Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

KERACUNAN KARBONMONOKSIDA,
SIANIDA, TIMBAL DAN ARSEN

Disusun Oleh :
Anisa Carina 1102015028

Pembimbing:
dr. Suryo Wijoyo, Sp.KF., M.H.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
22 FEBRUARI 2021 – 14 MARET 2021
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha
Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan referat
dengan judul KERACUNAN KARBONMONOKSIDA, SIANIDA, TIMBAL
DAN ARSEN sebagai tugas kepaniteraan Ilmu Kedokteran Forensik RSUD
Kabupaten Bekasi. Tidak lupa shalawat serta salam dipanjatkan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW.

Dalam penulisan referat ini, penulis banyak mendapatkan bantuan baik moril
maupun materil dari berbagai pihak, sehingga tugas ini dapat diselesaikan dengan
baik. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada dr.
Suryo Wijoyo, SP.KF., M.H selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu
dalam membimbing dan memberi masukan kepada penulis dalam penulisan referat
ini, kepada seluruh staf medis dan non medis di bagian ilmu kedokteran forensik
RSUD Kabupaten Bekasi, kepada orang tua penulis yang selalu memberikan doa
dan semangat setiap harinya, serta kepada teman-teman peserta kepaniteraan klinik
bagian forensik di RSUD Kabupaten Bekasi dan seluruh pihak yang penulis tidak
dapat sebutkan satu persatu namanya. Semoga Allah SWT memberikan balasan
yang sebesar-besarnya atas bantuan yang diberikan selama ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih banyak kekurangan dan
kesalahan. Oleh karena itu, penulis menerima segala masukan serta saran yang
bersifat membangun. Semoga referat ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita
semua baik sekarang maupun di hari yang akan datang. Amin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Bekasi, Februari 2021

1
DAFTAR ISI

Judul ........................................................................................................................ 0

Kata Pengantar ........................................................................................................ 1

Daftar Isi.................................................................................................................. 2

Bab I Pendahuluan .................................................................................................. 3

1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 3

1.2 Tujuan Penulisan............................................................................................ 3

Bab II Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 4

2.1 Definisi Toksikologi .................................................................................... 4

2.2 Klasifikasi Racun ........................................................................................ 4

2.3 Faktor yang Memengaruhi Tubuh .............................................................. 5

2.4 Kriteria Diagnosis Kasus Keracunan .......................................................... 6

2.5 Pemeriksaan Kedokteran Forensik ............................................................. 7

2.6 Keracunan Karbonmonoksida (CO) ........................................................... 9

2.7 Keracunan Sianida .................................................................................... 16

2.8 Keracunan Timbal..................................................................................... 20

2.9 Keracunan Arsen....................................................................................... 21

Bab III Kesimpulan ............................................................................................... 27

Daftar Pustaka ....................................................................................................... 28

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Toksikologi merupakan ilmu yang berkaitan dengan racun. Racun dianggap
sebagai substansi yang ketika digunakan dalam jumlah yang cukup akan
menyebabkan penyakit atau jumlah yang cukup akan menyebabkan penyakit
atau kematian.
Toksikologi forensik lebih ditekankan pada deteksi dan estimasi racun pada
jaringan dan cairan tubuh yang didapatkan pada otopsi atau pada darah, urin,
atau cairan lambung pada korban hidup. Jika hasil analisis toksikologi telah
lengkap, ahli toksikologi dapat menginterpretasikan hasil sebagai efek fisik dan
atau psikologis dari racun pada seseorang yang diambil sampel tubuhnya untuk
diperiksa. Pemeriksaan forensik dalam kasus keracunan, dapat dibagi dalam
dua kelompok, yaitu atas dasar tujuan pemeriksaan itu sendiri. Pertama,
betujuan untuk mencari penyebab kematian, misalnya karena keracunan
sianida, karbonmonoksida, insektisida, dan lain sebagainya. Kedua, untuk
mengetahui mengapa suatu peristiwa dapat terjadi, misalnya kasus
pembunuhan, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan pesawat udara, pemerkosaan,
dan lain-lain.

1.2 Tujuan Penulisan


1. Penulisan referat ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami tentang
keracunan karbonmonoksida, sianida, timbal dan arsen.
2. Memenuhi sebagian syarat mengikuti ujian Program Pendidikan Profesi di
Bagian Ilmu Kedokteran Forensik RSUD Kabupaten Bekasi.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Toksikologi


Toksikologi (berasal dari kata Yunani, toxicos dan logos) merupakan studi
mengenai perilaku dan efek yang merugikan dari suatu zat terhadap
organisme/mahluk hidup. Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari sumber,
sifat, serta khasiat racun, gejala-gejala dan pengobatan pada keracunan, serta
kelainan yang di dapatkan pada korban yang meninggal. Racun adalah zat
yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan fisiologik yang dalam dosis
toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan atau mengakibatkan kematian.
Sedangkan toksikologi forensik adalah penerapan ilmu toksikologi terhadap
berbagai permasalahan kriminalitas dimana obat-obatan dan bahan-bahan
kimia yang dapat menimbulkan masalah konsekuensi medikolegal serta untuk
menjadi bukti pengadilan. Toksikologi Forensik juga dapat didefinsikan
sebagai ilmu yang mempelajari tentang racun dan pengidentifikasian bahan
racun yang diduga ada dalam jaringan, organ maupun cairan tubuh korban1,2.
Aspek utama yang menjadi perhatian khusus dalam toksikologi forensik
bukanlah keluaran aspek hukum dari investigasi secara toksikologi, melainkan
mengenai teknologi dan teknik dalam memperoleh serta menginterpretasi
hasil seperti perilaku zat, sumber penyebab keracunan atau pencemaran,
metode pengambilan sampel dan metode analisa, interpretasi data terkait
dengan gejala atau efek yang timbul disertai dengan bukti lain yang tersedia2.

2.2 Klasifikasi Racun


Berdasarkan sumber dapat digolongkan menjadi racun yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan; opium, kokain, kurare, aflatoksin. Dari hewan;
bisa/toksin ular/laba-laba/hewan laut. Mineral; arsen, timah hitam. Dan
berasal dari sintetik; heroin. Berdasarkan tempat dimana racun berada, dapat
dibagi menjadi racun yang terdapat di alam bebas, misalnya gas racun di
alam, racun yang terdapat di rumah tangga misalnya deterjen, disinfektan,
insektisida, pembersih (cleaners), racun yang digunakan dalam pertanian

4
misalnya insektisida, herbisida, pestisida. Racun dalam industri laboratorium
misalnya asam kuat, basa kuat, dan logam berat. Racun yang terdapat dalam
makanan misalnya sianida (CN) dalam singkong, toksin botulinus, bahan
pengawet, zat adiktif, serta racun dalam bentuk obat mislanya sedatif,
hipnotik, dan lain-lain.
Berdasarkan cara kerja atau efek yang ditimbulkan, ada racun yang bekerja
lokal dan menimbulkan beberapa reaksi perangsangan, peradangan, atau
korosif. Ada pula yang menyebabkan nyeri hebat hingga syok neurogenik
(kematian). Contoh racun korosif adalah asam dan basa kuat: H2SO4, HNO3,
NaOH, KOH; golongan halogen seperti fenol, lisol dan senyawa logam.

