KERACUNAN KARBONMONOKSIDA,
SIANIDA, TIMBAL DAN ARSEN
Disusun Oleh :
Anisa Carina 1102015028
Pembimbing:
dr. Suryo Wijoyo, Sp.KF., M.H.
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha
Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan referat
dengan judul KERACUNAN KARBONMONOKSIDA, SIANIDA, TIMBAL
DAN ARSEN sebagai tugas kepaniteraan Ilmu Kedokteran Forensik RSUD
Kabupaten Bekasi. Tidak lupa shalawat serta salam dipanjatkan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW.
Dalam penulisan referat ini, penulis banyak mendapatkan bantuan baik moril
maupun materil dari berbagai pihak, sehingga tugas ini dapat diselesaikan dengan
baik. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada dr.
Suryo Wijoyo, SP.KF., M.H selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu
dalam membimbing dan memberi masukan kepada penulis dalam penulisan referat
ini, kepada seluruh staf medis dan non medis di bagian ilmu kedokteran forensik
RSUD Kabupaten Bekasi, kepada orang tua penulis yang selalu memberikan doa
dan semangat setiap harinya, serta kepada teman-teman peserta kepaniteraan klinik
bagian forensik di RSUD Kabupaten Bekasi dan seluruh pihak yang penulis tidak
dapat sebutkan satu persatu namanya. Semoga Allah SWT memberikan balasan
yang sebesar-besarnya atas bantuan yang diberikan selama ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih banyak kekurangan dan
kesalahan. Oleh karena itu, penulis menerima segala masukan serta saran yang
bersifat membangun. Semoga referat ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita
semua baik sekarang maupun di hari yang akan datang. Amin.
1
DAFTAR ISI
Judul ........................................................................................................................ 0
Daftar Isi.................................................................................................................. 2
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
misalnya insektisida, herbisida, pestisida. Racun dalam industri laboratorium
misalnya asam kuat, basa kuat, dan logam berat. Racun yang terdapat dalam
makanan misalnya sianida (CN) dalam singkong, toksin botulinus, bahan
pengawet, zat adiktif, serta racun dalam bentuk obat mislanya sedatif,
hipnotik, dan lain-lain.
Berdasarkan cara kerja atau efek yang ditimbulkan, ada racun yang bekerja
lokal dan menimbulkan beberapa reaksi perangsangan, peradangan, atau
korosif. Ada pula yang menyebabkan nyeri hebat hingga syok neurogenik
(kematian). Contoh racun korosif adalah asam dan basa kuat: H2SO4, HNO3,
NaOH, KOH; golongan halogen seperti fenol, lisol dan senyawa logam.
5
2.4 Kriteria Diagnosis Kasus Keracunan
1. Anamnesa yang menyatakan bahwa korban benar-benar kontak dengan
racun (secara injeksi, inhalasi, ingesti, absorbsi, melalui kulit atau
mukosa).
Pada umumnya anamnesa tidak dapat dijadikan pegangan sepenuhnya
sebagai kriteria diagnostic, misalnya pada kasus bunuh diri, keluarga
korban tentunya tidak akan memberikan keterangan yang benar bahkan
malah cenderung untuk menyembunyikannya, karena kejadian tersebut
merupakan aib bagi pihak keluarga korban.
2. Tanda dan gejala-gejala yang sesuai dengan tanda / gejala keracunan zat
yang diduga.
Adanya tanda dan gejala klinis biasanya hanya terdapat pada kasus yang
bersifat darurat dan pada prakteknya lebih sering kita terima kasus-kasus
tanpa disertai dengan data-data klinis tentang kemungkinan kematian
karena kematian sehingga harus dipikirkan terutama pada kasus yang mati
mendadak, non traumatik yang sebelumnya dalam keadaan sehat.
3. Secara analisa kimia dapat dibuktikan adanya racun di dalam sisa
makanan / obat / zat yang masuk ke dalam tubuh korban.
Kita selamanya tidak boleh percaya bahwa sisa sewaktu zat yang
digunakan korban itu adalah racun (walaupun ada etiketnya) sebelum
dapat dibuktikan secara analisa kimia, kemungkinan-kemungkinan seperti
tertukar atau disembunyikannya barang bukti, atau si korban menelan
semua racun – kriteria ini tentunya tidak dapat dipakai.
