Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH ANALISIS FORENSIK

Pemeriksaan Forensik Racun

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas dari Mata Kuliah Analisis Forensik

Disusun Oleh :
IKHRIMA DIAH AMBARWATI NIM. 1511C1014
IRFAN KURNIAWAN NIM. 1511C1026
MUHAMMAD ZEHAN PRATAMA NIM. 1512C1004
MUTIARA YOHANA GULTOM NIM. 1511C1002
NITA SUSANTI NIM. 1511C1019
ULFA RAHMAYANI NIM. 1511C1007

JURUSAN S1 – KIMIA KONSENTRASI ANALIS MEDIS


SEKOLAH TINGGI ANALIS BAKTI ASIH
BANDUNG
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Pemeriksaan
Forensik Racun” yang disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Analis
Forensik.
Tidak sedikit hambatan dan rintangan yang penulis hadapi dalam penyusunan
makalah ini, namun berkat doa dan dukungan dari berbagai pihak yang telah memberikan
bantuan, saran dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Maka dari
itu, kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Penulis mohon maaf jika makalah ini masih jauh dari sempurna, karena keterbatasan
penulis dalam pendalaman materi dan permasalahan yang dihadapi. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dalam rangka mencapai kesempurnaan.
Penulis berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan memberikan manfaat bagi
penulis khususnya, maupun bagi pembaca pada umumnya.

Bandung, November 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

BAB I....................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................................1
1.2 Tujuan..................................................................................................................................3
1.3 Ruang Lingkup Materi........................................................................................................3
BAB II..................................................................................................................................................4
TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................................................4
2.1 Defenisi Toksikologi.............................................................................................................4
2.2 Racun....................................................................................................................................4
2.3 Jalan masuk racun...............................................................................................................4
2.4 Klasifikasi racun..................................................................................................................5
2.5 Mekanisme kerja racun.......................................................................................................6
2.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja racun...............................................................7
2.7 Kriteria diagnosis kasus keracunan.................................................................................10
2.8 Analitikal Toksikologi.......................................................................................................11
2.9 Pemeriksaan kedokteran forensik....................................................................................12
2.10 Pembedahan Jenazah........................................................................................................14
2.11 Pengambilan Bahan Pemeriksaan Toksikologik.............................................................16
2.12 Jenis-Jenis Keracunan.......................................................................................................17
2.13 Cara pengiriman sampel...................................................................................................21
BAB III...............................................................................................................................................22
PENUTUP..........................................................................................................................................22
3.1 Kasus...................................................................................................................................22
3.2 Pembahasan dan Kesimpulan...........................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................25

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sejak perkembangan peradaban manusia dalam mencari makanan, tentu telah
mencoba beragam bahan baik botani, nabati, maupun dari mineral. Melalui pengalamannya
ini ia mengenal makanan, yang aman dan berbaya. Dalam kontek ini kata makanan
dikonotasikan ke dalam bahan yang aman bagi tubuhnya jika disantap, bermanfaat serta
diperlukan oleh tubuh agar dapat hidup atau menjalankan fungsinya. Sedangkan kata racun
merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan dan mengambarkan berbagai bahan
”zat kimia” yang dengan jelas berbahaya bagi badan.
Kata racun ”toxic” adalah bersaral dari bahasa Yunani, yaitu dari akar kata tox,
dimana dalam bahasa Yunani berarti panah. Dimana panah pada saat itu digunakan sebagai
senjata dalam peperangan, yang selalu pada anak panahnya terdapat racun. Di dalam
”Papyrus Ebers (1552 B.C.)“ orang Mesir kuno memuat informasi lengkap tentang
pengobatan dan obat. Di Papyrus ini juga memuat ramuan untuk racun, seperti antimon (Sb),
tembaga, timbal, hiosiamus, opium, terpentine, dan verdigris (kerak hijau pada permukaan
tembaga). Sedangkan di India (500 - 600 B.C.) di dalam Charaka Samhita disebutkan, bahwa
tembaga, besi, emas, timbal, perak, seng, bersifat sebagai racun, dan di dalam Susrata
Samhita banyak menulis racun dari makanan, tananaman, hewan, dan penangkal racun
gigitan ular.
Hippocrates (460-370 B.C.), dikenal sebagai bapak kedokteran, disamping itu dia juga
dikenal sebagai toksikolog dijamannya. Dia banyak menulis racun bisa ular dan di dalam
bukunya juga menggambarkan, bahwa orang Mesir kuno telah memiliki pengetahuan
penangkal racun, yaitu dengan menghambat laju penyerapan racun dari saluran pencernaan.
Disamping banyak lagi nama besar toksikolog pada jaman ini, terdapat satu nama yang perlu
mendapat catatan disini, yaitu besar pada jaman Mesir dan Romawi kuno adalah Pendacious
Dioscorides (A.D. 50), dikenal sebagai bapak Materia Medika, adalah seorang dokter tentara.
Di dalam bukunya dia mengelompokkan racun dari tanaman, hewan, dan mineral.
Hal ini membuktikan, bahwa efek berbahaya (toksik) yang ditimbulkan oleh zat racun
(tokson) telah dikenal oleh manusia sejak awal perkembangan beradaban manusia. Oleh
manusia efek toksik ini banyak dimanfaatkan untuk tujuan seperti membunuh atau bunuh
diri. Untuk mencegah keracunan, orang senantiasa berusaha menemukan dan
1
mengembangkan upaya pencegahan atau menawarkan racun. Usaha ini seiring dengan
perkembangan toksikologi itu sendiri. Namun, evaluasi yang lebih kritis terhadap usaha ini
baru dimulai oleh Maimonides (1135 - 1204) dalam bukunya yang terkenal Racun dan
Andotumnya.
Sumbangan yang lebih penting bagi kemajuan toksikologi terjadi dalam abad ke-16
dan sesudahnya. Paracelcius adalah nama samara dari Philippus Aureolus Theophratus
Bombast von Hohenheim (1493-1541), toksikolog besar, yang pertama kali meletakkan
konsep dasar dasar dari toksikologi. Dalam postulatnya menyatakan: “Semua zat adalah
racun dan tidak ada zat yang tidak beracun, hanya dosis yang membuatnya menjadi tidak
beracun”. Pernyataan ini menjadi dasar bagi konsep hubungan dosis reseptor dan indeks
terapi yang berkembang dikemudian hari
Matthieu Joseph Bonaventura Orfila dikenal sebagai bapak toksikologi modern. Ia
adalah orang Spayol yang terlahir di pulau Minorca, yang hidup antara tahun 1787 sampai
tahun 1853. Pada awak karirnya ia mempelajari kimia dan matematika, dan selanjutnya
mempelajari ilmu kedokteran di Paris. Dalam tulisannya (1814- 1815) mengembangkan
hubungan sistematik antara suatu informasi kimia dan biologi tentang racun. Dia adalah
orang pertama, yang menjelaskan nilai pentingnya analisis kimia guna membuktikan bahwa
simtomatologi yang ada berkaitan dengan adanya zat kimia tertentu di dalam badan. Orfila
juga merancang berbagai metode untuk mendeteksi racun dan menunjukkan pentingnya
analisis kimia sebagai bukti hukum pada kasus kematian akibat keracunan. Orfila bekerja
sebagai ahli medikolegal di Sorbonne di Paris. Orfila memainkan peranan penting pada kasus
LaFarge (kasus pembunuhan dengan arsen) di Paris, dengan metode analisis arsen, ia
membuktikan kematian diakibatkan oleh keracuanan arsen. M.J.B. Orfila dikenal sebagai
bapak toksikologi modern karena minatnya terpusat pada efek tokson, selain itu karena ia
memperkenalkan metodologi kuantitatif ke dalam studi aksi tokson pada hewan, pendekatan
ini melahirkan suatu bidang toksikologi modern, yaitu toksikologi forensik. Dalam bukunya
Traite des poison, terbit pada tahun 1814, dia membagi racun menjadi enam kelompok, yaitu:
corrosives, astringents, acrids, stupefying or narcotic, narcoticacid, dan septica atau
putreficants.
            Pemeriksaan forensik dalam kasus keracunan, dapat dibagi dalam dua kelompok,
yang pertama bertujuan untuk mencari penyebab kematian, misalnya kematian akibat
keracunan morfin, sianida, karbon monoksida, keracunan insektisida, dan lain sebagainya,
dan kelompok yang kedua – dimana sebenarnya yang terbanyak kasusnya, akan tetapi belum
banyak disadari – adalah untuk mengetahui mengapa suatu peristiwa, misalnya peristiwa
2
pembunuhan, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan pesawat udara dan perkosaan dapat terjadi.
Dengan demikian, tujuan yang kedua bermaksud untuk membuat suatu rekaan rekonstruksi
atas peristiwa yang terjadi.
            Bila pada tujuan pertama dari pemeriksaan atas diri korban diharapkan dapat
ditemukan reaksi atau obat dalam dosis yang mematikan, maka tidaklah demikian pada yang
kedua, dimana disini yang perlu dibuktikan atau dicari korelasinya adalah sampai sejauh
mana reaksi obat tersebut berperan dalam memungkinkan terjadinya berbagai peristiwa tadi.
Karena sifat beracunnya, mudahnya didapat serta mudahnya digunakan oleh
masyarakat, maka wajarlah jika ada yang menyalahgunakannya untuk hal-hal yang
bertentangan dengan hukum, misalnya pada kasus pembunuhan, yang bisa dilakukan secara
langsung maupun perlahan-lahan dengan gejala yang tidak jelas.
Dalam menghadapi kasus yang demikian, maka peranan kedokteran kehakiman
sangatlah penting dalam menentukan apakah korban benar-benar meninggal karena arsen,
atau sebab lain. Selain dengan pemeriksaan otopsi, dokter juga bekerja sama dengan bagian
toksikologi dalam menentukan adanya arsen dan jumlahnya yang ada pada korban.

