Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

INFEKSI SALURAN KEMIH PADA ANAK

Disusun Sebagai Tugas Mengikuti Kepaniteraaan Klinik Senior


Bagian Penyakit Anak
Rumah Sakit Haji Medan Sumatera Utara

Pembimbing :

dr. Syarifah Mahlisa Soraya Sp.A

Disusun Oleh :

Eka Saptaning Windu Fitri (20360139)

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat

rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proses penyusunan

Laporan kasus ini dengan judul “Infeksi Saluran Kemih”. Penyelesaian Laporan

kasus ini banyak bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu adanya kesempatan ini

penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sangat tulus kepada dr. Syarifah

Mahlisa Soraya Sp.A selaku pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu,

petunjuk, nasehat dan kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan Laporan kasus

ini.

Penulis menyadari baha Laporan kasus ini tentu tentu tidak lepas dari kekurangan

karena kebatasan waktu, tenaga dan pengetahuan penulis. Maka sangat diperlukan

masukan dan saran yang membangun. Semoga Laporan kasus ini dapat memberikan

manfaat.

Medan, Juni 2021

i
Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

LAPORAN KASUS................................................................................................1

RESUME................................................................................................................ 9

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................28

ii
1

STATUS PASIEN

Nama : Latif Raffasya


No. RM : 363403
Tanggal Masuk : 13-07-2021
Dokter : dr. Nurdiani, Sp.A

1. Identitas Pribadi

Nama Pasien : Latif Raffasya


Umur : 3 bulan
Jenis Kelamin : laki-laki

2. Riwayat Penyakit Saat Ini


Keluhan Utama :
Keluhan Tambahan : Susah BAK, Muntah, Penurunan berat badan

Telaah : Pasien usia 3 bulan datang dibawa orang tuanya ke Rumah


Sakit Haji Medan dengan keluhan demam. Demam dialami
sejak 9 hari, demam bersifat naik turun. Demam disertai
muntah sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit, setiap
diberikan asi os selalu memuntahkannya. Orang tua os
mengatakan memberikan paracetamol ketika os demam. Orang
tua os juga mengatakan bahwa pasien sulit buang air kencing
dengan urin bewarna putih seperti susu dan berbau, kondisi os
terpasang kateter pasca operasi uretroscope. Penurunan berat
badan sebanyak 400 gram, dari 4 kg menjadi 3,6 kg.
Riwayat Penyakit Terdahulu : hidronefrosis bilateral, post uretroscope e.c destruksi
uretral valve
Riwayat Penyakit Keluarga :-
2

Riwayat Kelahiran : Normal Vacum Forceps


Sectio Caesaria
a. Ditolong Oleh : Dokter Bidan Lainnya
b. Keadaan Saat Lahir : Segera Menangis Tidak Segera
Menangis
c. BBL : 2900 gram

Riwayat Imunisasi :

BCG :-
Polio : 3 kali
Hepatitis B :-
DPT :-
Campak :-

Jenis Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24
Imunisasi
Hepatitis B
BCG
Polio √ √ √
DPT
Campak
Riwayat Perkembangan:

Usia 3 bulan

Belajar mengangkat kepala


Menahan benda yang dipegang
Mengikuti objek dengan mata
Mengoceh spontan
Mengenal ibu melalui penglihatan, pendengeran, penciuman.
3

Kesimpulan : perkembangan sesuai dengan umurnya dan tidak didapatkan kegagalan


perkembangan

Riwayat Nutrisi

ASI masih diberikan pada usia 3 bulan, Kurang lebih 11 kali/hari atau setiap
menangis
Glasgow Coma Scale

RESPON SCORE
EYE
Membuka mata spontan (Normal) 4
Dengan kata-kata akan membuka mata bila diminta 3 4
Membuka mata bila diberikan rangsangan nyeri 2
Tidak membuka mata walaupun dirangsang nyeri 1
VERBAL
Bicara jelas atau tersenyum menuruti perintah 5
Menangis tapi bisa dibujuk 4
Menangis tidak bisa dibujuk 3 5
Gelisah, agitasi 2
Tidak ada respon 1
MOTORIK
Dapat menggerakkan seluruh ekstremitas sesuai dengan permintaan 6
Dapat menggerakkan ekstremitas secara terbatas karena nyeri (lokalisasi 5
nyeri)
Respons gerakan menjauhi rangsangan nyeri (menarik karena nyeri) 4 6
Fleksi ekstremitas karena nyeri 3
Ekstensi ekstremitas karena nyeri 2
4

Tidak ada respon berupa gerak 1


TOTAL 15 15
Nilai 12-14 : Gangguan Kesadaran Ringan

Nilai 9-11 : Gangguan Kesadaran Sedang

Nilai <8 : Coma

3. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum

Kesan keadaan sakit : Tampak sakit sedang

Sensorium : Kualitatif : Compos Mentis

Kuantitatif : GCS 15 (E=4 V=5 M= 6)

Nadi :120 x/i

Pernafasan :40 x/i

Temperature :36,7 °C

Tekanan Darah :-

Data Antropometri

Berat Badan :3600 Kg

Tinggi Badan :55 Cm

Lingkar Lengan Atas :-

Lingkar Kepala :38 Cm

Status Gizi
5

BB/Umur : -2SD Sampai +3SD (BB Cukup)

TB/Umur : < -2SD Sampai -3SD (Pendek)

BB/TB : +2 Sampai +3 (Gizi Lebih)