4. Ditemukannya kelainan-kelainan pada tubuh korban, baik secara
makroskopik atau mikroskopik yang sesuai dengan kelainan yang
diakibatkan oleh racun yang bersangkutan.
Bedah mayat (otopsi) mutlak harus dilakukan pada setiap kasus keracunan,
selain untuk menentukan jenis-jenis racun penyebab kematian, juga
penting untuk menyingkirkan kemungkinan lain sebagai penyebab
kematian. Otopsi menjadi lebih penting pada kasus yang telah mendapat
perawatan sebelumnya, dimana pada kasus-kasus seperti ini kita tidak
6
akan menemukan racun atau metabolitnya, tetapi yang dapat ditemukan
adalah kelainan-kelainan pada organ yang bersangkutan.
5. Secara analisa kimia dapat ditemukan adanya racun atau metabolitnya di
dalam tubuh / jaringan / cairan tubuh korban secara sistemik.
Pemeriksaan toksikologi (analisa kimia) mutlak harus dilakukan. Tanpa
pemeriksaan tersebut, visum et repertum yang dibuat dapat dikatakan tidak
memiliki arti dalam hal penentuan sebab kematian. Sehubungan dengan
pemeriksaan toksikologis ini, kita tidak boleh terpaku pada dosis letal
sesuatu zat, mengingat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kerja
racun. Penentuan ada tidaknya racun harus dibuktikan secara sistematik,
diagnosa kematian karena racun tidak dapat ditegakkan misalnya hanya
berdasar pada ditemukannya racun dalam lambung korban.
Dari kelima kriteria diagnostik dalam menentukan sebab kematian pada kasus-
kasus keracunan seperti tersebut di atas, maka kriteria keempat dan kelima
merupakan kriteria yang terpenting dan tidak boleh dilupakan.
7
Dalam menangani kasus keracunan perlu dilakukan beberapa pemeriksaan
penting yaitu: pemeriksaan di tempat kejadian, pemeriksaan luar, otopsi, dan
analisis toksikologi.
8
Yang perlu diperhatikan pada pembedahan jenazah yaitu inspeksi insitu;
perhatikan warna otot dan alat organ, perhatikan warna darah, idah,
esophagus, epiglottis, paru-paru, lambung, usus, hati, ginjal, otak,
jantung, limpa empedu, dan daerah sekitar bekas suntikan
9
Salah satu sumbernya adalah motor yang menggunakan bensin sebagai bahan
bakar (spark ignition), sumber lainnya yaitu cerobong asap, dan alat pemanas
bahan bakar gas. Pada alat pemanas air jelaga yang tidak dibersihkan dat
memudahkan terjadinya produksi gas CO yang berlebihan.
Manifestasi Klinis
Gejala keracunan CO didahului dengan sakit kepala, mual, muntah, rasa lelah,
berkeringat banyak, pireksia, pernafasan meningkat, gangguan penglihatan,
kebingungan, hipotensi, takikardi, kehilangan kesadaran dan sakit dada
mendadak.
Tabel 1. Hubungan antara gejala dengan kadar COHb dalam darah
% COHb Gejala
0-10 Tidak ada keluhan maupun gejala
10-20 Rasa berat di kepala, sedikit sakit kepala, pelebaran pembuluh
darah kulit
20-30 Sakit kepala menusuk-nusuk pada pelipis
30-40 Sakit kepala hebat, lemah, dizziness, padangan jadi kabur,
mausea, muntah-muntah
40-50 Sinkope, nadi dan pernafasan menjadi cepat
50-60 Sinkope, nadi dan pernafasan menjadi cepat, koma, kejang
yang intermetten
60-70 Koma, kejang yang intermitten, depresi jantung dan
pernafasan
70-80 Nadi lemah, pernafasan lambat, kegagalan pernafasan dan
meninggal dalam beberapa jam
80-90 Meninggal dalam waktu kurang dari satu jam
> 90 Meninggal dalam beberapa menit
Namun untuk beberapa kasus, kadar COHb tidak berkorelasi dengan tingkat
keparahan gejala. Pada orang tua dan orang yang menderita penyakit berat
seperti penyakit arteri koroner atau penyakit paru obstruktif kronik, kadar
COHb 20-30% sudah dapat bersifat fatal. Selain itu, pada studi yang
dilakukan terhadap binatang, tranfusi darah dengan kadar COHb yang tinggi
namun dengan kadar CO bebas yang minimal tidak menghasilkan gejala
klinis atau gejalanya minimal. Hal ini mengidikasikan bahwa adanya CO
bebas yang terlarut dalam plasma berperan penting dalam menimbulkan
gejala pada intoksikasi CO.
