Anda di halaman 1dari 29

MENGIDENTIFIKASI TENTANG PENCEGAHAN

PENULARAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL PADA


SITUASI BENCANA
MATA KULIAH TANGGAP DARURAT BENCANA

Disusun oleh:
Kelompok 6 (Kelas IIB)
Devitrah Ananda (P3.73.24.2.18.049)

Lingkan Angelica Sulu (P3.73.24.2.18.059)

Malinda F. T. (P3.73.24.2.18.061)

Nabilla Intan (P3.73.24.2.18.064)

Riyanti (P3.73.24.2.18.122)

Sohibah Kharomatul Ilmi (P3.73.24.2.18.074)

POLTEKKES KEMENKES JAKARTA III


PROGRAM STUDI D-III KEBIDANAN
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Segala puji kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Tanggap Darurat Bencana
mengenai “Mengidentifikasi Tentang Pencegahan Penularan Infeksi Menular
Seksual Pada Situasi Bencana”. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada
dosen pengajar karena dengan adanya tugas ini dapat menambah pengetahuan
kami.
Demikianlah makalah ini kami susun. Kami menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dari makalah ini, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat kami harapkan untuk kesempurnaan penyusunan makalah
ini kedepannya.

Bekasi, 15 Januari 2021

Kelompok 6

ii
Daftar Isi
KATA PENGANTAR............................................................................................................2

BAB I.......................................................................................................................................3

PENDAHULUAN...................................................................................................................3

A. Latar Belakang...............................................................................................................3

BAB II.....................................................................................................................................6

PEMBAHASAN......................................................................................................................6

A. Hubungan Antara Penularan HIV/AIDS, IMS dan Kekerasan Seksual Serta


Relevansinya Dengan Situasi Darurat Bencana dan Situasi Pandemic Covid 19...........6

Identifikasi Strategi yang Sesuai Untuk Penerapan dan Dipertahankannya


Penerapan Kewaspadaan Universal.........................................................................10

Identifikasi Strategi Untuk Memastikan Transfusi dan Aman.....................................18

Pemantauan IMS Dalam Situasi Bencana dan Situasi Pandemic Covid 19.................19

BAB III..................................................................................................................................26

PENUTUP.............................................................................................................................26

A. Kesimpulan.................................................................................................................26

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bencana alam merupakan suatu kejadian atau peristiwa yang dapat
terjadi kapan saja dan tanpa diduga-duga waktunya, yang dapat
mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat secara signifikan,
dampak yang dapat terjadi diantaranya kerugian harta benda, rusaknya
infrastruktur kesehatan, serta jatuhnya korban jiwa.
Rusaknya infrastruktur kesehatan juga menjadi salah faktor
penghambat pelayanan kesehatan reproduksi, misalnya keterbatasan akses
kontrasepsi dalam situasi bencana dapat meningkatkan kehamilan yang
tidak diinginkan, peningkatan insiden IMS dan HIV, meningkatnya risiko
kekerasan dan pelecehan seksual, meningkatnya penyakit dan kecacatan
terkait masalah-masalah kesehatan reproduksi, komplikasi kebidanan,
kekerasan berbasis gender, serta gangguan reproduksi lainnya, sehingga
penyediaan pelayanan kesehatan reproduksi merupakan hal yang sangat
penting. (18,19) Babatunde Osotimehin selaku Direktur Eksekutif United
Nations Population Fund (UNFPA) dalam seminarnya yang
diselenggarakan di Jakarta tahun 2015, menyampaikan bahwa tingkat
kerentanan perempuan, anak perempuan dan remaja meningkat dalam
situasi bencana, karena kelompok tersebut menghadapi risiko yang lebih
besar terhadap eksploitasi, pelecehan seksual, kekerasan, kawin paksa,
penyakit yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi, dan kematian
akibat kurangnya perlindungan dan tidak terpenuhinya kebutuhan mereka.
Sebagai contoh, Laporan Program Pencegahan dan Respon GBV Pasca
gempa Padang, UNFPA Indonesia, bahwa terdapat 3 kasus perkosaan di
pengungsian pasca gempa padang pada tahun 2009 yang lalu.
Upaya pemerintah dalam penanggulangan krisis kesehatan dan
mewujudkan ketersediaan pelayanan kesehatan reproduksi saat bencana
dilaksanakan melalui 7 Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) yang

4
5

diselenggarakan sesegera mungkin pada awal bencana yaitu pada tanggap


darurat krisis kesehatan. Adapun komponen-komponen Paket Pelayanan
Awal Minimum (PPAM) tersebut diantaranya mengidentifikasi
koordinator PPAM kesehatan reproduksi, mencegah dan menangani
kekerasan seksual, mengurangi penularan HIV, mencegah meningkatnya
kesakitan dan kematian neonatal, serta merencanakan pelayanan kesehatan
yang komprehensif dan terintegrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar
pada situasi stabil pasca krisis kesehatan. Dalam penanganan masalah
kesehatan di pengungsian diperlukan standar minimal yang sesuai dengan
kondisi keadaan di lapangan sebagai pegangan untuk merencanakan,
memberikan bantuan dan mengevaluasi apa yang telah dilakukan oleh
instansi pemerintah maupun LSM dan swasta lainnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa hubungan antara penularan HIV/AIDS, IMS dan kekerasan
seksual serta relevansinya dengan situasi darurat bencana dan situasi
pandemic covid 19 ?
2. Apa saja identifikasi strategi yang sesuai untuk penerapan dan
dipertahankannya penerapan kewaspadaan universal ?
3. Bagaimana mengidentifikasi strategi untuk memastikan akses terhadap
kondom gratis di situasi darurat bencana dan situasi pandemic covid
19 ?
4. Bagaimana mengidentifikasi strategi untuk memastikan transfusi dan
aman
5. Bagaimana pemantauan IMS dalam situasi bencana dan situasi
pandemic covid 19?
C. Tujuan
1. Mengetahui hubungan antara penularan HIV/AIDS, IMS dan
kekerasan seksual serta relevansinya dengan situasi darurat bencana
dan situasi pandemic covid 19.
2. Mengetahui identifikasi strategi yang sesuai untuk penerapan dan
dipertahankannya penerapan kewaspadaan universal
6

