Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH ANALISIS FORENSIK

KERACUNAN

Diajukan Untuk Memenuhi Salah-Satu Tugas Mata Kuliah Analisis Forensik

Disusun Oleh :

Aghniya Faza Damara (1711C1001)


Fathlia Sinta Azhara (1711C1009)
Regita Pratiwi (1711C1021)
Fuad Akbar Maulana (1711C1031)
Rahma Safitri Jawa (1712C1002)

SEKOLAH TINGGI ANALIS BAKTI ASIH

BANDUNG

2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

            Bismillahirahmanirahim. Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT  , atas
berkat rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelasaikan  makalah
ini. Tidak lupa Shalawat beserta Salam kami sampaikan kapada junjungan Nabi
Besar Muhammad SAW, yang telah diutus kemuka bumi ini sebagai Rahmatanlil a’lamin
yang kita nantikan syafaatnya di hari akhir nanti.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah “Analisis Forensik” tentang
“Keracunan” . Dimana dalam makalah ini diharapkan lebih membuka wawasan berpikir
dibidang terkait dengannya.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami
dalam proses penyusunan makalah ini khususnya kepada dosen analisis forensik, yaitu Ibu dr.
Rahmi Adelina yang bersedia membimbing dan mengarahkan kami dalam penyusunan
makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Semoga makalah ini memberikan informasi bagi kita semua dan bermanfaat untuk
pengembangan ilmu pengetahuan.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Bandung, 17 Oktober 2020


                                                                    
                         

Penyusun

i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................................3
1.3 Tujuan Penulisan........................................................................................................3
1.4 Manfaat Penulisan......................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................5
2.1 Pengertian Racun.......................................................................................................5
2.2 Cara Masuknya Racun Kedalam Tubuh Manusia.................................................6
2.3 Pengelompokan Jenis Racun.....................................................................................6
2.4 Mekanisme Kerja Racun...........................................................................................8
2.5 Kapan Perlu Dilakukan Pemeriksaan Keracunan..................................................9
2.6 Diagnosis kasus keracunan........................................................................................9
2.7 Faktor yang mempengaruhi kerja Racun..............................................................10
2.8 Pemeriksaan Atas Korban Keracunan Yang Fatal..............................................13
2.9 Pengambilan Sampel Pada korban Yang Tewas...................................................17
2.10 Bahan Pengawet Yang Dipergunakan....................................................................18
2.11 Hal Yang Perlu Diperhatikan.................................................................................18
2.12 Contoh Kasus............................................................................................................19
BAB III PENUTUP.................................................................................................................20
3.1 Kesimpulan....................................................................................................................20
3.2 Saran...............................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Forensik merupakan cabang ilmu kedokteran yang memberikan bantuan kepada
penyidik untuk mendapatkan salah satu alat bukti baik untuk tindak pidana. Alat bukti
tersebut dapat berupa pemeriksaan terhadap korban maupun benda yang hasilnya berupa
sebuah visum et repertum, atau yang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) disebut sebagai Keterangan Ahli. Ilmu kedokteran forensik sudah berkembang
sejak zaman Romawi, orang bijak atau raja sering menerima berbagai pengaduan masyakarat
akan berbagai masalah, termasuk masalah kriminalitas yang memerlukan penetapan siapa
yang salah dan siapa yang benar.

Sedangkan Kata racun ”toxic” adalah bersaral dari bahasa Yunani, yaitu dari akar kata
tox, dimana dalam bahasa Yunani berarti panah. Dimana panah pada saat itu digunakan
sebagai senjata dalam peperangan, yang selalu pada anak panahnya terdapat racun. Di dalam
”Papyrus Ebers (1552 B.C.)“ orang Mesir kuno memuat informasi lengkap tentang
pengobatan dan obat. Di Papyrus ini juga memuat ramuan untuk racun, seperti antimon (Sb),
tembaga, timbal, hiosiamus, opium, terpentine, dan verdigris (kerak hijau pada permukaan
tembaga). Sedangkan di India (500 - 600 B.C.) di dalam Charaka Samhita disebutkan, bahwa
tembaga, besi, emas, timbal, perak, seng, bersifat sebagai racun, dan di dalam Susrata
Samhita banyak menulis racun dari makanan, tananaman, hewan, dan penangkal racun gigitan
ular.
Dalam forensik terdapat cabang ilmu yang mempelajari khusus tentang racun atau
toxic yaitu Toksikologi forensik. Toksikologi forensik sendiri berkaitan dengan penerapan
ilmu toksikologi pada berbagai kasus dan permasalahan kriminalitas dimana obat-obatan dan
bahan-bahan kimia yang dapat menimbulkan konsekuensi medikolegal serta untuk menjadi
bukti dalam pengadilan.
Pemeriksaan forensik dalam kasus keracunan, dapat dibagi dalam dua kelompok, yang
pertama bertujuan untuk mencari penyebab kematian, misalnya kematian akibat keracunan
morfin, sianida, karbon monoksida, keracunan insektisida, dan lain sebagainya, dan kelompok
yang kedua dimana sebenarnya yang terbanyak kasusnya, akan tetapi belum banyak disadari
adalah untuk mengetahui mengapa suatu peristiwa, misalnya peristiwa pembunuhan,
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan pesawat udara dan perkosaan dapat terjadi. Dengan
1
demikian, tujuan yang kedua bermaksud untuk membuat suatu rekaan rekonstruksi atas
peristiwa yang terjadi. Bila pada tujuan pertama dari pemeriksaan atas diri korban diharapkan
dapat ditemukan reaksi atau obat dalam dosis yang mematikan, maka tidaklah demikian pada
yang kedua, dimana disini yang perlu dibuktikan atau dicari korelasinya adalah sampai sejauh
mana reaksi obat tersebut berperan dalam memungkinkan terjadinya berbagai peristiwa tadi.
Karena sifat beracunnya, mudahnya didapat serta mudahnya digunakan oleh
masyarakat, maka wajarlah jika ada yang menyalahgunakannya untuk hal-hal yang
bertentangan dengan hukum, misalnya pada kasus pembunuhan, yang bisa dilakukan secara
langsung maupun perlahan-lahan dengan gejala yang tidak jelas. Dalam menghadapi kasus
yang demikian, maka peranan kedokteran kehakiman sangatlah penting dalam menentukan
apakah korban benar-benar meninggal karena arsen, atau sebab lain. Selain dengan
pemeriksaan otopsi, dokter juga bekerja sama dengan bagian toksikologi dalam menentukan
adanya arsen atau sebab lainnya dan jumlahnya yang ada pada korban.
Banyak kasus keracunan dan overdosis, baik yang menyebabkan kematian maupun
tidak yang sulit terungkap, yang umumnya disebabkan karena seringkali data yang diperlukan
tidak cukup untuk dapat membuktikan penyebabnya. Salah satu contoh kasus overdosis yang
tinggi di Indonesia adalah overdosis yang disebabkan oleh penggunan Heroin. Setiap harinya
terdapat 2 – 3 orang yang meninggal akibat overdosis Heroin. Dalam menentukan jenis zat
toksik yang menyebabkan keracunan, seringkali menjadi rumit karena adanya proses yang
secara alamiah terjadi dalam tubuh manusia. Jarang sekali suatu bahan kimia bertahan dalam
bentuk asalnya didalam tubuh. Bahan kimia, ketika memasuki tubuh akan mengalami proses
ADME, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Misalnya, setelah memasuki
tubuh, heroin dengan segera termetabolisme menjadi senyawa lain dan akhirnya menjadi
morfin, menjadikan investigasi yang lebih detil perlu dilakukan seperti jenis biomarker
(petanda biologik) zat racun tersebut, jalur paparan zat, letak jejak injeksi zat pada kulit dan
kemurnian zat tersebut untuk mengkonfirmasi hasil diagnosa. Zat toksik juga kemungkinan
dapat mengalami pengenceran dengan adanya proses penyebaran ke seluruh tubuh sehingga
sulit untuk terdeteksi. Walaupun zat racun yang masuk dalam ukuran gram atau miligram,
sampel yang diinvestigasi dapat mengandung zat racun atau biomarkernya dalam ukuran
mikrogram atau nanogram, bahkan hingga pikogram.