10
Pada korban koma dapat ditemukan sianosis dan pucat, pernafasan cepat,
mungkin pernafasan Chyne-stokes, menjelang kematian pernafasan menjadi
lembat. Nadi cepat dan lemah, tekanan darah rendah, pupil melebar, dan
reaksi cahaya menghilang, suhu tubuh dibawah normal, pada keadaan
terminal mungkin dapat terjadi hipertermia. Pada EKG mungkin ditemukan
gelombang T mendatar atau negatif, tanda insufisiensi koroner, ekstrasistol,
dan fibrilasi atrium. Pada pemeriksaan laboratorium mungkin dijumpai
leukositosis, hiperglikemia dengan glukosuria, albuminuria, dan peningkatan
SGOT, MDH, dan SDH serum.
11
Stupor sampai koma
Apraksia, agnosia, gangguan TIC,
gangguan pendengaran dan
keseimbangan, kebutaan dan gangguan
psikis. Hal tersebut oleh karena paparan
jangka panjang atau paparan yang berat
meskipun akut akan meninggalkan
sequelae neuropsikiatri jangan panjang
6. Darah Pada korban yang masih hidup, darah
adalah bahan yang terpenting, darah di
ambil dari vena secepat mungkin karena
ikatan CO-Hb cepat terrurai kembali
menjadi CO dan keluar tubuh
Pada pemeriksaan laboratorium mungkin
dijumpai leukositosis, hiperlikemia,
dengan glukosuria (dalam waktu 3-4 hari),
albuminuria peningkatan BUN dan
peningkatan SGOT. Perubahan kadar
gama globulin juga pernah dilaporkan.
7. Urin Pada pemeriksaan urin didapatkan positif
untuk albumin dan glukosa pada
keracunan kronis
8. Wanita hamil Pemerikasaan yang dilakukan sama dengan
yang di bicarakan di atas, yang perlu
diperhatikan adalah akumulasi CO di janin
10- 15% lebih tinggi di banding darah.
Waktu paruh HbCO pada janin adalah 7-9
jam.
12
kebanyakan berupa daerah yang lebih gelap di basal ganglia. Hasil CT-
Scan positif secara umum dapat memperkirakan timbulnya komplikasi
neurologis. CT-Scan serial diperlukan bila terjadai perubahan status
mental.
d. MRI
MRI lebih akurat dibanding dengan CT-Scan dalam menentukan lesi
fokal dan demielinisasi substansia alba. MRI juga sering digunakan
untuk memantau kemajuan pasien.
e. EKG
Sinus takikardi adalah kelainan yang paling sering tejadi. Aritmia
mungkin terjadi akibat hipoksi, iskemia atau infark. Mungkin juga
ditemukan gelombang T mendatar atau negatif, tanda insufiensi
koroner, ekstrasistol dan fibrilasi atrium.
f. Pengujian Neuropsikologik
Pengujian yang dilakukan diantaranya pengujian konsentrasi, fungsi
motorik halus, dan pemecahan masalah secara konsisten.
13
Gambar 2. Keracunan karbonmonoksida (CO) akan menyebabkan kulit
berwarna kemerahan.
Pada mayat yang didinginkan dan pada keracunan CN, penampang ototnya
berwarna biasa, tidak merah terang. Juga pada mayat yang di dinginkan warna
merah terang lebam mayatnya tidak merata selalu masih ditemukan daerah
yang keunguan (livid). Sedangkan pada keracunan CO, jaringan otot, visera
dan darah juga berwarna merah terang. Selanjutnya tidak ditemukan tanda
khas lain. Kadang-kadang dapat ditemukan tanda asfiksia dan hiperemia
visera. Pada otak besar dapat ditemukan petekiae di substansia alba bila
korban dapat bertahan hidup lebih dari ½ jam.
Pada analisa toksikologik darah akan di temukan adanya COHb pada korban
keracunan CO yang tertunda kematiannya sampai 72 jam maka seluruh CO
telak di eksresi dan darah tidak mengandung COHb lagi, sehingga ditemukan
lebam mayat berwarna livid seperti biasa, demikian juga jaringan otot, visera,
dan darah. Kelainan yang dapat di temukan adalah kelainan akibat
hipoksemia dan komplikasi yang timbul selama penderita di rawat.
