Anda di halaman 1dari 24

TUGAS KELOMPOK

MATA KULIAH KEPERAWATAN GAWAT DARURAT II


ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN PASIEN KERACUNAN
MAKANAN

Disusun Oleh :

Reki Saputra NIM : 008.01.31.17


Siti Aminah NIM : 011.01.31.17

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
tentang asuhan keperawatan pada klien dengan keracunan. Dan juga kami berterima
kasih pada Ibu Ns. Ira Kusumawati, S. Kep selaku dosen mata kuliah Keperawatan
Gawat Darurat II yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan, serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari, sepenuhnya bahwa dalam
makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu kami
berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami
buat di masa yang akan datang. Mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa
saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang


membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri, maupun orang yang membacanya terima kasih.

Jakarta, Maret 2020

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................. 3

1.1 Latar Belakang.................................................................................... 3

1.2 Rumusan Masalah............................................................................... 5

1.3 Tujuan................................................................................................. 6

1.4 Manfaat............................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN.................................................................. 7

2.1 Definisi................................................................................................ 7

2.2 Etiologi................................................................................................ 7

2.3 Manifestasi Klinik................................................................................ 10

2.4 Patofisiologi......................................................................................... 10

2.5 Pathway.............................................................................................. 12

2.6 Pemeriksaan Penunjang ..................................................................... 13

2.7 Pentalaksaan...................................................................................... 14

2.8 Asuhan Keperawatan ......................................................................... 16


BAB III PENUTUP........................................................................ 22

3.1 Kesimpulan......................................................................................... 22

3.2 Saran................................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA...................................................................... 23
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kejadian gawat darurat dapat diartikan sebagai keadaan dimana


