Anda di halaman 1dari 60

BUKU AJAR

FARMAKOLOGI

Siti Zamilatul Azkiyah


i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga buku Farmakologi dapat diselesaikan . Buku ini dibuat
untuk menunjang pengetahuan dan pemahaman mahasiswa dalam mempelajari
mata kuliah farmakologi. Bagi mahasiswa yang sedang mengambil mata kuliah
farmakologi, buku ini memberikan pengetahuan mengenai sejarah perkembangan
ilmu farmakologi hingga toksikologi.
Farmakologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara senyawa
kimia atau obat dengan system biologi (manusia, hewan). Farmakologi menjadi
dasar pengetahuan bagi ilmu-ilmu dalam bidang farmasi. Seiring berkembangnya
ilmu dan tuntutan zaman, ilmu farmakologi kemudian berkembang menjadi
beberapa cabang, atar lain farmakokinetika, farmakodinamika, toksikologi,
bioanalisis, farmakologi klinik, farmakokinetika klinik, toksikologi klinik,
farmakoterapi, farmakoekonomi, farmakoepidermiologi, farmakogenomik, dan
farmakogenetik.
Dalam buku ini disajikan materi yang meliputi : sejarah perkembangan
ilmu farmakologi, prinsip kerja obat, konsep farmakokinetika, konsep
farmakodinamika dan interaksi obat, efek terapi dan efek yang tidak diinginkan,
dan toksikologi dan uji-uji toksikologi.
Akhirnya, buku ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca
yang budiman. Kritik dan saran yang membangun senantiasa kami nantikan guna
penyempurnaan buku ini.

Situbondo, 1 Agustus 2019

Penulis
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………..i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………ii
BAB 1. SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU FARMAKOLOGI .................................. 1
A.PERKEMBANGAN ILMU FARMAKOLOGI .................................................. 1
A.1 Periode kuno (sebelum tahun 1700) ................................................................. 1
A.2 Periode modern ................................................................................................. 3
B.PENGERTIAN DAN CABANG-CABANG FARMAKOLOGI ........................ 4
B.1Pengertian Farmakologi ..................................................................................... 4
B.2 Cabang-cabang Ilmu Farmakologi .................................................................... 5
BAB 2. PRINSIP KERJA OBAT ....................................................................................... 9
A.Mekanisme Kerja Obat ........................................................................................ 9
B.HUBUNGAN DOSIS DAN RESPON .............................................................. 11
BAB 3. KONSEP FARMAKOKINETIKA ...................................................................... 13
A.PENGERTIAN FARMAKOKINETIKA .......................................................... 13
A.1Absorpsi ........................................................................................................... 13
A.2Distribusi ......................................................................................................... 14
A.3Metabolisme .................................................................................................... 15
A.4Ekskresi ........................................................................................................... 16
BAB 4. KONSEP FARMAKODINAMIKA DAN INTERAKSI OBAT ......................... 20
A.PENGERTIAN FARMAKODINAMIK ........................................................... 20
B.INTERAKSI OBAT DAN RESEPTOR ............................................................ 20
B.1 TEORI INTERAKSI OBAT-RESEPTOR ..................................................... 21
B.2 AGONIS ......................................................................................................... 22
B.3 ANTAGONIS ................................................................................................. 23
B.4 SINERGISME ............................................................................................... 25
B.5INTERAKSI FARMAKOKINETIKA ............................................................ 26
B.6 INTERAKSI FARMAKODINAMIKA .......................................................... 28
iii

BAB 5. EFEK TERAPI DAN EFEK YANG TIDAK DIINGINKAN ............................. 30


A.PENGERTIAN EFEK ....................................................................................... 30
B.EFEK SAMPING OBAT ................................................................................... 31
C.EFEK SAMPING YANG TIDAK DAPAT DIPERKIRAKAN ....................... 33
BAB 6. TOKSIKOLOGI DAN UJI-UJI TOKSIKOLOGI ............................................... 36
A. TOKSIKOLOGI .............................................................................................. 36
B.FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TOKSISITAS .................... 37
C.ANALISIS TOKSISITAS ................................................................................. 38
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 52
1

BAB 1. SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU FARMAKOLOGI

 Objektif
Setelah membaca Bab ini, Mahasiswa akan :
 Mampu menjelaskan sejarah perkembangan ilmu farmakologi
 Mampu mendefinisikan farmakologi beserta cabang-cabangnya.

A. PERKEMBANGAN ILMU FARMAKOLOGI


Perkembangan ilmu farmakologi dapat dibagi menjadi dua periode yaitu :
A.1 Periode kuno (sebelum tahun 1700)
Periode ini ditandai dengan observasi empirik oleh manusia terhadap
penggunaan obat. Bukit atau pencatatannya dapat dilihat di Materia Medika
yang disusun oleh Dioscorides (Pedanius). Sebelumnya, catatan tertua
dijumpai pada pengobatan Cina dan Mesir.

Gambar 1.1 Dioscorides (Pedanius)


2

Gambar 1.2 De Materia Medica

Claudius Galen (129–200 A.D.) adalah orang pertama yg


mengenalkan bahwa teori dan pengalaman empirik berkontribusi seimbang
dalam penggunaan obat.

Gambar 1.3 Claudius Galen

Theophrastus von Hohenheim (1493–1541 A.D.), atau Paracelsus ,


adalah pionir penggunaan senyawa kimia dan mineral, yang dikenal juga
dengan bapak toksikologi.

Gambar 1.4 Paracelsus


3

Johann Jakob Wepfer (1620–1695), peneliti pertama yang


melibatkan hewan percobaan dalam ilmu farmakologi dan toksikologi.

Gambar 1.5 Johann Jakon Wepfer (1620-1695)


A.2 Periode modern
Pada abad 18-19, mulai dilakukan penelitian eksperimental tentang
nasib obat, tempat dan cara kerja obat, pada tingkat organ dan jaringan.
a. Rudolf Buchheim (1820–1879), mendirikan Institute of
Pharmacology pertama di The University of Dorpat (Tartu,
Estonia) tahun 1847.
b. Oswald Schmiedeberg (1838–1921), bersama seorang internist,
Bernhard Naunyn (1839–1925), menerbitkan jurnal
farmakologi pertama
c. John J. Abel (1857–1938), The “Father of American
Pharmacology”

Pada permulaan abad XX mulailah dibuat obat – obat sintesis,


misalnya asetosal, disusul kemudian dengan sejumlah zat-zat lainnya.
Pendobrakan sejati baru tercapai dengan penemuan dan penggunaan obat-
obat kemoterapeutik sulfanilamid (1935) dan penisillin (1940). Sejak
tahun 1945 ilmu kimia, fisika dan kedokteran berkembang dengan pesat
4

dan hal ini menguntungkan sekali bagi penyelidikan yang sistematis dari
obat-obat baru.
Sejak tahun 1945 ilmu kimia, fisika dan kedokteran berkembang
pesat (misal sintesa kimia, fermentasi, teknologi rekombinan DNA) dan
hal ini menguntungkan sekali bagi penelitian sistematis obat-obat baru.
Beribu-ribu zat sintetis telah ditemukan, rata-rata 500 zat setahunnya yang
mengakibatkan perkembangan yang revolusioner di bidang farmakoterapi.
Kebanyakan obat kuno ditinggalkan dan diganti dengan obat mutakhir.
Akan tetapi, begitu banyak diantaranya tidak lama “masa hidupnya”
karena terdesak obat yang lebih baru dan lebih baik khasiatnya. Namun
lebih kurang 80% dari semua obat yang kini digunakan merupakan
penemuan dari 3 dasawarsa terakhir.

Gambar 1.6 Skema proses pengolahan obat sampai dapat digunakan oleh
pasien

B. PENGERTIAN DAN CABANG-CABANG FARMAKOLOGI

B.1 Pengertian Farmakologi


Farmakologi berasal dari Kata “Farmakon” Yang berarti : “obat”
dalam arti sempit, dan dalam makna luas adalah : “Semua zat selain
makanan yg dapat mengakibatkan perubahan susunan atau fungsi
5

jaringan tubuh”. Logos yaitu : ilmu. Singkatnya Farmakologi ialah : Ilmu


yang mempelajari cara kerja obat didalam tubuh.
Banyak definisi tentang farmakologi yang dirumuskan olah para
ahli, antara lain :
a. Farmakologi dapat dirumuskan sebagai kajian terhadap bahan-
bahan yang berinteraksi dengan sistem kehidupan melalui proses
kimia, khususnya melalui pengikatan molekul-molekul regulator
yang mengaktifkan/ menghambat proses-proses tubuh yang normal
b. Ilmu yg mempelajari hal ihwal mengenai obat, mencakup sejarah,
sumber, sifat kimia & fisik, komponen; efek fisiologi & biokimia,
mekanisme kerja,
c. Farmakologi atau ilmu khasiat obat adalah ilmu yang mempelajari
pengetahuan obat dengan seluruh aspeknya, baik sifat kimiawi
maupun fisikanya, kegiatan fisiologi, resorpsi, dan nasibnya dalam
organisme hidup. Dan untuk menyelidiki semua interaksi antara
obat dan tubuh manusia khususnya, serta penggunaannya pada
pengobatan penyakit disebut farmakologi klinis.

B.2 Cabang-cabang Ilmu Farmakologi


Ketika berbicara tentang obat, sebenarnya tidak hanya farmakologi
saja yang berkaitan dengan obat, tetapi juga membicarakannya dari ilmu
lain yang sangat erat kaitannya dengan obat. Perkembangan ilmu dan
teknologi kedokteran dan farmasi, menyebabkan farmakologi tidak dapat
dibahas dari satu sisi keilmuan saja. Para ahli secara cermat mengamati
perkembangan ini dari tahun ke tahun melalui serangkaian penelitian
mendalam, terpadu dan lintas disiplin ilmu, sehingga kini kita mengenal
banyak cabang ilmu farmakologi yang berkembang menjadi cabang ilmu
baru, antara lain :
6

a. Farmakognosi
Farmakognosi mempelajari pengetahuan dan pengenalan
obat yang berasal dari tanaman dan zat – zat aktifnya, begitu pula
yang berasal dari mineral dan hewan. Pada zaman obat sintetis
seperti sekarang ini, peranan ilmu farmakognosi sudah sangat
berkurang. Namun pada dasawarsa terakhir peranannya sebagai
sumber untuk obat–obat baru berdasarkan penggunaannya secara
empiris telah menjadi semakin penting. Banyak phytoterapeutika
baru telah mulai digunakan lagi (Yunani ; phyto = tanaman),
misalnya tinctura echinaceae (meningkatkan imunitas tubuh),
ekstrak Ginkoa biloba (meningkatkan daya ingat), bawang putih
(antikolesterol), tingtur hyperici (antidepresi) dan ekstrak feverfew
(Chrysantemum parthenium) sebagai obat pencegah migrain.
b. Biofarmasi
Biofarmasi meneliti pengaruh formulasi obat terhadap efek
terapeutiknya. Dengan kata lain dalam bentuk sediaan apa obat
harus dibuat agar menghasilkan efek yang optimal. Ketersediaan
hayati obat dalam tubuh untuk diresorpsi dan untuk melakukan
efeknya juga dipelajari (farmaceutical dan biological availability).
Begitu pula kesetaraan terapeutis dari sediaan yang mengandung
zat aktif sama (therapeutic equivalance). Ilmu bagian ini mulai
berkembang pada akhir tahun 1950an dan erat hubungannya
dengan farmakokinetika.
c. Farmakokinetika
Farmakokinetika meneliti perjalanan obat mulai dari saat
pemberiannya, bagaimana absorpsi dari usus, transpor dalam darah
dan distribusinya ke tempat kerjanya dan jaringan lain. Begitu pula
bagaimana perombakannya (biotransformasi) dan akhirnya
ekskresinya oleh ginjal. Singkatnya farmakokinetika mempelajari
segala sesuatu tindakan yang dilakukan oleh tubuh terhadap obat.
7