3. Mengetahui identifikasi strategi untuk memastikan akses terhadap


kondom gratis di situasi darurat bencana dan situasi pandemic covid
19
4. Mengetahui identifikasi strategi untuk memastikan transfusi dan aman
5. Megetahui pemantauan IMS dalam situasi bencana dan situasi
pandemic covid 19
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hubungan Antara Penularan HIV/AIDS, IMS dan Kekerasan Seksual


Serta Relevansinya Dengan Situasi Darurat Bencana dan Situasi
Pandemic Covid 19
IMS merupakan masalah kesehatan yang cukup besar di seluruh
dunia. WHO memperkirakan lebih dari 340 juta kasus baru dari empat
IMS yang dapat disembuhkan (gonorhoe, chlamydia, syphilis dan
trichomoniasis) terjadi pada tahun 1999. Jika IMS tidak dapat
disembuhkan, seperti Human Papillo-Mavirus (HPV), Herpes Simplex
Virus (HSV), Hepatitis B dan Infeksi HIV disertakan, jumlah kasus baru
bsa tiga kali lipat lebih tinggi. Bagi perempuan, infeksi saluran reproduksi
yang ditularkan bukan melalui hubungan (ISR) seperti infeksi jamur atau
bacterial vaginosis, bahkan lebih umum terjadi.
Pada situasi bencana dapat terjadi peningkatan risiko penularan HIV
karena faktor-faktor sebagai berikut, misalnya:
1. Kesulitan dalam menerapkan praktik kewaspadaan standar karena
keterbatasan alat dan bahan.
2. Terjadinya peningkatan kasus kekerasan seksual yang berpotensi
menularkan HIV.
3. Terjadinya peningkatan risiko tranfusi darah yang tidak aman.
4. Terjadi hubungan seksual tidak aman.
HIV dapat ditularkan melalui:

1. Melakukan hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi HIV.


2. Berbagi jarum suntik atau alat tajam lainnya yang terkontaminasi
HIV.
3. Menerima transfusi darah yang terkontaminasi HIV.
4. Penularan dari ibu penderita HIV kepada janin/bayi selama
kehamilan, kelahiran atau menyusui.

7
8

Orang dengan HIV AIDS (ODHA) lebih rentan terhadap infeksi


bakteri, jamur serta virus dibandingkan dengan masyarakat umum akibat
penurunan kekebalan tubuh yang disebabkan virus HIV. Pada saat ini
belum ada data penelitian yang menyebutkan bahwa ODHA yang rutin
minum obat memiliki risiko lebih besar untuk terinfeksi Covid 19 atau
mengalami sakit berat akibat Covid 19. Oleh karena itu sangat penting
untuk dilakukan upaya pencegahan dan pengendalian infeksi pada ODHA
karena kematian akibat covid 19 lebih tinggi pada orang yang memiliki
penyakit lain sedangkan komorbiditas lazim ditemukan pada ODHA.
Tantangan yang di hadapi dalam pelayanan HIV/AIDS selama masa
pandemic :
1. Layanan di Rumah Sakit dan Puskesmas Terbatas
2. Rumah sakit tempat mengakses ARV merupaan rumah sakit
rujukan penanganan COVID 19
3. Ketersediaan ARV berkurang karena pendistribusian nya
terhambat
4. Pengiriman ARV untuk penderita ODHA di luar daerah terhambat
larena pembatasan akses keluar daerah
5. Layanan tes HIV dan IMS tidak semua buka di masa pandemi

Keterkaitan antara IMS dan HIV

1. IMS tertentu memfasilitasi penularan HIV: penderita ulkus genital


lebih mungkin terkena dan menularkan HIV. Chancroid dan sifilisa
dalah bakteri utama penyebab ulkus dan herpes genital merupakan
virus penyebab utama ulkus.
2. Keberadaan HIV dapat membuat orang lebih rentan terkena IMS: IMS
yang terkait dengan pengeluaran duh seperti klamidia, gonore dan
trikomoniasis juga memfasilitas penularan HIV. Penyakit-penyakit ini
menstimulasi system kekebalan tubuh untuk meningkatkan jumlah sel
darah putih yang merupakan target dan sumber HIV. Selain itu,
inflamasi terkait dengan penyakit dapat menyebabkan kerusakan
9

mikroskopis pada mukosa genital sehingga menjadi lokasi potensial


masuknya HIV.
3. Keberadaan HIV meningkatkan keparahan sejumlah IMS dan
resistensinya terhadap terapi.