Kesimpulan : Normoweight

1. Pemeriksaan Fisik
Kulit
a. Sianosis :tidak ditemukan
b. Ikterus :tidak ditemukan
c. Pucat :tidak ditemukan
d. Turgor :kembali cepat
e. Edema :tidak ditemukan
f. Lainnya :-
Rambut :Hitam dan bersih
Kepala :Normal
a Wajah :Simetris
b Mata :Konjungtiva = sedikit cekung, hyperimis (-/-),
Pucat (-/-), Sekret (-/-), Pupil isokor(+/+), reflek cahaya
(+/+)
c Hidung :DBN
d Mulut :Bibir kering
e Telinga :DBN
f Leher :Tidak ada Pembesaran KGB, kelenjar tiroid tidak
teraba
g Thorax : Inspeksi : simetris kanan = kiri
Palpasi : Ekspansi dada simetri kanan = kiri
Perkusi : sonor dikedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler
6

h Abdomen :Inspeksi : simetris, dalam batas normal


Palpasi : soepel, turgor < 2 detik
Auskultasi : bising usus (+)
Perkusi : tympani
i Genitalia :penis terpasang kateter, anus (+)
j Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tanggal 14 juli 2021
Jenis Pemeriksaan Hasil
Darah Lengkap
Hemoglobin 8.7 g/dl
Hitung eritrosit 3,50 sel/ml
Hitung leukosit 54.60 /ul
Hematocrit 25.1 %
Trombosit 745 /ul
MCV 72 fL
MCH 25 Pg
MCHC 35 %
Eosinophil 0%
Basophil 0%
Neutrofil Segmen 74
Limfosit 24 %
Monosit 2%
Total Lymphosit 12.89 /uL
Total Basofil 0.01 /uL
Total Monosit 1.33 /uL
Total Eosinofil 0 /uL
Total Neutrofil 40.4 /uL
7

Urine Rutin
Warna Urin Kuning
Kejernihan Jernih
Kimia
pH 6.50
Berat Jenis 10.15
Protein Urin 2+
Leukosit esterase +2
Elektrolit

Natrium (Na) 133


Imunoserologi

CRP Kuantitatif 150.9


USG ginjal

Hasil :
Ginjal : kedua ginjal ukuran normal, sistem pelvocalises melebar
Vesica Urinaria : tidak terisi penuh dinding tampak menebal
Kesan :
Hydronefrosis Bilateral
8

Cystitis

Radiologi dengan kontras : BNO/IVP

Hasil :
- Dilakukan IVP dengan memasukan kontras IV.
- Pada menit ke 5 kontras mengisi pelvicalyses kanan-kiri
- calyx calyx ginjal kanan-kiri flattening-clubbing
- pada menit ke 30 tampak vesica urinaria terisi penuh
Kesan :
Hydronefrosis Bilateral e.c ?
9

RESUME

Pasien usia 3 bulan datang dibawa orang tuanya ke Rumah Sakit Haji Medan
dengan keluhan demam. Demam dialami sejak 9 hari, demam bersifat naik turun.
Demam disertai muntah sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit, setiap diberikan asi
os selalu memuntahkannya. Orang tua os mengatakan memberikan paracetamol
ketika os demam. Orang tua os juga mengatakan bahwa pasien sulit buang air
kencing dengan urin bewarna putih seperti susu dan berbau, kondisi os terpasang
kateter pasca operasi uretroscope. Penurunan berat badan sebanyak 4 ons, dari 4 kg
menjadi 3,6 kg.

! Kesan Keadaan Sakit :Tampak sakit sedang


! Sensorium :Compos mentis
! HR :120 x/i
! RR :40 x/i
! T :36,7 °C
! BB :3,6 Kg
! TB :55 Cm
! Lingkar lengan atas :-
! Lingkar Kepala :38 Cm

! Status Gizi

BB/Umur : <-3SD (BB Sangat Kurang)

TB/Umur : < -3SD ( Sangat Pendek)

BB/TB : <-2 SD Sampai -3 SD (Gizi Kurang)


10

Kesan : Normoweight

! Kulit : sianosis (-), icterus (-), pucat (-), edema (-)


! Rambut :Hitam dan Bersih
! Wajah :Simetris
! Mata :pupil isokor (+/+), konjungtiva (-/-),
! Hidung :DBN
! Mulut :Bibir kering
! Telinga :DBN
! Leher :DBN
! Thorax :DBN
! Abdomen :Peristaltik Usus (+), nyeri tekan (-)
! Ekstremitas :DBN
! Anogenital :Laki- laki , Anus (+)

DIAGNOSA BANDING
1.ISK + Dehidrasi ringan sedang + anemia
2.DHF + Dehidrasi ringan sedang + anemia
3.Demam Thypoid + Dehidrasi ringan sedang + anemia

DIAGNOSA
ISK + Dehidrasi ringan sedang + anemia

TERAPI

IVFD RL 100 gtt/ menit

kaEn 3B 20 gtt/mikro
11

Kotrimoxazole 2x2,5 cc

Meropenem 200 mg/ 12 jam

Paracetamol drop 4x0,5 cc

Follow Up

Tanggal S O A P
13/07/2021 Susah BAK T = 35,0°C Anuria + Post IVFD RL 20 gtt/mikro
Muntah (+) HR = 126 x/i Dehidrasi Inj. Ceftriaxone 300 mg/ 24
RR = 24x/i sedang + post jam
SpO2 = 96 % retensi urine Notrimoxazole syr 2x2,5 cc
BB = 3,6 kg Cotrimoxazole 2x2,5 cc
Paracetamol drop 4x0,5 cc