d. Farmakodinamika
Farmakodinamika mempelajari kegiatan obat terhadap
organisme hidup terutama cara dan mekanisme kerjanya, reaksi
fisiologi, serta efek terapi yang ditimbulkannya. Singkatnya
farmakodinamika mencakup semua efek yang dilakukan oleh obat
terhadap tubuh.
e. Toksikologi
Toksikologi adalah pengetahuan tentang efek racun dari
obat terhadap tubuh dan sebetulnya termasuk pula dalam kelompok
farmakodinamika, karena efek terapi obat berhubungan erat dengan
efek toksisnya. Pada hakikatnya setiap obat dalam dosis yang
cukup tinggi dapat bekerja sebagai racun dan merusak organisme.
“Sola dosis facit venenum” : hanya dosis membuat racun racun,
Paracelsus).
f. Farmakoterapi
Farmakoterapi mempelajari penggunaan obat untuk
mengobati penyakit atau gejalanya. Penggunaan ini berdasarkan
atas pengetahuan tentang hubungan antara khasiat obat dan sifat
fisiologi atau mikrobiologinya di satu pihak dan penyakit di pihak
lain. Adakalanya berdasarkan pula atas pengalaman yang lama
(dasar empiris). Phytoterapi menggunakan zat–zat dari tanaman
untuk mengobati penyakit.
g. Farmakogenetik / Farmakogenomik
Farmakogenetik adalah ilmu yang mempelajari efek dari
variasi genetik pada gen tunggal terhadap respon obat sedangkan
farmakogenomik adalah ilmu yang mempelajari efek dari variasi
genetik pada keseluruhan gen (genom) terhadap respon obat.
h. Farmakovigilans (Pharmacovigilance)
Pharmacovigilance adalah suatu proses yang terstruktur
untuk memantau dan mencari efek samping obat (adverse drugs
reaction) dari obat yang telah dipasarkan. Data-data diperoleh dari
8

sumber-sumber seperti Medicines Information, Toxicology and


Pharmacovigilance Centres yang lebih relevan dan bernilai
pendidikan dalam manajemen keamanan obat.

RANGKUMAN :
1. Perkembangan ilmu farmakologi dibagi menjadi 2 yaitu periode kuno
dan periode modern
2. Pada periode kuno terdapat 5 ilmuwan yaitu Dioscorides (Pedanius),
Claudius Galen, Paracelsus, dan Johann Jakon Wepfer.
3. Pada periode modern terdapat 3 ilmuwan, yaitu Rudolf Buchheim,
Oswald Schmiedeberg, dan John J. Abel
4. Farmakologi adalah ilmu yang mempelajari cara kerja obat didalam
tubuh.
5. Cabang ilmu farmakologi yaitu farmakognosi, biofarmasi,
farmakokinetika, farmakodinamika, toksikologi, farmakologi,
farmakogenetik/farmakogenomik, farmakovigilans.

LATIHAN SOAL :
1. Sebutkan 2 periode perkembangan ilmu farmakologi!
2. Apa arti dari farmakologi?
3. Sebutkan cabang-cabang ilmu farmakologi!
9

BAB 2. PRINSIP KERJA OBAT

 Objektif
Setelah membaca Bab ini, Mahasiswa akan :
 Mampu menjelaskan mekanisme kerja obat
 Mampu menjelaskan hubungan antara dosis dan respon obat

A. Mekanisme Kerja Obat


Efek obat terjadi karena adanya interaksi fisiko-kimiawi antara
obat atau metabolit aktif dengan reseptor atau bagian tertentu dari tubuh.
Obat tidak dapat menimbulkan fungsi baru dalam jaringan tubuh atau
organ, tetapi hanya dapat menambah atau mempengaruhi fungsi dan
proses fisiologi. Untuk dapat mencapai tempat kerjanya, banyak proses
yang harus dilalui obat. Proses itu terdiri dari 3 fase, yaitu fase
farmasetik, fase farmakokinetik, dan fase farmakodinamik.
Fase farmasetik merupakan fase yang dipengaruhi oleh cara
pembuatan obat, bentuk sediaan obat, dan zat tambahan yang digunakan.
Fase selanjutnya yaitu fase farmakokinetika, merupakan proses kerja
obat pada tubuh. Suatu obat selain dipengaruhi oleh sifat fisika kimia
obat, juga dipengaruhi oleh sifat fisiologi tubuh, dan jalur atau rute
pemberian obat. Suatu obat harus dapat mencapai tempat kerja yang
diinginkan setelah masuk tubuh dengan jalur yang terbaik. Dalam
beberapa hal, obat dapat langsung diberikan pada tempatnya bekerja,
atau obat dapat diberikan melalui intravena maupun per oral. Fase
terakhir yaitu fase farmakodinamik, merupakan pengaruh tubuh pada
obat. Fase ini menjelaskan bagaimana obat berinteraksi dengan
resepornya ataupun pengaruh obat terhadap fisiologi tubuh. Fase
farmakodinamik dipengaruhi oleh struktur kimia obat, jumlah obat yang
10

sampai pada reseptor, dan afinitas obat terhadap reseptor dan sifat ikatan
obat dengan reseptornya.
1. Fase Farmasetik
Fase farmasetik merupakan fase yang dipengaruhi antara lain
oleh cara pembuatan obat, bentuk sediaan obat, dan zat tambahan
yang digunakan. Sediaan obat yang banyak dipakai adalah sediaan
padat atau cair. Untuk dapat diabsorpsi obat harus dapat melarut
dalam tempat absorpsinya . Sediaan tablet merupakan bentuk sediaan
farmasi yang paling banyak tantangan dalam mendesain dan
membuatnya untuk memperoleh bioavailabilitas (ketersediaan
hayati) obat penuh dan dapat dipercaya serta kekompakan kohesi
yang baik dari zat amorf atau gumpalan. Walaupun obat telah baik
proses pengempaannya, melarutnya, dan tidak mempunyai masalah
dengan bioavailabilitas obat, masih banyak hal lain yang harus
diperhatikan dalam proses farmasetik obat, mulai dari penampilan
obat, pembubukan, atau pengelupasan dalam botol selama
pengempakan atau penanganan. Penambahan pengikat, perekat atau
peningkatan tekanan kempa dapat mempengaruhi waktu hancur
tablet, kecepatan melarut tablet, dan mungkin bioavailabilitas obat.
2. Fase Farmakokinetik
Farmakokinetik mempelajari proses absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi obat dari dalam tubuh atau ilmu yang
mempelajari pengaruh tubuh terhadap obat. Proses farmakokinetik
tersebut menentukan berapa cepatnya, berapa konsentrasinya, dan
untuk berapa lama obat tersebut berada pada organ target.
11

B. Hubungan Dosis dan Respon


Gambar di bawah menggambarkan suatu distribusi frekuensi individu
yang memberikan respons pada rentang dosis tertentu. Dosis berbanding
lurus dengan respon.

Gambar 2.1 Hubungan antara konsentrasi obat dan efek obat

RANGKUMAN :
1. Efek obat terjadi karena adanya interaksi fisiko-kimiawi antara obat atau
metabolit aktif dengan reseptor atau bagian tertentu dari tubuh.
2. Banyak proses yang harus dilalui obat untuk dapat mencapai tempat
kerjanya. Proses itu terdiri dari 3 fase, yaitu fase farmasetik, fase
farmakokinetik, dan fase farmakodinamik.
3. Fase farmasetik merupakan fase yang dipengaruhi oleh cara pembuatan
obat, bentuk sediaan obat, dan zat tambahan yang digunakan. Fase
selanjutnya yaitu fase farmakokinetika, merupakan proses kerja obat pada
tubuh.
4. Dosis berbanding lurus dengan respon.
12

LATIHAN SOAL :
1. Jelaskan secara singkat mekanisme kerja obat!
2. Sebutkan proses yang harus dilalui obat untuk dapat mencapai tempat
kerjanya!
3. Jelaskan tentang hubungan dosis dan respon obat!
13

BAB 3. KONSEP FARMAKOKINETIKA

 Objektif
Setelah membaca Bab ini, Mahasiswa akan :
 Mampu mendefinisikan dan menjelaskan peristiwa absorpsi obat
 Mampu mendefinisikan dan menjelaskan peristiwa distribusi obat
 Mampu mendefinisikan dan menjelaskan peristiwa metabolisme obat
 Mampu mendefinisikan dan menjelaskan peristiwa ekskresi obat

A. PENGERTIAN FARMAKOKINETIKA
Farmakokinetika mempelajari proses absorpsi, distribusi, metabolisme,
dan ekskresi obat dari dalam tubuh atau ilmu yang mempelajari pengaruh
tubuh terhadap obat. Proses farmakokinetik tersebut menentukan berapa
cepatnya, berapa konsentrasinya, dan untuk berapa lama obat tersebut berada
pada organ target.

A.1 Absorpsi
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian
ke dalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya melalui saluran
cerna (mulut sampai dengan rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain.
Cara pemberian obat per oral akan diabsorpsi melalui usus halus.
Kecepatan absorpsi obat tergantung dari kecepatan obat melarut pada
tempat absorpsi, derajat ionisasi, pH tempat absorpsi, dan sirkulasi
darah di tempat obat melarut. Untuk dapat diabsorpsi, obat harus dapat
melarut atau dalam bentuk yang sudah terlarut sehingga kecepatan
melarut akan sangat menentukan kecepatan absorpsi. Untuk itu,
sediaan obat padat sebaiknya diminum dengan cairan yang cukup
untuk membantu mempercepat kelarutan obat. pH adalah derajat
keasaman atau kebasaan jika zat berada dalam bentuk larutan. Obat
yang terlarut dapat berupa ion atau non ion. Bentuk non-ion relatif
14

lebih mudah larut dalam lemak sehingga lebih mudah menembus


membran, karena sebagian besar membran sel tersusun dari lemak.
Kecepatan obat menembus membran dipengaruhi oleh pH obat dalam
larutan dan pH dari lingkungan obat berada. Obat yang bersifat asam
lemah akan mudah menembus membran sel pada suasana asam, karena
obat relatif tidak terionisasi atau bentuk ionnya sedikit. Sebaliknya
obat-obat yang bersifat basa lemah akan mudah diabsorpsi di usus
halus karena juga relatif tidak terionisasi.

A.2 Distribusi
Di dalam darah obat akan diikat oleh protein plasma dengan
berbagai ikatan lemah, lalu akan disebar ke jaringan atau tempat
kerjanya. Obat bebas akan keluar dari jaringan ke tempat kerja obat, ke
jaringan tempat depotnya, ke hati (obat mengalami metabolisme
menjadi metabolit yang dikeluarkan melalui empedu atau masuk
kembali ke darah), dan ke ginjal, dimana obat/metabolitnya diekskresi
ke dalam urin. Hanya obat bebas (tidak terikat) yang dapat mencapai
sasaran dan mengalami metabolisme sehingga lebih mudah
diekskresikan. Berkurangnya obat bebas dalam tubuh karena ekskresi
akan menyebabkan pelepasan obat yang terikat oleh protein. Terjadi
keseimbangan yang dinamis antara obat bebas dengan obat yang
terikat. Perbandingan antara obat terikat dan obat bebas akan
menentukan lama kerja (durasi) obat.
Faktor fisiologi seperti blood brain barrier atau sawar darah otak
yang terdapat di lapisan kapiler serebral dapat menghalangi distribusi
obat ke jaringan otak. Sel-sel endotel pembuluh darah kapiler di otak
membentuk tight junction (tidak ada lagi celah diantara sel-sel endotel
tersebut) dan pembuluh darah kapiler ini dibalut oleh astrosit otak yang
merupakan lapisan-lapisan membran sel. Sawar uri (placental barrier)
terdiri dari satu lapis sel vili dan satu lapis sel endotel kapiler dari
fetus. Karena itu obat yang dapat diabsorpsi melalui pemberian oral
15

juga dapat masuk ke fetus melalui sawar uri. Akan tetapi obat larut
lemak yang merupakan substrat P-gp atau MRP (Multidrug-Resistance
Protein) akan dikeluarkan oleh P-gp atau MRP yang terdapat pada
membran sel endotel pembuluh kapiler otak. Dengan demikian P-gp
menunjang fungsi sawar darah otak dan sawar uri untuk melindungi
otak dan fetus dari obat yang efeknya merugikan.