2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam
penulisan ini adalah :

1. Apa itu racun.


2. Bagaimana cara masuknya racun ke dalam tubuh manusia.
3. Berapa pengelompokkan jenis racun.
4. Bagaimana mekanisme kerja racun.
5. Kapan perlu dilakukan pemeriksaan keracunan.
6. Bagaimana pemeriksaan korban.
7. Bagaimana pengambilan sampel korban keracunan.
8. Apa saja bahan pengawet yang digunakan.
9. Apa saja hal yang harus diperhatikan seputar sampel keracunan.

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan Rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan dalam penulisan ini,
adalah untuk:

1. Untuk Mengetahui Apa itu racun.


2. Untuk Mengetahui Bagaimana cara masuknya racun ke dalam tubuh manusia.
3. Untuk Mengetahui Berapa pengelompokkan jenis racun.
4. Untuk Mengetahui Bagaimana mekanisme kerja racun.
5. Untuk Mengetahui Kapan perlu dilakukan pemeriksaan keracunan.
6. Untuk Mengetahui Bagaimana pemeriksaan korban.
7. Untuk Mengetahui Bagaimana pengambilan sampel korban keracunan.
8. Untuk Mengetahui Apa saja bahan pengawet yang digunakan.
9. Untuk Mengetahui Apa saja hal yang harus diperhatikan seputar sampel keracunan.

3
1.4 Manfaat Penulisan
1. Dapat Mengetahui Apa itu racun.
2. Dapat Mengetahui Bagaimana cara masuknya racun ke dalam tubuh manusia.
3. Dapat Mengetahui Berapa pengelompokkan jenis racun.
4. Dapat Mengetahui Bagaimana mekanisme kerja racun.
5. Dapat Mengetahui Kapan perlu dilakukan pemeriksaan keracunan.
6. Dapat Mengetahui Bagaimana pemeriksaan korban.
7. Dapat Mengetahui Bagaimana pengambilan sampel korban keracunan.
8. Dapat Mengetahui Apa saja bahan pengawet yang digunakan.
9. Dapat Mengetahui Apa saja hal yang harus diperhatikan seputar sampel keracunan.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Racun

Racun (toxicant atau toxic) didefinisikan sebagai semua substansi bahan kimia yang
menyebabkan efek berbahaya apabila diberikan kepada organisme. Hal ini dibedakan dengan
racun yang dihasilkkan di dalam tubuh organisme atau makhluk hidup sebagai hasil
metabolisme yang disebut dengan toksin (toxin).

            Menurut Taylor, racun adalah suatu zat yang dalam jumlah relatif kecil (bukan
minimal), yang jika masuk atau mengenai tubuh seseorang akan menyebabkan timbulnya
reaksi kimiawi (efek kimia) yang besar yang dapat menyebabkan sakit, bahkan kematian.
           
Menurut Gradwohl racun adalah substansi yang tanpa kekuatan mekanis, yang bila
mengenai tubuh seorang (atau masuk), akan menyebabkan gangguan fungsi tubuh, kerugian,
bahkan kematian.

            Sehingga jika dua definisi di atas digabungkan, racun adalah substansi kimia, yang
dalam jumlah relatif kecil, tetapi dengan dosis toksis, bila masuk atau mengenai tubuh, tanpa
kekuatan mekanis, tetapi hanya dengan kekuatan daya kimianya, akan menimbulkan efek
yang besar, yang dapat menyebabkan sakit, bahkan kematian.

Toksikologi merupakan ilmu yang membahas seputar efek merugikan berbagai efek
samping yang merugikan dari berbagai agen kimiawi terhadap semua sistem makhluk hidup.
Toksikologi (berasal dari kata Yunani, toxicos dan logos) merupakan studi mengenai perilaku
dan efek yang merugikan dari suatu zat terhadap organisme/mahluk hidup. Dalam toksikologi,
dipelajari mengenai gejala, mekanisme, cara detoksifikasi serta deteksi keracunan pada sistim
biologis makhluk hidup. Toksikologi sangat bermanfaat untuk memprediksi atau mengkaji
akibat yang berkaitan dengan bahaya toksik dari suatu zat terhadap manusia dan
lingkungannya.

5
Toksikologi forensik adalah ilmu yang mempelajari tentang racun dan
pengidentifikasian bahan racun yang diduga ada dalam organ atau jaringan tubuh dan cairan
korban. Mengingat sulitnya pengungkapan kejahatan terutama yang menggunakan racun,
maka saat ini sangat diperlukan aparat penegak hukum khususnya polisi yang mempunyai
pengetahuan yang memadai baik teori maupun teknik melakukan penyidikan secara cepat dan
tepat dalam rangka pengungkapan kejahatan pembunuhan khususnya kasus pembunuhan yang
ada indikasi korbannya meninggal karena diracun.

Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk mengetahui latar belakang toksikologi digunakan
dalam proses pembuktian pembunuhan serta manfaat toksikologi sebagai media pengungkap
dalam proses penyidikan tindak pidana pembunuhan yang menggunakan racun. Toksikologi
Forensik sangat penting diberikan kepada penyidik dalam rangka membantu penyidik polisi
dalam pengusutan perkara yaitu : mencari, menghimpun, menyusun dan menilai barang bukti
di Tempat Kejadian Perkara (TKP) dengan tujuan agar dapat membuat terang suatu kasus
pembunuhan yang ada indikasi korbannya meninggal akibat racun.

2.2 Cara Masuknya Racun Kedalam Tubuh Manusia


Racun dapat masuk ke dalam tubuh seseorang melalui beberapa cara:
1. Melalui mulut (peroral / ingesti).
2. Melalui saluran pernafasan (inhalasi)
3. Melalui suntikan (parenteral, injeksi)
4. Melalui kulit yang sehat / intak atau kulit yang sakit.
5. Melalui dubur atau vagina (perektal atau pervaginal)
Berdasarkan kecepatan kerjanya, maka racun akan paling cepat menimbulkan efek
pada manusia, bila ia masuk secara inhalasi, kemudian secara berturut-turut, injeksi,peroral,
perrektal atau pervaginal, dan yang paling lambat bila masuk melalui kulit yang sehat.

2.3 Pengelompokan Jenis Racun


2.3.1 Berdasarkan sumber dan tempat dimana racun-racun tersebut mudah didapat, maka
racun dapat dibagi menjadi lima golongan, yaitu:
1. Racun-racun yang banyak terdapat dalam rumah tangga.
Misalnya: desinfektan, deterjen, insektisida, dan sebagainya.
2. Racun-racun yang banyak digunakan dalam lapangan pertanian, perkebunan.
Misalnya: pestisida, herbisida.
3. Racun-racun yang banyak dipakai dalam dunia kedokteran / pengobatan.
6
Misalnya: sedatif hipnotis, analgetika, obat penenang, anti depresan, dsb.
4. Racun-racun yang banyak dipakai dalam industri / laboratorium.
Misalnya: asam dan basa kuat, logam berat, dsb.
5. Racun-racun yang terdapat di alam bebas.
Misalnya: opium , ganja, cocain, racun singkong, racun jamur serta binatang.
Jenis racun berdasarkan sumber lain didapatkan :
A. Pestisida
a. Insektisida
a) Organoklorin
 Derivat Chlorinethane : DDT
 Derivat Cyclodiene : Thiodane, Endrim, Dieldrine, Chlordan,
Aldrin, Heptachlor, toxapene.
 Derivat Hexachlorcyclohexan : Lindan, myrex.
b) Organofosfat: DFP, TEPP, Parathion, Diazinon, Fenthoin, Malathion.
c) Carbamat: Carbaryl, Aldicarb, Propaxur, Mobam.
b. Herbisida
a) Chloropheoxy
b) Ikatan Dinitrophenal
c) Ikatan Karbonat: Prepham, Barbave
d) Ikatan Urea
e) Ikatan Triasine: Atrazine
f) Amide: Propanil
g) Bipyridye
c. Fungisida
a) Caplan
b) Felpet
c) Pentachlorphenal
d) Hexachlorphenal
d. Rodentisida
a) Warfarin
b) Red Squill
c) Norbomide
d) Sodium Fluoroacetate dan Fluoroacetamide
e) Aepha Naphthyl Thiourea
f) Strychnine
7
g) Pyriminil
e. Anorganik:
a) Zinc Phosfat
b) Thallium Sulfat
c) Phosfor
d) Barium Carbamat
e) Al. Phosfat
f) Arsen Trioxyde
B. Bahan Industri
C. Bahan untuk rumah tangga
D. Bahan obat-obatan
E. Racun (tanaman dan hewan)

2.4 Mekanisme Kerja Racun


2.4.1 Racun yang bekerja secara setempat (lokal)
Misalnya:
a. Racun bersifat korosif: lisol, asam dan basa kuat.
b. Racun bersifat iritan: arsen, HgCl2.
c. Racun bersifat anastetik: kokain, asam karbol.
Racun-racun yang bekerja secara setempat ini, biasanya akan menimbulkan sensasi nyeri
yang hebat, disertai dengan peradangan, bahkan kematian yang dapat disebabkan oleh syok
akibat nyerinya tersebut atau karena peradangan sebagai kelanjutan dari perforasi yang terjadi
pada saluran pencernaan.
2.4.2 Racun yang bekerja secara umum (sistemik)
Walaupun kerjanya secara sistemik, racun-racun dalam golongan ini biasanya
memiliki akibat / afinitas pada salah satu sistem atau organ tubuh yang lebih besar bila
dibandingkan dengan sistem atau organ tubuh lainnya.
Misalnya:
a. Narkotik, barbiturate, dan alkohol terutama berpengaruh pada susunan syaraf
pusat.
b. Digitalis, asam oksalat terutama berpengaruh terhadap jantung.
c. Strychine terutama berpengaruh terhadap sumsum tulang belakang.
d. CO, dan HCN terutama berpengaruh terhadap darah dan enzim pernafasan.
e. Cantharides dan HgCl2 terutama berpengaruh terhadap ginjal.

8
f. Insektisida golongan hidrokarbon yang di-chlor-kan dan phosphorus terutama
berpengaruh terhadap hati.
2.4.3 Racun yang bekerja secara setempat dan secara umum
Misalnya:
a. Asam oksalat
b. Asam karbol
c. Arsen
d. Garam Pb
Selain menimbulkan rasa nyeri (efek lokal) juga akan menimbulkan depresi pada
susunan syaraf pusat (efek sistemik). Hal ini dimungkinkan karena sebagian dari asam karbol
tersebut akan diserap dan berpengaruh terhadap otak.
2.5 Kapan Perlu Dilakukan Pemeriksaan Keracunan
Bila dibandingkan dengan kelainan atau penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri, virus
ataupun trauma, maka kasus keracunan relatif sedikit, sehingga tidak jarang terjadi
kekeliruan dalam penanganan pasien , untuk itu perlu diketahui pada keadaan apa sajah
pemeriksaan toksikologi ini diperlukan.
A. Pada kasus kematian mendadak.
B. Pada kematian mendadak yang terjadi pada sekelompok orang.
C. Pada kematian yang dikaitkan pada tindakan abortus.
D. Pada kasus perkosaan dan kejahatan seksual lainnya.
E. Pada kecelakaan transfortasi khususnya pada pengemudi dan pilot
F. Pada kasus penganiayaan atau pembunuhan (selektip)
G. Pada kasus yang memang diketahui atau patut diduga menelan racun
H. Pada kematian setelah tindakan medis, penyuntikan, operasi dan lain sebagainya.