14/07/2021 BAK melalui T = 35,6°C ISK + post IVFD RL 20 gtt/mikro


Kateter, HR = 125 x/i dehidrasi + Inj. Ceftriaxone 300 mg/ 24
Demam (-) RR = 24x/i anemia + Post jam
BAK (+) SpO2 =96 % retensi urine Notrimoxazole syr 2x2,5 cc
Pucat (+) BB = 3,65 kg ec destruksi Cotrimoxazole 2x2,5 cc
urether velvue Paracetamol drop 4x0,5 cc
Ferlin 2x0,5 cc

15/06/2021 BAK melalui T = 35,6°C ISK + IVFD KaEN 3 B 20 gtt/ mikro


kateter (+) HR = 126 x/i dehidrasi Meropenem 200 mg/12 jam
Composmentis RR = 24x/i ringan sedang Cotrimoxazole 2x2,5 cc
SpO2 = 96 % + anemia + Paracetamol drop 2x0,5 cc
BB = 3,75 kg Post retensi Ferlin 2x0,5 cc
12

urine ec Transfusi PRC 50cc/12 jam


destruksi
urether velvue
16/06/2021 Composmentis T = 36,0 °C ISK + IVFD KaEN 3 B coor 100 gtt/
BAK banyak HR = 125 x/i dehidrasi jam dibagi 20 gtt/I mikro
RR = 24x/i ringan sedang Meropenem 200 mg/12 jam
SpO2 = 99 % + anemia + Notrimoxazole 2x2,5 cc
BB = 3,35 kg Post retensi Paracetamol drop 2x0,5 cc
urine ec Ferlin 2x0,5 cc
destruksi Transfusi PRC 50cc/12 jam
urether velvue
13

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi

Infeksi saluran kemih (ISK) didefinisikan dengan tumbuh dan berkembang


biaknya bakteri atau mikroba dalam saluran kemih dalam jumlah bermakna. Pada
anak, gejala klinis ISK sangat bervariasi, dapat berupa ISK asimtomatik hingga gejala
yang berat yang dapat menimbulkan infeksi sistemik. Oleh karena manifestasi klinis
yang sangat bervariasi dan sering tidak spesifik, penyakit ini sering tidak terdeteksi
hingga menyebabkan komplikasi gagal ginjal. Infeksi saluran kemih perlu dicurigai
pada anak dengan gejala demam karena ISK merupakan penyakit infeksi yang sering
ditemukan pada anak selain infeksi saluran nafas akut dan infeksi saluran cerna.
1.2 Etiologi

Infeksi saluran kemih disebabkan berbagai jenis mikroba, seperi bakteri, virus,
dan jamur. Penyebab ISK paling sering adalah bakteri Escherichia coli. Bakteri lain
yang juga menyebabkan ISK adalah Enterobacter sp, Proteus mirabilis, Providencia
stuartii, Morganella morganii, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa,
Staphylococcus epidermidis, Streptococcus faecalis, dan bakteri lainnya. Bakteri
Proteus dan Pseudomonas sering dikaitkan dengan ISK berulang, tindakan
instrumentasi, dan infeksi nosokomial. Bakteri patogen dengan virulensi rendah
maupun jamur dapat sebagai penyebab ISK pada pasien dengan imunokompromais.
Infeksi Candida albicans relatif sering sebagai penyebab ISK pada imunokompromais
dan yang mendapat antimikroba jangka lama.
1.3 Epidemiologi

ISK merupakan penyakit yang relatif sering pada anak. Kejadian ISK tergantung
pada umur dan jenis kelamin. Prevalensi ISK pada neonatus berkisar antara 0,1%
hingga 1%, dan meningkat menjadi 14% pada neonatus dengan demam, dan 5,3%
pada bayi. Pada bayi asimtomatik, bakteriuria didapatkan pada 0,3 hingga 0,4%.13
Risiko ISK pada anak sebelum pubertas 3-5% pada anak perempuan dan 1-2% pada
14

anak laki. Pada anak dengan demam berumur kurang dari 2 tahun, prevalensi ISK 3-
5%.

1.4 Faktor Risiko

Faktor risiko ISK bergantung pada jenis kelamin, usia, faktor kolonisasi
periuretra, daya tahan tubuh, gangguan kemampuan mengontrol kandung kemih, dan
pola berkemih. kelainan genitalia eksterna seperti fimosis, hipospadia, epispadia pada
anak lelaki atau sinekia vagina pada anak wanita merupakan faktor risiko ISK pada
jenis kelamin tertentu. Faktor risiko lainnya adalah pemakaian bubble buth, pakaian
dalam terlalu sempit, pemakaian deodoran yang iritatif (khususnya pada anak
perempuan), konstipasi, dan preputium belum disirkumsisi.

1.5 Klasifikasi

ISK pada anak dapat dibedakan berdasarkan gejala klinis, lokasi infeksi, dan
kelainan saluran kemih.

Berdasarkan gejala
ISK Asimtomasik
Terdapatnya bakteriuria bermakna tanpa gejala
ISK Simtomatik
Terdapatnya bakteriuria bermakna disertai gejala dan tanda klinik
ISK Non spesifik
ISK yang sulit digolongkan ke dalam pielonefritis atau sistitis baik secara
gejala klinis maupun pemeriksaan penunjang

Berdasarkan Lokasi Infeksi


ISK Atas ( Pielonefritis ) resiko terjadinya parut ginjal sangat bermakna
ISK Bawah ( Sistitis atau Urethritis )
15

Berdasarkan Kelainan Saluran Kemih


ISK Simplek
ISK tanpa kelainan struktural maupun fungsional saluran kamih
ISK Kompleks
Isk yang disertai kelainan anatomik dan atau fungsional saluran kemih yang
menyebabkan stasis ataupun aliran balik (refluks) urin. Kelainan saluran
kemih berupa RVU (Refluks vesiko ureter), batu saluran kemih, obstruksi,
anomali saluran kemih, buli-buli neurogenik, benda asing, dan sebagainya.