1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini diharapkan memberikan informasi mengenai
Analisis Forensik Racun.

1.3 Ruang Lingkup Materi


Ruang lingkup dari materi ini yaitu:
1. Racun
2. Faktor yang mempengaruhi keracunan
3. Analisis Forensik Racun

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi Toksikologi


Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari sumber, sifat serta khasiat racun, gejala-
gejala dan pengobatan pada keracunan, serta kelainan yang didapatkan pada korban yang
meninggal.
Toksikologi merupakan ilmu yang sangat luas yang mencakup berbagai disiplin ilmu
yang sudah ada seperti ilmu kimia, Farmakologi, Biokimia, Forensik Medicine dan lain-lain.
Disamping itu ilmu ini terus berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu-ilmu lainnya,
dan ini semua pada gilirannya akan menyulitkan kita dalam membuat definisi yang singkat
dan tepat mengenai Toksikologi. Sebagai contoh, menurut Ahli Kimia Toksikologi adalah
ilmu yang bersangkutan paut dengan efek-efek dan mekanisme kerja yang merugikan dari
agent-agent Kimia terhadap binatang dan manusia. Sedangkan dari para ahli Farmakologi
Toksikologi merupakan cabang Farmakologi yang berhubungan dengan efek samping zat
kimia didalam sistem biologik. Dengan keluasan Toksikologi maka sejumlah besar ahli-ahli
dibidang yang masing-masing turut terlibat dalam Toksikologi dalam bidang yang sesuai
dengan keahliannya.

2.2 Racun
            Menurut Taylor, racun adalah suatu zat yang dalam jumlah relatif kecil (bukan
minimal), yang jika masuk atau mengenai tubuh seseorang akan menyebabkan timbulnya
reaksi kimiawi (efek kimia) yang besar yang dapat menyebabkan sakit, bahkan kematian.
            Menurut Gradwohl racun adalah substansi yang tanpa kekuatan mekanis, yang bila
mengenai tubuh seorang (atau masuk), akan menyebabkan gangguan fungsi tubuh, kerugian,
bahkan kematian.
            Sehingga jika dua definisi di atas digabungkan, racun adalah substansi kimia, yang
dalam jumlah relatif kecil, tetapi dengan dosis toksis, bila masuk atau mengenai tubuh, tanpa
kekuatan mekanis, tetapi hanya dengan kekuatan daya kimianya, akan menimbulkan efek
yang besar, yang dapat menyebabkan sakit, bahkan kematian.
2.3 Jalan masuk racun
            Racun dapat masuk ke dalam tubuh seseorang melalui beberapa cara:
1. Melalui mulut (peroral / ingesti).

4
2. Melalui saluran pernafasan (inhalasi)
3. Melalui suntikan (parenteral, injeksi)
4. Melalui kulit yang sehat / intak atau kulit yang sakit.
5. Melalui dubur atau vagina (perektal atau pervaginal) (Idris, 1985)

2.4 Klasifikasi racun


            Racun dapat digolongkan sebagai berikut:
I. Pestisida
    A. Insektisida
1. Organoklorin
 Derivat Chlorinethane : DDT
 Derivat Cyclodiene : Thiodane, Endrim, Dieldrine,
Chlordan, Aldrin, Heptachlor, toxapene.
 Derivat Hexachlorcyclohexan : Lindan, myrex.
2. Organofosfat: DFP, TEPP, Parathion, Diazinon, Fenthoin, Malathion.
3. Carbamat: Carbaryl, Aldicarb, Propaxur, Mobam.
B. Herbisida
1. Chloropheoxy
2. Ikatan Dinitrophenal
3. Ikatan Karbonat: Prepham, Barbave
4. Ikatan Urea
5. Ikatan Triasine: Atrazine
6. Amide: Propanil
7. Bipyridye
    C. Fungisida
1. Caplan
2. Felpet
3. Pentachlorphenal
4. Hexachlorphenal
    D. Rodentisida
1. Warfarin
2. Red Squill
3. Norbomide
4. Sodium Fluoroacetate dan Fluoroacetamide
5
5. Aepha Naphthyl Thiourea
6. Strychnine
7. Pyriminil
8. Anorganik:
- Zinc Phosfat
-  Thallium Sulfat
-  Phosfor
-  Barium Carbamat
-  Al. Phosfat
-  Arsen Trioxyde
II. Bahan Industri
III. Bahan untuk rumah tangga
IV. Bahan obat-obatan
V. Racun (tanaman dan hewan)
Berdasarkan sumber dan tempat dimana racun-racun tersebut mudah didapat, maka racun
dapat dibagi menjadi lima golongan, yaitu:
1. Racun-racun yang banyak terdapat dalam rumah tangga.
Misalnya: desinfektan, deterjen, insektisida, dan sebagainya.
2. Racun-racun yang banyak digunakan dalam lapangan pertanian, perkebunan.
Misalnya: pestisida, herbisida.
3. Racun-racun yang banyak dipakai dalam dunia kedokteran / pengobatan.
Misalnya: sedatif hipnotis, analgetika, obat penenang, anti depresan, dsb.
4. Racun-racun yang banyak dipakai dalam industri / laboratorium.
Misalnya: asam dan basa kuat, logam berat, dsb.
5. Racun-racun yang terdapat di alam bebas.
Misalnya: opium ganja, racun singkong, racun jamur serta binatang.

2.5 Mekanisme kerja racun


1. Racun yang bekerja secara setempat (lokal)
Misalnya:
-  Racun bersifat korosif: lisol, asam dan basa kuat.
-  Racun bersifat iritan: arsen, HgCl2.
-  Racun bersifat anastetik: kokain, asam karbol.