2.3 Faktor yang Memengaruhi Tubuh


Berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya keracunan:
1. Cara masuk. Keracunan paling cepat terjadi jika masuknya secara
inhalasi. Cara masuk lain berturut-turut adalah intravena,
intramuskular, intraperitoneal, subkutan, peroral, dan paling lambat
yaitu melalui kulit yang sehat.
2. Umur. Orang tua dan anak-anak cenderung lebih sensitif misalnya
pada barbiturat. Bayi prematur lebih rentan terhadap obat karena
ekskresi melalui ginjal belum sempurna dan aktifitas mikrosom hati
belum cukup.
3. Kondisi tubuh. Penderita penyakit ginjal umumnya lebih mudah
mengalami keracunan. Pada penderita demam dan penyakit lambung,
absorbsi dapat terjadi secara lambat. Bentuk fisik seperti kondisi
lambung berisi ataupun kosong juga mempengaruhi.
4. Kebiasaan. Kebiasaan sangat berpengaruh pada racun golongan
alkohol dan morfin sebab dapat terjadi toleransi.
5. Idiosinkrasi dan alergi
6. Waktu pemberian. Untuk racun yang ditelan, jika ditelan sebelum
makan, absorbsi terjadi lebih baik sehingga efek akan timbul dalam
waktu yang cepat.

5
2.4 Kriteria Diagnosis Kasus Keracunan
1. Anamnesa yang menyatakan bahwa korban benar-benar kontak dengan
racun (secara injeksi, inhalasi, ingesti, absorbsi, melalui kulit atau
mukosa).
Pada umumnya anamnesa tidak dapat dijadikan pegangan sepenuhnya
sebagai kriteria diagnostic, misalnya pada kasus bunuh diri, keluarga
korban tentunya tidak akan memberikan keterangan yang benar bahkan
malah cenderung untuk menyembunyikannya, karena kejadian tersebut
merupakan aib bagi pihak keluarga korban.
2. Tanda dan gejala-gejala yang sesuai dengan tanda / gejala keracunan zat
yang diduga.
Adanya tanda dan gejala klinis biasanya hanya terdapat pada kasus yang
bersifat darurat dan pada prakteknya lebih sering kita terima kasus-kasus
tanpa disertai dengan data-data klinis tentang kemungkinan kematian
karena kematian sehingga harus dipikirkan terutama pada kasus yang mati
mendadak, non traumatik yang sebelumnya dalam keadaan sehat.
3. Secara analisa kimia dapat dibuktikan adanya racun di dalam sisa
makanan / obat / zat yang masuk ke dalam tubuh korban.
Kita selamanya tidak boleh percaya bahwa sisa sewaktu zat yang
digunakan korban itu adalah racun (walaupun ada etiketnya) sebelum
dapat dibuktikan secara analisa kimia, kemungkinan-kemungkinan seperti
tertukar atau disembunyikannya barang bukti, atau si korban menelan
semua racun – kriteria ini tentunya tidak dapat dipakai.
4. Ditemukannya kelainan-kelainan pada tubuh korban, baik secara
makroskopik atau mikroskopik yang sesuai dengan kelainan yang
diakibatkan oleh racun yang bersangkutan.
Bedah mayat (otopsi) mutlak harus dilakukan pada setiap kasus keracunan,
selain untuk menentukan jenis-jenis racun penyebab kematian, juga
penting untuk menyingkirkan kemungkinan lain sebagai penyebab
kematian. Otopsi menjadi lebih penting pada kasus yang telah mendapat
perawatan sebelumnya, dimana pada kasus-kasus seperti ini kita tidak

6
akan menemukan racun atau metabolitnya, tetapi yang dapat ditemukan
adalah kelainan-kelainan pada organ yang bersangkutan.
5. Secara analisa kimia dapat ditemukan adanya racun atau metabolitnya di
dalam tubuh / jaringan / cairan tubuh korban secara sistemik.
Pemeriksaan toksikologi (analisa kimia) mutlak harus dilakukan. Tanpa
pemeriksaan tersebut, visum et repertum yang dibuat dapat dikatakan tidak
memiliki arti dalam hal penentuan sebab kematian. Sehubungan dengan
pemeriksaan toksikologis ini, kita tidak boleh terpaku pada dosis letal
sesuatu zat, mengingat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kerja
racun. Penentuan ada tidaknya racun harus dibuktikan secara sistematik,
diagnosa kematian karena racun tidak dapat ditegakkan misalnya hanya
berdasar pada ditemukannya racun dalam lambung korban.

Dari kelima kriteria diagnostik dalam menentukan sebab kematian pada kasus-
kasus keracunan seperti tersebut di atas, maka kriteria keempat dan kelima
merupakan kriteria yang terpenting dan tidak boleh dilupakan.

2.5 Pemeriksaan Kedokteran Forensik


Korban mati akibat keracunan umumnya dibagi menjadi dua golongan, yaitu
sejak semula sudah dicurigai kematian diakibatkan oleh keracunan dan kasus
yang sampai saat sebelum otopsi dilakukan, belum ada kecurigaan terhadap
kemungkinan keracunan. Harus dipikirkan kemungkinan kematian akibat
keracunan bila pada pemeriksaan setempat (scene investigation) terdapat
kecurigaan akan keracunan, bila pada otopsi ditemukan kelaianan yang lazim
ditemukan pada keracunan dengan zat tertentu mislanya lebam mayat yang
tidak biasa (cherry pink color pada keracunan CO; merah terang pada
keracunan CN; kecokelatan pada keracunan nitrit, nitrat, anilin, fenasetin, dan
kina), luka bekas suntikan sepanjang vena dan keluarnya buih dari mulut dan
hidung (keracaunan morfin), bau amandel (keracunan CN) atau bau kutu
busuk (pada kercaunan malation) serta bila di otopsi tidak ditemukan sebab
kematian (negative autopsy).

7
Dalam menangani kasus keracunan perlu dilakukan beberapa pemeriksaan
penting yaitu: pemeriksaan di tempat kejadian, pemeriksaan luar, otopsi, dan
analisis toksikologi.

