Anda di halaman 1dari 37

Referat

INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS)


DENGAN MANIFESTASI
DUH TUBUH
Referat ini di buat untuk melengkapi persyaratan mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSU. Haji Medan

Pembimbing:
dr. Leny Indriani Lubis, M. Ked (DV), Sp.DV

Disusun Oleh:
Nadya Putri Amany
20360046

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
2022KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proses penyusunan referat ini dengan judul
“Infeksi Menular Seksual (IMS) dengan Manifestasi Duh Tubuh”. Penyelesaian referat ini banyak
bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu adanya kesempatan ini penulis menyampaikan rasa
terimakasih yang sangat tulus kepada dr. Leny Indriani Lubis, M. Ked (DV), Sp.DV selaku
pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, petunjuk, nasehat dan memberi kesempatan
kepada kami untuk menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini tentu tidak lepas dari kekurangan karena keterbatasan
waktu, tenaga, dan pengetahuan penulis. Maka sangat diperlukan masukan dan saran yang
membangun. Semoga referat ini dapat memberikan manfaat.

Medan, Januari 2022

Nadya Putri Amany

ii
DAFTAR ISI

Hal
HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL.................................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR............................................................................................. v

BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang..................................................................................... 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


1.
2.
2.1. Infeksi Menular Seksual (IMS)............................................................ 3
2.2. Leukorea.............................................................................................. 4
2.3. IMS dengan Manifestasi Duh Tubuh................................................... 6

BAB III. KESIMPULAN


1.
2.
3.
3.1. Kesimpulan.......................................................................................... 31

4.
5.
DAFTAR PUSTAKA

iii
DAFTAR TABEL

Hal
1.
2.
Tabel 2.1. Manifestasi yang Membedakan untuk Duh Tubuh Vagina.............. 8

iv
DAFTAR GAMBAR

Hal
3.
4.
Gambar 2.1. Neisseria gonorrhoeae................................................................. 9

Gambar 2.2. Infeksi Gonore............................................................................. 12

Gambar 2.3. Hasil Pengecatan Gram Gonore.................................................. 13

Gambar 2.4. Hasil Kultur Gonore.................................................................... 14

Gambar 2.5. Infeksi Tricomoniasis Vaginalis................................................... 22

Gambar 2.6. Infeksi Vaginosis Bakterial.......................................................... 27

v
vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi menular seksual (IMS) merupakan berbagai infeksi yang ditularkan dari
satu individu ke individu lain melalui hubungan seksual. Infeksi menular seksual ini
terutama ditularkan melalui hubungan seksual, tetapi penularannya dapat terjadi dari ibu
kepada janin dalam kandungan atau saat kelahiran. Terdapat lebih dari 30 jenis patogen
yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual dengan manifestasi klinis yang
bervariasi.1 Menurut WHO terdapat kurang lebih 30 jenis mikroba (bakteri, virus, dan
parasit) yang dapat ditularkan melalui kontak seksual. Dari 30 patogen, diketahui terdapat
8 patogen dikaitkan dengan kejadian terbanyak infeksi menular seksual. 8 patogen
tersebut, 4 diantaranya dapat disembuhkan, yaitu Treponema pallidum, Neisseria
gonorrhoeae, Chlamydia trachomatis, dan Trichomonas vaginalis dan 4 lainnya yang
tidak dapat disembuhkan yaitu virus hepatitis, Herpes Simplex Virus (HSV), Human
Immunodeficiency Virus (HIV), dan Human Papilloma Virus (HPV). Beberapa infeksi
yang sering ditemukan adalah gonorrhea, chlamydia, herpes genitalis, infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dan Trichomonas Vaginalis.2
Adapun faktor-faktor yang dapat menyebabkan seseorang terkena infeksi menular
seksual antara lain yaitu melakukan hubungan seksual tanpa pengaman, aktif melakukan
hubungan seksual pada usia muda, memiliki beberapa pasangan seksual, dan memiliki
pasangan dengan resiko yang tinggi.2
Menurut WHO, secara global lebih dari 1 juta kasus baru infeksi menular seksual
yang bisa disembuhkan terjadi setiap harinya. Angka kejadian baru infeksi menular
seksual (IMS) pada tahun 2016 sebanyak 376 juta infeksi baru dari empat infeksi yang
dapat disembuhkan yaitu infeksi klamidia, gonore, sifilis dan trikomoniasis. Infeksi
klamidia diperkirakan 127 juta kasus baru, infeksi gonore diperkirakan 87 juta kasus baru,
infeksi sifilis diperkirakan 6 juta kasus baru, dan infeksi trichomoniasis terdiri dari 156
juta kasus baru.2
Pada tahun 2014 jumlah kasus infeksi menular seksual di Indonesia sebesar 32.711
kasus dan pada tahun 2015 terjadi penurunan menjadi 30.935 Meskipun demikian
kemungkinan kasus yang sebenarnya di masyarakat masih banyak yang belum terdeteksi.

1
2

Provinsi dengan angka kasus tertinggi pada tahun 2015 ialah DKI Jakarta sebesar 4.695
kasus, sedangkan jumlah kasus di Provinsi Kalimantan Barat sebesar 456 kasus. 1
Sebagian besar penduduk di Indonesia, terdapat lebih dari 40 juta penduduk
berusia remaja (15-24 tahun). Hal ini dapat menjadi potensi masalah seperti
penyalahgunaan akses informasi kemudian akan timbul masalah seksual disebabkan oleh
perkembangan seksual primer maupun sekunder dan rasa ingin tahu remaja yang tinggi.
Masalah sesksual dapat terjadi salah satunya disebabkan oleh perilaku seksual pranikah.
Perilaku seksual pranikah dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya penularan IMS
termasuk HIV dan AIDS, pernikahan dini, dan aborsi. Perhatian dari berbagai pihak
terutama orang terdekat remaja (seperti 3 teman dan keluarga) sangat diperlukan,
khususnya terkait dengan akses remaja terhadap media informasi, pengetahuan kesehatan
reproduksi dan perilaku seksual pranikah. Kelompok remaja dan dewasa muda (usia 15-24
tahun) merupakan kelompok yang beresiko paling tinggi untuk tertular infeksi menular
seksual. Tiga juta kasus baru tiap tahun terjadi pada remaja. Remaja memiliki presentase
tertinggi pada virus dibandingkan kelompok umur lainnya. Satu dari 20 remaja tertular
infeksi menular seksual setiap tahunnya.3
Infeksi menular seksual tentunya memberikan dampak terhadap kesehatan organ
reproduksi seperti kematian janin dan neonatal pada sifilis yang terjadi saat kehamilan
sehingga dapat menyebabkan 305 ribu kematian janin dan neonatal dan 215 ribu bayi
beresiko lebih tinggi meninggal akibat prematur, berat badan lahir rendah atau penyakit
bawaan. Infertilitas juga menjadi salah satu dampak dari IMS seperti gonore dan klamidia
yang tidak diobati. Risiko terkena HIV karena IMS seperti sifilis dan infeksi Herpes
simplex 2 meningkatkan kemungkinan tertular infeksi HIV tiga kali lipat atau lebih.2
Dalam referat ini akan disajikan beberapa informasi mengenai infeksi menular
seksual dengan manifestasi duh tubuh.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Menular Seksual (IMS)


