Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

“TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN”

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 2

YESSI MERIDIAN DINI 17.01.07.002


BAGUS HANDI SAPUTRA 17.01.07.005
PUTRI NOVITASARI 17.01.07.009
SELI TAMARA 17.01.07.010
SOFIANA MARJONO 17.01.07.017
NAMMIRA ANDRIANI DENITAPUTRI 17.01.07.018
ADE YULIA ASTUTI 17.01.07.020

SARJANA TERAPAN

TEKNOLOGI REKAYASA PENGENDALIAN PENCEMARAN LINGKUNGAN

POLITEKNIK NEGERI CILACAP

2019

1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 2

PERKEMBANGAN AWAL TOKSIKOLOGI ......................................................................... 4

PENGERTIAN TOKSIKOLOGI DAN RACUN ...................................................................... 5

A. TOKSIKOLOGI INHALASI ............................................................................................. 9

Pengertian Toksikologi dan Efek Toksik ............................................................................... 9

Jalur zat toksik masuk ke dalam tubuh................................................................................. 10

Jalur Masuknya Zat Toksik Melalui Inhalasi ....................................................................... 10

Prosedur Pengujian Dan Evaluasi ........................................................................................ 12

B. TOKSIKOLOGI HATI..................................................................................................... 13

Cara Kerja Hati..................................................................................................................... 14

Jenis kerusakan hati .............................................................................................................. 15

Efek toksik pada hati (Hepatotoksik) ................................................................................... 16

Contoh zat kimia yang bersifat hepatotoksik ....................................................................... 18

Prosedur Pengujian Dan Evaluasi ........................................................................................ 19

C. TOKSIKOLOGI GINJAL ................................................................................................ 20

Organ ginjal sebagai sasaran toksikan ................................................................................. 20

Kerusakan yang dapat terjadi pada Ginjal/nefron. ............................................................... 20

Penyakit Ginjal Akibat Paparan Logam Berat Di Tempat Kerja ......................................... 21

Nefrotoksisitas ...................................................................................................................... 24

Prosedur Pengujian Dan Evaluasi ........................................................................................ 26

D. TOKSIKOLOGI KULIT .................................................................................................. 27

Tanggapan Beracun Kulit..................................................................................................... 29

Tanggapan Fototoksik Kulit ................................................................................................. 30

Jenis Efek Toksik Pada Kulit ............................................................................................... 31

Kerusakan Struktur Kulit Dan Pigmentasi ........................................................................... 31

Kanker Kulit ......................................................................................................................... 32

2
Prosedur Pengujian Dan Evaluasi ........................................................................................ 32

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 33

3
PERKEMBANGAN AWAL TOKSIKOLOGI
Sejak perkembangan peradaban manusia dalam mencari makanan, tentu telah mencoba
beragam bahan baik botani, nabati, maupun dari mineral. Melalui pengalamannya ini ia
mengenal makanan, yang aman dan berbaya. Dalam kontek ini kata makanan dikonotasikan ke
dalam bahan yang aman bagi tubuhnya jika disantap, bermanfaat serta diperlukan oleh tubuh
agar dapat hidup atau menjalankan fungsinya. Sedangkan kata racun merupakan istilah yang
digunakan untuk menjelaskan dan mengambarkan berbagai bahan ”zat kimia” yang dengan
jelas berbahaya bagi badan.
Kata racun ”toxic” adalah bersaral dari bahasa Yunani, yaitu dari akar kata tox, dimana
dalam bahasa Yunani berarti panah. Dimana panah pada saat itu digunakan sebagai senjata
dalam peperangan, yang selalu pada anak panahnya terdapat racun. Di dalam ”Papyrus Ebers
(1552 B.C.)“ orang Mesir kuno memuat informasi lengkap tentang pengobatan dan obat. Di
Papyrus ini juga memuat ramuan untuk racun, seperti antimon (Sb), tembaga, timbal,
hiosiamus, opium, terpentine, dan verdigris (kerak hijau pada permukaan tembaga). Sedangkan
di India (500 - 600 B.C.) di dalam Charaka Samhita disebutkan, bahwa tembaga, besi, emas,
timbal, perak, seng, bersifat sebagai racun, dan di dalam Susrata Samhita banyak menulis
racun dari makanan, tananaman, hewan, dan penangkal racun gigitan ular.
Hippocrates (460-370 B.C.), dikenal sebagai bapak kedokteran, disamping itu dia juga
dikenal sebagai toksikolog dijamannya. Dia banyak menulis racun bisa ular dan di dalam
bukunya juga menggambarkan, bahwa orang Mesir kuno telah memiliki pengetahuan
penangkal racun, yaitu dengan menghambat laju penyerapan racun dari saluran pencernaan.
Disamping banyak lagi nama besar toksikolog pada jaman ini, terdapat satu nama yang perlu
mendapat catatan disini, yaitu besar pada jaman Mesir dan Romawi kuno adalah Pendacious
Dioscorides (A.D. 50), dikenal sebagai bapak Materia Medika, adalah seorang dokter tentara.
Di dalam bukunya dia mengelompokkan racun dari tanaman, hewan, dan mineral.
Hal ini membuktikan, bahwa efek berbahaya (toksik) yang ditimbulkan oleh zat racun
(tokson) telah dikenal oleh manusia sejak awal perkembangan beradaban manusia. Oleh
manusia efek toksik ini banyak dimanfaatkan untuk tujuan seperti membunuh atau bunuh diri.
Untuk mencegah keracunan, orang senantiasa berusaha menemukan dan mengembangkan
upaya pencegahan atau menawarkan racun. Usaha ini seiring dengan perkembangan
toksikologi itu sendiri. Namun, evaluasi yang lebih kritis terhadap usaha ini baru dimulai oleh
Maimonides (1135 - 1204) dalam bukunya yang terkenal Racun dan Andotumnya.
Sumbangan yang lebih penting bagi kemajuan toksikologi terjadi dalam abad ke-16 dan
sesudahnya. Paracelcius adalah nama samaran dari Philippus Aureolus Theophratus Bombast
4
von Hohenheim (1493-1541), toksikolog besar, yang pertama kali meletakkan konsep dasar
dasar dari toksikologi. Dalam postulatnya menyatakan: “Semua zat adalah racun dan tidak ada
zat yang tidak beracun, hanya dosis yang membuatnya menjadi tidak beracun”. Pernyataan ini
menjadi dasar bagi konsep hubungan dosis reseptor dan indeks terapi yang berkembang
dikemudian hari.
Matthieu Joseph Bonaventura Orfila dikenal sebagai bapak toksikologi modern. Ia adalah
orang Spayol yang terlahir di pulau Minorca, yang hidup antara tahun 1787 sampai tahun 1853.
Pada awak karirnya ia mempelajari kimia dan matematika, dan selanjutnya mempelajari ilmu
kedokteran di Paris. Dalam tulisannya (18141815) mengembangkan hubungan sistematik
antara suatu informasi kimia dan biologi tentang racun. Dia adalah orang pertama, yang
menjelaskan nilai pentingnya analisis kimia guna membuktikan bahwa simtomatologi yang ada
berkaitan dengan adanya zat kimia tertentu di dalam badan. Orfila juga merancang berbagai
metode untuk mendeteksi racun dan menunjukkan pentingnya analisis kimia sebagai bukti
hukum pada kasus kematian akibat keracunan. Orfila bekerja sebagai ahli medikolegal di
Sorbonne di Paris. Orfila memainkan peranan penting pada kasus LaFarge (kasus pembunuhan
dengan arsen) di Paris, dengan metode analisis arsen, ia membuktikan kematian diakibatkan
oleh keracuanan arsen. M.J.B. Orfila dikenal sebagai bapak toksikologi modern karena
minatnya terpusat pada efek tokson, selain itu karena ia memperkenalkan metodologi
kuantitatif ke dalam studi aksi tokson pada hewan, pendekatan ini melahirkan suatu bidang
toksikologi modern, yaitu toksikologi forensik. Dalam bukunya Traite des poison, terbit pada
tahun 1814, dia membagi racun menjadi enam kelompok, yaitu: corrosives, astringents, acrids,
stupefying or narcotic, narcoticacid, dan septica atau putreficants.

