Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN KASUS

EPILEPSI

Disusun Sebagai Tugas Mengikuti Kepaniteraaan Klinik Senior


Bagian Penyakit Anak
Rumah Sakit Haji Medan Sumatera Utara

Pembimbing :

dr. Nurcahaya Sinaga Sp.A (K) Neurologi

Disusun Oleh :

Fienda Oktavia (20360186)

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN

2021
STATUS PASIEN

Nama : Hanip Hasan


Ruangan : Annisa I A
Tanggal Masuk : 31-05-2021
Dokter : dr. Nurcahaya Sinaga, Sp.A (K) Neurologi

1. Identitas Pribadi

Nama Pasien : Hanip Hasan


Umur : 9 Tahun 7 Bulan
Jenis Kelamin : Laki laki

Riwayat Penyakit Saat Ini


Keluhan Utama : Demam
Keluhan Tambahan : batuk dan muntah
Telaah : Pasien anak laki – laki usia 9 Tahun dibawa orang tuanya ke
rumah Sakit Haji Medan untuk melakukan EEG dan os
memiliki keluhan demam selama 3 hari disertai batuk (+)
muntah (+) . os memiliki riwayat epilepsi dari usia 2 tahun
dengan durasi kejang > 15 menit dengan adanya bangkitan
berulang (lebih dari 2 kali sehari) dengan tipe kejang umum os
juga mengalami disabilitas intelektual dimana seusianya sudah
bisa berhitung dan menghafal.
Riwayat Penyakit Terdahulu : Epilepsi

Riwayat Penyakit Keluarga :-


Riwayat Penggunaan Obat :-
Riwayat Kelahiran : Normal Vacum Forceps

Sectio Caesaria
a. Ditolong Oleh : Dokter Bidan Lainnya

b. Keadaan Saat Lahir : Segera Menangis Tidak Segera
 Menangis
c. BBL : 3700 gram

Riwayat Imunisasi :

 BCG : 1 kali
 Polio : 4 kali
 Hepatitis B : 4 kali
 DPT : 3 kali
 Campak : 1 kali

Jenis Lahir 1 2 3 4 5 6 9 1 1 18 24
Imunisasi 2 5
Hepatitis B √ √ √ √ √
BCG √
Polio √ √ √ √ √
DPT √ √ √ √
Campak √

Riwayat Perkembangan:
 Menegakkan kepala : 3 Bulan
 Membalikkan badan :4 Bulan
 Duduk : 6 Bulan
 Berdiri : 8 Bulan
 Merangkak : 10 Bulan
 Berjalan : 12 Bulan
 Berbicara : 15 Bulan

Kesimpulan : perkembangan sesuai dengan umurnya dan tidak didapatkan kegagalan


perkembangan

Riwayat Nutrisi:

 0-6 bulan
ASI : Kurang lebih 11 kali/hari atau setiap menangis
 6 bulan – 2 tahun
ASI : Kurang lebih 11 kali/hari atau setiap menangis
Makan Pagi/Siang/Malam :3 kali/hari (Nasi Cair /lembek/ Bubur)
Kesimpulan : pasien mendapat asupan makanan sesuai dengan umur.
Glasgow Coma Scale

RESPONE SCORE
EYE
Membuka mata spontan (Normal) 4
Dengan kata-kata akan membuka mata bila diminta 3 4
Membuka mata bila diberikan rangsangan nyeri 2
Tidak membuka mata walaupun dirangsang nyeri 1
VERBAL
Bicara jelas atau tersenyum menuruti perintah 5
Menangis tapi bisa dibujuk 4
Menangis tidak bisa dibujuk 3 5
Gelisah, agitasi 2
Tidak ada respon 1
MOTORIK
Dapat menggerakkan seluruh ekstremitas sesuai dengan permintaan 6
Dapat menggerakkan ekstremitas secara terbatas karena nyeri (lokalisasi 5
nyeri)
Respons gerakan menjauhi rangsangan nyeri (menarik karena nyeri) 4 6
Fleksi ekstremitas karena nyeri 3
Ekstensi ekstremitas karena nyeri 2
Tidak ada respon berupa gerak 1
TOTAL 15 15
Nilai 12-14 : Gangguan Kesadaran Ringan

Nilai 9-11 : Gangguan Kesadaran Sedang

Nilai <8 : Coma

PEMERIKSAAN FISIK

1. Keadaan Umum

Kesan keadaan sakit : Tampak sakit sedang

Sensorium : Kualitatif : Compos Mentis

Kuantitatif : GCS 15 (E=4 V=5 M= 6)


Nadi :118 x/i

Pernafasan :22 x/i

Temperature :38.5 °C

Tekanan Darah :110/80 mmHg

Data Antropometri

Berat Badan :26 Kg

Tinggi Badan :126 Cm

Lingkar Lengan Atas :18 Cm

Lingkar Kepala : 49 Cm

Status Gizi

BB/U : 26/30 x 100% = 86% (BB Baik)

TB/U : 126/136 x 100% = 92% (Normal)

BB/TB : 26/24 x 100% = 100% (Normal)