2.1.1 Definisi
Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah infeksi yang penularannya terutama melalui
hubungan seksual yang mencakup infeksi yang disertai gejala-gejala klinis maupun
asimptomatis.4 Infeksi menular seksual ini meliputi penyakit-penyakit menular yang di
transmisikan dari satu orang ke orang yang lain melalui kontak seksual. 5
Cara penularan IMS adalah dengan cara kontak langsung yaitu kontak dengan
eksudat infeksius dari lesi kulit atau selaput lendir pada saat melakukan hubungan seksual
dengan pasangan yang telah tertular. Semua teknik hubungan seksual baik lewat vagina,
dubur, atau mulut baik berlawanan jenis kelamin maupun dengan sesama jenis kelamin
bisa menjadi sarana penularan penyakit kelamin. Sehingga kelainan ditimbulkan tidak
hanya terbatas pada daerah genital saja, tetapi dapat juga di daerah ekstra genital. Lesi bisa
terlihat jelas ataupun tidak terlihat dengan jelas. Pemajanan hampir seluruhnya terjadi
karena hubungan seksual (vaginal, oral, anal). Penularan IMS juga dapat terjadi dengan
media lain seperti darah transmisi vertikal dari ibu ke janin juga memungkinkan. 5

2.1.2 Etiologi
Penyebab infeksi menular seksual ini sangat beragam dan setiap penyebab tersebut
akan menimbulkan gejala klinis atau penyakit spesifik yang beragam. Patogen penyebab
IMS meliputi beragam mikroorganisme meliputi: bakteri (Neisseria gonorrhoeae,
Chlamydia trachomatis), spirochaeta (Treponema pallidum), jamur (Candida albicans),
virus (Herpes Simplex Virus, Human Papilloma Virus, Human Immunodeficiency Virus),
protozoa (antara lain: Trichomonas vaginalis).6

2.1.3 Tanda dan Gejala


Gejala infeksi menular seksual ( IMS ) di bedakan menjadi: 7
1. Perempuan
a. Luka dengan atau tanpa rasa sakit di sekitar alat kelamin, anus, mulut atau bagian
tubuh ang lain, tonjolan kecil – kecil, diikuti luka yang sangat sakit disekitar alat
kelamin.

3
4

b. Cairan tidak normal yaitu cairan dari vagina bisa gatal, kekuningan, kehijauan,
berbau atau berlendir.
c. Sakit pada saat buang air kecil yaitu IMS pada wanita biasanya tidak
menyebabkan sakit atau burning urination.
d. Tonjolan seperti jengger ayam yang tumbuh disekitar alat kelamin
e. Sakit pada bagian bawah perut yaitu rasa sakit yang hilang muncul dan tidak
berkaitan dengan menstruasi bisa menjadi tanda infeksi saluran reproduksi
(infeksi yang telah berpindah kebagian dalam sistemik reproduksi, termasuk tuba
fallopi dan ovarium)
f. Kemerahan yaitu pada sekitar alat kelamin.
2. Laki – laki
a. Luka dengan atau tanpa rasa sakit di sekitar alat kelamin, anus , mulut atau
bagian tubuh yang lain, tonjolan kecil – kecil , diikuti luka yang sangat sakit di
sekitar alat kelamin.
b. Cairan tidak normal yaitu cairan bening atau bewarna berasal dari pembukaan
kepala penis atau anus.
c. Sakit pada saat buang air kecil yaitu rasa terbakar atau rasa sakit selama atau
setelah urination.
d. Kemerahan pada sekitar alat kelamin, kemerahan dan sakit di kantong zakar.

2.1.4 Kelompok Perilaku Risiko Tinggi

Dalam Infeksi menular seksual (IMS) yang dimaksud dengan perilaku resiko
tinggi ialah perilaku yang menyebabkan seseorang mempunyai resiko besar terserang
penyakit tersebut. Yang tergolong kelompok resiko tinggi adalah :8
1. Usia
a. . 20 – 34 tahun pada laki – laki
b. 16 – 24 tahun pada wanita
c. 20 – 24 tahun pada pria dan wanita
2. Pelancong
3. PSK ( Pekerja Seks Komersial )
4. Pecandu narkotik
5. Homo seksual
5

2.1.5 Diagnosis
Diagnosis dari IMS berdasarkan dari anamnesis, manifestasi klinis dan
pemeriksaan laboratorium IMS. Anamnesis dilakukan untuk mendapatkan informasi
penting terutama pada waktu menanyakan riwayat seksual. Hal yang sangat penting dijaga
adalah kerahasiaan terhadap hasil anamnesis pasien. Riwayat seksual yaitu kontak seksual
baik di dalam maupun di luar pernikahan, berganti-ganti pasangan, kontak seksual dengan
pasangan setelah mengalami gejala penyakit, frekuensi dan jenis kontak seksual, cara
melakukan kontak seksual, dan apakah pasangan juga mengalami keluhan atau gejala yang
sama. Keluhan lain yang mungkin berkaitan dengan komplikasi IMS, misalnya erupsi
kulit, nyeri sendi dan pada wanita tentang nyeri perut bawah, gangguan haid dan
kehamilan.9

Manifestasi klinis dari IMS sangat beragam antara lain ulkus genitalia, uretritis,
servisitis, duh tubuh, kutil genitalia dan sebagainya. Penyakit IMS dengan karakteristik
ulkus genitalia adalah chancroid, herpes simpleks genital, granuloma inguinal,
limfogranuloma venerum dan sifilis. Penyakit IMS dengan karakteristik uretritis dan
servisitis adalah infeksi klamidia, gonore dan infeksi non-gonokokal. Penyakit IMS
dengan karakteristik duh tubuh vagina adalah bakterial vaginosis, trikomoniasis dan
kandidiasis vulvovaginalis.5

Diagnosis laboratorium IMS meliputi pemeriksaan terhadap bahan yang terdapat


pada pasien untuk mengetahui infeksi saat ini atau infeksi lama oleh mikroorganisme yang
ditransmisikan melalui hubungan seksual. Hal ini didukung oleh terdapatnya organisme
atau marker infeksi seperti antigen, antibodi, asam nukleat atau produk metabolit.
Pemeriksaan laboratorium yang valid diperlukan untuk diagnosis akurat karena gejala
klinis dan simptom bukan merupakan parameter diagnosis yang sebenarnya. Pemeriksaan
laboratorium IMS juga berperan dalam konfirmasi diagnosis pada pasien dengan gejala
dan untuk memonitor kerentanan antimikroba serta efek terapi.10
6

2.2 Leukorea
2.2.1 Definisi
Leukorea (flour albus, white discharge, duh tubuh vagina, keputihan) adalah nama
suatu gejala yang diberikan pada cairan yang keluar dari alat genital yang tidak berupa
darah. Ditandai dengan keluarnya keluarnya sekret yang mengotori celana, terjadinya
perubahan bau, warna, dan atau jumlah yang tidak normal dari sekret tersebut. Gejala pada
umumnya berupa gatal, edema genital, disuria, nyeri abdomen bagian bawah, atau nyeri
pinggang.11