2.6 Diagnosis kasus keracunan


1. Anamnesa yang menyatakan bahwa korban benar-benar kontak dengan racun (secara
injeksi, inhalasi, ingesti, absorbsi, melalui kulit atau mukosa). Pada umumnya anamnesa
tidak dapat dijadikan pegangan sepenuhnya sebagai kriteria diagnostik, misalnya pada
kasus bunuh diri – keluarga korban tentunya tidak akan memberikan keterangan yang
benar, bahkan malah cenderung untuk menyembunyikannya, karena kejadian tersebut
merupakan aib bagi pihak keluarga korban.
2. Tanda dan gejala-gejala yang sesuai dengan tanda / gejala keracunan zat yang diduga.
Adanya tanda / gejala klinis biasanya hanya terdapat pada kasus yang bersifat darurat
dan pada prakteknya lebih sering kita terima kasus-kasus tanpa disertai dengan data-
9
data klinis tentang kemungkinan kematian karena kematian sehingga harus dipikirkan
terutama pada kasus yang mati mendadak, non traumatik yang sebelumnya dalam
keadaan sehat.
3. Secara analisa kimia dapat dibuktikan adanya racun di dalam sisa makanan / obat / zat
yang masuk ke dalam tubuh korban. Kita selamanya tidak boleh percaya bahwa sisa
sewaktu zat yang digunakan korban itu adalah racun (walaupun ada etiketnya) sebelum
dapat dibuktikan secara analisa kimia, kemungkinan-kemungkinan seperti tertukar atau
disembunyikannya barang bukti, atau si korban menelan semua racun – kriteria ini
tentunya tidak dapat dipakai.
4. Ditemukannya kelainan-kelainan pada tubuh korban, baik secara makroskopik atau
mikroskopik yang sesuai dengan kelainan yang diakibatkan oleh racun yang
bersangkutan. Bedah mayat (otopsi) mutlak harus dilakukan pada setiap kasus
keracunan, selain untuk menentukan jenis-jenis racun penyebab kematian, juga penting
untuk menyingkirkan kemungkinan lain sebagai penyebab kematian. Otopsi menjadi
lebih penting pada kasus yang telah mendapat perawatan sebelumnya, dimana pada
kasus-kasus seperti ini kita tidak akan menemukan racun atau metabolitnya, tetapi yang
dapat ditemukan adalah kelainan-kelainan pada organ yang bersangkutan.
5. Secara analisa kimia dapat ditemukan adanya racun atau metabolitnya di dalam tubuh /
jaringan / cairan tubuh korban secara sistemik. Pemeriksaan toksikologi (analisa kimia)
mutlak harus dilakukan. Tanpa pemeriksaan tersebut, visum et repertum yang dibuat
dapat dikatakan tidak memiliki arti dalam hal penentuan sebab kematian. Sehubungan
dengan pemeriksaan toksikologis ini, kita tidak boleh terpaku pada dosis letal sesuatu
zat, mengingat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kerja racun. Penentuan ada
tidaknya racun harus dibuktikan secara sistematik, diagnosa kematian karena racun
tidak dapat ditegakkan misalnya hanya berdasar pada ditemukannya racun dalam
lambung korban.
Dari kelima kriteria diagnostik dalam menentukan sebab kematian pada kasus-kasus
keracunan seperti tersebut di atas, maka kriteria keempat dan kelima merupakan kriteria yang
terpenting dan tidak boleh dilupakan.

2.7 Faktor yang mempengaruhi kerja Racun


1. Cara pemberian
Setiap racun baru akan menimbulkan efek yang maksimal pada tubuh jika cara
pemberiannya tepat. Misalnya jika racun-racun yang berbentuk gas tentu akan memberikan
efek maksimal bila masuknya ke dalam tubuh secara inhalasi. Jika racun tersebut masuk ke
10
dalam tubuh secara ingesti tentu tidak akan menimbulkan akibat yang sama hebatnya
walaupun dosis yang masuk ke dalam tubuh sama besarnya.
Berdasarkan cara pemberian, maka umumnya racun akan paling cepat bekerja pada
tubuh jika masuk secara inhalasi, kemudian secara injeksi (i.v, i.m, dan s.c), ingesti, absorbsi
melalui mukosa, dan yang paling lambat jika racun tersebut masuk ke dalam tubuh melalui
kulit yang sehat.
2. Keadaan tubuh
a. Umur
Pada umumnya anak-anak dan orang tua lebih sensitif terhadap racun bila
dibandingkan dengan orang dewasa. Tetapi pada beberapa jenis racun seperti barbiturate dan
belladonna, justru anak-anak akan lebih tahan.
b. Kesehatan
Pada orang-orang yang menderita penyakit hati atau penyakit ginjal, biasanya akan
lebih mudah keracunan bila dibandingkan dengan orang sehat, walaupun racun yang masuk
ke dalam tubuhnya belum mencapai dosis toksis. Hal ini dapat dimengerti karena pada orang-
orang tersebut, proses detoksikasi tidak berjalan dengan baik, demikian pula halnya dengan
ekskresinya. Pada mereka yang menderita penyakit yang disertai dengan peningkatan suhu
atau penyakit pada saluran pencernaan, maka penyerapan racun pada umumnya jelek,
sehingga jika pada penderita tersebut terjadi kematian, kita tidak boleh terburu-buru
mengambil kesimpulan bahwa kematian penderita disebabkan oleh racun. Dan sebaliknya
pula kita tidak boleh tergesa-gesa menentukan sebab kematian seseorang karena penyakit
tanpa melakukan penelitian yang teliti, misalnya pada kasus keracunan arsen (tipe
gastrointestinal) dimana disini gejala keracunannya mirip dengan gejala gastroenteritis yang
lumrah dijumpai.
c. Kebiasaan
Faktor ini berpengaruh dalam hal besarnya dosis racun yang dapat menimbulkan
gejala-gejala keracunan atau kematian, yaitu karena terjadinya toleransi. Tetapi perlu diingat
bahwa toleransi itu tidak selamanya menetap. Menurunnya toleransi sering terjadi misalnya
pada pencandu narkotik, yang dalam beberapa waktu tidak menggunakan narkotik lagi.
Menurunnya toleransi inilah yang dapat menerangkan mengapa pada para pencandu tersebut
bisa terjadi kematian, walaupun dosis yang digunakan sama besarnya.
d. Hipersensitif (alergi – idiosinkrasi)
Banyak preparat seperti vitamin B1, penisilin, streptomisin dan preparat-preparat yang
mengandung yodium menyebabkan kematian, karena sikorban sangat rentan terhadap
preparat-preparat tersebut. Dari segi ilmu kehakiman, keadaan tersebut tidak boleh dilupakan,
11
kita harus menentukan apakah kematian korban memang benar disebabkan oleh karena
hipersensitif dan harus ditentukan pula apakah pemberian preparat-preparat mempunyai
indikasi. Ada tidaknya indikasi pemberi preparat tersebut dapat mempengaruhi berat-
ringannya hukuman yang akan dikenakan pada pemberi preparat tersebut.
3. Racunnya sendiri
a. Dosis
Besar-kecilnya dosis racun akan menentukan berat-ringannya akibat yang
ditimbulkan. Dalam hal ini tidak boleh dilupakan akan adanya faktor toleransi, dan intoleransi
individual. Pada intoleransi, gejala keracunan akan tampak walaupun racun yang masuk ke
dalam tubuh belum mencapai level toksik. Keadaan intoleransi tersebut dapat bersifat
bawaan / kongenital atau intoleransi yang didapat setelah seseorang menderita penyakit yang
mengakibatkan gangguan pada organ yang berfungsi melakukan detoksifikasi dan ekskresi.
b. Konsentrasi
Untuk racun-racun yang kerjanya dalam tubuh secara lokal misalnya zat-zat korosif,
konsentrasi lebih penting bila dibandingkan dengan dosis total. Keadaan tersebut berbeda
dengan racun yang bekerja secara sistemik, dimana dalam hal ini dosislah yang berperan
dalam menentukan berat-ringannya akibat yang ditimbulkan oleh racun tersebut.
c. Bentuk dan kombinasi fisik
Racun yang berbentuk cair tentunya akan lebih cepat menimbulkan efek bila
dibandingkan dengan yang berbentuk padat. Seseorang yang menelan racun dalam keadaan
lambung kosong, tentu akan lebih cepat keracunan bila dibandingkan dengan orang yang
menelan racun dalam keadaan lambungnya berisi makanan.
d. Adiksi dan sinergisme
Barbiturate, misalnya jika diberikan bersama-sama dengan alkohol, morfin, atau CO,
dapat menyebabkan kematian, walaupun dosis barbiturate yang diberikan jauh di bawah dosis
letal. Dari segi hukum kedokteran kehakiman, kemungkinan-kemungkinan terjadinya hal
seperti itu tidak boleh dilupakan, terutama jika menghadapi kasus dimana kadar racun yang
ditemukan rendah sekali, dan dalam hal demikian harus dicari kemungkinan adanya racun lain
yang mempunyai sifat aditif (sinergitik dengan racun yang ditemukan), sebelum kita tiba pada
kesimpulan bahwa kematian korban disebabkan karena reaksi anafilaksi yang fatal atau
karena adanya intoleransi.