Berdasarkan NICE (National Institute for Health and Clinical Excellence)


ISK Atipikal
Keadaan pasien yang sakit berat, diuresis sedikit, terdapat massa abdomen
atau kandung kemih, peningkatan kreatinin darah, septikemia, tidak
memberikan repon terhadap antibiotik dalam 48 jam, serta disebabkan oleh
kuman non E.coli.
ISK Berulang
ISK yang terdapat dua kali atau lebih episode pielonefritis akut (ISK atas)
atau satu episode pielonefritis akut (ISK atas) disertai satu atau lebih episode
sistitis (ISK bawah) atau tiga atau lebih episode sistitis (ISK bawah).

1.6 Manifestasi Klinis

Gejala klinik ISK pada anak sangat bervariasi, ditentukan oleh intensitas
reaksi peradangan, letak infeksi (ISK atas dan ISK bawah), dan umur pasien. Gejala
klinis pada neonatus dan bayi tidak spesifik sehingga perlu ketelitian untuk menilai
hal tersebut. Demam, tidak mau minum, berat badan tidak naik (failure to thrive),
hematuria, urine bau bususk, dan icterus merupakan gejala yang dapat dijumpai pada
bayi. Icterus tanpa demam sering timbul pada anak yang berusia kurang dari 8
minggu. Pada anak yang berusia antara 2 bulan sampai 2 tahun yang mengalami
16

demam tinggi tanpa diketahui penyebabnya dapat dianggap sebagai pielonefritis.


Kemampuan neonatus mengatasi infeksi yang belum berkembang menyebabkan
mudah terjadi sepsis atau meningitis, terutama pada neonatus dengan kelainan saluran
kemih.

Pada bayi sampai satu tahun, gejala klinik dapat berupa demam, penurunan
berat badan, gagal tumbuh, nafsu makan berkurang, cengeng, kolik, muntah, diare,
ikterus, dan distensi abdomen. Pada palpasi ginjal anak merasa kesakitan. Demam
yang tinggi dapat disertai kejang. Pada umur lebih tinggi yaitu sampai 4 tahun, dapat
terjadi demam yang tinggi hingga menyebabkan kejang, muntah dan diare bahkan
dapat timbul dehidrasi. Pada anak besar gejala klinik umum biasanya berkurang dan
lebih ringan, mulai tampak gejala klinik lokal saluran kemih berupa polakisuria,
disuria, urgency, frequency, ngompol, sedangkan keluhan sakit perut, sakit pinggang,
atau pireksia lebih jarang ditemukan.

Pada pielonefritis dapat dijumpai demam tinggi disertai menggigil, gejala


saluran cerna seperti mual, muntah, diare. Tekanan darah pada umumnya masih
normal, dapat ditemukan nyeri pinggang. Gejala neurologis dapat berupa iritabel dan
kejang. Nefritis bakterial fokal akut adalah salah satu bentuk pielonefritis, yang
merupakan nefritis bakterial interstitial yang dulu dikenal sebagai nefropenia lobar.
Pada sistitis, demam jarang melebihi 38◦C, biasanya ditandai dengan nyeri
pada perut bagian bawah, selalu berkemih (frequency), nyeri waktu berkemih, sakit
didaerah suprapubik, urgensi, kesulitan berkemih / retensi urin, dan enuresis.

1.7 Patofisiologi

Perjalanan mikroorganisme ke dalam saluran kemih dapat terjadi secara


asendens, hematogen limfatik, dan juga ekstensi langsung. Bakteri E. coli misalnya,
memiliki P. fimbriae yang dapat melekat pada sel uroepitel. Selanjutnya, terjadi
kerusakaan/parut ginjal (pada pielonefritis) akibat endotoksin bakteri yang akan
memicu system kekebalan tubuh (innate immune system). Hal ini akan merangsang
17

pengeluaran sitokin, kemokin, dan berbagai faktor inflamasi. Respons inflamasi akan
menyebabkan 3 hal utama, yaitu peningkatan permeabilitas vaskuler, serta
pengambilan/recruitment neutrofil untuk meredakan infeksi dan pembentukan
skar/jaringan parut
1.8 Pemeriksaan laboratorium

1.8.1 Urinalisis

Pemeriksaan urinalisis meliputi leukosituria, nitrit, leukosit esterase, protein,


dan darah. Leukosituria merupakan petunjuk kemungkinan adanya bakteriuria,
tetapi tidak dipakai sebagai patokan ada tidaknya ISK. Leukosituria biasanya
ditemukan pada anak dengan ISK (80-90%) pada setiap episode ISK simtomatik,
tetapi tidak adanya leukosituria tidak menyingkirkan ISK. Bakteriuria dapat juga
terjadi tanpa leukosituria. Leukosituria dengan biakan urin steril perlu
dipertimbangkan pada infeksi oleh kuman Proteus sp., Klamidia sp., dan
Ureaplasma urealitikum. Pemeriksaan dengan stik urin dapat mendeteksi adanya
leukosit esterase, enzim yang terdapat di dalam lekosit neutrofil, yang
menggambarkan banyaknya leukosit dalam urin. Uji nitrit merupakan pemeriksaan
tidak langsung terhadap bakteri dalam urin. Dalam keadaan normal, nitrit tidak
terdapat dalam urin, tetapi dapat ditemukan jika nitrat diubah menjadi nitrit oleh
bakteri. Sebagian besar kuman Gram negatif dan beberapa kuman Gram positif
dapat mengubah nitrat menjadi nitrit, sehingga jika uji nitrit positif berarti terdapat
kuman dalam urin. Urin dengan berat jenis yang tinggi menurunkan sensitivitas uji
nitrit.

