulizer dengan mouth piece
 MDI dengan spacer
 DPI

>8 tahun  Nebulizer dengan mouth piece


 MDI dengan atau tanpa spacer
 DPI

Pemakaian spacer mengurangi deposisi obat dalam mulut(orofaring). Hal ini


menyebabkan jumlah obat yang akan tertelan berkurang sehingga mengurangi efek sistemik.
Sebaliknya, disposisi obat dalam paru lebih baik sehingga didapatkan efek terapeutik yang
baik. Selain itu pemakaian spacer akan mengatasi masalah kesulitan teknik pemakaian obat
MDI. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering/Dry Powder Inhaler (DPI) seperti diskhaler,
swinghaler,turbuhaler, dan easyhaler memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk mini
dianjurkan untuk anak usia sekolah4.
Jika spacer seperti volumatic, nebuhaler, aerochamber,babyhaler, autohaler tidak
dapat atau sulit diperoleh, spacer dapat dibuat dari gelas plastik atau botol plastik dengan
volume 500 mL yang menurut penelitian sama efektifnya dengan MDI yang disertai spacer
konvensional.
Cara pemakaian MDI dengan spacer sebagai berikut :
 MDI dikocok, lepaskan tutupnya
 Pasangkan Mouthpiece MDI pada lubang spacer
 Pasang mouthpiece spacer (atau mulut botol plastik) di mulut pasien, atau letakkan
masker spacer (atau mulut gelas plastik)menutupi hidung dan mulut pasien
 Tekan kanister MDI, untuk memberi 1 semprotan ke dalam spacer
 Minta anak untuk bernapas dalam melalui antar-muka(mouthpiece atau masker) hingga
6-10 kali, tergantung kemampuan kedalaman napas anak. Jika bisa bernapas dalam
cukup 6kali.
 Tunggu responsnya dalam 5-10 menit. Jika keluhan sesak/wheezing masih ada, lakukan
tindakan serupa hingga 2-4 kali dengan selang waktu 20 menit selama 1 jam sesuai
respons yang ada
2.9.4 Jenis- jenis Obat Pengendali Asma
a. Steroid Inhalasi

17
Steroid inhalasi dapat menekan inflamasi saluran respiratori dan berperan penting
dalam tata laksana asma jangka panjang. Steroid Inhalasi merupakan obat pengendali asma
yang paling efektif.Pemberian steroid inhalasi setara dosis budesonid 100-200 μg per hari dapat
menurunkan angka kekambuhan asma dan memperbaiki fungsi paru pada pasien asma.
Beberapa pasien asma memerlukan dosis steroid inhalasi 400 ug per hari untuk mengendalikan
asma dan mencegah timbulnya serangan asma setelah berolahraga. Pada anak yang berusia
diatas 5 tahun, steroid inhalasi dapat mengendalikan asma, menurunkan angka kekambuhan,
mengurangi risiko masuk rumah sakit, memperbaiki kualitas hidup, memperbaiki fungsi
paru,dan menurunkan serangan asma akibat berolahraga. Steroid inhalasi atau sistemik tidak
digunakan untuk asma intermiten dan wheezing akibat infeksi virus. Steroid inhalasi umumnya
diberikan dua kali dalam sehari.

b. Agonis β2 kerja panjang (Long acting β2-agonist, LABA)


Sebagai pengendali asma, agonis β2 kerja panjang tidak digunakan tunggal melainkan
selalu bersama steroid inhalasi.Kombinasi agonis β2 kerja panjang dengan steroid terbukti
memperbaiki fungsi paru dan menurunkan angka kekambuhan asma.Preparat kombinasi
steroid- agonis β2 kerja panjang pada anak asma yang berusia di atas 5 tahun, diberikan bila
steroid inhalasi dosis rendah tidak menghasilkan perbaikan. Pemberian kombinasi steroid-
agonis β2 kerja panjang dalam satu kemasan memberikan hasil pengobatan yang lebih baik
dibandingkan steroid inhalasi dan agonisβ2 kerja panjang dalam sediaan terpisah. Penelitian
penggunaan kombinasi steroid-agonis β2 kerja panjang pada anak balita masih terbatas.
Kombinasi agonis β2 kerja panjang-steroid inhalasi juga dapat digunakan untuk mencegah
spasme bronkus yang dipicu olahraga dan mampu memproteksi lebih lama dibandingkan
agonis β2inhalasi kerja pendek. Formoterol memiliki awitan kerja yang cepat sehingga
walaupun formoterol merupakan agonis β2 kerja panjang,namun dapat berfungsi sebagai obat
pereda.