Kesimpulan : Gizi Baik

2. Pemeriksaan Fisik
 Kulit
a. Sianosis :tidak ditemukan
b. Ikterus :tidak ditemukan
c. Pucat :tidak ditemukan
d. Turgor :kembali cepat
e. Edema :tidak ditemukan
f. Lainnya :-
 Rambut :Hitam dan bersih
 Kepala :Normal
a Wajah :Simetris
b Mata :Konjungtiva = hyperimis (-/-), Pucat (-/-), Sekret (-/-),
Pupil isokor (+/+)
c Hidung :Simetris, Polip (-), Sekret (-)
d Mulut :DBN
e Telinga :DBN
f Leher :DBN
g Thorax :DBN
h Abdomen :Peristaltik usus (+) , Nyeri tekan (-)
i Ekstremitas :DBN
j Anogentinal :Laki - laki, Anus (+)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Hemoglobin 9.80 g/dl 13.0-18.0
Hitung eritrosit 3.47 Fl 4.5-5.5
Hitung leukosit 17.4 ribu/mm3 4-11
Hematocrit 29.8 % 40-50
Trombosit 142.0 ribu/mm3 150-440
MCV 85.8 Fl 80-100
MCH 28.2 Pg 26-34
MCHC 32.9 g/dL 32-36
Eosinophil 0 % 1-3
Basophil 0 % 0-1
N.Seg 65.0 % 53-75
Limfosit 11.8 % 20-45
Monosit 23 % 4-8

RESUME
Pasien anak laki – laki usia 9 Tahun dibawa orang tuanya ke rumah Sakit Haji Medan
untuk melakukan EEG dan os memiliki keluhan demam selama 3 hari disertai batuk
(+) muntah (+) . os memiliki riwayat epilepsi dari usia 2 tahun dengan durasi kejang
> 15 menit dengan adanya bangkitan berulang (lebih dari 2 kali sehari) dengan tipe
kejang umum os juga mengalami disabilitas intelektual dimana seusianya sudah bisa
berhitung dan menghafal.

Pemeriksaan Fisik

 Kesan Keadaan Sakit :Tampak sakit sedang


 Sensorium :Compos mentis
 HR :118 x/i
 RR :22 x/i
 T :38.5°C
 BB :26 Kg
 TB :126 Cm
 Lingkar lengan atas :18 Cm
 Lingkar Kepala :49 Cm
 Kulit : sianosis (-), icterus (-), pucat (-), edema (-)
 Rambut :Hitam dan Bersih
 Wajah :Simetris
 Mata :pupil isokor (+/+), konjungtiva (-/-),
 Hidung :DBN
 Mulut :DBN
 Telinga :DBN
 Leher :DBN
 Thorax :DBN
 Abdomen :Peristaltik Usus (+), nyeri tekan (-)
 Ekstremitas :DBN
 Anogenital :Laki-laki , Anus (+)

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Lab
EEG : didapatkan hasil EEG tampak abnormal terdapat
hipofungsi umum berat.

DIAGNOSA BANDING
1 Epilepsi
2. First unprovoked seizures

DIAGNOSA
Epilepsi

TERAPI

- IVFD RL 20 gtt/I mikro


- Paracetamol 3 x ¾ tab (Jika perlu)
- Asam Valproat 2 x 10 cc
Follow Up

Tanggal S O A P
31/05/2021  Kejang (-) HR:118 Epilepsi • IVFD RL 20
Senin  Demam(+) x/i gtt/I mikro
 Batuk (+) RR:22 x/i • Paracetamol
 Muntah T:38,5 °C 3 x ¾ tab
(+) SPO2: • Asam
98% Valproat 2 X
10 cc

01/06/2021  Kejang (-) HR:88 x/i Epilepsi • IVFD RL 20


Selasa  Demam(-) RR:22 x/i gtt/I mikro

 Batuk (+) T:36,7 °C • Asam

 Muntah (-) SPO2: Valproat 2 X


98% 10 cc

02/06/2021  Kejang (-) HR:96 x/i Epilepsi • IVFD RL 20


Rabu  Demam(-) RR:24 x/i gtt/I mikro

 Batuk (+) T:37,1 °C • Asam

 Muntah (-) SPO2: Valproat 2 X


98% 10 cc

03/06/2021  Kejang (-) HR:102 Epilepsi • IVFD RL 20


Kamis  Demam(-) x/i gtt/I mikro

 Batuk (+) RR:40 x/i • Asam

 Muntah (-) T:36,4 °C Valproat 2 X


SPO2: 10 cc
98%
04/06/2021  Kejang (-) HR:82 x/i Epilepsi • IVFD RL 20
Jumat  Demam(-) RR:40 x/i gtt/I mikro