A.3 Metabolisme
Metabolisme atau biotransformasi adalah reaksi perubahan zat
kimia dalam jaringan biologis yang dikatalisis oleh enzim menjadi
metabolitnya. Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang
nonpolar (larut lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi
melalui ginjal atau empedu. Perubahan ini obat aktif umumnya diubah
menjadi inaktif, tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif (jika asalnya
prodrug), kurang aktif, atau menjadi toksik.
Proses metabolisme terdiri dari reaksi fase I dan reaksi fase II.
Reaksi fase I terdiri dari terdiri dari oksidasi, reduksi, dan hidrolisis,
yang mengubah obat menjadi lebih polar, dengan akibat menjadi
inaktif, lebih aktif atau kurang. Reaksi fase II merupakan reaksi
konjugasi dengan substrat endogen : asam glukoronat, asam sulfat,
asam asetat, atau asam amino dan hasilnya menjadi sangat polar,
dengan demikian hampir selalu tidak aktif. Obat dapat mengalami
reaksi fase I saja, atau reaksi fase II saja, atau reaksi fase I dan diikuti
dengan reaksi fase II. Hasil reaksi fase I dapat juga sudah cukup polar
untuk langsung diekskresi lewat ginjal tanpa harus melalui fase II lebih
dulu.
Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim
cytochrome P450 (CYP), yang disebut juga enzim mono-oksigenase,
atau MFO (mixed-function oxidase), dalam endoplasmic reticulum
(mikrosom hati). Beberapa enzim yang penting untuk metabolisme
dalam hati antara lain : CYP3A4/5, CYP2D6, CYP2C9, CYP1A1/2,
16

CYP 2E1. Selanjutnya reaksi fase II yang terpenting adalah


glukoronidasi melalui enzim UDP-glukoronil-transferase (UGT),
terutama terjadi dalam mikrosom hati, tetapi juga di jaringan
ekstrahepatik (usus halus, ginjal, paru, kuit). Reaksi konjugasi yang
lain (asetilasi, sulfasi, konjugasi dengan glutation) terjadi di dalam
sitosol.

A.4 Ekskresi
Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Tempat
ekskresi obat lainnya adalah intestinal (melalui feses), paru-paru, kulit,
keringat, air liur, dan air susu. Obat dieksresi melalui ginjal dalam
bentuk utuh maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi melalui ginjal
melibatkan tiga proses, yaitu filtrasi glomerulus, sekresi aktif di
tubulus proksimal, dan reabsorpsi pasif di sepanjang tubulus. Obat
yang tidak terikat protein (bentuk bebas) akan mengalami filtrasi
glomerulus masuk ke tubulus. Filtrasi glomerulus menghasilkan
ultrafiltrat, yakni minus plasma protein, jadi semua obat bebas akan
keluar dalam ultrafiltrat sedangkan yang terikat protein akan tetap
tinggal dalam darah. Kelarutan dan pH tidak berpengaruh pada
kecepatan filtrasi glomerulus, yang berpengaruh adalah ukuran
partikel, bentuk partikel, dan jumlah pori glomerulus.
Obat yang tidak mengalami filtrasi glomerulus dapat masuk ke
tubulus melalui sekresi di tubulus proksimal. Sekresi tubulus proksimal
merupakan proses transport aktif, jadi memerlukan carrier (pembawa)
dan energi. Sekresi aktif dari dalam darah ke lumen tubulus proksimal
terjadi melalui transporter membran P-glikoprotein (P-gp) dan MRP
(Multidrug-Resistance Protein) yang terdapat di membran sel epitel
dengan selektivitas berbeda. Setelah obat sampai di tubulus,
kebanyakan akan mengalami reabsorpsi kembali ke sirkulasi sistemik.
Reabsorpsi pasif terjadi di sepanjang tubulus untuk bentuk non-ion
obat yang larut lemak. Oleh karena derajat ionisasi bergantung pada
17

pH larutan, maka hal ini dimanfaatkan untuk mempercepat ekskresi


ginjal pada keracunan suatu obat asam atau obat basa.
Kecepatan metabolism dan ekskresi suatu obat dapat dilihat dari
nilai waktu paruhnya (t ½). Waktu paruh adalah waktu yang
diperlukan sehingga kadar obat dalam darah atau jumlah obat dalam
tubuh tinggal separuhnya. Pelambatan eliminasi obat dapat disebabkan
oleh adanya gangguan hepar atau ginjal sehingga memperpanjang
waktu paruhnya. Ekskresi obat kedua penting adalah melalui empedu
ke dalam usus dan keluar bersama. Selain itu, ekskresi melalui paru
terutama untuk emininasi gas anestetik umum. Ekskresi dalam ASI,
saliva, keringat, dan air mata secara kuantitatif tidak penting. Ekskresi
ini bergantung terutama pada difusi pasif dari bentuk non ion yang
larut lemak melalui sel epitel kelenjar dan pada pH.
Parameter dalam proses farmakokinetik meliputi volume distribusi,
bersihan (clearance), bioavailabilitas, dan waktu paruh. Volume
distribusi (Vd) adalah volume perkiraan obat terlarut dan terdistribusi
dalam tubuh. Semakin besar nilai volume distribusi, semakin luas
distribusinya. Besarnya volume distribusi ditentukan oleh ukuran dan
komposisi tubuh, dan derajat ikatan obat dengan protein plasma dan
dengan berbagai jaringan.
Bersihan (clearance) adalah kecepatan obat dibersihkan dari dalam
tubuh atau volume plasma yang dibersihkan dari obat persatuan waktu
(volume/waktu). Bersihan total adalah jumlah bersihan dari berbagai
organ, seperti hepar, ginjal, empedu, paru-paru, dan lain-lain. Bersihan
obat-obat yang tidak diubah melalui urin merupakan bersihan ginjal.
Di dalam hati, bersihan obat melalui biotransformasi obat parent drug
menjadi satu atau lebih metabolik, atau ekskresi obat yang tidak diubah
(unchanged drug) ke dalam empedu, atau kedua-duanya.
Bioavailabilitas adalah jumlah dan kecepatan obat yang diabsorpsi
melalui jalur pemberian tertentu masuk ke sirkulasi sistemik. Untuk
suatu dosis intravena dari obat, bioavailabilitas adalah sama dengan
18

satu atau dianggap 100% masuk ke dalam tubuh. Untuk obat yang
diberikan peroral, bioavailabilitas dapat berkurang 100% karena
absorpsi yang tidak lengkap dan mengalami eliminasi first-pass .

RANGKUMAN :
1. Farmakokinetika mempelajari proses absorpsi, distribusi, metabolisme,
dan ekskresi obat dari dalam tubuh atau ilmu yang mempelajari
pengaruh tubuh terhadap obat.
2. Proses farmakokinetik tersebut menentukan berapa cepatnya, berapa
konsentrasinya, dan untuk berapa lama obat tersebut berada pada organ
target.
3. Absorpsi obat merupakan proses masuknya obat dari tempat
pemberian ke dalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya
melalui saluran cerna (mulut sampai dengan rektum), kulit, paru, otot,
dan lain-lain.
4. Di dalam darah obat akan diikat oleh protein plasma dengan berbagai
ikatan lemah, lalu akan disebar ke jaringan atau tempat kerjanya.
5. Metabolisme atau biotransformasi adalah reaksi perubahan zat kimia
dalam jaringan biologis yang dikatalisis oleh enzim menjadi
metabolitnya. Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang
nonpolar (larut lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi
melalui ginjal atau empedu.
6. Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Tempat ekskresi
obat lainnya adalah intestinal (melalui feses), paru-paru, kulit,
keringat, air liur, dan air susu.

LATIHAN SOAL :
1. Apa arti dari farmakokinetika?
2. Sebutkan 4 proses dari farmakokinetika!
3. Jelaskan prinsip dari absorbs obat!
4. Jelaskan prinsip dari distribusi obat!
19

5. Jelaskan prinsip dari metabolisme obat!


6. Jelaskan prinsip dari ekskresi obat!
20

BAB 4. KONSEP FARMAKODINAMIKA DAN INTERAKSI


OBAT

 Objektif
Setelah membaca Bab ini, Mahasiswa akan :
 Mampu menjelaskan interaksi obat dengan reseptor
 Mampu menjelaskan interaksi non reseptor
 Mampu menyebutkan contoh-contoh interaksi
 Mampu menjelaskan interaksi farmakokinetika dan efek yang
ditimbulkan
 Mampu menjelaskan interaksi farmakodinamik dan efek yang
ditimbulkan

A. PENGERTIAN FARMAKODINAMIK
Dalam farmakologi mencakup informasi mengenai pengaruh obat
terhadap sistem biologi (tubuh), dan sebaliknya pengaruh tubuh terhadap
obat. Ilmu yang mengkaji pengaruh obat terhadap tubuh dinamakan
farmakodinamika. Definisi lain, farmakodinamika adalah studi hubungan
konsentrasi obat dengan efek biologi (fisiologi dan biokimia) yang
ditimbulkan. Aspek disiplin ilmu ini mencakup aksi obat, mekanisme aksi
obat dan target aksi obat baik pada organ, jaringan, maupun sel. Target
kebanyakan obat dalam tubuh adalah reseptor. Reseptor merupakan suatu
makromolekul dalam membran sel atau dalam sel dimana obat berinteraksi
untuk menghasilkan efek.

B. INTERAKSI OBAT DAN RESEPTOR


Obat harus berintekasi dengan target aksi obat (salah satunya
adalah reseptor) untuk dapat menimbulkan efek. Interaksi obat dan
reseptor dapat membentuk komplek obat-reseptor yang merangsang
21

timbulnya respon biologis, baik respon antagonis maupun agonis.


Mekanisme timbulnya respon biologis dapat dijelaskan dengan teori
interaksi obat-reseptor.

B.1 TEORI INTERAKSI OBAT-RESEPTOR


Ada beberapa teori interaksi obat-reseptor, antara lain :

1. Teori Klasik
Ehrlich (1907) memperkenalkan istilah reseptor dan membuat
konsep sederhana tentang interaksi antara obat-reseptor, dimana obat
tidak akan dapat menimbulkan efek tanpa mengikat reseptor. Interaksi
yang terjadi antara struktur dalam tubuh (sisi reseptor) dengan
molekul asing yang sesuai (obat) yang saling mengisi akan
menimbulkan suatu respon biologis.