Otak, pada substansia alba dan korteks kedua belah otak, globus palidus dapat
di temukan petekiae. Kelainan ini tidak patognomonik untuk keracunan CO,
karena setiap keadaan hipoksia otak yang cukup lama dapat menimbulkan
petekiae. Pemeriksaan mikroskopik pada otak memberi gambaran:
1. Pembuluh-pembuluh halus yang mengandung trombihialin.
2. Nekrosis halus dengan di tengahnya terdapat pembuluh darah yang
mengandung trombihialin dengan pendarahan di sekitarnya, lazimnya
di sebut ring hemorrhage.
14
3. Nekrosis halus yang di kelilingi oleh pembuluh-pembuluh darah yang
mengandung trombi.
4. Ball hemorrage yang terjadi karena dinding arterior menjadi nekrotik
akibat hipoksia dan memecah.
15
jam. Jika kadar karboksihemoglobin dalam darah lebih dari 20%
perlu terapi oksigen hiperbarik.
c. Jika terjadi depresi pernapasan, berikan pernapasan buatan dengan
oksigen 100% sampai pernapasan kembali normal.
2. Antidotum: oksigen yang diberikan pada tindakan gawat darurat
merupakan antidote terhadap keracunan karbon monoksida.
3. Tindakan umum
a. Usahakan suhu badan normal. Turunkan suhu badan, jika terjadi
hipertermia.
b. Perhatikan tekanan darah penderita.
c. Untuk mengurangi edema serebral, berikan manitol 1 g / kg sebagai
larutan 20% secara IV dalam waktu lebih dari 20 menit. Untuk
mengatasi edema serebral, berikan prednisolon 1 mg / kg secara IV
atau IM tiap 4 jam, atau obat golongan kortikosteroid lain yang
setara.
d. Jika terjadi radang paru karena infeksi bakteri, berikan obat yang
spesifik.
e. Untuk mengurangi kemungkinan terjadi komplikasi neurologik yang
timbul kemudian, perlu istirahat di tempat tidur selama 2-4 minggu.
f. Atasi konvulsi atau hiperaktivitas yang terjadi dengan diberi
diazepam 0.1 mg / kg secara IV perlahan-lahan.
4. Follow up
a. Pasien rawat inap
Memerlukan monitoring yang berkala
Pada beberapa kasus yang berat perlu dirawat di ICCU
b. Pasien rawat jalan
Penderita tanpa gejala dengan tingkat COHb dibawah 10%
Bisa dilakukan terapi O2 hiperbarik untuk membersihkan kadar CO
dalam darah.
16
merupakan senyawa kimia dari kelompok siano, yang memiliki 3 buah atom
karbon yang berikatan dengan nitrogen (C=N), dan dikombinasi dengan
unsur-unsur lain seperti kalium atau hidrogen5.
Sianida (CN) merupakan racun yang sangat toksik, karena garam sianida
dalam takaran kecil sudah cukup untuk menimbulkan kematian pada
seseorang dengan cepat seperti bunuh diri yang dilakukan oleh beberapa
tokoh nazi. Kematian akibat keracunan CN umumnya terjadi pada kasus
bunuh diri dan pembunuhan. Tetapi mungkin pula terjadi akibat kecelakaan
di laboratorium, pada penyemprotan (fumigasi) dalam pertanian dan
penyemprotan di gudang-gudang kapal.
Sianida dapat masuk ke dalam tubuh melalui mulut, inhalasi, dan kulit.
Setelah masuk sianida akan berikatan dengan pembuluh darah menuju
sirkulasi. Takaran toksik per oral untuk HCN adalah 60-90 mg, sedangkan
KCN atau NaCN adalah 200 mg. Gas CN 200-400 ppm akan menyebabkan
kematian dalam 30 menit sedangkan gas CN 20000 ppm akan menyebabkan
meninggal seketika.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis keracunan sianida sebagian besar merupakan gambaran
dari hipoksia intraseluler. Tanda dan gejala ini biasanya terjadi kurang dari 1
menit setelah menghirup dan dalam beberapa menit setelah konsumsi.
Manifestasi awal neurologis termasuk kecemasan, sakit kepala dan pusing.
Pasien tidak dapat memfokuskan mata dan terjadi midriasis yang dapat
disebabkan oleh hipoksia. Hipoksia yang berlanjut dapat berkembang
menjadi penurunan kesadaran, kejang dan koma5.