PENGERTIAN TOKSIKOLOGI DAN RACUN


Secara sederhana dan ringkas, toksikologi dapat didefinisikan sebagai kajian tentang
hakikat dan mekanisme efek berbahaya (efek toksik) berbagai bahan kimia terhadap makhluk
hidup dan sistem biologik lainnya. Ia dapat juga membahas penilaian kuantitatif tentang berat
dan kekerapan efek tersebut sehubungan dengan terpejannya (exposed) makhluk tadi.
Apabila zat kimia dikatakan berracun (toksik), maka kebanyakan diartikan sebagai zat
yang berpotensial memberikan efek berbahaya terhadap mekanisme biologi tertentu pada suatu
organisme. Sifat toksik dari suatu senyawa ditentukan oleh: dosis, konsentrasi racun di reseptor
“tempat kerja”, sifat zat tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan
terhadap organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan. Sehingga apabila menggunakan istilah
toksik atau toksisitas, maka perlu untuk mengidentifikasi mekanisme biologi di mana efek
5
berbahaya itu timbul. Sedangkan toksisitas merupakan sifat relatif dari suatu zat kimia, dalam
kemampuannya menimbulkan efek berbahaya atau penyimpangan mekanisme biologi pada
suatu organisme.
Toksisitas merupakan istilah relatif yang biasa dipergunakan dalam
memperbandingkan satu zat kimia dengan lainnya. Adalah biasa untuk mengatakan bahwa
satu zat kimia lebih toksik daripada zat kimia lain. Perbandingan sangat kurang informatif,
kecuali jika pernyataan tersebut melibatkan informasi tentang mekanisme biologi yang sedang
dipermasalahkan dan juga dalam kondisi bagaimana zat kimia tersebut berbahaya. Oleh sebab
itu, pendekatan toksikologi seharusnya dari sudut telaah tentang berbagai efek zat kimia atas
berbagai sistem biologi, dengan penekanan pada mekanisme efek berbahaya zat kimia itu dan
berbagai kondisi di mana efek berbahaya itu terjadi.
Pada umumnya efek berbahaya / efek farmakologik timbul apabila terjadi interaksi
antara zat kimia (tokson atau zat aktif biologis) dengan reseptor. Terdapat dua aspek yang harus
diperhatikan dalam mempelajari interakasi antara zat kimia dengan organisme hidup, yaitu
kerja farmakon pada suatu organisme (aspek farmakodinamik / toksodinamik) dan pengaruh
organisme terhadap zat aktif (aspek farmakokinetik / toksokinetik) aspek ini akan lebih detail
dibahas pada sub bahasan kerja toksik.
Telah dipostulatkan oleh Paracelcius, bahwa sifat toksik suatu tokson sangat ditentukan
oleh dosis (konsentrasi tokson pada reseptornya). Artinya kehadiran suatu zat yang
berpotensial toksik di dalam suatu organisme belum tentu menghasilkan juga keracunan. Misal
insektisida rumah tangga (DDT) dalam dosis tertentu tidak akan menimbulkan efek yang
berbahaya bagi manusia, namun pada dosis tersebut memberikan efek yang mematikan bagi
serangga. Hal ini disebabkan karena konsentrasi tersebut berada jauh dibawah konsentrasi
minimal efek pada manusia. Namun sebaliknya apabila kita terpejan oleh DDT dalam waktu
yang relatif lama, dimana telah diketahui bahwa sifat DDT yang sangat sukar terurai
dilingkungan dan sangat lipofil, akan terjadi penyerapan DDT dari lingkungan ke dalam tubuh
dalam waktu relatif lama. Karena sifat fisiko kimia dari DDT, mengakibatkan DDT akan
terakumulasi (tertimbun) dalam waktu yang lama di jaringan lemak. Sehingga apabila batas
konsentrasi toksiknya terlampaui, barulah akan muncul efek toksik. Efek atau kerja toksik
seperti ini lebih dikenal dengan efek toksik yang bersifat kronis.
Toksin Clostridium botulinum, adalah salah satu contoh tokson, dimana dalam
konsentrasi yang sangat rendah (10-9 mg/kg berat badan), sudah dapat mengakibatkan efek
kematian. Berbeda dengan metanol, baru bekerja toksik pada dosis yang melebihi 10 g.
Pengobatan parasetamol yang direkomendasikan dalam satu periode 24 jam adalah 4 g untuk
6
orang dewasa dan 90 mg/kg untuk anak-anak. Namun pada penggunaan lebih dari 7 g pada
orang dewasa dan 150 mg/kg pada anak-anak akan menimbulkan efek toksik.
Dengan demikian, resiko keracunan tidak hanya tergantung pada sifat zatnya sendiri,
tetapi juga pada kemungkinan untuk berkontak dengannya dan pada jumlah yang masuk dan
diabsorpsi. Dengan lain kata tergantung dengan cara kerja, frekuensi kerja dan waktu kerja.
Antara kerja (atau mekanisme kerja) sesuatu obat dan sesuatu tokson tidak terdapat perbedaan
yang prinsipil, ia hanya relatif. Semua kerja dari suatu obat yang tidak mempunyai sangkut
paut dengan indikasi obat yang sebenarnya, dapat dinyatakan sebagai kerja toksik.
Kerja medriatik (pelebaran pupil), dari sudut pandangan ahli mata merupakan efek
terapi yang dinginkan, namun kerja hambatan sekresi, dilihat sebagai kerja samping yang tidak
diinginkan. Bila seorang ahli penyakit dalam menggunakan zat yang sama untuk terapi,
lazimnya keadaan ini manjadi terbalik. Pada seorang anak yang tanpa menyadarinya telah
memakan buah Atropa belladonna, maka mediaris maupun mulut kering harus dilihat sebagai
gejala keracuanan. Oleh sebab itu ungkapan kerja terapi maupun kerja toksik tidak pernah
dinilai secara mutlak. Hanya tujuan penggunaan suatu zat yang mempunyai kerja farmakologi
dan dengan demikian sekaligus berpotensial toksik, memungkinkan untuk membedakan
apakah kerjanya sebagai obat atau sebagai zat racun.
Tidak jarang dari hasil penelitian toksikologi, justru diperoleh senyawa obat baru.
Seperti penelitian racun (glikosida digitalis) dari tanaman Digitalis purpurea dan lanata, yaitu
diperoleh antikuagulan yang bekerja tidak langsung, yang diturunkan dari zat racun yang
terdapat di dalam semanggi yang busuk. Inhibitor asetilkolinesterase jenis ester fosfat, pada
mulanya dikembangkan sebagai zat kimia untuk perang, kemudian digunakan sebagai
insektisida dan kini juga dipakai untuk menangani glaukoma.
Toksikologi modern merupakan bidang yang didasari oleh multi displin ilmu, ia dengan
dapat dengan bebas meminjam bebarapa ilmu dasar, guna mempelajari interaksi antara tokson
dan mekanisme biologi yang ditimbulkan (lihat gambar 1.1). Ilmu toksikologi ditunjang oleh
berbagai ilmu dasar, seperti kimia, biologi, fisika, matematika. Kimia analisis dibutuhkan
untuk mengetahui jumlah tokson yang melakukan ikatan dengan reseptor sehingga dapat
memberikan efek toksik

7
Bidang ilmu biokimia diperlukan guna mengetahui informasi penyimpangan reaksi
kimia pada organisme yang diakibatkan oleh xenobiotika. Perubahan biologis yang diakibatkan
oleh xenobiotika dapat diungkap melalui bantuan ilmu patologi, immonologi, dan fisiologi.
Untuk mengetahui efek berbahaya dari suatu zat kimia pada suatu sel, jaringan atau organisme
memerlukan dukungan ilmu patologi, yaitu dalam menunjukan wujud perubahan /
penyimpangan kasar, mikroskopi, atau penyimpangan submikroskopi dari normalnya.
Perubahan biologi akibat paparan tokson dapat termanisfestasi dalam bentuk perubahan sistem
kekebakan (immun) tubuh, untuk itu diperlukan bidang ilmu immunologi guna lebih dalam
mengungkap efek toksik pada sistem kekebalan organisme.
Mengadopsi konsep dasar yang dikemukakan oleh Paracelcius, manusia
menggolongkan efek yang ditimbulkan oleh tokson menjadi konsentrasi batas minimum
memberikan efek, daerah konsentrasi dimana memberikan efek yang menguntungkan (efek
terapeutik , lebih dikenal dengan efek farmakologi), batas konsentrasi dimana sudah
memberikan efek berbahaya (konsetrasi toksik), dan konstrasi tertinggi yang dapat
menimbulkan efek kematian. Agar dapat menetapkan batasan konsentrasi ini toksikologi
memerlukan dukungan ilmu kimia analisis, biokimia, maupun kimia instrmentasi, serta
hubungannya dengan biologi. Ilmu statistik sangat diperlukan oleh toksikologi dalam
mengolah baik data kualitatif maupun data kuantitatif yang nantinya dapat dijadikan sebagai
besaran ekspresi parameter-parameter angka yang mewakili populasi.
Bidang yang paling berkaitan dengan toksikologi adalah farmakologi, karena ahli
farmakologi harus memahami tidak hanya efek bermanfaat zat kimia, tetapi juga efek
berbahayanya yang mungkin diterapkan pada penggunaan terapi. Farmakologi pada umumnya
menelaah efek toksik, mekanisme kerja toksik, hubungan dosis respon, dari suatu tokson.

8
A. TOKSIKOLOGI INHALASI
Pengertian Toksikologi dan Efek Toksik
Secara sederhana dan ringkas, toksikologi dapat didefinisikan sebagai kajian tentang
hakikat dan mekanisme efek berbahaya (efek toksik) berbagai bahan kimia terhadap makhluk
hidup dan system biologik lainnya. Ia dapat juga membahas penilaian kuantitatif tentang berat
dan kekerapan efek tersebut sehubungan dengan terpejannya (exposed) makhluk tadi
(Rachmawati, 2013).
Toksikologi merupakan studi mengenai efek-efek yang tidak diinginkan dari zatzat kimia
terhadap organisme hidup. Toksikologi juga membahas tentang penilaian secara kuantitatif
tentang organ-organ tubuh yang sering terpajang serta efek yang di timbulkannya
(Rachmawati, 2013). Efek toksik atau efek yang tidak diinginkan dalam sistem biologis tidak
akan dihasilkan oleh bahan kimia kecuali bahan kimia tersebut atau produk biotransformasinya
mencapai tempat yang sesuai di dalam tubuh pada konsentrasi dan lama waktu yang cukup
untuk menghasilkan manifestasi toksik. Faktor utama yang mempengaruhi toksisitas yang
berhubungan dengan situasi pemaparan (pemajanan) terhadap bahan kimia tertentu adalah jalur
masuk ke dalam tubuh, jangka waktu dan frekuensi pemaparan (Wahyu dan Raymond, 2008).
Pemaparan bahan-bahan kimia terhadap binatang percobaan biasanya dibagi dalam
empat kategori: akut, subakut, subkronik, dan kronik. Untuk manusia pemaparan akut biasanya
terjadi karena suatu kecelakaan atau disengaja, dan pemaparan kronik dialami oleh para pekerja
terutama di lingkungan industri-industri kimia. Interaksi bahan kimia dapat terjadi melalui
sejumlah mekanisme dan efek dari dua atau lebih bahan kimia yang diberikan secara bersamaan
akan menghasilkan suatu respons yang mungkin bersifat aditif, sinergis, potensiasi, dan
antagonistik. Karakteristik pemaparan membentuk spektrum efek secara bersamaan
membentuk hubungan korelasi yang dikenal dengan hubungan dosis-respons (Darmanto,
2001).
Pada umumnya efek berbahaya / efek farmakologik timbul apabila terjadi interaksi antara
zat kimia (tokson atau zat aktif biologis) dengan reseptor. Terdapat dua aspek yang harus
diperhatikan dalam mempelajari interakasi antara zat kimia dengan organisme hidup, yaitu
kerja farmakon pada suatu organisme (aspek farmakodinamik /toksodinamik) dan pengaruh
organisme terhadap zat aktif (aspek farmakokinetik /toksokinetik) aspek ini akan lebih detail
dibahas pada sub bahasan kerja toksik (Anief, 2002).