2. Teori Pendudukan
Dikemukakan oleh Clark pada tahun 1926. Teori ini
memperkirakan satu molekul obat akan menempati satu sisi reseptor.
Obat harus diberikan dalam jumlah 5 berlebih agar tetap efektif
selama proses pembentukan kompleks. Besar efek biologis yang
terjadi sesuai dengan jumlah reseptor spesifik yang diduduki molekul
obat yang juga sebanding dengan banyak kompleks obat-reseptor
yang terbentuk. Setiap struktur molekul obat harus mengandung
bagian yang secara bebas dapat menunjang afinitas interaksi obat
dengan reseptor dan mempunyai efisiensi untuk menimbulkan respon
biologis akibat kompleks obat–reseptor. Jadi respon biologis
merupakan fungsi dari jumlah kompleks obat-reseptor. Respon
biologis yang terjadi dapat merupakan rangsangan aktivitas (efek
agonis) dan pengurangan aktivitas (efek antagonis).
3. Teori Kecepatan
Croxatto dan Huidobro (1956), memberikan postulat bahwa
obat hanya efisien pada saat berinteraksi dengan reseptor. Kemudian
22

teori ini dijelaskan oleh Paton (1961) yang mengemukakan bahwa


efek biologis setara dengan kecepatan ikatan obat-reseptor dan bukan
dari jumlah reseptor yang diduduki oleh obat. Pada teori ini, tipe kerja
obat ditentukan oleh kecepatan penggabungan (asosisasi) dan
peruraian (disosiasi) komplek obat-reseptor dan bukan dari
pembentukan komplek obat-reseptor yang stabil. Senyawa dikatakan
agonis jika kecepatan asosiasi (sifat mengikat reseptor) dan disosiasi
besar. Senyawa dikatakan antagonis jika kecepatan asosiasi sangat
besar sedangkan disosiasinya kecil. Dan senyawa agonis parsial
adalah jika kecepatan asosiasi dan disosiasinya tidak maksimal.
Mayoritas obat menghasilkan efek dengan cara bekerja pada
molekul protein spesifik yang disebut reseptor. Reseptor merespon
senyawa kimia endogen dalam tubuh baik senyawa transmitter
sinaptik (contohnya Ach, noradrenalin) atau hormone (endokrin,
contohnya insulin atau mediator local seperti histamine). Senyawa
kimia ini dikelompokkan sebagai :
Agonis : Mengaktivasi reseptor dan menghasilkan respon
berikutnya.
Antagonis : Berikatan dengan reseptor namun tidak
menyebabkan aktivasi. Antagonis menurunkan
kemungkinan transmitter atau agonis berikatan
pada reseptor, sehingga menghalangi kerjanya
dengan secara efektif melemahkan atau
melepaskan dari system reseptor.

B.2 AGONIS
Agonis (A) berikatan dengan reseptor (R) dan energi kimia yang
dilepaskan pada ikatan menginduksi perubahan konformasi yang
melepaskan rangkaian kejadian biokima di dalam sel, menyebabkan
adanya respon (AR*). Persamannya adalah sebagai berikut :
23

A + R → AR → AR*
Dimana : (1) afinitas dan (2) efikasi
Agonis parsial tidak dapat membawa respons maksimum yang
sama dengan agonis penuh, bahkan jika afinitasnya pada reseptor sama.
Kemampuan agonis, sekali berikatan, mengaktivasi reseptor dinamakan
efikasi, yaitu :
a. Agonis penuh yang memiliki efikasi tinggi dan dapat menghasilkan
respon maksimum ketika menduduki persentase kecil reseptor yang
tersedia.
b. Agonis parsial yang memiliki efikasi rendah dan tidak dapat
menimbulkan respon maksimum bahkan jika menempati seluruh
reseptor yang tersedia.

B.3 ANTAGONIS

Antagonis berikatan pada reseptor namun tidak mengaktivasinya


dan antagonis tidak menginduksi perubahan konformasional sehingga
tidak memiliki efikasi. Namun, karena antagonis menduduki reseptor,
senyawa ini dapat mencegah ikatan reseptor pada agonis sehingga
menghambat kerja agonis.
Ada 2 tipe antagonis, yaitu :
1. Antagonis Kompetitif
Dalam hal ini, antagonis mengikat reseptor ditempat ikatan agonis
(receptor site atau active site ) secara reversible sehingga dapat digeser
oleh agonis kadar tinggi. Dengan demikian hambatan efek agonis dapat
diatasi dengan meningkatkan kadar agonis sampai akhirnya dicapai efek
maksimal yang sama. Jadi, diperlukan kadar agonis yang lebih tinggi
untuk memperoleh efek yang sama. Ini berarti afinitas agonis terhadap
reseptornya menurun. Contoh antagonis kompetitif adalah β˗bloker dan
antihistamin.
24

Kadang-kadang suatu antagonis mengikat reseptor di temat lain


dari reseptor site agonis dan menyebabkan perubahan konformasi
reseptor sedemikian sehingga afinitas terhadap agonisnya menurun. Jika
penurunan afinitas agonis ini dapat diatasi dengan meningkatkan dosis
agonis, maka keadaan ini tidak disebut antagonisme kompetitif, tetapi
disebut kooperativitas negative.

2. Antagonism Non-Kompetatif
Antagonis ini adalah suatu keadaan ketika obat antagonis
memblokade suatu tempat tertentu dari rangkaian kejadian yang
diperlukan untuk menghasilkan respon suatu agonis. Hambatan efek
agonis oleh antagonis nonkompetitif tidak dapat diatasi dengan
meningkatkan kadar agonis. Akibatnya, efek maksimal yang dicapai akan
berkurang, tetapi afinitas agonis terhadap reseptornya tidak berubah.

Menurut mekanisme terjadinya, antagonis dapat diklasifikasikan


sebagai berikut :

a. Antagonis kimiawi
Antagonisme yang terjadi pada 2 senyawa yang mengalami
reaksi kimia pada suatu larutan atau media sehingga mengakibatkan
efek obat berkurang. Contohmya, tetrasiklin mengikat secara kelat
logam-logam bervalensi 2 dan 3 (Ca, Mg, Al) sehingga efek obat
berkurang.
b. Antagonisme farmakokinetik
Antagonisme ini terjadi jika suatu senyawa secara efektif
menurunkan konsentrasi obat dalam bentuk aktifnya pada sisi aktif
reseptor. Contohnya, fenobarbital bekerja dengan induksi enzim
pemetabolisme warfarin sehingga konsentrasi warfarin berkurang
yang mengakibatkan efek berkurang.
c. Antagonism non-kompetitif
25

Agonis dan antagonis berikatan ada waktu yang bersamaan,


pada daerah selain reseptor. Contohnya, aksi papaverin terhadap
histamin ada reseptor histamine-1 otot polos trakea.

B.4 SINERGISME
Interaksi farmakodinamik yang paling umum terjadi adalah
sinergisme antara dua obat yang bekerja pada sistem, organ, sel, enzim
yang sama dengan efek farmakologi yang sama. Semua obat yang
mempunyai fungsi depresi pada susunan saraf pusat- sebagai contoh,
etanol, antihistamin, benzodiazepin (diazepam, lorazepam, prazepam,
estazolam, bromazepam, alprazolam), fenotiazin (klorpromazina,
tioridazina, flufenazina, perfenazina, proklorperazina, trifluoperazina),
metildopa, klonidina- dapat meningkatkan efek sedasi.

Mekanisme sinergisme
1. Sinergisme pada tempat yang sama
Interkasi di mana efek dua obat yang bekerja pada tempat yang
sama saling memperkuat. Walaupun banyak contoh interaksi yang
merugikan dengan mekanisme ini tetapi banyak pula interaksi yang
menguntungkan secara terapetik. Contohnya yaitu :
a. Efek obat pelemas otot depolarisasi (depolarizing muscle
relaxants) akan diperkuat/diperberat oleh antibiotika
aminoglikosida, kolistin dan polimiksin karena keduanya bekerja
pada tempat yang sama yakni pada motor end plate otot seran
lintang.
b. Kombinasi obat beta-blocker dan Ca++-channel blocker seperti
verapamil dapat menyebabkanaritmia/asistole. Keduanya bekerja
pada jaringan konduksi otot jantung yang sama.
2. Sinergisme pada tempat yang berbeda dari efek yang sama atau
hampir sama.
26

Obat-obat dengan efek akhir yang sama atau hampir sama,


walaupun tempat kerja ata reseptornya berlainan, kalau diberikan.
Contohnya yaitu :
a. Alkohol dan obat-obat yang berpengaruh terhadap susunan saraf
pusat,
b. Antara berbagai obat yang punya efek yang sama terhadap
susunan saraf pusat, misalnya depresi susunan saraf pusat.
c. Kombinasi antibiotika, misalnya penisilin dan aminoglikosida
d. Kombinasi beberapa obat antihipertensi

B.5 INTERAKSI FARMAKOKINETIKA


Interaksi farmakokinetik ada 4, yatiu :

1. Interaksi pada proses absorpsi

Interaksi dalam absorbsi di saluran cerna dapat disebabkan karena :

a. Interaksi langsung yaitu terjadi reaksi/pembentukan senyawa kompleks


antar senyawa obat yang mengakibatkan salah satu atau semuanya dari
macam obat mengalami penurunan kecepatan absorpsi. Contohnya,
interaksi tetrasiklin dengan ion Ca2+, Mg2+, Al2+ dalam antasid yang
menyebabkan jumlah absorpsi keduanya turun.

b. Perubahan pH

Interaksi dapat terjadi akibat perubahan harga pH oleh obat


pertama, sehingga menaikkan atau menurukan absorpsi obat kedua.
Contohnya, pemberian antasid bersama penisilin G dapat
meningkatkan jumlah absorpsi penisilin G.

c. Motilitas saluran cerna

Pemberian obat-obat yang dapat mempengaruhi motilitas saluan


cerna dapat mempegaruhi absorpsi obat lain yang diminum bersamaan.
Contohnya, antikolinergik yang diberikan bersamaan dengan
parasetamol dapat memperlambat parasetamol.
27

2. Interaksi pada proses distribusi

Di dalam darah senyawa obat berinteraksi dengan protein plasma.


Seyawa yang asam akan berikatan dengan albumin dan yang basa akan
berikatan dengan α1-glikoprotein. Jika 2 obat atau lebih diberikan maka
dalam darah akan bersaing untuk berikatan dengan protein
plasma,sehingga proses distribusi terganggu (terjadi peingkatan salah satu
distribusi obat kejaringan). Contohnya, pemberian klorpropamid dengan
fenilbutazon, akan meningkatkan distribusi klorpropamid.

3. Interaksi pada proses metabolisme

a. Hambatan metabolisme

Pemberian suatu obat bersamaan dengan obat lain yang enzim


pemetabolismenya sama dapat terjadi gangguan metabolisme yang dapat
menaikkan kadar salah satu obat dalam plasma, sehingga meningkatkan
efeknya atau toksisitasnya. Contohnya, pemberian S-warfarin bersamaan
dengan fenilbutazon dapat menyebabkan mengkitnya kadar Swarfarin dan
terjadi pendarahan.

b. Induktor enzim

Pemberian suatu obat bersamaan dengan obat lain yang enzim


pemetabolismenya sama dapat terjadi gangguan metabolisme yang dapat
menurunkan kadar obat dalam plasma, sehingga menurunkan efeknya atau
toksisitasnya. Contohnya, pemberian estradiol bersamaan denagn
rifampisin akan menyebabkan kadar estradiol menurun dan efektifitas
kontrasepsi oral estradiol menurun.

4. Interaksi pada proses eliminasi

a. Gangguan ekskresi ginjal akibat kerusakan ginjal oleh obat

Jika suatu obat yang ekskresinya melalui ginjal diberikan


bersamaan obat-obat yang dapat merusak ginjal, maka akan terjadi
akumulasi obat tersebut yang dapat menimbulkan efek toksik.
28

Contoh: digoksin diberikan bersamaan dengan obat yang dapat merusak


ginjal (aminoglikosida, siklosporin) mengakibatkan kadar digoksin naik
sehingga timbul efek toksik.

b. Kompetisi untuk sekresi aktif di tubulus ginjal

Jika di tubulus ginjal terjadi kompetisi antara obat dan metabolit


obat untuk sistem trasport aktif yangsama dapat menyebabkan hambatan
sekresi. Contohnya, jika penisilin diberikan bersamaan probenesid maka
akan menyebabkan klirens penisilin turun, sehingga kerja penisilin lebih
panjang.

c. Perubahan pH urin

Bila terjadi perubahan pH urin maka akan menyebabkan perubahan


klirens ginjal. Jika harga pH urin naik akan meningkatkan eliminasi obat-
obat yang bersifat asam lemah, sedangkan jika harga pH turun akan
meningkatkan eliminasi obat-obat yang bersifat basa lemah. Contohnya,
pemberian pseudoefedrin (obat basa lemah) diberikan bersamaan
ammonium klorida maka akan meningkatkan ekskersi pseudoefedrin.
Terjadi ammonium klorida akan mengasamkan urin sehingga terjadi
peningkatan ion.