Keracunan sianida akut pada pasien kemungkinan memiliki kulit normal atau
penampilan sedikit ashen meskipun juga hipoksia dan saturasi oksigen arteri
juga mungkin normal. Pada keracunan sianida tanda-tanda awal pada sistem
respirasi berupa pernapasan yang cepat dan dalam. Perubahan pernafasan ini
terjadi karena adanya stimulasi pada kemoreseptor perifer dan sentral dalam
batang otak dalam upaya mengatasi hipoksia jaringan5.
Manifestasi klinis kardiovaskular pada pasien dengan keracunan sianida
awalnya pasien akan mengalami gejala palpitasi, diaphoresis, pusing atau
17
kemerahan. Selain itu, juga terjadi peningkatan curah jantung dan tekanan
darah yang disebabkan oleh adanya pengeluaran katekolamin. Selain terjadi
vasodilatasi pembuluh darah, hipootensi, dan penurunan kemampuan
inotropik jantung, sianida juga menekan nodus sinoatrial (SA node) dan
menyebabkan terjadinya aritmia serta mengurangi kekuatan kontraksi
jantung. Dengan demikian, selama terjadi keracunan sianida, status
hemoodinamik pasien menjadi tidak stabil, karena adanya aritmia ventrikel,
bradikardia, blok jantung, henti jantung dan kematian5.
18
Pada pemeriksaan korban mati, pada pemeriksaan bagian luar jenazah, dapat
tercium bau almond yang patognomonik untuk keracunan CN, dapat tercium
dengan cara menekan dada mayat sehingga akan keluar gas dari mulut dan
hidung. Bau tersebut harus cepat dapat ditentukan karena indera pencium kita
cepat teradaptasi sehingga tidak dapat membaui bau khas tersebut. Harus
dingat bahwa tidak semua orang dapat mencium bau sianida karena
kemampuan untuk mencium bau khas tersebut bersifat genetik sex-linked
trait.
Sianosis pada wajah dan bibir, busa keluar dari mulut, dan lebam mayat
berwarna terang, karena darah vena kaya akan oksi-Hb. Tetapi ada pula yang
mengatakan karena terdapat Cyanmet-Hb. Pada pemeriksaan bedah jenazah
dapat tercium bau almond yang khas pada waktu membuka rongga dada,
perut dan otak serta lambung (bila racun melalui mulut) darah, otot dan
penampang tubuh dapat berwarna merah terang. Selanjutnya hanya
ditemukan tanda-tanda asfiksia pada organ tubuh.
Pada korban yang menelan garam alkalisianida, dapat ditemukan kelainan
pada mukosa lambung berupa korosi dan berwarna merah kecoklatan karena
terbentuk hematin alkali dan pada perabaan mukosa licin seperti sabun.
Korosi dapat mengakibatkan perforasi lambung yang dapat terjadi antemortal
atau postmortal.
19
pertolongan pertama pada saat kondisi akut, berikut beberapa stage dalam
melakukan penanganan pada pasien dengan keracunan sianida.
Penilaian Tindakan
20
2. Keracunan Kronik: Korban tampak pucat yang tak sesuai dengan
derajat anemi, karena pucat timbul sebagai akibat spasme arteriol di
bawah kulit. Rasa logam pada mulut, anoreksia, obstipasi, kadang diare.
Pemeriksaan forensik diagnosis pada orang hidup ditegakkan dengan melihat
adanya gejala keracunan dan pemeriksaan kadar Pb darah dan urin. Pada
jenazah dapat ditemukan keracunan akut: Tanda-tanda dehidrasi, lambung
mengerut (spastik), hiperemi, isi lambung warna putih. Usus spastik dan feses
berwarna hitam. Pada keracunan kronik : Tubuh sangat kurus, pucat, terdapat
garis Pb, ikterik, gastritis kronik dan pada usus nampak bercak-bercak hitam.
Kadar tertinggi Pb terdapat dalam tulang, ginjal, hati dan otak, sehingga
bahan pemeriksaan diambil dari organ-organ tersebut.
21
menghambat sistem enzim sulfhidril, selain itu arsen dianggap merupakan
racun kapiler dan menyebabkan dilatasi kapiler.