6
Racun-racun yang bekerja secara setempat ini, biasanya akan menimbulkan
sensasi nyeri yang hebat, disertai dengan peradangan, bahkan kematian yang dapat
disebabkan oleh syok akibat nyerinya tersebut atau karena peradangan sebagai
kelanjutan dari perforasi yang terjadi pada saluran pencernaan.
2. Racun yang bekerja secara umum (sistemik)
Walaupun kerjanya secara sistemik, racun-racun dalam golongan ini biasanya
memiliki akibat / afinitas pada salah satu sistem atau organ tubuh yang lebih besar
bila dibandingkan dengan sistem atau organ tubuh lainnya.
Misalnya:
-  Narkotik, barbiturate, dan alkohol terutama berpengaruh pada susunan syaraf pusat.
-  Digitalis, asam oksalat terutama berpengaruh terhadap jantung.
-  Strychine terutama berpengaruh terhadap sumsum tulang belakang.
-  CO, dan HCN terutama berpengaruh terhadap darah dan enzim pernafasan.
-  Cantharides dan HgCl2 terutama berpengaruh terhadap ginjal.
-  Insektisida golongan hidrokarbon yang di-chlor-kan dan phosphorus terutama
berpengaruh terhadap hati.
3. Racun yang bekerja secara setempat dan secara umum
Misalnya:
-  Asam oksalat
-  Asam karbol
Selain menimbulkan rasa nyeri (efek lokal) juga akan menimbulkan depresi pada
susunan syaraf pusat (efek sistemik). Hal ini dimungkinkan karena sebagian dari asam
karbol tersebut akan diserap dan berpengaruh terhadap otak.
-  Arsen
-  Garam Pb

2.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja racun


1. Cara pemberian
Setiap racun baru akan menimbulkan efek yang maksimal pada tubuh jika cara
pemberiannya tepat. Misalnya jika racun-racun yang berbentuk gas tentu akan
memberikan efek maksimal bila masuknya ke dalam tubuh secara inhalasi. Jika racun
tersebut masuk ke dalam tubuh secara ingesti tentu tidak akan menimbulkan akibat
yang sama hebatnya walaupun dosis yang masuk ke dalam tubuh sama besarnya.

7
Berdasarkan cara pemberian, maka umumnya racun akan paling cepat bekerja
pada tubuh jika masuk secara inhalasi, kemudian secara injeksi (i.v, i.m, dan s.c),
ingesti, absorbsi melalui mukosa, dan yang paling lambat jika racun tersebut masuk
ke dalam tubuh melalui kulit yang sehat.
2. Keadaan tubuh
a. Umur
Pada umumnya anak-anak dan orang tua lebih sensitif terhadap racun bila
dibandingkan dengan orang dewasa. Tetapi pada beberapa jenis racun seperti
barbiturate dan belladonna, justru anak-anak akan lebih tahan.
b. Kesehatan
Pada orang-orang yang menderita penyakit hati atau penyakit ginjal, biasanya
akan lebih mudah keracunan bila dibandingkan dengan orang sehat, walaupun
racun yang masuk ke dalam tubuhnya belum mencapai dosis toksis. Hal ini dapat
dimengerti karena pada orang-orang tersebut, proses detoksikasi tidak berjalan
dengan baik, demikian pula halnya dengan ekskresinya. Pada mereka yang
menderita penyakit yang disertai dengan peningkatan suhu atau penyakit pada
saluran pencernaan, maka penyerapan racun pada umumnya jelek, sehingga jika
pada penderita tersebut terjadi kematian, kita tidak boleh terburu-buru mengambil
kesimpulan bahwa kematian penderita disebabkan oleh racun. Dan sebaliknya
pula kita tidak boleh tergesa-gesa menentukan sebab kematian seseorang karena
penyakit tanpa melakukan penelitian yang teliti, misalnya pada kasus keracunan
arsen (tipe gastrointestinal) dimana disini gejala keracunannya mirip dengan
gejala gastroenteritis yang lumrah dijumpai.
c. Kebiasaan
Faktor ini berpengaruh dalam hal besarnya dosis racun yang dapat
menimbulkan gejala-gejala keracunan atau kematian, yaitu karena terjadinya
toleransi. Tetapi perlu diingat bahwa toleransi itu tidak selamanya menetap.
Menurunnya toleransi sering terjadi misalnya pada pencandu narkotik, yang dalam
beberapa waktu tidak menggunakan narkotik lagi. Menurunnya toleransi inilah
yang dapat menerangkan mengapa pada para pencandu tersebut bisa terjadi
kematian, walaupun dosis yang digunakan sama besarnya.
d. Hipersensitif (alergi – idiosinkrasi)
Banyak preparat seperti vitamin B1, penisilin, streptomisin dan preparat-
preparat yang mengandung yodium menyebabkan kematian, karena sikorban
8
sangat rentan terhadap preparat-preparat tersebut. Dari segi ilmu kehakiman,
keadaan tersebut tidak boleh dilupakan, kita harus menentukan apakah kematian
korban memang benar disebabkan oleh karena hipersensitif dan harus ditentukan
pula apakah pemberian preparat-preparat mempunyai indikasi. Ada tidaknya
indikasi pemberi preparat tersebut dapat mempengaruhi berat-ringannya hukuman
yang akan dikenakan pada pemberi preparat tersebut.
3. Racunnya sendiri
a. Dosis
Besar-kecilnya dosis racun akan menentukan berat-ringannya akibat yang
ditimbulkan. Dalam hal ini tidak boleh dilupakan akan adanya faktor toleransi,
dan intoleransi individual. Pada intoleransi, gejala keracunan akan tampak
walaupun racun yang masuk ke dalam tubuh belum mencapai level toksik.
Keadaan intoleransi tersebut dapat bersifat bawaan / kongenital atau intoleransi
yang didapat setelah seseorang menderita penyakit yang mengakibatkan gangguan
pada organ yang berfungsi melakukan detoksifikasi dan ekskresi.
b. Konsentrasi
Untuk racun-racun yang kerjanya dalam tubuh secara lokal misalnya zat-zat
korosif, konsentrasi lebih penting bila dibandingkan dengan dosis total. Keadaan
tersebut berbeda dengan racun yang bekerja secara sistemik, dimana dalam hal ini
dosislah yang berperan dalam menentukan berat-ringannya akibat yang
ditimbulkan oleh racun tersebut.
c. Bentuk dan kombinasi fisik
Racun yang berbentuk cair tentunya akan lebih cepat menimbulkan efek bila
dibandingkan dengan yang berbentuk padat. Seseorang yang menelan racun dalam
keadaan lambung kosong, tentu akan lebih cepat keracunan bila dibandingkan
dengan orang yang menelan racun dalam keadaan lambungnya berisi makanan.
d. Adiksi dan sinergisme
Barbiturate, misalnya jika diberikan bersama-sama dengan alkohol, morfin,
atau CO, dapat menyebabkan kematian, walaupun dosis barbiturate yang
diberikan jauh di bawah dosis letal. Dari segi hukum kedokteran kehakiman,
kemungkinan-kemungkinan terjadinya hal seperti itu tidak boleh dilupakan,
terutama jika menghadapi kasus dimana kadar racun yang ditemukan rendah
sekali, dan dalam hal demikian harus dicari kemungkinan adanya racun lain yang
mempunyai sifat aditif (sinergitik dengan racun yang ditemukan), sebelum kita
9
tiba pada kesimpulan bahwa kematian korban disebabkan karena reaksi anafilaksi
yang fatal atau karena adanya intoleransi.
e. Susunan kimia
Ada beberapa zat yang jika diberikan dalam susunan kimia tertentu tidak akan
menimbulkan gejala keracunan, tetapi bila diberikan secara tersendiri terjadi hal
yang sebaliknya.
f. Antagonisme
Kadang-kadang dijumpai kasus dimana seseorang memakan lebih dari satu
macam racun, tetapi tidak mengakibatkan apa-apa, oleh karena reaksi-reaksi
tersebut saling menetralisir satu sama lain. Dalam klinik adanya sifat antagonis ini
dimanfaatkan untuk pengobatan, misalnya nalorfin dan kaloxone yang dipakai
untuk mengatasi depresi pernafasan dan oedema paru-paru yang terjadi pada
keracunan akut obat-obatan golongan narkotik.