B.6 INTERAKSI FARMAKODINAMIKA


Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat-obat
yang mempunyai efek farmakologi atau efek samping yang serupa atau
yang berlawanan. Interaksi ini dapat disebabkan karena kompetisi pada
reseptor yang sama, atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem
fisiologik yang sama. Interaksi ini biasanya dapat diperkirakan
berdasarkan sifat farmakologi obat-obat yang berinteraksi. Pada
umumnya, interaksi yang terjadi dengan suatu obat akan terjadi juga
dengan obat sejenisnya. Interaksi ini terjadi dengan intensitas yang
berbeda pada kebanyakan pasien yang mendapat obat-obat yang saling
berinteraksi.
29

RANGKUMAN :
1. Farmakodinamika adalah studi hubungan konsentrasi obat dengan efek
biologi (fisiologi dan biokimia) yang ditimbulkan.
2. Interaksi obat dan reseptor dapat membentuk komplek obat-reseptor yang
merangsang timbulnya respon biologis, baik respon antagonis maupun
agonis.
3. Teori interaksi obat dan reseptor ada 3, yaitu teori klasik, teori
pendudukan, dan teori kecepatan.
4. Agonis berikatan dengan reseptor dan energi kimia yang dilepaskan pada
ikatan menginduksi perubahan konformasi yang melepaskan rangkaian
kejadian biokima di dalam sel, menyebabkan adanya respon
5. Antagonis berikatan pada reseptor namun tidak mengaktivasinya
6. Interaksi farmakodinamik yang paling umum terjadi adalah sinergisme
antara dua obat yang bekerja pada sistem, organ, sel, enzim yang sama
dengan efek farmakologi yang sama
7. Interaksi farmakokinetik ada 4, yaitu interaksi pada proses absorpsi,
distribusi, metabolism, dan eliminasi.
8. Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat-obat
yang mempunyai efek farmakologi atau efek samping yang serupa atau
yang berlawanan.

LATIHAN SOAL :
1. Apa yang dimaksud farmakodinamik?
2. Jelaskan prinsip dari interaksi obat dan reseptor!
3. Sebutkan 3 teori interaksi obat dan reseptor!
4. Apa yang dimaksud dengan agonis dan antagonis?
5. Sebutkan 2 tipe antagonis!
6. Apa yang dimaksud sinergisme?
7. Sebutkan 4 interaksi farmakokinetik!
8. Apa yang dimaksud interaksi farmakodinamik!
30

BAB 5. EFEK TERAPI DAN EFEK YANG TIDAK


DIINGINKAN

 Objektif
Setelah membaca Bab ini, Mahasiswa akan :
 Mampu mmenjelaskan dan membedakan antara efek terapi dan efek yang
tidak diinginkan
 Mampu menjelaskan faktor yang mempengaruhi efek obat

A. PENGERTIAN EFEK
Efek adalah perubahan fungsi struktur atau proses sebagai akibat
dari kerja obat. Ada 2 macam efek, yaitu efek normal dan efek abnormal.
1. Efek normal adalah efek yang timbul pada sebagian besar individu.
Obat dalam dosis terapi dapat menimbulkan lebih dari 1 macam
efek yang dibedakan menjadi :
a. Efek primer, merupakan efek yang sesuai dengan tujuan
pengobatan.
b. Efek samping, merupakan efek yang tidak menjadi tujuan
utama pengobatan. Efek ini dapat menguntungkan dan
merugikan, tergantung pada kondisi dan situasi pasien.
2. Efek Abnormal adalah efek yang timbul pada sebagian kecil
individu/ kelompok tertentu. Kedua macam efek tersebut, dapat
terjadi pada dosis lazim yang dipergunakan pada terapi. Efek
abnormal dapat berupa toleransi dan intoleransi. Toleransi
merupakan peristiwa yang terjadi jika dibutuhkan dosis yang lebih
tinggi untuk menimbulkan efek yang sama dengan yang dihasilkan
oleh dosis normal sedangkan intoleransi adalah suatu
penyimpangan respon terhadap dosis obat tertentu.
31

B. EFEK SAMPING OBAT


Efek samping obat dapat dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Efek samping yang dapat diperkirakan
a. Efek farmakologik yang berlebihan
Terjadinya efek farmakologik yang berlebihan (disebut juga
efek toksik) dapat disebabkan karena dosis relative yang terlalu
besar bagi pasien yang bersangkutan. Keadaan ini dapat terjadi
karena dosis yang diberikan memang besar, atau karena adanya
perbedaan respons kinetic atau dinamik pada kelompok-kelompok
tertentu, contoh pada pasien dengan gangguan faal ginjal,
gangguan faal jantung, perubahan sirkulasi darah, usia, genetic
dsb., sehingga dosis yang diberikan dalam takaran lazim, menjadi
relative terlalu besar pada pasien-pasien tertentu. Selain itu efek ini
juga bisa terjadi karena interaksi farmakokinetik maupun
farmakodinamik antar obat yang diberikan bersamaan, sehingga
efek menjadi lebih besar. Efek samping jenis ini umumnya
dijumpai pada pengobatan dan depresansia susunan saraf pusat.
b. Gejala Penghentian Obat
Gejala penghentian obat adalah munculnya kembali gejala
penyakit semula atau reaksi pembalikan terhadap efek
farmakologik obat karena penghentian pengobatan. Contohnya, (1)
Agitasi ekstrim, takikardi, rasa bingung, delirium dan konvulasi
yang mungkin terjadi pada penghentian pengobatan dengan
depresansia susunan saraf pusat seperti barbitrat, benzodiazepine
dan alcohol dan (2) Krisis Addison akut yang muncul karena
penghentian terapi kortikosteroid, hipertensi berat dan gejala
aktivitas simpatetik yang berlebihan karena penghentian terapi
klonidin, gejala putus obat karena narkotika.
Reaksi putus obat ini terjadi karena selama pengobatan
telah berlangsung adaptasi pada tingkat reseptor. Adaptasi ini
menyebabkan toleransi terhadap efek farmakologik obat,sehingga
32

umumnya pasien memerlukan dosis yang makin lama makin besar


(sebagai contoh berkurangnya respons penderita epilepsi terhadap
fenobarbital/fenitoin,sehingga dosis perlu diperbesar agar serangan
tetap terkontrol). Reaksi putus obat dapat dikurangi dengan cara
menghentikan pengobatan secara bertahap misalnya dengan
penurunan dosis secara berangsur-angsur, atau dengan
menggantikan dengan obat sejenis ang mempunyai aksi lebih
panjang atau kurang poten,dengan gejala putus obat yang lebih
ringan.
2. Efek samping yang tidak berupa efek farmakologik utama

Efek-efek samping yang berbeda dari efek farmakologik


utamanya, untuk sebagian besar obat umumnya telah dapat
diperkirakan berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan
secara sistematik sebelum obat mulai digunakan untuk pasien. Efek-
efek ini umumnya dalam derajat ringan namun angka kejadiannya bisa
cukup tinggi. Sedangkan efek samping yang lebih jarang dapat
diperoleh dari laporan-laporan setelah obat dipakai dalam populasi
yang lebih luas. Data efek samping berbagai obat dapat ditemukan
dalam buku-buku standard, umumnya lengkap dengan perkiraan angka
kejadiannya. Sebagai contoh :
a. Iritasi lambung yang menyebabkan keluhan pedih, mual dan
muntah pada obat-obat kortikosteroid oral, analgetika-
antipiretika, teofilin, eritromisin, rifampisin, dll
b. Rasa ngantuk (drowsiness) setelah pemakaian antihistaminika
untuk anti mabok perjalanan (motion sickness)
c. Kenaikan enzim-enzim transferase hepar karena pemberian
rifampisin
d. Efek teratogenik obat-obat tertentu sehingga obat tersebut tidak
boleh diberikan pada wanita hamil
e. Penghambatan agregasi trombosit oleh aspirin ,sehingga
memperpanjang waktu pendarahan
33

f. Ototoksisitas karena kinin/kinidin,dsb.

C. EFEK SAMPING YANG TIDAK DAPAT DIPERKIRAKAN


1. Reaksi alergi
Alergi obat atau reaksi hipersensitivitas merupakan efek samping
yang terjadi dan terjadi akibat reaksi imunologik. Reaksi ini tidak
dapat diperkirakan sebelumnya, seringkali sama sekali tidak
tergantung dosis dan terjadi pada sebagian kecil dari populasi yang
menggunakan suatu obat. Reaksinya dapat bervariasi dari bentuk yang
ringan seperti reaksi kulit eritama sampai yang paling berat berupa
syok anafilaksi yang bisa fatal.
Reaksi alergi dapat dikenali berdasarkan sifat-sifat khasnya, yaitu:
a. Gejalanya sama sekali tidak sama dengan efek farmakologinya
b. Seringkali terdapat tenggang waktu antara kontak pertama terhadap
obat dengan timbulnya efek
c. Reaksi dapat terjadi pada kontak ulangan, walaupun hana dengan
sejumlah sangat kecil obat
d. Reaksi obat hilang bila obat dihentikan
e. Keluhan/gejala ang terjadi dapat ditandai sebagai reaksi
imunologik, misalna rash (ruam) di kulit
f. Serum sickness, anafilaksis, asma, urtikaria, angio-edema.

2. Reaksi karena faktor genetic

Pada orang-orang tertentu dengan variasi atau kelainan genetic,


suatu obat mungkin memberikan efek farmakologik yang berlebihan.
Efek obatnya sendiri dapat diperkirakan, namun subjek yang
mempunyai kelainan genetik seperti ini yang mungkin sulit dikenali
tanpa pemeriksaan spesifik (yang juga tidak mungkin dilakukan pada
pelayanan kesehatan rutin). Contohnya :
a. Pasien ang menderita kekurangan pseudokolinesterase herediter
tidak dapat memetabolasime uksinilkolin (suatu pelemas otot),
34

sehingga bila diberikan obat ini mungkin akan menderita paralisis


dan apnea yang berkepanjangan.
b. Pasien yang mempunyai kekurangan enzim G6PD (glukosa-6-
fosfat dehidrogenase) mempunyai potensi untuk menderita anemia
hemolitika akut pada pengobatan dengan primakuin, sulfonamide
dan kinidin.

Kemampuan metabolisme obat suatu individu juga dapat


dipengaruhi oleh faktor genetic. Contoh yang paling popular adalah
perbedaan metabolisme isoniazid, hidralazin dan prokainamid karena
adanya peristiwa polimorfisme dalam proses asetilasi obat-obat
tersebut. Berdasarkan sifat genetik yang dimiliki, populasi terbagi
menjadi 2 kelompok yakni individu-individu yang mampu
mengasetilasi secara cepat (aselitator cepat) dan individu-individu
yang mengasetilasi secara lambat (aselitator lambat). Di Indonesia,
65% dari populasi adalah asetilator cepat, sedangkan 35% adalah
asetilator cepat, sedangkan 35% adalah asetilator lambat. Pada
kelompok-kelompok etnik/sub-etnik lain, proporsi distribusi ini
berbeda-beda. Efek samping umumnya lebih banyak dijumpai pada
asetilator lambat dari pada asetilator cepat. Contohnya :
a. Neuropati perifer karena isoniazid lebih banyak dijumpai pada
asetilator lambat.
b. Sindroma lupus karena hidralazin atau prokainamid lebih sering
terjadi pada asetilator lambat.