Neutrophil gelatinase associated lipocalin urin (uNGAL) dan rasio uNGAL


dengan kreatinin urin (uNGAL/Cr) merupakan petanda adanya ISK. NGAL adalah
suatu iron-carrier-protein yang terdapat di dalam granul neutrofil dan merupakan
komponen imunitas innate yang memberikan respon terhadap infeksi bakteri.
Peningkatan uNGAL dan rasio uNGAL/Cr > 30 ng/mg merupakan tanda ISK.
18

Bakteri sulit dilihat dengan mikroskop cahaya, tetapi dapat dilihat dengan
mikrokop fase kontras. Pada urin segar tanpa dipusing (uncentrifuged urine),
terdapatnya kuman pada setiap lapangan pandangan besar (LPB) kira-kira setara
dengan hasil biakan 107 cfu/mL urin, sedangkan pada urin yang dipusing,
terdapatnya kuman pada setiap LPB pemeriksaan mikroskopis menandakan jumlah
kuman lebih dari 105 cfu/mL urin. Jika dengan mikroskop fase kontras tidak terlihat
kuman, umumnya urin steril.
1.8.2 Pemeriksaan darah

Berbagai pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk membantu


menegakkan diagnosis dan membedakan ISK atas dan bawah, namun sebagian besar
pemeriksaan tersebut tidak spesifik. Leukositosis, peningkatan nilai absolut neutrofil,
peningkatan laju endap darah (LED), C-reactive protein (CRP) yang positif,
merupakan indikator non-spesifk ISK atas. Kadar prokalsitonin yang tinggi dapat
digunakan sebagai prediktor yang valid untuk pielonefritis akut pada anak dengan
ISK febris (febrile urinary tract infection) dan skar ginjal. Sitokin merupakan protein
kecil yang penting dalam proses inflamasi. Prokalsitonin, dan sitokin proinflamatori
(TNF-α; IL-6; IL-1β) meningkat pada fase akut infeksi, termasuk pada pielonefritis
akut.
1.8.3 Biakan Urin

1.8.3.1 Cara pengambilan specimen urin

Pengambilan sampel urin untuk biakan urin dapat dilakukan dengan cara
aspirasi suprapubik, kateter urin, pancar tengah (midstream), dan menggunakan urine
collector. Cara terbaik untuk menghindari kemungkinan kontaminasi ialah dengan
aspirasi suprapubik, dan merupakan baku emas pengambilan sampel urin untuk
biakan urin. Teknik pengambilan urin pancar tengah merupakan metode non-invasif
yang bernilai tinggi, dan urin bebas terhadap kontaminasi dari uretra. Pada bayi dan
anak kecil, urin dapat diambil dengan memakai kantong penampung urin (urine bag
19

atau urine collector). Pengambilan sampel urin dengan metode urine collector,
merupakan metode yang mudah dilakukan, namun risiko kontaminasi yang tinggi
dengan positif palsu hingga 80%. Child Health Network (CHN) guideline (2002)
hanya merekomendasikan 3 teknik pengambilan sampel urin, yaitu pancar tengah,
kateterisasi urin, dan aspirasi supra pubik, sedangkan pengambilan dengan urine bag
tidak digunakan.

Pengiriman bahan biakan ke laboratorium mikrobiologi perlu mendapat


perhatian karena bila sampel biakan urin dibiarkan pada suhu kamar lebih dari ½ jam,
maka kuman dapat membiak dengan cepat sehingga memberikan hasil biakan positif
palsu. Jika urin tidak langsung dikultur dan memerlukan waktu lama, sampel urin
harus dikirim dalam termos es atau disimpan di dalam lemari es. Urin dapat disimpan
dalam lemar es pada suhu 4◦C, selama 48-72 jam sebelum dibiak.

1.8.3.2 Interpretasi biakan urin

Interpretasi hasil biakan urin bergantung pada teknik pengambilan sampel urin,
waktu, dan keadaan klinik. Untuk teknik pengambilan sampel urin dengan cara
aspirasi supra pubik, semua literatur sepakat bahwa bakteriuria bermakna adalah jika
ditemukan kuman dengan jumlah berapa pun. Namun untuk teknik pengambilan
sampel dengan cara kateterisasi urin dan urin pancar tengah, terdapat kriteria yang
berbeda-beda.
Berdasarkan kriteria Kass, dengan kateter urin dan urin pancar tengah dipakai
jumlah kuman ≥ 105 cfu per mL urin sebagai bakteriuria bermakna, pendapat lain
menyebutkan bermakna jika jumlah kuman > 50x103 cfu/mL, dan ada yang
menggunakan kriteria bermakna dengan jumlah kuman > 104 cfu/mL. Menurut
Paschke, 2010 batasan ISK dengan jumlah kuman > 50x 103 cfu/mL untuk teknik
pengambilan urin dengan midstream/clean catch, sedangkan pada neonatus, Menurut
Lin dkk. (1999) menggunakan jumlah > 105 cfu/mL, dan Menurut Baerton dkk.,
menggunakan batasan kuman > 104 cfu/mL jika sampel urin diambil dengan urine
20

bag.
Cara dipslide adalah cara biakan urin yang dapat dilakukan setiap saat dan di
mana saja, tetapi cara ini hanya dapat menunjukkan ada tidaknya kuman, sedang
indentifikasi jenis kuman dan uji sensitivitas memerlukan biakan cara konvensional.