9
Jalur zat toksik masuk ke dalam tubuh
Semua bahan kimia pada hakekatnya adalah racun, dosisnyalah yang membedakan
racun dan obat. Keracunan atau intoksikasi adalah keadaan tidak normal akibat efek racun.
Portal entri adalah pintu masuknya bahan kimia ke dalam tubuh organisme. Beberapa portal
entri yang penting adalah:

(1) mulut, oral, atau lewat tractus gastero-intestinales/saluran pencernaan;


(2) saluran pernapasan atau per inhalasi, atau lewat tractus respiratorius;
(3) kulit atau dermal;
(4) parenteral atau disuntikkan ke dalam tubuh, bisa ke otot (intra muskuler, IM); ke vena
(intravena, IV); ke peritoneum (intra peritoneum, IP), di bawah kulit (subcutan, SC)
(Yuliarti, 2013).
Bahan-bahan kimia atau zat racun dapat masuk ke dalam tubuh melewati tiga saluran,
yakni (Rachmawati, 2013):
1. Melalui mulut atau tertelan bisa disebut juga per-oral atau ingesti. Hal ini sangat jarang
terjadi kecuali kita memipet bahan-bahan kimia langsung menggunakan mulut atau
makan dan minum di laboratorium.
2. Melalui kulit. Bahan kimia yang dapat dengan mudah terserap kulit ialah aniline,
nitrobenzene, dan asam sianida.
3. Melalui pernapasan (inhalasi). Gas, debu dan uap mudah terserap lewat pernapasan dan
saluran ini merupakan sebagian besar dari kasus keracunan yang terjadi. SO2 (sulfur
dioksida) dan Cl2 (klor) memberikan efek setempat pada jalan pernapasan. Sedangkan
HCN, CO, H2S, uap Pb dan Zn akan segera masuk ke dalam darah dan terdistribusi ke
seluruh organ-organ tubuh.
4. Melalui suntikan (parenteral, injeksi)
5. Melalui dubur atau vagina (perektal atau pervaginal)

Jalur Masuknya Zat Toksik Melalui Inhalasi


Pemejanan (eksposisi) xenobiotika (senyawa-senyawa asing yang tidak terdapat secara
alami di lingkungan tertentu) yang berada di udara dapat terjadi melalui penghirupan
xenobiotika tersebut. Tokson yang terdapat di udara berada dalam bentuk gas, uap, butiran cair,
dan partikel padat dengan ukuran yang berbeda-beda.Disamping itu perlu diingat, bahwa
saluran pernafasan merupakan sistem yang komplek, yang secara alami dapat menseleksi
partikel berdasarkan ukurannya. Oleh sebab itu ambilan dan efek toksik dari tokson yang

10
dihirup tidak saja tergantung pada sifat toksisitasnya tetapi juga pada sifat fisiknya (Wirasuta
dan Rasmaya, 2006).

Saluran pernafasan terdiri atas nasofaring, saluran trakea dan bronkus, serta acini
paruparu, yang terdiri atas bronkiol pernafasan, saluran alveolar, dan alveoli. Nasofaring
berfungsi membuang partikel besar dari udara yang dihirup, menambahkan uap air, dan
mengatur suhu. Umumnya partikel besar ( >10 μm) tidak memasuki saluran napas, kalau masuk
akan diendapkan di hidung dan dienyahkan dengan diusap, dihembuskan dan berbangkis.
Saluran trakea dan bronkus berfungsi sebagai saluran udara yang menuju alveoli. Trakea dan
bronki dibatasi oleh epiel bersilia dan dilapisi oleh lapisan tipis lendir yang disekresi dari sel
tertentu dalam lapisan epitel. Dengan silia dan lendirnya, lapisan ini dapat mendorong naik
partikel yang mengendap pada permukaan menuju mulut. Partikel yang mengandung lender
tersebut kemudian dibuang dari saluran pernafasan dengan diludahkan atau ditelan. Namun,
butiran cairan dan partikel padat yang kecil juga dapat diserap lewat difusi dan fagositosis.
Fagosit yang berisi partikel-partikel akan diserap ke dalam sistem limfatik. Beberapa partikel
bebas dapat juga masuk ke saluran limfatik. Partikel-partikel yang dapat terlarut mungkin
diserap lewat epitel ke dalam darah. Alveoli merupakan tempat utama terjadinya absorpsi
xenobiotika yang berbentuk gas, seperti carbon monoksida, oksida nitrogen, belerang dioksida
atau uap cairan, seperti bensen dan karbontetraklorida. Kemudahan absorpsi ini berkaitan
dengan luasnya permukaan alveoli, cepatnya aliran darah, dan dekatnya darah dengan udara

11
alveoli. Laju absorpsi bergantung pada daya larut gas dalam darah. Semakin mudah larut akan
semakin cepat diabsorpsi (Wirasuta dan Rasmaya, 2006).
Tempat utama bagi absorpsi di saluran napas adalah alveoli paru-paru, terutama berlaku
untuk gas (seperti karbon monoksida ”CO”, oksida nitrogen, dan belerang oksida) dan juga uap
cairan (seperti benzen dan karbon tetraklorida). Sistem pernapasan mempunyai kapasitas
absorpsi yang tinggi. Kemudahan absorpsi ini berkaitan dengan luasnya permukaan alveoli,
laju aliran darah yang cepat, dan dekatnya darah dengan udara alveoli. Oleh sebab itu jalur
eksposisi ini merupakan hal yang menarik bagi farmasis untuk mengembangkan produk
sediaan farmaseutika untuk mendapatkan efek farmakologi yang akut, guna menghindari
pemakaian secara injeksi. Absorpsi pada jalur ini dapat terjadi melalui membran ”nasal cavity”
atau absorpsi melalui alveoli paru-paru. Kedua membran ini relative mempunyai permeabilitas
yang tinggi terhadap xenobiotika. Sebagai contoh senyawa ammonium quarterner, dimana
sangat susah diserap jika diberikan melalui jalur oral, namun pada pemberian melalui ”nasal
cavity” menunjukkan tingkat konsentrasi di darah yang hampir sama dibandingkan dengan
pemakaian secara intravena. Luas permukaan alveoli yang sangat luas, ketebalan diding
membran yang relativ tipis, permeabilitas yang tinggi, lanju aliran darah yang tinggi, dan tidak
terdapat reaksi ”first-pass-efect” merupakan faktor yang menguntungkan proses absorpsi
xenobiotika dari paru-paru. Namun pada kenyataannya jalur eksposisi ini sedikit dipillih dalam
uji toksisitas dari suatu xenobiotika, karena; (1) kesulitan mengkuantisasikan dosis yang
terserap, (2) partikel dengan ukuran tertentu akan terperangkap oleh rambut silia atau lender
dimana selanjutnya dibuang melalui saluran cerna, sehingga absopsi justru terjadi melalui
saluran cerna, (3) senyawa volatil (mudah menguap) pada umumnya melalui jalur ini
terabsorpsi sebagian, bagian yang tidak terabsorsi akan dihembuskan menuju udara bebas, hal
ini tidak seperti jalur eksposisi saluran cerna (Wirasuta dan Rasmaya, 2006).

Prosedur Pengujian Dan Evaluasi

12
B. TOKSIKOLOGI HATI
Hati merupakan organ terbesar di dalam tubuh, memiliki berat 1500 g pada manusia
dewasa normal yang diperkirakan sekitar 2,5 % dari berat badan. Terletak di bawah tulang iga,
dalam rongga perut sebelah kanan.
Hati terdiri atas beberapa belahan (lobus). Masing-masing lobus dibentuk oleh ratusan
ribu lobulus yang berbentuk heksagonal. Tiap lobulus dilapisi oleh jaringan ikat interlobular
yang disebut kapsula Glisson. Pada bagian tengah lobulus hati terdapat vena sentralis, pita-pita
sel hati yang bercabang atau berantomosis tersusun radier terhadap vena sentralis. Diantara
pita-pita sel hati terdapat sinusoid-sinusoid darah yang tampak seperti celah-celah atau rongga.
Pada dinding sinusoid terdapat sel kapiler yang tergolong sebagai makrofage/sel kupfer. Sel
kupfer adalah sistem sistem monosit –makrofag, yang fungsi utamanya adalah menelan bakteri
dan benda asing lain dalam darah. Sudut antara lobuli-lobuli yang bersebelahan disebut segitiga
Kiernann yang berisi saluran porta, yaitu arteri, vena dan saluran empedu interlobular.
Sel hati (hepatosit) berbentuk polyhedral, berinti satu (75%) atau dua (25%).
Sitoplasma mengandung banyak butir glikogen. Sel-sel inilah yang menghasilkan empedu.
Untuk sementara empedu disimpan dalam kandung empedu(vesika fellea), disini empedu
tersebut menjadi kental karena airnya diserap kembali oleh dinding kandung empedu. Empedu
yang dibentuk di hepatosit diekskresi kedalam kanikuli yang bersatu membentuk saluran
empedu yg makin lama makin besar hingga menjadi sal empedu besar (duktus koledokus).
Hormon kholesistokinin mengatur pengeluaran empedu ke usus halus. Oleh ductus
sistikus empedu disalurkan ke duktus kholedokhus yang bermuara di duodenum, dan di tempat
tersebut terjadi pengemulsian lemak. Kandung empedu berkembang pada kebanyakan
vertebrata Manusia masih dapat hidup selama bertahun-tahun setelah kandung empedunya
dibuang melalui pembedahan dengan syarat harus menghindari lemak dalam dietnya.
Hati mempunyai fungsi yang sangat banyak, sehingga hati merupakan organ tubuh
yang sangat penting dalam menunjang kesehatan dan kehidupan. Berbagai fungsi penting dari
hati adalah sebagai berikut :
 Detoksifikasi zat-zat toksis, yaitu menyaring segala macam zat yang masuk
kedalam tubuh menetralkan dan membuangnya ke luar tubuh. Fungsi detoksikasi
sangat penting dan dilakukan oleh enzim-enzim hati melalui oksidasi, reduksi,
hidrolisis atau konyugasi zat berbahaya, dan mengubahnya menjadi zat yang secara
fisiolodia tidak aktif.