2.7 Kriteria diagnosis kasus keracunan


1. Anamnesa yang menyatakan bahwa korban benar-benar kontak dengan racun
(secara injeksi, inhalasi, ingesti, absorbsi, melalui kulit atau mukosa).
Pada umumnya anamnesa tidak dapat dijadikan pegangan sepenuhnya sebagai
kriteria diagnostik, misalnya pada kasus bunuh diri – keluarga korban tentunya
tidak akan memberikan keterangan yang benar, bahkan malah cenderung untuk
menyembunyikannya, karena kejadian tersebut merupakan aib bagi pihak
keluarga korban.
2. Tanda dan gejala-gejala yang sesuai dengan tanda / gejala keracunan zat yang
diduga.
Adanya tanda / gejala klinis biasanya hanya terdapat pada kasus yang bersifat
darurat dan pada prakteknya lebih sering kita terima kasus-kasus tanpa disertai
dengan data-data klinis tentang kemungkinan kematian karena kematian sehingga
harus dipikirkan terutama pada kasus yang mati mendadak, non traumatik yang
sebelumnya dalam keadaan sehat.
3. Secara analisa kimia dapat dibuktikan adanya racun di dalam sisa makanan / obat /
zat yang masuk ke dalam tubuh korban.
Kita selamanya tidak boleh percaya bahwa sisa sewaktu zat yang digunakan
korban itu adalah racun (walaupun ada etiketnya) sebelum dapat dibuktikan secara
analisa kimia, kemungkinan-kemungkinan seperti tertukar atau disembunyikannya

10
barang bukti, atau si korban menelan semua racun – kriteria ini tentunya tidak
dapat dipakai.
4. Ditemukannya kelainan-kelainan pada tubuh korban, baik secara makroskopik
atau mikroskopik yang sesuai dengan kelainan yang diakibatkan oleh racun yang
bersangkutan.
Bedah mayat (otopsi) mutlak harus dilakukan pada setiap kasus keracunan, selain
untuk menentukan jenis-jenis racun penyebab kematian, juga penting untuk
menyingkirkan kemungkinan lain sebagai penyebab kematian. Otopsi menjadi
lebih penting pada kasus yang telah mendapat perawatan sebelumnya, dimana
pada kasus-kasus seperti ini kita tidak akan menemukan racun atau metabolitnya,
tetapi yang dapat ditemukan adalah kelainan-kelainan pada organ yang
bersangkutan.
5. Secara analisa kimia dapat ditemukan adanya racun atau metabolitnya di dalam
tubuh / jaringan / cairan tubuh korban secara sistemik.
Pemeriksaan toksikologi (analisa kimia) mutlak harus dilakukan. Tanpa
pemeriksaan tersebut, visum et repertum yang dibuat dapat dikatakan tidak
memiliki arti dalam hal penentuan sebab kematian. Sehubungan dengan
pemeriksaan toksikologis ini, kita tidak boleh terpaku pada dosis letal sesuatu zat,
mengingat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kerja racun. Penentuan ada
tidaknya racun harus dibuktikan secara sistematik, diagnosa kematian karena
racun tidak dapat ditegakkan misalnya hanya berdasar pada ditemukannya racun
dalam lambung korban.
Dari kelima kriteria diagnostik dalam menentukan sebab kematian pada kasus-kasus
keracunan seperti tersebut di atas, maka kriteria keempat dan kelima merupakan kriteria yang
terpenting dan tidak boleh dilupakan.

2.8 Analitikal Toksikologi


Analitikal toksikologi merupakan pemeriksaan laboratorium yang berfungsi untuk:
1. Analisa tentang adanya racun.
2. Analisa tentang adanya logam berat yang berbahaya.
3. Analisa tentang adanya asam sianida, fosfor dan arsen.
4. Analisa tentang adanya pestisida baik golongan organochlorin maupun
organophospat.

11
5. Analisa tentang adanya obat-obatan misalnya: transquilizer, barbiturate, narkotika,
ganja, dan lain sebagainya.
Analitikal toksikologi meliputi isolasi, deteksi, dan penentuan jumlah zat yang bukan
merupakan komponen normal dalam material biologis yang didapatkan dalam otopsi. Guna
toksikologi adalah menolong menentukan sebab kematian.
Kadang-kadang material didapatkan dari pasien yang masih hidup, misalnya darah,
rambut, potongan kuku atau jaringan hasil biopsi. Hasil toksikologi disini membantu dalam
menentukan kasus-kasus yang diduga keracunan.
Pada pengiriman material untuk analitikal toksikologi, diharapkan dokter
mengirimkan material sebanyak mungkin, dengan demikian akan memudahkan pemeriksaan
dan hasilnya akan lebih sempurna.
Jaringan tubuh masing-masing memiliki afinitas yang berbeda terhadap racun-racun
tertentu, misalnya:
 Jaringan otak adalah material yang paling baik untuk pemeriksaan racun-racun
organis, baik yang mudah menguap maupun yang tidak mudah menguap.
 Hepar dan ginjal adalah material yang paling baik untuk menentukan keracunan
logam berat yang akut.
 Darah dan urin adalah material yang paling baik untuk analisa zat organik non
volatile, misalnya obat sulfa, barbiturate, salisilat dan morfin.
 Darah, tulang, kuku, dan rambut merupakan material yang baik untuk pemeriksaan
keracunan logam yang bersifat kronis.
Untuk racun yang efeknya sistemik, harus dapat ditemukan dalam darah atau organ
parenkim ataupun urin. Bila hanya ditemukan dalam lambung saja maka belum cukup untuk
menentukan keracunan zat tersebut. Penemuan racun-racun yang efeknya sistemik dalam
lambung hanyalah merupakan penuntun bagi seorang analis toksikologi untuk memeriksa
darah, organ, dan urin ke arah racun yang dijumpai dalam lambung tadi. Untuk racun-racun
yang efeknya lokal, maka penentuan dalam lambung sudah cukup untuk dapat dibuat
diagnosa.

2.9 Pemeriksaan kedokteran forensik


---- Korban mati akibat keracunan umumnya dapat dibagi menjadi 2 golongan, yang sejak
semula sudah dicurigai kematian akibat keracunan dan kasus yang sampai saat sebelum di
autopsi dilakukan, belum ada kecurigaan terhadap kemungkinan keracunan.