1. Pemeriksaan ditempat kejadian


Pemeriksaa di tempat kejadian penting untuk membantu menentukan
penyebab kematian dan menentukan cara kematian. Pemeriksa harus
ditujukan untuk menjelaskan apakah mungkin orang itu mati akibat
keracunan, misalnya dengan memeriksa tempat obat atau
pembungkusnya. Bila terdapat muntahan, apakah berbau fosfor (bau
bawang putih), bagaimana sifat muntahan misal seperti bubuk kopi (zat
kaustik), bewarna hitam (H2SO4 pekat), kuning (HNO3), biru kehiajuan
(CuSO4). Apakah terdapat gelas atau alat minum lain, atau ada surat
perpisahan/peninggalan jika merupakan kasus bunuh diri.
Mengumpulkan keterangan sebanyak mungkin tentang saat kematian,
kapan terakhir kali ditemukan dalam keadaan sehat, berapa lama gejala
yang ditimbulkan dan apa saja gejalanya, bila sebelumnya sudah sakit
tanyakan apa penyakitnya, obat apa yang diberikan, dan siapa yang
memberikannya. Tanyakan pula bagimana kondisi emosi korban serta
mengumulkan barang bukti.
2. Pemeriksaan luar
Bau. Dari bau yang tercium dapat diperoleh petunjuk racun apa yang
kiranya ditelan oleh korban setiap kasus keracunan pemeriksa harus
memperhatijan bau yang tercium dari pakaian, lubang hidug, mulut, serta
rongga badan. Pada saat melakukan pemeriksaan, pemeriksa harus
menekan dada mayat dan menentukan apakah ada bau yang tidak biasa
keluar dari lubang-lubang hidung atau mulut.
Pakaian. Pada pakaian dapat ditemukn bercak yang disebabkan
tercecernya racun yang ditelan atau muntahan. Misalnya bercak bewarna
cokelat karena asam sulfat atau kekuningan karena asam nitrat.
Perhatikan juga lebam mayat, pemeriksaan kulit untuk mencari bekas
suntikan yang baru, dan perubahan kulit, kuku, rambut, dan sklera.
3. Pembedahan jenazah

8
Yang perlu diperhatikan pada pembedahan jenazah yaitu inspeksi insitu;
perhatikan warna otot dan alat organ, perhatikan warna darah, idah,
esophagus, epiglottis, paru-paru, lambung, usus, hati, ginjal, otak,
jantung, limpa empedu, dan daerah sekitar bekas suntikan

2.6 Keracunan Karbonmonoksida (CO)


Karbon dan oksigen yang bergabung akan membentuk senyawa karbon
monoksida (CO) sebagai hasil pembakaran senyawa organik yang tidak
sempurna dan karbon dioksida (CO2) sebagai hasil pembakaran sempurna.
Karbon monoksida merupakan senyawa yang tidak berbau, tidak berasa dan
pada suhu udara normal berbentuk gas yang tidak berwarna. CO terbentuk
apabila terdapat kekurangan oksigen dalam proses pembakaran. CO
mempunyai potensi bersifat racun yang berbahaya karena mampu
membentuk ikatan yang kuat dengan pigmen darah yaitu hemoglobin menjadi
karboksihemoglobin (COHb).
Saat CO terinhalasi, akan mengambil posisi oksigen yang berikatan dengan
hemoglobin, dimana normalnya hemoglobin akan mengangkut oksigen ke
seluruh tubuh. Efeknya kumulatif dan bertahan lama, menyebabkan
kekurangan pengangkutan oksigen ke jaringan. Depresi miokard, vasolidatasi
perifer, dan distrimia ventrikel berperan dalam terjadi hipotensi, penurunan
perfusi jaringan dan selanjutnya terjadi hipoksia jaringan 3. Pemberian udara
segar yang lama (atau oksigen murni) dibutuhkan untuk melepaskan ikatan
antara CO dan haemoglobin3,4.

Gambar 1. Oksihemoglobin dan Karboksihemoglobin

9
Salah satu sumbernya adalah motor yang menggunakan bensin sebagai bahan
bakar (spark ignition), sumber lainnya yaitu cerobong asap, dan alat pemanas
bahan bakar gas. Pada alat pemanas air jelaga yang tidak dibersihkan dat
memudahkan terjadinya produksi gas CO yang berlebihan.

Manifestasi Klinis
Gejala keracunan CO didahului dengan sakit kepala, mual, muntah, rasa lelah,
berkeringat banyak, pireksia, pernafasan meningkat, gangguan penglihatan,
kebingungan, hipotensi, takikardi, kehilangan kesadaran dan sakit dada
mendadak.
Tabel 1. Hubungan antara gejala dengan kadar COHb dalam darah
% COHb Gejala
0-10 Tidak ada keluhan maupun gejala
10-20 Rasa berat di kepala, sedikit sakit kepala, pelebaran pembuluh
darah kulit
20-30 Sakit kepala menusuk-nusuk pada pelipis
30-40 Sakit kepala hebat, lemah, dizziness, padangan jadi kabur,
mausea, muntah-muntah
40-50 Sinkope, nadi dan pernafasan menjadi cepat
50-60 Sinkope, nadi dan pernafasan menjadi cepat, koma, kejang
yang intermetten
60-70 Koma, kejang yang intermitten, depresi jantung dan
pernafasan
70-80 Nadi lemah, pernafasan lambat, kegagalan pernafasan dan
meninggal dalam beberapa jam
80-90 Meninggal dalam waktu kurang dari satu jam
> 90 Meninggal dalam beberapa menit

Namun untuk beberapa kasus, kadar COHb tidak berkorelasi dengan tingkat
keparahan gejala. Pada orang tua dan orang yang menderita penyakit berat
seperti penyakit arteri koroner atau penyakit paru obstruktif kronik, kadar
COHb 20-30% sudah dapat bersifat fatal. Selain itu, pada studi yang
dilakukan terhadap binatang, tranfusi darah dengan kadar COHb yang tinggi
namun dengan kadar CO bebas yang minimal tidak menghasilkan gejala
klinis atau gejalanya minimal. Hal ini mengidikasikan bahwa adanya CO
bebas yang terlarut dalam plasma berperan penting dalam menimbulkan
gejala pada intoksikasi CO.

10
Pada korban koma dapat ditemukan sianosis dan pucat, pernafasan cepat,
mungkin pernafasan Chyne-stokes, menjelang kematian pernafasan menjadi
lembat. Nadi cepat dan lemah, tekanan darah rendah, pupil melebar, dan
reaksi cahaya menghilang, suhu tubuh dibawah normal, pada keadaan
terminal mungkin dapat terjadi hipertermia. Pada EKG mungkin ditemukan
gelombang T mendatar atau negatif, tanda insufisiensi koroner, ekstrasistol,
dan fibrilasi atrium. Pada pemeriksaan laboratorium mungkin dijumpai
leukositosis, hiperglikemia dengan glukosuria, albuminuria, dan peningkatan
SGOT, MDH, dan SDH serum.