13
 Mengahasilkan empedu (sebagai kelenjar eksokrin) yang terkumpul dalam kandung
empedu,Empedu tdd air 97%, elektrolit, garam empedu, fosfolipid (terutam
alesitin), kolesterol, pigmen empedu (terutama bilirubin terkonjugasi). Garam
empedu penting utntuk pencernaan dan absorbsi lemak dalam usus halus. Setelah
diolah bakteri usus halus, maka sebagian garam empedu akan direabsorbsi di ileus
, megalami resirkulasi ke hati, serta kembali dikonjungasi dan diskeresi.
 Menyimpan lemak dan glikogen serta albumin,Hati berperan penting dalam
metabolisme karbohidrat, protein dan lemak.
 Mensintesis protein plasma darah,fungsi metabolisme hati yg lain adalah
metabolisme lemak; penyimpanan vitamain, besi dan tembaga; konyugasi dan
ekskresi steroid adrenal dan gonad, serta detoksikasi zat endogen dan eksogen.
Merombak eritrosit yang rusak.
 Eliminasi asam amino menjadi urea, menyimpan vitamin A dan B dan berperan
dalam metabolisme karbohidrat dan lemak.
 Menghasilkan suatu hormone.
Hati berperan dalam hampir setiap fungsi metabolic tubuh. Hati memiliki kapasitas
cadangan yg besar, hanya dengan 10-20% jaringan yg berfungsi, hati masih dapat
mempertahankan kehidupan. Destruksi total atau pembuangan hati menyebabkan kematian
dalam 10jam. Kemampuan regenerasi hati sangat mengagumkan.

Cara Kerja Hati


1. Dalam Proses Ekskresi
Hemoglobin dipecah menjadi zat besi, globin, dan hemin.zat besi, diambil & disimpan dlm
hati, yg nantinya dikembalikan k sumsum tlg blkgglobulin, digunaan lg utk metabolisme
protein, membentk hemoglobin baruhemin, diubah menjadi bilirubin & biliverdin. Dikeluarkan
ke usus 12 jari n di oksidasi mnjd urobilin, yg mnjd pewarna coklat pd feses.
2. Pengikatan Racun
Arginin asam amino arginin -> as. amino ortinin + ureaasam amono ortinin mengikat NH3
n CO2 yg bersifat racun bagi tubuhasam amino ortinin diubah menjadi as. amino sitrulin.asam
amino sitrulin + NH3 -> as. Amino(ulang lagi prosesnya) sehingga akan terus dihasilkan urea,
yg dibuang ke ginjal, utk dikeluarkan besama urin.racun -> urea -> dikeluarkan dari tubuh.

14
Jenis kerusakan hati
 Penyakit kuning
Di Indonesia, kondisi kulit dan mata yang menguning dikenal dengan penyakit kuning.
Padahal kondisi ini sebenarnya merupakan gejala dari gangguan hati yang ditandai dengan
perubahan warna kuning pada kulit dan mata. Hal ini disebabkan oleh kadar bilirubin
(pigmen empedu) dalam aliran darah yang melebihi rentang normal. Tingkat bilirubin
menjadi tinggi karena terjadi kelainan sel atau peradangan pada hati.
 Kolestasis
Kolestasis merupakan kondisi terhambatnya cairan empedu. Cairan empedu dihasilkan
hati guna membantu proses pencernaan. Aliran empedu yang terhambat ini menyebabkan
penumpukan bilirubin.
 Sirosis
Sirosis merupakan kondisi terbentuknya luka atau jaringan parut di hati yang bersifat
kronis. Kerusakan pada hati yang mengalami sirosis tidak bisa diperbaiki. Kondisi ini bisa
menyebabkan kegagalan hati. Kebiasaan minum minuman beralkohol, infeksi virus
Hepatitis B dan C merupakan penyebab paling umum dari sirosis.
 Hepatitis A
Penyakit ini disebabkan oleh virus Hepatitis A. Virus ini menyebabkan peradangan hati.
Cara penularannya adalah melalui feses, air, dan makanan yang terkontaminasi. Kontak
fisik dengan penderita melalui hubungan seks juga dapat meningkatkan risiko tertular
hepatitis A.
 Hepatitis B
Hepatitis B merupakan infeksi hati. Penyakit ini disebabkan oleh virus Hepatitis B yang
ditularkan melalui darah, cairan tubuh, atau luka yang terbuka. Ibu hamil yang menderita
hepatitis B juga dapat menularkannya kepada janin di dalam kandungan. Hati yang
terinfeksi akan mengalami luka, kegagalan hati, dan bahkan kanker jika tidak ditangani
secepatnya.
 Hepatitis C
Virus Hepatitis C dapat menular melalui darah. Hepatitis C membuat hati mengalami
pembengkakan. Kondisi kronis dari infeksi virus ini membuat hati mengalami sirosis,
kegagalan hati, dan kanker hati.
 Fatty liver atau perlemakan hati
Sesuai dengan namanya, karateristik penyakit ini ditandai dengan terlalu banyak lemak
yang tersimpan dalam hati. Akibatnya, hati mengalami peradangan yang dapat
15
berkembang menjadi jaringan parut permanen. Pada kondisi kronis, hati berisiko
mengalami sirosis dan terjadi kegagalan hati. Fatty liver bisa dipicu oleh konsumsi
minuman keras (alcoholic fatty liver), juga oleh sebab lain (non-alcohoic fatty liver
disease/NAFLD), seperti diabetes dan obesitas.
 Kanker Hati
Kanker hati terjadi ketika sel hati mengalami mutasi sehingga tumbuh secara tidak
terkendali. Dalam beberapa kasus, infeksi kronis akibat virus hepatitis B dan C
menyebabkan kanker hati.
Selain dari yang disebutkan di atas, beberapa penyakit yang disebabkan oleh bakteri,
toksin, dan kelainan genetik juga bisa menyebabkan gangguan hati.

Efek toksik pada hati (Hepatotoksik)


Hati adalah organ terbesar dan secara metabolisme paling kompleks di dalam tubuh. Organ
hati terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan toksikan. Secara
struktural organ hati tersusun oleh hepatosit (sel parenkim hati). Hepatosit bertanggung jawab
terhadap peran sentral hati dalam metabolisme. Sel-sel tersebut terletak di antara sinusoid yang
terisi darah dan saluran empedu. Sel Kuffer melapisi sinusoid hati dan merupakan bagian
penting dari sitem retikuloendotelial tubuh. Darah dipasok melalui vena porta dan arteri
hepatika, dan disalurkan melalui vena sentral dan kemudian vena hepatika ke dalam vena kava.
Saluran empedu mulai berperan sebagai kanalikuli yang kecil sekali yang dibentuk oleh sel
parenkim yang berdekatan. Kanalikuli bersatu menjadi duktula, saluran empedu interlobular,
dan saluran hati yang lebih besar. Saluran hati utama menghubungkan duktus kistik dari
kandung empedu dan membentuk saluran empedu biasa, yang mengalir ke dalam duodenum
(Lu, 1995).
Toksikologi hati dipersulit oleh berbagai kerusakan hati dan berbagai mekanisme yang
menyebabkan kerusakan tersebut. Hati sering menjadi organ sasaran karena beberapa hal.
Sebagian besar toksikan memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal, setlah diserap,
toksikan dibawa vena porta ke hati. Hati mempunyai banyak tempat pengikatan. Kadar enzim
yang memetabolisme xenobiotik dalam hati juga tinggi (terutama sitokrom P-450). Hal tersebut
membuat sebagian besar toksikan menjadi kurang toksik dan lebih mudah larut dalam air,
sehingga lebih mudah dieksresikan. Tetapi dalam beberapa kasus, toksikan diaktifkan sehingga
dapat menginduksi lesi. Lesi hati bersifat sentrilobuler banyak dihubungkan dengan kadar
sitokrom P-450 yang lebih tinggi (Zimmerman, 1982). Selain itu kadar glutation yang relatif

16
rendah, dibandingkan dengan kadar glutation di bagian lain dari hati, dapat juga berperan
mengaktifkan toksikan (Smith et al. 1979).
Toksikan dapat menyebabkan berbagai jenis efek toksik pada berbagai organel dalam
sel hati, seperti perlemakan hati (steatosis), nekrosis, kolestasis, dan sirosis (Lu, 1995).
Steatosis adalah hati yang mengandung berat lipid lebih dari 5%. Mekanisme terjadinya
penimbunan lemak pada hati secara umum yaitu rusaknya pelepasan trigliserid hati ke plasma.
Nekrosis hati adalah kematian hepatosit. Biasanya nekrosis merupakan kerusakan akut.
Beberapa zat kimia telah dibuktikan atau dilaporkan menyebakan nekrosis pada hati
(Zimmerman, 1982).
Kolestasis merupakan jenis kerusakan hati yang biasanya bersifat akut. Beberapa
steroid anabolik dan kontraseptif di samping taurokolat, klorpromazin, dan eritromisin
laktobionat terlah terbukti menyebabkan kolestasis dan hiperbilirubinemia karena
tersumbatnya kanalikuli empedu. Sirosis ditandai oleh adanya septa kolagen yang tersebar di
sebagian besar hati. Serosis diduga berasal dari nekrosis sel-sel tunggal karena kurangnya
mekanisme perbaikan yang menyebabkan meningkatnya aktivitas fibroblastik dan pembentuan
jaringan parut (Lu, 1995).
Hepatosit tikus dan manusia yang terisolasi dalam suspensi atau dalam biakan, telah
digunakan dalam berbagai penelitian biokimia. Dalam mempelajari efek toksikan terhadap sel
hati yang sedang membelah digunakan hepatosit dari hewan yang sangat muda atau dari tumor
hati. Hepatosit yang diisolasi dapat digunakan untuk menentukan berbagai efek toksik (Lu,
1995), seperti :
1) Kerusakan membran dapat dideteksi secara mikroskopik atau secara biokimia.
Prosedur biokimia berupa pengukuran kemampuan sel menyerap kofaktor (misalnya
NADPH), bahan pewarna polar (misalnya biru tripan), dan substrat (misal suksinat) dan
pengukuran kebocoran enzim sitoplasma.
2) Mungkin terdapat perubahan dalam makromolekul selseperti penghambatan protein
dan sistesis RNA, dan peningkatan sintesis DNA.
3) Efek lain adalah perubahan metabolisme perantara dan perubahan dalam aktivitas dan
pertumbuhan hepatosit.
Hati menerima ± 25% dari cardiac output, aliran darah hati yang normal ± 1500 cc/
menit atau 1000 – 1800 cc/ menit. Darah yang mengalir di dalam a.hepatica ± 25% dan di
dalam v.porta 75% dari seluruh aliran darah ke hati. Aliran darah ke hepar dipengaruhi oleh
faktor mekanis, pengaruh persarafan dan hormonal, aliran ini berubah cepat pada waktu
exercise, terik matahari, shock. Hepar merupakan organ penting untuk mempertahankan aliran
17
darah. Obat-obatan dapat memberikan efek samping, salah satunya adalah efek hepatotoksik,
yaitu efek samping kerusakan sel-sel atau jaringan hati dan sekitarnya akibat konsumsi suatu
obat. Pada dasarnya, obat dianggap sebagai penyebab kerusakan hati jika:
1. Obat tersebut terbukti menyebabkan kerusakan hati pada binatang percobaan.
2. Jika suatu obat menyebabkan gangguan pada hati saat dikonsumsi dan gangguan hati
sembuh saat pemberian obat dihentikan, namun timbul kembali saat diberikan obat
lagi.