12
---- Harus dipikirkan kemungkinan kematian akibat keracuan bila pada pemeriksaan
setempat (scene investigation) terdapat kecurigaan akan keracunan, bila pada autopsy
ditemukan kelainan yang lazim ditemukan pada keracunan dengan zat tertentu, misalnya
lebam mayat yang tidak biasa, luka bekas suntikan sepanjang vena dan keluarnya buih dari
mulut dan hidung serta bila pada autopsi tidak ditemukan penyebab kematian.
---- Dalam menangani kasus kematian akibat keracunan perlu dilakukan beberapa
pemeriksaan penting, yaitu :
1. Pemeriksaan di tempat kejadian
Perlu dilakukan untuk membantu penentuan penyebab kematian dan menentukan
cara kematian. Mengumpulkan keterangan sebanyak mungkin tentang saat kematian.
Mengumpulkan barang bukti.
2. Pemeriksaan luar
 Bau. Dari bau yang tercium dapat diperoleh petunjuk racun apa yang kiranya
ditelan oleh korban. Segera setelah pemeriksa berada di samping mayat ia
harus menekan dada mayat untuk menentukan apakah ada suatu bau yang
tidak biasa keluar dari lubang-lubang hidung dan mulut.
 Segera. Pemeriksa harus segera berada di samping mayat dan harus menekan
dada mayat dan menentukan apakah ada suatu bau yang tidak biasa keluar dari
lubang hidung dan mulut.
 Pakaian. Pada pakaian dapat ditemukan bercak-barcak yang disebabkan oleh
tercecernya racun yang ditelan atau oleh muntahan. Misalnya bercak berwarna
coklat karena asam sulfat atau kuning karena asam nitrat.
 Lebam mayat. Warna lebam mayat yang tidak biasa juga mempunyai makna,
karena warna lebam mayat pada dasarnya adalah manifestasi warna darah
yang tampak pada kulit.
 Perubahan warna kulit. Pada hiperpigmentasi atau melanosis dan keratosis
pada telapak tangan dan kaki pada keracunan arsen kronik. Kulit berwarna
kelabu kebirubiruan akibat keraunan perak (Ag) kronik (deposisi perak dalam
jaringan ikat dan korium kulit). Kulit akan berwarna kuning pada keracunan
tembaga (Cu) dan fosfor akibat hemolisis juga pada keracunan insektisida
hidrokarbon dan arsen karena terjadi gangguan fungsi hati.

13
 Kuku. Keracunan arsen kronik dapat ditemukan kuku yang menebal yang
tidak teratur. Pada keracunan Talium kronik ditemukan kelainan trofik pada
kuku.
 Rambut. Kebotakan (alopesia) dapat ditemukan pada keracunan talium, arsen,
ari raksa dan boraks.
 Sklera. Tampak ikterik pada keracunan dengan zat hepatotoksik seperti fosfor,
karbon tetraklorida. Perdarahan pada pemakaian dicoumarol atau akibat bisa
ular.

2.10 Pembedahan Jenazah


---- Segera setelah rongga dada dan perut dibuka, tentukan apakah terdapat bau yang tidak
biasa (bau racun). Bila pada pemeriksaan luar tidak tercium "bau racun" maka sebaiknya
rongga tengkorak dibuka terlebih dahulu agar bau visera perut tidak menyelubungi bau
tersebut, terutama bila dicurigai adalah sianida. Bau sianida, alkohol, kloroform, dan eter
akan tercium paling kuat dalam rongga tengkorak.
--- Perhatikan warna darah. Pada intoksikasi dengan racun yang menimbulkan hemolisis
(bisa ular), pirogarol, hidrokuinon, dinitrophenol dan arsen. Darah dan organ-organ dalam
berwarna coklat kemerahan gelap. Pada racun yang menimbulkan gangguan trombosit, akan
terdapat banyak bercak perdarahan, pada organ-organ. Bila terjadi keracunan yang cepat
menimbulkan kematian, misalnya sianida, alcohol, kloroform maka darah dalam jantung dan
pembuluh darah besar tetap cair tidak terdapat bekuan darah.
---- Pada lidah perhatikan apakah ternoda oleh warna tablet atau kapsul obat atau
menunjukan kelainan disebabkan oleh zat korosif. Pada esophagus bagian atas dibuka sampai
pada ikatan atas diafragma. Adakah terdapat regurgitasi dan selaput lendir diperhatikan akan
adanya hiperemi dan korosi. Pada epiglotis dan glotis perhatikan apakah terdapat hiperemi
atau edema, disebabkan oleh inhalasi atau aspirasi gas atau uap yang meransang atau akibat
regurgitasi dan aspirasi zat yang meransang. Edema glotis juga dapat ditemukan pada
pemakaian akibat syok anafilaktik, misalnya akibat penisilin.
---- Pada pemeriksaan paru-paru ditemukan kelainan yang tidak spesifik, berupa
pembendungan akut. Pada inhalasi gas yang meransang seperti klorin dan nitrogen oksida
ditemukan pembendungan dan edema hebat, serta emfisema akut karena terjadi batuk,
dipsneu dan spasme bronki. Pada lambung dan usus dua belas jari lambung dibuka sepanjang
kurvakura mayor dan diperhatikan apakah mengeluarkan bau yang tidak biasa. Perhatikan isi

14
lambung warnanya dan terdiri dari bahan-bahan apa. Bila terdapat tablet atau kapsul diambil.
dengan sendok dan disimpan secara terpisah untuk mencegah disintegrasi tablet/kapsul. Pada
kasus-kasus non-toksikologik hendaknya pembukaan lambung ditunda sampai saat akhir
otopsi atau sampai pemeriksa telah menemukan penyebab kematian. Hal ini penting karena
umumnya pemeriksa baru teringat pada keracunan setelah pada akhir autopsi ia tidak dapat
menemukan penyebab kematian.
---- Pemeriksaan usus diperlukan pada kematian yang terjadi beberapa jam setelah korban
menelan zat beracun dan ini ingin diketahui berapa lama waktu tersebut. Pada hati apakah
terdapat degenerasi lemak atau nekrosis. Degenerasi lemak sering ditemukan pada peminum
alcohol. Nekrosis dapat ditemukan pada keracunan fosfor, karbon tetraklorida, klorform dan
trinitro toulena.
---- Pada ginjal terjadi perubahan degeneratif, pada kortek ginjal dapat disebabkan oleh
racun yang meransang. Ginjal agak membesar, korteks membengkak, gambaran tidak jelas
dan berwarna suram kelabu kuning. Perubahan ini dapat dijumpai pada keracunan dengan
persenyawaan bismuth, air raksa, sulfonamide, fenol, lisol, karbon tetraklorida. Umumnya
analisis toksikologik ginjal terbatas pada kasus-kasus keracunan logam berat atau pada
pencarian racun secara umum atau pada pemeriksaan histologik ditemukan Kristal-kristal Ca-
oksalat atau sulfonamide.
---- Pemeriksaan urin dilakukan dengan semprit dan jarum yang bersih, seluruh urin
diambil dari kandung kemih. Bila bahan akan dikirim ke kota lain untuk dilakukan
pemeriksaan maka urin dibiarkan berada dalam kandung kemih dan dikirim dengan cara
intoto, prostat dan kedua ureter diikat dengan tali. Walaupun kandung kemih dalam keadaan
kosong, kandung kemih harus tetap diambil untuk pemriksaan toksikologik.
---- Pemeriksaan otak biasanya tidak ditemukan adanya edema otak pada kasus kematian
yang cepat, misalnya pada kematian akibat barbiturat, eter dan juga pada keracunan kronik
arsen atau timah hitam. Perdarahan kecil-kecil dalam otak dapat ditemukan pada keracunan
karbonmonoksida, barbiturat, nitrogen oksida, dan logam berat seperti air raksa air raksa,
arsen dan timah hitam. Obat-obat yang bekerja pada otak tidak selalu terdapat dalam
konsentrasi tinggi dalam jaringan otak.
---- Pada pemeriksaan jantung dengan kasus keracunan karbon monoksida bila korban
hidup selama 48 jam atau lebih dapat ditemukan perdarahan berbercak dalam otot septum
interventrikel bagian ventrikel kiri atau perdarahan bergaris pada muskulus papilaris ventrikel
kiri dengan garis menyebar radier dari ujung otot tersebut sehingga tampak gambaran seperti
kipas.
15
---- Pada pemeriksaan limpa selain pembendungan akut limpa tidak menunjukkan
kelainan patologik. Pada keracunan sianida, limpa diambil karena karena kadar sianida dalam
limpa beberapa kali lebih besar daripada kadar dalam darah. Empedu merupakan bahan yang
baik untuk penentuan glutetimida, quabaina, morfin dan heroin. Pada keracunan karena
inhalasi gas atau uap beracun, paru-paru diambil, dalam botol kedap udara.
---- Jaring lemak diambil sebanyak 200 gram dari jaringan lemak bawah kulit daerah
perut. Beberapa racun cepat di absorpsi dalam jaringan lemak dan kemudian dengan lambat
dilepaskan kedalam darah. Jika terdapat persangkaan bahwa korban meninggal akibat
penyuntikan jaringan di sekitar tempat suntikan diambil dalam radius 5-10 cm.
Pada dugaan keracunan arsen rambut kepala dan kuku harus diambil. Rambut diikat
terlebih dahulu sebelum dicabut, harus berikut akar-akarnya, dan kemudian diberi label agar
ahli toksikologi dapat mengenali mana bagian yang proksimal dan bagian distal. Rambut
diambil kira-kira 10 gram tanpa menggunakan pengawet. Kadar arsen ditentukan dari setiap
bagian rambut yang telah digunting beberapa bagian yang dimulai dari bagian proksimal dan
setiap bagian panjangnya ½ inci atau 1 cm. terhadap setiap bagian itu ditentukan kadar
arsennya.
---- Kuku diambil sebanyak 10 gram, didalamnya selalu harus terdapat kuku-kuku kedua
ibu jari tangan dan ibu jari kaki. Kuku dicabut dan dikirim tanpa diawetkan. Ahli toksikologi
membagi kuku menjadi 3 bagian mulai dari proksimal. Kadar tertinggi ditemukan pada 1/3
bagian proksimal.