12
e. Susunan kimia
Ada beberapa zat yang jika diberikan dalam susunan kimia tertentu tidak akan
menimbulkan gejala keracunan, tetapi bila diberikan secara tersendiri terjadi hal yang
sebaliknya.
f. Antagonisme
Kadang-kadang dijumpai kasus dimana seseorang memakan lebih dari satu macam
racun, tetapi tidak mengakibatkan apa-apa, oleh karena reaksi-reaksi tersebut saling
menetralisir satu sama lain. Dalam klinik adanya sifat antagonis ini dimanfaatkan untuk
pengobatan, misalnya nalorfin dan kaloxone yang dipakai untuk mengatasi depresi pernafasan
dan oedema paru-paru yang terjadi pada keracunan akut obat-obatan golongan narkotik.

2.8 Pemeriksaan Atas Korban Keracunan Yang Fatal


Sebelum melakukan pemeriksaan atas korban yang mati keracunan, harus diperhatikan
beberapa hal yang penting yaitu:

 kumpulkan informasi sebanyak-banyaknya, misalnya perihal pekerjaan korban,


perkiraan racun yang dipergunakan dan lain sebagainya,
 pemeriksa tidak diperkenankan merokok, mempergunakan banyak air, menggunakan
desinfektan atau air-freshner untuk menghilangkan bau dan bahan-bahan kimia yang
dapat mengganggu penafsiran pada pemeriksaan.

Kelainan atau perubahan yang terjadi pada korban yang tewas karena keracunan, pada
umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu atas dasar interval waktu antara korban
kontak dengan racun dan saat terjadinya kematian,

1. Kematian yang berlangsung cepat ("rapid poisoning death”)

- kongesti atau perbendungan alat-alat dalam,


- edema paru-paru, otak dan ginjal,
- tanda-tanda korosif (bila racun yang ditelan termasuk racun korosif),
- bau yang khas dari hidung dan mulut, misalnya sianida, insektisida dan alkohol (bila
racun yang ditelan mempunyai bau yang khas),
- lebam mayat yang khas, merah terang, cherry red atau merah-coklat (bila racunnya
menyebabkan perubahan pada warna darah, sehingga warna lebam-mayat pun
mengalami perubahan).

13
2. Kematian yang berlangsung lambat ("delayed porsoring death")

- terdapat kelainan yang khas untuk tiap jenis racun,


- keracunan arsen akan menunjukkan : pigmentasi, hiperkeratosis dan rontoknya
rambut, keracunan karbon-monoksida: perlunakan pada globus pallidus, perdarahan
berbintik pada substansia alba, perdarahan pada mm.papillares dan adanya "ring
haemorrhages" pada otak,
- keracunan alkohol : cirrhosis hepatis, perdarahan pada saluran pencernaan.

Pemeriksaan Luar

- pakaian, catat warna bercak, bau serta distribusinya,

1. pada pembunuhan: bercak tidak beraturan (disiram),

2. pada bunuh diri : bercak beraturan, pada bagian tangan dari atas ke bawah,

3. pada kecelakaan: tidak khas,

-lebam mayat, perhatikan warna dari lebam mayat,

1. merah terang : keracunan Sianida atau terkena benda yang bersuhu rendah (es),

2. "cheery-red": keracunan karbon-monoksida.

3. coklat kebiruan ("slaty"), : keracunan anilin, nitrobenzena, kina, potassium-chlorate dan


acetanilide.

-bercak dan tuama di sekitar mulut, serta distribusi,

1. yodium: warna kulit menjadi bitam,


2. nitrat : warna kulit menjadi kuning,
3. zat-zat korosif: luka bakar berwarna merah coklat,
4. distribusi memberi informasi perihal cara kematian.

-bau dari mulut dan hidung, yaitu dengan cara menekan dinding dada, dan dekatkan hidung
pemeriksa pada mulut atau hidung, untuk menge tahui bau yang keluar,

1. sianida : berbau amandel,


2. alkohol, insektisida, eter dan asam karbol:
bau khas dan mudah dikenali.