Pemeriksaan Fisik Keracunan Karbonmonoksida


Pada pemeriksaan fisik keracunan gas karbonmonoksida hidup ditemukan:

Tabel 2. Pemeriksaan fisik keracunan gas karbonmonoksida pada korban


hidup
No. Pemeriksaan Tanda
 Takikardia
 Hipertensi/hipotesis
 Hipotermi, tetapi pada keadaan terminal
1. Vital Sign mungkin hipertermi
 Takipneu, mungkin terjadi pernafasan
Cheyne Stoke ( pada intoksikasi berat pada
umunya pernafasan menjadi lambat)
 Umumnya pucat
2. Kulit  Tanda klasik cherry red sangatlah jarang
(hanya tampak setelah meninggal)
 Pupil melebar dan reaksi cahaya
menghilang (pada keadaan koma)
 Pendarahan retina
3. Mata  Vena retina berwarna merah terang
(tanda-tanda awal yang sensitif)
 Papil edema
 Homonim hemianopsia
 Pneumonia dan ederma paru non
4. Paru-paru
kardiologis
 Gangguan neurologis dan atau
neuropsikiatri
 Gangguan daya ingat (amnesia retrograde
5. Sistem Saraf Pusat
dan anteograde)
 Emoasi yang labil, sulit untuk mengambil
keputusan dan menurunkan kognitif

11
 Stupor sampai koma
 Apraksia, agnosia, gangguan TIC,
gangguan pendengaran dan
keseimbangan, kebutaan dan gangguan
psikis. Hal tersebut oleh karena paparan
jangka panjang atau paparan yang berat
meskipun akut akan meninggalkan
sequelae neuropsikiatri jangan panjang
6. Darah  Pada korban yang masih hidup, darah
adalah bahan yang terpenting, darah di
ambil dari vena secepat mungkin karena
ikatan CO-Hb cepat terrurai kembali
menjadi CO dan keluar tubuh
 Pada pemeriksaan laboratorium mungkin
dijumpai leukositosis, hiperlikemia,
dengan glukosuria (dalam waktu 3-4 hari),
albuminuria peningkatan BUN dan
peningkatan SGOT. Perubahan kadar
gama globulin juga pernah dilaporkan.
7. Urin  Pada pemeriksaan urin didapatkan positif
untuk albumin dan glukosa pada
keracunan kronis
8. Wanita hamil  Pemerikasaan yang dilakukan sama dengan
yang di bicarakan di atas, yang perlu
diperhatikan adalah akumulasi CO di janin
10- 15% lebih tinggi di banding darah.
Waktu paruh HbCO pada janin adalah 7-9
jam.

Pemeriksaan Tambahan Pada Korban Hidup (Putu, 2015):


a. Analisa Gas Darah
Akan didapatkan tingkat PCO2 mungkin normal atau serdikit menurun.
Gambaran Asidosis metabolik terjadi sekunder karena asidosis laktat
dari iskemia.
b. Foto Thoraks
Diperlukan pada keracunan yang signifikan, gejala pulmonal, atau bila
akan diterapi dengan oksigen hiperbarik. Pada umumnya gambaran foto
thoraks tidak didapatkan kelainan. Gambaran ground glass, kesuraman
perihilus dan edema intra alveolar menunjukan prognosa yang buruk.
c. CT-Scan
Diperlukan pada keadaan intoksikasi berat atau perubahan status mental
yang tidak segera hilang. Tampak adanya edema serebri dan lesi fokal,

12
kebanyakan berupa daerah yang lebih gelap di basal ganglia. Hasil CT-
Scan positif secara umum dapat memperkirakan timbulnya komplikasi
neurologis. CT-Scan serial diperlukan bila terjadai perubahan status
mental.
d. MRI
MRI lebih akurat dibanding dengan CT-Scan dalam menentukan lesi
fokal dan demielinisasi substansia alba. MRI juga sering digunakan
untuk memantau kemajuan pasien.
e. EKG
Sinus takikardi adalah kelainan yang paling sering tejadi. Aritmia
mungkin terjadi akibat hipoksi, iskemia atau infark. Mungkin juga
ditemukan gelombang T mendatar atau negatif, tanda insufiensi
koroner, ekstrasistol dan fibrilasi atrium.
f. Pengujian Neuropsikologik
Pengujian yang dilakukan diantaranya pengujian konsentrasi, fungsi
motorik halus, dan pemecahan masalah secara konsisten.

Pemeriksaan Kedokteran Forensik Keracunan Karbonmonoksida


Khas warna lebam mayat merah terang (cherry red) baik permukaan tubuh,
membran mukosa, kuku jari, namun warna ini tidak sama di seluruh tubuh
misal tubuh bagian depan, leher dan paha berwarna lebih terang dibanding
dengan yang lain. Warna cherry red ini khususnya terdapat di daerah
hipostasis post mortem dan menunjukkan kejernihan kadar COHb telah
melampaui 30%. Pada pemeriksaan warna cherry red ini dibutuhkan
pencahayaan yang baik karena tidak semua warna cherry red yang ditemukan
dalam pemeriksaan luar jenazah sebagai indikator pasti untuk menentukan
adanya keracunan gas karbonmonoksida.

13
Gambar 2. Keracunan karbonmonoksida (CO) akan menyebabkan kulit
berwarna kemerahan.

Pada mayat yang didinginkan dan pada keracunan CN, penampang ototnya
berwarna biasa, tidak merah terang. Juga pada mayat yang di dinginkan warna
merah terang lebam mayatnya tidak merata selalu masih ditemukan daerah
yang keunguan (livid). Sedangkan pada keracunan CO, jaringan otot, visera
dan darah juga berwarna merah terang. Selanjutnya tidak ditemukan tanda
khas lain. Kadang-kadang dapat ditemukan tanda asfiksia dan hiperemia
visera. Pada otak besar dapat ditemukan petekiae di substansia alba bila
korban dapat bertahan hidup lebih dari ½ jam.

Pada analisa toksikologik darah akan di temukan adanya COHb pada korban
keracunan CO yang tertunda kematiannya sampai 72 jam maka seluruh CO
telak di eksresi dan darah tidak mengandung COHb lagi, sehingga ditemukan
lebam mayat berwarna livid seperti biasa, demikian juga jaringan otot, visera,
dan darah. Kelainan yang dapat di temukan adalah kelainan akibat
hipoksemia dan komplikasi yang timbul selama penderita di rawat.

Otak, pada substansia alba dan korteks kedua belah otak, globus palidus dapat
di temukan petekiae. Kelainan ini tidak patognomonik untuk keracunan CO,
karena setiap keadaan hipoksia otak yang cukup lama dapat menimbulkan
petekiae. Pemeriksaan mikroskopik pada otak memberi gambaran:
1. Pembuluh-pembuluh halus yang mengandung trombihialin.
2. Nekrosis halus dengan di tengahnya terdapat pembuluh darah yang
mengandung trombihialin dengan pendarahan di sekitarnya, lazimnya
di sebut ring hemorrhage.

14
3. Nekrosis halus yang di kelilingi oleh pembuluh-pembuluh darah yang
mengandung trombi.
4. Ball hemorrage yang terjadi karena dinding arterior menjadi nekrotik
akibat hipoksia dan memecah.

