Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH METAFISIKA (CABANG FILSAFAT ILMU)

Dosen pengampu : Prof. Dr. Dedy Takdir Syaifuddin, S.E.,M.Si.

KELOMPOK 1 :

1. KADEK DEVA SAPUTRA (B1B122119)


2. KARNI ASTUTI (B1B122121)
3. LA ODE ALMUHAJIRIN (B1B122125)
4. LUH RASMAWATI (B1B122131)
5. MU’ADZ (B1B122137)
6. MUH. AMAR MA’RUF USMAN (B1B122140)
7. MUH. FADIL AYMAN (B1B122141)
8. RUSMIATI A. LA MARAE (B1B122162)
9. SARNIATI NAZTRI (B1B122166)
10. SILVI EKAPUTRI (B1B122167)
11. SITI APRIANTI USU (B1B122169)
12. SRI UTAMI NINGSIH (B1B122173)

JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat membuat makalah ini dengan baik dan
tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami membahas mengenai “Metafisika (Cabang
Filsafat Ilmu)”. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas yang telah diberikan oleh dosen
pengampuh mata kuliah Filsafat Ilmu, dimana dalam pembuatan makalah ini terdapat banyak
bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama
mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada pembuatan
makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik
yang dapat membangun kami. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca dan masyarakat pada umumnya.

Kendari, 3 Maret 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................................2
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................3
BAB I..........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................4
A. Latar Belakang...............................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................5
C. Tujuan...............................................................................................................................................5
BAB II.........................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................6
A. Pengertian Metafisika..................................................................................................................6
B. Sejarah Metafisika.........................................................................................................................8
C. Pentingnya Metafisika..................................................................................................................9
D. Hubungan antara Filsafat Ilmu dan Metafisika.....................................................................10
E. Objek Kajian Metafisika..............................................................................................................10
1. Teologi.........................................................................................................................................11
2. Cosmologi....................................................................................................................................12
3. Antropologi...................................................................................................................................12
F. Pengaruh Tentang Kajian Metafisika Dalam Kehidupan dan Dalam Pengembangan
Ilmu Pengetahuan.............................................................................................................................13
1) Metafisika dan Pengalaman Hidup.......................................................................................13
2) Metafisika dalam Pengembangan Ilmu................................................................................14
G. Beberapa Tafsiran Metafisika...................................................................................................16
H. Hubungan Metafisika dengan Epistimologi, Aksiologi dan Logika.................................17
BAB III......................................................................................................................................................18
PENUTUP................................................................................................................................................18
A. Kesimpulan...................................................................................................................................18
B. Saran...............................................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................................20
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia
adalah Metafisika. Dimana di dalamnya menjelaskan studi keberadaan atau realitas. Metafisika
mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas?
Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta? Penggunaan istilah metafisika
telah berkembang untuk merujuk pada hal-hal yang diluar dunia fisik. Metafisika adalah tempat
khusus yang diperuntukan bagi objek-objek transenden, daerah spekulatif bagi tanggapan-
tanggapan tentang Tuhan, kebebasan dan jiwa, juga sebagai pangkalan bagi sistem-sistem
spekulatif, teoriteori dan tanggapan dunia terhadap sesuatu yang eksistensinya di luar dimensi
yang fisik-empirik.

Kata filsafat berasal dari kata ‘philosophia’ (bahasa Yunani), diartikan dengan ‘mencintai
kebijaksanaan’. Sedangkan dalam bahasa Inggris kata filsafat disebut dengan istilah
‘philosophy’, dan dalam bahasa Arab disebut dengan istilah ‘falsafah’, yang biasa diterjemahkan
dengan ‘cinta kearifan’. Sumber dari filsafat adalah manusia, dalam hal ini akal dan kalbu
manusia yang sehat yang berusaha keras dengan sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran
dan akhirnya memperoleh kebenaran.

Adapun menurut Kattsoff yang menjadi cabang-cabang filsafat adalah logika,


metodologi, metafisika, ontologi dan kosmologi, epistemologi, biologi kefilsafatan, psikologi
kefilsafatan, antropologi kefilsafatan, sosiologi kefilsafatan, etika, estetika, dan filsafat agama.