 Batuk (+) T:35,7 °C • Asam

 Muntah (-) SPO2: Valproat 2 X


99% 10 cc
ANALISA KASUS

 Telah dilaporkan seorang pasien anak laki-laki umur 9 tahun 7 bulan dengan
diagnosis kerja observasi epilepsi. Diagnosis kerja ditegakan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium.
 Data yang diperoleh dari anamnesa yaitu demam selama 3 hari disertai batuk
(+) muntah (+) . pasien memiliki riwayat epilepsi dari usia 2 tahun dengan
durasi kejang > 15 menit dengan adanya bangkitan berulang (lebih dari 2 kali
sehari) pasien juga mengalami keterlambatan tumbuh kembang dimana
seusianya sudah bisa berhitung dan menghafal.
 Dari pemeriksaan fisik di ruang rawat didapatkan kesadaran composmentis,
suhu febris, refleks fisiologis (+/+), refleks patologis (-/-), rangsangan
meningeal (-) thoraks dan abdomen dalam batas normal, ekstremitas normal,
selama dirungan tidak ada kejang.
 Etiologi dari epilepsi pada kasus ini disebabkan karena genetik dengan hasil
EEG ditemukan hipofungsi umum berat.
 Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik ini diagnosa akhir menjadi epilepsi
 Terapi diruangan diberikan Asam Valproat 2 X 10 cc dan pemberian
Paracetamol untuk mengatasi demam pada anak.
 Pasien dipulangkan pada hari ke-5 perawatan dengan kriteria suhu badan
normal dan bebas kejang 24 jam tanpa obat antipiretik, diagnosis akhir adalah
epilepsi.

PROGNOSIS

Pada umumnya prognosis epilepsi cukup baik. Pada 50-70% penderita

epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu

waktu akan dapat berhenti minum obat. Serangan epilepsi primer, baik bersifat kejang

umum maupun kejang lena atau absence mempunyai prognosis terbaiknya.

Sebaliknya epilepsi yang serangan pertama pada usia 3 tahun atau disertai kelainan

neurologi atau retardasi mental mempunyai prognosis yang relatif jelek.


TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi atau gejala:

Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan jarak

waktu antar bangkitan pertama dan kedua > 24 jam atau Satu bangkitan tanpa

provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan terjadinya bangkitan


berulang dalam 10 tahun kedepan. Bangkitan pertama pada anak yang disertai lesi

struktural dan epileptiform discharges.

Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai

etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang akibat lepasnya

muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal. Terdapat dua kategori

dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal (parsial) dan kejang umum. Kejang fokal

terjadi karena adanya lesi pada satu bagian dari cerebral cortex, di mana pada

kelainan ini dapat disertaikehilangan kesadaran parsial. Sedangkan pada kejang

umum, lesi mencakup area yang luas dari cerebral cortex dan biasanya mengenai

kedua hemisfer cerebri. Kejang mioklonik, tonik, dan klonik termasuk dalam epilepsi

umum.

Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa

(stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung mendadak dan sementara,

dengan atau tanpa perubahan kesadaran. Disebabkan oleh hiperaktifitas listrik pada

sekelompok sel saraf di otak dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut.

Kejang epilepsi harus dibedakan dengan sindrom epilepsi. Kejang epilepsi adalah

timbulnya kejang akibat berbagai penyebab yang ditandai dengan serangan tunggal

atau tersendiri. Sedangkan sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda

klinis epilepsi yang ditandai dengan kejang epilepsi berulang, meliputi berbagai

etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus dan kronisitas.


Kejang adalah kejadian epilepsi dan merupakan ciri pada epilepsi yang harus

ada, tetapi tidak semua kejang merupakan manifestasi klinis dari epilepsi. Seorang

anak terdiagnosa menderita epilepsi jika terbukti tidak ditemukannya penyebab

kejang lain yang bisa dihilangkan atau disembuhkan, misalnya adanya demam tinggi,

adanya pendesakan otak oleh tumor, adanya pendesakan otak oleh desakan tulang

cranium akibat trauma, adanya inflamasi atau infeksi di dalam otak, atau adanya

kelainan biokimia atau elektrolit dalam darah. Tetapi jika kelainan tersebut

tidakditangani dengan baik maka dapat menyebabkan timbulnya epilepsi di kemudian

hari.

2.2 Epidemologi

Insidensi epilepsi di Eropa dan Amerika Serikat 24-82/100.000 popuasi/tahun dengan

dominasi laki-laki dibanding perempuan karena tingginya post traumatik epilepsi

yang biasanya terjadi pada laki-laki. Prevalensi di Eropa 3,3-7,8/1000 populasi.

Puncak insidensi adalah pada populasi anak usia 0-5 tahun diikuti pada usia > 75

tahun (9,7/1000 populasi.

Berdasarkan jenis kejang epilepsi bangkitan fokal 45-50 % di eropa proporsi

bangkitan umum bervariasi dari 17-60 % dibandingkan dengan bangkitan yang tidak

terkrarifikasi yaitu 8-20% . hasil ini tergantung pada usia, dimana prevalensi pada

dewasa 55-83% untuk bangkitan fokal, 6-32% bangkitan umum dan 8-20% bangkitan

yang tidak terklasifikasi. Sedangkan pada anak 42-60% fokal, 30-58% umum dan 5-

20 % tidak terklarifikasi.
2.3 Etiologi

1. Epilepsi idiopatik

- Epilepsi murni karena kelainan gen tunggal, misalnya pada benign familial

neonatal convulsions, autosomal dominant nocturnal lobe epilepsy,

generalized epilepsy with febrile seizures plus, severe mylonic epilepsy of

childhood, benign adult familial myoclonic epilepsy.