2.2.2 Epidemiologi
Berdasarkan penelitian di RSU. Dr. M. Djamil Padang pada tahun 2000-2001
didapatkan mikroorganisme penyebab flour albus terbanyak disebabkan oleh Candida
albicans sebesar 26,3% kemudian diikuti Gardnerella vaginalis 21,0%. RSU. Dr. Pringadi
Medan diperoleh 46,0% C. albicans, 24,0% oleh Trichomonas vaginalis, 7,0% disebabkan
campuran C. albicans dan T. vaginalis, dan 2,0% oleh campuran T. vaginalis dan vaginosis
bakterialis pada tahun 1996-1997. 12
Di RSU. Dr. Kariadi Semarang pernah dilakukan penelitian secara prospektif
eksploratif pada 92 penderita dengan flour albus, 14 penderita (15,21%) mengalami
infeksi, penyebab terbanyak karena N. gonorrhoeae (87,51%) dan G. vaginalis (71,53%),
serta C. albicans (37,18%) pada tahun 1994-1995. Kemudian dilakukan lagi penelitian di
RSU. Dr. Kariadi Semarang (1 Januari 1998 - 31 Desember 2002) didapatkan etiologi
flour albus patologis terbanyak disebabkan oleh C. albicans (31,6%).13

2.2.3 Jenis14
1. Flour albous fisiologi
a. Bayi baru lahir sampai kira-kira berumur 10 hari, disebakan pengaruh esterogen
dari plasenta terhadap uterus dan vagina janin.
b. Waktu di sekitar menarche, timbul karena pengaruh esterogen. Flour albus ini
akan hilang sendiri, akan tetapi dapat meresahkan orang tua pasien.
c. Wanita dewasa jika dirangsang sebelum atau saat koitus, karena pengeluaran
transudasi dari dinding vagina.
d. Waktu sekitar ovulasi, karena sekret dari kelenjar-kelenjar serviks uteri menjadi
lebih encer.
7

e. Wanita dengan penyakit kronik, neurosis, dan penderita ektropion porsionis uteri,
pengeluaran sekret kelenjar serviks uteri juga bertambah

2. Flour albous Patologis


Disebabkan karena infeksi oleh mikroorganisme, diantaranya:
a. Trichomonas vaginalis
b. Candida albicans
c. Infeksi campuran dari Gardnerella vaginalis dan vaginal anaerobs (vaginosis
bakterial).
d. N. gonorrhoeae dan C. trachomatis menyebabkan flour albus secara tidak
langsung melalui duh tubuh serviks pada servisitis

2.2.4 Etiologi15
Leukorea paling sering diakibatkan oleh salah satu atau lebih dari tiga infeksi
umum berikut:
1. Vaginosis bacterial (penyebab tersering duh tubuh vagina pada wanita usia subur).
Vaginosis ini disebabkan oleh deplesi laktobaksilus pada vagina yang menyebabkan
penigkatan pH vagina dan pertumbuhan berlebih bakteri anaerob dan bakteri lainnya.
2. C. albicans paling sering menyebabkan kandidiasis, namun dapat juga disebabkan
oleh spesies lain. Spesies lain tersebut adalah C. glabrata dan C. tropicalis.
Kandidiasis menyerang 75% wanita pada waktu tertentu dalam hidupnya dan 10-20%
wanita merupakan karier asimtomatik untuk Candida.
3. Trichomonas vaginalis. Spesies ini adalah protozoa berflagelata.

2.2.5 Gambaran Klinis


Gambaran klinik dari leukorea terdapat perbedaan, berikut ini perbedaan
umumnya akan disajikan dalam tabel di bawah ini:
8

Tabel 2.1. Manifestasi yang membedakan untuk duh tubuh vagina 15


9

2.3 Infeksi Menular Seksual dengan Manifestasi Duh Tubuh


2.3.1 Gonore16
2.3.1.1 Definisi
Gonore merupakan infeksi pada permukaan membran mukosa yang disebabkan
oleh kuman diplokokus gram negatif Neisseria gonorrhoeae. Pada permulaan ditandai
dengan keluarnya nanah dari OUE(orifisium uretra eksternum) sesudah melakukan
hubungan kelamin. Meskipun penyakit ini sering ditularkan melalui kontak seksual,
gonore juga bisa ditularkan melalui kontak dengan jalan lahir yang terjadi pada persalinan
normal.
Risiko transmisi bakteri gonokokus dari wanita ke pria adalah 20% per episode
kontak seksual dan meningkat 60-80% setelah 4 kali atau lebih kontak. Sebaliknya risiko
transmisi dari pria ke wanita mencapai 50-70% per kontak dengan sedikit bukti
peningkatan risiko seiring dengan peningkatan frekuensi kontak seksual.

2.3.1.2 Etiologi
Neisseria gonorrhoeae (N.gonorrhoeae) adalah bakteri gram negatif, tidak
bergerak, tidak membentuk spora, yang tumbuh tunggal dan berpasangan baik sebagai
monokokus dan diplokokus. Gonokokus, seperti semua spesies Neisseria lainnya,
merupakan oksidase positif. Untuk membedakan gonokokus dengan spesies lain dari
Neisseria adalah dengankemampuan mereka untuk tumbuh pada media selektif dan untuk
memanfaatkan glukosa tetapi tidak untuk maltosa, sukrosa, atau laktosa.
N.gonorrhoeae merupakan organisme fastidious (membutuhkan nutrisi dan
lingkungan yang khusus), yang tumbuh optimal pada pH 7,4, temperatur 35,5 oC, dan 2%
sampai dengan 10% CO2 atmosfer. Bakteri ini biasa menyerang epitel kuboid atau
kolumnar pada permukaan membran mukosa seperti yang terdapat pada uretra, vagina,
rektum, dan faring. Manusia merupakan satu-satunya host bagi organisme ini.

Gambar 2.1 Neisseria gonorrhoeae


10

2.3.1.3 Patogenesis
Terdapat beberapa faktor virulensi dari N. gonorrhoeae yang dapat meningkatkan
patogenitas kuman ini, salah satunya adalah pili. Pili disini berperan untuk memediasi
penempelan dan menghambat pengambilan serta penghancuran oleh fagosit. Strain dengan
pili lebih banyak akan menempel pada permukaan sel mukosa manusia, dan lebih virulen
dibandingkan dengan strain yang tidak berpili. Penempelan ini mengawali terjadinya
endositosis dan transport melewati sel mukosa kedalam ruang interselular dekat membran
basal atau langsung ke jaringan subepitelial.

N. gonorrhoeae tidak menghasilkan toksin khusus, namun kuman ini mempunyai


komponen lipooligosakarida dan peptidoglikan (Porin, Opacity- Associated Protein,
Protein H.8) yang berperan dalam menghambat fungsi silia dan menyebabkan inflamasi.
Selain itu, bakteri ini juga memproduksi suatu IgA, protease, yang melindungi bakteri dari
respon imun IgA mukosa individu.

Lipooligosakarida (LOS) berperan dalam aktifitas endotoksik dan berkonstribusi


pada efek sitotoksik local pada tuba fallopi. LOS juga akan memodulasi sistem imun,
dimana modulasi kearah Th2 akan mengurangi kemampuan bersihan infeksi gonokokal.

Porin atau Protein I merupakan protein terbanyak pada permukaan N.


gonorrhoeae yang berperan dalam menginisiasi proses endositosis dan invasi. Opacity-
associated protein / Opa / Protein II berperan dalam penempelan ke sel epitel dan sel PMN
yang akan menekan proliferasi sel T limfosit CD4+. Protein H.8 merupakan suatu
lipoprotein yang terdapat pada semua strain N. gonorrhoeae dan protein ini berguna
sebagai target untuk uji diagnostik yang berdasar antibodi.

Antigen pili bersama dengan porin dan lipooligosakarida bertanggung jawab


terhadap variasi antigenik, yang menyebabkan infeksi berulang dalam periode waktu yang
singkat. Strain yang menyebabkan penyakit infeksi gonokokal diseminata adalah strain
PorB, 1A. Strain ini telah terbukti lebih sulit dimatikan oleh serum manusia, dimana lebih
tidak kemotaksis.