Adapun kata ilmu (science) diartikan sebagai pengetahuan tentang sesuatu, atau bagian
dari pengetahuan. Menurut J.S Badudu (1996-528) ilmu adalah : Pertama, diartikan sebagai
pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara sistematis. Kedua, ilmu diartikan
sebagai ‘kepandaian’ atau ‘kesaktian’.

Jujun S. Suriasumantri menjelaskan bahwa filsafat ilmu merupakan suatu pengetahuan


atau epistemologi yang mencoba menjelasakan rahasia alam agar gejala alamiah tersebut tak
lagi merupakan misteri. Dalam filsafat ilmu Persons (Ismaun:2004) dalam studinya melakukan
pendekatan sebagai berikut

1. Pendekatan received view yang secara klasik bertumpu pada aliran positivsme yang
berdasar kepada fakta-fakta.
2. Pendekatan menampilkan diri dari sosok rasionality yang membuat kombinasi antara
berpikir empiris dengan berpikir structural dalam matematika.
3. Pendekatan fenomenologik yang tidak hanya sekedar pengalaman langsung,
melainkan pengalaman yang mengimplikasikan pernafsiran dan kalsifikasi.
4. Pendekatan metafisik, yang bersifat intransenden. Moral berupa sesuatu yang
objektif universal.
5. Pragmatisme, walaupun bukan tetapi menarik disajikan, karena dapat menyatukan
antara teori dan praktek.
Dimensi kajian filsafat ilmu antara lain dimensi ontologi, epistemologi,dan akseologi
yang mana dalam dimensi ontologi yang menjadi bagian dari objek kajiannya adalah metfisika.

Metafisika merupakan salah satu cabang ilmu filsafat yang mempelajari dan memahami
mengenai penyebab segala sesuatu sehingga hal tertentu menjadi ada, dimana di dalamnya
menjelaskan studi keberadaan atau realitas. Belajar dasar-dasar metafisika turut mengarahkan
manusia untuk berupaya mengerti lebih dalam keberadaannya.

Dengan berpikir matefisis sebagai pengaruh dari belajar dasar-dasar metafisika tersebut
dapat meredam hedonisme dan materialisme. Hal ini selaras dengan karakteristik metafisika
yang menekankan kepada pengetahuan akal budi, di mana isi dari pengetahuan akal budi itu
lebih pasti ketimbang dengan pengetahuan inderawi yang senantiasa dalam perubahan, yang
justru metafisika bila dipelajari mendorong orang untuk mempergunakan akal budi dalam
proses mencapai realitas rohaniah sebagai realitas mutlak sang pengatur seluruh alam, dan
memang realitas mutlak ini dapat digapai oleh akal budi, sehingga memposisikan realitas
material tidak penting manakala menghambatnya.

Metafisika pada masa Yunani kuno dikatakan sebagai ilmu mengenai yang ada dalam
dirinya sendiri. Dengan metafisika orang ingin memahami realitas dalam dirinya sendiri.
Berbicara mengenai yang ada berarti bergaul dengan sesuatu yang sungguh-sungguh riil,
sejauh yang ada itu sebagai suatu kondisi semua realitas. Metafisika mempunyai objek kajian
yang mengatasi pengalaman indrawi yang bersifat individual. Metafisika bertugas mencari
kedudukan yang individual itu dalam konteks keseluruhan. Metafisika mengajak orang untuk
tidak terpaku pada pohon ini atau itu atau masalah kesehatan manusia dan lain-lain yang
tertentu, tetapi melihat semuanya itu dalam konteks bahwa semua itu ada.

Metafisika pada masa sekarang menjadi bidang filsafat yang memikirkan dan
mempelajari hal-hal yang ‘mengatasi’ atau ‘di luar’ pembahasan tentang hal-hal yang fisik dan
empiris di mana sudut pandang metafisika mengatasi fisika (metaphysica).