- Epilepsi murni dengan faktor keturunan yang kompleks misalnya pada

idiopathic generalized epilepsy dan sub tipe nya, benign partial epilepsies

of childhood.

2. Epilepsi simtomatik dominan penyebab genetik atau perkembangan

- Sindroma epilepsi pada anak sindrom west, sindrom lennox-gastaut

- Epilepsi mioklonik progresif pada unverricht-lundborg disease, dentato-

rubro palido-luysian atrophy, lafora body dease, mitochondrial cytopathy,

sialidosis, neuronal ceroid lipofuscinosis, myclonus renal failure syndrome

- Sindrom neurokutaneus pada tuberous sclerosis, neurofibromatosis,

sturge-weber syndrome

- Kelainan neurologis karena gen tunggal lainnya pada angelman syndrome,

kelainan lisosom, neuroacanthoccytosis, kelainan asiduria organic dan

peroksisomal, prophyria, epilepsi pyridoxine dependent, rett syndrome,

urea cycle disorders, penyakit Wilson, gangguan metabolism cobalamin

dan folat
- Gangguan fungsi kromosom pada down syndrome, fragile x syndrome, 4

p-syndrome, isodientric chromosome 15, ring chromosom 20

3. Epilepsi simtomatik dominan penyebab didapat

- Sclerosis hippocampus

- Penyebab perinatal dan infantil misalnya kejang neonatal, kejang post

neonatal, cerebral palsy, vaksinasi dan imunisasi

- Trauma kepala misalnya trauma kepala tertutup, trauma kepala terbuka,

operasi saraf, operasi setelah operasi epiepsi, trauma kepala pada bayi

- Tumor otak misalnya glioma, gangioglioma dan hamartoma DNET,

hamartoma hipotaamus, meningioma, tumor sekunder

- Infeksi otakmisalnya meningitis dan ensefalitis viral, meningitis bakteri

dan abses, malaria, neurosistiserkosis, tuberculosis, HIV

- Penyakit serebrovaskuler misal perdarahan intraserebral, infark cerebri,

penyakit vascular degenerative, AVM, hemangioma kavernosus

- Kelainan imunologi otak misalnya Rasmussen ensefalitis, SLE dan

kelainan kalogen vaskuler, kelainan inflamasi dan imunologi

- Kondisi degenerative dan kelainan neurologi lain missal Alzheimer dan

penyakit demensia lain, multiple skerosis dan penyakit demyelinisasi lain,

hidrosefalus dan porensefalus

4. Epilepsi kriptogenik
Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu kejang fokal dan kejang

umum. Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu:

2.4 Faktor Risiko

Gangguan stabilitas neuron – neuron otak yang dapat terjadi saat

epilepsi, dapat terjadi saat :

1. Prenatal

- Umur ibu saat hamil terlalu muda < 20 tahun atau teralu tua >35 tahun

- Kehamilan dengan ekamsia dan hipertensi

- Kehamilan dengan primipara atau multipara

- Pemakaian bahan toksik

2. Natal

- Asfiksia

- Bayi dengan berat badan lahir rendah

- Keahiran prematur dan postnatur

- Partus lama

- Persalinan dengan alat

3. Post Natal

- Kejang demam
- Trauma kepala

- Infeksi SSP

- Gangguan metabolik

2.5 Gejala dan Tanda

Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi, yaitu :

1) Kejang parsial

Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak atau satu

hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan kesadaran

penderita umumnya masih baik.

a. Kejang parsial sederhana

Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena halusinatorik,

psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang parsial sederhana, kesadaran

penderita masih baik.

b. Kejang parsial kompleks

Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana, tetapi yang

paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan otomatisme.

2) Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak atau

kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan kesadaran

penderita umumnya menurun.

a. Kejang Absans

Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak disertai amnesia.

Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau halusinasi, sehingga

sering tidak terdeteksi.

b. Kejang Atonik

Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan, leher, dan

badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama.

c. Kejang Mioklonik

Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat. Kejang yang

terjadi dapat tunggal atau berulang.

d. Kejang Tonik-Klonik

Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat dan total

disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata mengalami deviasi ke

atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase klonik yang

berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak jelas fenomena otonom yang
terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut jantung.

e. Kejang Klonik

Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang yang terjadi

berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.

f. Kejang Tonik

Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami jatuh akibat

hilangnya keseimbangan,

2.6 Patofisiologi

Neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya perbedaan

muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan jumlah

muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian

intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinapsis dengan neuron lain melalui

akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan

menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang berlangsung singkat, kemudian

inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar dan

inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang

akson, untuk merangsang atau menghambat neuron lain, sehingga terjadilah

epilepsi. Epilepsi ditandai oleh bangkitan berulang yang diakibatkan oleh aktivitas

listrik yang berlebihan pada sebagian atau seluruh bagian otak. Seorang penderita

dikatakan menderita epilepsi bila setidaknya mengalami dua kali bangkitan tanpa
provokasi. Bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor

eksitasi dan inhibisi serebral, bangkitan akan muncul pada eksitabilitas yang tidak

terkontrol. Pada sebagian besar kasus tidak dijumpai kelainan anatomi otak, namun

pada beberapa kasus epilepsi disertai oleh kerusakan struktural otak yang

mengakibatkan disfungsi fisik dan retardasi mental.

