Anda di halaman 1dari 30

PAPER

KERACUNAN BUNGA KECUBUNG (DATURA. SP)

Dibimbing oleh :
dr.Surjit Singh, MBBS,Sp.F,DFM.

Disusun oleh :
Nadya Putri Amany 16310211
Namira Aryanti Wibowo 16310213
Nia Permatasari 15310167
Nisa Habibah Kuswandi 16310217

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU KEDOKTERAN FORENSIK


RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN PROVINSI SUMATRA UTARA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan karunia-Nya paper ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya dengan judul
“KERACUNAN BUNGA KECUBUNG (DATURA. SP)”.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa laporan kasus ini
masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisannya, penggunaan tata bahasa,
dan dalam penyajiannya sehingga penulis menerima saran dan kritik konstruktif dari
semua pihak. Namun terlepas dari semua kekurangan yang ada, semoga dapat
bermanfaat bagi pembacanya.
Penulis tak lupa mengucapkan terimakasih kepada dr.Surjit Singh,
MBBS,Sp.F,DFM. yang telah membimbing dan mengarahkan kami dalam
menyelesaikan paper ini. Penulis juga berterimakasih kepada rekan-rekan yang telah
bekerja sama membantu menyusun laporan kasus ini..
Akhirnya semoga paper ini dapat bermanfaat bagi kemajuan ilmu
pengetahuan, khususnya di bidang kedokteran. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, Aamiin

Medan, 4 Agustus 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Hal
HALAMAN JUDUL DALAM......................................................................... i
KATA PENGANTAR.......................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL..............................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR........................................................................................v

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang................................................................................. 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

1.
2.
2.1. Keracunan........................................................................................ 3
2.2. Bunga Kecubung (Datura sp.).........................................................16

BAB III. KESIMPULAN

1.
2.
3.
3.1. Kesimpulan...................................................................................... 24

4.
5.
DAFTAR PUSTAKA

iii
DAFTAR TABEL

Hal
1.
2.
Tabel 2.1. Tanda dan Gejala Keracunan Agen Antikolinergik.................... 20

iv
v
DAFTAR GAMBAR

Hal
3.
4.
Tabel 2.1. Bunga Kecubung........................................................................ 16

Tabel 2.2. Pohon Kecubung........................................................................ 17

Tabel 2.3. Daun Kecubung.......................................................................... 18

Tabel 2.4. Keracunan Kecubung................................................................. 23


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Perkembangan pengobatan dibidang kesehatan saat ini lebih luas, dimana
masyarakat yang merasa kurang puas dengan pengobatan dari medis
berpaling lebih memilih pengobatan tradisional seperti penggunaan tumbuh-
tumbuhan, dimana pengobatan dengan tumbuh-tumbuhan memiliki kelebihan
sendiri, dengan harga yang murah dan bahan-bahannya bisa kita jumpai
disekitar kita.
Salah satu tumbuhan yang sering digunakan masyarakat sebagai bahan
pengobatan adalah kecubung (Datura sp). Kecubung merupakan tumbuhan
penghasil bahan obat-obatan yang telah dikenal sejak ribuan tahun,di
antaranya Datura Stramonium, Datura tatura, dan Brugmansia suaviolens,
namun daya khasiat masing-masing jenis kecubung, berbeda-beda.
Penyalahgunaan kecubung memang sering terjadi, sehingga bukan obat yang
didapat malah racun (menyebabkan pusing) yang sangat berbahaya.Hampir
seluruh bagian tanaman kecubung dapat dimanfaatkan sebagai obat.
Racun ialah zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan fisiologik
yang dalam dosis toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan atau
mengakibatkan kematian. Berdasarkan sumber racun dapat dibagi menjadi
racun yang berasal dari tumbuh-tumbuhan : opium (dari papaver
somniferum), kokain, kurare, aflatoksin (dari aspergilus niger) dan ada juga
racun yang berasal dari hewan, mineral dan sintetik.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keracunan
Menurut Taylor, “Racun adalah setiap bahan atau zat yang dalam
jumlah tertentu bila masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan reaksi
kimiawi yang akan menyebabkan penyakit dan kematian”.
Menurut Dorland Dictionary, racun adalah zat yang bila dalam
jumlah sedikit ditelan atau dihirup atau diserap atau dioleskan atau
disuntikkan ke dalam tubuh atau dihasilkan dalam tubuh, memiliki aksi
kimiawi dan menyebabkan kerusakan pada struktur atau gangguan fungsi
yang menimbulkan gejala, penyakit atau kematian.
Sedangkan definisi keracunan menurut WHO adalah kondisi yang
megnikuti masuknya zat psikoaktif yang menyebabkan gangguan
kesadaran, kognisi, persepsi, afek, perilaku, fungsi, dan respon
psikofisiologis.Keracunan juga dapat diartikan sebagai masuknya suatu zat
kedalam tubuh yang dapat menyebabkan ketidaknormalan mekanisme
dalam tubuh bahkan sampai menyebabkan kematian.
2.1.1 Peristilahan dalam Bidang Toksikologi
Dalam lingkup toksikologi sering digunakan beberapa istilah yang
mirip yaitu, racun, toksin, toksikan yang memiliki arti yang mirip tetapi
berbeda. Berikut beberapa definisi yang perlu dipahami.
a. Racun
Menurut Dorland Dictionary: Racun adalah setiap zat yang bila
dalam jumlah sedikit ditelan atau dihirup atau diserap atau dioleskan
atau disuntikkan ke dalam tubuh atau dihasilkan dalam tubuh,
memiliki aksi kimiawi dan menyebabkan kerusakan pada struktur atau
gangguan fungsi yang menimbulkan gejala, penyakit atau kematian.
b. Toksin
Racun (poison) adalah zat yang memiliki efek berbahaya pada
organisme hidup. Sedangkan toksin adalah racun yang diproduksi oleh
organisme hidup. “Bisa”(venom) adalah racun yang disuntikkan dari
organisme hidup ke makhluk lain. “Bisa” (venom) adalah toksin dan