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan metafisika ?
2. Bagaimanakah hubungan antara filsafat ilmu dan metafisika ?
3. Apa saja yang menjadi objek kajian dalam metafisika ?
4. Bagaimanakah pengaruh tentang kajian metafisika dalam kehidupan dan dalam
pengembangan ilmu pengetahuan ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan menjelasakan pengertian metafisika.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan hubungan antara filsafat ilmu dan
metafisika.
3. Untuk mengetahui dan menjelaskan objek kajian dalam metafisika.
4. Untuk mengetahui dan menjelaskan pengaruh tentang kajian metafisika dalam
kehidupan dan dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Metafisika
Metafisika merupakan bagian dari aspek ontologi dalam kajian filsafat. Konsepsi
metafisika berasal dari bahansa Inggris : metaphysics, Latin :metaphysica dari Yunani
metaphysica (sesudah fisika); dari kata meta (setelah, melebihi) dan physikos (menyangkut
alam) atau physis (alam). Metafisika berasal dari kata meta (di balik, tersembunyi) dan fisika
(dunia yang tampak). Metafisika adalah bagian dari filsafat ilmu yang memperlajari di balik
realitas. Artinya ilmu yang menyelidik hakikat segala sesuatu dari alam nyata dengan tidak
terbatas pada sesuatu yang ditangkap oleh panca indera.' Metafisika secara terminologis
dipahami sebagai semua studi mengenai "sesuatu" (ada) yang mengatasi fenomena atau
mengatasi realitas fisik yang tampak.

Pengertian ini menampik pemahaman bahwa metafisika sama saja dengan


pengetahuan yang bersifat post physicam, yaitu ilmu yang ada karena muncul sesudah fisika
dan matematika. Artinya metafisika yang dikatakan sebagai filsafat pertama memuat uraian
tentang sesuatu yang ada di belakang gejala-gejala fisik. Menurut van Peursen, metafisika
adalah bagian filsafat yang memusatkan perhatiannya pada pertanyaan mengenai akar
terdalam yang mendasari segala adanya kita. Koestenbaum mendefinisikan metafisika sebagai
studi mengenai karakteristik yang sangat umum dan paling dasar dari kenyataan yang
sebenarnya.

Aspek kenyataan yang diuji seperti ruang dan waktu, kesadaran, jiwa dan materi, ada,
eksistensi, perubahan, substansi dan sifat, actual dan potensial, dan lain sebagainya. Persoalan
yang seperti ini biasanya muncul dalam ilmu pengetahuan, agama bahkan common sense.

Menurut Aristoteles, ilmu metafisika termasuk cabang filsafat teoritis yang membahas
hakikat segala sesuatu, sehingga ilmu metafisika menjadi inti filsafat. Selain itu, ia juga
menyebutkan bahwa metafisika menelaah kenyataan seluruhnya sejauh "yang ada" merupakan
sesuatu. Artinya, metafisika mempelajari kenyataan sebagai "adaan" atau being, karena
sifatnya umum. Sehingga metafisika disebut sebagai ilmu yang tertinggi. Pada dasarnya,
metafisika meneliti perbedaan antara penampakan (appearance) dan kenyataan (reality).
Karena benda-benda tidak sepenuhnya tampak adanya, tugas metafisika adalah untuk
mengungkapkan apa yang ada di dasar pikiran manusia atau kenyataan yang sesungguhnya
tersembunyi di belakang penampakan indera manusia. Metafisika berusaha untuk
menggabungkan satu sistem atau visi dari semua ilmu pengetahuan, serta menggabungkan
pandangan common sense, seni (puisi dan karya seni lainnya), agama, serta kewajiban moral
kedalam satu pandangan yang menyatu dan menyeluruh mengenai kenyataan. Sehingga,
pernyataan atau proposisi metafisika bersifat sangat umum, evokatif, dan sering samar-samar
(kurang jelas).

Metafisika merupakan cabang filsafat umum yang bertugas mencari jawaban tentang
yang “ada”, yaitu filsafat yang memburu hakikat sesuatu yang ada, atau menyelidiki prinsip-
prinsip utama. Yang dimaksud dengan “yang ada” atau “being” ialah segala sesuatu yang ada
dan mungkin ada. Adapun mengenai yang ada itu dibedakan menjadi tiga macam :

1) Ada dalam objektif atau ada dalam kenyataan, artinya dapat diketahui dengan panca indra
manusia;
2) Ada dalam angan-angan atau ada dalam pikiran; dan
3) Ada dalam kemungkinan.