14
-kelainan lain,

1. bekas suntikan (needle mark ), di daerah lipatsiku, punggung tangan, lengan atas,
penis dan sekitar puting susu : keracunan narkotika,
2. skin blisters”: keracunan narkotika, barbiturat dan karbon- monoksida,
3. kulit menjadi kuning : keracunan fosfor, tembaga dan keracunan "chlorinated
hydrocarbon insecticide"

Pemeriksaan dalam

 pembukaan rongga tengkorak,

perhatikan bau yang keluar, warna jaringan otak (cherry red pada keracunan CO; menjadi
lebih coklat pada kecarunan zat yang menyebabkan terjadinya met-Hb,)

 pembukaan rongga dada,

perhatikan warna dan bau yang keluar, pada keracunan zat yang mengakibatkan terjadinya
hemolisis seperti: bisa ular, pyrogallol, hydroquinone atau arsine, darah dan organ menjadi
coklat kemerahan dan gelap, pada keracunan zat yang mengganggu trombosit, akan tampak
adanya perdarahan pada otot-otot,

 pembukaan rongga perut,

bila racunnya ditelan, maka kelainan terutama terdapat pada lambung; selain tentunya juga
harus diperhatikan bau yang keluar serta perubahan warna dari jaringan tubuh, adapun
kelainan pada lambung tersebut adalah:

1. hiperemi, pada keracunan zat korosif hal ini sering dijumpai terutama pada daerah
curvatura-mayor; pada keracunan tembaga, selain hiperemi juga didapatkan
pewarnaan biru atau kehijauan, sedangkan pada asam sulfat akan berwarna kehitaman,
2. perlunakan, sering didapatkan pada keracunan zat korosif alkalis; kelainan ini terdapat
pada curvatura-mayor dan perlu dibedakan dengan perlunakan yang terjadi sebagai
akibat proses pembusukan,
3. ulserasi, terutama keracunan zat korosif, tetapi ulkus tampak rapuh, tipis dan
dikelilingi tanda peradangan,
4. perforasi, biasanya hanya terjadi pada keracunan asam sulfat pekat; perlu dibedakan
dengan proses pembusukan.

15
kelainan pada lambung yang disebabkan oleh zat korosif anorganik, dapat dibedakan dengan
korosif organik, seperti : golongan fenol dan formaldehid,

1. korosif an-organik yang bersifat asam, seperti asam sulfat. as.khlorida, dan as.nitrat:
 mukosa lambung mengkerut, berwarna coklat atau hitam,
 mukosa memberi kesan kering dan hangus terbakar.

2. korosif anorganik yang bersifat basa, seperti natrium hidroksida, kalium hidroksida
dan garam-garam karbonat nya serta ammonia:
 mukosa lambung lunak, sembab dan basah,
 mukosa berwarna merah atau coklat,
 pada perabaan memberi kesan seakan meraba sabun, oleh karena terjadi proses
penyabunan.

3. korosif golongan fenol, seperti as.karbol, lisol dan kresol:


 tampak "pseudomembran", yang berwarna abu-abu kebiruan atau abu-abu
kekuningan, sebagai akibat terjadinya penetrasi dan koagulasi protein sel dan penetrasi
kelapisan yang lebih dalam sehinga terjadi nekrose, .
 "pseudomembran", terbentuk dari jaringan-jaringan yang nekrotik.

4. korosif formaldehid, mengakibatkan mukosa membran menjadi mengkerut, mengeras


dan berwarna kelabu.
 pada keracunan racun yang berbentuk gas akan ditemukan perubahan pada saluran
pernafasan, yaitu: sembab, hiperemi,tanda-tanda iritasi serta kongesti.
 pada keracunan racun yang bekerja pada susunan saraf pusat, akan didapatkan tanda-
tanda asfiksia dan disertai dengan ciri khusus dari racunnya sendiri yaitu:
- strychnine: tubuh korban melengkung, opistotonus, emperos thotonus atau
pleurosthotonus.
 pada keracunan beberapa jenis zat, dapat terjadi perubahan warna dari urinenya, yaitu:

1. keracunan as.pikrat pekat: urine berwarna merah-kuning kecoklatan,

2. keracunan sulfat kronis dan barbital: urine korban berwarna merah anggur.

3. keracunan fenol atau salisilat: urine berwarna hijau kecoklatan atau hijau gelap,

16
4. keracunan yang mengakibarkan terbentuknya met-Hb: urine akan berwarna merah
coklat atau coklat kehitaman.

2.9 Pengambilan Sampel Pada korban Yang Tewas


Prinsip pengambilan sampel pada kasus keracunan adalah diambil sebanyak-banyaknya
setelah kita sisihkan untuk cadangan dan untuk pemeriksaan histopatologik.

Secara umum sampel yang harus diambil adalah:

1. lambung dengan isinya,


2. seluruh usus dengan isinya dengan membuat sekat dengan ikatan-ikatan pada usus
setiap jarak sekitar 60 sentimeter,
3. darah, yang berasal dari sentral (jantung), dan yang berasal dari perifer (v.jugularis;
a.femoralis dan sebagainya), masing-masing 50 ml, dan dibagi dua, yang satu diberi
bahan pengawet (Na F 1%), yang lain tidak diberi bahan pengawet,
4. hati, sebagai tempat detoksifikasi, tidak boleh dilupakan, hati yang diambil sebanyak
500 gram,
5. ginjal, diambil keduanya, yaitu pada kasus keracunan dengan logam berat khususnya,
atau bila urine tidak tersedia,
6. otak, diambil 500 gram, khusus untuk keracunan khloroform dan keracunan sianida;
hal tersebut dimungkinkan karena otak terdiri dari jaringan lipoid yang mempunyai
kemampuan untuk meretensi racun, walaupun telah mengalami pembusukan,
7. urine diambil seluruhnya, penting oleh karena pada umumnya racun akan
diekskresikan melalui urine, khususnya untuk test penyaring pada keracunan
narkotika, alkohol dan stimulan,
8. empedu, sama halnya dengan urine, diambil oleh karena tempat ekskresi pelbagai
racun, terutama narkotika,
9. pada kasus khusus dapat diambil:
 jaringan sekitar suntikan, dalam radius 5-10 sentimeter,
 jaringan otot, yaitu dari tempat yang terhindar dari kontaminasi, misalnya m.psoas,
sebanyak 200 gram,
 lemak di bawah kulit dinding perut, sebanyak 200 gram
 rambut, yang dicabut, sebanyak 10 gram,
 kuku, yang dipotong, sebanyak 10 gram, dan
 cairan otak (liquor cerebro spinalis ), sebanyak-banyaknya.