c. Antileukotriene
Antileukotrien terdiri dari antagonis reseptor cysteinyl-leukotrien 1 (CysLT1) seperti
montelukast, pranlukast, dan zafirlukast,serta inhibitor 5-lipoxygenase seperti zileuton. Studi
klinik menunjukkan antileukotrien memiliki efek bronkodilatasi kecil dan bervariasi,
mengurangi gejala termasuk batuk, memperbaiki fungsi paru, dan mengurangi inflamasi jalan
napas dan mengurangi eksaserbasi. Jika digunakan sebagai obat pengendali tunggal, efeknya
lebih rendah dibandingkan dengan steroid inhalasi. Kombinasi steroid inhalasi dan
18
antileukotrien dapat menurunkan angka serangan asma dan menurunkan kebutuhan dosis
steroid inhalasi. Antileukotrien dapat mencegah terjadinya serangan asma akibat berolahraga
(exercise induced asthma, EIA) dan Obstructive Sleep Apnea (OSA). Antileukotrien juga dapat
mencegah serangan asma akibat infeksi virus pada anak balita. Pemberian Kombinasi steroid
inhalasi dan anti leukotrien pada asma persisten kurang efektif dibandingkan dengan steroid
inhalasi dosis sedang.Pemberian antileukotrien tunggal dapat diberikan sebagai alternatif dari
pemberian steroid inhalasi.

d. Teofilin lepas lambat


Sebagai obat pengendali asma teofilin lepas lambat dapat diberikan sebagai preparat
tunggal atau diberikan sebagai kombinasi dengan steroid inhalasi pada anak usia di atas 5
tahun. Kombinasi Steroid inhalasi dan teofilin lepas lambat akan memperbaiki kendali asma
dan dapat menurunkan dosis steroid inhalasi pada anak dengan asma persisten. Preparat teofilin
lepas lambat lebih dianjurkan untuk pengendalian asma karena kemampuan absorbsi dan
bioavaibilitas yang lebih baik. Eliminasi teofilin lepas lambat bervariasi antar individu
sehingga pada penggunaan jangka lama kadar teofilin dalam plasma perlu dimonitor. Efek
samping teofilin lepas lambat bisa berupa mual, muntah, anoreksia, sakit kepala, palpitasi,
takikardi, aritmia,nyeri perut, dan diare. Efek samping teofilin lepas lambat terutama timbul
pada pemberian dosis tinggi,di atas 10 mg/kgBB/hari.

e. Anti-immunoglobulin E(Anti-IgE)
Anti-IgE (omalizumab) adalah antibodi monoklonal yang mampu mengurangi kadar
IgE bebas dalam serum. Pada orang dewasa dan anak di atas usia 5 tahun, omalizumab dapat
diberikan pada pasien asma yang telah mendapat steroid inhalasi dosis tinggi dan agonis
β2kerja panjang namun masih sering mengalami eksaserbasi dan terbukti asma karena alergi.
Omalizumab diberikan secara injeksi subkutan setiap dua sampai empat minggu. Reaksi
anafilaksis dapat terjadi dini ketika pemberian dosis pertama, tapi juga dapat terjadi setelah
pemberian selama satu tahun. Anti-IgE (omalizumab) terbukti memperbaiki gejala asma pada
asma persisten sedang dan berat yang disebabkan oleh karena alergi. Pemberian omalizumab
akan menurunkan kebutuhan steroid inhalasi dan menurunkan angka serangan asma.
Pemberian anti-IgE membutuhkan beberapa kali dosis penyuntikan dan relatif mahal. Efek
Samping yang pernah dilaporkan antara lain urtikaria, kemerahan,gatal.