Dalam perkembangannya, cabang metafisika yang membicarakan hakikat sesuatu yang


ada, maka penyelidikannya menjadi lebih khusus, sehingga timbul subcabang metafisika yaitu
ontology, kosmologi, dan anthropologi. Untuk mendeskripsikan secara lebih jelas posisi dan
kedudukan metafisika, dapat dikemukakan bahwa ilmu pengetahuan dan pemikiran manusia
melewati 3 jenis tahapan yaitu :

a) Abstraksi pertama, yaitu fisika, menggariskan bahwa manusia berpikir ketika mengamati
secara indrawi. Dengan berpikir, akal dan budi kita “melepaskan diri” dari pengamatan
indrawi tertentu yaitu “materi yang dapat dirasakan”. Dari hal-hal yang pertikular dan nyata,
ditarik daripadanya hal-hal yang bersifat umum ; itulah proses abstraksi dari cirri-ciri
individual. Akal budi manusia, bersama materi yang “abstrak” itu, menghasilkan ilmu
pengetahuan yang disebut “fisika” (“physos” = alam)
b) Abstraksi kedua, yakni matematis. Ini terjadi ketika manusia dapat melepaskan diri dari
materi yang kelihatan. Itu terjadi kalau akal budi melepaskan dari materi hanya segi yang
dapat dimerngerti. Ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh jenis abstraksi dari semua ciri
material ini disebut “matesis” (“matematika” – mathesis = pengetahuan, ilmu).
c) Abstraksi ketiga, teologi atau “filsafat pertama”. Dengan meng-“abstrahere” dari semua
materi dan berpikir tentang seluruh kenyataan, tentang asal dan tujuannya, tentang asas
pembentukannya, bersifat teleology, asas pertama dalam mendapatkan hakikat realitas dan
sebagainya. Pemikiran pada aras ini menghasilkan ilmu pengatahuan yang disebut teologi
atau “filsafat pertama”. Akan tetapi kerena pengetahuan ini “datang sesudah” fisika, maka
tradisi selanjutnya disebut metafisika.

Sejajar dengan konsep tersebut wilayah filsafat dibagi dalam tiga tingkatan, yakni:

1) First order criteriologi meliputi metafisika, epistemology, aksiologi, dan logika.


2) Second order criteriologi meliputi etika, filsafat ilmu, filsafat bahasa, filsafat pikiran.
3) Third order criteriologi meliputi filsafat hukum, filsafat pendidikan, filsafat sejarah, dan lain-
lain.

Metafisika secara tradisional didefinisikan sebagai pengetahuan tentang pengada


(being). Di sini metafisika merupakan upaya untuk menjawab problem tentang realitas yang
lebih umum, komprehensif, atau lebih fundamental daripada ilmu dengan cara merumuskan
fakta yang paling umum dan luas tentang dunia termasuk penyebutan katagori yang paling
dasar dan hubungan di antara kategori tersebut.

Metafisika sebagai ilmu mempunyai objeknya tersendiri. Hal ini yang membedakannya
dari pendekatan rasional yang lain. Objek telaahan metafisika berbeda dari ilmu alam,
matematika, atau ilmu kedokteran. Metafisika berbeda pula dari cabang filsafat lain, seperti
filsafat alam, epistemology, etika, dan filsafat ketuhanan.

Metafisika oleh para filsuf Skolastik diberi arti filosofis dengan mengatakan bahwa
metafisika ialah ilmu tentang yang ada, karena mencul sesudah dan melebihi yang fisika
(physicam et supra physicam). Istilah sesudah yang dimaksudkan di sini ialah bahwa objek
metafisika sendiri berada pada abstraksi ketiga. Metafisika sebagai abstraksi datang sesudah
fisika dan matematika. Kata melebihi tidak menunjukkan unsur special, ruang. Kata melebihi
berarti metafisika melebihi abtraksi yang lain, menempati posisi tertinggi dari semua kegiatan
abstraksi, karena menempati jenjang abstraksi paling akhir.