2.7 Klasifikasi Epilepsi

Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 untuk kejang

epilepsi:

Tabel 1. Klasifikasi Kejang Epilepsi

No Klasifikasi Kejang Epilepsi


1. Kejang Kejang parsial  Kejang parsial sederhana

Parsial sederhana dengan gejala motorik

 Kejang parsial sederhana

dengan gejala somatosensorik

atau sensorik khusus

 Kejang parsial sederhana

dengan gejala psikis


Kejang parsial  Kejang parsial kompleks

kompleks dengan onset parsial

sederhana diikuti gangguan

kesadaran
 Kejang parsial kompleks

dengan gangguan kesadaran

saat onset
Kejang parsial yang  Kejang parsial sederhana

menjadi kejang menjadi kejang umum

generalisata sekunder  Kejang parsial kompleks

menjadi kejang umum

 Kejang parsial sederhana

menjadi kejang parsial

kompleks dan kemudian

menjadi kejang umum


2. Kejang umum  Kejang absans

 Absans atipikal

 Kejang

mioklonik

 Kejang klonik

 Kejang tonik-

klonik

 Kejang atonik

Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1989 untuk sindroma

epilepsi

Tabel 2 . Klasifikasi sindrom epilepsi


No. Klasifikasi sindroma epilepsi
1. Berkaitan Idiopatik  Epilepsi anak benigna dengan

dengan letak gelombang paku di sentrotemporal

fokus (Rolandik 14 benigna)

 Epilepsi anak dengan paroksimal

oksipital
Simtomatik  Lobus temporalis

 Lobus frontalis

 Lobus parietalis

 Lobus oksipitalis

 Kronik progresif parsialis kontinu


Kriptogenik
2. Epilepsi umum Idiopatik  Kejang neonatus familial benigna

 Kejang neonates benigna

 Epilepsi mioklonik benigna pada

bayi

 Epilepsi absans pada anak

(pyknolepsy)

 Epilepsi absans pada remaja

 Epilepsi mioklonik pada remaja

 Epilepsi dengan serangan tonik-

klonik saat terjaga


Kriptogenik atau  Sindroma West (spasme bayi)
simtomatik  Sindroma Lennox-Gastaut

 Epilepsi dengan kejang mioklonik-

astatik

 Epilepsi dengan mioklonik absans


Simtomatik 1. Etiologi non spesifik

 Ensefalopati mioklonik

neonatal

 Epilepsi ensefalopati pada bayi

 Gejala epilepsi umum lain

yang tidak dapat didefinisikan

2. Sindrom spesifik

• Malformasi serebral

• Gangguan metabolisme
Epilepsi dan Serangan fokal • Kejang neonatal

sindrom yang dan umum Tanpa • Epilepsi mioklonik berat pada

tidak dapat gambaran tegas bayi

ditentukan fokal fokal atau umum • Epilepsi dengan gelombang

atau generalisata paku kontinu selama

gelombang rendah tidur

(Sindroma Taissinare)

• Sindroma Landau-Kleffner
4 Sindrom khusus Kejang demam
Status epileptikus
Kejang berkaitan
dengan gejala

metabolik atau

toksik akut

2.8 Diagnosis

2.8.1 Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena

pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita.

Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudahserangan

(meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan

merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma

kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik,

malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.

1) Riwayat Penyakit Sekarang

a) Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini? Usia

serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab kejang. Serangan

kejang yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab sekunder gangguan

pada masa perinatal, kelainan metabolik dan malformasi kongenital. Serangan

kejang umum cenderung muncul pada usia anak-anak dan remaja.

b) Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Serangan kejang

tonik klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu terjaga dan

pagi hari. Serangan kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu,
sedangkan serangan kejang lobus frontalis biasanya muncul pada waktu

malam hari.

c) Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena

kurang tidur, cahaya yang berkedip, panas, kelelahan fisik dan mental atau

dikarenakan suara tertentu. Dengan mengetahui faktor pencetus ini dalam

konseling dengan pasien maupun keluarganya dapat membantu dalam

mencegah serangan kejang.

d) Bagaimana frekwensi serangan kejang ? Informasi ini dapat membantu untuk

mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat obat obat anti

kejang .

e) Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ? Pertanyaan ini

mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat obat anti

kejang atau belum dan dapat menentukan apakah obat tersebut yang sedang

digunakan spesifik bermanfaat ?

f) Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam? Dengan

menanyakan tentang berbagai jenis serangan kejang dan menggambarkan

setiap jenis serangan kejang secara lengkap.

g) Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan kejang?

Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka ditubuh akibat

serangan kejang ada yang diawali dengan “aura“ tetapi tidak ada cukup

waktu untuk mencegah supaya tidak menimbulkan luka ditubuh akibat

serangan kejang atau mungkin ada “aura“ , sehingga dalam hal ini informasi
tersebut dapat dipersiapkan upaya upaya untuk mengurangi bahaya terjadinya

luka.

h) Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat? Dengan

mengetahui gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat darurat dapat

mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang itu terjadi yang mungkin

disebabkan oleh karena kurangnya perawatan pasien, ketidakpatuhan minum

obat, ada perubahan minum obat dan penyakit lain yang menyertai.

2) Riwayat Penyakit Dahulu

Dengan mengetahui riwayat medik yang dahulu dapat memberikan informasi

yang berguna dalam menentukan etiologinya. Lokasi yang berkaitan dengan serangan

kejang dan pengetahuan tentang lesi yang mendasari dapat membantu untuk

pengobatan selanjutnya.

1. Apakah pasien lahir normal dengan kehamilan genap bulan maupun proses

persalinannya?

2. Apakah pasien setelah lahir mengalami asfiksia atau “respiratory distress”?

3. Apakah tumbuh kembangnya normal sesuai usia?

4. Apakah ada riwayat kejang demam? Risiko terjadinya epilepsi sesudah

serangan kejang demam sederhana sekitar 2 % dan serangan kejang demam

kompleks 13 %.

5. Apakah ada riwayat infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis?

atau penyakit infeksi lainnya seperti sepsis, pneumonia yang disertai serangan

kejang. Dibeberapa negara ada yang diketahui didapat adanya cysticercosis.


6. Apakah ada riwayat trauma kepala seperti fraktur depresi kepala, perdarahan

intra serebral, kesadaran menurun dan amnesia yang lama?

7. Apakah ada riwayat tumor otak?

3) Riwayat Keluarga

Mengetahui riwayat keluarga adalah penting untuk menentukan apakah ada

sindrom epilepsi yang spesifik atau kelainan neurologi yang ada kaitannya dengan

faktor genetik dimana manifestasinya adalah serangan kejang. Sebagai contoh

“Juvenile myoclonic epilepsy (JME)“,“ familial neonatal convulsion“,“ benign

rolandic epilepsy“ dan sindrom serangan kejang umum tonik klonik disertai kejang

demam.

4) Riwayat Alergi

Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan seperti antiepilepsi, perlu

dibedakan apakah ini suatu efek samping dari gastrointestinal atau efek reaksi

hipersensitif. Bila terdapat semacam ”rash“ perlu dibedakan apakah ini terbatas

karena efek fotosensitif yang disebabkan eksposur dari sinar matahari atau karena

efek hipersensitif yang sifatnya lebih luas?

5)Riwayat Pengobatan

Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan antiepilepsi, perlu

ditanyakan bagaimana kemanjuran obat tersebut, berapa kali diminum sehari dan

berapa lama sudah diminum selama ini, berapa dosisnya, ada atau tidak efek

sampingnya.
2.8.2 Pemeriksaan Fisik Umum

Pada pemeriksaan fisik umum dan neurologis, dapat dilihat adanya tanda-

tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma kepala,

gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, infeksi telinga atau sinus.

Penyebab terjadinya serangan epilepsi harus dapat ditepis melalui pemeriksaan fisik

dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Untuk penderita

anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,

organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukan awal

ganguan pertumbuhan otak unilateral.

Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang

dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien

yang berusia lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher untuk

mendeteksi adanya penyakit vaskular. pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya

dilakukan pada pertama kali serangan kejang itu muncul oleh karena banyak kejadian

yang mirip dengan serangan kejang tetapi penyebabnya kardiovaskular seperti sinkop

kardiovaskular. Pemeriksaan kulit juga untuk mendeteksi apakah ada sindrom

neurokutaneus seperti “ café au lait spots “ dan “ iris hamartoma” pada

neurofibromatosis, “ Ash leaf spots” , “shahgreen patches” , “ subungual fibromas” ,

“ adenoma sebaceum” pada tuberosclerosis, “ port - wine stain “ ( capilarry

hemangioma) pada sturge-weber syndrome. Juga perlu dilihat apakah ada bekas

gigitan dilidah yang bisa terjadi pada waktu serangan kejang berlangsung atau apakah

ada bekas luka lecet yang disebabkan pasien jatuh akibat serangan kejang, kemudian
apakah ada hiperplasi ginggiva yang dapat terlihat oleh karena pemberian obat

fenitoin dan apakah ada “dupytrens contractures” yang dapat terlihat oleh karena

pemberian fenobarbital jangka lama.

Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, “gait“ , koordinasi, saraf

kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi

seperti hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang, papiledema

mungkin dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang

terbatas. Adanya nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh karena efek toksis

dari obat anti epilepsi seperti karbamasepin,fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil

mungkin terjadi pada waktu serangan kejang terjadi.” Dysmorphism “ dan gangguan

belajar mungkin ada kelainan kromosom dan gambaran progresif seperti demensia,

mioklonus yang makin memberat dapat diperkirakan adanya kelainan

neurodegeneratif. Unilateral automatism bisa menunjukkan adanya kelainan fokus di

lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya distonia bisa menggambarkan kelainan

fokus kontralateral dilobus temporalis.