17
2.10 Bahan Pengawet Yang Dipergunakan
Jumlah bahan pengawet untuk sempel padat, minim al 2 x volume sempel tersebut; bahan
pengawet yang dianjurkan:

 alkohol absolut
 larutan garam jenuh (untuk Indonesia paling ideal),
 Natrium fluoride 1%
 Natrium fluoride + natrium sitrat (75 mg +50mg, untuk setiap 10 ml sempel)
 Natrium benzoat dan phenyl mercurie nitrate.

Alkohol dan larutan garam jenuh untuk sempel padat atau organ, sedangkan NaF 1%,
dan capuran NaF dengan Na sitrat, untuk sempel cair; sedangkan natrium benzoat dan phenyl
mercuric nitrate khusus untuk pengawet urine.

2.11 Hal Yang Perlu Diperhatikan


 tiap sempel ditaruh dalam satu kemasan yang terpisah,
 penyegelan dilakukan oleh penyidik, dokter se bagai saksi,
 permintaan pemeriksaan dibuat oleh penyidik, dokter menyertakan laporan singkat
serta racun yang diduga sebagai penyebab kematian,
 setiap pengiriman, harus disertai dengan pengiriman contoh bahan pengawet, yaitu
untuk kontrol.
 dokter bertugas untuk mengambilkan sempel dan memasukkannya pada masing-
masing kemasan,
 pengambilan sempel untuk pemeriksaan toksikologik harus dilakukan sebelum tubuh
korban diawetkan (embalming), oleh karena dengan embalming, banyak racun yang
akan rusak dan deteksinya menjadi tidak memungkinkan,
 dalam hal dimana korban masih hidup, maka alkohol tidak diperkenankan sebagai
desinfektan, sewaktu dokter mengambil darah korban, sebagai penggantinya dapat
dipergunakan : sublimat 1 : 1000 atau mercury-chloride 1%.

18
2.12 Contoh Kasus
Pada tanggal 6 Januari 2016 telah ditemukan jenazah seorang perempuan di kamar
kontrakannya yang beralamat Jl. Dr. Siwabessi No. 10 Kelurahan Pematangsulur Kecamatan
Telanaipura, Kota Jambi. Jenazah tersebut ditemukan terlentang diatas tempat tidurnya oleh
ibu kandung korban yang kemudian melaporkan kejadian tersebut ke polisi. Kemudian polisi
menindak lanjuti laporan keluarga ke lokasi dan membawa jenazah tersebut bersama surat
permintaan visumnya ke RSUD Raden Mattaher Jambi untuk dilakukan pemeriksaan luar dan
dalam. Selanjutnya dokter melakukan pemeriksaan. Setelah selesai melakukan pemeriksaan,
dokter berkoordinasi dengan penyidik bahwa pemeriksaan sudah selesai.
Hasil pemeriksaan yang didapatkan, antara lain:
Pemeriksaan Luar
a. Jenazah perempuan, panjang badan 158 cm, berat badan 57 kg, dan kesan gizi cukup.
Jenazah menggunakan pakaian berupa sebuah baju dalam, celana dalam, kaos lengan
pendek, dan celana pendek. Terdapat sebuah gelas kaca bening diatas meja yang terletak
disamping tempat tidur korban.
b. Kaku mayat ditemukan pada kelopak mata kanan dan kiri, rahang bawah dan leher. Kaku
mayat sulit dilawan.
c. Lebam mayat ditemukan pada daerah punggung, lengan bawah bagian depan, bokong,
dan tungkai. Lebam mayat berwarna merah terang dan dapat hilang dengan penekanan.
d. Tidak terdapat tanda-tanda pembusukan.
e. Kepala:
1) Bentuk kepala simetris, rambut lurus, warna hitam, panjang 35 cm. Wajah tampak
berwarna kebiruan.
2) Mata kanan dan kiri berbentuk bundar, diameter pupil 0,7 mm, tampak bintik-bintik
perdarahan di konjungtiva palpebra, konjungtiva bulbi dan kornea tampak keruh.
3) Bentuk hidung mancung. Dari lubang hidung, tercium bau amandel.
4) Telinga berbentuk oval, tidak ada kelainan.
5) Bibir mulut atas, bibir mulut bawah, dan mukosa mulut tampak berwarna kebiruan,
lidah tidak ada kelainan, dan seluruh gigi sudah lengkap. Pada rongga mulut terdapat
buih halus berwarna putih dan tercium bau amandel.
f. Pada leher tidak ada kelainan.
g. Pada bahu tidak ada kelainan.
h. Pada dada tidak ada kelainan.
i. Pada perut tidak ada kelainan.
j. Pada punggung tidak ada kelainan.
k. Pada bokong tidak ada kelainan
l. Pada anggota gerak atas sebelah kanan dan kiri didapatkan ujung jari dan jaringan
dibawah berwarna kebiruan, tidak ada kelainan.
m. Pada anggota gerak bawah sebelah kanan dan kiri didapatkan ujung jari dan jaringan
dibawah berwarna kebiruan, tidak ada kelainan.
n. Pada alat kelamin, rambut kelamin keriting, warna hitam, tidak mudah dicabut. Bibir
besar, bibir kecil, kelentit, selaput dara, liang senggama dan dinding liang senggama tidak
ada kelainan.
o. Diameter lingkar dubur nol koma lima sentimeter, tidak ada kelainan.