19
2.9.5 Penentuan derajat kendali
Setiap pasien asma harus ditentukan derajat kendali asma untuk memulai pengobatan
jangka panjang. Sebelum memutuskan untuk turun jenjang atau naik jenjang dalam tata laksana
jangka panjang asma, dokter harus menilai kepatuhan pasien terhadap pengobatan, teknik
inhalasi, dosis obat inhalasi, dan mengendalikan faktor pencetus asma. Untuk menentukan
derajat kendali asma dapat digunakan penilaian sebagai berikut :

 Jenjang 1

Pasien pada kondisi terkendali penuh dengan atau tanpa obat pengendali, hanya
mengalami gejala ringan ≤2 kali/minggu dan diantara serangan pasien tidak mengalami
gangguan tidur maupun aktivitas sehari hari. Pada saat ini pasien hanya mendapatkan obat
pereda berupa inhalasi agonis β2 kerja pendek apabila mengalami serangan asma. Sebagai
alternatif bisa diberikan obat inhalasi agonisβ2 kerja pendek kombinasi dengan ipratropium
bromida, agonis β2kerja pendek oral, atau teofilin kerja pendek oral. Pengendalian asma
dihubungkan dengan tingkat pemakaian obat pereda asma. Bila Pemakaian obat pereda
asma melebihi dua kanister setiap bulannya,menandakan anak memerlukan obat
pengendali asma. Pada tatalaksana jangka panjang jenjang 1, 2, 3, dan 4 pemilihan obat
dinilai berdasarkan pengurangan gejala asma, perbaikan fungsi paru, dan penurunan
frekuensi eksaserbasi asma. Pada pasien yang memiliki faktor risiko dapat
dipertimbangkan pemberian steroid inhalasi dosis terendah.

 Jenjang 2

Pilihan utama obat pengendali pada jenjang ini adalah steroid inhalasi dosis rendah,
sedangkan sebagai pilihan lain dapat diberikan antileukotrien yang diberikan pada pasien
asma yang tidak memungkinkan menggunakan steroid inhalasi atau pada pasien yang
menderita asma disertai rinitis alergi. Teofilin dan kromolin kurang disarankan karena
efikasinya lebih rendah dan lebih sering menimbulkan efek samping.

 Jenjang 3

Pilihan utama pada jenjang 3 untuk anak berusia diatas 5 tahun ialah kombinasi
steroid dosis rendah-agonis β2 kerja panjang. Pilihan Lainnya ialah dengan menaikkan
dosis steroid inhalasi pada dosis menengah. Pemberian melalui inhalasi dosis terukur

20
dengan spacer akan memperbaiki deposisi obat di paru, mengurangi impaksi obat
diorofaring dan mengurangi efek sistemik. Selain itu dapat diberikan kombinasi steroid
inhalasi dosis rendah-antileukotrien atau kombinasi steroid inhalasi dosis rendah-teofilin
lepas lambat.

 Jenjang 4

Pasien asma yang tidak berhasil dikendalikan pada jenjang 3 sebaiknya dirujuk
kepada dokter spesialis respirologi anak untuk pemeriksaan lebih lanjut. Pada saat ini
pasien asma dikategorikan sebagai asma sulit (difficult-to-treat asthma). Pilihan pertama
pada jenjang 4 ialah kombinasi steroid inhalasi dosis menengah-agonis β2kerja panjang.
Menaikkan dosis steroid inhalasi dari dosis sedang kedosis tinggi hanya memberikan
sedikit perbaikan. Keputusan ini dapat dilaksanakan setelah pemberian steroid inhalasi
dosis sedang-agonisβ2 kerja panjang diberikan selama 6-8 minggu. Pilihan lain
padajenjang 4 ialah kombinasi steroid inhalasi dosis tinggi-antileukotrinatau kombinasi
steroid inhalasi dosis tinggi-teofilin lepas lambat.Pada jenjang ini dapat dipertimbangkan
penambahan anti-imunoglobulin E (omalizumab) yang dapat memperbaiki pengendalian
asma yang disebabkan karena alergi.