Keberatan terhadap pandangan ini ialah bahwa metafisika sama saja dengan
pengetahuan yang bersifat metaempiris, yakni studi mengenai “sesuatu” (ada) yang mengatasi
fenomen atau mengatasi realistis fisik yang tampak. Demikianlah sedikit penjelasan dari
pengertia metafisika. Metafisika adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari dan
memahami mengenai penyebab segala sesuatu sehingga hal tertentu menjadi ada.

Metafisika berasal dari bahasa Yunani ta meta ta physica yang artinya “yang datang
setelah fisika”. Metafisika yang sering disebut sebagai disiplin filsafat terumit dan memerlukan
daya abstraksi sangat tinggi (ibarat seorang mahasiswa untuk mempelajarinya menghabiskan
beribu-ribu ton beras), bermetafisika membutuhkan energi intelektual yang sangat besar
sehingga membuat tidak semua orang berminat menekuninya. Hubungannya dengan teori
kemunikasi, metafisika berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut :

1) Sifat manusia dan hubungannya secara kontekstual dan individual dengan realita dalam
alam semesta;
2) Sifat dan fakta bagi tujuan, perilaku, penyebab dan aturan;
3) Problem pilihan, khususnya bebebasan versus determinase pada prilaku manusia.

Pentingnya metafisika bagi pembahasan filsafat komunikasi, dikutip dari pendapat


Suriasumantri (1983) dalam bukunya “filsafat Ilmu” mengatakan bahwa metafisika merupakan
suatu hakikat tentang keberadaan zat, hakikat pikiran, dan hakikat kaitan zat dengan pikiran.

Metafisika adalah sebuah kekuatan yang terletak pada kekuatan mental, akal pikiran,
hati, jiwa serta semua fisik tubuh manusia, yang mana manusia bisa membangkitkan kinerja
semua unsur tubuh mereka, maka mereka memiliki kekuatan yang sangat dahsyat.

B. Sejarah Metafisika
Sejarah metafisika yang resmi dan sistematis bermula dari sejarah penamaan
pengetahuan ini dengan metafisika yang dilakukan oleh para peneliti karya-karya Aristoteles.
Pengertian metafisika secara bahasa, yang artinya setelah fisika menjadi bukti penamaan
tersebut. Secara tidak resmi dan sistematis, sejarah metafisika telah dimulai ketika Adam
diciptakan. Penulis yakin Nabi pertama ini manusia yang berpikir. Dengan sendirinya, ia juga
melakukan praktek metafisika, yaitu minimal bertanya dan mencari jawabannya. Aristoteles
tidak pernah menamakan pengetahuan tersebut dengan nama metafisika. Istilah Metafisika
muncul ketika para peneliti pemikiran Aristoteles menyusun karya-karya Aristoteles dan
menempatkan pemikiran metafisika setelah fisika. Jadi, para penyusun karya-karya Aristoteles
lah yang menamakan pengetahuan tersebut dengan nama metafisika. Sejak itulah
pengetahuan tersebut dinamakan metafisika. 6B Bertens sepakat bahwa nama metafisika tidak
digunakan oleh Aristoteles. Oleh karena itu, seiring waktu orang mencoba menyimpulkan
bahwa nama metafisika diduga berasal dari Adronikus, salah seorang yang menerbitkan karya-
karya Aristoteles sekitar tahun 40 S.M. Ia menempatkan bahasan metafisika setelah bahasan
fisika. Sejak itulah orang berpikir bahwa itulah asal usul nama metafisika.

Hal ini ini diperkuat dengan ungkapan Yunani ta meta ta physica yang berarti halhal
sesudah hal-hal fisik. Namun, sejak kira-kira tahun 1950-an pendirian tersebut tidak bisa
dipertahankan lagi. Di antara orang yang membantahnya adalah P. Moraux, seorang sarjana
Perancis dan H. Reiner. Menurut Moraux, nama metafisika telah lama digunakan oleh penganut
mazhab Aristotelian, jauh sebelum Andronikus menamakannya. Nama ini pertama kali diduga
telah diberikan oleh Ariston, yang menjadi pimpinan mazhab Aristotelian, sekitar tahun 226 S.M.
Sementara H. Reiner berpendapat bahwa nama metafisika telah muncul pada generasI
pertama Aristoteles (wafat tahun 321 S.M.), yaitu sekitar tahun 300-an S.M.