seseorang membutuhkan pertolongan segera, karena apabila tidak mendapatkan
pertolongan dengan segera maka dapat mengancam jiwanya atau menimbulkan
kecacatan permanen. Keadaan gawat darurat yang sering terjadi di masyarakat
antara lain, keadaan seseorang yang mengalami henti napas, henti jantung,
tidak sadarkan diri, kecelakaan, cedera misalnya patah tulang, kasus stroke,
kejang, keracunan, dan korban bencana. Unsur penyebab kejadian gawat
darurat antara lain karena terjadinya kecelakaan lalu lintas, penyakit, kebakaran
maupun bencana alam. Kasus gawat darurat karena kecelakaan lalu lintas
merupakan penyebab kematian utama di daerah perkotaan (Media Aeculapius,
2007).
Menurut American Hospital Association (AHA) dalam Herkutanto
(2007), keadaan gawat darurat adalah suatu kondisi dimana berdasarkan respon
dari pasien, keluarga pasien, atau siapa pun yang berpendapat pentingnya
membawa pasien ke rumah sakit untuk diberi perhatian/tindakan medis dengan
segera. Kondisi yang demikian berlanjut hingga adanya keputusan yang dibuat
oleh pelayanan kesehatan yang profesional bahwa pasien berada dalam kondisi
yang baik dan tidak dalam kondisi mengancam jiwa. Penderita gawat darurat
adalah penderita yang oleh karena suatu penyebab (penyakit, trauma,
kecelakaan, tindakan anestesi) yang bila tidak segera ditolong akan mengalami
cacat, kehilangan organ tubuh atau meninggal (Sudjito, 2007).
Salah satu kejadian gawat darurat yang juga mengancam nyawa manusia
adalah keracunan makanan. Keracunan makanan adalah penyakit yang
disebabkan karena makan makanan yang terkontaminasi oleh mikroorganisme
atau bahan kimia, atau makanan yang memang mengandung racun. Makanan
dapat terkontaminasi oleh bahan kimia seperti timah atau seng yang
menyebabkan keracunan makanan. Beberapa jenis jamur dan ikan tertentu juga
beracun jika dimakan. Kasus yang sering muncul adalah keracunan makanan
yang disebabkan oleh mikroorganisme, seperti bakteri, jamur, virus, dan
parasit.
Keracunan merupakan salah satu kejadian darurat yang sering terjadi
baik di negara maju maupun negara berkembang. Hingga saat ini, tingkat
keracunan pangan yang terjadi di Indonesia masih cukup tinggi. Dan dari
seluruh kasus tersebut, sebagian besar ternyata terjadi di rumah.
Data The Centers for Disease Control and Prevention tahun 2010
menunjukkan, 48 juta orang di Amerika keracunan makanan, 128.000 dirawat
di rumah sakit, dan 3.000 orang meninggal tiap tahunnya akibat kandungan
berbahaya dalam makanan yang mereka konsumsi. Menurut Badan POM
dalam Dadi (2011), angka kejadian keracunan makanan, sebagai salah satu
manifestasi Penyakit Bawaan Makanan (PBM) dapat menjadi indikator situasi
keamanan pangan di Indonesia. Badan kesehatan dunia WHO memperkirakan
bahwa rasio antara kejadian keracunan yang dilaporkan dengan kejadian yang
terjadi sesungguhnya di masyarakat adalah 1:10 untuk negara maju dan 1: 25
untuk negara berkembang.
Ditahun 2011 insiden keracunan makanan terjadi dan terlaporkan di
Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan Pengawas Obat dan Makanan RI
ada 1.800 lebih, membuat lebih dari 7.000 orang dirawat di rumah sakit dan 11
meninggal dunia. Data nasional yang dirangkum Badan POM juga menjelaskan
bahwa industri jasa boga dan produk makanan rumah tangga memberikan
kontribusi yang paling besar (31%) dibandingkan dengan pangan olahan
(20%), jajanan (13%), dan lain-lain (5%) (Lestari, 2009).
Beberapa agen penyebab keracunan makanan sudah ada dalam makanan
pada saat ternak akan disembelih atau tanaman akan dipanen. Beberapa
mikroorganisme ada yang bisa menyebabkan makanan basi tetapi tidak
berbahaya. Namun, bakteri-bakteri tertentu yang berkembang biak dalam
makanan bisa menghasilkan racun penyebab penyakit. Bakteri Staphylococcus
menghasilkan racun yang bisa menyebabkan muntah dan diare beberapa jam
setelah makanan yang terkontaminasi dikonsumsi. Bakteri Clostridium
botulinum menyebabkan masalah yang jauh lebih serius bahkan seringkali
fatal, yakni jenis keracunan makanan yang disebut botulisme.
Penyakit yang disebabkan keracunan makanan biasanya singkat dan
ringan serta tidak menyebabkan kerusakan permanen pada orang sehat. Orang
tua, anak-anak, wanita hamil, dan orang dewasa yang sistem kekebalan
tubuhnya melemah karena penyakit atau obat-obatan paling rentan terhadap
keracunan makanan. Gejala keracunan dapat terjadi beberapa saat setelah
konsumsi makanan yang terkontaminasi. Tetapi pada beberapa kasus, gejala
baru timbul beberapa hari setelahnya. Gejala muntah dan diare yang berat akan
menyebabkan tubuh kekurangan cairan dan elektrolit, dan hal ini merupakan
ancaman serius bagi jiwa penderita, terutama jika tidak dilakukan penanganan
segera. Penyakit bawaan makanan sering dipandang sebagai penyakit yang
ringan dan dapat sembuh dengan sendirinya. Meskipun terkadang memang
benar, pada banyak kasus dampak kesehatan yang terjadi justru serius dan
bahkan dapat mengakibatkan kematian. Persepsi yang salah ini sebagian terjadi
karena kurangnya perhatian yang diberikan terhadap masalah tersebut.
Dampak kesehatan akibat penyakit bawaan makanan bervariasi menurut
patogen penyebabnya, tahapan dan lamanya pengobatan, juga dengan usia dan
faktor lain yang berkaitan dengan daya tahan dan kerentanan seseorang. Pada
kebanyakan kasus, pasien dengan fungsi kekebalan yang baik akan sembuh
dalam beberapa hari atau beberapa minggu. Namun, pada kasus lain,
khususnya di kalangan kelompok masyarakat yang rentan (misalnya: lansia,
bayi, anak kecil, ibu hamil dan orang yang mengalami malnutrisi serta
gangguan kekebalan), beberapa penyakit bawaan makanan dapat berakibat
fatal terutama jika tidak tersedia pengobatan yang memadai.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana patofisiologi terjadinya keracunan makanan dan langkah
pengkajian primer dan sekunder dalam penatalaksanaan kegawatdaruratan
pasien dengan keracunan makanan dan bahan makanan?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa/ (i) dapat menerapkan dan mengembangkan pola pikir
secara ilmiah terkait penanganan gawat darurat pasien dengan keracunan
makanan dan bahan makanan serta mendapatkan pengalaman dalam
memecahkan masalah.
1.3.2 Tujuan Khusus
Agar mahasiswa/ (i) mampu mengetahui dan memahami tentang:
1) Pathway keracunan makanan dan bahan makanan.
2) Pengkajian primer dan sekunder pada klien dengan keracunan
makanan dan bahan makanan.
3) Manajemen penatalaksanaan gawat darurat pada klien dengan
keracunan makanan dan bahan makanan.