2.11 Pengambilan Bahan Pemeriksaan Toksikologik


---- Lebih baik mengambil bahan dalam keadaan segar dan lengkap pada waktu autopsy
daripada kemudian harus mengadakan penggalian kubur untuk mengambil bahan-bahan yang
diperlukan dan melakukan analisis toksikologik atas jaringan yang sudah busuk atau sudah
diawetkan.
---- Pengambilan darah dari jantung dilakukan secara terpisah dari sebelah kanan dan
sebelah kiri masing-masing sebnayak 50 ml. Darah tepi sebanyak 30-50 ml, diambila dari
vena iliaka komunis bukan darah dari vena porta. Pada korban yang masih hidup, darah
adalah bahan yang terpenting, diambil 2 contoh darah masing-masing 5 ml, yang pertama
diberi pengawet NaF 1% dan yang lain tanpa pengawet.
---- Urin dan bilasan lambung diambil semua yang ada didalam kandung kemih untuk
pemeriksaannya. Pada mayat diambil lambung beserta isinya. Usus beserta isinya berguna
terutama bila kematian terjadi dalam waktu beberapa jam setelah menelan racun sehingga

16
dapat diperkirakan saat kematian dan dapat pula ditemukan pil yang tidak hancur oleh
lambung.
---- Organ hati harus diambil setelah disisihkan untuk pemeriksaan patologi anatomi
dengan alasan takaran forensik kebanyakan racun sangat kecil, hanya beberapa mg/kg
sehingga kadar racun dalam tubuh sangat rendah dan untuk menemukan racun, bahan
pemeriksaan harus banyak, serta hati merupakan tempat detoksikasi tubuh terpenting.
---- Ginjal harus diambil keduanya, organ ini penting pada keadan intoksikasi logam,
pemeriksaan racun secara umum dan pada kasus dimana secara histologik ditemukan Ca-
oksalat dan sulfo-namide. Pada otak, jaringan lipoid dalam otak mampu menahan racun.
Misalnya CHCI3 tetap ada walaupun jaringan otak telah membusuk. Otak bagian tengah
penting pada intoksikasi CN karena tahan terhadap pembusukan. Untuk menghidari cairan
empedu mengalir ke hati dan mengacaukan pemeriksaan, sebaiknya kandung empedu jangan
dibuka.
---- Cara lain yang dapat dilakukan untuk mengambil sampel selain dengan cara yang
telah disebutkan, adalah :
1. Tempat masuknya racun (lambung, tempat suntikan)
2. Darah
3. Tempat keluar (urin, empedu)

2.12 Jenis-Jenis Keracunan


1. Keracunan Karbon Monoksida (CO)
----Karbon monoksida (CO) adalah racun yang tertua dalam sejarah manusia. Sejak di
kenal cara membuat api, manusia senantiasa terancam oleh asap yang mengandung
CO. Gas CO adalah gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan tidak meransang
selaput lendir, sedikit lebih ringan dari udara sehingga mudah menyebar.
Pemeriksaan Kedokteran Forensik Keracunan CO
----Diagnosis keracunan CO pada korban hidup biasanya berdasarkan anamnesis
adanya kontak dan di temukannya gejala keracunan CO.
----Pada korban yang mati tidak lama setelah keracunan CO, ditemukan lebam mayat
berwarna merah terang (cherry pink colour) yang tampak jelas bila kadar COHb
mencapai 30% atau lebih. Warna lebam mayat seperti itu juga dapat ditemukan pada
mayat yang di dinginkan, pada korban keracunan sianida dan pada orang yang mati
akibat infeksi oleh jasad renik yang mampu membentuk nitrit, sehingga dalam
darahnya terbentuk nitroksi hemoglobin. Meskipun demikian masih dapat di bedakan

17
dengan pemeriksaan sederhana. Pada mayat yang didinginkan dan pada keracunan
CN, penampang ototnya berwarna biasa, tidak merah terang. Juga pada mayat yang di
dinginkan warna merah terang lebam mayatnya tidak merata selalu masih ditemukan
daerah yang keunguan (livid). Sedangkan pada keracunan CO, jaringan otot, visera
dan darah juga berwarna merah terang. Selanjutnya tidak ditemukan tanda khas lain.
Kadang-kadang dapat ditemukan tanda asfiksia dan hyperemia bertahan hidup lebih
dari ½ jam.
----Pada analisa toksikologik darah akan di temukan adanya COHb pada korban
keracunan CO yang tertunda kematiannya sampai 72 jam maka seluruh CO telak di
eksresi dan darah tidak mengandung COHb lagi, sehingga ditemukan lebam mayat
berwarna livid seperti biasa demikian juga jaringan otot, visera dan darah. Kelainan
yang dapat di temukan adalah kelainan akibat hipoksemia dan komplikasi yang timbul
selama penderita di rawat.
----Otak, pada substansia alba dan korteks kedua belah otak, globus palidus dapat di
temukan petekiae. Kelainan ini tidak patognomonik untuk keracunan CO, karena
setiap keadaan hipoksia otak yang cukup lama dapat menimbulkan petekiae.
Pemeriksaan mikroskopik pada otak memberi gambaran :
 Pembuluh-pembuluh halus yang mengandung trombihialin.
 Nikrosis halus dengan di tengahnya terdapat pembuluh darah yang mengandung
trombihialin dengan pendarahan di sekitarnya, lazimnya di sebut ring
hemorrhage.
 Nikrosis halus yang di kelilingi oleh pembuluh-pembuluh darah yang
mengandung trombi.
 Ball hemorrgae yang terjadi karena dinding arterior menjadi nekrotik akibat
hipoksia dan memecah.
----Pada miokardium di temukan perdarahan dan nekrosis, paling sering di muskulus
papilaris ventrikal kiri. Pada penampang memanjangnya, tampak bagian ujung
muskulus papilaris berbercak-bercak perdarahan atau bergaris-garis seperti kipas
berjalan dari tempat insersio tendinosa ke dalam otak.
----Ditemukan eritema dan vesikal / bula pada kulit dada, perut, luka, atau anggota
gerak badan, baik di tempat yang tertekan maupun yang tidak tertekan. Kelainan
tersebut di sebabkan oleh hipoksia pada kapiler-kapiler bawah kulit.