3
toksin adalah racun, tidak semua racun adalah toksin, tidak semua
toksin adalah venom.
c. Venom atau “bisa”
Racun dan “bisa” (venom) adalah toksin, karena toksin
didiskripsikan secara sederhana sebagai bahan kimia yang diproduksi
secara biologis yang mengubah fungsi normal organisme lain.
d. Toksikan
Apa perbedaan toksin dan toxicant? Toksin adalah produk alami
seperti yang ditemukan pada jamur beracun, atau racun ular.Toksikan
adalah produk buatan manusia, produk buatan yang dipaparkan ke
lingkungan karena aktivitas manusia; Contohnya adalah produk
limbah industri dan pestisida.
e. Toksoid
Toksoid adalah toksin yang tidak aktif atau dilemahkan. Toksin
adalah racun yang dibuat oleh organisme lain yang bisa membuat
kita sakit atau membunuh kita. Dengan kata lain, toksin beracun.
Toksoid tidak lagi beracun tetapi masih sebagai imunogenik
sebagai toksin dari mana ia berasal.
f. Xenobiotik
Xenobiotik berasal dari bahasa Yunani: Xenos yang artinya
asing. Xenobiotik adalah zat asing yang secara alami tidak terdapat
dalam tubuh manusia. Contoh: obat obatan, insektisida, zat kimia.
2.1.2 Klasifikasi Bahan Toksik
Berdasarkan sumbernya, bahan toksik dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
a. Toksin tanaman
b. Toksin hewan
c. Toksin lingkungan
Berdasarkan senyawanya, toksin dibedakan menjadi :
a. Logam berat
b. Senyawa organic
c. Racun gas
4
Berdasarkan penggunaannya, toksin dibedakan menjadi
a. Obat-obatan
b. Pestisida
c. Pelarut organic
d. Logam berat
Berdasarkan sumber racun dapat dibagi menjadi racun yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan : opium (dari papaver somniferum), kokain, kurare,
aflatoksin (dari aspergilus niger) dan ada juga racun yang berasal dari hewan:
bisa/toksin ular/laba-laba/hewan laut, mineral: arsen, timah hitam dan
sintetik: heroin.
2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi keracunan
a. Cara masuk
Keracunan paling cepat terjadi jika masuknya racun secara
inhalasi. Cara masuk lain, berturut-turut adalah intra vena, intramuskular,
intraperitoneal, subkutan, peroral dan paling lambat ialah bila melalui kulit
yang sehat.
b. Umur
Kecuali untuk beberapa jenis racun tertentu, orang tua dan anak-
anak lebih sensitif misalnya barbiturat.Bayi prematur lebih rentan terhadap
obat karena ekskresi melalui ginjal belum sempurna dan aktivitas
mikrosom dalam hati belum cukup.
c. Kondisi tubuh
Penderita penyakit ginjal umumnya lebih mudah mengalami
keracunan.Pada penderita demam dan sakit lambung, absorpsi dapat
terjadi dengan lambat.Bentuk fisik dan kondisi fisik, misalnya lambung
berisi atau kosong.
d. Kebiasaan
Sangat berpengaruh pada racun golongan alkohol dan morfin,
sebab dapat terjadi toleransi tidak dapat menetap, jika pada suatu ketika
dihentikan, maka toleransi akan menurun lagi.
e. Idiosinkrasi dan alergi
Pada vitamin E, penisilin, strepstomisin dan prokain.
Pengaruh langsung racun tergantung pada takaran. Makin tinggi
takaran maka akan makin cepat (kuat) keracunan. Konsentrasi
berpengaruh pada racun yang bekerja secara lokal, misalnya asam
sulfat.Struktur kimia misalnya calomel (Hg2Cl2) jarang menimbulkan
keracunan, sedangkan Hg sendiri dapat menyebabkan kematian. Morfin

5
dan nalorfin yang mempunyai struktur kimia hampir samamerupakan
antagonis. Terjadi addisi antara alkohol dan barbiturat atau alkohol atau
morfin.Dapat pula terjadi sinargisme yang seperti addisi, tetapi lebih
kuat.Addisi dan sinergisme sangat penting dalam masalah mediko-legal.
f. Waktu pemberian
Untuk racun yang ditelan, jika ditelan sebelum makan, absorpsi
terjadi lebih baik sehingga efek akan timbul lebih cepat. Jangka pemberian
untuk waktu lama (kronik) atau waktu singkat/sesaat.
2.1.4 Toksisitas
Dalam bidang toksikologi sudah dikenal adanya Postulat Paracelcus: “All
substances are poisons; there is none which is not a poison. The right dose
differentiates a poison from a remedy”, "Semua zat adalah racun, tidak ada
yang bukan racun. Dosis yang tepat yang membedakan racun dari obat."
Apabila zat kimia dikatakan beracun (toksik), maka kebanyakan diartikan
sebagai zat yang berpotensi memberikan efek berbahaya terhadap mekanisme
biologi tertentu pada suatu organisme. Sifat toksik dari suatu senyawa
ditentukan oleh: dosis, konsentrasi racun di reseptor “tempat kerja”, sifat zat
tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan terhadap
organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan. Sehingga apabila menggunakan
istilah toksik atau toksisitas, maka perlu untuk mengidentifikasi mekanisme
biologi di mana efek berbahaya itu timbul.Sedangkan toksisitas merupakan
sifat relatif dari suatu zat kimia, dalam kemampuannya menimbulkan efek
berbahaya atau penyimpangan mekanisme biologi pada suatu organisme.
Toksisitas merupakan istilah relatif yang biasa dipergunakan dalam
memperbandingkan satu zat kimia dengan lainnya. Adalah biasa untuk
mengatakan bahwa satu zat kimia lebih toksik daripada zat kimia lain.
Perbandingan sangat kurang informatif, kecuali jika pernyataan tersebut
melibatkan informasi tentang mekanisme biologi yang sedang
dipermasalahkan dan juga dalam kondisi bagaimana zat kimia tersebut
berbahaya.Oleh sebab itu, pendekatan toksikologi seharusnya dari sudut
telaah tentang berbagai efek zat kimia atas berbagai sistem biologi, dengan
penekanan pada mekanisme efek berbahaya zat kimia itu dan berbagai
kondisi di mana efek berbahaya itu terjadi.
6
Pada umumnya efek berbahaya atau efek farmakologik timbul apabila
terjadi interaksi antara zat kimia (tokson atau zat aktif biologis) dengan
reseptor. Terdapat dua aspek yang harus diperhatikan dalam mempelajari
interakasi antara zat kimia dengan organisme hidup, yaitu kerja farmakon
pada suatu organisme (aspek farmakodinamik atau toksodinamik) dan
pengaruh organisme terhadap zat aktif (aspek farmakokinetik atau
toksokinetik) aspek ini akan lebih detail dibahas pada sub bahasan kerja
toksik.
Toksisitas juga dapat dinyatakan berdasarkan waktu hingga timbulnya
gejala keracunan (onset), yaitu:
a. Toksisitas akut, jika efek timbul segera atau paparan durasi pendek dalam
hitungan jam sampai hari setelah terpapar bahan toksik. Efek akut dapat
reversibel atau tidak dapat dipulihkan.
b. Toksisitas sub akut, jika gejala keracunan timbul dalam jangka waktu
setelah sedang (minggu sampai bulan) setelah terpapar bahan toksik dalam
dosis tunggal
c. Toksisitas kronis, jika akibat keracunan baru timbul setelah terpapar bahan
toksik secara berulang-ulang dalam jangka waktu yang panjang (dalam
hitungan tahun) atau bahkan dekade. Efek kronis terjadi setelah terpapar
dalam waktu lama (bulan, tahun, dekade) dan bertahan setelah paparan
telah berhenti.
2.1.5 Fase Masuknya Toksin
a. Fase Eksposisi
Fase eksposisi terjadi ketika ada kotak antara xenobiotika dengan
organisme atau dengan kata lain, terjadi paparan xenobiotika pada
organisme. Paparan ini dapat terjadi melalui kulit, oral, saluran pernafasan
(inhalasi) atau penyampaian xenobiotika langsung ke dalam tubuh
organisme (injeksi) (Wirasuta, 2006).
Jalur utama bagi penyerapan xenobiotika adalah saluran cerna, paru-
paru, dan kulit.Namun pada keracunan aksidential, atau penelitian
toksikologi, paparan xenobiotika dapat terjadi melalui jalur injeksi, seperti
injeksi intravena, intramuskular, subkutan, intraperitoneal, dan jalur injeksi
lainnya.
1. Melalui kulit
Eksposisi (pemejanan) yang paling mudah dan paling lazim
terhadap manusia atau hewan dengan segala xenobiotika, seperti
misalnya kosmetik, produk rumah tangga, obat topikal, cemaran
lingkungan, atau cemaran industri di tempat kerja, ialah pemejanan
sengaja atau tidak sengaja pada kulit. Kulit terdiri atas epidermis (bagian
paling luar) dan dermis, yang terletak di atas jaringan subkutan. Tebal
lapisan epidermis adalah relatif tipis, yaitu rata-rata sekitar 0,1-0,2 mm,