1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Penulis
Diharapkan agar penulis mempunyai tambahan wawasan dan
pengetahuan dalam melaksanakan asuhan keperawatan terkait
penanganan kegawat daruratan pasien dengan keracunan makanan dan
bahan makanan.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Racun adalah suatu zat yang memiliki kemampuan untuk merusak sel dan
sebagian fungsi tubuh secara tidak normal (Arisman, 2009). Junaidi (2011)
menyatakan racun adalah suatu zat atau makanan yang menyebabkan efek
bahaya bagi tubuh.
Keracunan makanan adalah suatu penyakit yang terjadi setelah menyantap
makanan yang mengandung racun, berasal dari bahan beracun yang terbentuk
akibat pembusukan makanan dan bakteri (Arisman, 2009). Junaidi (2011)
menyatakan keadaan darurat yang diakibatkan masuknya suatu zat atau makanan
ke dalam tubuh melalui mulut yang mengakibatkan bahaya bagi tubuh disebut
sebagai keracunan makanan.
Perez dan Luke’s (2014) menyatakan keracunan makanan adalah
keracunan yang terjadi akibat menelan makanan atau air yang mengandung
bakteri, parasit, virus, jamur atau yang telah terkontaminasi racun.

2.2 Etiologi
Penyebab keracunan makanan adalah kuman Clostridium botulinum yang
hidup dengan kedap udara (anaerobik), yaitu di tempat-tempat yang tidak ada
udaranya (Junaidi, 2011). Keracunan makanan dapat disebabkan oleh
pencemaran bahan-bahan kimia beracun, kontaminasi zat-zat kimia, mikroba,
bakteri, virus dan jamur yang masuk ke dalam tubuh manusia (Suarjana, 2013).
Di Indonesia ada beberapa jenis makanan yang sering mengakibatkan
keracunan, antara lain:
1) Keracunan botolinum
Clostridium botolinum adalah kuman yang hidup secara anaerobik,
yaitu di tempat-tempat yang tidak ada udaranya. Kuman ini mampu
melindungi dirinya dari suhu yang agak tinggi dengan jalan membentuk
spora. Karena cara hidupnya yang demikian itu, kuman ini banyak dijumpai
pada makanan kaleng yang diolah secara kurang sempurna.
Gejala keracunan botolinum muncul secara mendadak, 18-36 jam
sesudah memakan makanan yang tercemar. Gejala itu berupa lemah badan
yang kemudian disusul dengan penglihatan yang kabur dan ganda.
Kelumpuhan saraf mata itu diikuti oleh kelumpuhan saraf-saraf otak
lainnya, sehingga penderita mengalami kesulitan berbicara dan susah
menelan. Pengobatan hanya dapat diberikan di rumah sakit dengan
penyuntikan serum antitoksin yang khas untuk botulinum. Oleh karena itu
dalam hal ini yang penting ialah pencegahan.
Pencegahan: sebelum dihidangkan, makanan kaleng dibuka dan
kemudian direbus bersama kalengnya di dalam air sampai mendidih.
2) Keracunan jamur
Gejala muncul dalam jarak bebarapa menit sampai 2 jam sesudah
makan jamur yang beracun (Amanita spp). Gejala tersebut berupa sakit
perut yang hebat, muntah, mencret, haus, berkeringat banyak, kekacauan
mental, pingsan.
3) Keracunan jengkol
Keracunan jengkol terjadi karena terbentuknya kristal asam jengkol
dalam saluran kencing. Ada beberapa hal yang diduga mempengaruhi
timbulnya keracunan, yaitu: jumlah yang dimakan, cara penghidangan dan
makanan penyerta lainnya.
Gejala klinisnya seperti: sakit pinggang yang disertai dengan sakit
perut, nyeri sewaktu kencing, dan kristal-kristal asam jengkol yang
berwarna putih nampak keluar bersama air kencing, kadang-kadang disertai
darah.
4) Keracunan ikan laut
Beberapa jenis ikan laut dapat menyebabkan keracunan. Diduga racun
tersebut terbawa dari ganggang yang dimakan oleh ikan itu. Sejauh
keracunan makanan dari ikan yang bersangkutan, mikroba penyebab
penyakit atau racun itu yang masuk ke dalam tubuh setelah mengkonsumsi
ikan mentah atau dimasak. Hal ini juga bisa terjadi karena polusi kimia
dalam air, dimana mengontaminasi ikan yang tertangkap untuk dijual di
pasar.Gejala-gejala keracunan berbagai binatang laut tersebut muncul kira-
kira 20 menit sesudah memakannya.Gejala itu berupa: mual, muntah,
kesemutan di sekitar mulut, lemah badan dan susah bernafas.
5) Keracunan singkong
Zat beracun dalam singkong adalah asam sianida. Zat ini mengganggu
oksidasi jaringan karena mengikat enzim sitokrom oksidase. Beberapa jam
setelah makan singkong timbul muntah, pusing, lemah, kesadaran menurun
sampai koma, dispneu, sianosis dan kejang.
6) Lain-lain
Penyebab utama makanan terkontaminasi adalah bakteri, virus, atau
parasit. Di bawah ini adalah kontaminasi makanan yang disebabkan oleh
bakteri:
a) Campylobacter. Bakteri jenis ini biasa ditemukan di daging mentah atau
kurang matang, pada susu dan air yang tidak diolah dengan benar. Masa
inkubasi yang disebabkan oleh bakteri ini antara 2-5 hari. Gejala akan
bertahan kurang dari 7 hari.
b) Salmonella. Bakteri ini sering ditemukan di dalam daging mentah atau
daging kurang matang, telur, susu, dan produk olahan susu lainnya.
Masa inkubasi akibat salmonella adalah 12-72 jam. Gejala berlangsung
selama 4-7 hari.
c) Escherichia coli (E. coli). Kasus infeksi bakteri ini paling sering
ditemukan setelah mengonsumsi daging yang kurang matang, seperti
pada daging cincang, dan bakso. Bisa juga ditemukan pada susu yang
tidak dipasteurisasi. Masa inkubasi adalah 1 hari hingga seminggu.
Gejala bertahan selama beberapa hari hingga beberapa minggu.
d) Listeria. Bakteri ini ditemukan dalam makanan siap saji, misalnya roti
isi dalam kemasan, irisan daging, dan keju. Khususnya bagi wanita
hamil harus berhati-hati dengan infeksi akibat bakteri ini karena
berisiko menyebabkan keguguran dan komplikasi kehamilan serius
lainnya. Masa inkubasi mulai dari beberapa hari hingga beberapa
minggu. Gejalanya akan selesai dalam waktu 3 hari.
e) Shigella. Bakteri ini bisa muncul pada makanan apa pun yang dicuci
dengan air yang terkontaminasi. Gejalanya biasanya muncul 7 hari
setelah bakteri masuk ke dalam tubuh dan bertahan sekitar 1 minggu.
Bakteri ini menyebabkan disentri.