Contoh zat kimia yang bersifat hepatotoksik


1. Alkohol
Alkohol konsumisi terus menerus dapat menginduksi terjadinya hepatitis. selain
menginhibisi sintesis asam amino di hati. menginhibisi sintesis asam amino di hati dan
menginhibisi natrium dan kalium yg menstimulasi ATP ase sebagai trannsport aktif asam
amino di hati. Alkohol bisa menyebabkan 3 jenis kerusakan hati, yakni:
a. Pengumpulan lemak (fatty liver)
Gejalanya tergantung dari berapa lama dan berapa jumlah alkohol yang telah
diminum. Peminum berat biasanya menunjukkan gejala awal pada usia 30an dan
cenderung mengalami masalah yang berat pada umur 40an. Pada laki-laki, alkohol akan
menyebabkan efek yang mirip dengan yang dihasilkan oleh terlalu banyaknya estrogen
dan terlalu sedikitnya testosteron.
b. Peradangan (hepatitis alkoholik)
Peradangan hati yang disebabkan oleh alkohol (hepatitis alkkoholik),bisa
menyebabkan demam, sakit kuning, peningkatan jumlah sel darah putih dan
pembesaran hati yang teraba lunak dan terasa nyeri. Pada kulit akan tampak pembuluh
balik yang menyerupai gambaran laba-laba.
c. Pembentukan jaringan parut (sirosis).
Sirosis hati adalah keadaan penyakit yang sudah lanjut dimana fungsi hati sudah
sangat terganggu akibat banyaknya jaringan ikat di dalam hati.
2. Insektisida
Menyebabkan keracunan ringan pada hati dan merupakan inhibitor untuk enzim asetil
kolin esterase.

18
3. Mikotoksin
Kemungkinan terdapat dalam makanan olahan seperti kacang, oncom, kentang, bihun,
minyak kelapa, dan jamu(kadaluarsa), misalnya alfatoksin B1,B2, G1 dll.. yg berbahaya AFB1:
racun yg bersifat hepatotoksik, karsinogenik, menyebabkan hepatitis, hepatoma, kematian
katena kerusakan hati, gangguan kesehatan. efek biokimia AFB1:
 Menunjukkan pengaruh pada fungsi hati
 Menaikkan kandungan lipid
 Gangguan sintesis protein
 Menurunkan kadar vitamin A dalam hati alfatoksin dihasilkan oleh kapan Aspergillus
flavus. tumbuh di daerah tropis pada bahan makanan, suhu 20-30C, kelembaban 75-
85%.
4. Jamur
Jamur dapat merusak hati, memiliki senyawa golongan amanita mono metil hidrazin
dan senyawa toksik lain
5. CC14
Dosis 2-10mL memberikan efek mual, muntah, sakit kepala, kejang, koma gan
gangguan fungsi hati yg dapat menimbulkan kematian.
6. Obat : paracetamol
Parasetamol mengalami biotransformasi di hati, parasetamol terkonjugasi dengan asam
glukoronat membentuk metabolit elektrofil, N-asetil-P-benzokuinonimina (NABKI) sebagai
hepatotoksik.Pada dosis terapi metabolit tersebut dapat diikat oleh glutation (GSH) hati
membentuk konjugat dengan sistein dan asam merkapturat, yang kemudian diekskresi oleh
urin. Kejenuhan jalur konjugasi/kandungan GSH hati dihabiskan sampai menurun 20-30% dari
harga normal mengakibatkan NABKI dapat berikatan dengan makromolekul sel hati secara
ireversibel. Hal ini menyebabkan nekrosis sel hati.

Prosedur Pengujian Dan Evaluasi

19
C. TOKSIKOLOGI GINJAL
Organ ginjal sebagai sasaran toksikan
Selain hati, ginjal merupakan organ sasaran utama dari efek toksik. Hal ini disebabkan
urin/ginjal adalah merupakan jalur utama ekskresi toksikan sehingga volume aliran darah yang
mengandung toksikan cukup besar dan terjadi akumulasi toksikan pada filtrate glomerolus,
melewati sel-sel tubulus dan terjadi bioaktivasi toksikan tertentu.

Kerusakan yang dapat terjadi pada Ginjal/nefron.


1. Glomerolus
- Siklosporin, amfoterisin B dan gentamisin, mengurangi filtrasi glomerulus
mengakibatkan vasokontriksi renal.
- Antibiotika puromisin meningkatkan permeabilitas glomerolus terhadap protein seperti
albumin.
- Kerusakan pada glomerolus bias juga terjadi melalui proses autoimun, dimana toksikan
seperti logam berat, hidrokarbon, penisilamin dan kaptopril berperan sebagai hapten
yang menyerang protein tertentu membentuk antigen lengkap, kemudian menstimulasi
respon imun sehingga terbentuk antibodi. Komplek antigen antibodi yang terbentuk akan
merusak sel glomerolus.
2. Tubulus proksimal
Terjadinya absorpsi dan sekresi aktif ditubulus proksimal menyebabkan tingginya kadar
toksikan ditubulus proksimal. Selain itu kadar sitokrom P-450 pada tubulus proksimal lebih
tinggi untuk mendetoksifikasi atau mengaktifkan toksikan. Hal ini menyebabkan tempat ini
merupakan sasaran efek toksik.
Logam berat seperti Cd, Hg, Pb, Cr dapat mengubah fungsi tubulus yang ditandai dengan
glukosuria, aminoasiduria, dan poliuria. Pada dosis yang tinggi logam berat menyebabkan
kematian sel, peningkatan BUN, dan anuria. Sefaloridin tidak disekresi oleh tubulus proksimal
tapi ditumpuk dalam sel sehingga menyebabkan kerusakan.
3. Loop Henle, Tubulus distal dan Tubulus Pengumpul Tetrasiklin dan amfoterisin B
Mempengaruhi tubulus distal dan mengakibatkan berkurangnya keasaman urin (salah
satu fungsi tubulus ini adalah sekresi H+).Kerusakan–kerusakan pada tubulus diperantarai oleh
metabolit toksik fluorida. Metoksi fluran menyebab kan kerusakan pada tubulus proksimal,
loop henle, tubulus distal juga tubulus pengumpul. Aspirin dan fenasetin dapat menyebabkan

20
gagal ginjal kronis dengan efek toksik pada medulla yaitu Loop henle, tubulus pengumpul dan
vasa recta.