 Jenjang 5

Semua pasien yang mencapai jenjang ini harus dirujuk dokter spesialis respirologi
anak untuk pemeriksaan dan tata laksana lebih lanjut, oleh karena itu tata laksana pada
jenjang ini tidak dituliskan dalam gambar.Pada jenjang ini mulai dipertimbangkan
pemberian steroid oral, oleh karena itu pasien harus dijelaskan tentang kemungkinan efek
samping yang timbul akibat pemberian steroid oral jangka panjang dan berbagai alternatif
pilihan pengobatan. Pengendalian asma harus dimonitor teratur tergantung kondisi pasien,
derajat asma, dan penyakit lain yang menyertai asma.Pada umumnya pasien dimonitor
setiap bulan dan pencapaian perbaikan setelah 3 bulan. Selain jenis obat, dosis obat, cara
pemberian obat dan kepatuhan, pasien asma senantiasa perlu dipantau bagaimana upaya
penghindaran faktor pencetus dan adanya penyakit penyerta asma. Penurunan dosis steroid
dipertimbangkan setiap 8-12minggu dengan penurunan dosis sebesar 25-50%.

21
2.9.6 Obat-obatan untuk serangan asma
 Agonis β2 kerja pendek
Gejala asma ringan sedang memberikan respons yang cepat terhadap inhalasi
agonis β2 kerja pendek tunggal Pemberiannya dapat diulang hingga 2 kali dengan interval
20 menit, jika di rumah keadaan pasien belum juga membaik harus segera dibawa ke
fasilitas pelayanan kesehatan terdekat, sedangkan bila pemberian 2 kali sudah dilakukan di
fasyankes maka pemberian ketiga dipertimbangkan kombinasi dengan ipratropium
bromida. Obat ini juga diberikan sebagai premedikasi untuk serangan asma yang dipicu
latihan (exercise induced asthma). Contoh agonis β2 kerja pendek adalah
salbutamol,terbutalin,dan prokaterol.
Pada serangan asma, agonis β2 kerja pendek diberikan secara inhalasi diberikan
lewat DPI, MDI dengan/tanpa spacer, atau nebulizer dengan dosis sesuai beratnya serangan
dan respons pasien. agonisβ2 kerja pendek harus diberikan dengan dosis rendah dan
frekuensi terkecil, yaitu hanya bila diperlukan, penggunaan berlebihan atau seringnya
pemakaian menandakan kendali asma yang buruk. Tremor dan takikardia sering dialami
pasien yang menggunakan agonis β2 kerja pendek pertama kali, namun biasanya kemudian
efek tersebut cepat ditoleransi.
 Ipratropiumbromida
Kombinasi agonis β2 kerja pendek dan ipratropium bromida(antikolinergik) pada
serangan asma ringan-sedang memperbaiki PEF dan FEV,dibandingkan dengan 2-agonis
saja. Ipratropium Bromida Terbukti Memberikan efek dilatasi bronkus lewat peningkatan
tonus parasimpatis dalam inervasi otonom di saluran napas.
 Aminofilin intravena
Aminofilin intravena diberikan pada anak dengan serangan asma berat atau dengan
ancaman henti napas yang tidak berespon terhadap dosis maksimal inhalasi agonis β2 dan
steroid sistemik.Penambahan aminofilin pada terapi awal (inhalasi agonis β2 dan steroid)
meningkatkan fungsi paru dalam 6 jam pertama, tetapi tidak mengurangi gejala,jumlah
nebulisasi dan lama rawat inap. Perlu diingat bahwa rentang keamanan aminofilin sempit
dan efek samping yang sering adalah mual, muntah, takikarsi dan agitasi.Toksisitas yang
berat dapat menyebabkan aritmia, hipotensi, dan kejang.
Dosis yang direkomendasikan yaitu dengan dosis inisial boluspelan 6-8 mg/kgBB
diberikan dalam 20 menit dilanjutkan dengan pemberian rumatan secara drip 1 mg/kg/jam.
Loading 1 mg/kg akan meningkatkan kadar aminofilin serum 2 mcg/mL. Untuk efek terapi