2.3 Manifestasi Klinis


Akibat keracunan makanan bisa menimbulkan gejala pada sistem saraf dan
saluran cerna. Suarjana (2013) menyatakan tanda gejala yang biasa terjadi pada
saluran cerna adalah sakit perut, mual, muntah, bahkan dapat menyebabkan
diare. Tanda gejala yang biasa terjadi pada sistem saraf adalah adanya rasa
lemah, kesemutan (parastesi), dan kelumpuhan (paralisis) otot pernafasan
(Arisman, 2009).

2.4 Patofisiologi
Makanan yang kita konsumsi dalam keseharian bermacam-macam, baik
ragam jenis makanan itu. Makanan yang sehat dapat dikatakan makanan yang
layak untuk tubuh dan tidak menyebabkan sakit, baik seketika maupun
mendatang. Dalam mengkonsumsi makanan perlu diperhatikan tentang
kebersihan makanan, kesehatan, serta zat gizi yang terkandung didalam makanan
tersebut. Hendaknya kita harus pandai dalam memilih makanan yang akan
dkonsumsi supaya makanan tersebut bebas dari zat-zat yang dapat memasuki
tubuh seperti toksik atau racun.
Makanan yang telah terkontaminasi toksik atau zat racun sampai
dilambung akan mengadakan perlawanan diri terhadap benda atau zat asing yang
masuk kedalam lambung dengan gejala mual, lalu lambung akan berusaha
membuang zat tersebut dengan cara memuntahkannya. Karena seringnya muntah
maka tubuh akan mengalami dehidrasi akibat banyaknya cairan tubuh yang
keluar bersama dengan muntahan. Karena dehidrasi yang tinggi maka lama
kelamaan akan lemas dan banyak mengeluarkan keringat dingin.
Banyaknya cairan yang keluar, terjadinya dehidrasi keluarnya keringat
dingin akan merangsang kelenjar hipofisisanterior untuk mempertahankan
homeostatis tubuh dengan terjadinya rasa haus. Apabila rasa haus tidak segera
diatasi maka dehidrasi berat tidak dapat dihindari, bahkan dapat menyebabkan
pingsan sampai kematian.
2.5 Pathway