Pada miokardium di temukan perdarahan dan nekrosis, paling sering di


muskulus papilaris ventrikal kiri. Pada penampang memanjangnya, tampak
bagian ujung muskulus papilaris berbercak-bercak perdarahan atau bergaris-
garis seperti kipas berjalan dari tempat insersio tendinosa ke dalam otak.
Ditemukan eritema dan vesikal / bula pada kulit dada, perut, luka, atau
anggota gerak badan, baik di tempat yang tertekan maupun yang tidak
tertekan. Kelainan tersebut di sebabkan oleh hipoksia pada kapiler-kapiler
bawah kulit.
Pneumonia hipostatik paru mudah terjadi karena gangguan peredaran darah.
Dapat terjadi trombosis arteri pulmonalis.

Penatalaksanaan Keracunan Karbonmonoksida


Pertolongan pertama pada seseorang yang keracunan karbon monoksida
adalah menjauhkan dari sumber karbon monoksida. Korban harus diberikan
oksigen murni. Korban keracunan gas CO ini harus diistirahatkan dan
diusahakan tenang. Meningkatnya gerakan otot menyebabkan meningkatnya
kebutuhan oksigen sehingga persediaan oksigen untuk otak dapat berkurang.
BP atau batas paparan dalam lingkungan industri 35 ppm. Keracunan dapat
terjadi melalui inhalasi gas karbon monoksida atau uap metilen klorida, dan
juga keracunan metilen klorida melalui mulut. Akibat keracunan
karbonmonoksida terutama dispnea.
1. Tindakan penanggulangan dan tindakan gawat darurat
a. Untuk menghindari kontak selanjutnya, penderita harus segera
dipindahkan.
b. Berikan oksigen 100% dengan masker, sampai kadar
karboksihemoglobin tidak membahayakan. Kadar
karboksihemoglobin akan berkurang sampai 50% dalam waktu 1-2

15
jam. Jika kadar karboksihemoglobin dalam darah lebih dari 20%
perlu terapi oksigen hiperbarik.
c. Jika terjadi depresi pernapasan, berikan pernapasan buatan dengan
oksigen 100% sampai pernapasan kembali normal.
2. Antidotum: oksigen yang diberikan pada tindakan gawat darurat
merupakan antidote terhadap keracunan karbon monoksida.
3. Tindakan umum
a. Usahakan suhu badan normal. Turunkan suhu badan, jika terjadi
hipertermia.
b. Perhatikan tekanan darah penderita.
c. Untuk mengurangi edema serebral, berikan manitol 1 g / kg sebagai
larutan 20% secara IV dalam waktu lebih dari 20 menit. Untuk
mengatasi edema serebral, berikan prednisolon 1 mg / kg secara IV
atau IM tiap 4 jam, atau obat golongan kortikosteroid lain yang
setara.
d. Jika terjadi radang paru karena infeksi bakteri, berikan obat yang
spesifik.
e. Untuk mengurangi kemungkinan terjadi komplikasi neurologik yang
timbul kemudian, perlu istirahat di tempat tidur selama 2-4 minggu.
f. Atasi konvulsi atau hiperaktivitas yang terjadi dengan diberi
diazepam 0.1 mg / kg secara IV perlahan-lahan.
4. Follow up
a. Pasien rawat inap
Memerlukan monitoring yang berkala
Pada beberapa kasus yang berat perlu dirawat di ICCU
b. Pasien rawat jalan
Penderita tanpa gejala dengan tingkat COHb dibawah 10%
Bisa dilakukan terapi O2 hiperbarik untuk membersihkan kadar CO
dalam darah.

2.7 Keracunan Sianida


Sianida berasal dari bahasa Yunani yang berarti “biru” yang mengacu pada
hidrogen sianida yang disebut Blausäure (“blue acid”) di Jerman. Sianida

16
merupakan senyawa kimia dari kelompok siano, yang memiliki 3 buah atom
karbon yang berikatan dengan nitrogen (C=N), dan dikombinasi dengan
unsur-unsur lain seperti kalium atau hidrogen5.
Sianida (CN) merupakan racun yang sangat toksik, karena garam sianida
dalam takaran kecil sudah cukup untuk menimbulkan kematian pada
seseorang dengan cepat seperti bunuh diri yang dilakukan oleh beberapa
tokoh nazi. Kematian akibat keracunan CN umumnya terjadi pada kasus
bunuh diri dan pembunuhan. Tetapi mungkin pula terjadi akibat kecelakaan
di laboratorium, pada penyemprotan (fumigasi) dalam pertanian dan
penyemprotan di gudang-gudang kapal.
Sianida dapat masuk ke dalam tubuh melalui mulut, inhalasi, dan kulit.
Setelah masuk sianida akan berikatan dengan pembuluh darah menuju
sirkulasi. Takaran toksik per oral untuk HCN adalah 60-90 mg, sedangkan
KCN atau NaCN adalah 200 mg. Gas CN 200-400 ppm akan menyebabkan
kematian dalam 30 menit sedangkan gas CN 20000 ppm akan menyebabkan
meninggal seketika.

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis keracunan sianida sebagian besar merupakan gambaran
dari hipoksia intraseluler. Tanda dan gejala ini biasanya terjadi kurang dari 1
menit setelah menghirup dan dalam beberapa menit setelah konsumsi.
Manifestasi awal neurologis termasuk kecemasan, sakit kepala dan pusing.
Pasien tidak dapat memfokuskan mata dan terjadi midriasis yang dapat
disebabkan oleh hipoksia. Hipoksia yang berlanjut dapat berkembang
menjadi penurunan kesadaran, kejang dan koma5.
Keracunan sianida akut pada pasien kemungkinan memiliki kulit normal atau
penampilan sedikit ashen meskipun juga hipoksia dan saturasi oksigen arteri
juga mungkin normal. Pada keracunan sianida tanda-tanda awal pada sistem
respirasi berupa pernapasan yang cepat dan dalam. Perubahan pernafasan ini
terjadi karena adanya stimulasi pada kemoreseptor perifer dan sentral dalam
batang otak dalam upaya mengatasi hipoksia jaringan5.
Manifestasi klinis kardiovaskular pada pasien dengan keracunan sianida
awalnya pasien akan mengalami gejala palpitasi, diaphoresis, pusing atau

17
kemerahan. Selain itu, juga terjadi peningkatan curah jantung dan tekanan
darah yang disebabkan oleh adanya pengeluaran katekolamin. Selain terjadi
vasodilatasi pembuluh darah, hipootensi, dan penurunan kemampuan
inotropik jantung, sianida juga menekan nodus sinoatrial (SA node) dan
menyebabkan terjadinya aritmia serta mengurangi kekuatan kontraksi
jantung. Dengan demikian, selama terjadi keracunan sianida, status
hemoodinamik pasien menjadi tidak stabil, karena adanya aritmia ventrikel,
bradikardia, blok jantung, henti jantung dan kematian5.