1.9 Diagnosis banding

Terdapat banyak kondisi masa anak yang menyebabkan demam dan sulit
BAK ISK, namun tidak semua demam dan sulit BAK adalah ISK. Kesalahan
diagnosis underdiagnosis atau Overdiagnosis dapat sangat merugikan,
Underdiagnosis dapat berakibat penyakit berlanjut kearah kerusakan ginjal, dan jika
Overdiagnosis menyebabkan anak akan menjalankan pemeriksaan dan pengobatan
yang tidak perlu.

1.10 Tatalaksana

Tata laksana ISK didasarkan pada beberapa faktor seperti umur pasien, lokasi
infeksi,gejala klinis, dan ada tidaknya kelainan yang menyertai ISK. Sistitis dan
pielonefritis memerlukan pengobatan yang berbeda. Keterlambatan pemberian
antibiotik merupakan faktor risiko penting terhadap terjadinya jaringan parut pada
pielonefritis. Sebelum pemberian antibiotik, terlebih dahulu diambil sampel urin
untuk pemeriksaan biakan urin dan resistensi antimikroba. Penanganan ISK pada
anak yang dilakukan lebih awal dan tepat dapat mencegah terjadinya kerusakan ginjal
lebih lanjut.

Sampai saat ini masih belum ada keseragaman dalam penanganan ISK pada
anak, dan masih terdapat beberapa hal yang masih kontroversi. Beberapa protokol
penanganan ISK telah dibuat berdasarkan hasil penelitian multisenter berupa uji
klinis dan meta-analisis, meskipun terdapat beberapa perbedaan tetapi protokol
penanganan ini saling melengkapi. Secara garis besar, tata laksana ISK terdiri atas: 1.
Eradikasi infeksi akut, 2. Deteksi dan tata laksana kelainan anatomi dan fungsional
pada ginjal dan saluran kemih, dan 3. Deteksi dan mencegah infeksi berulang.
21

1. Eradikasi infeksi akut


Tujuan eradikasi infeksi akut adalah mengatasi keadaan akut, mencegah
terjadinya urosepsis dan kerusakan parenkhim ginjal. Jika seorang anak
dicurigai ISK, berikan antibiotik dengan kemungkinan yang paling sesuai
sambal menunggu hasil biakan urin, dan terapi selanjutnya disesuaikan
dengan hasil biakan urin. Pemilihan antibiotik harus didasarkan pada pola
resistensi kuman setempat atau lokal, dan bila tidak ada dapat digunakan
profil kepekaan kuman yang terdapat dalam literatur. Umumnya hasil
pengobatan sudah tampak dalam 48-72 jam pengobatan. Bila dalam waktu
tersebut respon klinik belum terlihat mungkin antibiotik yang diberikan tidak
sesuai atau mungkin yang dihadapi adalah ISK kompleks, sehingga antibiotik
dapat diganti. Selain pemberian antibiotik, dianjurkan untuk meningkatkan
asupan cairan.
Penelitian tentang lama pemberian antibiotik pada sistitis
menunjukkan tidak ada perbedaan dalam outcome anak dengan pemberian
antibiotik jangka pendek dibandingkan dengan jangka panjang. Oleh karena
itu, pada sistitis diberikan antibiotik jangka pendek.
Biasanya, untuk pengobatan ISK simpleks diberikan antibiotik per oral
selama 7 hari, tetapi ada penelitian yang melaporkan pemberian antibiotik per
oral dengan waktu yang lebih singkat (3-5 hari), dan efektifitasnya sama
dengan pemberian selama 7 hari.

NICE merekomendasikan penanganan ISK fase akut, sebagai berikut:

1. Bayi < 3 bulan dengan kemungkinan ISK harus segera dirujuk ke dokter
spesialis anak, pengobatan harus dengan antibiotik parenteral.
2. Bayi ≥ 3 bulan dengan pielonefritis akut/ISK atas:
Pertimbangkan untuk dirujuk ke spesialis anak .
22

Terapi dengan antibiotik oral 7-10 hari, dengan antibiotik yang


resistensinya masih rendah berdasarkan pola resistensi kuman, seperti
sefalosporin atau ko-amoksiklav.
Jika antibiotik per oral tidak dapat digunakan, terapi dengan antibiotik
parenteral, seperti sefotaksim atau seftriakson selama 2-4 hari dilanjutkan
dengan antibiotik per oral hingga total lama pemberian 10 hari.
3. Bayi ≥ 3 bulan dengan sistitis/ ISK bawah:
Berikan antibiotik oral selama 3 hari berdasarkan pola resistensi kuman
setempat. Bila tidak ada hasil pola resistensi kuman, dapat diberikan
trimetroprim, sefalosporin, atau amoksisilin.
Bila dalam 24-48 jam belum ada perbaikan klinis harus dinilai kembali,
dilakukan pemeriksaan kultur urin untuk melihat pertumbuhan bakteri dan
kepekaan terhadap obat.