2.3.1.4 Manifestasi Klinis


Manifestasi mayor pada pria berupa uretritis akut. Masa inkubasi setelah terpapar
hingga memberikan manifestasi klinis rata-rata 2-5 hari dalam kurun waktu hingga 14
hari. Gejala awal dapat berupa nyeri dan rasa terbakar pada saat buang air kecil serta
11

discharge mukoid. Beberapa hari kemudian discharge bertambah banyak, purulen dan
kadang bersama sedikit darah segar.
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan uretritis akut akan ditemui adanya discharge
purulen atau mukopurulen pada uretra yang dapat dilakukan dengan teknik milking. Selain
itu untuk memeriksa manifestasi lain yang dapat terjadi bisa dengan melakukan
pemeriksaan pada epididimis, dimana bila terjadi epididimitis maka akan menunjukkan
adanya rasa nyeri dan edema pada epididimis unilateral, dengan atau tanpa discharge, serta
disuria.
Infeksi yang terjadi pada wanita sering bersifat asimtomatis dengan gejala mayor
berupa discharge vagina yang didapatkan dari endoserviks (cair, purulen, bau tak sedap),
disuria, perdarahan intermestrual, dispareuni (nyeri saat berhubungan seksual), dan nyeri
abdomen bawah ringan.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan akan menunjukan tanda-tanda seperti discharge
purulen atau mukopurulen pada vagina atau pada servikal, perdarahan vagina, nyeri
gerakan sekviks saat pemeriksaan palpasi bimanual, rasa penuh pada adneksa bisa
unilateral maupun bilateral, nyeri pada abdominal bawah baik dengan maupun tanpa
rebound tenderness.
Infeksi pada neonatal dapat menyebabkan ophtalmia neonatorum yang merupakan
infeksi pada okuler. Infeksi pada okuler ini biasanya didapatkan pembengkakan yang jelas
dari kelopak mata, hiperemia hebat dan kemosis, serta discharge yang banyak dan purulen.
Bila konjungtiva ikut terinflamasi dapat menyebabkan ulserasi pada kornea dan
menimbulkan perforasi.
12

Gambar 2.2 Infeksi Gonore

2.3.1.5 Diagnosis
Infeksi gonokokal dapat dikenali melalui tanda dan gejala khas. Namun pada saat
penyakit diseminata (sistemik) atau traktus reproduksi atas terjadi, mukosa tempat infeksi
primer dapat tampak normal dan pasien tidak mengalami tanda dan gejala lokal. Oleh
karena itu, dapat dilakukan beberapa pemeriksaan untuk menunjang diagnosis gonore.
1. Spesimen
Pus dan sekret diambil dari uretra, serviks, rektum, konjungtiva, faring, atau cairan
sinovial untuk kultur dan apusan. Kultur darah penting pada penyakit sistemik, tetapi
sistem kultur khusus dapat membantu, karena gonokok dapat peka terhadap
polyanethol sulfonate yang terdapat pada media kultur darah standar.
2. Pengecatan Gram
Diagnosis cepat infeksi gonokokal melalui pengecatan Gram dari eksudat uretra
telah diterima secara luas. Hasil positif jika ditemukan adanya leukosit PMN dengan
diplokokus Gram negatif intraseluler. Pada pria dengan gejala uretritis, tes ini
disebutkan sangat spesifik (>99%) dan sensitif (>95%), sehingga hasil positif dapat
dianggap diagnostik. Namun, hasil negatif pada pengecatan Gram tidak dianjurkan
untuk menyingkirkan diagnosis pada pria yang asimptomatis.
Pada wanita, pewarnaan Gram dari apusan endoserviks tidak sensitif (30-60%),
namun mendukung diagnosis cepat bila ditemukan dengan gejala klinis Pelvic
13

Inflammatory Disease (PID), endoservisitis dengan duh tubuh purulen, atau riwayat
pajanan infeksi gonokokal. Sehingga perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk
memastikan diagnosis.

Gambar 2.3 Hasil Pengecatan Gram Gonore

3. Kultur
Spesimen kultur diambil dari swab endoserviks (wanita) dan uretra (pria), namun
dapat juga diambil dari rektum dan faring. Sampel diinokulasi ke plate modifikasi
Thayer-Martin (yang diperkaya) atau media selektif gonokokal lainnya. Inkubasi
dilakukan dalam atmosfer yang mengandung CO2 5% (stoples berisi lilin kemudian
ditutup hingga padam) pada suhu ruang 37°C. Apabila tidak dapat dilakukan inkubasi
segera, spesimen dapat ditempatkan di media transport yang mengandung CO2.
Pemeriksaan dengan media kultur selektif Thayer-Martin pada biakan bakteri
Neisseria gonorrhoeae memberikan hasil biakan koloni bakteri yang translusen dan
tidak berpigmen berukuran 0,5-1,0 mm. 48 jam setelah kultur, organisme dapat
diidentifikasi berdasarkan bentuknya pada pengecatan gram, oksidase positif,
koagulasi, pewarnaan imunofluoresen, dan uji laboratorium lainnya.
14

Gambar 2.4 Hasil Kultur Gonore

2.3.1.6 Komplikasi
1. Pelvic Inflammatory Diesease (PID), 10-20% infeksi gonore akut. Dalam jangka lama
atau kronik, dapat mengakibatkan infertilitas, KET, dan nyeri panggul yang kronik.
2. Bartholinitis (pembentukan abses).
3. Konjungtivitis neonatal pada janinnya.
4. Disseminated Gonococcal Infection (DGI).

2.3.1.7 Penatalaksanaan
Manajemen terhadap infeksi gonokokal telah banyak berubah pada dekade
terakhir. Hal ini diakibatkan oleh beberapa faktor seperti resistensi terhadap antibiotik, ko-
infeksi dengan Chlamydia, serta lokasi anatomis dari infeksi.

CDC merekomendasikan pengobatan ganda menggunakan dua antimikroba


dengan mekanisme kerja yang berbeda untuk menghindari resistensi. Untuk infeksi gonore
tanpa komplikasi yang terjadi di serviks, uretra, dan rektum, rejimen yang
direkomendasikan adalah seftriakson dosis tunggal 250 mg (intramuskular) ditambah
azitromisin dosis tunggal 1 gram (per oral) yang diberikan pada hari yang sama. Jika tidak
tersedia seftriakson, dapat diberikan rejimen alternatif yaitu sefiksim dosis tunggal 400 mg
(per oral) ditambah azitromisin dosis tunggal 1 gram (per oral).
15

2.3.2 Infeksi Genital Non Spesifik (IGNS)17


2.3.2.1 Definisi
Infeksi genital non spesifik merupakan peradangan pada uretra, rektum atau
serviks yang disebabkan oleh mikroorganisme non spesifik, atau infeksi traktus genital
yang disebabkan oleh penyebab yang non spesifik.
Uretritis Non Spesifik (UNS) adalah peradangan pada uretra yang disebabkan oleh
kuman non spesifik, dengan kata lain tidak dapat dipastikan atau diketahui dengan
pemeriksaan laboratorium sederhana.
Infeksi Genital Non Gonore (IGNG) adalah peradangan di uretra, rektum atau
serviks yang disebabkan oleh mikroorganisme bukan kuman gonokok. Uretritis Non
Gonore (UNG) adalah peradangan di uretra yang disebabkan oleh mikroorganisme bukan
kuman gonokok. Semua UNS adalah non gonore, tetapi tidak semua UNG adalah non
spesifik. Namun pada umumnya kedua istilah ini sering dianggap sama.