Pada situasi bencana dimana keadaan tidak stabil, potensi


terjadinya kekerasan seksual dapat meningkat terutama saat situasi
mulai mengarah pada terjadinya konflik sosial. Pencegahan dan
penanganan kasus kekerasan seksual menjadi salah satu prioritas
dalam PPAM untuk meyakinkan tanggap darurat yang mengatasi ke
rentanan perempuan sejak awal krisis dan upaya perlindungan yang
memadaibilamanakekerasanterjadi.
Kekerasan seksual mempunyai dampak fisik dan psikologis jangka
panjang dan dapat mengancam jiwa bila tidak ditangani dengan baik.
Kekerasan seksual berpotensi terjadi di berbagai tempat, misalnya di
pengungsian pada saat mengakses toilet umum dan kebutuhan air
bersih untuk keperluan domestik. Kelompok yang berisiko mengalami
kekerasan seksual pada krisis kesehatan adalah :

1. Perempuan yang kehilangan anggota keluarga.


2. Perempuan sebagai kepala keluarga.
3. Anak laki-laki / perempuan yang kehilangan anggota keluarga.
4. Laki-laki / perempuan yang berkebutuhan khusus (penyandang
disabilitas) dll

Meningkatnya kasus COVID-19 membuat Pemerintah


mengeluarkan intruksi untuk pembatasan keluar rumah, bahkan sejak
16 Maret 2020, Pegawai Negeri Sipil diinstruksikan untuk bekerja dari
rumah, dan sebagian perusahaan swasta memberlakukan intruksi yang
sama. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dan BPJS
ketenagakerjaan mencatat 2,8 juta pekerja telah diberhentikan selama
pandemi COVID-19 karena perusahaan tempat mereka bekerja tidak
beroperasi.
10

Tingginya gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK),


hilangnya mata pencaharian masyarakat, diikuti dampak lain seperti
munculnya potensi kekerasan berbasis gender (misalnya: Kekerasan
seksual, KDRT, kekerasan berbasis gender online dan bentuk
kekerasan lainnya) yang dialami perempuan pasca keluarnya
penetapan COVID-19 sebagai bencana Nasional dalam Keputusan
Presiden (Keppres) No. 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana
Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
sebagai Bencana Nasional. Kondisi tersebut menyebabkan beban
perempuan semakin meningkat dimana selain harus mengurus rumah
tangga, pendampingan tugas sekolah anak, bahkan mencari tambahan
ekonomi keluarga. Beban ganda ini memicu konflik rumah tangga
semakin kuat yang berujung pada potensi kekerasan.
Bencana alam maupun pandemic covid-19 memiliki dampak
negative amat besar terhadap kesehatan reproduksi wanita, pria dan
remaja. Pengungsian, kemiskinan, kehilangan mata pencaharian dan
kehilangan tempat tinggal akan mempengaruhi kesehatan mereka
termasuk kesehatan reproduksi, sehingga diperlukan penanganan
khusus untuk memenuhi kebutuhan mereka terhadap pelayanan
kesehatan reproduksi .Women Commission for Refugee women and
children tahun 2006 menyatakan beberapa masalah kesehatan
reproduksi yang mungkin muncul dalam kondisi darurat adalah
meningkatnya risiko kekerasan seksual, meningkatnya penularan
IMS/HIV di area dengan kepadatan populasi tinggi, meningkatnya
risiko yang berhubungan dengan kehamilan tidak diinginkan akibat
berkurangnya layanan Keluarga Berencana, meningkatnya
kekurangan gizi dan epidemic risiko komplikasi kehamilan, kelahiran
terjadi selama perpindahan populasi, meningkatnya risiko kematian
ibu karena kurangnya akses terhadap layanan gawat darurat kebidanan
komprehensif.
Kondisi dalam pengungsian belum cukup optimal untuk memenuhi
kebutuhan reproduksi, tempat pengungsian tidak cukup melindungi
11

perempuan dari kejadian kekerasan dan kondisi bilik mesra yang


sangat minimal. Di Pengungsian stadion maguwoharjo kondisi bilik
mesra yang berjumlah 2 bilik digunakan untuk melayani hampir 1000
PUS membuat keengganan pasangan untuk menggunakan, system
pembuangan sampah medis seperti pembalut wanita yang
belumteraturdenganbaik, menyebabkan rawan terjadi penularan
infeksi, kamar mandi belum terpisah antara laki-laki dan perempuan
dapat menyebabkan rawan pelecehan seksual, sehingga diperlukan
strategi untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan
reproduksi yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat sesuai
dengan sumber daya yang dimiliki.

B. Identifikasi Strategi yang Sesuai Untuk Penerapan dan


Dipertahankannya Penerapan Kewaspadaan Universal
Prioritas pencegahan penularan HIV

1. Menekankan pentingnya kewaspadaan standar sejak awal dimulainya


koordinasi dan memastikan penerapannya.
2. Memastikan kegiatan transfusi darah aman dan rasional yang
dilakukan oleh lembaga/organisasi yang bergerak di bidangnya,
misalnya : Palang Merah Indonesia (PMI).
3. Memastikan ketersediaan dan pemberian profilaksis pasca pajanan
4. Memastikan ketersediaan kondom melalui koordinasi dengan
organiasi dan lembaga yang bekerja di bidang Kespro dan keluarga
berencana (pemerintah dan non pemerintah)
5. Memastikan pemberian obat ARV dan IMS terutama pada perempuan
yang terdaftar dalam program PPIA (Pencegahan Penularan HIV dari
Ibu ke Anak)
6. Memasang informasi dengan nomor telepon yang bisa dihubungi 24
jam untuk kelanjutan pengobatan ARV bersama dengan obat rutin
lainnya
12

Langkah/Kegiatan Pencegahan dan penanganan HIV pada situasi krisis


kesehatan
1. Menekankan pentingnya kewaspadaan standar sejak awal
dimulai koordinasi dan memastikan penerapan.
a. Berkoordinasi dengan organisasi atau lembaga mitra sektor
kesehatan terkait untukmemastikan penerapan kewaspadaan
standar tetap dilakukan setiap saat, meskipun pada situasi Krisis
Kesehatan.
b. Berkoordinasi dengan klaster kesehatan untuk penyediaan alat-alat,
bahan dan media KIEuntuk penerapan kewaspadaan standar
(misalnya: masker, sarung tangan, apron, sepatu boot, leaflet,
poster) kepada tenaga kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan dan
posko- posko kesehatan.