Di negara berkembang didapatkan resistensi kuman uropatogen yang tinggi


terhadap ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol, sedangkan sensitivitas
sebagian besar kuman patogen dalam urin mendekati 96% terhadap gentamisin dan
seftriakson.

Berbagai antibiotik dapat digunakan untuk pengobatan ISK, baik antibiotik


yang diberikan secara oral maupun parenteral, seperti terlihat pada tabel 1 dan tabel 2.

tabel 1. Pilihan antimikroba oral pada infeksi saluran kemih


23

Jenis antibiotic Dosis perhari


Amoksisilin 20-40 mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis
Sulfonamid
Trimetroprim (TMP)- sulfametoksazol 6-12 mg TMP dan 30-60 mg
(SMX) SMX/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis
Sulfisoksazol 120-150 mg/kgbb/hari dibagi dalam 4
Sefalosporin: dosis
Sefiksim 8 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis
Sefpodiksim 10 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis
Sefprozil 30 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis
Sefaleksin 50-100 mg/kgbb/hari dibagi dalam 4
dosis
Loracarbef 15-30 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis

Jenis antibiotic Dosis perhari


Seftriaxon 75 mg/kgbb/hari
Sefotaksim 150 mg/kgbb/hari dibagi setiap 6 jam
Seftazidim 150 mg/kgbb/hari dibagi setiap 6 jam
Sefazolin 50 mg/kgbb/hari dibagi setiap 8 jam
Gentamicin 7,5 mg/kgbb/hari dibagi setiap 6 jam
Amikasin 15 mg/kgbb/hari dibagi setiap 12 jam
Tobramisin 5 mg/kgbb/hari dibagi setiap 8 jam
Tikarsilin 300 mg/kgbb/hari dibagi setiap 6 jam
Ampisilin 100 mg/kgbb/hari dibagi setiap 6 jam
tabel 2. Pilihan antimikroba parenteral pada infeksi saluran kemih

Konsensus UKK Nefrologi Anak IDAI mengenai pemberian antibiotic sebagai terapi
ISK (2011) adalah sebagai berikut:

a) Untuk ISK bawah atau sistitis : 5-7 hari, peroral


b) Untuk ISK atas atau pielonefritis akut: 7-10 hari, parenteral. Jika sesudah 3-4
hari pemberian antibiotik parenteral tampak perbaikan klinis, pengobatan
dapat dilanjut dengan antibiotik oral sampai pemberian antibiotic selesai atau
lama pemberian parenteral dan oral selama 7 – 10 hari (switch therapy)
c) Untuk ISK pada neonatus: 10-14 hari,secara parenteral
24

d) Pemberiaan antibiotic parenteral harus dipertimbangkan pada anak yang


toksik, muntah, dehidrasi, ataupun yang mempunyai kelainan pada system
saluran kemih.

Jika kondisi pasien tidak membaik dalam waktu 48 jam, perlu dilakukan
biakan urine ulang dan pertimbangkan melakukan pemeriksaan pencitraan segera
untuk mengetahui kelainan urologi.

1.11 Bakteriuria asimtomatik

Bakteri dapat dijumpai didalam urine (>105 cfu/mL) tanpa gejala klinis,
bahkan abnormalitas anatomi juga tidak dijumpai. Bacteriuria asimtomatik ini
biasanya terjadi pada anak Wanita usia sekolah, namun demikian dapat juga dijumpai
pada usia bayi. Kunci diagnostic membedakan ISK (true UTI) dengan bacteriuria
asimtomatik adalah keberadaan pyuria.
Beberapa penelitian menemukan bahwa bacteriuria asimtomatik tidak
berhubungan dengan kerusakan / parut ginjal. Jika seorang anak mengalami
bacteriuria asimtomatik dan tanpa dijumpai kelainan anatomis maka
direkomendasikan untuk tidak diberi terapi antibiotic. Terapi antibiotic pada keadaan
seperti ini dianggap dapat menyebabkan rekurensi karena antibiotic akan
menghambat kuman dengan virulensi rendah tersebut sebagai profilaksis biologi
menghadapi kuman yang pathogen.
1.12 Deteksi kelainan anatomi dan fungsional serta tatalaksana

Deteksi kelianan anatomi atau fungsional ginjal saluran kemih dilakukan


untuk mencari factor predisposisi ISK. Pemeriksaan fisis yang adekuat dapat
menemukan kelainan anatomi (sinekia vagina pada anak perempuan, fimosis,
hipospadia pada anak laki-laki) maupun mengarahkan pada kelainan fungsional
(spina bifida atau dimple yang mengarah ke neurogenic bladder).
Peran pemeriksaan pencitraan pada anak adalah untuk mengidentifkasi anak
terdahap risiko berulangnya infeksi, terjadi jaringan parut pada ginjal, serta sekuele
25

jangka panjang. Gambaran ISK atipikal dan ISK berulang merupakan petunjuk
kelainan anatomi pada saluran kemih sehingga panduan tentang indikasi dan waktu
terbaik melakukan pencitraan juga mengetengahkan kedua hal tersebut, di samping
faktor usia bayi/anak.
Konsensus UKK Nefrologi Anak IDAI (2011) mengetengahkan algoritme
pencitraan ini dibagi menjadi 3 bagian, yaitu algoritme pada bayi berusia <6 bulan,
pada usia 6 bulan hingga 3 tahun, dan pada anak usia >3 tahun (Lampiran).
Rekomendasi ini disusun dengan mempertimbangkan manfaat, risiko, dan biaya yang
dikeluarkan serta berbagai guideline. Pilihan pemeriksaan pencitraan hendaknya
ditentukan oleh ketersediaan alat pencitraan pada setiap tempat atau institusi.