3. Reaksi idiosinkratik
Istilah idiosinkratik digunakan untuk menunjukan suatu kejadian
efek samping yang tidak lazim, tidak di harapkan atau aneh, yang tidak
dapat diterangkan atau di perkirakan mengapa bisa terjadi. Reaksi
idiosinkratik ini relatif sangat jarang terjadi, beberapa contoh
diantaranya :
35

a. Kanker pelvis ginjal yang dapat diakibatkan pemakaian analgetika


secara serampangan
b. Kanker uterus yang dapat terjadi karena pemakaian estrogen
jangka lama tanpa pemberian progestin sama sekali
c. Obat-obat imunosupresi dapat memacu terjadinya tumor limfoid
d. Preparat-preparat besi intramuskuler dapat menyebabkan
sarcomata pada tempat penyuntikan
e. Kanker tiroid yang mungkin dapat timbul pada pasien-pasien yang
pernah menjalani perawatan iodium-radioaktif sebelumnya

RANGKUMAN :
1. Efek adalah perubahan fungsi struktur atau proses sebagai akibat
dari kerja obat.
2. Efek samping obat dapat dibagi menjadi 2 yaitu efek samping yang
dapat diperkirakan dan efek samping yang tidak berupa efek
farmakologik utama
3. Efek samping yang tidak dapat diperkirakan yaitu reaksi alergi,
reaksi karena factor genetic, reaksi idiosinkratik

LATIHAN SOAL :
1. Apa yang dimaksud dengan efek?
2. Jelaskan perbedaan dari efek normal dan efek abnormal!
3. Berikan contoh dari efek samping yang dapat diperkirakan!
4. Berikan contoh dari efek samping yang tidak berupa efek
farmakologik utama!
36

BAB 6. TOKSIKOLOGI DAN UJI-UJI TOKSIKOLOGI

 Objektif
Setelah membaca Bab ini, Mahasiswa akan :
 Mampu menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi toksisitas
 Mampu menunjukkan parameter-parameter toksisitas
 Mampu melakukan pengujian toksisitas

A. TOKSIKOLOGI
Toksikologi merupakan suatu ilmu farmakologi yang berhubungan
dengan efek samping atau sifat toksik suatu senyawa kimia. Toksikologi
tidak hanya berkaitan dengan aspek toksik obat yang digunakan dalam
proses terapi namun juga aspek toksik senyawa kimia lainnya (misalnya
polutan, racun, dll) dalam skala rumah tangga, industry, maupun
lingkungan. Ilmu toksikologi berkembang menjadi beberapa ilmu
diantaranya toksikologi forensik dan toksikologi klinik. Toksikologi
forensic menitikberatkan pada aspek medikolegal penggunaan senyawa
kimia yang berbahaya terhadap manusia atau hewan. Toksikologi klinik
berkaitan dengan kejadian toksisitas yang dipicu oleh penggunaan obat
pada pasien.
Disamping hal yang disebutkan di atas, toksikologi juga mengkaji
efek samping obat atau reaksi obat yang merugikan. Hampir semua obat
mempunyai efek toksik karena sebenarnya obat itu adalah racun. Obat
berfungsi sebagai obat jika digunakan pada dosis tertentu, namun jika
berlebihan (over dosis) akan berpotensi menghasilkan toksisitas dan jika
dosisnya rendah tidak akan memberikan efek yang diharapkan. Pada
dosis terapi, obat juga dapat memberikan efek samping. Contoh efek
samping atau reaksi obat yang merugikan antara lain : reaksi alergi,
37

hepatotoksik, nefrotoksik, teratogenik, ketergantungan dan toleransi


obat, karsinogenesis.

B. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TOKSISITAS


1. Faktor-faktor yang terkait dengan pemaparan
Bagi suatu bahan kimia berikut metabolit atau produk konversinya,
untuk dapat menimbulkan respon buruk atau memiliki dampak toksik
pada organisme perairan maka senyawa/bahan kimia tersebut harus
berada dalam posisi kontak dan bereaksi dengan reseptor yang tepat pada
organisme, dengan konsentrasi yang cukup tinggi dan durasi kontak
yang cukup lama. Konsentrasi dan waktu pemaparan yang dibutuhkan
untuk dapat menimbulkan dampak atau respon buruk bervariasi menurut
jenis bahan kimia, spesies organisme dan tingkat keparahan dampak
yang ditimbulkan. Dalam pendugaan dampak toksik bahan kimia, faktor-
faktor yang nyata terkait dengan pemaparan adalah: jenis, durasi,
frekuensi pemaparan dan konsentrasi bahan kimia.
2. Faktor-faktor yang terkait dengan organisme
Spesies memiliki tingkat kerentanan yang berbeda terhadap bahan
kimia. Perbedaan kerentanan ini diduga disebabkan oleh beberapa hal
seperti: perbedaan aksesibilitas toksikan terhadap organisme dimana
beberapa spesies tertentu memiliki kemampuan untuk secara efektif
mengeluarkan bahan toksik dalam waktu singkat (contoh: mekanisme
penutupan cangkang dan kemampuan melakukan metabolisme anaerob
pada kerang/bivalvia). Selain itu, laju dan pola metabolisme dan ekskresi
dapat mempengaruhi tingkat kerentanan tersebut. Hal lain yang
mempengaruhi tingkat kerentanan organisme terhadap toksikan adalah
faktor genetis, bahan makanan, serta status kesehatan dan nutrisi/gizi
organisme. Faktor usia atau stadia perkembangan organisme juga
menentukan tingkat kerentanan (vulnerability), yang disebabkan oleh
perkembangan mekanisme detoksifikasi lebih berkembang pada individu
dewasa.
38

3. Faktor-faktor lingkungan eksternal

Toksisitas bahan kimia dapat dipengaruhi oleh lingkungan


eksternal organisme yang terkait erat dengan ketersediaan bahan kimia
dalam media air seperti DO, pH, pE, suhu dan bahan padat terlarut.
4. Faktor-faktor yang terkait dengan bahan kimia
Terutama yang berhubungan dengan komposisi bahan kimia.
Ketidak-murnian (impurities) suatu bahan kimia dijumpai dari batch-
batch yang dihasilkan oleh produsen yang berbeda. Hal lain yang patut
dicatat adalah perbedaan tingkat kelarutan, tekanan penguapan dan pH
karena faktor-faktor ini secara jelas mempengaruhi ketersediaan,
persistensi, transfromasi dan bentuk/nasib akhir bahan kimia di
lingkungan perairan.
Uji toksisitas dilakukan untuk mengevaluasi konsentrasi bahan
kimia dan durasi pemaparan yang dibutuhkan agar dihasilkan kriteria
efek. Efek dari suatu bahan kimia bisa jadi tidak signifikan dimana
organisme perairan dapat melakukan seluruh aktifitasnya secara normal,
dan hanya dengan keberadaan stres lingkungan (contoh: perubahan
dalam pH, DO dan suhu) bahan kimia tersebut menimbulkan dampak
buruk yang terdeteksi dengan baik. Efek buruk juga dapat ditimbulkan
oleh terjadinya interaksi antara bahan kimia minoritas dengan bahan
kimia utama yang diuji.

C. ANALISIS TOKSISITAS
LD50 digunakan untuk perlakuan secara percobaan toksisitas
dalam media air. Pengujian efek toksik dengan larva Artemia salina,
dihitung dengan metode LD50 yang mana kematian setelah 6 jam
pemaparan dimasukkan kedalam kategori LD50 akut dan pemaparan
setelah 24 jam digolongkan LD50 kronis, akan tetapi dalam
pengerjaannya biasanya digunakan perhitungan LD50 setelah 24 jam
mengingat kelarutan ekstrak yang sukar larut membutuhkan waktu yang
39

lebih panjang. Penunjukan efek toksik yang dihasilkan memberikan


indikasi terganggunya proses pembentukan sel.

Nilai LD50 ditentukan dengan membuat kurva hubungan antara


mortalitas probit (sumbu y) dan log konsentrasi ekstrak (sumbu x). Nilai
LD50 merupakan konsentrasi dimana zat menyebabkan kematian 50%
yang diperoleh dengan memakai persa-maan regresi linier y = a + bx.
Suatu zat dikatakan aktif atau toksik bila nilai LD50 < 1000 ppm untuk
ekstrak dan < 30 ppm untuk suatu senyawa.

Berikut ini merupakan contoh perhitungan LD50 pada


penelitian Lubis et al (2016) dengan menggunakan analisis peobit.
40

Substitusi nilai y, a dan b ke persamaan linier y=ax+b untuk


memperoleh nilai x, dimana anti log x = LC50 Nilai y yang digunakan
disini adalah nilai probit dari 50 %, yaitu 5,00.

Sehingga:

5 = 1,7914𝑥 + 2,145.

1,7914𝑥 = 5 −2,145

𝑥 = 1,594082

𝑎𝑛𝑡𝑖 log 𝑥 = 39,27

𝐿𝐶50 = 39,27 ppm


41

Analisis Toksisitas Akuatik


Dalam Kooijman dan Bedaux (1996) Membahas analisis bioassay
standar untuk efek beracun pada kelangsungan hidup pertumbuhan tubuh
(ikan), reproduksi (Daphnia) dan pertumbuhan populasi (alga). Metode yang
digunakan dalam analisis bioassay standar ini juga berlaku untuk banyak
spesies organisme lainnya.

Beberapa properti statistik perkiraan tidak berpengaruh konsentrasi


Toksisitas akuatik senyawa kimia sehubungan dengan
kelangsungan hidup hewan diuji secara rutin dengan memaparkan kohor
individu untuk satu set yang dipilih konsentrasi selama periode standar.
Ukuran standar untuk dikarakterisasi toksisitas adalah konsentrasi di mana
probabilitas kelangsungan hidup adalah setengah dari itu kontrol, yang
disebut lc50, di sini dilambangkan sebagai cL50.
Konsentrasi tanpa efek untuk toxicants menarik dari biologi dan
sudut pandang legislatif. Menggunakan contoh hasil yang artifisial tetapi
khas dari bioassay tentang kelangsungan hidup dan dua model yang berbeda
untuk hubungan konsentrasi-efek, menunjukkan bahwa kepercayaan
berdasarkan kepercayaan dari efek sebagai parameter model bahaya
memiliki sifat statistik yang cukup dapat diterima.
42

Analisis Statistik Bioassays berdasarkan pemodelan bahaya.


Analisis data survival penting dalam studi toksikologi. Di
banyak laboratorium, Bioassay dilakukan secara rutin untuk menyelidiki
sifat toksikologi yang baru senyawa kimia. Penentuan konsentrasi LD50-
nilai dan no-efek (nec) adalah tujuan utamanya. Nilai LD50 senyawa adalah
konsentrasi diperkirakan menyebabkan kematian 50% dari populasi dalam
waktu yang tetap. Tanpa efek konsentrasi adalah konsentrasi maksimum
yang tidak memiliki efek mematikan dalam durasi percobaan.
Model stokastik diusulkan untuk menggambarkan efek mematikan
yang tergantung waktu senyawa beracun. Ini didasarkan pada asumsi
mekanistik sederhana dan menyediakan ukuran toksisitas senyawa kimia,
yang disebut tingkat pembunuhan. Itu tingkat pembunuhan tampaknya
merupakan alternatif yang menjanjikan untuk LD50. Model ini juga
menyediakan tingkat no-efek dan LD50, keduanya sebagai fungsi waktu
pencahayaan. Modelnya diterapkan ke data nyata dan data simulasi.
Analisisnya berdasarkan teori Anggaran Energi Dinamis dan
kinetika satu-kompartemen untuk senyawa beracun. Ini sepenuhnya
berorientasi pada proses. Peneliti membandingkan formulasi dalam istilah
efek langsung pada pertumbuhan dengan efek tidak langsung melalui
asimilasi dan pemeliharaan. Semua formulasi mengkarakterisasi efek dengan
konsentrasi tanpa efek, toleransi konsentrasi dan tingkat eliminasi.
Formulasi yang sederhana diperoleh dengan sangat tingkat eliminasi kecil
dan sangat besar. Akurasi perkiraan untuk tidak ada efek konsentrasi dinilai
oleh fungsi kemungkinan profil. Metode ini diilustrasikan dengan aplikasi
untuk beberapa set data untuk ukuran tubuh versus konsentrasi racun

Analisis tes toksisitas pada kelangsungan hidup Daphnia dan


reproduksi
Konsentrasi tanpa efek yang teramati (noec) masih dimainkan
peran penting dalam tujuan yang terakhir, tetapi penggunaannya berada di
bawah pengawasan yang meningkat karena masalah statistik yang terkait.
43

Upaya sebelumnya untuk memecahkan masalah ini dengan penggabungan


konsentrasi tanpa efek (nec) sebagai parameter model menderita dari
kesulitan.
Reproduksi dapat dipengaruhi langsung oleh bahan kimia beracun,
atau secara tidak langsung melalui efek pada makan, pertumbuhan atau
pemeliharaan. Ini karena proses ini sangat erat terkait. Teori Anggaran
Energi Dinamis (deb) memberikan landasan mekanistik yang telah diuji
terhadap banyak data eksperimen. Peneliti menyajikan analisis statistik
bioassay untuk kelangsungan hidup Daphnia dan reproduksi.
Analisis ini didasarkan pada teori Anggaran Energi Dinamis dan
kinetika satu kompartemen untuk senyawa beracun. Ini sepenuhnya
berorientasi pada proses. Kita membandingkan formulasi dalam hal efek
pada kelangsungan hidup selama oogenesis ke berbagai efek langsung dan
tidak langsung pada energetika reproduksi. Semua formulasi ciri efek
dengan konsentrasi tanpa efek, konsentrasi toleransi dan tingkat eliminasi.
Kami menyimpulkan bahwa semua opsi mengarah ke tingkat tanpa efek
yang serupa.