Kewaspadaan standar adalah langkah pengendalian infeksi yang


mengurangi risiko penularan patogen yang terbawa dalam darah
melalui paparan terhadap darah atau cairan tubuh di antara para pasien
dan tenaga kesehatan. Menurut prinsip “pencegahan standar”, darah
dan cairan tubuh dari semua orang harus dianggap sebagai terinfeksi
HIV, terlepas dari pengetahuan atau dugaan kita mengenai status orang
tersebut.
Prinsip-prinsip Kewaspadaan Standar:

a. Setiap orang dianggap potensial menularkan penyakit (bias


asimtomatik!)
b. Setiap orang berisiko terkena infeksi
c. Permukaan benda disekitar kita, peralatan, dan benda lainnya yang
akan dan telah bersentuhan dengan permukaan kulit yang tidak
utuh, lecet selaput mukosa atau darah dianggap terkontaminasi
sehingga setelah selesai digunakan harus diproses secara benar
d. Jika tidak diketahui apakah permukaan, peralatan, atau benda
lainnya telah diprosesdengan benar maka semua itu harus dianggap
masih terkontaminasi.
13

e. Risiko infeksi tidak bisa dihilangkan secara total, tapi dapat


dikurangi hingga sekecil mungkin dengan menerapkan tindakan
pencegahan infeksi secara benar dan konsisten.
Tindakan kewaspadaan standar adalah:
a. Sering mencuci tangan
14

Cuci tangan
dengan sabun
dan air
mengalir
sebelum dan
sesudah
kontak dengan
pasien.
Sediakan
fasilitas dan
perlengkapan
untuk mencuci
tangan mudah
didapat oleh
semua
penyedia
pelayanan.
b. Mengenakan sarung tangan
Pakailah sarung tangan non-steril sekali pakai untuk semua
prosedur dimana diperkirakan akan ada kontak dengan darah atau
cairan tubuh lain yang berpotensi terinfeksi virus. Cuci tangan
sebelum memakai dan setelah melepas sarung tangan. Buang
sarung tangan segera setelah digunakan ditempat sampah limbah
medis.Petugas yang menangani bahan-bahan dan benda tajam
wajib mengenakan sarung tangan yang lebih kuat (sarung
tangankhususuntuk pekerjaan berat/berkebun) dan harus menutupi
luka dan lecet dengan balutan/plester tahan air.
c. Memakai pakaian pelindung,seperti baju
atau Celemek tahan air, untuk melindungi
darikemungkinan terpercik darah
atau cairan tubuh lain. Petugas
diwajibkan menggunakan
15

masker dan pelindung mata.


d. Penanganan aman terhadap benda-benda tajam:
Upayakan penggunaaan jarum suntik seminimal mungkin
dan berdasarkan indikasi. Gunakan alat suntik dan jarum suntik
sekali pakai yang steril untuk setiap injeksi.
Buang jarum suntik
dan benda-benda tajam di
kotak pengaman (safety
boxes) yang anti tusuk dan
anti bocor. Pastikan wadah
anti tusuk untuk
pembuangan benda tajam selalu tersedia di tempat yang dekat
namun di luar jangkauan anak- anak. Benda tajam tidak boleh
dibuang ke tempat sampah atau kantong sampah biasa.

e. Pembuangan limbah: Bakar semua sampah medis di area terpisah,


sebaiknya masih pada lahan fasilitas pelayanan kesehatan. Kubur
benda-benda yang masih menjadi ancaman, seperti benda tajam, di
sebuah lubang tertutup sedikitnya 10 meter dari sumber air.
f. Pemrosesan Instrumen: Proses instrumen bekas pakai dalam urutan
sebagai berikut: Dekontaminasi instrumen untuk membunuh virus
(HIV dan Hepatitis B) dan menjadikan alat lebih aman untuk
ditangani.
16

Bersihkan instrument sebelum melakukan sterilisasi atau


disinfeksi tingkat tinggi (DTT) untuk menghilangkan kotoran.
Sterilkan (menghilangkan semua patogen) instrumen-instrumen
untuk meminimalkan risiko infeksi selama prosedur. Dianjurkan
menggunakan steam autoclaving. DTT (melalui perebusan atau
perendaman dalam larutan klorin) mungkin tidak dapat
menghilangkan semua spora.

Gunakan atau simpan dengan benar alat- alat segera setelah


disterilisasi

g. Pemeliharaan fasilitas

Bersihkan tumpahan darah atau cairan tubuh lainnya


dengan segera dan hati-hati. Meskipun tindakan-tindakan
pencegahan standar telah ditetapkan dan ditaati,
keterpaparan terhadap HIV dapat saja terjadi. Pastikan PPP
tersedia sebagai bagian dari paket tindakan pencegahan standar
untuk mengurangi keterpaparan petugas terhadap infeksi di tempat
kerja. Pasanglah pengumuman tentang cara-cara pertolongan
pertama di ruang-ruang kerja dan informasikan kepada semua
petugas bagaimana mengakses perawatan untuk keterpaparan.
17