2.3.2.2 Etiologi
Penyebabnya paling sering adalah Chlamydia trachomatis (30-50%). Kemudian
disusul oleh Ureaplasma urealyticum (10-40%). Trichomonas vaginalis, yeast, Virus
herpes simplex, Adenovirus, dan Haemophilus sp. Sekitar (20-30%). Selain itu ada
beberapa yang lainnya, tetapi sangat jarang, antara lain; Mycoplasma genitalium,
Mycoplasma hominis, Bacteroides ureolyticus, Gardnerella vaginalis.

2.3.2.3 Patogenesis
Patogenesis yang dibahas hanya mengenai Chlamydia trachomatis karena
mikroorganisme ini yang paling sering menyebabkan IGNS. Chlamydia trachomatis
merupakan bakteri obligat intraselular. Menyerupai bakteri gram (-), mempunyai dua fase
perkembangan, yaitu:
1. Fase non infeksiosa: Intraselular, di dalam vakuol, melekat pada inti sel hospes,
disebut badan inklusi.
2. Fase penularan: Vakuola pecah keluar dalam bentuk badan elementer menginfeksi sel
hospes yang baru
16

2.3.2.4 Manifestasi Klinis


Pada wanita umumnya asimtomatik, lebih sering terjadi di serviks, bila disertai
dengan gejala, maka gejala yang ditimbulkan sangat ringan. Apabila ada keluhan, bisanya
berupa keluarnya duh tubuh vagina berwarna kekuningan, disuria ringan & sering
berkemih, nyeri daerah pelvis, dispareunia.

2.3.2.5 Diagnosis
1. Pemeriksaan mikroskopis
a. Pewarnaan gram : tidak dijumpai etiologi spesifik, PMN >5 (pada laki-laki) dan
>30 (pada perempuan)
b. Sediaan basah : tidak ditemukan Trichomonas vaginalis
2. Untuk menentukann infeksi C. trachomatis : Nucleic Acid Amplification Test
(NAAT)
2.3.2.6 Komplikasi
1. Bartholinitis.
2. Proktitis.
3. Salpingitis, menyebabkan Kehamilan Ektopik (KE), infertilitas.
4. Sistitis.

2.3.2.7 Penatalaksanaan
Obat yang paling efektif adalah golongan macrolide
Pilihan utama
1. Doksisiklin 2 x 100 mg sehari selama 7 hari
2. Aziromisin 1 gram dosis tunggal, atau
3. Eritromisin untuk penderita yang tidak tahan tetrasiklin, ibu hamil, atau berusia
kurang dari 12 tahun, 4 x 500 mg sehari selama 1 minggu atau 4 x 250 mg selama 2
minggu.
17

2.3.3 Kandidiasis Vulvovaginalis (KVV)18


2.3.3.1 Definisi
Kandidiasis Vulvovaginalis (KVV) adalah infeksi mukosa vagina dan vulva (epitel
tidak terkait) yang disebabkan oleh spesies Candida. Penyebab terbanyak (80-90%) adalah
Candida albicans, peringkat kedua dan ketiga adalah C. glabrata (Torulopsis glabrata)
dan C. tropicalis. Jika infeksi masih di vagina, maka disebut vaginitis. Dapat meluas
sampai vulva (vulvitis)

2.3.3.2 Etiologi
Klasifikasi berdasar etiologi, secara umum dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Kandidiasis primer.
2. Kandidiasis yang diinduksi oleh antibiotik.
3. Kandidiasis yang diinduksi oleh keadaan sistemik tubuh.
Penyebab terbanyak KVV adalah spesies Candida Albicans (80-90%). Sedangkan
urutan kedua adalah T. glabrata (10%), (3%) lainnya oleh spesies C. tropicalis, C.
pseudotropicalis, C. krusei, dan C. Stellatoidea.

2.3.3.3 Patogenesis
Epitel cornifies pada vagina yang normal, berkembang menjadi lapisan sel epitel
yang tebal. Untuk melindungi vagina dari infeksi, di bawah pengaruh hormone esterogen.
Cairan vagina normal terdiri dari 1-4 mL cairan yang berwarna putih atau transparan,
tebal, dan tidak berbau. Cairan fisiologis yang dibentuk oleh pengelupasan sel epitel,
bakteri normal, dan transudat vagina. Jumlahnya dapat bertambah selama kehamilan,
penggunaan pil kontrasepsi oral, atau pada pertengahan siklus haid, dan pada saat dekat
dengan waktu ovulasi.
PH normal sekret vagina adalah 4,0-4,5, pH ini dipertahankan oleh lactobacillus
yang menghasilkan hidrogen peroksida dan asam laktat. Diphtheroid dan Staphylococcus
epidermidis, Lactobacillus ditemukan pada (62-88%) wanita. PH vagina dapat meningkat
dengan umur, fase siklus menstruasi, aktivitas seksual, pilihan kontrasepsi, kehamilan,
adanya jaringan nekrotik atau benda asing, dan penggunaan produk higienis atau
antibiotik.
Vaginosis bakteri sekunder disebabkan karena pertumbuhan bakteri yang
berlebihan, bukan karena peradangan jaringan. Organisme yang berhubungan dengan
18

vaginosis bakteri adalah G. vaginalis, M. hominis, dan Mobiluncus (bakteri anaerob


fakultatif). Hampir setiap kondisi pada perubahan lingkungan vagina, dapat menyebabkan
vulvovaginitis.

2.3.3.4 Klasifikasi
a. Tanpa komplikasi
1. Episode sporadis atau jarang (infrequent)
2. Gejala ringan sampai sedang
3. Infeksi karena C. Albicans
4. Normal pada wanita hamil
b. Dengan komplikasi
1. KVV berulang
2. KVV berat
3. Non albicans candidiasis
4. Pada perempuan yang tidak normal (misalnya, diabetes yang tidak terkendali,
kekurangan tenaga, atau imunosupresi)

2.3.3.5 Manifestasi Klinis


Pada KVV akut, pruritus vulva dan rasa merupakan gejala utama. Pasien sering
mengeluh dari kedua gejala tersebut, setelah melakukan hubungan seksual atau pada saat
buang air kecil. Pada pemeriksaan fisik ditemukan eritema dan edema di ruang depan dan
labia mayor dan minor. Ruam dapat menjalar ke paha dan perineum. Patch Thrush
biasanya ditemukan longgar dan lembek pada vulva. Cairan putih kental (keputihan
curdlike) biasanya muncul.
Manifestasi klinis kandidiasis kronis persisten berbeda dalam hal ini, meliputi
edema ditandai dan lichenifikasi vulva dengan tepi yang kurang jelas. Seringkali berwarna
abu-abu mengkilat, terdiri dari sel epitel dan organisme yang ada di daerah tersebut.
Gejala lainnya termasuk pruritus berat, rasa terbakar, iritasi, dan rasa sakit. Kelompok
pasien ini biasanya lebih tua, gemuk, dan telah lama menderita diabetes mellitus.