22
yang maksimal, target kadar amonifilin serum adalah 10-20 ug/mL.Oleh karena itu kadar
aminofilin serum seharusnya diukur 1-2 jam setelah loading dose diberikan.
 Steroid sistemik
Pemberian steroid sistemik dapat mempercepat perbaikan serangan dan mencegah
kekambuhan, dan direkomendasikan untuk diberikan pada semua jenis serangan. Jika
memungkinkan,steroid oral diberikan dalam 1 jam pertama. Pemberian steroid sistemik per
oral sama efektifnya dengan pemberian secara intravena. Keuntungan pemberian per oral
adalah lebih murah dan tidak invasif. Pemberian secara oral memerlukan waktu sekitar 4
jam untuk memberikan perbaikan klinis. Pemberian Secara intravena direkomendasikan
bila pasien tidak dapat menelan obat (misalnya terlalu sesak, muntah atau pasien
memerlukan intubasi).
Steroid sistemik berupa prednison atau prednisolon diberikan per oral dengan dosis
1-2 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum sampai 40 mg/hari, maksimal 1 kali dalam 1
bulan. Lama pemberian 3-5 hari tanpa tappering off.
 Adrenalin
Apabila tidak tersedia obat-obatan lain, dapat digunakan adrenalin.Epinefrin
(adrenalin) intramuskular diberikan sebagai terapi tambahan pada asma yang berhubungan
dengan anafilaksis dan angioedema dengan dosis 10 ug/kgBB (0,01 ml/kgBB
adrenalin1:1.000), dengan dosis maksimal 500 ug (0.5 ml). Obat ini tidak diindikasikan
untuk serangan asma lainnya.
 Magnesium sulfat

Obat ini tidak rutin dipakai untuk serangan asma, tapi boleh sebagai alternatif,
apabila pengobatan standar tidak ada perbaikan.Pada penelitian multisenter didapatkan
hasil bahwa pemberian magnesium sulfat (MgSO4) intravena 50 mg/kgBB (inisial) dalam
20 menit yang dilanjutkan dengan 30 mg/kgBB/jam mempunyai efektifitas yang sama
dengan pemberian agonis β2. Pemberian MgSO4 ini dapat meningkatkan FEV, dan
mengurangi angka perawatan di RS.
MgSO4 yang tersedia dalam sediaan 20% dan 40% dapat diberikan dengan bolus,
bolus diulang, drip kontinu, dan inhalasi. Cara Bolus berulang serta inhalasi jarang
digunakan. Pemberian lewat drip kontinu melalui pompa intravena dilakukan dengan
melarutkan sediaan dalam larutan dekstrose 5% atau larutan salin dengan pengenceran 60
mg/ml lalu diberikan dengan kecepatan 10-20mg/kgBB/jam dan target kadar magnesium 4
mg/dL. Untuk Pemberian dengan cara bolus, dosis yang dianjurkan adalah 20-

23
100mg/kgBB (maksimum 2 gram) diberikan selama 20 menit, sedangkan untuk pemberian
dengan cara bolus berulang dosis MgSO4 yang dianjurkan 20-50mg/kgBB/dosis setiap 4
jam.
Pertimbangkan pemberian injeksi MgSO4 pada pasien dengan serangan asma berat
yang tidak membaik atau dengan hipoksemia yang menetap setelah satu jam pemberian
terapi awal dengan dosis maksimal (agonis β2 kerja pendek dan steroid sistemik).
 Steroid inhalasi
Steroid nebulisasi dengan dosis tinggi (1600-2400 budesonide) dapat digunakan
untuk serangan asma, namun perlu diperhatikan untuk memberi dalam dosis tinggi karena
steroid nebulisasi dosis rendah tidak bermanfaat untuk mengatasi serangan asma.
 Mukolitik
Mukolitik pada serangan asma ringan sedang dapat diberikan,tetapi harus berhati-
hati pada anak dengan refleks batuk yang tidak optimal. Hati-hati pemberian mukolitik
pada bayi dan anak di bawah usia 2 tahun.Pemberian mukolitik secara inhalasi tidak
mempunyai efek yang signifikan dan tidak boleh diberikan pada serangan asma berat.
 Antibiotik
Pemberian antibiotik pada asma tidak dianjurkan karena sebagian besar
pencetusnya bukan infeksi bakteri melainkan infeksi virus. Pada keadaan tertentu antibiotik
dapat diberikan, yaitu pada infeksi respiratori yang dicurigai karena bakteri atau dugaan
adanya sinusitis yang menyertai asma. Pada serangan yang berat perlu dipikirkan adanya
suatu penyulitan antara lain pneumonia atipik. Apabila Ada kecurigaan pneumonia atipik
maka diberikan antibiotik, yang dianjurkan adalah golongan makrolida.
 Obatsedasi
Pemberian obat sedasi pada serangan asma sangat tidak dianjurkan karena dapat
menyebabkan depresi pernapasan.
 Antihistamin
Antihistamin jangan diberikan pada serangan asma karena tidak mempunyai efek
yang bermakna, bahkan dapat memperburuk keadaan.