Syarat Toksisitas
Secara umum, efek arsen terhadap tubuh tergantung dari sifat fisik dan
kimiawi racun, jumlah racun yang masuk, kecepatan absorpsi, serta kecepatan
22
dan jumlah eliminasi, baik yang terjadi alamiah (melalui muntah atau diare)
maupun buatan (pengobatan). Menelan senyawa atau garam arsen dalam
bentuk larutan lebih cepat penyerapannya dibandingkan penyerapan arsen
dalam bentuk padat. Penyerapan senyawa arsen dalam bentuk padat halus
lebih cepat dibandingkan bentuk padat kasar, sehingga gejala klinis yang
terjadipun juga lebih berat.
Arsen yang termakan dalam jumlah sedikit, tidak selalu menimbulkan tanda
dan gejala yang terlihat, sehingga diagnosis pasti tidak dapat diketahui. Akan
tetapi bila termakan dalam jumlah besar, kematian dapat terjadi dengan
mendadak dan biasanya tanpa memperlihatkan gejala klinis. Bau napas yang
khas seperti bau bawang putih tercium pada nafas korban keracunan dan hal
ini dapat dipakai sebagai petunjuk yang kuat dari keracunan arsen akut.
Arsen tidak memiliki rasa, bau dan warna sehingga sulit terdeteksi. Dosis
arsenik yang tinggi dengan intensitas paparan yang lebih sedikit memiliki
dampak yang lebih ringan bagi kesehatan manusia. Namun, dosis rendah
dengan paparan terus menerus memiliki efek yang lebih berbahaya bagi
manusia7.
Manifestasi Klinis
Arsen anorganik dapat mempengaruhi sumsum tulang dan mengubah
komposisi sel darah, pada hati menyebabkan nekrosis dan sirosis hati dan
pada ginjal menyebabkan kerusakan pembuluh tubulus dan glomerulus ginjal.
Ginjal yang pertama kali dipengaruhi oleh arsen adalah glomerulus sehingga
terjadi proteinuria. Arsen juga dapat menggantikan fosfor yang sudah
disimpan selama bertahun-tahun dalam jaringan tulang. Pada sistem sel
mengakibatkan kerusakan mitokondria sehingga menyebabkan sel mati.
Gejala klinis awal pada intoksikasi arsen akut dapat berupa nyeri otot, mual
dan muntah yang parah, sakit perut kolik, dan diare yang banyak disertai tinja
seperti air susu.
Kerusakan kapiler menyebabkan vasodilatasi general, menyebabkan
transudasi cairan di lumen usus, pembentukan vesikal mukosa, dan
penggilingan fragmen jaringan. Pasien mungkin kram otot, mati rasa di
tangan dan kaki, ruam kemerahan di tubuh dan kehausan yang hebat.
23
Keracunan yang parah menyebabkan kulit menjadi dingin dan keruh, dan
beberapa tingkat kebocoran sirkulasi biasanya terjadi bersamaan dengan
kerusakan ginjal dan penurunan output urin. Kebingungan terjadi bersamaan
dengan perkembangan psikosis yang terkait dengan delusi paranoid,
halusinasi, dan delirium. Akhirnya, kejang, koma, dan kematian, biasanya
karena syok.
Kerusakan pembuluh tubulus dan glomerulus pada ginjal akibat arsen
anorganik di dalam darah menyebabkan nekrosis sentral dan nekrosis hati.
Senyawa arsen adalah protoplasmik yang menyerang enzim. Gejala kronis
timbal arsen mengakibatkan:
1. Kerusakan jantung dan gangguan pernafasan
2. Gangguan saraf, menyebabkan penurunan koordinasi motor dan
neuritis.
3. Gangguan pencernaan, menyebabkan sakit perut, muntah, dan diare.
4. Infeksi kulit, menyebabkan dermatitis dan kebotakan.
Menurut laporan, paparan 10-50 μg / L dan> 50 μg / L menghasilkan 19.000
dan 24.000 kematian orang dewasa setiap tahunnya.
24
menutupi mukosa dengan akibat partikel-partikel As berwarna kuning
sedangkan As2O3 tampak sebagai partikel berwarna putih.
Korban mati akibat keracunan arsen. Bila korban cepat meninggal setelah
menghirup arsen, akan terlihat tanda-tanda kegagalan kardiorespirasi akut.
Bila meninggalnya lambat, dapat ditemukan ikterus dengan anemia
hemolitik, tanda-tanda kerusakan ginjal berupa degenerasi lemak dengan
nekrosis fokal serta nekrosis tubuli. Korban mati akibat keracunan kronik.