Konsentrasi tanpa efek dalam test penghambatan pertumbuhan alga


Kompromi ada antara jumlah konsentrasi berbeda yang digunakan
dalam pengujian dan jumlah ulangan per konsentrasi. Ketepatan meningkat
dengan jumlah konsentrasi yang berbeda dan kekuatan meningkat dengan
jumlah replika. Dalam penilaian risiko lingkungan bahan kimia, prediksi
tidak adanya efek lingkungan konsentrasi sangat bergantung pada tes
laboratorium yang berasal dari nilai-nilai noec. Namun, sebagian besar Tes
ekotoksisitas standar pada awalnya dirancang untuk menentukan nilai-nilai
ec50.
Peneliti membuat tiga model sederhana untuk efek senyawa kimia
pertumbuhan biakan biakan alga yang memungkinkan estimasi tidak adanya
efek konsentrasi. Model pertumbuhan mengasumsikan bahwa biaya untuk
pertumbuhan adalah proporsional pada konsentrasi yang melebihi level
44

tanpa efek. Model bahaya mengasumsikan itu tingkat bahaya sebanding


dengan konsentrasi yang melebihi tingkat tanpa efek.
Sedangkan menurut EPA (2002) metode yang digunakan untuk
memperkirakan LC50 dari tes toksisitas akut multi-konsentrasi tergantung
pada bentuk distribusi toleransi, dan seberapa baik konsentrasi efluen yang
dipilih mencirikan fungsi distribusi kumulatif untuk distribusi toleransi.
Empat metode untuk memperkirakan LC50 disajikan di bawah ini: Metode
Grafis, Metode Spearman-Karber, Metode Spearman-Karber, dan Metode
Probit. Metode ini bertujuan untuk memberikan interval kepercayaan 95%
terkait.

Metode graphical
Metode Grafis adalah prosedur matematika untuk menghitung
LC50. Prosedur memperkirakan LC50 dengan interpolasi linier antara titik-
titik plot kematian persentase yang diamati versus logaritma konsentrasi 10
logaritma (log10) persen. Penggunaan Metode Grafis hanya disarankan bila
tidak ada mortalitas parsial. Satu-satunya persyaratan untuk Metode Grafis
adalah bahwa persen mortalitas persen yang teramati 50%.

Metode spearman-karber

Metode Spearman-Karber adalah prosedur statistik nonparametrik


untuk memperkirakan LC50 dan interval kepercayaan 95% terkait. Prosedur
ini memperkirakan rerata distribusi log10 toleransi. Jika distribusi toleransi
log simetris, perkiraan rata-rata ini setara dengan perkiraan median dari
distribusi toleransi log. Jika proporsi respons tidak monoton tidak menurun
dengan meningkatnya konsentrasi (konstan atau terus meningkat dengan
konsentrasi), data akan lancar. Prosedur Abbott digunakan untuk
"menyesuaikan" hasil tes untuk mortalitas yang terjadi dalam kontrol.
Penggunaan Metode Spearman-Karber direkomendasikan ketika mortalitas
parsial terjadi dalam larutan uji, tetapi datanya tidak sesuai dengan model
Probit.
45

Untuk menghitung perkiraan LC50, hal berikut harus benar:


Sebuah. Kemiringan yang disesuaikan proporsi kematian untuk konsentrasi
efluen terendah (tidak termasuk kontrol) harus nol. Kelancaran proporsi
proporsi yang disesuaikan untuk konsentrasi efluen tertinggi harus satu.
Untuk menghitung interval kepercayaan 95% untuk perkiraan LC50, satu atau
lebih dari proporsi kehalusan yang disesuaikan harus antara nol dan satu.

Metode trimmed spearman-karber

The Trimmed Spearman-Karber Metode adalah modifikasi dari


prosedur statistik nonparametrik Spearman-Karber untuk memperkirakan
LC50 dan interval kepercayaan 95% terkait. Prosedur ini memperkirakan
mean yang dipangkas dari distribusi log10 dari toleransi. Jika distribusi
toleransi log simetris, perkiraan dari mean yang dipangkas setara dengan
perkiraan median dari distribusi toleransi log. Penggunaan Metode Spearman-
Karber yang Dipangkas hanya sesuai jika persyaratan untuk Metode Probit
dan Metode Spearman-Karber tidak terpenuhi.

Metode probit
Metode Probit adalah prosedur statistik parametrik untuk
memperkirakan LC50 dan interval kepercayaan 95% terkait. Analisis ini
terdiri dari transformasi proporsi kematian yang diamati dengan transformasi
probit, dan mengubah konsentrasi efluen ke log10. Mengingat asumsi
normalitas untuk log10 dari toleransi, hubungan antara variabel-variabel yang
ditransformasikan yang disebutkan di atas adalah kurang linear. Hubungan ini
memungkinkan estimasi parameter regresi linier, menggunakan pendekatan
iteratif. Estimasi LC50 dan interval keyakinan terkait dihitung dari estimasi
parameter regresi linier.
46

D. UJI-UJI KETOKSIKAN
1. UJI TOKSISITAS AKUT ORAL
Uji toksisitas akut oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi
efek toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan
uji yang diberikan secara oral dalam dosis tunggal, atau dosis berulang
yang diberikan dalam waktu 24 jam. Prinsip uji toksisitas akut oral yaitu,
sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan pada beberapa
kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok, kemudian
dilakukan pengamatan terhadap adanya efek toksik dan kematian.
Hewan yang mati selama percobaan dan yang hidup sampai akhir
percobaan diotopsi untuk dievaluasi adanya gejala-gejala toksisitas.
Tujuan uji toksisitas akut oral adalah untuk mendeteksi toksisitas
intrinsic suatu zat, menentukan organ sasaran, kepekaan spesies,
memperoleh informasi bahaya setelah pemaparan suatu zat secara akut,
memperoleh informasi awal yang dapat digunakan untuk menetapkan
tingkat dosis, merancang uji toksisitas selanjutnya, memperoleh nilai
LD50 suatu bahan/ sediaan, serta penentuan penggolongan bahan/
sediaan dan pelabelan.

B. UJI TOKSISITAS SUBKRONIS ORAL


Uji toksisitas subkronis oral adalah suatu pengujian untuk
mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji
dengan dosis berulang yang diberikan secara oral pada hewan uji selama
sebagian umur hewan, tetapi tidak lebih dari 10% seluruh umur hewan.
Prinsip dari uji toksisitas subkronis oral adalah sediaan uji dalam
beberapa tingkat dosis diberikan setiap hari pada beberapa kelompok
hewan uji dengan satu dosis per kelompok selama 28 atau 90 hari, bila
diperlukan ditambahkan kelompok satelit untuk melihat adanya efek
tertunda atau efek yang bersifat reversibel. Selama waktu pemberian
sediaan uji, hewan harus diamati setiap hari untuk menentukan adanya
toksisitas. Hewan yang mati selama periode pemberian sediaan uji, bila
47

belum melewati periode rigor mortis (kaku) segera diotopsi,dan organ


serta jaringan diamati secara makropatologi dan histopatologi.
Pada akhir periode pemberian sediaan uji, semua hewan yang
masih hidup diotopsi selanjutnya dilakukan pengamatan secara
makropatologi pada setiap organ dan jaringan. Selain itu juga dilakukan
pemeriksaan hematologi, biokimia klinis dan histopatologi. Tujuan uji
toksisitas subkronis oral adalah untuk memperoleh informasi adanya efek
toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut; informasi
kemungkinan adanya efek toksik setelah pemaparan sediaan uji secara
berulang dalam jangka waktu tertentu; informasi dosis yang tidak
menimbulkan efek toksik (No Observed Adverse Effect Level / NOAEL);
dan mempelajari adanya efek kumulatif dan efek reversibilitas zat
tersebut.

C. UJI TOKSISITAS KRONIS ORAL


Uji toksisitas kronis oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi
efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji secara berulang
sampai seluruh umur hewan. Uji toksisitas kronis pada prinsipnya sama
dengan uji toksisitas subkronis, tetapi sediaan uji diberikan selama tidak
kurang dari 12 bulan. Tujuan dari uji toksisitas kronis oral adalah untuk
mengetahui profil efek toksik setelah pemberian sediaan uji secara
berulang selama waktu yang panjang, untuk menetapkan tingkat dosis
yang tidak menimbulkan efek toksik(NOAEL). Uji toksisitas kronis
harus dirancang sedemikianrupa sehingga dapat diperoleh informasi
toksisitas secara umum meliputi efek neurologi, hematologi, biokimia
klinis dan histopatologi.

D. UJI TERATOGENISITAS
Uji teratogenisitas adalah suatu pengujian untuk memperoleh
informasi adanya abnormalitas fetus yang terjadi karena pemberian
sediaan uji selama masa pembentukan organ fetus (masa organogenesis).
48

Informasi tersebut meliputi abnormalitas bagian luar fetus (morfologi),


jaringan lunak serta kerangka fetus. Prinsip uji teratogenisitas adalah
pemberian sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis pada beberapa
kelompok hewan bunting selama paling sedikit masa organogenesis dari
kebuntingan, satu dosis per kelompok. Satu hari sebelum waktu
melahirkan induk dibedah, uterus diambil dan dilakukan evaluasi
terhadap fetus.

E. UJI SENSITISASI KULIT


Uji sensitisasi kulit adalah suatu pengujian untuk mengidentifikasi
suatu zat yang berpotensi menyebabkan sensitisasi kulit. Prinsip uji
sensitisasi kulit adalah hewan uji diinduksi dengan dan tanpa Freund’s
Complete Adjuvant (FCA) secara injeksi intradermal dan topikal untuk
membentuk respon imun, kemudian dilakukan uji tantang (challenge
test). Tingkat dan derajat reaksi kulit dinilai berdasarkan skala
Magnusson dan Kligman.