2.3.3.6 Dignosis
Pada pemeriksaan mikroskopis (preparate KOH 10 – 20 %) menyebabkan lisis
erirosit dan leukosit sehingga mempermudah identifikasi jamur) ditemukan blastospora
(bentuk lonjong) dan pseudohifa seperti sosis panjang bersambung.
19

2.3.3.7 Komplikasi
Jarang menimbulkan komplikasi, karena yang diserang oleh Candida adalah
daerah mukokutaneus, sifatnya ringan. Hal yang paling sering mengganggu penderita
adalah terjadinya infeksi rekuren (KVVR) terutama pada pasien yang mempunyai faktor
predisposisi tejadinya infeksi.

2.3.3.8 Penatalaksanaan
1. Kotrimazol intravaginal 200 mg per hari selama 3 hari atau
2. Kotrimazol intravaginal 500 mg dosis tunggal atau
3. Flukonazol per oral 150 mg dosis tunggal atau
4. Itraconazole per oral 200 mg dosis tunggal

Alternatif : Nistatin intravaginal 100.000 IU/hari selama 7 hari


20

2.3.4 Trichomoniasis Vaginalis19


2.3.4.1 Definisi
Trikomoniasis merupakan penyakit infeksi protozoa yang disebabkan oleh
Trichomonas vaginalis, biasanya ditularkan melalui hubungan seksual dan sering
menyerang traktus urogenital bagian bawah pada wanita maupun pria, namun pada pria
peranannya sebagai penyebab penyakit masih diragukan.

2.3.4.2 Etiologi
T. vaginalis merupakan protozoa flagellata, jumlah flagelnya ada 4, tiga di depan
dan satu axostyle menonjol pada ujung badan. Bentuknya ovoid (menyerupai oval) atau
firiformis berukuran 15-18 mikron (kurang lebih sebesar leukosit), ukuran bervariasi
tergantung dari lingkungan vagina ataupun kultur. Inti mengandung 5 kromosom.
Bergerak seperti gelombang, dan tumbuh serta bermultiplikasa secara optimal pada
lingkungan lembab dengan temperature 35-37ºC dan pH 4,9-7,5. Reproduksi secara
mitosis dengan pembelahan longitudinal, terjadi setiap 8-12 di bawah kondisi optimal.
Membentuk koloni trofozoid pada permukaan sel epitel vagina dan uretra pada wanita.
T. vaginalis mudah mati bila mengering, terkena sinar matahari dan terpapar air
selama 35-40 menit, terkena suhu 50ºC mati dalam beberapa menit. Sedangkan pada suhu
0ºC dapat hidup dalam 5 hari.17

2.3.4.3 Patogenesis
T. vaginalis mempunyai flagel yang memungkinkan untuk bergerak di sekitar
jaringan vagina dan uretra. T vaginalis merusak epitel secara langsung, menyebabkan
microulcerations jaringan yang dirusak, dapat meningkatkan risiko penularan HIV.
Gejala trikomoniasis biasanya terjadi setelah masa inkubasi 4-28 hari. Pada
wanita, T. vaginalis terisolasi dalam vagina, leher rahim, uretra, kandung kemih, dan
kelenjar Bartholini dan Skene. Penularannya terutama melalui hubungan seksual. Invasi
pada jaringan epitel dan subepitel. Dalam vagina dan uretra parasit hidup dari sisa-sisa sel,
kuman-kuman, dan benda lain dalam duh tubuh.

2.3.4.4 Manifestasi Klinis


Karena yang diserang oleh T. vaginalis adalah sel epitel, maka kerusakan yang
ditimbulkan terutama pada dinding vagina. Ditandai dengan dinding vagina yang edema,
21

eritema, dan abses kecil, hal ini memberikan gambaran yang disebut strawberry cervix
terluhat melalui pemeriksaan dengan menggunakan spekulum. Duh tubuh vagina
seropurulen, kekuningan, kuning-kehijauan, bau tidak enak (malodorous), berbusa. Duh
banyak, iritasi lipat paha atau sekitar genitalia. Keluhan penyerta, disuria, dispareuni,
perdarahan setelah koitus atau antar masa haid. Pada kasus kronik, gejala ringan, duh
tubuh tidak berbusa. Dapat mengenai duktus Skene dan uretra. Pada (50%) wanita yang
terinfeksi tetap asimtomatik , (30%) diantaranya akan menjadi simtomatik dalam waktu 6
bulan.

Gambar 2.5 Infeksi Trichomoniasis Vaginalis

2.3.4.5 Komplikasi
Pada wanita, komplikasi yang mungkin terjadi adalah, sistisis, skenitis dan abses
bartholini, dapat menyebabkan kelahiran prematur, dan bayinya lahir dengan berat badan
kurang serta dapat terjadi limfadenopati, endometritis, dan salpingitis sehingga
menyebabkan infertilitas.
Infertilitas biasaya didahului dengan PID, bila T.vaginalis ditularkan melalui
koitus pada vagina atau serviks dan terjadi infeksi secara asenden endometrium, tuba
falopii dan struktur yang berdekatan dan menimbulkan PID. Setelah itu meninggalkan
bekas berupa skar atau perlekatan dan infertilitas sebagai akibatnya.
22

2.3.4.6 Diagnosis
Diagnosis laboratorium dapat ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan pada
sample sekret vagina (fluor albus) pada wanita dan sekret uretra pada pria, secara
mikroskopis apabila ditemukan parasit Trichomonas vaginalis maka diagnosa
laboratorium dapat ditegakkan Secara klinis diagnosis Trichomoniasis ditegakkan
berdasarkan adanya keluhan keputihan atau flour albus dan rasa panas serta gatal pada
vulva atau vagina dan adanya sekret encer, berbusa, bau tidak sedap dan berwarna
kekuningan serta adanya lesi bakas garukan karena gatal dan hiperemia pada vagina.
Untuk menentukan diagnosis perlu dilakukan diagnosa laboratorium dengan
menemukan parasit Trichomonas vaginalis dibahan sekret vagina, sekret uretra, sekret
prostat dan sedimentasi urine dengan melihat adanya gerakkan aktif dari temuan tropozoit
Trichomonas vaginalis didalam pemeriksaan mikroskopis, jika pergerakkan dari tropozoit
berkurang mungkin dapat dilihat pergerakkan membran bergelombang pada perbesaran
tinggi. Tes diagnostik selain dengan sediaan basah dapat juga digunakan pulasan
permanen,organisme sulit dikenal pada pulasan permanen, apabila sediaan hapus kering
dikirim ke laboratorium dapat digunakan dengan pulasan atau pengecatan giemsa atau
papanicelau pada pulasan gram biasanya organisme tidak ditemukan.