Pemeriksaan Fisik Keracunan Sianida


Menurut Cahyawati (2017) adapun beberapa metode yang digunakan untuk
diagnosis kasus keracunan sianida adalah:
a. Mengamati tanda-tanda dan gejala klinis spesifik dari keracunan sianida,
termasuk bau almond pahit, yang merupakan karakteristik dari sianida.
Akan tetapi, adapula kasus keracunan asam hidrosianat yang tidak berbau
seperti almond pahit, oleh karena adanya pengaruh genetik dalam
perbedaan kemampuan mengenali baunya, sehingga dibutuhkan metode
diagnosis yang lebih spesifik.
b. Pemeriksaan laboratorium dengan melakukan pengukuran kadar
karboksihemoglobin, sianida serum, pemeriksaan darah lengkap, kadar
laktat serum serta tekanan parsial oksigen (PO2). Pasien didefinisikan
sebagai keracunan akut sianida bila kadar sianida serumnya >0,5 mg/L.
Akan tetapi, kadar sianida serum tidak dapat dijadikan sebagai parameter
untuk menentukan tingkat keparahan, hal ini terkait dengan pendeknya
waktu eliminisasi sianida. Selain itu untuk memperkuat diagnois tingkat
keparahan dapat menggunakan pengukuran kadar laktat serum sebagai
parameternya. Pasien dengan kadar laktat serum >8 mmol/L bisa
dikatakan mengalami keracunan akut sianida dan kemungkinan
membutuhkan pengulangan terapi antidot. Adapun pemeriksaan PO 2
pada kasus keracunan sianida akan dikarakterisasi dengan adanya
penurunan tekanan parsial PO2 yang menandakan terjadinya asidosis
laktat.

18
Pada pemeriksaan korban mati, pada pemeriksaan bagian luar jenazah, dapat
tercium bau almond yang patognomonik untuk keracunan CN, dapat tercium
dengan cara menekan dada mayat sehingga akan keluar gas dari mulut dan
hidung. Bau tersebut harus cepat dapat ditentukan karena indera pencium kita
cepat teradaptasi sehingga tidak dapat membaui bau khas tersebut. Harus
dingat bahwa tidak semua orang dapat mencium bau sianida karena
kemampuan untuk mencium bau khas tersebut bersifat genetik sex-linked
trait.
Sianosis pada wajah dan bibir, busa keluar dari mulut, dan lebam mayat
berwarna terang, karena darah vena kaya akan oksi-Hb. Tetapi ada pula yang
mengatakan karena terdapat Cyanmet-Hb. Pada pemeriksaan bedah jenazah
dapat tercium bau almond yang khas pada waktu membuka rongga dada,
perut dan otak serta lambung (bila racun melalui mulut) darah, otot dan
penampang tubuh dapat berwarna merah terang. Selanjutnya hanya
ditemukan tanda-tanda asfiksia pada organ tubuh.
Pada korban yang menelan garam alkalisianida, dapat ditemukan kelainan
pada mukosa lambung berupa korosi dan berwarna merah kecoklatan karena
terbentuk hematin alkali dan pada perabaan mukosa licin seperti sabun.
Korosi dapat mengakibatkan perforasi lambung yang dapat terjadi antemortal
atau postmortal.

Penatalaksanaan Keracunan Sianida


Beberapa penawar sianida tersedia di seluruh dunia. Antidot sianida termasuk
Paket Antidot Sianida (juga dikenal sebagai Cyanide Antidote Kit (CAK),
Lilly kit, Taylor kit, dan kit Pasadena), hydroxocobalamin (atau Cyanokit),
dan penangkal lain seperti dicobalt edetate (EDTA) dan 4-
dimethylaminophenol (4-DMAP). CAK, satu-satunya penangkal sianida
yang saat ini tersedia di AS, terdiri dari amyl nitrite (tersedia dalam bentuk
pearl), sodium nitrite, dan sodium tiosulfat. Natrium nitrat dan natrium
tiosulfat adalah diberikan secara intravena, sedangkan amil nitrat sering
diberikan melalui alat ventilasi mekanis dan diperlukan untuk menstabilkan
korban sebelum administrasi komponen lainnya. Tapi hal terpenting adalah

19
pertolongan pertama pada saat kondisi akut, berikut beberapa stage dalam
melakukan penanganan pada pasien dengan keracunan sianida.

Tabel 3. Pertolongan pada keracunan sianida kondisi akut

Penilaian Tindakan

 Untuk paparan yang terhirup, pindahkan korban dari tempat


Reduksi atau
kejadian atau terduga
eliminasi sumber
 Untuk paparan yang tertelan, lakukan kumbah lambung
sianida
dengan charcoal / arang
 CPR
Supportive  Administrasi O2 100%
management  Sodium bicarbonate untuk mengoreksi asidosis metabolik
 Anticonvulsant, epinephrine , anti aritmia jika dibutuhkan
 Amyl nitrate + sodium nitrate + thiosulfate jika sianida
tertelan
Antidote treatment  Antidote harus diberikan secara hati hati, perhatikan
hemodinamik korban terutama pada kondisi low blodd
pressure karena antidote sianida menginduksi hipotensi

2.8 Keracunan Timbal


Plumbum atau timbal (timah hitam) terdapat dimana-mana, dalam jumlah
besar dalam badan accu / baterai. Pb terdapat pula pada pipa air zaman dahulu,
timah solder, bahan dasar cat, dempul meni, dan glasier dari benda-benda
keramik dan gelas (crystal lead). Pb juga terdapat pada bahan kosmetik mata
orang India yang disebut surma, demikian juga dapat ditemukan pada
eyeshadow, lipstick, dan blush-on. Timbal di dalam tubuh terikat dalam gugus
sulfhidril (-SH) dalam molekul protein yang menyebabkan hambatan pada
system kerja enzim. Dalam darah enzim yang dihambat adalah enzim delta-
aminolevulinik asid (delta-ALA) yang berperan dalam sintesis hemoglobin.
Tanda dan Gejala Keracunan
1. Keracunan Akut: Korban merasa sepat (rasa logam), muntah-muntah
berwarna putih Karena adanya Pb Klorida, dan juga diare dengan feses
hitam akibat adanya PbS. Kedua hal ini dapat menyebabkan dehidrasi.

20
2. Keracunan Kronik: Korban tampak pucat yang tak sesuai dengan
derajat anemi, karena pucat timbul sebagai akibat spasme arteriol di
bawah kulit. Rasa logam pada mulut, anoreksia, obstipasi, kadang diare.
Pemeriksaan forensik diagnosis pada orang hidup ditegakkan dengan melihat
adanya gejala keracunan dan pemeriksaan kadar Pb darah dan urin. Pada
jenazah dapat ditemukan keracunan akut: Tanda-tanda dehidrasi, lambung
mengerut (spastik), hiperemi, isi lambung warna putih. Usus spastik dan feses
berwarna hitam. Pada keracunan kronik : Tubuh sangat kurus, pucat, terdapat
garis Pb, ikterik, gastritis kronik dan pada usus nampak bercak-bercak hitam.
Kadar tertinggi Pb terdapat dalam tulang, ginjal, hati dan otak, sehingga
bahan pemeriksaan diambil dari organ-organ tersebut.