F. UJI IRITASI MATA


Uji iritasi mata adalah suatu uji pada hewan uji (kelinci albino)
untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemaparan sediaan uji
pada mata. Prinsip uji iritasi mata adalah sediaan uji dalam dosis tunggal
dipaparkan kedalam salah satu mata pada beberapa hewan uji dan mata
yang tidak diberi perlakuan digunakan sebagai kontrol. Derajat
iritasi/korosi dievaluasi dengan pemberian skor terhadap cedera pada
konjungtiva, kornea, dan iris pada interval waktu tertentu. Tujuan uji
iritasi mata adalah untuk memperoleh informasi adanya kemungkinan
bahaya yang timbul pada saat sediaan uji terpapar pada mata dan
membran mukosa mata.
49

G. UJI IRITASI AKUT DERMAL


Uji iritasi akut dermal adalah suatu uji pada hewan (kelinci albino)
untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemaparan sediaan
uji pada dermal selama 3 menit sampai 4 jam. Prinsip uji iritasi akut
dermal adalah pemaparan sediaan uji dalam dosis tunggal pada kulit
hewan uji dengan area kulit yang tidak diberi perlakuan berfungsi
sebagai kontrol. Derajat iritasi dinilai pada interval waktu tertentu yaitu
pada jam ke 1, 24, 48 dan 72 setelah pemaparan sediaan uji dan untuk
melihat reversibilitas, pengamatan dilanjutkan sampai 14 hari. Tujuan uji
iritasi akut dermal adalah untuk menentukan adanya efek iritasi pada
kulit serta untuk menilai dan mengevaluasi karakteristik suatu zat
apabila terpapar pada kulit.

H. UJI IRITASI MUKOSA VAGINA


Uji iritasi mukosa vagina adalah suatu uji yang digunakan untuk
menguji sediaan uji yang kontak langsung dengan jaringan vagina dan
tidak dapat diuji dengan cara lain. Prinsip uji iritasi mukosa vagina
adalah sediaan uji dibuat ekstrak dalam larutan NaCl 0,9% atau minyak
zaitun dan selanjutnya ekstrak dipaparkan kedalam lapisan mukosa
vagina hewan uji selama tidak kurang dari 5 kali pemaparan dengan
selang waktu antar pemaparan 24 jam. Selama pemaparan, jaringan
mukosa vagina diamati dan diberi skor terhadap kemungkinan adanya
eritema, eksudat dan udema. Setelah selesai pemaparan hewan uji
dikorbankan dan diambil jaringan mukosa vaginanya untuk dievaluasi
secara histopatologi. Tujuan uji iritasi mukosa vagina adalah untuk
mengevaluasi keamanan dari alat-alat kesehatan yang kontak dengan
mukosa vagina.

I. UJI TOKSISITAS AKUT DERMAL


Uji toksisitas akut dermal adalah suatu pengujian untuk mendeteksi
efek toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemaparan suatu
50

sediaan uji dalam sekali pemberian melalui rute dermal. Prinsip uji
toksisitas akut dermal adalah beberapa kelompok hewan uji menggunakan
satu jenis kelamin dipapar dengan sediaan uji dengan dosis tertentu, dosis
awal dipilih berdasarkan hasil uji pendahuluan. Selanjutnya dipilih dosis
yang memberikan gejala toksisitas tetapi yang tidak menyebabkan gejala
toksik berat atau kematian. Tujuan uji toksisitas akut dermal adalah untuk
mendeteksi toksisitas intrinsik suatu zat, memperoleh informasi bahaya
setelah pemaparan suatu zat melalui kulit secara akut dan untuk
memperoleh informasi awal yang dapat digunakan untuk menetapkan
tingkat dosis dan merancang uji toksisitas selanjutnya serta untuk
menetapkan nilai LD50 suatu zat, penentuan penggolongan zat,
menetapkan informasi pada label dan informasi absorbsi pada kulit.

J. UJI TOKSISITAS SUBKRONIS DERMAL


Uji toksisitas subkronis dermal adalah suatu pengujian untuk
mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji
dengan dosis berulang yang diberikan melalui rute dermal pada hewan uji
selama sebagian umur hewan, tetapi tidak lebih dari 10% seluruh umur
hewan.
Prinsip uji toksisitas subkronis dermal adalah sediaan uji dalam
beberapa tingkat dosis diberikan setiap hari yang dipaparkan melalui kulit
pada beberapa kelompok hewan uji. Selama waktu pemberian sediaan uji,
hewan harus diamati setiap hari untuk menentukan adanya toksisitas.
Hewan yang mati selama periode pemberian sediaan uji, bila belum
melewati periode rigor mortis (kaku) segera diotopsi, organ dan jaringan
diamati secara makropatologi dan histopatologi. Pada akhir periode
pemberian sediaan uji, semua hewan yang masih hidup diotopsi
selanjutnya dilakukan pengamatan secara makropatologi pada setiap
organ maupun jaringan, serta dilakukan pemeriksaan hematologi,
biokimia klinis, histopatologi.
51

Tujuan uji toksisitas subkronis dermal adalah untuk mendeteksi


efek toksik zat yang belum terdeteksi pada uji toksisitas akut dermal,
mendeteksi efek toksik setelah pemaparan sediaan uji melalui kulit secara
berulang dalam jangka waktu tertentu, mempelajari adanya efek kumulatif
dan efek reversibilitas setelah pemaparan sediaan uji melalui kulit secara
berulang dalam jangka waktu tertentu.

RANGKUMAN :
1. Toksikologi merupakan suatu ilmu farmakologi yang berhubungan
dengan efek samping atau sifat toksik suatu senyawa kimia
2. Faktor-faktor yang terkait dengan pemaparan : jenis, durasi, frekuensi
pemaparan dan konsentrasi bahan kimia.
3. Faktor-faktor yang terkait dengan organisme : laju dan pola
metabolisme dan ekskresi, faktor genetis, bahan makanan, serta status
kesehatan dan nutrisi/gizi organisme, usia atau stadia perkembangan
organisme
4. Faktor-faktor lingkungan eksternal : DO, pH, pE, suhu dan bahan padat
terlarut.
5. Faktor-faktor yang terkait dengan bahan kimia : Ketidak-murnian
(impurities) dari bahan kimia
6. Uji –uji ketoksikan : uji toksisitas akut oral, uji toksisitas subkronis
oral, uji toksisitas kronis oral, uji teratogenisitas, uji sensitisasi kulit, uji
iritasi mata, uji iritasi akut dermal, uji iritasi mukosa vagina, uji
toksisitas akut dermal, uji toksisitas subkronik dermal

LATIHAN SOAL :

1. Apa yang dimaksud dengan toksikologi?


2. Sebutkan 4 faktor yang mempengaruhi toksisitas!
3. Sebutkan uji-uji ketoksikan!
52

DAFTAR PUSTAKA

Aprilia HA, Dellanis P. Yudiati E. 2012. Uji toksisitas ekstrak kloroform


cangkang dan duri Landak Laut (Dladema setosom) terhadap mortalitas
Naupllus Artemia sp. Journal of Marine Research. 1(1) : 75- 83.

Aras TR. 2013. Uji toksisitas ekstrak Teripang Holothuria scabra terhadap
Artemia salina. [Skripsi]. Program Studi Ilmu Kelautan, Univesritas
Hasanuddin.

Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan


Indonesia

Departemen Kesehatan Indonesia; Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas


Terbatas, Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, BINFAR, 2006

Deskawati E, Sri P, Purwatiningsih. 2014. Karakteristik dan uji toksisitas Ikan


Buntal dari Perairan Pameungpeuk, Jawa Barat. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Kelautan Tropis. 6(1): 101- 107.

Dorland; Kamus Kedokteran, Edisi 31 ; Penerbit EGC; 2010

Drug Information Handbook; lexi.com 23rd Edition; 2014

EPA. 2002. Methods for Measuring the Acute Toxicity of Effluents and Receiving
Waters to Freshwater and Marine Organisms. Washington.

Gitawati, R ; Interaksi obat dan beberapa implikasinya, Media Litbang Kesehatan


Volume XVIII, nomor 4; 2008

Gunawan, Gan Sulistia. 2009. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta:


Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
53

Harkness, Richard; Interaksi Obat; Penerbit 1TB; Bandung; 1989

ISO Indonesia; Volume 48; Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia; FT. AKA; Jakarta;
2014

Joseph T. Dypiro; Encyclopedia of Clinical Pharmacy, Marcel Dekker Inc,


November 2002

Katzung, Bertram G. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik; Edisi keenam. Jakarta
: EGC

Katzung, Bartram G.2001.Farmakologi Dasar dan Klinik.Jakarta. Salemba


Medika.

Katzung, Bartram G.2002.Farmakologi Dasar dan Klinik.Jakarta. Salemba


Medika.

Kooijman SALM, Bedaux JJM. 1996. The analysis of aquatik toxicity data.
Amsterdam : University Press.

Lubis MY. Lamek M. Pandapotan n. Simanjuntak P. 2016. Uji fenolik dan Uji
toksisitas Ekstrak Metanol Kulit Jengkol ( Archidendron Jiringa).
Chempublish Journal Volume. 1 (2): 42- 51.

Mansjoer, Arif, dkk; Kaplta Selekta Kedokteran; Edisi ketiga; Jilid 1; Media
Aesculapius, FK UI; Jakarta; 1999

Mutschler, E., 1985, Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi, 88-93,


Penerbit ITB, Bandung

Mutschler, Ernst. 1991. Dinamika Obat, Edisi Kelima. Bandung : Penerbit ITB
54

Nugroho, Agung Endro. 2011. Farmakologi Obat-obat Penting dalam


Pembelajaran Ilmu Farmasi dan Dunia Kesehatan. Yogyakarta. Pustaka
Pelajar

Peraturan Kepala BPOM RI No 7 Tahun 2014 tentang Pedoman Uji Toksisitas


Nonklinik Secara In Vivo

Rahayu MR, James S, Swantara IM. 2013. Uji toksisitas dan identifikasi Ekstrak
Etanol Spons Callyspora aerizusa terhadap larva Artemia salina L. Jurnal
Cakra Kimia Indonesia. 1 910: 1-7.

Setiawati dkk. Pengantar Farmakologi dalam farmakologi dan terapi edisi 4.


Jakarta. Gaya Baru:1995

Simatupang, Abraham. 2016. Farmakologi. Jakarta. Elsevier

Staf pengajar deartemen farmakologi, 2008. (Kumpulan Kuliah Farmakologi


Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Ed. 2. Jakarta : EGC, 2008)

Sulanjani, Ian, dkk. 2013. Dasar-dasar Famakologi 1 Kelas X Semester 1.


Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Sulistia, dkk, 2007, Famakologi dan Terapi, 862-872, UI Press, Jakarta

Sulistia Gan Gunawan; Farmakologi dan Terapi, edisi 5, Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia; 2012

Suprihatin, Handayani, Sutarno. 2013. Uji toksisitas ekstrak rumput laut (


Sargassum cinerium, Acanthophora muscoidaes dan Caulerpa
cupressoides) berdasarkan uji letalitas Brine Shrimp. [Karya Ilmiah].
Fakultas Biologi, Universitas Nasional.
55

Syamsudin.2011.Buku Ajar Farmakologi Efek Samping Obat.Jakarta.penerbit


Salemba Medika.

Wibowo, Samekto dan Gofir Abdul. 2001. Farmakoterapi dalam Neurologi.


Jakarta : Penerbit Salemba Medika

.
BIODATA PENULIS

Siti Zamilatul Azkiyah, S.Farm., M.Farm., Apt

Lahir di Jakarta tanggal 1 Juli 1991. Alamat rumah yaitu Perumahan

Timur Pondok Pesantren Salafiyah-Syafi’iyah Sukorejo Rt 02/ Rw 05

Kecamatan Banyuputih Kabupaten Situbondo. Riwayat pendidikan : (a) SDN 1

Cireundeu, tahun lulus 2003, (b) SMPN 85 Jakarta, lulus tahun 2006, (c)

SMAN 34 Jakarta, lulus tahun 2008, (d) Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatulla Jakarta Jurusan S1 Farmasi, tahun lulus 2013, (e) Universitas

Indonesia Profesi Apoteker, lulus tahun 2015, dan (f) Universitas Indonesia

Jurusan Magister Farmasi, tahun lulus 2017. Pengalaman kerja : (a) RSUPN

Cipto Mangunkusumo sebagai Intership, (b) RSUPN Fatmawati sebagai

Intership, dan (c) Kaikoukai Clinic Senayan sebagai Apoteker.

Anda mungkin juga menyukai