2. Memastikan kegiatan transfusi darah aman dan rasional yang


dilakukan olehlembaga/organisasi yang bergerak di bidangnya,
misalnya: Palang Merah Indonesia (PMI)
a. Pastikan bank darah berasal dari lembaga yang resmi yaitu
Unit Transfusi Darah (UTD) PMI, UTD pemerintah serta BDRS
(Bank Darah Rumah Sakit) untuk menjamin darah aman
digunakan dan dilakukan difasilitas kesehatan yang
mempunyai perlengkapan dan tenaga kesehatan yang kompeten.
Apabila hal tersebut tidak terpenuhi, transfusi darah tidak boleh
dilakukan.
b. Lakukan koordinasi untuk mengetahui contak person/ penanggung
jawab yang dapat dihubungi di UTD PMI dan UTD Pemerintah
serta BDRS setempat untuk pemantauan ketersediaan darah
c. Perhatikan prinsippelaksanaan tranfusidarah yangrasionalmeliputi:
1) Tranfusi darah hanya dilakukan untuk keadaan yang
mengancam nyawa dan tidak ada alternatif lain.
2) Menggunakan obat-obatan untuk mencegah atau mengurangi
perdarahan aktif (misalnya oksitosin,asam Traxenamat,dll)
d. Lakukan koordinasi dengan puskesmas atau Rumah sakit untuk
penyediaan dan penggunaan cairan pengganti darah seperti cairan
pengganti berbasis kristaloid.
3. Memastikan ketersediaan dan pemberian profilaksis pasca pajanan
a. Memastikan ketersediaan profilaksis paska pajanan (PPP)
dilayanan kesehatan.
b. Memastikan petugas mengetahui PPP sebagai paket tindakan
pencegahan standar untuk mengurangi risiko penularan infeksi di
tempat kerja (mengidentifikasi dan menentukan petugas yang
bertanggung jawab untuk melayani kebutuhan PPP)
c. Pasang pengumuman/ informasi tentang cara-cara pertolongan
pertama di ruang- ruang kerja dan informasikan kepada semua
petugas bagaimana mengakses perawatan untuk keterpaparan
18

d. Menyelenggarakan sesi orientasi di pelayanan kesehatan mengeai


tindakan kewaspadaan standar untuk para petugas kesehatan dan
petugas lain
e. Menetapkan sistem pengawasan dan melakukan observasi
dengan menggunakan daftar tilik (check list) sederhana untuk
memastikan kepatuhan terhadap kewaspadaan standar, misalnya
dengan memperhatikan kebiasaan cuci tangan, pembuangan limbah
tajam, cara membersihkan tumpahan darah, cairan tubuh lainnya
dan lain- lain.

Pada sumber pajanan maupun korban pajanan harus dilakukan tes


HIV sebagai dasar penentuan PPP, tetapi waktunya tidak boleh terlalu
lama, yaitu paling lama 3 hari.
Jika sumber pajanan tidak diketahui, biasanya PPP hanya diberikan
pada kasus yang sifatnya berat, misalnya lesi akibat jarum berlubang
besar, tusukan yang dalam dan kontak dengan darah yang terlihat pada
alat medis (gunting, jarum dan lain- lain), pajanan pada membran
mukosa non-genital atau kulit tidak utuh, serta pajanan terhadap darah
atau cairan sperma yang berjumlah banyak.
4. Memastikan ketersediaan kondom melalui koordinasi dengan organiasi
dan lembaga yang bekerja di bidang Kespro dan keluarga berencana
(pemerintah dan non pemerintah)
Koordinator perlu memastikan tersedianya kondom sejak awal massa
tanggap darurat krisis kesehatan, karena kondom mampu mencegah
penularan IMS dan HIV, melalui koordinasi antara Dinkes, BKKBN
atau lembaga lain.
5. Memastikan pemberian obat ARV dan IMS terutama pada perempuan
yang terdaftar dalam program PPIA(Pencegahan Penularan HIV dari
Ibu ke Anak)
a. Memastikan ketersediaan data ODHA, layanan ARV dan layanan
HIV/ AIDS lainnya di wilayah tersebut. Data dapat diperoleh dari
puskesmas, LSM atau kelompok dukungan sebaya yang menjadi
pendampingan minum obat ARV. Pemberian ARV dapat
19

dilakukan di Puskesmas atau RS oleh petugas kesehatan yang


terlatih.
1) Puskesmas: memberikan ARV untuk orang dengan HIV/ AIDS
tanpa komplikasi
2) Rumah Sakit:
a) Memberikan ARV untuk ibu hamil dengan HIV
b) Memberikan ARV profilaksis untuk bayi yang lahir dari
Ibu HIV
c) Pasien yang memiliki infeksi oportunistik di rawat di RS
b. Pastikan saat darurat bencana pemberian ARV tidak boleh
terputus oleh karena itu penaggung jawab komponen pencegahan
HIV/ AIDS harus berkoordinasi dengan penyedia layanan ARV.
6. Memasang informasi dengan nomor telepon yang bisa dihubungi
24 jam untuk kelanjutan pengobatan ARV bersama dengan obat rutin
lainnya
Informasi ketersediaan ARV maupun obat lainnya perlu diketahui
oleh ODHA, untuk memudahkan akses terhadap terapinya.
Penanggung jawab komponen pencegahan HIV/ AIDS
mengkoordinasikan:
a. Di setiap layananan kesehatan ditempatkan papan informasi terkait
nama petugas,nomor kontak dan lokasi untuk mengakses ARV dan
obat penunjang lainnya
b. Diumumkan atau disosialisasikan pada pertemuan masyarakat di
pengungsian tentang cara mengakses obat ARV dan obat
penunjang lain.