Penyakit Ginjal Akibat Paparan Logam Berat Di Tempat Kerja


1. Timah (Pb)
Paparan berlebihan timah (Pb) dapat menyebabkan efek nefrotoksik akut atau kronis.
Nefropati Pb akut dicirikan oleh defisit fungsional umum mekanisme transportasi tubular
(Sindrom Fanconi) dan secara morfologis dengan munculnya perubahan degeneratif di epitel
tubular dan nuclear inclusion bodies yang mengandung protein kompleks Pb. Efek ini, yang
biasanya reversibel dengan terapi khelasi, seperti yang telah dilaporkan terutama pada
anakanak. Nefropati Pb kronis adalah penyakit ginjal irreversible yang berkembang selama
beberapa bulan atau beberapa tahun karena paparan berlebihan dan mungkin terkait dengan
gout dan hipertensi. Ini telah dilaporkan pada orang dewasa yang secara tidak sengaja menelan
cat bertimbal selama masa kanak-kanak (Queensland, Australia), yang mengkonsumsi alkohol
("moonshine whiskey"), atau yang terpapar timah sejak lama. Pada dewasa, Pb nefropati
terjadi karena proresivitas tubulointerstitial nefritis yang sulit didiagnosis di awal. Pada kasus
nefropati Pb akut yang tidak terdapat kelainan pada urin mudah dideteksi dengan tes dipsticks.
Pengujian mengevaluasi filtrasi glomerulus rate (kreatinin, nitrogen urea darah, atau serum
kreatinin) adalah cara paling utama yang dapat digunakan untuk mendeteksi kelainan ginjal
yang disebabkan oleh paparan Pb di tempat kerja. Tapi jika hasil tes ini abnormal, maka
nefropati telah mencapai fase irreversible yang dapat menyebabkan insufisiensi ginjal.
2. Cadmium (Cd)
Paparan kadmium dapat menyebabkan gagal ginjal. Akumulasi dari pajanan kadmium dan
konsentrasinya di ginjal dapat dinilai dengan mengukur kadar kadmium dalam urin. Tanda
awal gagal ginjal yang diinduksi cadmium adalah proteinuria tubular, biasanya terdeteksi dari
peningkatan ekskresi low molecular weight proteins dalam urin, seperti A2mikroglobulin,
retinol binding protein (RBP), protein HC (A1-mikroglobulin), atau enzim Nasetil-â-
glucosaminidase (NAG). Jika paparan cadmium berlanjut disfungsi tubular dan kerusakan
glomerulus dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat lebih parah. Juga, efek
sekunder pada metabolisme tulang dan kalsium dapat terjadi menyebabkan batu ginjal, dan
dalam kasus-kasus keracunan kadmium yang parah dapat ditemukan osteoporosis dan
osteomalacia bahkan penyakit itai-itai sebagai stage akhir.
Cadmium juga dapat menyebabkan penyakit nefritis interstisial. Tidak seperti nefropati
karena timbal, paparan cadmium tidak berkaitan dengan hipertensi atau asam urat. Kadmium
21
awalnya menumpuk di hati dan kemudian ditransfer ke ginjal terikat pada protein pembawa,
metallothionein. Hal ini terakumulasi dalam lisosom oleh endositosis dalam sel tubulus
proksimal. Pelepasan enzim lisosomal diyakini bertanggung jawab atas kerusakan tubulus.
Nefritis interstisial kronis yang disebabkan oleh kadmium ditandai oleh sindrom Fanconi
disertai dengan gejala klinis penting yaitu kelainan reabsorpsi kalsium dan fosfor di tubulus
proksimal.
Hiperkalsiuria bertanggung jawab untuk osteoporosis, osteomalasia dan batu ginjal.
Sebuah sindrom yang disebabkan oleh beras yang terkontaminasi cadmium disebut "itai-itai
byo" (ouch-ouch disease) telah digambarkan di Jepang yang menghasilkan penyakit tulang
yang menyakitkan yang paling jelas dalam keadaan kurang gizi kronis wanita multipara.
Beberapa laporan menunjukkan bahwa proteinuria tubular dan enzymuria disebabkan oleh
kadmium memprediksi perkembangan gagal ginjal kronis. Tapi setelah tingkat penyerapan
yang rendah, kerusakan tubular mungkin reversible. Nefropati kadmium tidak dapat
dikembalikan normal, ketika kadmium urine melebihi sekitar 30 μg/g kreatinin atau ketika
penyakit tubulointerstitial telah cukup berkembang untuk menyebabkan gagal ginjal. ketika
kadmium urine kurang dari sekitar 20 μg/g kreatinin, penghentian pajanan dapat mencegah
perkembangan dan disfungsi tubular. Terapi EDTA chelation tidak akan efektif bila kadmium
telah terakumulasi di ginjal.
3. Merkuri (Hg)
Ginjal adalah salah satu organ yang menjadi target utama dari paparan uap merkuri. Efek
pada glomerulus dan efek tubular telah dilaporkan. Efek pada glomerulus berkisar dari
peningkatan prevalensi berat molekul proteinuria pada sindrom nefrotik. Perubahan tubular
dilaporkan terdiri peningkatan ekskresi enzim dalam urin (misalnya, Nacetylglucosaminidase,
fl-galaktosidase) atau retinol binding protein (RBP). Beberapa penelitian, telah gagal untuk
menemukan tanda-tanda gangguan pada tubulus ginjal atau glomerulus, mungkin karena
paparan merkuri dengan dosis rendah.
Gejala utama setelah paparan lingkungan atau pekerjaan untuk merkuri adalah neurologis,
meskipun acrodynia masih sesekali ditemui pada bayi setelah aplikasi salep merkuri untuk
ruam kulit. Pajanan dasar merkuri dengan konsentrasi urin lebih dari 50 μg/L yang
berhubungan dengan peningkatan alkali fosfatase alkali pada intestinal dan ekskresi NAG,
tetapi sedikit meningkat pada enzim lain LMWP ginjal, atau prostaglandin. Proteinuria tubular
setelah terpapar unsur merkuri adalah reversibel. Tidak ada bukti bahwa proteinuria tubular
memprediksi perkembangan sindrom nefrotik gagal ginjal setelah terpapar merkuri.

22
Merkuri anorganik terakumulasi dalam tubulus proksimal dengan waktu paruh sekitar dua
bulan. Merkuri klorida (HgCl2) sangat nefrotoksik dan dapat menyebabkan nekrosis tubular
akut pada dosis> 1,0 mg / kg berat badan. Unsur merkuri (Hg) dan klorida mercurous (Hg2Cl2)
tidak menyebabkan ATN. Beberapa organomercurials, meskipun terkonsentrasi di tubulus
proksimal, tidak memiliki efek toksik. Organomercurials yang lain ditemukan sebagai
kontaminan lingkungan dalam rantai makanan (misalnya metil merkuri) menyebabkan
proteinuria tubular dan penyakit neurologis, tetapi penyakit ginjal kronis progresif belum
ditemukan pada manusia. Dalam dosis menit, semua bentuk merkuri dapat menyebabkan
proteinuria tubular yang tidak memprediksi pengembangan masa depan gagal ginjal.
Eksperimental merkuri akibat penyakit glomerulus juga dapat memberikan gambaran untuk
memahami glomerulonefritis yang disebabkan silika dan pelarut. Respon autoimun pada
penyakit glomerulus yang meningkat ditemukan setelah terpapar emas, perak, kadmium, dan
pelarut tetapi kekebalan tubuh belum diidentifikasi sebagai akibat dari pajanan logam ini.
4. Arsen (AsH3)
Arsen adalah bahan umum insektisida, yang dapat tertelan tanpa sengaja atau sengaja.
Keracunan akut yang parah dapat menyebabkan kolaps kardiovaskuler dan gagal ginjal akut.
Nekrosis tubular akut juga dapat diakibatkan dari paparan gas arsen dalam kecelakaan industri.
Arsen, digunakan sebagai gas beracun dalam perang dunia I, yang berwujud gas tidak
berwarna, tidak berbau, berevolusi ketika arsenicals bercampur dengan asam. Inhalasi arsen
dapat mengakibatkan hemolisis masif, hematuria, ikterus, dan nyeri perut selama beberapa hari.
Hemodialisis diperlukan, dan tranfusi mungkin dapat menyelamatkan nyawa, menghilangkan
kompleks hemoglobin arsenik dari sirkulasi. Pemulihan tidak lengkap dari nekrosis tubular
akut mengakibatkan nefritis tubulointerstitial kronis pada beberapa korban yang masih hidup.
Arsen terutama hemotoxic dan merupakan agen hemolitik kuat setelah terkena akut atau kronis.
Tanda-tanda pertama keracunan adalah malaise, kram perut, mual, dan muntah, hal ini dapat
terjadi segera atau tertunda hingga 24 jam. Gagal ginjal hasil akibat dari nekrosis tubular akut
sekunder hingga hemoglobinuria.
5. Kromium (Cr)
Oliguria pada gagal ginjal akut dan nekrosis tubular terjadi setelah penyerapan besar
kromium heksavalen dalam bentuk kromat atau dikromat. Gagal ginjal disebabkan oleh
kromium trivalen. Kromium secara selektif terakumulasi dalam tubulus proksimal, tetapi ada
sedikit bukti dari penyakit ginjal kronis akibat pajanan biasa. Proteinuria tubular berkurang
dengan tidak adanya penyaringan glomerular. Telah dilaporkan ketika urin kromium melebihi
15 μg/g kreatinin dalam chromeplatters. Tapi temuan negatif dari rasio odds 2,7 untuk pajanan
23
kromium dalam studi kasus-kontrol dari gagal ginjal kronis tetap menjamin evaluasi lebih
lanjut dari paparan lingkungan untuk kromium yang berhubungan dengan penyakit ginjal
kronis.
6. Uranium (U)
Tidak jelas saat ini apakah uranium bertanggung jawab untuk penyakit ginjal yang
signifikan terkait dengan lingkungan pekerjaan. Penyerapan sejumlah kecil uranium dalam
waktu lama dapat menghasilkan penyakit ginjal kronis interstisial. Studi yang cermat terhadap
para pekerja di sebuah pabrik penyulingan uranium menunjukkan peningkatan
B2mikroglobulin pada ekskresi urin, suatu bentuk proteinuria berhubungan dengan penyakit
ginjal interstisial. Garam uranium, bila diberikan secara intravena, sangat nephrotoxic dan
dapat mengakibatkan nekrosis tubular pada ginjal
7. Silika (Si)
Bukti bahwa silika adalah salah satu nefrotoksik yang dapat ditemui di tempat kerja sangat
terbatas. Laporan anekdot dan studi klinis yang tidak terpercaya pda serangkaian kasus
patologis menunjukkan bahwa penyakit silikosis paru berat, terutama silikosis akut, terkait
dengan penyakit glomerulotubular. Gagal ginjal mungkin berhubungan dengan sedimen urin
aktif, proteinuria, autoantibodi yang beredar, dan kompleks imun beredar. Pada pemeriksaan
histologist ginjal dapat memperlihatkan nefritis glomerulus proliferatif fokal, dan nefritis
bulan.

Nefrotoksisitas
Mekanisme nefrotoksisitas, terjadi melalui beberapa mekanisme, diantaranya:
 Efek pada aliran darah ginjal.
 Efek toksik pada sel tubulus
 Kelainan Imunologik
 Obstruksi pada tubulus atau ureter.
Efek toksik obat yg mengenai pembuluh darah ginjal - sbbkn pealiran darah ginjal dan
laju filtrasi glomerulus ;
– misalnya : endometasin memblokir produksi vasodilator prostaglandin.
Zat/obat di tubulus bersinggungan langsung dgn permukaan sel tubulus atau masuk ke
sel tubulus pada proses reabsorpsi atau sekresi - sehingga terjadi:
^kerusakan “brush border”, ^berbagai organel sel, ^inaktivasi enzim
– misalnya efek toksik aminoglikosida, sefaloridin, logam berat dll.