7
sedangkan dermis sekitar 2 mm. Dua lapisan ini dipisahkan oleh suatu
membran basal.
2. Eksposisi melalui jalur inhalasi
Pemejanan xenobiotika yang berada di udara dapat terjadi melalui
penghirupan xenobiotika tersebut.Xenobiotik yang terdapat di udara
berada dalam bentuk gas, uap, butiran cair, dan partikel padat dengan
ukuran yang berbeda-beda.Disamping itu perlu diingat, bahwa saluran
pernafasan merupakan sistem yang komplek, yang secara alami dapat
menseleksi partikel berdasarkan ukurannya.Oleh sebab itu ambilan dan
efek toksik dari xenobiotik yang dihirup tidak saja tergantung pada sifat
toksisitasnya tetapi juga pada sifat fisiknya.
3. Eksposisi melalui jalur saluran cerna
Pemejanan xenobiotik melalui saluran cerna dapat terjadi bersama
makanan, minuman, atau secara sendiri baik sebagai obat maupun zat
kimia murni.Pada jalur ini mungkin xenobiotik terserap dari rongga
mulut (sub lingual), dari lambung sampai usus halus, atau eksposisi
xenobiotik dengan sengaja melalui jalur rektal. Kecuali zat yang bersifat
basa atau asam kuat, atau zat yang dapat merangsang mukosa, pada
umumnya tidak akan memberikan efek toksik kalau tidak diserap.
Cairan getah lambung bersifat sangat asam, sehingga senyawa
asam-asam lemah akan berada dalam bentuk non-ion yang lebih mudah
larut dalam lipid dan mudah terdifusi, sehingga senyawa-senyawa
tersebut akan mudah terserap di dalam lambung. Berbeda dengan
senyawa basa lemah, pada cairan getah lambung akan terionkan oleh
sebab itu akan lebih mudah larut dalam cairan lambung. Senyawa basa
lemah, karena cairan usus yang bersifat basa, akan berada dalam bentuk
non-ioniknya, sehingga senyawa basa lemah akan lebih mudah terserap
melalui usus daripada lambung.
Pada umumnya xenobiotik melintasi membran saluran pencernaan
menuju sistem sistemik dengan difusi pasif, yaitu transpor dengan
perbedaan konsentrasi sebagai daya dorongnya.Namun disamping difusi
pasif, juga dalam usus, terdapat juga transpor aktif, seperti tranpor yang
difasilitasi dengan zat pembawa (carrier), atau pinositosis (Wirasuta,
2006).
b. Fase Toksokinetik
Toksokokinetik melibatkan proses invasi (masuknya xenobiotika ke
tubuh), trasportasi dan distribusi (pergerakan xenobiotika di dalam tubuh),
serta proses eliminasi (proses hilangnya xenobiotika dari dalam tubuh).
Proses ini semua menentukan efikasi (kemampuan xenobiotika mengasilkan
efek), efektifitas dari xenobiotika, konsentrasi xenobiotika pada reseptor,
8
dan durasi dari efek farmakodinamiknya. Sifat-sifat farmakokinetik suatu
xenobiotika digunakan oleh farmakolog, ilmuwan klinik dan toksikolog
untuk mengembangkan pengobatan, untuk mengertikan faktor-faktor yang
dapat mendorong penyalahgunaan xenobiotika tersebut, serta dijadikan
dasar untuk mengetahui kapan dan dalam bentuk apa xenobiotika tersebut
masih dapat dideteksi setelah selang waktu pemakaian dan
menginterpretasikan efek-efek xenobitika tersebut (Wirasuta, 2006).
c. Fase Toksodinamik
Farmakodinamika atau toksodinamika membahas tentang
bagaimana suatu senyawa xenobiotik mempengaruhi tubuh. Jika senyawa
tersebut bersifat toksik, maka fase toksodinamik adalah proses ketika
senyawa tersebut mempengaruhi tubuh hingga menimbulkan efek toksik.
Efek toksik sangat bervariasi dalam sifat, organ sasaran, maupun gejalanya.
d. Efek Toksik
Efek toksik adalah hasil sederetan proses, hingga adanya perubahan
fungsional yang disebabkan interaksi bolak-balik (reversible) antara zat
asing (xenobiotik) dengan substrat biologi. Bahasan ini membagi efek
toksik berdasarkan respon di jaringan utama dan organ manusia, yaitu
sistem pernafasan, kulit, hati, darah dan sistem kardiovaskular, sistem
kekebalan tubuh, sistem endokrin, sistem saraf, sistem reproduksi, dan
ginjal serta kandung kemih. Hal ini sesuai dengan jalur utama paparan,
pengangkutan, dan penghapusan racun dalam tubuh manusia.Seperti dibahas
sebelumnya, racun dapat dihirup melalui sistem pernapasan atau diserap
melalui kulit.Senyawa yang tertelan melalui sistem pencernaan biasanya
melewati hati.Toksisitas sistemik dibawa oleh darah dan melalui sistem
getah bening ke berbagai organ dan dapat mempengaruhi sistem endokrin,
sistem saraf, dan sistem reproduksi.Akhirnya, ginjal dan saluran kencing
merupakan rute utama untuk menghilangkan metabolit toksik sistemik dari
tubuh.
2.1.6 Prinsip Pengobatan
Pengobatan terhadap kasus keracunan terutama berdasarkan cara masuk
racun ke dalam tubuh.Bila racun ditelan, keluarkan racun sebanyak mungkin,
dengan jalan memuntahkan (dengan merangsang dinding faring atau dengan
pemberian emetik, misalnya sirup ipecacuanha). Tetapi jika kesadaran sangat
menurun, atau racun bersifat korosif atau racun terlarut dalam minyak, maka
usaha untuk memuntahkan merupakan indikasi kontra.
Aspirasi dan bilas lambung, merupakan indikasi untuk mengeluarkan
racun nonkorosif dan racun yang menekan susunan saraf pusat.Untuk ini
diberikan air hangat atau garam lemah.Dapat juga diberikan norit. (indikasi
kontra seperti pada cara memuntahkan).