C. Identifikasi Strategi Untuk Memastikan Akses Terhadap Kondom


Gratis di Situasi Darurat Bencana dan Situasi Pandemic Covid 19
Koordinator perlu memastikan tersedianya kondom sejak masa awal
tanggap darurat krisis kesehatan, karena kondom mampu mencegah
penularan IMS (Infeksi Menular Seksual) dan HIV(Human Immuno
deficiency Viruses). Menurut Johnson, O’Leary & Flores (2018), Kondom
20

memiliki efektivitas hingga 91% untuk mencegah HIV,melalui koordinasi


antara Dinkes, BKKBN, atau lembaga lain.
a. Pastikan pemberian kondom harus dilakukan sesuai dengan sosial
budaya masyarakat setempat (misalnya: melalui fasilitas pelayanan
kesehatan setempat). Kondom diberikan pada kelompok seksual aktif,
penderita IMS dan HIV, kelompok berisiko tinggi tertular IMS dan
HIV (Pasangan Risti, LSL, WPS, Pelanggan PS, Waria, PPS,
Penasun).
b. Sosialisasi cara penggunaan kondom kepada masyarakat yang belum
mengetahui cara penggunaannya. Tetapi apabila masyarakat setempat
belum mengenal dan mengetahui penggunaan kondom perempuan
sebaiknya tidak disediakan.

D. Identifikasi Strategi Untuk Memastikan Transfusi dan Aman


a. Pastikan bank darah berasal dari lembaga yang resmi yaitu Unit
Transfusi Darah (UTD)PMI, UTD pemerintah serta BDRS (Bank
Darah Rumah Sakit) untuk menjamin darah aman digunakan dan
dilakukan difasilitas kesehatan yang mempunyai perlengkapan
dan tenaga kesehatan yang kompeten. Apabila hal tersebut tidak
terpenuhi, transfusi darah tidak boleh dilakukan.
b. Lakukan koordinasi untuk mengetahui contak person/ penanggung
jawab yang dapat dihubungi di UTD PMI dan UTD Pemerintah serta
BDRS setempat untuk pemantauan ketersediaan darah
c. Perhatikan prinsip pelaksanaan tranfusi darah yang rasional meliputi :
1) Tranfusi darah hanya dilakukan untuk keadaan yang
mengancam nyawa dan tidak ada alternatif lain
2) Menggunakan obat-obatan untuk mencegah atau mengurangi
perdarahan aktif (misalnya oksitosin, asam Traxenamat, dll)
d. Lakukan koordinasi dengan puskesmas atau Rumah sakit untuk
penyediaan dan penggunaan cairan pengganti darah seperti cairan
pengganti berbasis kristaloid.
21

Pada situasi saat bencana kebutuhan darah akan meningkat dengan


banyaknya penyintas luka berat dan ringan yang membutuhkan darah.
Transfusi darah yang rasional dan aman (sudah ditapis) sangat penting
untuk mencegah penularan HIV dan infeksi lain yang dapat menular
melalui transfusi (TTI/Transfusion-Transmissible Infection) seperti
Hepatitis B, Hepatitis C dan Sifilis.
a. Berkoordinasi dengan PMI untuk memastikan darah aman &
rasional
b. Jika terjadi bencana besar, ketersediaan darah disuplai dari PMI
c. Mengumpulkan darah hanya dari donor sukarela/ tidak dibayar
d. Memeriksa semua darah yang didonorkan
e. Transfusi hanya dilakukan untuk keadaan yang mengancam nyawa
f. Jika memungkinkan gunakan pengganti darah untuk mengganti
volume darah yang hilang
g. Praktek tranfusi yang aman ditempat tidur, pembuangan kantung,
jarum, tabung yang aman, menghindari transfusi di malam hari.

E. Pemantauan IMS Dalam Situasi Bencana dan Situasi Pandemic Covid


19
1. Pemantauan IMS pada situasi Bencana
Pada situasi bencana dapat terjadi peningkatan risiko penularan HIV
karena faktor-faktor sebagai berikut, misalnya:
a. Kesulitan dalam menerapkan praktik kewaspadaan standar karena
keterbatasan alat dan bahan
b. Terjadinya peningkatan kasus kekerasan seksual yang berpotensi
menularkan HIV
c. Terjadinya peningkatan risiko tranfusi darah yang tidak aman,
d. Terjadi hubungan seksual tidak aman.

HIV dapat ditularkan melalui:


a. Melakukan hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi HIV
22

b. Berbagi jarum suntik atau alat tajam lainnya yang terkontaminasi


HIV
c. Menerima transfusi darah yang terkontaminasi HIV
d. Penularan dari ibu penderita HIV kepada janin/bayi selama
kehamilan, kelahiran atau menyusui

Pencegahan penularan HIV pada situasi krisis kesehatan


difokuskan kepada:
a. Petugas kesehatan
b. Penyintas kekerasan seksual
c. Penerima donor darah baik untuk korban luka maupun untuk ibu
bersalin yang mengalami perdarahan
Prioritas pencegahan penularan HIV
a. Memastikan kegiatan transfuse darah aman dan rasional yang
dilakukan oleh lembaga/organisasi yang bergerak di bidangnya,
misalnya: PalangMerah Indonesia (PMI)
b. Menekankan pentingnya kewaspadaan standar sejak awal
dimulainya koordinasi dan memastikan penerapannya
c. Memastikan ketersediaan dan pemberian profil aksis pasca pajanan
d. Memastikan ketersediaan kondom melalui koordinasi dengan
organisasi dan lembaga yang bekerja di bidang kesehehatan
reproduksi dan keluarga berencana (pemerintah dan non
pemerintah)
e. Memastikan pemberian obat ARV dan IMS terutama pada
perempuan yang terdaftar dalam program PPIA(Pencegahan
Penularan HIV dari Ibu ke Anak)
f. Memasang informasi dengan nomor telepon yang bisa dihubungi
24 jam untuk kelanjutan pengobatan ARV bersama dengan obat
rutin lainnya.