Pada pemeriksaan luar tampak keadaan gizi buruk. Pada kulit terdapat
pigmentasi coklat (melanosis arsenik).
Nafas berbau seperti bawang putih dapat ditemukan pada mayat yang
keracunan Arsen. Dalam kondisi akut, ketika 1 gram atau lebih Arsen
anorganik dikonsumsi gejala klinis yang muncul yaitu didominasi gejala
gastrointestinal berupa muntah darah dan diare parah. Diare dapat
menyebabkan syok dan kegagalan jantung. Jika korban meninggal dengan
sangat cepat, tidak akan ada kelainan yang muncul saat otopsi. Namun, jika
keracunan terjadi beberapa jam sebelum meninggal, pada inspeksi saluran
atas gastrointestinal ditemukan esofagus yang berwarna merah dan
meninggalkan tanda inflamasi. Dalam beberapa kasus, inflamasi pada usus
memiliki tampilan ”Red velvet”.
Satu-satunya perubahan post mortem yang bisa diandalkan karena adanya
keracunan Arsen adalah perdarahan pada otot sisi kiri jantung bagian dalam
(area yang biasa disebut Left Ventricular Subendocardium). Histopatologik
menunjukkan adanya infiltrasi sel-sel radang bulat ke miokard. Sedangkan
organ lain dapat ditemukan edema. Pada korban meninggal perlu diambil
organ-organ seperti darah, urin, isi lambung, rambut, kuku, kulit dan tulang.
25
Pada pemeriksaan kuku juga ditemukan ’Mee’s Line’ yaitu garis putih
melintang pada kuku.
26
BAB III
KESIMPULAN
Toksikologi forensik adalah penerapan ilmu toksikologi pada berbagai
kasus dan permasalahan kriminalitas dimana obat-obatan dan bahan kimia yang
dapat menimbulkan konsekuensi medikolegal dan dapat digunakan sebagai bukti
dalam pengadilan.
Efek toksik dapat ditimbulkan oleh beberapa senyawa seperti
karbonmonoksida, sianida, timbal, dan arsen. Zat-zat tersebut mampu
menimbulkan efek toksik jika kadar zat yang masuk ke tubuh melebihi dari kadar
aman. Zat-zat yang memiliki efek toksik mampu menyebabkan kematian pada
manusia jika kadar zat toksik yang masuk ke dalam tubuh mencapai jumlah yang
besar. Seseorang yang meninggal akibat keracunan zat toksik dapat dilakukan
pemeriksaan karena zat toksik memberikan efek yang khas pada mayat. Contohnya
seperti seseorang yang keracunan gas karbonmonoksida maka tubuhnya akan
berwarna merah (cherry red), temuan lebam merah terang (bright red) pada korban
keracunan sianida, adanya sel stipel pada pemeriksaan kasus keracunan timbal, dan
ditemukannya gambaran mee’s line pada kuku korban yang mengalami keracunan
arsen.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Cooper G.A.A, Peterson S, Osselton M.D. 2010. Science and Justice. The
United Kingdom and Ireland Association of Forensic Toxicologist. Forensic
Toxicologist Laboratory Guidelines.
2. Fitriana, N A. 2015. Forensic Toxicology. J. Majority Volume 4 Number 4.
Faculty of Medicine of lampung University.
3. Dharma, Mohan S. et al. 2008. Investigasi Kematian Dengan Toksikologi
Forensik. Faculty Medicine University of Riau. Pekan Baru, Riau.
4. Hariadi A., dkk. 2006. Ilmu Kedokteran Forensik Dan Medikolegal. Bagian
Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK Airlangga, hal 223-235,
Surabaya.
5. Cahyawati, P., Zahran, M., Jufri, M., dan Novian. 2017. Keracunan Akut
Sianida; Wicaksana, Jurnal Lingkungan & Pembangunan; ISSN 2597-7555;
vol.1 No.1: 80-87.
6. Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan.
2018. Toksikologi Klinik. KEMENKES RI.
7. Chakraborti, D., S.K. Singh, M.M. Rahman, R.N. Dutta, S.C. Mukherjee, S.
Pati et P.B. Kar, 2018, Groundwater Arsenic Contamination in the Ganga River
Basin : A Future Health Danger. International journal of environmental
research and public health, 15, pp. 180
28