2.10 Pencegahan
Pencegahan asma dapat dibedakan menjadi 3 yaitu :
1. Pencegahan primer

24
Pencegahan primer ditunjukkan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan risiko
asma (orangtua asma) dengan cara:
- Penghindaran asap rokok dan polutan lain saat kehamilan dan masa perkembangan
bayi/anak
- Diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan dengan syarat diet tersebut tidak mengganggu
asupan janin
- Pemberian ASI ekslusif sampai usia 6 bulan

2. Pencegahan sekunder ditunjukkan untuk mencegah inflamasi pada anak yang telah
tersentisisasi dengan cara menghindari pajanan asap rokok, serta allergen dalam
ruangan terutama tungau debu

3. Pencegahan tersier ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada anak yang telah
menunjukkan penyakit allergen.

2.11 Prognosis
Pada beberapa anak, gejala mengi akibat infeksi pernafasan mereda pada usia
prasekolah, sedangkan anak lainnya memiliki gejala asma yang lebih persisten. Atopi
merupakan prediktor terkuat untuk berlanjutnya mengi menjadi asma persisten.

25
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : A.A.S
Tanggal Lahir : 06 September 2017
Usia : 6 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Pakadoodan
Agama : Kristen Protestan
Rekam Medis : 294551
Tanggal Masuk : 24 November 2023

1.2 Anamnesa
Keluhan Utama : Sesak nafas
Telaah : Pasien dibawa oleh keluarganya ke IGD RS Budi Mulia
Bitung dengan keluhan sesak napas. Pasien juga
mengeluhkan batuk dan beringus kurang lebih selama 3
hari SMRS Gejala penyerta lainya muntah dengan isi
makanan, demam (-) BAK dan BAB dalam batas
normal . Pasien memiliki riwayat asthma

Riwayat Penyakit Terdahulu : Asma

Riwayat Pemakaian Obat : -


Riwayat Penyakit Keluarga : -

26
1.3 Status Present
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TB : 116 cm
BB : 19 kg
HR : 110x/i
RR : 28x/i
TD : 100/70 mmHg
T : 36°C

19
Status Gizi : 21 X 100= 90.47% (normal)

Interpretasi :

- >120% : obesitas
- 110-120% : overweight
- 90-110% : normal
- 70-90% : gizi kurang
- <70% : gizi buruk

Kepala:
Bentuk Kepala : normochephali
UUB : menutup
Rambut : Hitam, kilat, tidak mudah dicabut dan terdapat uban
Alis : simetris, hitam
Mata : reflex cahaya pupil isokor, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-), air mata normal (basah), bitot spot (-/-), xerofthalmia (-/-), ptosis
sebelah kiri
Telinga : Simetris, perdarahan (-), sekret (-/-), serumen (-/-), nyeri tekan (-)
Hidung : Deviasi septum nasi (-), sekret (-/-), perdarahan (-/-), pernafasan
cuping hidung (-)
mulut : Mukosa bibir merah, sudut mulut jatuh kearah kiri gusi berdarah (-),
faring hiperemis (-), lidah kotor (-), lidah tertarik kesebelah kanan, tonsil
T1/T1, detritus (-), uvula ditengah.
Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran KGB (sub mandibular, submentalis,
27
sub oksipital, servikal, post auricular, pre auricular) (-),
pembersaran tiroid (-), bull neck (-).