9
Pemberian pencahar, misalnya natrium sulfat 30g dalam 200cc
air.Mempercepat ekskresi dengan dialisis (pemberian diuretik merupakan
indikasi kontra).Dapat pula dengan pemberian antidotum spesifik, pada
keracunan morfin, diberikan nalorfin atau naloxon, (keduanya bersifat
antagonis terhadap morfin, tetapi nalorfin kadang-kadang dapat juga bersifat
agonis sedangkan naloxon murni antagonis).
Demulcen dalam bentuk pemberian putih telur sebanyak 3 butir yang
dilarutkan dalm 500 air/susu dengan maksud untuk menghambat
absorpsi.Pengobatan simptomatik dan suportif perlu dipertimbangkan,
tergantung dari gejala yang timbul.Jika terdapat gejala berupa kejang, jangan
diberikan barbiturat tapi sebaiknya benzodiazepam.
Bila racun masuk secara inhalasi, keluarkan korban dari ruangan agar
terhindar dari inhalasi lebih lanjut.Bila secara parenteral, pertimbangkan
untuk pemasangan tourniquet.Bila masuk melalui kulit atau mengenai mata,
bersihkan dengan air leding mengalir, jangan dengan bahan kimia.
2.1.7 Kriteria diagnostik
Diagnosa keracunan didasarkan atas adanya tanda dan gejala yang sesuai
dengan racun penyebab.Dengan analsis kimiawi dapat dibuktikan adanya
racun pada sisa barang bukti.Yang terpenting pada penegakkan diagnosis
keracunan adalah dapat ditemukan racun atau sisa racun dalam tubuh/cairan
tubuh korban, jika racun menjalar secara sistemik serta terdapatnya kelainan
pada tubuh korban, baik makroskopik maupun mikroskopik yang sesuai
dengan racun penyebab.Disamping itu perlu pula dipastikan bahwa korban
tersebut benar-benar kontak dengan racun.
Yang perlu diperhatikan untuk pemeriksaan korban keracunan ialah:
keterangan tentang racun apa kira-kira yang merupakan penyebabnya, dengan
demikian pemeriksaan dapat dilakukan dengan lebih terarah dan dapat
menghemat waktu, tenaga dan biaya.
2.1.8 Pemeriksaan Kedokteran Forensik
Korban mati akibat keracunan umumnya dapat dibagi menjadi 2 golongan,
yang sejak semula sudah dicurigai kematian diakibatkan oleh keracunan dan
kasus yang sampai saat sebelum autopsi dilakukan, belum ada kecurigaan
terhadap kemungkinan keracunan.
Harus dipikirkan kemungkinan kematian akibat keracunan bila pada
pemeriksaan setempat (scene investigation) terdapat kecurigaan atau
keracunan, bila pada autopsi ditemukan kelainan yang lazim ditemukan pada
keracunan dengan zat tertentu, misalnya lebam mayat yang tidak biasa
(cherry pink colour) pada keracunan CO: merah terang pada keracunan CN:
kecoklatan pada keracunan nitrit, nitrat alinin, fenasitin dan kina, luka bekas
suntikan sepanjang vena dan keluarnya buih dari mulut dan hidung

10
(keracunan morfin): bau amandel (keracunan CN) atau bau kutu busuk
(keracunan malation) serta bila pada autopsi tidak ditemukan penyebab
kematian (negative autopsy).
Dalam menangani kasus kematian akibat keracunan perlu dilakukan
beberapa pemeriksaan penting yaitu: pemeriksaan ditempat kejadian, autopsi
dan analisis toksikologik.
a. Pemeriksaan di tempat kejadian
Pemeriksaan ditempat kejadian penting untuk membantu
penentuan penyebab kematian dan menentukan cara kematian.
Pemeriksaan harus ditujukan untuk menjelaskan apakah mungkin orang itu
mati akibat keracunan, misalnya dengan memeriksa tempat obat, apakah
ada sisa obat atau pembungkusnya.Jika diduga korban adalah seorang
morfinis, cari bubuk heroin, pembungkusnya atau alat penyuntik.
Bila terdapat muntahan, apakah berbau fosfor (bau bawang putih):
bagaimana sifat muntahan misalnya seperti bubuk kopi (zat kaustik),
berwarna hitam (H2SO4 pekat), kuning (HNO3), biru kehijauan (CuSO4).
Apakah terdapat gelas atau alat minum lain, atau ada surat
perpisaan/peninggalan jika merupakan kasus bunuh diri.
Mengumpulakan keterangan sebanyak mungkin tentang saat
kematian , kapan terakhir kali ditemukan dalam keadaan sehat, sebelum
kejadian ini apakah ia sehat-sehat saja. Berapa lama gejala-gejalanya. Bila
sebelumnya sudah sakit, apa penyakitnya dan obat-obat apa yang
diberikan serta siapa yang memberi obat, apa penyakitnya, obat-obat apa
yang diberikan dan berapa banyak, juga ditanyakan apakah apotik
memberikan obat yang sesuai. Obat yang tersisa dihitung jumlahnya.
Pada kasus kecelakaan, misalnya pada anak-anak, tanyakan dimana
zat peracun disimpan, apakah dekat makanan-minuman.Apakah anak anak
biasa makan sesuatu yang bukan makanan.
Bagaimana keadaan emosi korban tersebut sebelumnya dan apakah
pekerjaan korban, sebab mungkin saja racun diambil dari tempat dia
bekerja atau mengalami industrial poisoning.
Mengumpulkan barang bukti
Kumpulkan obat-obatan dan pembungkusnya; muntahan harus
diambil dengan kertas saring dan disimpan dalam toples; periksa adanya
etiket dari apotik dan jangan lupa untuk memeriksa tempat sampah.
b. Pemeriksaan Luar
a. Bau
Dari bau yang tercium dapat diperoleh petunjuk racun apa kiranya
yang ditelan oleh korban. Pemeriksa dapat mencium bau amandel pada

11
penelanan sianida, bau minyak tanah pada penelanan larutan insektisida,
bau kutu busuk pada malation, bau amonia, fenol (sam karbonat), lisol,
alkohol, eter, kloroform dan lain-lain.Maka pada tiap kasus keracunan
pemeriksaan slalu harus memperhatikan bau yang tercium dari pakaian,
lubang hidung dan mulut serta rongga badan.
b. Pakaian
Pada pakaian dapat ditemukan bercak-bercak yang disebabkan oleh
tercecernya racun yang ditelan atau oleh muntahan.Misalnya bercak yang
berwarna coklat karena asam sulfat atau kuning karena asam
nitrat.Penyebaran (distribusi) bercak perlu diperhatikan, karena dari
penyebaran itu kadang-kadang dapat diperoleh petunjuk tentang intensi /
kemauan korban, yaitu apakah racun itu ditelan atas kemauan sendiri
(bunuh diri) atau dipaksa (pembunuhan). Dalam hal korban dipegangi
dan dicocoki secara paksa, maka bercak –bercak akan tersebar pada
daerah yang luas. Selain itu pada pakaian mungkin melekat bau racun.
c. Lebam mayat
Warna lebam mayat yang tidak biasa juga mempunyai makna,
karena warna lebam mayat pada dasarnya adalah manesfestasi warna
darah yang tampak pada kulit.
Perhatikan adanya kelainan ditempat masuknya racun.Zat-zat yang
bersifat kaustik atau korosif meyebabkan luka bakar atau korosi pada
bibir, mulut dan kulit sekitarnya.Pada bunuh diri dengan menelan asam
sulfat atau lisol ditemukan luka bakar yang kering, berwarna coklat,
bentuk tidak teratur dengan garis-garis yang berjalan pada bibir atau
sudut-sudut mulut kearah leher.Sebaliknya pada orang yang dipaksa
menelan zat ituakan ditemukan bercak-bercak luka bakar diberbagai
bentuk dan ukuran dan tersebar dimana-mana.
d. Perubahan kulit
Misalnya hiper pigmentasi atau melanosit dan keratosis telapak
tangan dan kaki pada keracunan arsen kronik.Kulit berwarna kelabu
kebiru-biruan pada keracunan perak (Ag) kronik (deposisi perak dalam
jaringan ikat dan korium kulit). Kulit akan berwarna kuning pada
keracunan tembaga (Cu) dan fosfor akibat nhemolisis.
Dermatitis pada keracunan kronik salisilat, bromida dan beberapa
logam berat seperti arsen dan talium.Vesikel atau bula pada tumit,
bokong dan punggung pada keracunan karbon monoksida dan barbiturat
akut, jika korban sempat hidup beberapa hari.
e. Kuku