18
----Pneunomonia hipostatik paru mudah terjadi karena gangguan peredaran darah.
Dapat terjadi trombosis arteri pulmonalis.
2. Keracunan Sianida
----Sianida (CN) merupakan racun yang sangat toksik, karena garam sianida dalam
takaran kecil sudah cukup untuk menimbulkan kematian pada seseorang dengan cepat
seperti bunuh diri yang dilakukan oleh beberapa tokoh nazi.
----Kematian akibat keracunan CN umumnya terjadi pada kasus bunuh diri dan
pembunuhan. Tetapi mungkin pula terjadi akibat kecelakaan di laboratorium, pada
penyemprotan (fumigasi) dalam pertanian dan penyemprotan di gudang-gudang
kapal.
Pemeriksaan Kedokteran Forensik Keracunan Sianida
----Pada pemeriksaan korban mati, pada pemeriksaan bagian luar jenazah, dapat
tercium bau amandel yang patognomonig untuk keracunan CN, dapat tercium dengan
cara menekan dada mayat sehingga akan keluar gas dari mulut dan hidung. Bau
tersebut harus cepat dapat ditentukan karena indra pencium kita cepat teradaptasi
sehingga tidak dapat membaui bau khas tersebut. Harus dingat bahwa tidak semua
orang dapat mencium bau sianida karena kemampuan untuk mencium bau khas
tersebut bersifat genatik sex-linked trait.
----Sianosis pada wajah dan bibir, busa keluar dari mulut, dan lebam mayat berwarna
terang, karena darah vena kaya akan oksi-Hb. Tetapi ada pula yang mengatakan
karena terdapat Cyanmet-Hb.
----Pada pemeriksaan bedah jenazah dapat tercium bau amandel yang khas pada
waktu membuka rongga dada, perutdan otak serta lambung(bila racun melalui mulut)
darah, otot dan penampang tubuh dapat berwarna merah terang. Selanjutnya hanya
ditemukan tanda-tanda asfiksia pada organ tubuh.
----Pada korban yang menelan garam alkalisianida, dapat ditemukan kelainan pada
mukosa lambung berupa korosi dan berwarna merah kecoklatan karena terbentuk
hematin alkali dan pada perabaan mukosa licin seperti sabun. Korosi dapat
mengakibatkan perforasi lambung yang dapat terjadi antemortal atau posmortal.
3. Keracunan Arsen (As)
----Senyawa arsen dahulu sering mengunakan sebagai racun untuk membunuh orang
lain, dan tidaklah mustahil dapat ditemukan kasus keracunan dengan arsen dimasa
sekarang ini. Disamping itu keracunan arsen kadang-kadang dapat terjadi karena
kecelakaan dalam industri dan pertanian akibat memakan/meminum
19
makanan/minuman yang terkontaminasi dengan arsen. Kematian akibat keracunan
arsen sering tidak menimbulkan kecurigaan karena gejala keracunan akutnya
menyerupai gejala gangguan gastrointestinal yang hebat sehingga dapat didiagnosa
sebagai suatu penyakit.
Pemeriksaan Kedokteran Forensik As
----Korban mati keracunan akut. Pada pemeriksaan luar ditemukan tanda-tanda
dehidrasi. Pada pembedahan jenazah ditemukan tanda-tanda iritasi lambung, mukosa
berwarna merah, kadang-kadang dengan perdarahan(flea bitten appearance). Iritasi
lambung dapat menyebabkan produksi musin yang menutupi mukosa dengan akibat
partikel-partikel As berwarna kuning sedangkan As2O3 tampak sebagai partikel
berwarna putih.
----Pada jantung ditemukan perdarahan sub-endokard pada septum. Histologik
jantung menunjukkan infiltrasi sel-sel radang bulat pada miokard. Sedangkan organ
lain parenkimnya berwarna putih.
----Korban mati akibat keracunan arsin. Bila korban cepat meninggal setelah
menghirup arsin, akan terlihat tanda-tanda kegagalan kardiorespirasi akut. Bila
meninggalnya lambat, dapat ditemukan ikterus dengan anemia hemolitik, tanda-tanda
kerusakan ginjal berupa degenerasi lemak dengan nekrosis fokal serta nekrosis tubuli.
----Korban mati akibat keracunan kronik. Pada pemeriksaan luar tampak keadaan gizi
buruk. Pada kulit terdapat pigmentasi coklat (melanosis arsenik).
4. Keracunan Alkohol
----Alkohol banyak terdapat dalam berbagai minuman dan sering menimbulkan
keracunan. Keracunan alkohol menyebabkan penurunan daya reaksi atau kecepatan,
kemampuan untuk menduga jarak dan ketrampilan mengemudi sehingga cenderung
menimbulkan kecelakaan lalu-lintas di jalan, pabrik dan sebagainya. Penurunan
kemampuan untuk mengontrol diri dan hilangnya kapasitas untuk berfikir kritis
mungkin menimbulkan tindakan yang melanggar hukum seperti perkosaan,
penganiayaan, dan kejahatan lain ataupun tindakan bunuh diri.
Pemeriksaan Kedokteran Forensik Keracunan Alkohol
----Pada orang hidup, bau alkohol yang keluar dari udara pernapasan merupakan
petunjuk awal. Petunjuk ini harus dibuktikan dengan pemeriksaan kadar alkohol
darah, baik melalui pemeriksaan udara pernapasan atau urin, maupun langsung dari
darah vena.

20
----Kelainan yang ditemukan pada korban mati tidak khas, Mungkin ditemukan
gejala-gejala yang sesuai dengan asfiksia. Seluruh organ menunjukkan tanda
perbendungan, darah lebih encer, berwarna merah gelap. Mukosa lambung
menunjukkan tanda perbendungan, kemerahan dan tanda inflamasi tapi kadangkadang
tidak ada kelainan.
----Organ-organ termasuk otak dan darah berbau alkohol. Pada pemeriksaan
histopatologik dapat dijumpai edema dan pelebaran pembuluh darah otak dan selaput
otak, degenerasi bengkak keruh pada bagian parenkim organ dan inflamasi mukosa
saluran cerna.
----Pada kasus keracunan kronik yang, meninggal, jantung dapat memperlihatkan
fibrosis interstisial, hipertrofi serabut otot jantung, sel-sel radang kronik pada
beberapa tempat, gambaran seran lintang otot jatunng menghilang, hialinisasi, edema
dan vakuolisasi serabut otot jantung. Schneider melaporkan miopati alhokolik akut
dengan miohemoglobinuri yang disebabkan oleh nekrosis tubuli ginjal dan kerusakan
miokardium.

Jenis Racun Simptomatisnya


Asam kuat (nitrit, hidroklorid, sulfat) Terbakar sekitar mulut, bibir,dan hidung
Anilin (hipnotik, notrobenzen) Kebiruan ”gelap” pada kulit wajah dan leher
Asenik (metal arsenic, mercuri, tembaga, Umumnya seperti diare
dll)
Atropin (belldonna), Skopolamin Dilatasi pupil
Basa kuat (potasium, hidroksida) Terbakar sekitar mulut, bibir, dan hidung
Asam karbolik (atau fenol) Bau seperti disinfektan
Karbon monoksida Kulit merah cerry terang
Sianida Kematian yang cepat, kulit merah, dan bau
yang sedap
Keracunan makanan Muntah, nyeri perut
Senyawa logam Diare, mual-muntah, nyeri perut
Nikotin Kejang-kejang “konvulsi”
Opiat Kontraksi pupil
Asam oksalik (fosfor-oksalik) Bau seperti bawang putih
Natrium Florida Kejang-kejang “konvulsi”
Striknin Kejang “konvulsi”, muka dan leher kebiruan
“gelap”
Tabel 2.12. Racun yang sering menyebabkan keracunan dan simptomatisnya.
2.13 Cara pengiriman sampel
Untuk melakukan pengiriman bahan pemeriksaan forensik, harus memenuhi kriteria :
1. Satu tempat hanya berisi satu contoh bahan pemeriksaan
2. Contoh bahan pengawet harus disertakan untuk kontrol

21
3. Tiap tempat yang telah terisi disegel dan diberi label
4. Hasil autopsi harus dilampirkan secara singkat
5. Adanya surat permintaan dari penyidik
---- Jika jenazah akan diawetkan, maka pengambilan contoh bahan harus dilakukan
sebelum pengawetan. Pada pengambilan contoh bahan dari korban hidup, alkohol tidak dapat
dipakai sebagai disinfektan lokal saat pengambilan darah. Sebagai gantinya dapat digunakan
sublimat 1% atau merkuri klorida 1%.