2.3.4.7 Penatalaksanaan
Dasar pengobatan yaitu memperbaiki keadaan vagina dengan membersihkan
mukosa vagina dan memakai obat kimia peros dan lokal, pada saat ini metronidazol
(merupakan obat yang efektif untuk pengobatan baik untuk wanita ataupun pria).
Berbagai obat baru juga telah banyak dan sangat efektif dalam mengobati
Trichomoniasis yaitu Tinidazol, Seknidazol, Nimorazol dan Ornidazol.
Cara pemberian takaran obat-obat tersebut adalah:
1. Metronidazol
a. Wanita : diberikan 3 kali 250 mg selama 10 hari atau 2 gr dosis tunggal tanpa
Diberikan malam hari peroral, untuk pengobatan lokal diberikan tablet Vagina
sebanyak 500 mg sehari selama 10 hari.
b. Pria : pemberian peroral 2 kali 250 mg sehari selama 10 hari atau 2 gr dosis
Tunggal diberikan malam hari.
23

2. Tinidazol
Baik pada wanita maupun pria diberikan dengan takaran 2 gr dosis tunggal peroral.
3. Seknidazol
Diberikan untuk Trichomoniasis pada wanita maupun pria dengan takaran 2 gr dosis
tunggal peroral.
4. Nimorazol
Diberikan pada wanita maupun pria dengan takaran 2 kali 250 mg selama 6 hari atau
diberikan 2 gr dosis tunggal.
5. Ornidazol
Diberikan dalam dosis tunggal 1500 mg atau 2 kali lipat 750 mg pengobatan lokal
dengan tablet vagina persarin ataupun krim vagina yang digunakan pada waktu
malam hari.
24

2.3.5 Vaginosis Bakterial20


2.3.5.1 Definisi
Vaginosis Bakterial adalah suatu sindrom klinis akibat perubahan ekosistem
vagina, dimana terjadi pergantian flora normal Lactobacillus sp. Sebagai penghasil H2O2
(hidrogen peroksida) di vagina, dengan bakteri anaerob (misalnya; Bactroides sp.,
Mobiluncus sp., Prevotella sp., Gardnerella vaginalis, Mycoplasma hominis) yang
menyebabkan peningkatan pH dengan nilai <4,5 menjadi 7,0. Bisa terjadi pada wanita
seksual aktif dan bukan seksual aktif.

2.3.5.2 Etiologi
Pada dasarya penyebab VB sangat banyak, tetapi yang paling sering ada 4 jenis
bakteri, yaitu:
1. G. vaginalis.
2. Bakteri anaerob (Baceroides sp., Peptostreptococcus,., dll ).
3. Mobiluncus sp.
4. Mycoplasma hominis.

2.3.5.3 Patogenesis
VB adalah hasil dari penggantian flora normal vagina (Lactobacillus) dengan flora
campuran yang terdiri dari G. vaginalis, bakteri anaerob, dan M. hominis. Dengan
demikian, kebanyakan studi tentang patogenesis VB berfokus pada bagaimana ekosistem
mikroba vagina menjadi berubah. Data epidemiologi menjelaskan bahwa penularan
organisme tertentu melalui hubungan seksual dapat memulai perubahan flora vagina pada
karakteristik VB.
Lactobacillus sp. dapat membantu wanita normal untuk melawan infeksi di vagina
dan serviks. Laktobasilus vagina menghambat G. vaginalis, Mobiluncus, dan bakteri
anaerob gram negatif batang in vitro.
Beberapa strain Lactobacillus menghasilkan H2O2, dari studi telah menunjukkan
bahwa strain yang memproduksi H2O2. Laktobasilus lebih sering dominan pada vagina
wanita normal, dibandingkan dengan wanita dengan VB.
Wanita dengan H2O2-laktobasilus positif jarang ditemukan pada VB, daripada
wanita dengan H2O2-negatif laktobasilus. H2O2 yang dihasilkan oleh laktobasilus vagina
dapat menghambat pertumbuhan bakteri anaerob bentuk batang, Gardnerella, Mobiluncus,
dan Mycoplasma pada vagina, baik secara langsung melalui aktivitas toksik H 2O2 atau
25

bereaksi dengan ion halida peroksidase di serviks sebagai bagian dari H 2O2 -halida-
peroksidase antibakteri sistem.
Sejauh ini, tidak ada faktor endogen yang telah diidentifikasi dapat meningkatkan
kerentanan terhadap VB. Mungkin kerentanan terhadap VB disebabakan karena pemakain
IUD, tetapi mekanisme tentang AKDR yang dapat meningkatkan risiko VB belum dapat
diketahui, pada jenis AKDR yang lebih baru dengan mekanisme pelepasan progestin dan
Cu belum dievaluasi tentang hubungannya dengan kerentanan terhadap VB. Potensial
redoks (Eh) pada permukaan epitel vagina lebih rendah pada wanita dengan VB
dibandingkan pada wanita normal.
Setelah wanita dengan VB diobati dengan metronidazol, potensial redoks dari
epitel vagina kembali ke kisaran normal, hasil menunjukkan bahwa vagina yang rendah Eh
bukan faktor endogen yang selalu mendasari terjadinya VB.
Diperkirakan bahwa flora mikroba mungkin menghasilkan decarboxylases
mikroba, sebagai penybab bau amis duh tubuh vagina, ketika cairan vagina dicampur
dengan KOH 10%. Ini disebut "test bau", diperkirakan karena volatilisasi rantai amin
aromatik termasuk putresin, cadaverine, dan trimetilamin pada pH basa. Mobiluncus
menghasilkan trimetilamina, tapi mikroba lain yang menghasilkan amin masih belum
diketahui.
Trimetilamina dapat dideteksi pada konsentrasi yang relatif tinggi dalam cairan
vagina dari VB, dengan konsentrasi rata-rata 5 mM. Kehadiran trimetilamina dalam cairan
vagina dianggap sebagian faktor utama penyebab gejala malodor yang dialami oleh wanita
dengan VB.
Cairan vagina pada perempuan dengan VB akan meningkatkan kadar endotoksin,
sialidase, dan glikosidase, yang menurunkan musin dan menurunkan viskositasnya.
Pada perempuan dengan VB terjadi peningkatan kadar sitokin dan kemokin dalam
lendir serviks pada wanita hamil maupun yang tidak hamil dengan VB. Selain itu, terjadi
pula penurunan sekret leukosit dalam cairan vagina pada perempuan dengan VB.
Efek dari VB pada epitel vagina dan pada pergantian sel epitel masih belum
diketahui. Meskipun demikian, konsentrasi cairan vagina yang meningkat pada VB dapat
meningkatkan risiko infeksi asenden pada alat kelamin, termasuk servisitis dan
endometritis.
26

2.3.5.4 Manifestasi Klinis


Dalam sebuah penelitian cross-sectional terhadap penderita VB dengan kriteria
pengecatan Gram bermakna dengan gejala malodor vaginitis (49% dari pasien dengan VB
dibandingkan 20% bukan VB) dan sekret vagina (50% dari pasien dengan VB
dibandingkan 37% bukan VB), dengan tanda-tanda sekret vagina non-viscous
homogeneous bewarna keputihan (69% perempuan dengan BV dibandingkan 3% bukan
VB).
Seperti disebutkan di atas, malodor adalah disebabkan adanya senyawa amin yang
tidak normal, khususnya trimetilamin. Melekat pada dinding vagina, seringkali tampak
pada labia dan fourchette sebelum spekulum vagina dimasukkan. Meskipun sepertiga dari
wanita penderita VB mengeluh sekret vagina berwarna kuning, kebanyakan studi
menemukan peningkatan leukosit PMN (polymorphonuclear) yang terjadi pada VB
mempunyai arti yang tidak bermakna.
Hampir semua vanita dengan VB mempunyai pH sekret vagina ≥4,5 ketika diukur
dengan kertas indicator pH, namun tidak spesifik untuk pemeriksaan VB. Terjadi fishy
odor (bau amis) ketika dilakukan pengetesan dengan KOH 10% pada cairan vagina (whiff
test). Pemeriksaan mikroskopis cairan vagina dengan perbesaran (400x) memperlihatkan
clue cell pada 81% sebesar 6%. Clue cell merupakan sel epitel yang ditempeli bakteri
sehingga tepinya tidak rata. Bakteri yang menutupi clue cell adalah G. vaginalis dan
Mobiluncus sp.
VB tidak menimbulkan inflamasi vagina atau vulva. Tetapi jika pasien menderita
VB disertai dengan infeksi yang lain, seperti trikomoniasis atau servisitis, maka selain
gambaran VB terdapat juga gambaran dari infeksi yang menyertainya.
Gejala VB rekuren sama dengan waktu pertama kali terkena VB. Penderita VB
rekuren bisa asimtomatik atau mempunyai bau vagina seperti bau ikan yang khas dan
baunya menigkat ketika melakukan hubungan seksual.
27