Makanan terkontaminasi yang mengandung


Botolinum, jamur, jengkol, ikan laut, tempe, Masuk ke saluran cerna
singkong dll

Masuk ke pembuluh darah Masuk ke usus halus Masuk ke lambung

Iritasi pada lambung


Sel saraf terganggu
Diekskresikan oleh ginjal

Asam lambung meningkat


Tidak terjadi
Kristal asam kolat pelepasan asetilkolin
menumpuk di dalam
tubulus ginjal, ureter dan Mual
uretra
Otot tidak dapat
berkontraksi Muntah

Obstruksi saluran kemih


Defisit volume cairan
Kelumpuhan otot

Gagal Ginjal Akut Infeksi usus

Hambatan mobilitas
fisik Diare
Gangguan fungsi
saraf

Disfungsi saraf Pandangan Fotopobia Kerusakan otak


kabur

Kematian
Kaku sendi Gangguan Sulit menelan
bicara
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
Gangguan saraf otonom

Kelemahan otot, Nyeri kepala Pusat pernafasan


kram, opistototnus dan otot

Nafas cepat dan


Gangguan Nyeri akut dangkal
pergerakan

Pola nafas tidak


Intoleransi efektif
aktivitas

2.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang bermanfaat dalam diagnosis toksikologi
adalah sebagai berikut:
1) Pemeriksaan Laboratorium: Pada pemeriksaan laboratorium biasanya
dilakukan tes darah, tes urin, tes kondisi tinja, dan pemeriksaan parasit. Tes-
tes ini bertujuan untuk mengetahui jenis organisme penyebab terjadinya
keracunan. Pemeriksaan laboratorium sederhana dapat dilakukan di layanan
kesehatan primer yang memiliki fasilitas, misalnya: pemeriksaan
mikroskopis feses untuk keberadaan telur cacing dan parasit; pewarnaan
Gram, KOH dan metilenblue Loeffler untuk membantu membedakan antara
penyakit invasif dan non-invasif (PMK No. 5 Tahun 2014).
2) Gas Darah Arteri: Hipoventilasi akan menyebabkan peningkatan PCO2
(hiperkapnia). PO2 dapat rendah dengan aspirasi pneumonia atau obat-obat
yang menginduksi edema paru. Oksigenisasi jaringan yang kurang akibat
hipoksia, hipotensi, atau keracunan sianida akan menghasilkan asidosis
metabolik. PO2 hanya mengukur oksigen yang larut dalam plasma dan
bukan merupakan total oksigen dalam darah karena itu pada keracunan
karbon monoksida mungkin PO2 tampak normal meskipun ada defisiensi
oksihemoelobin yang nyata dalam darah.
3) Uji Fungsi Ginjal: Beberapa toksin mempunyai efek nefrotoksik; dalam
kasus lain, gagal ginjal merupakan akibat syok, koagulasi intravaskular yang
menyebar (disseminated irrtravascular coagulation, DTC), atau
mioglohinuria. Tingkat kadar nitrogen urea darah dan kreatinin harus diukur
dan dilakukan urinalisis.
4) CT-Scan: fotopolos abdomen mungkin berguna, karena beberapa tablet,
khususnya besi dan kalium, dapat berbentuk radiopaque. Foto toraks dapat
menunjukkan pneumonia aspirasi, pneumonia hidrokarbon, atau edema
paru. Bila dicurigai adanya trauma kapitis, dianjurkan untuk pemeriksaan
CT-scan.