Langkah-langkah/kegiatan yang dilakukan untuk mencegah penularan


HIV adalah:
23

a. Memastikan kegiatan transfuse darah aman dan rasional yang


dilakukan oleh lembaga/organisasi yang bergerak di bidangnya,
misalnya: Palang Merah Indonesia (PMI)
1) Pastikan darah berasal dari lembaga yang resmi yaitu Unit
Transfusi Darah (UTD) PMI, UTD Pemerintah serta BDRS
(Bank Darah Rumah Sakit) untuk menjamin darah aman
digunakan dan dilakukan di fasilitas kesehatan yang
mempunyai perlengkapan dan tenaga kesehatan yang
kompeten. Apabila hal tersebut tidak terpenuhi, transfuse darah
tidak boleh dilakukan.
2) Lakukan koordinasi untuk mengetahui contact
person/penanggung jawab yang dapat di hubungi di UTD PMI
dan UTD Pemerintah serta BDRS setempat untuk pemantauan
ketersediaan darah.
3) Perhatikan prinsip pelaksanaan transfuse darah yang rasional
meliputi:
a) Transfusi darah hanya dilakukan untuk keadaan yang
mengancam nyawa dan tidak ada alternatif lain
b) Menggunakan obat-obatan untuk mencegah atau
mengurangi perdarahan aktif (misalnya Oksitosin, Asam
Tranexamat,dll)
c) Lakukan koordinasi dengan puskesmas atau rumah sakit
untuk penyediaan dan penggunaan cairan pengganti darah
seperti cairan pengganti berbasis kristaloid.
b. Menekan kan pentingnya kewaspadaan standar sejak awal
dimulainya koordinasi dan memastikan penerapannya
1) Berkoordinasi dengan organisasi atau lembaga mitra sector
kesehatan terkait untuk memastikan penerapan kewaspadaan
standar tetap dilakukan setiap saat, meskipun pada situasi
krisis kesehatan.
2) Berkoordinasi dengan klaster kesehatan untuk penyediaan alat-
alat, bahandan media KIE untuk penerapan kewaspadaan
24

standar (misalnya, masker, sarung tangan, apron, sepatu boot,


leaflet, poster, dll) kepada tenaga kesehatan, fasilitas pelayanan
kesehatan, dan posko-posko kesehatan.

c. Memastikan ketersediaan dan pemberian profilaksis pasca pajanan


1) Memastikan ketersediaan Profilaksis Pasca Pajanan (PPP) di
layanan kesehatan
2) Memastikan petugas mengetahui PPP sebagai paket tindakan
pencegahan standar untuk mengurangi risiko penularan infeksi
di tempat kerja (mengidentifikasi dan menentukan petugas
yang bertanggung jawab untuk melayani kebutuhan PPP)
3) Pasang pengumuman/informasi tentang cara-cara pertolongan
pertama di ruang-ruang kerja dan informasi kan kepada semua
petugas bagaimana mengakses perawatan untuk keterpaparan.
4) Menyelenggarakan sesi orientasi di pelayanan kesehatan
mengenai tindakan kewaspadaan standar untuk para petugas
kesehatan dan petugas lain.
5) Menetapkan sistem pengawasan dan melakukan observasi
dengan menggunakan daftar tilik (check list) sederhana untuk
memastikan kepatuhan terhadap kewaspadaan standar,
misalnya dengan memperhatikan kebiasaan cuci tangan,
pembuangan limbah tajam, cara membersihkan tumpahan
darah dan cairan tubuh lainnya, dll.
d. Memastikan ketersediaan kondom melalui koordinasi dengan
organisasi dan lembaga yang bekerja di bidang kesehehatan
reproduksi dan keluarga berencana (pemerintah dan non
pemerintah).
Koordinator perlu memastikan tersedianya kondom sejak masa
awal tanggap darurat krisis kesehatan, karena kondom mampu
mencegah penularan IMS dan HIV, melalui koordinasi antara
Dinkes, BKKBN, atau lembaga lain.
25

1) Pastikan pemberian kondom harus dilakukan sesuai dengan


budaya masyarakat setempat (misalnya: melalui fasilitas
kesehatan setempat). Kondom diberikan pada kelompok
seksual aktif, penderita IMS dan HIV, kelompok berisiko
tinggi tertular IMS dan HIV.
2) Berikan informasi cara penggunaan kondom kepada
masyarakat yang belum mengetahui cara penggunaannya.
Untuk kondom perempuan, sebaiknya tidak disediakan apabila
masyarakat belum mengenal dan mengetahuinya.
e. Memastikan pemberian obat ARV dan IMS terutama pada
perempuan yang terdaftar dalam program PPIA (Pencegahan
Penularan HIV dari Ibu ke Anak)
1) Memastikan ketersediaan data ODHA, layanan ARV dan
layanan HIV/AIDS lainnya di wilayah tersebut. Data dapat
diper oleh dari puskemas, LSM atau kelompok dukungan
sebaya yang menjadi pendamping minum obat ARV.
Pemberian ARV dapat dilakukan di puskesmas dan rumah
sakit oleh petugas kesehatan yang terlatih.
a) Puskesmas: memberikan ARV untuk orang dengan HIV
AIDS (ODHA) tanpa komplikasi.
b) Rumah Sakit:
a. Memberikan ARV untukibuhamildengan HIV
b. Memberikan ARV profilaksisuntukbayi yang
lahirdariibu HIV,
c. Pasien yang memiliki infeksi opor tunistik dirawat di
rumah sakit.
c) Pastikan saat krisis kesehatan pemberian ARV tidak boleh
terputus oleh karena itu penanggung jawab komponen
pencegahan HIV/AIDS harus berkoordinasi dengan
penyedia layanan ARV.
26

2) Memasang informasi dengan nomor telepon yang bisa


dihubungi 24 jam untuk kelanjutan pengobatan ARV bersama
dengan obat rutin lainnya.