Gambar 2.6 Infeksi Vaginosis Bakterial

2.3.5.5 Diagnosis
Terdapat berbagai kriteria dalam menegakkan diagnosis vaginosis bacterial.
Umumna digunakan kriteria Amsel, berdasarkan 3 dari 4 temuan berikut :
1. Duh tubuh vaguna berwarna putih keabu-abuan, homogen, melekat di vulva dan
vagina.
2. Terdapat clue-cell pada duh vagina (>20% total epitel vagina yang tampak pada
pemeriksaan sediaan basah dengan NaCl fisiologis dan pembesaran 100 kali)
3. Timbuh bau amis pada duh vagina yang ditetesi dengan laruran KOH 10% (tes amin
positif)
4. pH duh vagina lebih dari 4,5

2.3.5.6 Komplikasi
Dengan meningkatnya konsentrasi bakteri intravaginal dan flora virulen,
merupakan predisposisi komplikasi obstetrik dan ginekologi tertentu seperti
korioaminionitis, infeksi cairan amnion, infeksi pada masa nifas, PID, kelahiran prematur,
dan his prematur. Dapat juga terjadi endometritis dan PID post partum.

2.3.5.7 Penatalaksanaan
Antimikroba berspektrum luas terhadap sebagain besar bakteri anaerob, biasanya
efektif untuk mengatasi vaginosis bakterial. Metronidazole dan klindamisin merupakan
obat utama, serta aman diberikan kepada perempuan hamil. Tinidazole, merupakan
28

derivate nitromidazol, dengan aktivitas antibacterial dan antiprotozoal telah disetujui


sebagai obat untuk vaginosis bacterial.
Obat yang diberikan secara intravaginal menunjukkan efikasi yang sama dengan
metronidazole oral, namun efek samping lebih sedikit.
Pilihan rejimen pengobatan :

1. Metronidazole dengan dosis 2 x 500 mg setiap hari selama 7 hari


2. Metronidazole 2 gram dosis tunggal
3. Klindamisin 2 x 300 mg per oral sehari selama 7 hari
4. Tinidazole 2 x 500 mg setiap hari selama 5 hari,
5. Ampisilin atau amoksisilin dengan dosis 4 x 500 mg per oral selama 5 hari
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah infeksi yang penularannya terutama melalui
hubungan seksual yang mencakup infeksi yang disertai gejala-gejala klinis maupun
asimptomatis. Infeksi menular seksual ini meliputi penyakit-penyakit menular yang di
transmisikan dari satu orang ke orang yang lain melalui kontak seksual.
Cara penularan IMS adalah dengan cara kontak langsung yaitu kontak dengan
eksudat infeksius dari lesi kulit atau selaput lendir pada saat melakukan hubungan seksual
dengan pasangan yang telah tertular. Semua teknik hubungan seksual baik lewat vagina,
dubur, atau mulut baik berlawanan jenis kelamin maupun dengan sesama jenis kelamin
bisa menjadi sarana penularan penyakit kelamin. Sehingga kelainan ditimbulkan tidak
hanya terbatas pada daerah genital saja, tetapi dapat juga di daerah ekstra genital. Lesi bisa
terlihat jelas ataupun tidak terlihat dengan jelas. Pemajanan hampir seluruhnya terjadi
karena hubungan seksual (vaginal, oral, anal).
Penularan IMS juga dapat terjadi dengan media lain seperti darah transmisi
vertikal dari ibu ke janin juga memungkinkan.
Adapun infeksi menular seksual dengan manifestasi duh tubuh diantaranya :
gonore, infeksi genital non spesifik, trichomoniasis vaginalis, vaginosis bakterial, bakterial
vulvovaginosis.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi


Menular Seksual. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
2. WHO, 2016. GLOBAL HEALTH SECTOR STRATEGY ON SEXUALLY TRANSMITTED
INFECTIONS 2016–2021. Switzerland: WHO.
3. Sinclair. Faktor risiko Infeksi Menular Seksual (IMS), Jakarta : cv Infomedika,2010
4. Daili, S.J. Pemeriksaan Klinis Pada Infeksi Menular Seksual. In: Daili, S.F., Makes, W.I.B.,
Zubier, F., editor. Infeksi Menular Seksual. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2009.
hal. 19-24.
5. Nelson, A.L. Introduction to Sexually Transmitted Infection: A View of the Past and an
Assessment of Present Challenges. In: Nelson, A.L, Woodward, J Eds. Sexually Transmitted
Diseases A Practical Guide for Primary Care. Humana Press Inc. New Jersey: Humana Press
Inc. 2006. p.1-20.
6. Kuypers, J., Gaydos, C.A., Peeling, R.W. Principles of Laboratory Diagnosis of STIs. In:
Holmes, K.K., Sparling, P.F., Stamm, W.E., Piot, P., Wasserheit, J.N., Corey, L., Cohen, M.S.,
Watts, D.H, eds. Sexually Transmitted Diseases. 4th edition. New York: McGraw-Hill. 2008.
p. 937-57
7. Panduan pelayanan medis dokter spesialis kulit dan kelamin. Jakarta: Dirjen P2PL; 2011
8. Sedyaningsih E, Faktor risiko IMS. Jakarta. 2000
9. Ginanjar. Faktor yang berhubungan dengan kejadian IMS. (online). Semarang. 2010,
(eprints.undip.ac.id/20112/).
10. Hamilton & Morgan . Infeksi Menular Seksual (IMS), Jakarta : penerbit Universitas
Indonesia (UI press),2009.
11. Prawirohardjo S, Wiknjosastro Hanifa. Ilmu Kandungan Edisi Ketiga. Jakarta: Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2011. 294 p
12. Wijayanti, D. 2009. Fakta Penting Seputar Kesehatan Reproduksi Wanita. Jogyakarta: Book
Mark
13. RSUP Dr. Kariadi. No Title. Data Rekam Medis Rumah Sakit Kanker Serviks Tahun 2017.
2017;
14. Santi Martini. Faktor risiko terjadinya servisitis. (online). Semarang.
(jurnal.unimus.ac.id/indexphp/jur_bid/article/view/1023).
15. Departemen Kesehatan RI. Pedoman nasional Penatalaksanaan IMS 2015, Jakarta. DepKes
RI : 2004 ;1,
16. Hamzah Mochtar dan Aisyah Siti. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FKUI : 2007 ;
363- 38
17. Jeffrey D. Klausner, Edward W. Hook, Current diagnosis and treatment of sexually
transmitted disease. International Edition Mc Graw Hill: 2007. P 108-14
18. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Sexual. Jakarta: Dirjen
P2PL; 2011.

19. Willcox RR, Willcox JR. Venerology. 1sted Singapore; Maruzen, Asian Edition.

20. Hiller SL, Marrazo JM, Holmes KK, Bacterial Vaginosis, Dalam : Holmes KK, Sparling PF
Stamm WE, Piot P, Wasserheit Jw, Corey L, dkk, Editor: Sexually Transmitted Diseases.
Edisi ke-4. New York: Mc Graw-Hill; 2008.p.737-68

Anda mungkin juga menyukai