1.13 Pencegahan infeksi berulang

berapa faktor berperan dalam ISk berulang, misalnya infestasi parasit,


pemakaian bubble bath, pakaian dalam terlalu sempit, pemakaian deodorant yang
bersifat iritatif terhadap mukosa perineum dan vulva, pemakaian toilet paper yang
salah, konstipasi, ketidakmampuan pengosongan kandung kemih secara sempurna,
baik akibat gangguan neurologik (neurogenic bladder) maupun faktor lain (non-
neurogenic bladder), RVU (refluks vesiko ureter), preputium yang belum
disirkumsisi.
Deteksi ISK berulang dilakukan dengan biakan urine berkala, misalnya setiap
bulan, kemudian dilanjutkan dengan setiap 3 bulan. Jika terdapat ISK berulang,
berikan antibiotik yang sesuai dengan hasil biakan urine. ISK berulang dapat dicegah
dengan meningkatkan keadaan umum pasien termasuk memperbaiki status gizi,
edukasi tentang pola hidup sehat, dan menghilangkan atau mengatasi faktor risiko.
Asupan cairan yang tinggi dan miksi yang teratur bermanfaat mencegah ISK berulang.
Tindakan sirkumsisi pada anak laki-laki sudah terbukti efektif menurunkan insidensi
ISK.
26

Kelainan struktural seperti obstruksi, refluks derajat tinggi, urolitiasis, katup


uretra posterior, ureterokel, dan ureter dupleks yang disertai obstruksi, koreksi bedah
sangat bermanfaat untuk mengatasi infeksi berulang. Indikasi tindakan bedah harus
dipertimbangkan manfaat dan risiko yang terjadi pada setiap kasus.
Pemberian antibiotik profilaksis merupakan upaya pencegahan ISK berulang
yang sudah sejak lama dilaksanakan, namun belakangan ini pemberian antibiotik
profilaksis menjadi kontroversial dan sering diperdebatkan. Antibiotik profilaksis
dimaksudkan untuk mencapai konsentrasi antibiotik yang tinggi dalam urine tetapi
mempunyai efek minimal terhadap flora normal dalam tubuh. Pada ISK kompleks
pemberian profilaksis dapat berlangsung 3-4 bulan. Bila ternyata kasus yang dihadapi
termasuk kedalam ISK kompleks (terdapat refluks atau obstruksi) maka pemberian
profilaksis dapat dilanjutkan lebih lama.
Studi RIVUR (Randomized Intervention for Children with Vesicoureteral
Reflux) menyimpulkan bahwa penggunaan antibiotik profilaksis pada anak dengar
RVU sesudah ISK akan menurunkan risiko infeksi berulang, namun tidak demikian
halnya untuk risiko parut ginjal. Konsekuensi dari studi ini pada jangka Panjang
adalah lebih menyukai/mendukung revisi AAP 2011 untuk tidak rutin melakukan
miksio sistouretrografi (MSU) sesudah ISK dengan demam pertama kali pada bayi
dan anak usia 2-24 bulan.
konsensus UKK Nefrologi Anak IDAI tentang antibiotik profilaksis yang
diadopsi dari guideline NICE adalah:
a. Antibiotik proflaksis tidak rutin diberikan pada anak dengan ISK pertama
kali
b. Antibiotik proflaksis tidak terindikasi pada ISK demam yang tidak disertai
RVU atau hanya RVU derajat I dan II;
c. Antibiotik profilaksis diberikan pada anak risiko tinggi seperti refluks
vesiko- ureter derajat tinggi (III-V), uropati obstruktif, dan berbagai
kondisi risiko tinggi lainnya;
27

d. Antibiotik proflaksis dipertimbangkan pada bayi dan anak dengan ISK


berulang
e. Jika bayi dan anak yang mendapat antibiotik proflaksis mengalami
reinfeksi maka infeksi diterapi dengan antibiotik yang berbeda dan tidak
dengan menaikkan dosis antibiotic profilaksis tersebut.

Tabel 3 Antibiotik yang Digunakan untuk Profilaksis


Jenis antibiotik Dosis per Hari
Trimetoprim 1-2mg/kgBB/hari.
Kotrimoksazol
- timetroprim (TMP); 1-2mg/kgBB/hari.
- sulfametolsazol (SMX). 5-10 mg/kgBB/hari.
Sefalekin. 10-15 mg/kgBB/hari.
Nirofurantoin. 1mg/kgBB/hari.
Asam nalidisat. 15-20mg/kgBB/hari.
Sefaklor 15-17 mg/kgBB/hari.
Sefiksim 1-2mg/kgBB/hari.
Sefadroksil 3-5mg/kgBB/hari.
Siprofloksasin 1mg/kg8B/hari.
DAFTAR PUSTAKA

Alatas H, Tambunan T., Trihono, P.P., Pardede, S.O.2009. Buku Ajar


Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FK UI

Pardede, SO 2011. Konsensus Infeksi Saluran Kemih Pada Anak,


Jakarta.Hal:1-16

Pardede SO, Infeksi pada Ginjal dan Saluran Kemih Anak: Manifestasi Klinis
dan Tata Laksana. Jurnal Sari Pediatri.2018;19(6):364-74

Rachmadi R, Sekarwana N, Hilmanto D, Garna H. 2017. Buku Ajar Nefrologi


Anak. Edisi 3. Jakarta: Badan Penerbit IDAI

28

Anda mungkin juga menyukai