19
PEMERIKSAAN DALAM
a. Rongga Kepala
1) Kulit kepala bagian dalam, tulang atap tengkorak, tulang dasar tengkorak, selaput
keras otak, selaput lunak otak tidak ada kelainan.
2) Otak besar: Tampak berwarna putih, berat seribu tiga ratus gram, panjang tiga puluh
sentimeter, lebar sepuluh sentimeter, tebal delapan koma tujuh sentimeter, perabaan
kenyal, pada pengirisan penampang tidak ada kelainan.
3) Otak kecil: Tampak berwarna putih, berat seratus lima puluh gram, panjang sepuluh
sentimeter, lebar tiga sentimeter, tebal dua sentimeter, perabaan kenyal, pada
pengirisan penampang tidak ada kelainan.
4) Batang otak: Berat empat puluh gram, panjang lima sentimeter, lebar dua sentimeter,
tebal tiga sentimeter, pada pengirisan penampang tidak ada kelainan.
b. Leher: Tidak terdapat kelainan.
c. Rongga Dada
1) Jaringan bawah kulit, otot, sternum dan tulang costae tidak didapatkan kelainan dan
tanda-tanda kekerasan.
2) Rongga dada tidak ada perlekatan dengan organ sekitar. Tercium bau amandel.
3) Paru:
o Paru Kanan terdiri dari 3 lobus, ukuran 20 x 10 x 5 cm, berat 500 gram, warna
merah terang, perabaan seperti spons, pada pengirisan penampang tampak buih
halus berwarna kemerahan.
o Paru Kiri terdiri dari 2 lobus, ukuran 18 x 7 x 3 cm, berat 400 gram, warna merah
terang, perabaan seperti spons, pada pengirisan penampang tampak buih halus
berwarna kemerahan.
4) Jantung:
o Terletak diantara kedua paru, berat 30 gram, ukuran 4 x 3 x 3 cm, permukaan
licin, perabaan kenyal, warna merah terang. Terdapat cairan pericardium sebanyak
13 ml.
o Jantung kanan terdiri dari 3 katup, ukuran panjang lingkar ke-3 katup 11 cm, tebal
otot ventrikel kanan 1,8 cm. Aorta terdiri dari 3 katup, ukuran panjang ke-3 katup
5 cm, katup tidak ada kelainan.
o Jantung kiri terdiri dari 2 katup, ukuran panjang lingkar ke-2 katup 12 cm, tebal
otot ventrikel kiri 2,5 cm. Arteri pulmonalis terdiri dari 3 katup, ukuran panjang
ke-3 katup 7 cm, katup tidak ada kelainan.
d. Rongga Perut
1) Jaringan bawah kulit, otot, selaput dinding tidak terdapat kelainan.
2) Tidak ada perlekatan antara dinding rongga perut dengan organ sekitar, tercium bau
amandel
3) Lambung: Permukaan tidak ada kelainan, mukosa lambung berwarna merah
kecoklatan, perabaan padat, panjang lengkung besar 32 cm, panjang lengkung kecil
20 cm, ukuran 25 x 23 x 4 cm, berat 300 gram, tidak berisi makanan.
4) Usus: Berat 2 kg, warna merah terang.
5) Hati: Berat 1300 gram, ukuran 30 x 24 x 3 cm, warna merah terang, perabaan keras,
tepi tajam, permukaan licin dan rata, pada pengirisan tampak cairan berwarna merah
terang.
20
6) Limpa: Berat 70 gram, ukuran 8 x 6 x 1,5 cm warna merah terang, perabaan kenyal,
permukaan licin, pada pengirisan tidak ada kelainan.
7) Pankreas: Berat 3 gram, ukuran 4,5 cm, warna merah terang, perabaan lunak, pada
pengirisan tidak terdapat kelainan.
8) Ginjal:
o Ginjal kanan: Selaput pembungkus ginjal sulit dilepas, warna merah pucat, berat
200 gram, ukuran 15 x 10 x 3 cm, pada pengirisan penampang tidak ada
kelainan, ureter kanan tidak ada kelainan.
o Ginjal kiri: Selaput pembungkus ginjal sulit dilepas, warna merah pucat, berat
300 gram, ukuran 15 x 8 x 4 cm, pada pengirisan penampang tidak ada kelainan,
ureter kiri tidak ada kelainan.
e. Kandung Kemih: Terdapat cairan berwarna kuning sebanyak 15 ml, tidak ada kelainan.
f. Rahim: Berat 40 gram, ukuran 7 x 5 x 2 cm, warna merah pucat, pada pengirisan
penampang tidak ada isi, tidak ada kelainan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Tes golongan darah : A
b) Tes Narkoba : Negatif
c) Tes Alkohol : Negatif
d) Uji kertas saring : Positif (warna ungu)

KESIMPULAN PADA VISUM


1. Jenazah seorang perempuan, umur kurang lebih 26 tahun, warna kulit sawo matang dan
kesan gizi cukup.
2. Pemeriksaan luar. Didapatkan tanda-tanda mati lemas berupa wajah, bibir dan selaput
lendir mulut berwarna kebiruan, bintik-bintik perdarahan pada konjungtiva palpebral,
buih halus pada rongga mulut, ujung jari dan jaringan dibawah kuku pada anggota gerak
atas dan bawah tampak kebiruan dan tercium bau amandel dari rongga mulut. Serta tanda
keracunan sianida berupa lebam mayat berwarna merah terang pada punggung, lengan
bawah bagian depan, bokong dan tungkai. Lebam mayat dapat hilang pada penekanan.
3. Pemeriksaan dalam. Didapatkan tanda-tanda keracunan sianida berupa bau amandel yang
tercium dari rongga kepala, dada dan perut, warna merah terang pada organ paru, jantung,
lambung, usus, hati dan limpa serta warna merah kecoklatan pada mukosa lambung.
4. Pada pemeriksan penunjang, didapatkan hasil uji kertas saring positif yang menunjukkan
bahwa didalam tubuh korban terdeteksi sianida.
5. Penyebab korban meninggal dunia adalah mati lemas akibat keracunan sianida.

21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
 Toksikologi forensik merupakan penerapan ilmu toksikologi yang berguna dalam
membantu proses peradilan.
 Pemeriksaan toksikologi sangat diperlukan jika terjadi kasus keracunan.
 Hasil pemeriksaan toksikologi dapat menegakan diagnosa keracunan sehingga dapat
membantu pemberian terapi secara cepat dan tepat pada korban hidup serta membantu
menentukan sebab pasti kematian pada korban mati.
3.2 Saran
Dalam pembuatan makalah ini tentunya masih banyak kekurangan, maka dari itu
penulis memohon kritik dan saran kepada pembaca agar ada peningkatan dalam pembuatan
makalah sehingga penulis bisa lebih baik lagi.

22
DAFTAR PUSTAKA
Dharma, M.S. et al. (2008). Investigasi Kematian Dengan Toksikologi Forensik. [Online].
Tersedia : https://yayanakhyar.files.wordpress.com/2008/11/investigasi-kematian-
dengan-toksikologi-forensik-files-of-drsmed.pdf (17 April 2015)

Deden www.Academia.ac.id (2015)

Idries.A.M : Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik,Bina Pura Aksara, Jakarta,1997.

Santoso, J. (Anonim). Forensik Papper. [Online]. Tersedia : http://forpapjs.blogspot.com/ (17


April 2015)

Wirasuta, M.A.G. (2006). Buku Ajar : Toksikologi Umum. [Online]. Tersedia : Buku-Ajar-
Toksikologi-Umum. http://farmasi.unud.ac.id/ind/wp-content/uploads/Buku-Ajar-
Toksikologi-Umum.pdf (17 April 2015)

Wirasuta, M.A.G. (2008). Buku Ajar : Analisis Toksikologi Forensi. [Online]. Tersedia :
http://farmasi.unud.ac.id/ind/wp-content/uploads/Anal-Tok-For-Formatbaru.pdf (17
April 2015)

23

Anda mungkin juga menyukai