2.8.3 Pemeriksaan penunjang

- Pemeriksaan laboratorium

Perlu diperiksa laboratorium untuk mencari penyebab yang mendasari berdasarkan

anamnesis dan pemeriksaan fisik yaitu darah lengkap meliputi hitung jenis trombosit,

kimia darah meliputi elektrolit, kalsium, fungsi hati dan ginjal, urinalisis rutin.

Peningkatan kadar prolatin serum diambil dalam 20 menit setelah episode iktal

dibandingkan dengan waktu yang sama esok harinya bisa digunakan untuk
membedakan antara kejadian epilepsi dengan non epilepsi karena meningkat setelah

diskognitif fokal dan bangkitan tonik klonik.

- Pemeriksaan genetik

Beberapa sindrom epilepsi genetik bisa diperiksa dengan pemeriksaan genetik

terutama pada ensepalopati epilepsi dimana mutasi pada gen SCN1A mutasi

PCDH19, mutasi ARX pada spasme infantil, mutasi SLC2A pada absans dini (kurang

dari 4 tahun) dan lain sebagainya.

- Eektroensepaografi

Pemeriksaan EEG rutin masih menjadi pemeriksaan yang paling informatif pada

diagnosis epilepsi

2.9 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu :

a. Tatalaksana fase akut (saat kejang)

Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi otak yang

adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang berulang, dan

mencari faktor penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan

berhenti sendiri. Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat diberikan

diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg atau 10 mg bila

berat badan anak > 10 kg. Jika kejang masih belum berhenti, dapat diulang setelah

selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua kali
pemberian diazepam per rektal masih belum berhenti, maka penderita dianjurkan

untuk dibawa ke rumah sakit.

b. Pengobatan epilepsi

Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi terbebas dari

serangan epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung mengakibatkan kerusakan

sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus menerus maka

kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan mengakibatkan menurunnya

kemampuan intelegensi penderita. Karena itu, upaya terbaik untuk mengatasi kejang

harus dilakukan terapi sedini dan seagresif mungkin. Pengobatan epilepsi dikatakan

berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah

atau dikontrol dengan obatobatan sampai pasien tersebut 2 tahun bebas kejang.

Secara umum ada tiga terapi epilepsi, yaitu :

1) Terapi medikamentosa

Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita epilepsi yang

baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE) baku yang biasa diberikan di

Indonesia adalah obat golongan fenitoin, karbamazepin, fenobarbital, dan asam

valproat. Obat-obat tersebut harus diminum secara teratur agar dapat mencegah

serangan epilepsi secara efektif. Walaupun serangan epilepsi sudah teratasi,

penggunaan OAE harus tetap diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda efek samping
yang berat maupun tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian obat dimulai

dengan obat tunggal dan menggunakan dosis terendah yang dapat mengatasi kejang.

2) Terapi bedah

Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang menjadi

fokus infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi sumber serangan. Diindikasikan

terutama untuk penderita epilepsi yang kebal terhadap pengobatan. Berikut ini

merupakan jenis bedah epilepsi berdasarkan letak fokus infeksi :

a. Lobektomi temporal

b. Eksisi korteks ekstratemporal

c. Hemisferektomi

d. Callostomi

3) Terapi nutrisi

Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan kejang berat yang kurang

dapat dikendalikan dengan obat antikonvulsan dan dinilai dapat mengurangi toksisitas

dari obat. Terapi nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan pada anak penderita

epilepsi. Walaupun mekanisme kerja diet ketogenik dalam menghambat kejang masih

belum diketahui secara pasti, tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat

mengendalikan dan mengontrol terjadinya kejang. Hasil terbaik dijumpai pada anak

prasekolah karena anak-anak mendapat pengawasan yang lebih ketat dari orang tua di
mana efektivitas diet berkaitan dengan derajat kepatuhan. Kebutuhan makanan yang

diberikan adalah makanan tinggi lemak. Rasio kebutuhan berat lemak terhadap

kombinasi karbohidrat dan protein adalah 4:1. Kebutuhan kalori harian diperkirakan

sebesar 75 – 80 kkal/kg. Untuk pengendalian kejang yang optimal tetap diperlukan

kombinasi diet dan obat antiepilepsi.

2.10 Komplikasi

Bila serangan epilepsy sering terjadi dan berlangsung lama, maka akan terjadi

kerusakan pada organ otak, dimana tingkat kerusakan biasanya bersifat irreversible

dan jika sering terjadi dengan jangka waktuyang lama sering sekali membuat pasien

menjadi cacat.

2.11 Prognosis

Prognosis epilepsi dihubungkan dengan terjadinya remisi serangan baik

dengan pengobatan maupun status psikososial, dan status neurologis penderita.

Batasan remisi epilepsi yang sering dipakai adalah 2 tahun bebas serangan (kejang)

dengan terapi. Pada pasien yang telah mengalami remisi 2 tahun harus

dipertimbangkan untuk penurunan dosis dan penghentian obat secara berkala.