12
Pada keracunan arsen kronik dapat ditemukan kuku yang menebal
secara tidak teratur.Juga pada keracunan talium kronik ditemukan
kelainan trofik pada kuku.
f. Rambut
Krebotakan (alopesia) dapat ditemukan pada keracunan talium,
arsen, air raksa dan borak.
g. Sklera
Tampak ikterik pada keracunan dengan dengan zat hepatotoksik
seperti fosfor, karbon tetra klorida, perdarahan pada pemakaian
dicaomaro atau akibat bisa ular.
c. Pembedahan jenazah
a) Inspeksi in situ
Perhatikan warna otot-otot dan alat-alat, pada keracuna monoksida
tampak berwarna merah muda cerah.Warna coklat pada racun dengan
eksresi melalui mukosa usus.Peradangan dalam usus karateristik untuk
keracunan air raksa, biasanya pada kolon asenden dan transversum
ditemukan kolitis.Lambung mungkin tampak hiperemik atau kehitam-
hitaman dan terdapat perforasi akibat zat korosif.Hatin mungkin berwarna
kuning karena degenerasi lemak atau nekrosis pada keracunan zat-zat
hipotoksik seperti fosfor, karbon tetraklorida, klorofrom, alkohol, arsen
dll.
b) Lidah
Perhatikan apakah ternoda oleh warna tablet atau kapsul obat atau
menunjukan kelainan disebabkan oleh zat korosif.
c) Esofagus
Bagian atas dibuka sampai pada ikatan diatas diafragma. Adakah
terdapat regurgitasi dan selaput lendir diperhatikan akan adanya hiperemi
dan korosi.
d) Epiglotis dan Glotis
Perhatikan apakah terdapat hiperemi atau edema, disebabkan oleh
inhalasi atau aspirasi gas atau uap yang merangasang akibat regurgitsi dan
aspirasi zat yang merangsang.Edema glotis juga dapat ditemukan pada
kematian akibat syok anafilaktik, misalnya akibat pinisilin.
e) Paru-paru
Pada paru-paru biasanya ditemukan kelainan yang tidak spesifik,
berupa perbendungan akut.Pada inhalasi gas yang merangsang seperti
klorin dan nitrogen oksida ditemukan perbendungan dan edema hebat,
serta emfisema akut karena terjadi batuk-batuk, dispneu dan spasme
13
bronki. Pada keracunan akut morfin, tidak segera meninggal (deleyed
death)akan ditemukan tanda-tanda pneumonia.
f) Lambung dan Usus
Lambung dan usus dua belas jari dipisahkan dari alat-alat lainnya dan
diletakkan dalam wadah yang bersih.Lambung dibuka sepanjang kurvatura
mayor dan diperhatikan apakah mengeluarkan bau yang tidak biasa.
Perhatikan isi lambung, warnanya dan terdiri atas bahan-bahan apa. Bila
terdapat tablet atau kapsul, diambil dengan sendok dan disimpan secara
terpisah untuk mencegah disintegrasi tablet/kapsul.
g) Usus-usus
Secara rutin usus-usus dikirim seluruhnya dengan ujung-ujung terikat.
Pemeriksaan isi usus diperlukan pada kematian yang terjadi beberapa jam
setelah korban menelan zat beracun dan ingin diketahui berapa lama waktu
tersebut.
h) Hati
Apakah terdapat degenerasi lemak atau nekrosis.Degenerasi lemak
sering ditemukan pada peminum alkohol.Nekrosis dapat ditemukan pada
keracunan fosfor, karbon tetraklorida, kloroform dan trinitro
toluena.Setelah diambil potongan untuk pemeriksaan histologik, seluruh
hati atau paling sedikit 500gram berikut kandung empedu diambil. Hati
diambil cukup banyak karena takaran toksik kebanyakan racun sering
kurang dari beberapa miligram per kilogram berat badan, lagi pula pada
mayat konsentrasi yang tertinggal dalam tubuh mungkin jauh dibawah
jumlah tersebut.
Hati merupakan alat detoksifikasi utama dan memiliki kemampuan
untuk mengkonsentrasikan zat-zat beracun. Jadi kadar racun dalam hati
dapat 100 kali lebih tinggi daripada dalam darah. Dengan demikian hati
merupakan bahan yang penting untuk analisis toksikologik, misalnya
arsen, barbiturat dan imipramine.
d. Pengambilan Bahan Pemeriksaan Toksikologik
Para dokter hendaknya mengetahui dengan baik bahan apa yang
harus diambil, cara mengawetkan dan cara pengiriman.Tidak jarang
seorang dokter mengirimkan bahan yang salah atau dalam jumlah
terlampau sedikit.Dengan demikian jelas bahwa ahli toksikologi tidak
dapat memenuhi permintaan dokter tersebut.
Pada semua kasus, bahan tersebut dibawah ini perlu diambil.
Sekalipun dokter yang melakukan autopsi sudah memperoleh petenjuk
yang cukup kuat bahwa ia sedang menghadapi suatu jenis racun,
hendaknya ia tetap mengambil bahan-bahan secara lengkap.
14
Darah jantung diambil secara terpisah dari sebelah kanan dan
sebelah kiri masing-masing sebanyak 50ml. darah tepi sebanyak 30-50ml,
diambil dari vena iliaca komunis, bukan darah dari vena porta.
Pada korban yang masih hidup, darah adalah bahan yang
terpenting. Ambil 2 contoh darah masing-masing minimal 5 ml; yang
pertama diberi pengawet NaF 1% dan yang lain tanpa pengawet.
Bilasan lambung juga diambil semuanya.Pada mayat diambil
lambung beserta isinya.
Usus beseta isinya. Bahan ini sangat berguna terutama bila
kematian terjadi dalam waktu beberapa jam setelah menelan racun,
sehingga dapat diperkirakan saat kematian dan dapat pula ditemukan pil
yang tak dapat hancur oleh lambung (enteric-coated).
Hati, semua hati harus diambil setelah disisihkan untuk
pemeriksaan patologi anatomi dengan alasan : 1. Takaran toksik
kebanyakan racun sangatkecil, hanya beberapa mg/kg sehingga kadar
racun dalam tubuh sangat rendah dan untuk menemukan racun, bahan
pemeriksaan harus banyak, dan 2. Hati merupakan tempat detoksikasi
tubuh terpenting. Oragan ini mempunyai kemampuan untuk
mengkonsentrasikan racun-racun sehingga kadar racun dalam hati sangat
tinggi.
Ginjal, keduanya harus diambil.Ginjal penting pada keadaan
intoksikasi logam, pemeriksaan racun secara umum dan pada kasus
diamana secara histologik ditemukan Ca-oksalat dan sulfo-namide.
Urin diambil semua yang ada dalam kandung kemih, karena
merupakan tempat ekskresi sebagian besar racun, sehingga dapat untuk tes
pendahuluan (spot test), juga penting untuk pemeriksaan penyaring racun
dari golongan narkotika atau stimulan.
e. Wadah Bahan Pemeriksaan Toksikologi
Untuk wadah bahan pemeriksaan toksikologik idealnya diperlukan
minimal 9 wadah karena masing-masing bahan pemeriksaan ditempatkan
secara tersendiri, tidak boleh dicampur, yaitu: 2 buah peles a 2 liter untuk
usus dan hati; 3 peles a 1 liter untuk lambung beserta isinya, otak dan
ginjal; 4 botol a 25ml untuk darah (2 buah), urin dan empedu.
Wadah harus dibersihkan terlebih dahulu dengan mencucinya
dengan asam kromat hangat lalu dibilas akuades dan dikeringkan.
f. Bahan Pengawet
Sebenarnya yang paling baik adalah tanpa pengawet, tetapi bahan
pemeriksan harus disimpan dalam lemari es, bila terpaksa misalnya karena
pemeriksaan toksikologi tidak dapat dilakukan dengan segera tetapi
beberapa hari kemudian, maka dapat digunakan bahan pengawet yaitu; (a)

15
alkohol absolut (b) larutan garam dapur jenuh (c) larutan NaF1% (d) NaF
+ Na sitrat (5ml NaF + 50ml Na sitrat untuk setiap 10ml bahan) dan (e)Na
benzoat + fenil merkuri nitrat (hanya untuk urin).