Pemeriksaan Laboratorium Diagnosis toksisitas Pb dilakukan berdasarkan


gejala dan uji lab seperti kadar Pb dalam darah, ulas darah untuk melihat sel
stipel yang merupakan keracunan khas pada Pb, dan protoporfirin eritrosit.
Uji kadar Pb dalam urin, enzim delta ALA dan koproporfirin III juga dapat
dilakukan untuk diagnosis toksisitas Pb.

2.9 Keracunan Arsen


Arsen merupakan logam berat dengan valensi 3 atau 5, dan berwarna metal
(steel-grey). Senyawa arsen didalam alam berada dalam 3 bentuk: Arsen
trichlorida (AsCl3) berupa cairan berminyak, Arsen trioksida (As2O3, arsen
putih) berupa kristal putih dan berupa gas arsine (AsH3). Lewisite, yang
sering disebut sebagai gas perang, merupakan salah satu turunan gas arsine.
Selain dapat ditemukan di udara, air maupun makanan, arsen juga dapat
ditemukan di industri seperti industri pestisida, proses pengecoran logam
maupun pusat tenaga geothermal.
Pada umumnya arsen tidak berbau, tetapi beberapa senyawanya dapat
mengeluarkan bau bawang putih. Racun arsen pada umumnya mudah larut
dalam air, khususnya dalam air panas. Bentuk arsen seperti bubuk giling.
Jumlah yang sangat sedikit sudah dapat membunuh seseorang (30-300 mg).
Cara kerja keracunan akut berupa gangguan metabolisme seluler dengan

21
menghambat sistem enzim sulfhidril, selain itu arsen dianggap merupakan
racun kapiler dan menyebabkan dilatasi kapiler.

Mekanisme masuknya Arsen dalam tubuh manusia umumnya melalui oral,


dari makanan atau minuman. Arsen yang tertelan secara cepat akan diserap
lambung dan usus halus kemudian masuk ke peredaran darah. Arsen dapat
menjadi racun dalam apabila arsen terikat dengan gugus sulfhidril (-SH),
terutama yang berada dalam enzim. Salah satu sistem enzim tersebut ialah
kompleks piruvat dehidrogenase yang berfungsi untuk oksidasi
dekarboksilasi piruvat menjadi Co-A dan CO2 sebelum masuk dalam siklus
TOA (tricarbocyclic acid). Dimana enzim tersebut terdiri dari beberapa enzim
dan kofaktor. Reaksi tersebut melibatkan transasetilasi yang mengikat
koenzim A (CoA-SH) untuk membentuk asetil CoA dan dihidrolipoil-enzim,
yang mengandung dua gugus sulfhidril6.
Kelompok sulfhidril sangat berperan mengikat arsen trivial yang membentuk
kelat. Kelat dari dihidrofil-arsenat dapat menghambat reoksidasi akibatnya
bila arsen terikat dengan sistem enzim, akan terjadi akumulasi asam piruvat
dalam darah. Arsenat juga memisahkan oksigen dan fosfolirasi pada fase
kedua glikolosis dengan jalan berkompetisi dengan fosfat dalama reaksi
gliseraldehid dehidrogenase. Dengan adanya pengikatan arsenat reaksi
gliseraldehid-3-fosfat, akibatnya tidak terjadi proses enzimatik hidrolisis
menjadi 3-fosfogliserat dan tidak memproduksi ATP. Selama Arsen
bergabung dengan gugus –SH, maupun gugus –SH yang terdapat dalam
enzim, maka akan banyak ikatan As dalam hati yang terikat sebagai enzim
metabolik. Karena adanya protein yang juga mengandung gugus –SH terikat
dengan As, maka hal inilah yang menyebabkan As juga ditemukan dalam
rambut, kuku dan tulang. Karena eratnya As bergabung dengan gugus –SH,
maka arsen masih dapat terdeteksi dalam rambut dan tulang beberapa tahun
kemudian6.

Syarat Toksisitas
Secara umum, efek arsen terhadap tubuh tergantung dari sifat fisik dan
kimiawi racun, jumlah racun yang masuk, kecepatan absorpsi, serta kecepatan

22
dan jumlah eliminasi, baik yang terjadi alamiah (melalui muntah atau diare)
maupun buatan (pengobatan). Menelan senyawa atau garam arsen dalam
bentuk larutan lebih cepat penyerapannya dibandingkan penyerapan arsen
dalam bentuk padat. Penyerapan senyawa arsen dalam bentuk padat halus
lebih cepat dibandingkan bentuk padat kasar, sehingga gejala klinis yang
terjadipun juga lebih berat.
Arsen yang termakan dalam jumlah sedikit, tidak selalu menimbulkan tanda
dan gejala yang terlihat, sehingga diagnosis pasti tidak dapat diketahui. Akan
tetapi bila termakan dalam jumlah besar, kematian dapat terjadi dengan
mendadak dan biasanya tanpa memperlihatkan gejala klinis. Bau napas yang
khas seperti bau bawang putih tercium pada nafas korban keracunan dan hal
ini dapat dipakai sebagai petunjuk yang kuat dari keracunan arsen akut.
Arsen tidak memiliki rasa, bau dan warna sehingga sulit terdeteksi. Dosis
arsenik yang tinggi dengan intensitas paparan yang lebih sedikit memiliki
dampak yang lebih ringan bagi kesehatan manusia. Namun, dosis rendah
dengan paparan terus menerus memiliki efek yang lebih berbahaya bagi
manusia7.

Manifestasi Klinis
Arsen anorganik dapat mempengaruhi sumsum tulang dan mengubah
komposisi sel darah, pada hati menyebabkan nekrosis dan sirosis hati dan
pada ginjal menyebabkan kerusakan pembuluh tubulus dan glomerulus ginjal.
Ginjal yang pertama kali dipengaruhi oleh arsen adalah glomerulus sehingga
terjadi proteinuria. Arsen juga dapat menggantikan fosfor yang sudah
disimpan selama bertahun-tahun dalam jaringan tulang. Pada sistem sel
mengakibatkan kerusakan mitokondria sehingga menyebabkan sel mati.
Gejala klinis awal pada intoksikasi arsen akut dapat berupa nyeri otot, mual
dan muntah yang parah, sakit perut kolik, dan diare yang banyak disertai tinja
seperti air susu.
Kerusakan kapiler menyebabkan vasodilatasi general, menyebabkan
transudasi cairan di lumen usus, pembentukan vesikal mukosa, dan
penggilingan fragmen jaringan. Pasien mungkin kram otot, mati rasa di
tangan dan kaki, ruam kemerahan di tubuh dan kehausan yang hebat.