Batasan lain yang dipakai untuk menggambarkan remisi adalah bebas serangan

(remisi terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE. Setelah tercapai bebas serangan

selama > 6 bulan atau > 2 tahun dengan terapi, maka perlu dipikirkan untuk

menurunkan dosis secara berkala sampai kemudian obat dihentikan, perlu

mempertimbangkan risiko terjadinya relaps setelah penghentian obat.


Pada umumnya prognosis epilepsi cukup baik. Pada 50-70% penderita

epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu

waktu akan dapat berhenti minum obat. Serangan epilepsi primer, baik bersifat kejang

umum maupun kejang lena atau absence mempunyai prognosis terbaiknya.

Sebaliknya epilepsi yang serangan pertama pada usia 3 tahun atau disertai kelainan

neurologi atau retardasi mental mempunyai prognosis yang relatif jelek.

Risiko kematian yang paling tinggi adalah pada penderita epilepsi yang

disertai defisit neurologi akibat penyakit kongenital. Kematian pada penderita

epilepsi anak-anak paling sering disebabkan oleh penyakit susunan saraf pusat yang

mendasari timbulnya bangkitan epilepsi.


KESIMPULAN

Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi atau gejala:
Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan jarak

waktu antar bangkitan pertama dan kedua > 24 jam atau Satu bangkitan tanpa

provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan terjadinya bangkitan

berulang dalam 10 tahun kedepan. Bangkitan pertama pada anak yang disertai lesi

struktural dan epileptiform discharges.

Kejang pada anak akibat epilepsi memiliki keberagaman, dipengaruhi oleh

usia, karakteristik kejang, yang berhubungan dengan komorbiditas, tatalaksana dan

prognosis. Diperlukan pengertian yang komprehensif mengenai epilepsi dikarenakan

kompleksitas dari penyakit ini serta perlunya evaluasi secara berkala dan pencegahan

dengan meminimalisir gangguan neurologis sejak dini. Bila serangan epilepsi tidak
ditangani dengan baik dan berlangsung lama dapat mengakibatkan kerusakan pada

sistem otak dan syaraf anak tersebut hingga dapat mengakibatkan kematian.Pada

kasus epilepsi, prognosis penyakit sangat tergantung terhadap intesitas tejadinya

serangan dimana intesitas serangan ini dapat dikuranggi dengan cara menghindari

faktor pencetus ataupun pengendalian aktifitas sehari – hari.

DAFTAR PUSTAKA

Engel J, International League Against Epilepsy (ILAE). A proposed diagnostic


scheme for people with epileptic seizures and with epilepsy: report of the
ILAE Task Force on Classification and Terminology. Epilepsia [Internet].
2001 Jun [cited 2020agt 27];42(6):796–803. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11422340
Fisher RS, Boas W van E, Blume W, Elger C, Genton P, Lee P, et al. Epileptic
Seizures and Epilepsy: Definitions Proposed by the International League
Against Epilepsy (ILAE) and the International Bureau for Epilepsy (IBE).
Epilepsia [Internet]. 2005 Apr [cited 2020agt 27];46(4):470–2. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15816939
Fisher RS, Cross JH, D’Souza C, French JA, Haut SR, Higurashi N, et al. Instruction
manual for the ILAE 2017 operational classification of seizure types. Epilepsia
[Internet]. 2017 Apr 1 [cited 2020agt 27];58(4):531–42. Available from:
http://doi.wiley.com/10.1111/epi.13671
Hall JE (John E. Guyton and Hall textbook of medical physiology.
Harsono. Epilepsi. In: Buku Ajar Neurologi Klinis [Internet]. Yogjakarta: Badan
Penerbit dan Publikasi Universitas Gadjah Mada; 2004 [cited 2020agt 27].
Available from: http://ugmpress.ugm.ac.id/id/product/kedokteran-umum/buku-
ajar-neurologi-klinis
Jimmy;passat. Epidemiologi Epilepsi. Sofyan;Ismael, editor. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI; 1999. 190-197 p.
Maschrusil Husna. Epilepsi. Buku Ajar Neurolog; 2016. Malang

Megiddo I, Colson A, Chisholm D, Dua T, Nandi A, Laxminarayan R. Health and


economic benefits of public financing of epilepsy treatment in India: An agent-
based simulation model. Epilepsia [Internet]. 2016 Mar [cited 2020agt
27];57(3):464–74. Available from: http://doi.wiley.com/10.1111/epi.13294
Rudolph;A.M. Gangguan Kejang pada Bayi dan Anak. In: Rudolph pediatric. ECG;
2007. p. 2134–40.
Saad K. Childhood Epilepsy: An Update on Diagnosis and Management. Am
JNeurosci. 2015;36–51.
Shorvon SD (Simon D. Handbook of epilepsy treatment : forms, causes, and
therapyin children and adults. Blackwell Pub; 2005. 304 p.
Suwarba IGNM. Insidens dan Karakteristik Klinis Epilepsi pada Anak. sari Pediatr.
2011;13(2).
World Health Organization. Epilepsy : Historical Overview. 2000. [cited
2020Agustus 27]. Available form : URL
http://www.who.int/infis/en/fact168.html

Anda mungkin juga menyukai