2.2 Bunga Kecubung (Datura.sp)


Kecubung adalah tumbuhan penghasil bahan obat-obatan yang
telah dikenal sejak ribuan tahun,di antaranya Datura Stramonium, Datura
tatura, dan Brugmansia suaviolens, namun daya khasiat masing-masing
jenis kecubung, berbeda-beda. Penyalahgunaan kecubung memang sering
terjadi, sehingga bukan obat yang didapat malah racun (menyebabkan
pusing) yang sangat berbahaya. Hampir seluruh bagian tanaman kecubung
dapat dimanfaatkan sebagai obat.

Gambar 2.1 Bunga Kecubung

Kecubung tidak hanya berguna sebagai tanaman pembius saja.


Khasiat lain yang bisa didapat dari kecubung ternyata cukup banyak.
Beberapa di antaranya adalah sebagai obat sakit gigi dan asma. Kecubung
(Datura. sp) selama ini dikenal sebagai tanaman yang berefek negatif.
Tanaman yang bunganya berbentuk terompet ini kerap disalahgunakan
untuk penghilang kesadaran atau sebagai zat pembius. Sebab, daun
kecubung berkhasiat anestesi. Terutama karena tanaman ini mengandung
metil kristalin yang mempunyai efek relaksasi pada otot lurik.
Bentuknya yang seperti terompet ditambah konotasi negatif,
masyarakat Amerika dan Eropa kemudian menyebutnya sebagai Devil
trumpet. Penyalahgunaan tersebut sebenarnya berasal dari kebiasaan sebuah
kelompok masyarakat di India yang menggunakan kecubung untuk
membius korban persembahan bagi dewa.
Semua bagian pada tanaman kecubung bersifat toksik, mulai dari
akar, batang, daun dan bunga mengandung senyawa alkaloid yang dapat
menyebabkan keracunan. Berdasarkan data kasus keracunan yang
dilaporkan kepada Sentra Informasi Keracunan Nasional (SIKerNas), kasus

16
keracunan kecubung terjadi karena disengaja dan tidak disengaja, sebagian
besar kasus keracunan dilakukan dengan sengaja mengonsumsi campuran
kecubung dengan minuman keras untuk mendapatkan efek halusinasi
sedangkan kasus keracunan yang tidak disengaja karena korban tidak
mengetahui bahwa kecubung tersebut beracun.
Nama Lokal:
Kecubung (Jawa, Sunda), Kacobhung (Madura), Bemebe
(Madura), Bulutube (Gorontalo), Taruapalo(Seram), Tampong-tampong
(Bugis), Kecubu (Halmahera, Ternate), Padura (Tidore), Karontungan,
Tahuntungan (Minahasa).Kecubung juga terdapat di Cina, Inggris, dan
Belanda
Nama Melayu:
Kechubung, Terung pengar, Terung pungak
Nama Simplisia:
Datura albae Flos ; bunga Kecubung
Datura albae Folium ; daun Kecubung
Morfologi:
Kecubung (Datura.sp) termasuk jenis tumbuhan perdu tahunan
yang mempunyai pokok batang kayu, keras dan tebal.

Gambar 2.2 Pohon Kecubung

17
Gambar 2.3 Daun Kecubung
2.2.1 Komposisi Bunga Kecubung (Datura.sp)
Kecubung (Datura sp) mengandung beberapa senyawa kimia,
diantaranya: hiosin, co-oksalat, zat lemak, atropin (hyosiamin) dan
skopolamin. Seluruh bagiannya mengandung alkaoida tropane atau disebut
hyosamin (atropin) dan scopolamin yang bersifat antikolinergik, seperti
pada tanaman Atropa belladona. Alkahoid ini bersifat racun sehingga
pemakaiannya terbatas pada bagian luar. Biji kecubung mengandung
hiosin dan lemak, sedangkan daunnya mengandung kalsium
oksalat.Kecubung juga mengandung meteloidina, norhiosiamina,
norskopolamina, kuskohigrina, dan nikotina. Alkaloid adalah senyawa
organik yang terdapat di alam bersifat basa yang ditandai dengan adanya
atom nitrogen dan dalam molekul senyawa tersebut terdapat struktur
lingkar heterosiklik atau aromatis. Alkaloid berdasarkan atom nitrogennya,
dapat dibagi menjadi dua yaitu: Alkaloid dengan atom nitrogen
heterosiklik dan alkaloid tanpa atom nitrogen yang heterosiklik.
a. Alkaloid Tropane
Topane alkaloid biasa dideskripsikan sebagai agen anti-
kolinergik, dengan kemampuan berikatan dengan reseptor muskarinik
asetilkolin dan sebagai antagonis kompetitif pada reseptor ini.
18
Berdasarkan distribusinya pada organ, terdapat berbagai jenis subtipe
reseptor muskarinik yaitu M1-M5. Semuanya berhubungan dengan
reseptor G-Protein Couple. Reseptor M1 banyak terdapat pada sistem
saraf pusat, gaster dan kelenjar saliva. Reseptor M2 terdapat pada
atrium jantung, otot polos GIT dan juga pada sistem saraf pusat.
Reseptor M3 mendominasi kelenjar eksokrin termasuk kelenjar saliva,
GIT, dan juga mata serta endothelium pembuluh darah. Reseptor M4
banyak terdapat pada sistem saraf pusat dan reseptor M5 terutama
ditemukan pada substansia nigra sistem saraf pusat, kelenjar saliva,
dan otot siliaris iris pada mata.
Alkaloid tropan dapat diklasifikasikan ke dalam alkaloid
dengan atom nitrogen heterosiklik, dimana atom nitrogen terletak
pada cincin karbonnya. Alkaloid tropan mengandung satu atom
nitrogen dengan gugus metilnya (N-CH3). Alkaloid ini dapat
mempengaruhi sistem saraf pusat termasuk yang ada pada otak
maupun sumsum tulang belakang. Dalam famili Solanaceae dikenal
kaya akan alkaloid tropan. Alkaloid tropan pada kecubung merupakan
zat psikoaktif (zat yang jika masuk ke dalam tubuh akan
mempengaruhi mental seseorang). Zat psikoaktif yang biasanya
terkandung di dalam tanaman kecubung adalah scopolamine, atropine,
daturine atau hyoscyamine. Zat –zat tersebut memiliki sifat
antikolinergik dan bertindak antagonis kompetitif untuk asetilkolin
pada reseptor muskarinik perifer dan pusat. Asetilkolin bekerja pada
saraf parasimpatis, yakni saraf yang memiliki efek relaksasi tubuh dan
melemaskan otot. Saraf parasimpatis banyak ditemukan pada otot-otot
saluran pencernaan, saluran urin, paru-paru. Saraf simpatis tersebut
saling berkomunikasi melalui asetilkolin. Antikolinergik bekerja
menghambat asetilkolin tersebut sehingga akan menurunkan fungsi
saraf parasimpatis.
Efek farmakologis Alkaloids sebagai agen anticholinergic:
a) Mengurangi sekresi saliva dan GIT dan biasa digunakan untuk
preoperasi.
b) Mengurangi motilitas otot polos dan biasa digunakan sebagai
antispasme.
c) Stimulasi sistem pernapasan.
d) Midriasis (menyebabkan dilatasi pupil).
e) An antidote to organophosphorus insecticides.