Informasi ketersediaan ARV maupun obat lainnya perlu


diketahui oleh ODHA, untuk memudahkan akses terhadap
terapinya. Penanggung jawab komponen pencegahan
HIV/AIDS mengkoordinasikan:
a) Di setiap layanan kesehatan ditempatkan papan informasi
terkait nama petugas, nomor kontak dan lokasi untuk
mengakses ARV danobat penunjang lainnya
b) Diumumkan atau disosialisasi kan pada pertemuan
masyarakat di pengungsian tentang cara mengakses obat
ARV dan obat penunjang lainnya.
2. Pemantauan IMS pada masa Pandemi Covid-19
ODHA memerlukan ARV dan pemantauan kesehatan secara rutin
agar virus dapat ter-supresi, imunitas meningkat, dapat melawan
penyebab penyakit dan sehat. Disaat Pandemi Covid-19 diperlukan
perhatian dan tindakan khusus agar dapat tetap sehat dan mengurangi
tertular/menularkan.
Orang dengan HIV (ODHA) terutama dengan CD4 rendah serta
dengan infeksi HIV lanjut lebih rentan untuk terinfeksi bakteri,
protozoa, jamur serta virus dibandingkan dengan populasi umum. Saat
ini belum ada data yang menunjukan bahwa ODHA yang stabil dalam
ART memiliki risiko lebih tinggi untuk terinfeksi corona virus (SARS-
CoV2) atau mengalami Covid-19 yang berat. ODHA dapat terinfeksi
melalui droplet yang berasal dari batuk/bersin orang yang terinfeksi,
dan droplet ini masuk melalui hidung, mulut dan mata, kontak erat
serta kontak tidak langsung dengan permukaan benda terkontaminasi.
ODHA perlu waspada terhadap gejala dan tanda Covid-19, yaitu :
a) Demam sedang hingga tinggi
b) Batuk kering
c) Sakit tenggorokan
27

d) Hidung berair
e) Lelah/letih
f) Pada beberapa orang dapat mengalami diare dan muntah

Layanan HIV-AIDS (ARV-PDP)


a) Layanan memastikan tersedianya Universal Precaution/APD dan
Hand Sanitizer dipintu masuk, dan masker untuk yang batuk
b) Dahulukan pasien dengan batuk, demam dan yang dengan gejala
flu lain untuk dipastikan bukan Covid-19
c) Batasi ODHA yang datang, utamakan yang batuk/ bergejala
d) Berikan ARV multi month scripting atau pemberian dua (2) bulan
bagi ODHA yang stabil dan selektif
e) Berikan ARV pada satu anggota keluarga saja jika pasangan dan
atau anak juga ODHA
f) Untuk pasien yang memerlukan konsultasi, siapkan kontak person
dari layanan
g) Namun bagi ODHA dengan IO, advanced disease atau pertama kali
mendapat ARV, mereka membutuhkan untuk control perbulan
h) Pastikan ketersediaan obat
i) Ikuti pedoman nasional Pengendalian Infeksi
j) Tampilkan poster dan media KIE lain untuk PHBS
Bagi siapapun yang bergejala dan merasa terinfeksi dirujuk
kelayanan yang ditunjuk untuk evaluasi dan penanganan lebih lanjut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
IMS merupakan masalah kesehatan yang cukup besar di
seluruh dunia. WHO memperkirakan lebih dari 340 juta kasus baru
dari empat IMS yang dapat disembuhkan (gonorhoe, chlamydia,
syphilis dan trichomoniasis). Pada situasi bencana dimana keadaan
tidak stabil, potensi terjadinya kekerasan seksual dapat meningkat
terutama saat situasi mulai mengarah pada terjadinya konflik
sosial. Pada situasi bencana dapat terjadi peningkatan risiko
penularan HIV karena faktor-faktor sebagai berikut, misalnya:
1. Kesulitan dalam menerapkan praktik kewaspadaan standar
karena keterbatasan alat dan bahan.
2. Terjadinya peningkatan kasus kekerasan seksual yang
berpotensi menularkan HIV.
3. Terjadinya peningkatan risiko tranfusi darah yang tidak aman.
4. Terjadi hubungan seksual tidak aman.
Pencegahan penularan HIV pada situasi krisis kesehatan
difokuskan kepada:
a. Petugas kesehatan
b. Penyintas kekerasan seksual
c. Penerima donor darah baik untuk korban luka maupun untuk
ibu bersalin yang mengalami perdarahan
29

DAFTAR PUSTAKA
https://indonesia.unfpa.org/sites/default/files/pubpdf/FINAL%20Pedoman
%20PPAM%20-%20Bahasa.pdf diakses pada tanggal 15 Januari 2021
pukul 19.07 WIB
https://dktindonesia.org/articles/ini-realita-hiv-di-masa-pandemi-dan-
strategi-pencegahannya/diakses pada tanggal 15 Januari 2021 pukul
19.23 WIB
https://www.ibi.or.id/media/Webinar%20IDM%202020/IDM
%202020%20BKKBN.pdf diakses pada tanggal 15 Januari 2021 pukul
19.34 WIB
https://infeksiemerging.kemkes.go.id/download/Protokol_Penanganan_Ka
sus_Kekerasan_terhadap_Perempuan_di_Masa_Pandemi_COVID-
19.pdf diakses pada tanggal 15 Januari 2021 pukul 20.06 WIB
Emi, dkk. 2019. Paketpelayanan awal minimum (ppam) Kesehatan
reproduksi (kespro) Pada krisis Kesehatan (situasi tanggap darurat
bencana).Jakarta : PPIBI

Anda mungkin juga menyukai