Thorax
Paru
Inspeksi : Bentuk fusiformis, retraksi dinding dada (-), pergerakan simetris
Palpasi : Pergerakan nafas simetris, stem fremitus kanan=kiri normal
Perkusi : Paru kanan sonor, paru kiri sonor
Auskultasi : wheezing (+/+), ronkhi (-)

Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba pada ICS IV MCL sinistra
Perkusi : batas jantung kanan pada ICS IV Parasternal dextra, batas jantung kiri
ICS IV Axila anterior sinistra
Auskultasi : S1 dan S2 normal, gallop (-), murmur (+) 1/6 di ICS IV Axila anterior
sinistra
Abdomen
Inspeksi : Cembung, simetris
Auskultasi : Bising usus normal
Palpasi : soepel, disetensi (-), defans muscular (-), turgor kulit kembali normal,
hepar tidak teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi : timpani, shifting dullness (-), asites (-), meteorismus (-)

Genital
Inspeksi : Tidak dilakukan pemeriksaan

Ektremitas
Superior : akral hangat CRT <2 detik, edema (-), sianosis (-), petekie (-)
Inferior : akral hangat CRT <2 detik, edema (-), sianosis (-), petekie (-)

28
1.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Analisa Unit Nilai Rujukan Keterangan


Hematologi
WBC 26.8 103/uL 5.0 – 10.0 HIGH
RBC 4.56 106/uL 4.00 – 5.50
HGB 13.0 g/dL 12.0 – 15.0
HCT 37.5 % 45.0 – 52.0
MCV 82.2 fL 84 – 96
MCH 28.5 Pg 27 – 32
MCHC 34.7 g/dL 31 – 38
RDW 10.4 % 11.0 – 14.8 LOW
PLT 362 103/uL 150 – 450
Differential
Neut % 76.6 % 38 – 80 HIGH
Lym % 14.2 % 23 – 53 LOW
MID 9.2 %

1.5 Diagnosa Kerja


Asthma Bronchial + Dyspepsia + Bacterial Infection

1.6 Diagnosa Banding


1. Rhinosinusitis
2. Refluks Gastrofageal
3. Aspirasi Benda Asing
4. ISPA

1.7 Penatalaksanaan
- Nebulisasi Combivent 1 respul + 2.5ml NaCl 0.9% per 2 jam, setelah 2x pemberian per
2 jam, naik per 4 jam, setelah 4 kali, naik per 6 jam
- IVFD RL 20-21 gtt/i makro
- Inj. Ondansentron 3x19 mg iv
- Inj. Ranitidine 3 x19mg iv

29
- Inj. Cefotaxim 3x950mg iv ST
- Paracetamol syr 3x2 sendok obat
- Lacto B 1x1 sachet
- Oralit ad lib
- Ambroxol 10mg + Metilprednisolon 3 mg + Tremenza 1/3 (3xpulv I) pc
- Theofilin 80mg (4x 1pulv)