19
f) Hyoscine memiliki efek pada sistem saraf pusat, biasa digunakan
sebagai sedatif dan efek hipnotik.
g) Hyoscine juga biasa digunakan sebagai antiemetik.
Efek farmakokinetik Alkaloids sebagai agen anticholinergic:
a) hyoscine (onset 30 menit, maksimal tiga jam)
b) hyoscyamine (onset 30 menit, maksimal 3–5 jam)
Pasien yang mengalami keracunan karena mengkonsumsi Datura
metel L memperlihatkan gejala anticholinergic toxidrome. Spesifiknya
pasien akan mengalami efek antimuskarinik (Tabel I). Gejala-gejala
anticholinergic toxidrome muncul sekitar 30 menit setelah ingesti dan
gejala-gejala tersebut baru akan menghilang setelah beberapa jam.

Tabel 2.1 Tanda dan Gejala Keracunan Agen Antikolinergik


Efek Sentral Efek Perifer
Delirium Dilated pupils
Drowsiness Dry mouth
Agitation Flushing of skin
Visual hallucination Dry skin
Ataxia Hyperthermia
Myoclonus jerking Sinus tachycardia
Convulsion Cardiac conduction abnormalities
Coma Dysrhythmia
Urinary retention
Paralytic ileus
Sejauh ini tidak terdapat laporan kematian akibat keracunan
mengkonsumis Datura metel L. Namun terdapat laporan kematian akibat
mengkonsumsi tanaman herbal antikolinergik yang serupa, yaitu dari
spesies Datura stramonium (Jimson weed).
Racun yang ada bisa mempengaruhi sistem saraf. Pada dosis yang
cukup, racun akan melumpuhkan ujung saraf dari otot seperti pembuluh
darah, jantung dan otot gastrointestinal. Gejala keracunan yang timbul
adalah pupil membesar atau melebar, lebih peka terhadap cahaya,
penglihatan kabur, sakit kepala, kebingungan dan kejang. Menelan 2 buah
ini bisa membunuh seorang anak, jika 10-20 buah bisa membunuh seorang
dewasa.
b. Atropine
Atropine dapat ditemukan pada bagian daun dan biji
kecubung, kadar zat ini mencapai 8- 12% pada bobot kering. Atropine
20
merupakan agen antimuskarinik yang memiliki efek bervariasi
terhadap sistem kardiovaskuler tergantung dosis yang digunakan. Pada
dosis rendah ( < 0,5 mg ) dapat menyebabkan perlambatan denyut
jantung (bradikardia) dan pada dosis tinggi ( > 1 mg ) dapat
menyebabkan jantung berdenyut dengan cepat dan tidak normal
(takikardia).
Atropine menghambat secara kompetitif reseptor muskarinik
pada asetilkolin. Mekanisme tersebut dapat menyebabkan melebarnya
pupil pada mata, kekeringan pada selaput lendir atau mukosa terutama
pada mulut dan menghambat aktivitas kelenjar keringat. Pada dosis
toksik dapat menyebabkan palpitasi atau jantung berdebar-debar atau
denyut jantung tidak teratur, gangguan dalam berbicara, penglihatan
kabur, halusinasi dan mengigau. Selain itu, overdosis dapat
memungkinkan terjadinya depresi pada sistem saraf pusat, kejang dan
kelumpuhan. Atropin yang terkandung pada tanaman seperti kecubung
mudah diserap saluran cerna dan didistribusikan secara luas ke seluruh
jaringan, serta diekskresikan paling banyak melalui urin. Atropin
dapat menyebabkan berbagai efek akut, seperti, dilatasi pupil,
perubahan denyut jantung, mulut kering, konstipasi, retensi urin, dan
kulit memerah. Gejala efek jangka pendek biasanya terjadi dalam
waktu 30 sampai 60 menit setelah dikonsumsi.
c. Hyoscyamine
Hyoscyamine merupakan agen anti muskarinik seperti atropine
tetapi lebih poten dalam mempengaruhi efek perifer dan pusat.
Biasanya digunakan dalam tambahan terapi penyakit ulkus peptik dan
sindrom Zollinger-Ellison2 . Efek keracunan ringan sampai sedang
menyebabkan midriasis, demam, mulut kering, mual, muntah dan
kemungkinan dapat mneyebakan halusinasi pada tingkat keracunan
sedang. Pada tingkat keracunan yang parah dapat menyebabkan
kejang, hipertermia sampai koma1
d. Scopolamine
Scopolamine merupakan agen anti muskarinik seperti atropine
dan zat yang paling banyak terkandung pada tanaman kecubung,
secara umum banyak terdapat pada bagian biji dan bunga. Gejala
keracunan yang ditimbulkan oleh scopolamine hampir sama dengan
gejala keracunan pada atropine seperti dilatasi pupil, palpitasi,
penglihatan kabur, juga dapat menyebabkan halusinasi. Scopolamine
memiliki Lethal Dose yang didasarkan pada LD50 mencit sebesar
1200 mg/KgBB.

21
2.2.2 Gejala Keracunan Bunga Kecubung (Datura.sp)
Gejala Keracunan Tanaman Kecubung Secara umum, tanda-tanda
dan gejala keracunan pada tanaman kecubung dapat diistilahkan menjadi
10 Ds, yang meliputi: 1) dryness of mouth, thirst, and slurred speech,
(kekeringan mulut, rasa haus, dan bicara cadel); 2) dysphagia, (susah
menelan); 3) dilated pupils,(dilatasi pupil); 4) diplopia, (gejala dimana
pasien melihat dua tampilan dari satu objek); 5) dry hot skin, with flushing
and hyperpyrexia, (kulit panas kering, dengan pembilasan dan
hiperpireksia); 6) drunken gait, (ataksia); 7) delirium with hallucinations,
agitation, amnesia, and incoherence, (delirium dengan halusinasi, agitasi,
amnesia, dan inkoherensi); 8) delusions; 9) dysuria, urinary retention
(disuria, retensi urin); dan 10) death, preceded by tachycardia,
arrhythmias, coma, and respiratory depression (meninggal, didahului oleh
tachycardia, aritmia, koma, dan depresi pernafasan).
Tertelan merupakan rute paparan yang paling umum pada
keracunan tanaman kecubung. Pada rute ini, kombinasi dari zat atropine,
scopolamine dan hyoscyamin dapat mempengaruhi sistem saraf pusat.
Selain itu, dapat pula menyebabkan kebingungan, halusinasi, kejang
bahkan koma.
Rute paparan terhirup dapat berasal dari daun kecubung yang
dibakar untuk merokok, sehingga asap yang terhirup mengakibatkan efek
hipnotik dan halusinasi. Selain itu, jika menghirup debu dari daun kering
yang ditumbuk dapat mengakibatkan midriasis. Efek pada rute paparan
terhirup lebih cepat muncul daripada tertelan dan umumnya gejala akan
muncul dalam waktu 15 menit.
2.2.3 Pertolongan Pertama Keracunan Bunga Kecubung (Datura.sp)
Pertolongan pertama pada korban yang mengalami keracunan
akibat kecubung dapat dilakukan dengan cara:
a. Jika tertelan, jangan berikan apapun melalui mulut pada korban yang
tidak sadarkan diri. Longgarkan pakaian yang melekat ketat, seperti
kerah baju, ikat pinggang, atau dasi. Bilas mulut menggunakan air
bersih, bila pasien sadar. Posisikan kepala korban ke arah kiri dengan
mulut lebih rendah untuk mencegah aspirasi jika terjadi muntah.
Korban segera dibawa ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain.
b. Jika terhirup, pindahkan korban ke tempat berudara segar dan ke
tempat yang lebih aman, berikan oksigen. Berikan pernapasan buatan
jika dibutuhkan. Longgarkan pakaian yang melekat ketat, seperti
kerah baju, dasi, atau ikat pinggang.