BAB III

PENUTUP

Kasus Dan Pembahasan

3.1 Kasus
Seorang ayah berumur 27 tahun mengeluh tenggorokannya membengkak, mulut
kering, dan salivanya bercampur darah. Setelah pemeriksaan fisik, dan dilakukan kultur dari
tenggorok, dia didiagnosa menderita infeksi viral pernafasan atas. Dua hari kemudian, pria ini
kembali ke Rumah Sakit mengeluh mengalami pernafasan pendek. Kemudian, selama
dilakukan evaluasi, pasien ini mengalami syok, henti nafas, dan kejang-kejang. Terdapat
penurunan jumlah hematokrit dan peningkatan angka leukosit. Pasien meninggal. Semua
anggota keluarga pasien yang lainnya lalu diperiksa setelah mengeluh gejala-gejala masalah
gastrointestinal. Dokter keluarga yang menangani kemudian menyarankan untuk melakukan
tes pemeriksaan tanah dan air dari lingkungan sekitar tempat tinggal keluarga tersebut.
Ternyata 8 dari 9 anggota keluarga tersebut diketahui menderita intoksikasi arsenic.
Perubahan status mental dan kejang-kejang dijumpai pada 4 orang anggota keluarga. Muntah,
diare, anemia, dan epistaksis dapat terlihat. 3 anggota keluarga kemudian mengalami koma.
Terdapat Leukopenia, eosinophilia, pyuria, proteinuria, dan peningkatan kreatinin serum.
Jumlah air yang dikonsumsi oleh keluarga tersebut berhubungan secara langsung dengan
jumlah arsenic yang ditemukan pada urin mereka. Sampel-sampel air mengandung 108 ppm
(part permillion / bagian perjuta) arsenic. Sampel tanah mengandung 781 sampai 5070 ppm
arsenic pada area sekitar sumur. Kontaminasi dari pestisida dicurigai sebagai penyebab
namun tidak dikonfirmasikan lebih lanjut. Para penyusun tulisan ini berpendapat bahwa

22
lingkungan selayaknya ditenggarai sebagai sumber penyakit ketika diagnosis penyakit adalah
tidak jelas.

3.2 Pembahasan dan Kesimpulan


 Pasien pertama dari anggota keluarga penderita tersebut adalah si ayah, usia 27 tahun.
Yang mendorongnya pertama kali untuk memeriksakan diri ke rumah sakit adalah
keluhan pembengkakan tenggorokan, mulutnya kering, dan salivanya bercampur
dengan darah.
 Pasien tersebut pertama kali didiagnosa menderita infeksi viral saluran pernafasan
atas. Pasien pulang, dan kembali lagi ke rumah sakit dengan keluhan yang lebih berat;
mengeluh mengalami pernafasan pendek. Setelah dievaluasi, pasien syok, terjadi henti
nafas, dan kejang-kejang. Terdapat penurunan jumlah hematokrit dan peningkatan
angka leukosit. Pasien akhirnya meninggal. Sampai sejauh ini belum diketahui
penyebab pasti semua gangguan kesehatan pasien tersebut sampai pada akhirnya ia
meninggal.
 Baru didapatkan titik terang setelah 9 anggota keluarga yang lain datang ke rumah
sakit mengeluhkan terjadi gangguan gastrointestinal.
 Setelah dilakukan pemeriksaan; dari sampel tanah didapatkan kandungan arsen 108
ppm dan dari sampel air didapatkan kandungan arsen sebanyak 781 sampai 5070
ppm.
 Dari kasus di atas dapat diketahui bahwa para pasien dari keluarga tersebut menderita
keracunan arsen di lingkungan tempat tinggal mereka (disekitar sumur sebagai
sumber air keluarga tersebut).
 Gejala-gejala keracunan arsen yang terlihat dari para pasien tersebut antara lain:
 Pernafasan: pernafasan pendek, henti nafas.
 Peredarah darah: epistaksis, syok.
 Susunan syaraf pusat: perubahan status mental, kejang-kejang, koma.
 Saluran pencernaan: pembengkakan tenggorokan, mulut kering, saliva bercampur
darah, muntah, diare.
 Darah: penurunan jumlah hematokrit, peningkatan angka leukosit, anemia,
leukopenia, eosinophilia, pyuria, proteinuria, dan peningkatan kreatinin serum.
 Diduga penyebab kematian pasien pertama adalah racun arsennya telah menyerang
susunan syaraf pusat, sehingga terjadi kematian.

23
 Cara masuknya racun kemungkinan besar lewat mulut (peroral) dari konsumsi air
minum yang bersumber dari sumur yang tercemar arsen.
 Para pasien diduga menderita keracunan arsen yang bersifat kronis, dimana dapat
dilihat dari gejala-gejala kronis utama; anemia dan leucopenia. Hal ini diperkuat
dengan dugaan bahwa arsen berasal dari lingkungan sekitar tempat tinggal, dimana
kontaminasi lingkungan biasanya faktor kronis – telah berlangsung lama.
 Perbedaan berat-ringannya gejala yang tampak pada pasien tergantung oleh banyak
faktor yang mempengaruhinya; keadaan tubuh (umur, status kesehatan pasien –
pengaruh penyakit lain, kebiasaan, hipersensitif – alergi – idiosinkrasi), dosis –
berhubungan dengan jumlah air yang dikonsumsi perorangan, konsentrasi, kombinasi
fisik, sinergisme dan antagonisme dari racun tersebut, dan lain sebagainya.
 Keracunan arsen tersebut kemungkinan besar berasal dari kontaminasi pestisida.
Namun hal ini tidak dikonfirmasi lebih lanjut.
 Tidak diketahui pasti jenis pestisidanya sebagai sumber arsen, apakah dari jenis
golongan arsen organik atau in organik.
 Kasus keracunan arsen pada keluarga ini adalah murni karena pencemaran
lingkungan, tidak disengaja ataupun terdapat indikasi kriminal.
 Lingkungan selayaknya ditenggarai sebagai sumber penyakit ketika diagnosis
penyakit adalah tidak jelas.

24
DAFTAR PUSTAKA

Dharma, M.S. et al. (2008). Investigasi Kematian Dengan Toksikologi Forensik. [Online].
Tersedia : https://yayanakhyar.files.wordpress.com/2008/11/investigasi-kematian-
dengan-toksikologi-forensik-files-of-drsmed.pdf (17 April 2015)

Santoso, J. (Anonim). Forensik Papper. [Online]. Tersedia : http://forpapjs.blogspot.com/ (17


April 2015)

Wirasuta, M.A.G. (2006). Buku Ajar : Toksikologi Umum. [Online]. Tersedia : Buku-Ajar-
Toksikologi-Umum. http://farmasi.unud.ac.id/ind/wp-content/uploads/Buku-Ajar-
Toksikologi-Umum.pdf (17 April 2015)

Wirasuta, M.A.G. (2008). Buku Ajar : Analisis Toksikologi Forensi. [Online]. Tersedia :
http://farmasi.unud.ac.id/ind/wp-content/uploads/Anal-Tok-For-Formatbaru.pdf (17
April 2015)

25

Anda mungkin juga menyukai