1.8 Prognosis
Dubia Ad Bonam

30
KESIMPULAN
Anak perempuan usia 6 tahun datang dengan keluhan sesak napas serta batuk dan flu
sejak 3 SMRS. Memiliki riwayat asma sebelumnya, pemeriksaan fisik didapatkan bunyi
wheezing di kedua lapangan paru. Pasien didiagnosa dengan asma bronkial dengan terapi
Nebul Combivent, ambroxol, tremenza, metilprednisolon, dan theofilin.
Mukoaktif merupakan jenis obat yang dapat mengubah komponen viskoelastisitas
mukus untuk membantu bersihan jalan napas sehingga tidak terjadi obstruksi akibat sekresi
mukus yang abnormal. Mukoaktif yang digunakan adalah mukolitik yang mana dapat
mengurangi kekentalan mukus dengan memutus ikatan polimer mukus. Contoh: n-
asetilsistein, ambroksol, erdostein, Mukolitik pada serangan asma ringan sedang dapat
diberikan, tetapi harus berhati-hati pada anak dengan refleks batuk yang tidak optimal.
Mukolitik lebih efektif dibandingkan plasebo untuk batuk akut
Tremenza yang mengandung pseudoefedrin ini memiliki efek yang mirip dengan
efedrin karena sifat stimulan sistem saraf pusat. dan kemiripan strukturalnya dengan
amfetamin., tetapi sedikit lebih lemah, dan memiliki kemampuan yang lebih rendah untuk
menjadi takikardia dan meningkatkan tekanan darah sistolik. Pseudoefedrin direkomendasikan
untuk pengobatan gejala upper respiratory tract mucosa, sinus paranasal dan saluran
Eustachius. Indikasi lain termasuk rinitis vasomotor dan terapi tambahan pada rinitis alergi.
Obat ini mengurangi kemacetan pada mukosa saluran pernafasan bagian atas, terutama di
hidung dan sinus paranasal (setelah pemberian oral), mengurangi pembengkakan, jumlah
sekret dan membersihkan hidung. Pada anak-anak dosisnya 1 mg/kg berat badan 4 kali sehari
5
.
Meskipun kortikosteroid telah ditetapkan sebagai pengobatan lini pertama pada orang
dewasa dan anak-anak dengan asma persisten, terdapat heterogenitas respon yang substansial
terhadap terapi kortikosteroid. Tanda kortokosteroid bekerja adalah adanya penilaian gejala
menjadi berkurang, tingkat eksaserbasi, fungsi paru-paru dan penanda inflamasi saluran napas
yang tersedia secara klinis. Pasien asma mempunyai respons berbeda terhadap Kortikosteroid
karena berbagai faktor. Pada tingkat sel, kortikosteroid mengurangi jumlah sel inflamasi di
saluran napas, termasuk eosinofil, limfosit T, sel mast, dan sel dendritik. Efek kortikosteroid
ini dihasilkan melalui penghambatan rekrutmen sel-sel inflamasi ke dalam saluran napas
dengan menekan produksi mediator kemotaktik dan molekul adhesi dan dengan menghambat
kelangsungan hidup sel-sel inflamasi di saluran napas, seperti eosinofil, limfosit T, dan sel
mast. Kortikosteroid oral jangka pendek (1-10 hari) diberikan pada anak dengan eksaserbasi

31
akut. Dosis biasa adalah prednison 1–2mg/kg/hari selama 5 hari atau deksametason
0,6mg/kg/hari selama 1–2 hari. 6.
Teofilin merupakan obat turunan metilxantin (turunan purin) dan mempunyai aktivitas
pelemas otot polos, pelebaran bronkus, diuretik, stimulan jantung dan sistem saraf pusat. T
Obat ini cukup efektif sebagai bronkodilator dan dianggap sebagai pengobatan tambahan
alternatif terhadap kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan sedang 7.

32
DAFTAR PUSTAKA
1. Pramesti A, Prastudia Eko Binuko K. ASMA BRONKIAL PADA ANAK LAKI-LAKI
USIA 5 TAHUN DENGAN EOSINOFILIA: LAPORAN KASUS. Contin Med Educ.
2022;241–51.

2. Menteri Kesehatan. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Jakarta; 2008.

3. Marcdante KJ, Kliegman RM, Schuh AM. Nelson Essentials of Pediatrics. In: 9th ed.
Elsevier; 2023. p. 327–37.

4. IDAI. Pedoman Nasional Asma. 2nd ed. Jakarta Pusat: Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia; 2015.

5. Głowacka K, Wiela-hoje A. Pseudoephedrine—Benefits and Risks. Int J Mol Sci


[Internet]. 2021;4(1):1–5. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8152226/pdf/ijms-22-05146.pdf

6. Ramadan AA, Gaffin JM, Israel E, Phipatanakul W. Asthma and Corticosteroid


Responses in Childhood and Adult Asthma. Dep Heal Hum Serv. 2017;176(12):139–
48.

7. Jilani TN, Preuss C V, Sharma S. Theophylline [Internet]. National Library of Medicine.


StatPearls Publishing LLC; 2023. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519024/

33

Anda mungkin juga menyukai