22
c. Jika kontak kulit, segera tanggalkan pakaian, perhiasan, dan sepatu
yang terkontaminasi. Bersihkan bahan kimia yang masih menempel di
kulit dengan hati-hati. Cuci dan sikat kulit – terutama untuk lipatan
kulit, kuku, dan rambut menggunakan sabun dan air mengalir yang
banyak sampai dipastikan tidak ada bahan kimia yang tertinggal,
sekurangnya selama 15-20 menit.
d. Jika kontak mata, lakukan irigasi dengan larutan garam fisiologis
(NaCl 0,9%) atau setidaknya air bersih mengalir, sekurangnya selama
15-20 menit dengan membuka kelopak mata dan dipastikan tidak ada
lagi bahan kimia yang tertinggal.
2.2.4 Penatalaksanaan Keracunan untuk Tenaga Medis
1. Stabilisasi :
• Resusitasi jantung paru
• Pertahankan tanda-tanda vital
2. Dekontaminasi:
Pemberian Arang aktif (Norit)
• Dewasa : 100 gr dalam 200 ml air
• Anak : 1 gr/kg dibuat larutan
3. Pemberian antidotum:
Physostigmine, antidot ini tidak tersedia di Indonesia
• Dewasa : 0,5 – 1 mg IV bolus perlahan
• Anak : 0,02 mg/kg, diberikan maksimal 0,5 mg/menit
Neostigmine, antidot ini tersedia di Indonesia
• Dewasa : 0,5 – 2 mg IV bolus pelan
• Anak : 0,025 – 0,08 mg/kg
• Dapat diulangi bila diperlukan
• Dosis total tidak melebihi 5 mg
Selama pemberian antidotum, dilakukan monitor EKG

Gambar 2.4 Keracunan Kecubung

23
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Keracunan adalah masuknya suatu zat kedalam tubuh yang dapat
menyebabkan ketidaknormalan mekanisme dalam tubuh. Bila dalam jumlah
sedikit ditelan atau dihirup atau diserap atau dioleskan atau disuntikkan ke
dalam tubuh atau dihasilkan dalam tubuh, memiliki aksi kimiawi dan
menyebabkan kerusakan pada struktur atau gangguan fungsi yang
menimbulkan gejala, bahkan sampai menyebabkan kematian. Faktor yang
mempengaruhi keracunan seperti: Cara masuk, Umur,Kondisi
tubuh,Kebiasaan, Idiosinkrasi dan alergi. Pengaruh langsung racun tergantung
pada takaran. Makin tinggi takaran maka akan makin cepat (kuat) keracunan.
Berdasarkan data kasus keracunan yang dilaporkan kepada Sentra
Informasi Keracunan Nasional (SIKerNas), kasus keracunan kecubung terjadi
karena disengaja dan tidak disengaja, sebagian besar kasus keracunan
dilakukan dengan sengaja mengonsumsi campuran kecubung dengan
minuman keras untuk mendapatkan efek halusinasi sedangkan kasus
keracunan yang tidak disengaja karena korban tidak mengetahui bahwa
kecubung tersebut beracun. Kecubung (Datura sp) mengandung beberapa
senyawa kimia, diantaranya: hiosin, co-oksalat, zat lemak, atropin
(hyosiamin) dan skopolamin. Seluruh bagiannya mengandung alkaoida
tropane atau disebut hyosamin (atropin) dan scopolamin yang bersifat
antikolinergik, seperti pada tanaman Atropa belladona. Gejala Keracunan
Tanaman Kecubung Secara umum, tanda-tanda dan gejala keracunan pada
tanaman kecubung dapat diistilahkan menjadi 10 Ds, yang meliputi:
1)kekeringan mulut, rasa haus, dan bicara cadel, 2) dysphagia, (susah
menelan); 3)dilatasi pupil, 4) diplopia, (gejala dimana pasien melihat dua
tampilan dari satu objek), 5) kulit panas kering, dengan pembilasan dan
hiperpireksia, 6) drunken gait, (ataksia); 7) delirium with hallucinations,
agitation, amnesia, and incoherence, (delirium dengan halusinasi, agitasi,
amnesia, dan inkoherensi); 8) delusions; 9) dysuria, urinary retention (disuria,
retensi urin); dan 10) death, preceded by tachycardia, arrhythmias, coma, and
respiratory depression (meninggal, didahului oleh tachycardia, aritmia, koma,
dan depresi pernafasan).

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Bliss, Molly., 2001, Datura Plant Poisoning, Clicical Toxicology Review Vol.
23No.6
2. Christian Rätsch, 2005, The Encyclopedia of Psychoactive Plants:
Ethnopharmacology and Its Applications, Inner Traditions / Bear & Co,
Park StreetPress
3. Hiraoka, Noboru., Tashimo, Kunio., Kinoshita, Chinatsu., Hiro’oka, Maria.,
1996,
Genotypes and Alkaloid Contents of Datura metel Varieties,
Biol.Pharm.Bull Vol.19

4. Setiana, A. Pembentukan senyawa alkaloid dan terpenoid. Program Studi


Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muhammadiyah Sukabumi: 2011
5. Tanuj Kanchan, MD; Alok Atreya, MD., 2016, Datura: The Roadside
Poison, Wilderness & Environmental Medicine, 27, Hal.442–443
6. Toxnet, 2003, Hyoscyamine, Diunduh dari:https://toxnet.nlm.nih.gov/cgi-
bin/sis/search/a?dbs+hsdb:@term+@DOCNO+3553
7. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian kedokteran Forensik Universitas
Indonesia. 1997. Hal 71-86.
8. Guharaj, P.V. Forensic Medicine. North America: 2008
9. Alexander, J. Et al Tropane alkaloids (from Datura sp.) as undesirable
substances in animal feed (Journal). Scientific Opinion of the Panel on
Contaminants in the Food Chain. The European Food Safety Authority
(EFSA) Journal: 2008; 691, 1-55
10. Setiana, A. Pembentukan senyawa alkaloid dan terpenoid. Program Studi
Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muhammadiyah Sukabumi: 2011

25

Anda mungkin juga menyukai