2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan umum kedaruratan keracunan antara lain:
1) Penatalaksanaan Kegawatan
Walaupun tidak dijumpai adanya kegawatan,setiap kasus keracunan
harus diperlakukan seperti keadaan kegawatan yang mengancam nyawa.
Penilaian terhadap tanda-tanda vital seperti jalan napas, sirkulasi,dan
penurunan kesadaran harus dilakukan secara cepat.
2) Resusitasi
Setelah jalan nafas dibebaskan dan dibersihkan,periksa pernafasan dan
nadi.Berikan cairan intravena, oksigen,hisap lendir dalam saluran
pernafasan,hindari obat-obatan depresan saluran nafas,kalau perlu respirator
pada kegagalan nafas berat. Hindari pernafasan buatan dari mulut kemulut,
sebab racun organo fhosfat akan meracuni lewat mulut penolong.Pernafasan
buatan hanya dilakukan dengan meniup face mask atau menggunakan alat
bag – valve – mask.
3) Pemberian cairan intravena untuk pasien penurunan kesadaran
Penderita keracunan makanan yang parah dan mengalami dehidrasi
harus mendapatkan perawatan lanjutan. Dokter biasanya akan memberikan
cairan melalui intravena atau infus. Cairan ini bisa menggantikan cairan
tubuh yang hilang serta menjaga agar tubuh tidak terlalu lemah. Jika dokter
memberikan obat-obatan maka bisa dilakukan secara langsung lewat cairan
infus.
4) Pemberian antibiotik
Untuk beberapa kasus keracunan makanan yang disebabkan oleh
bakteri maka perlu dibantu dengan obat antibiotik. Obat ini harus diberikan
oleh dokter yang merawat. Biasanya penderita yang terlihat parah seperti
diare dan muntah akut harus menerima obat antibiotik ini. Selain itu
penderita juga harus mendapatkan cairan pengganti lewat infus. Beberapa
jenis obat harus diberikan sesuai dengan penyebabnya, berikut beberapa
terapi yang sering diberikan oleh dokter:
a) Ciprofloxacin (Cipro)
b) Norfloksasin (Noroxin)
c) Trimetoprim / sulfametoksazol
d) Doxycycline
e) Rifaximin (Xifaxan, RedActiv, Flonorm)
5) Terapi suportif, konsultasi, dan rehabilitasi
Terapi suportif, konsultasi dan rehabilitasi medik harus dilihat secara
holistik dan efektif dalam biaya.

Penatalaksanaan keperawatan pasien keracunan meliputi:


a. Penatalaksanaan syok bila terjadi.
b. Pantaulah tanda vital secara berkala.
c. Pantau keseimbangan cairan dan elektrolit.
d. Bantu mendapatkan spesimen darah, urine, isi lambung dan muntah.
e. Pantau dan atasi komplikasi seperti hipotensi dan kejang.
f. Bila pasien merasa mual dan ingin muntah, anjurkan untuk memiringkan
kepalanya ke samping.
g. Kompres hangat pada perut. Hal ini akan meringankan kejang dan nyeri di
perut dan kecenderungan untuk muntah.
2.8 Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian
1. Survei Primer
Penatalaksanaan awal pasien koma, kejang, atau perubahan keadaan
mental lainnya harus mengikuti cara pendekatan yang sama tanpa
memandang jenis racun penyebab. Usaha untuk membuat diagnosis
toksikologi khusus hanya memperlambat penggunaan tindakan suportif
yang merupakan bentuk dasar “ABCD” pada pengobatan keracunan.
Pertama, saluran napas (A) harus dibersihkan dan muntah atau
beberapa gangguan lain dan, bila diperlukan, suatu alat yang mengalirkan
napas melalui oral atau dengan memasukkan pipa endotrakea. Pada
kebanyakan pasien, penempatan pada posisi sederhana dalam posisi
dekubitus lateral cukup untuk menggerakkan lidah yang kaku (flaccid)
keluar dan saluran napas. Pernapasan (B) yang adekuat harus diuji dengan
mengobservasi dan mengukur gas darah arteri. Pada pasien dengan
insufisiensi pernapasan harus dilakukan intubasi dan ventilasi mekanik.
Sirkulasi (C) yang cukup harus diuji dengan mengukur denyut nadi, tekanan
darah, urin yang keluar, dan evaluasi perfusi perifer. Alat untuk intravena
harus dipasang dan darah diambil untuk penentuan serum glukosa dan untuk
pemeriksaan rutin lainnya.
Pada waktu ini, setiap pasien dengan keadaan mental yang berubah
harus diberi larutan dekstrosa pekat (D). Orang dewasa diberikan larutan
dekstrosa sebanyak 25 g (50 mL larutan dekstrosa 50% secara intravena).
Dekstrosa ini harus diberikan secara rutin, karena pasien koma akibat
hipoglikemia yang dengan cepat dan ireversibel akan kehilangan sel-sel
otak. Pasien hipoglikemia mungkin tampak sebagai pasien keracunan, dan
tidak ada metode yang cepat dan dapat dipercaya untuk membedakannya
dan pasien keracunan. Pada umumnya pemberian glukosa tidak berbahaya
sementara menunggu hasil pemeriksaan gula darah. Pada waktu ini, pasien
alkoholik atau malnutrisi juga harus diberi 100 mg tiamin intramuskular
untuk mencegah timbulnya sindrom Wernicke.
2. Survei Sekunder
a. Identitas klien ( nama, umur biasanya sering terjadi pada anak usia
prasekolah sampai usia sekolah yaitu usia 1-4 tahun, jenis kelamin,
agama, suku bangsa atau ras, pendidikan, nama orang tua dan alamat).
b. Keluhan utama (tanda-tanda vital, bau napas,tingkat kesadaran,
perubahan kulit, dan tanda-tanda neurologis).
c. Riwayat penyakit sekarang (didapatkan riwayat yang cermat dan
terperinci mengenai apa, kapan, dan seberapa zat toksik yang telah
masuk ke tubuh dan adanya bukti-bukti racun).
d. Pemeriksaan Fisik: Pemeriksaan yang cepat harus dilakukan dengan
penekanan pada daerah yang paling mungkin memberikan petunjuk ke
arah diagnosis toksikologi.
1) Pernapasan: muntah, tersedak, batuk, takipnea, bradipnea, sianosis,
mengorok.
2) Integumen: kulit pucat, kemerahan, luka bakar, nyeri, berkeringet,
hipertermia, hipotermia.
3) Membran mukosa: iritasi, bengkak, bibir kering.
4) Neuromuskular: kelemahan, gerakan involunter, ataksia, kejang.
5) Perubahan sensori: ansietas, agitasi, halusinasi, konfusi, letargi,
koma.
6) Kardiovaskular: aritmia, peningkatan tekanan darah, penurunan
tekanan darah, takikardia, bradikardia, syok.
e. Pemeriksaan diagnostik
1) Pemeriksaan laboratorium. Laboratorium rutin (darah, urin, feses,
lengkap).
2) Foto thorax jika terjadi kecurigaan udema paru.
3) Pemeriksaan EKG. Pemeriksaan ini juga perlu dilakukan pada
kasus keracunan karena sering diikuti terjadinya gangguan irama
jantung yang berupa sinus takikardi, sinus bradikardi, takikardi
supraventrikuler, takikardi ventrikuler, fibrilasi ventrikuler, asistol,
disosiasi elektromekanik.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b/d agen cedera biologis.
2. Pola nafas tidak efektif b/d distress pernafasan.
3. Defisit volume cairan b/d muntah, diare.
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil

1. Nyeri akut b/d agen cedera biologis. NOC NIC

Setelah dilakukan
- Lakukan pengkajian
tindakan keperawatan 1x
nyeri secara
24 jam diharapkan nyeri
komprehensif
berkurang, menghilang
termasuk lokasi,
dengan kriteria hasil:
durasi frekuensi,
- Pain level,
karakteristik, kualitas
dibuktikan dengan
dan faktor presipitasi.
respon nonverbal
- Observasi reaksi non
pasien menunjukkan
verbal dari
tidak ada nyeri, tanda
ketidaknyamana
vital dalam batas
- Bantu pasien dan
normal, tidak ada
keluarga untuk
masalah pola tidur,
mencari dan
pasien melaporkan
menemukan dukungan
nyeri berkurang.
- Kontrol lingkungan
- Pain control,
yang dapat
dibuktikan dengan
mempengaruhi nyeri
pasien dapat
seperti suhu ruangan,
melakukan teknik
pencahayaan dan
nonfarmakologis
kebisingan.
untuk mengurangi
- Kurangi faktor
nyeri.
presipitasi nyeri
- Kaji tipe dan sumber
nyeri untuk
menentukan
intervensi.
- Ajarkan tentang
teknik non
farmakologi: napas
dalam, relaksasi,
distraksi, kompres
hangat/ dingin
- Berikan analgetik
untuk mengurangi
nyeri.
- Tingkatkan istirahat.
- Berikan informasi
tentang nyeri seperti
penyebab nyeri,
berapa lama nyeri
akan berkurang dan
antisipasi
ketidaknyamanan dari
prosedur.
- Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali

NOC NIC
Pola nafas tidak efektif b/d distress
2. Setelah dilakukan
pernafasan - Monitor vital sign.
tindakan keperawatan 1x
- Identifikasi
24 jam diharapkan pola
kebutuhan insersi
nafas menjadi efektif
jalan nafas buatan.
dengan kriteria hasil:
- Posisikan pasien
- Pertukaran Gas:
untuk
tidak akan terganggu
memaksimalkan
dibuktikan dengan :
ventilasi.
Kesadaran
- Monitor status
composmentis, TTV
respirasi: adanya
menjadi normal,
suara nafas
pernafasan menjadi
tambahan
normal yaitu tidak
mengalami nafas - Kolaborasi dengan
dangkal tim medis:
pemberian oksigen

llpkp 3. Defisit volume cairan b/d muntah, NOC NIC


diare.
Setelah dilakukan
- Monitor intake
tindakan keperawatan
dan output,
selama 1x24 jam
karakter serta
diharapkan kebutuhan
jumlah feses.
cairan terpenuhi dengan
- Observasi kulit
kriteria hasil:
kering berlebihan
- Tidak adanya
dan membran
tanda-tanda
mukosa,
dehidrasi
penurunan turgor
- Vital sign dalam
kulit.
batas normal
- Anjurkan klien
untuk
meningkatkan
asupan cairan per
oral.
- Kolaborasi
pemberian cairan
paranteral sesuai
indikasi.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Keracunan adalah masuknya toksin yang dapat membahayakan tubuh. Pada
hakekatnya semua zat dapat berlaku sebagi racun, tergantung pada dosis dan cara
pemberiannya.Proses keracunan dapat berlangsung secara perlahan, dan lama kemudian
baru menjadi kegawatdarurat, atau dapat juga berlangsung dengan cepat dan segera
menjadi keadaan gawat darurat.
Bahan makanan pada umumnya merupakan media yang sesuai untuk
pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme. Proses pembusukan merupakan
proses awal dari akibat aktivitas mikroorganisme yang mempengaruhi langsung kepada
nilai bahan makanan tersebut untuk kepentingan manusia. Selain itu, keracunan bahan
makanan dapat juga disebabkan oleh bahan makanannya sendiri yang beracun,
terkontaminasi oleh protozoa, parasit, bakteri yang patogen dan juga bahan kimia yang
bersifat racun.
3.2 Saran
1. Diharapkan mahasiswa hendaknya benar-benar memahami manajemen
kegawatdaruratan pada klien dengan kasus keracunan, sehingga dapat menerapkan
asuhan keperawatan yang komprehensif pada klien.
2. Untuk pendidikan hendaknya lebih melengkapi literatur yang berkaitan dengan
makalah ini, sehingga mempermudah mahasiswa dalam pembuatan makalah yang
lebih baik, sehingga dapat dijadikan acuan bagi peserta didik lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Doheny K. Most common foods for foodborne illness: CDC report. Medscape Medical News.

January 30, 2013.

Fajri. (2012). Keracunan Obat dan bahan Kimia Berbahaya. Dari:

http://fajrismart.wordpress.com/2011/02/22/keracunan-obat-dan-bahan-kimia-

berbahaya/. Diakses tanggal 17 Agustus 2017.

Jacobs RA. General problems in infectious diseases: acute infectious diarrhea. In: Tierney

LM Jr, McPhee SJ, Papadakis MA, eds. Current Medical Diagnosis and Treatment

2001. 40th ed. New York, NY: McGraw-Hill; 2000:1215-6.

Krisanty, dkk. (2011). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta: Trans Info Media.

Lee JH, Shin H, Son B, Ryu S. Complete genome sequence of Bacillus cereus bacteriophage

BCP78. J Virol. Jan 2012;86(1):637-8.

Logan NA. Bacillus and relatives in foodborne illness. J Appl Microbiol. Mar

2012;112(3):417-29.

Mansjoer Arif, 2009, Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 jilid 1 Media Aesculapius, FKUI,

Jakarta.

Sartono. (2012). Racun dan Keracunan. Jakarta: Widya Medika.

Smeltzer, Suzanne C., & Bare, Brenda G. Buku Ajar: Keperawatan Medikal Bedah, vol: 3.

Jakarta: EGC.

Syamsi. (2012). Konsep Kegawatdaruratan Pada Pasien Dengan Gigitan

Serangga.Dari:http://nerssyamsi.blogspot.com/2012/01/konsep-kegawatdaruratan-pada-

pasien.html. Diakses tanggal 17 Agustus 2017.

Anda mungkin juga menyukai