24
Macam Obat- obatan Nefrotoksik
1. Aminoglikoside
Efektif untuk gram negatif, tetapi Nefrotoksis. Pemakaian pada GGK dan GGK end
stage yang Hemodialisa :
– Dosis sama, interval diperpanjang
– Dosis kecil interval sama
– Monitor ureum/creatinin dn kadar obat dalam plasma
2. Sulfonamid
Ekskresi lewat ginjal, sering dipakai pada HIV/AIDS. Bila terpaksa dipakai:
– Mempertahankan hidrasi (diuresis 1500 cc/24 jam)
– Alkalinasi dengan sodium bicarbonat pH urine > 7,5
– Pemeriksaan urine berkala mendeteksi adanya Hematuria.
3. Amphotericyn B
Obat jamur sangat Nefrotoksik, larut dalam air. Bila terpaksa dipakai :
– Mencampur dengan intralipid
– Dopamin agonis
– Suplementasi garam infus
– Dosis titrasi
4. Rimfampisin
Obat TBC, toksitas tergantung lama pemakaian bersifat reversible
5. Asiklovir
Anti virus tidak larut air, terjadi presipitasi pada tubulus obstruksi bersifat reversible
6. Penisilin, Sefalosforin, Betalaktam
Tidak langsung Nefrotoksik, tetapi terjadi Nefropati terutama metisilin, Penisilin, dan
Ampisilin. Sefalosforin bila dosis tinggi dapat Nefrotoksis.
7. Vankomisin
Sangat toksis, bila terpaksa dipakai harus monitoring yang ketat; urine, plasma darah,
ureum / kreatinin.
8. NSAID
Menghambat efek Prostaglandin. Prostaglandin menimbulkan dilatasi kapiler ginjal,
menurunkan resistensi kapiler ginjal, meningkatkan perfusi ginjal
9. Tetrasiklin
Menimbulkan Fanconis’s Syndrome, Hiperkatabolik dengan kenaikan urea

25
10. Metotrexate
Dosis tinggi menimbulkan Tubular Nekrosis Akut dan pengendapan di Tubulus.

Prosedur Pengujian Dan Evaluasi

26
D. TOKSIKOLOGI KULIT
Sistem peredaran darah dan kulit merupakan rute utama untuk bahan xenobiotik masuk
ke dalam tubuh. Kulit memiliki luas permukaan besar hingga dua m2 untuk orang dewasa. Area
yang luas ini, bersama dengan paparan eksternal kulit berarti bahwa itu adalah situs umum dari
kontak dengan zat beracun, terutama di tempat kerja. Telah diperkirakan bahwa sekitar
sepertiga dari semua melaporkan kerja eksposur zat beracun adalah melalui kulit, dan nomor
jauh lebih besar yang memproduksi relatif gejala minor tetap unreported. Penyakit kulit
merupakan sebagian besar dari pekerjaan dan masalah konsumen dengan bahan kimia industri
dan produk konsumen.

Gambar 1.1 menggambarkan bahwa kulit memiliki struktur berlapis. Seperti


kebanyakan organ, struktur kulit relatif rumit. Selain lapisan yang ditunjukkan pada Gambar
1.1, kulit memiliki sejumlah struktur, termasuk pembuluh darah, folikel rambut, kelenjar
keringat dan saluran, dan kelenjar yang sebacious mengeluarkan minyak, lemak, dan jaringan
ikat. Dua lapisan utama kulit adalah dermisand batin epidermis luar. Sel-sel kulit yang terus-
menerus dihasilkan dan akhirnya berakhir di banyak bentuk modifikasi pada lapisan
permukaan, yang disebut stratum corneum. Sel-sel di lapisan ini tidak hidup dan terus menerus
gudang. Mereka sebagian besar terdiri dari keratin, protein yang mengandung sulfur yang juga
merupakan kuku dan tanduk hewan.
Meskipun stratum corneum bertindak sebagai penghalang fisik sederhana untuk
pengaruh luar, jaringan kulit secara keseluruhan sangat aktif. Ini sangat penting dalam
mempertahankan homeostasis tubuh, lingkungan SteadyState esensial. Kulit mempertahankan

27
suhu dan keseimbangan elektrolit, garam dilarutkan dalam cairan tubuh internal yang. Hal ini
aktif secara metabolik dan berpartisipasi dalam hormonal dan kekebalan peraturan proses.
Lebih daripada melayani sebagai penghalang pasif, itu adalah proaktif dalam menanggapi
penghinaan xenobiotik dan bisa rusak dalam proses defensif dengan mengembangkan ruam
dan gejala lainnya.
Penyerapan melalui kulit, penyerapan perkutan, merupakan mekanisme penting dimana
zat xenobiotik dapat masuk ke dalam tubuh. Lapisan stratum korneum permukaan adalah
penghalang utama penyerapan tersebut, dan ketika itu adalah gudang atau dikompromikan,
kulit jauh lebih rentan terhadap penetrasi oleh zat xenobiotik. Sebuah tes untuk kemampuan
zat xenobiotik hidrofobik untuk menembus kulit adalah untuk mengukur partisi dari zat
tersebut antara air dan bubuk sel stratum korneum.
Ilmu kedokteran modern adalah mengambil keuntungan dari permeabilitas kulit untuk
bahan kimia dengan menggunakannya sebagai sistem pengiriman untuk beberapa jenis obat.
Sebuah kulit tunggal "patch" bisa memberikan obat pada seragam tingkat rendah sampai
seminggu. Yang paling lama sistem pengiriman obat transdermal digunakan untuk
memberikan nitrogliserin darah untuk menghilangkan gejala angina jantung menyakitkan.
nitrogliserin adalah dimetabolisme dalam beberapa menit dalam tubuh manusia, sehingga
pengiriman melalui saluran pencernaan, dimana zat yang pertama melewati hati aktif secara
metabolik, relatif tidak efektif. disampaikan transdermal, nitrogliserin memasuki aliran darah
secara langsung dan cepat mencapai jantung, dimana Efek terapeutik diwujudkan. Baru-baru
ini, patch kulit telah dikembangkan untuk memberikan nikotin untuk menghilangkan hasrat
untuk bahan ini dialami oleh orang yang mencoba untuk berhenti merokok. Estradiol,
skopolamin, clonidine, dan fentanyl juga telah disampaikan dengan cara ini, dan lainnya sistem
pengiriman obat sedang dalam pengembangan.
Selain melayani sebagai penghalang fisik untuk masuknya xenobiotik, kulit aktif di
metabolisme zat dioleskan seperti steroid dan retinoid, terutama melalui aksi sitokrom P – 450
enzim. Lipase aktif, protease, glikosidase, dan fosfatase enzim juga telah diamati pada kulit.
Kulit berisi beberapa enzim yang mampu fase katalis Konjugasi reaksi II. Dalam beberapa
kasus, proses-proses metabolisme detoksifikasi xenobiotik. Namun, dalam kasus lain, mereka
bertindak sensitisasi untuk membuat xenobiotik aktif dalam menyebabkan gejala kulit
peracunan.

28
Tanggapan Beracun Kulit
Penderitaan kulit yang paling umum akibat paparan zat-zat beracun dan yang paling
kondisi kulit yang umum dari paparan kerja adalah dermatitis kontak, ditandai dengan
umumnya jengkel, gatal, dan permukaan kulit kadang-kadang menyakitkan. Kulit menderita
dermatitis kontak menunjukkan beberapa gejala. Salah satunya adalah eritema, atau
kemerahan. Permukaan kulit dapat dikenakan scaling, di mana serpihan permukaan off.
Penebalan dan pengerasan dapat terjadi, kondisi klinis dikenal sebagai indurasi. Terik, suatu
kondisi yang disebut vesiculation, juga dapat terjadi. kulit menderita dengan dermatitis kontak
biasanya menunjukkan edema, dengan akumulasi cairan di antara sel-sel kulit. Ada dua
kategori umum dermatitis kontak : iritan dan dermatitis kontak alergi dermatitis.
Dermatitisdoes iritasi tidak melibatkan respon imun dan biasanya disebabkan oleh
kontak dengan zat korosif yang menunjukkan ekstrim pH, kemampuan oksidasi, dehidrasi
tindakan, atau kecenderungan untuk melarutkan lipid kulit. Dalam kasus ekstrim paparan, sel-
sel kulit yang rusak dan Hasil bekas luka permanen. Kondisi ini dikenal sebagai luka bakar
kimia. Paparan terkonsentrasi asam sulfat, yang menunjukkan keasaman ekstrim, atau asam
nitrat pekat, yang denatures kulit protein, dapat menyebabkan luka bakar kimia yang buruk.
Tindakan oksidan yang kuat dari 30 % hidrogen peroksida juga menyebabkan luka bakar kimia.
Bahan kimia lain yang menyebabkan luka bakar kimia termasuk amonia, kapur (CaO), klorin,
etilen oksida, hydrogen halida, metil bromida, oksida nitrogen, unsur phosporous putih, fenol,
hidroksida logam alkali (NaOH, KOH), dan toluene diisosianat. Dermatitisoccurs kontak alergi
ketika individu menjadi peka terhadap bahan kimia yang oleh paparan awal, setelah eksposur
selanjutnya membangkitkan respon ditandai dengan dermatitis kulit.
Dermatitis kontak alergi adalah hipersensitivitas tipe IV yang melibatkan sel T dan
makrofag bukannya antibodi. Ini adalah respon yang tertunda yang terjadi satu atau dua hari
setelah paparan, dan sering hanya membutuhkan jumlah yang sangat kecil alergen yang
menyebabkan itu. Secara harfiah puluhan zat telah terlibat sebagai agen penyebab dermatitis
kontak. Beberapa di antaranya adalah zat diterapkan pada kulit langsung sebagai produk
higienis.
Termasuk dalam kategori ini adalah bacitracin antibiotik neomycin dan, pengawet
benzalkonium klorida, kortikosteroid terapi, dan dichlorophene antiseptik. Di antara zat-zat
lain yang menyebabkan dermatitis kontak alergi adalah formaldehida, asam abietic dari
tanaman, hydroquinone, monomer akrilik, pewarna triphenylmethane, 2-
mercaptobenzthiazole, pphenylene diamina, Tetramethylthiuram, 2,4-dinitrochlorobenzene,
pentaeritritol triacrylate, epoxy resin, garam dikromat, merkuri, dan nikel.
29
Efek dari poison ivy merupakan jenis dermatitis kontak alergi dengan yang orang-orang
yang menghabiskan waktu berkemah dan kegiatan outdoor lainnya mungkin memiliki
keakraban disayangkan. Poison ivy, poison oak , dan sumac racun mengandung toxicodendron,
dimana antigen aktif pentadecylcatechol
Urtikaria, umumnya dikenal sebagai gatal-gatal, adalah reaksi alergi tipe I yang
dihasilkan sangat cepat dari paparan racun yang subjek telah menjadi peka. Hal ini ditandai
dengan rilis histamin dari jenis sel darah putih. Histamin menyebabkan banyak gejala alergi
reaksi, termasuk edema jaringan. Selain edema, eritema, dan menemani bekas dibangkitkan
pada kulit, urtikaria disertai dengan gatal parah. Dalam kasus yang parah, seperti terjadi pada
beberapa orang sebagai hasil dari sengatan lebah atau tawon, urtikaria dapat menyebabkanan
afilaksis sistemik, berpotensi fatal reaksi alergi.