23
Keracunan yang parah menyebabkan kulit menjadi dingin dan keruh, dan
beberapa tingkat kebocoran sirkulasi biasanya terjadi bersamaan dengan
kerusakan ginjal dan penurunan output urin. Kebingungan terjadi bersamaan
dengan perkembangan psikosis yang terkait dengan delusi paranoid,
halusinasi, dan delirium. Akhirnya, kejang, koma, dan kematian, biasanya
karena syok.
Kerusakan pembuluh tubulus dan glomerulus pada ginjal akibat arsen
anorganik di dalam darah menyebabkan nekrosis sentral dan nekrosis hati.
Senyawa arsen adalah protoplasmik yang menyerang enzim. Gejala kronis
timbal arsen mengakibatkan:
1. Kerusakan jantung dan gangguan pernafasan
2. Gangguan saraf, menyebabkan penurunan koordinasi motor dan
neuritis.
3. Gangguan pencernaan, menyebabkan sakit perut, muntah, dan diare.
4. Infeksi kulit, menyebabkan dermatitis dan kebotakan.
Menurut laporan, paparan 10-50 μg / L dan> 50 μg / L menghasilkan 19.000
dan 24.000 kematian orang dewasa setiap tahunnya.

Gambar 3. Efek Keracunan Arsenik pada Manusia (Shahid et al, 2018)


Pemeriksaan Kedokteran Forensik Keracunan Arsen
Korban mati keracunan akut. Pada pemeriksaan luar ditemukan tanda-tanda
dehidrasi. Pada pembedahan jenazah ditemukan tanda-tanda iritasi lambung,
mukosa berwarna merah, kadang-kadang dengan perdarahan (flea bitten
appearance). Iritasi lambung dapat menyebabkan produksi musin yang

24
menutupi mukosa dengan akibat partikel-partikel As berwarna kuning
sedangkan As2O3 tampak sebagai partikel berwarna putih.

Korban mati akibat keracunan arsen. Bila korban cepat meninggal setelah
menghirup arsen, akan terlihat tanda-tanda kegagalan kardiorespirasi akut.
Bila meninggalnya lambat, dapat ditemukan ikterus dengan anemia
hemolitik, tanda-tanda kerusakan ginjal berupa degenerasi lemak dengan
nekrosis fokal serta nekrosis tubuli. Korban mati akibat keracunan kronik.
Pada pemeriksaan luar tampak keadaan gizi buruk. Pada kulit terdapat
pigmentasi coklat (melanosis arsenik).

Nafas berbau seperti bawang putih dapat ditemukan pada mayat yang
keracunan Arsen. Dalam kondisi akut, ketika 1 gram atau lebih Arsen
anorganik dikonsumsi gejala klinis yang muncul yaitu didominasi gejala
gastrointestinal berupa muntah darah dan diare parah. Diare dapat
menyebabkan syok dan kegagalan jantung. Jika korban meninggal dengan
sangat cepat, tidak akan ada kelainan yang muncul saat otopsi. Namun, jika
keracunan terjadi beberapa jam sebelum meninggal, pada inspeksi saluran
atas gastrointestinal ditemukan esofagus yang berwarna merah dan
meninggalkan tanda inflamasi. Dalam beberapa kasus, inflamasi pada usus
memiliki tampilan ”Red velvet”.
Satu-satunya perubahan post mortem yang bisa diandalkan karena adanya
keracunan Arsen adalah perdarahan pada otot sisi kiri jantung bagian dalam
(area yang biasa disebut Left Ventricular Subendocardium). Histopatologik
menunjukkan adanya infiltrasi sel-sel radang bulat ke miokard. Sedangkan
organ lain dapat ditemukan edema. Pada korban meninggal perlu diambil
organ-organ seperti darah, urin, isi lambung, rambut, kuku, kulit dan tulang.

25
Pada pemeriksaan kuku juga ditemukan ’Mee’s Line’ yaitu garis putih
melintang pada kuku.

Gambar 4. Mee’s Line pada kuku (Huang & Chao, 2010)

Pada pemeriksaan laboratorium dicurigai keracunan arsen bila kadar arsen


pada bahan yang diperiksa diatas batas normal (Budiyanto dalam Rukman,
2018):
1. Rambut dalam keadaan normal: 0,5 mg/kg
2. Dicurigai bila:0,75 mg/kg
3. Keracunan bila: 30 mg/kg
4. Kuku dalam keadaan normal: sampai 1 mg/kg
5. Dicurigai bila: 1 mg/kg
6. Keracunan bila: 80 ug/kg

Pemeriksaan toksikologinya 10 cc darah + 10 cc HCL pekat, kemudian


celupkan tembaga ke dalam larutan tersebut. Jika positif ada arsen maka akan
tampak warna kehitaman hingga abu-abu pada batang tembaga tersebut.

26
BAB III

KESIMPULAN
Toksikologi forensik adalah penerapan ilmu toksikologi pada berbagai
kasus dan permasalahan kriminalitas dimana obat-obatan dan bahan kimia yang
dapat menimbulkan konsekuensi medikolegal dan dapat digunakan sebagai bukti
dalam pengadilan.
Efek toksik dapat ditimbulkan oleh beberapa senyawa seperti
karbonmonoksida, sianida, timbal, dan arsen. Zat-zat tersebut mampu
menimbulkan efek toksik jika kadar zat yang masuk ke tubuh melebihi dari kadar
aman. Zat-zat yang memiliki efek toksik mampu menyebabkan kematian pada
manusia jika kadar zat toksik yang masuk ke dalam tubuh mencapai jumlah yang
besar. Seseorang yang meninggal akibat keracunan zat toksik dapat dilakukan
pemeriksaan karena zat toksik memberikan efek yang khas pada mayat. Contohnya
seperti seseorang yang keracunan gas karbonmonoksida maka tubuhnya akan
berwarna merah (cherry red), temuan lebam merah terang (bright red) pada korban
keracunan sianida, adanya sel stipel pada pemeriksaan kasus keracunan timbal, dan
ditemukannya gambaran mee’s line pada kuku korban yang mengalami keracunan
arsen.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Cooper G.A.A, Peterson S, Osselton M.D. 2010. Science and Justice. The
United Kingdom and Ireland Association of Forensic Toxicologist. Forensic
Toxicologist Laboratory Guidelines.
2. Fitriana, N A. 2015. Forensic Toxicology. J. Majority Volume 4 Number 4.
Faculty of Medicine of lampung University.
3. Dharma, Mohan S. et al. 2008. Investigasi Kematian Dengan Toksikologi
Forensik. Faculty Medicine University of Riau. Pekan Baru, Riau.
4. Hariadi A., dkk. 2006. Ilmu Kedokteran Forensik Dan Medikolegal. Bagian
Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK Airlangga, hal 223-235,
Surabaya.
5. Cahyawati, P., Zahran, M., Jufri, M., dan Novian. 2017. Keracunan Akut
Sianida; Wicaksana, Jurnal Lingkungan & Pembangunan; ISSN 2597-7555;
vol.1 No.1: 80-87.
6. Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan.
2018. Toksikologi Klinik. KEMENKES RI.
7. Chakraborti, D., S.K. Singh, M.M. Rahman, R.N. Dutta, S.C. Mukherjee, S.
Pati et P.B. Kar, 2018, Groundwater Arsenic Contamination in the Ganga River
Basin : A Future Health Danger. International journal of environmental
research and public health, 15, pp. 180

28

Anda mungkin juga menyukai