Tanggapan Fototoksik Kulit


Kulit responsesof fototoksik terjadi sebagai hasil dari penyerapan radiasi, terutama
sinar matahari dan radiasi ultraviolet di daerah UVB dari 290 sampai 320 nm. Karena radiasi
UVB adalah jauh lebih efektif dalam menyebabkan gejala fototoksik dari baik radiasi ( 320-
400 nm) UVA atau cahaya tampak (400-700 nm), referensi akan dibuat untuk itu dalam diskusi
fototoksisitas. foton radiasi yang diserap oleh kelompok fungsional yang disebut kromofor
pada biomolekul. yang paling chromophores signifikan dalam kulit adalah molekul DNA, yang
dapat dimodifikasi dengan menyerap energi foton. Juga menjabat sebagai kromofor dalam kulit
asam amino dan bahan yang dikeluarkan oleh pemecahan protein, termasuk triptofan dan asam
urocanic. Kulit mengandung pigmen pelindung, melanin, disintesis dari asam amino tirosin,
yang secara efektif menyerap UVB dan melindungi orang dari efek sinar matahari. Tingkat
melanin berbeda dalam masyarakat, yang tinggi pada individu darkerskinned dan sangat rendah
pada mereka dengan kulit yang lebih ringan. Produksi melanin (suntan) dapat dipromosikan
oleh paparan sinar matahari alami atau buatan.
Efek akut yang paling umum dari paparan dosis beracun UVB adalah eritema,
umumnya dikenal sebagai sunburn, hasil dari proses fotooksidasi pada kulit. Karena zat dirilis
dari sel kulit terpapar UVB yang berlebihan, efek sistemik, termasuk demam, menggigil, dan
umumnya Perasaan sakit, dapat menyebabkan juga. Gejala kronis paparan UVB yang
berlebihan termasuk perubahan pigmentasi, seperti bintik-bintik, dan kerusakan kulit umum
dan kerutan. Perhatian terbesar adalah potensi untuk membentuk lesi kanker. Ini termasuk baik

30
basal dan karsinoma sel skuamosa. Efek tersebut paling serius adalah pengembangan
melanoma ganas, yang sangat serius bentuk kanker kulit.
Fotosensitifitas, atau porfiria, adalah kepekaan yang abnormal terhadap radiasi
ultraviolet dan terlihat cahaya. Sebuah kecenderungan genetik untuk ketidakmampuan untuk
memperbaiki kerusakan kulit dari sinar matahari yang dapat menyebabkan photosensitivity,
seperti dapat paparan beberapa bahan kimia, terutama chlorinated senyawa aromatik. Efek ini
terikat dengan malfungsi enzimatik dalam biosintesis heme, molekul protein terkandung dalam
hemoglobin darah. Ketika biosintesis ini tidak berfungsi dengan baik, molecular fragmen heme
(porfirin) menumpuk di kulit, di mana mereka mencapai keadaan tereksitasi bila terkena cahaya
400 sampai 410 nm (band Soret) dan bereaksi dengan molekul O2 untuk menghasilkan radikal
bebas yang merusak biomolekul dalam jaringan kulit.
Fototoksisitas terjadi saat kulit terkena sinar matahari, terutama di wilayah UVA dari 320
hingga 400 nm, memerah dan mengembangkan lepuh sebagai konsekuensi dari kehadiran
spesies kimia tertentu. Spesies kimia fototoksik yang menghasilkan reaksi seperti itu yang
mana seorang individu baik secara langsung terkena pada kulit atau sistemik. Senyawa ini
menyerap radiasi ultraviolet dan, seperti porfirin dibahas di atas, masukkan keadaan tereksitasi
berinteraksi dengan O2 untuk menghasilkan spesies oksidan yang merusak dan radikal bebas.
Banyak spesies kimia, termasuk furocoumarins, hidrokarbon polisiklik aromatik, tetrasiklin,
dan sulfonamid, dapat fototoksik.
Photoallergyis mirip gejala dan mekanisme untuk dermatitis kontak alergi dibahas di atas,
kecuali bahwa gejala berkembang setelah paparan sinar matahari. Subjek mengembangkan
suatu alergi respon terhadap cahaya setelah sensitisasi dengan bahan kimia. Kondisi ini diamati
pada pertengahan 1900-an pada individu yang telah menggunakan sabun yang mengandung
agen antibakter, termasuk tetrachlorosalicylanilide dan tribrom osalicylanilide, yang harus
diambilari pasar produk perawatan pribadi.

Jenis Efek Toksik Pada Kulit


Kerusakan Struktur Kulit Dan Pigmentasi
Cacat pada pigmen kulit dapat terjadi karena terpapar bahan kimia.
Hyperpigmentationoccurs dari peningkatan produksi dan deposisi melanin.
Hypopigmentationoccurs dengan hilangnya kulit pigmen, memberikan penampilan albino
putih. Di antara bahan kimia yang menyebabkan hiperpigmentasi adalah organik yang mudah
menguap dari tar batubara, antrasena, merkuri, timbal, dan hydroquinone. hipopigmentasi

31
dapat hasil dari paparan hydroquinone dan turunannya, mercaptoamines, germisida fenolik,
dan butylated hydroxytoluene.
Jerawat, ditandai dengan letusan kulit umumnya dikenal sebagai komedo atau
whiteheads ditambah berbagai pustula, kista, dan lubang-lubang pada permukaan kulit, dapat
disebabkan oleh paparan bahan kimia. Jenisyang paling menonjol dari induksi kimia jerawat
adalah chlor acne, yang dihasilkan dari paparan hidrokarbon terklorinasi.
Selain lesi pada wajah, dalam kasus yang parah chloracne ditandai dengan kista dan
lainnya manifestasi dari jerawat pada bahu, punggung, dan bahkan alat kelamin. Peradangan
granulomatosa terjadi dalam kasus di mana jaringan kulit membangun sekitar lokasi paparan
iritan. Pengenalan bahan asing seperti bedak atau silika ke dalam kulit dapat menyebabkan
kondisi ini. Dalam beberapa kasus, hal itu terjadi sebagai respons terhadap paparan beberapa
logam, termasuk berilium dan kromium.
Toxic epidermal necrolysisoccurs ketika epidermis kulit dihancurkan oleh aksi
toxicants dan menjadi terpisah dari dermis. Kondisi ini sangat mengganggu kemampuan kulit
untukmengatur pelepasan panas, cairan, dan elektrolit. Metabolit obat anticonvulsive
carbamazepine telah terlibat dalam nekrolisis epidermal toksik.

Kanker Kulit
Kanker kulit adalah jenis kanker yang paling umum. Kerusakan DNA kulit dari sinar
matahari adalah penyebab paling umum dari kanker kulit. Hal ini menyebabkan mutasi yang
mengakibatkan pembentukan sel kanker dan yang menekan respon imun yang biasanya
mencegah replikasi sel-sel tersebut. kelas bahan kimia paling sering dikaitkan dengan
penyebab kanker kulit adalah polisiklik aromatik hidrokarbon dari sumber seperti tar batubara.
Ini dapat dimetabolisme menjadi zat elektrofilik yang mengikat dengan DNA untuk memulai
kanker. Arsenik dalam air minum telah didirikan sebagai penyebab lesi prakanker, disebut
keratosis arsenik, dan sel skuamosa karsinoma kulit.

Prosedur Pengujian Dan Evaluasi

32
DAFTAR PUSTAKA

Ap, resty. 2018. Toksikilogi Ginjal.


https://www.scribd.com/document/394658500/TOKSIKOLOGI-GINJAL diakes pada
tanggal 10 Mei 2019
Dr.rer.nat. I Made Agus Gelgel Wirasuta, M.Si., dan Apt. Rasmaya Niruri, S.Si., Apt. 2006.
Buku Ajar “Toksikologi umum”. JURUSAN FARMASI. FAKULTAS MATEMATIKA
DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM. UNIVERSITAS UDAYANA

M. Nurul Fajriani dkk. 2018. Makalah Toksikologi Jalur Masuknya Zat Toksik Dalam Tubuh
Melalui Inhalasi. Program Studi Kedokteran Hewan. Fakultas Kedokteran. Universitas
Hasanuddin. Makassar

Sherliyana Novita, S. Farm., Apt. Uji Toksikologi.


file:///C:/Users/Ideapad/Downloads/94540947-UJI-TOKSIKOLOGI.pdf. Diakses pada
tanggal 10 Mei 2019

Srinovauli. 2015. Makalah Toksikologi Hati.


https://www.scribd.com/document/260338286/makalah-toksikologi-hati diakses pada
10 Mei 2019
Walid, Abd Jabbar. 2017. Jurnal Toksikologi Pada Kulit.
https://www.scribd.com/document/356142778/JUNAL-TOKSIKOLOGI-PADA-
KULIT-docx diakses pada tanggal 10 Mei 2019

33
34

Anda mungkin juga menyukai