Berdasarkan sejarah awal metafisika ini, sepertinya metafisika hanya berkenaan dengan
penempatan pemikiran Aristoteles semata. Sehingga, asal usul metafisika dianggap sederhana,
yaitu metafisika ditempatkan setelah fisika. Namun dalam perkembangannya, kajian metafisika
tidak seremeh temeh asal usulnya. Tafsiran terhadap pengetahuan ini begitu beragam dan
kompleks.

C. Pentingnya Metafisika
Pentingnya metafisika dirinci oleh Koestenbaum menjadi beberapa alasan yaitu :

1) Metafisika tidak bisa dihindari. Seperti adil dan tidak adil, bersahabat dan tidak
bersahabat, baik dan jahat; manusia tanpa disadari menghubungkan peristiwa dan fakta
itu satu sama lain. Gambaran tersebut campuran dari common sense, filsafat, ilmu dan
agama, karena metafisika membangun pandangan dunia yang implisit disertai dengan
argumentasi dan implikasi logis.
2) Metafisika adalah landasan pengetahuan. Karena metafisika adalah prakondisi logis
pengetahuan. Ilmu pengetahuan mempunyai tiga landasan filsafat, yaitu metafisika atau
landasan ontology, epistimologi dan aksiologis. Landasan metafisik inilah yang
memungkinkan ilmu pengetahuan dapat menentukan batas objek kajiannya secara
tegas.
3) Metafisika dapat memecahkan masalah atau misteri kehidupan sehari-hari yang
menuntut untuk segera diberi jawaban. Misalnya, pertanyaan mengenai keberadaan
Tuhan: jika Tuhan ada dan la Maha Adil dan Bijaksana, lalu mengapa ada penderitaan?
Mengapa kebahagiaan hanya dirasakan oleh manusia-manusia tertentu, tetapi tidak
dirasakan oleh manusia lain yang tidak beruntung?
4) Metafisika adalah landasan nilai. Isu-isu metafisik sangat berhubungan dengan
persoalan eksistensi manusia dengan masalah kehidupan yang lebih baik, isu-isu itu
seperti kehidupan manusia, yaitu kelahiran dan kematian, cinta dan benci, keamanan
dan kecemasan, dan lain sebagainya.
D. Hubungan antara Filsafat Ilmu dan Metafisika
Kedudukan metafisika dalam dunia filsafat sangat kuat. Pertama, metafisika merupakan
sebuah cabang ilmu tersendiri dalam pergulatan filosofis. Kedua, telaah filosofis terdapat unsur
metafisik merupakan hal yang signifikan dalam kajian filsafat. Ini tentu sejajar dengan
signifikannya yang menyebut bahwa filsafat adalah induk dari segala ilmu.

Menurut Kattsoff, metafisika termasuk salah satu dari cabang-cabang filsafat yaitu hal-
hal yang terdapat sesudah fisika, hal yang terdapat d balik yang nampak. Metafisika oleh
Aristoteles disebut sebagai ilmu pengetahuan mengenai yang ada sebagai yang ada, yang
dilawankan dengan yang ada sebagai yang digerakkan atau yang ada sebagai yang
dijumlahkan. Kita dapat mendefinisikan metafisika sebagai bagian pengetahuan manusia yang
berkaitan dengan pertanyaan mengenai hakikat yang ada yang terdalam. Secara singkat, dapat
dinyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan ini menyangkut persoalan kenyataan sebagai
kenyataan, dan berasal dari perbedaan yang cepat disadari oleh setiap orang, yakni perbedaan
antara yang tampak (apprence) dengan yang nyata (reality).

Dalam dimensi kajian filsafat ilmu dibagi menjadi dimensi ontologi, dimensi epistemologi,
dan dimensi aksiologis. Metafisika termasuk dalam objek kajian pada dimensi ontologi .
Metafisika mengkaji segala sesuatu secara komprehensif. Menurut Asmoro Achmadi (2005:14),
metafisika merupakan cabang filsafat yang membicarakan sesuatu yang bersifat ‘keluarbiasaan’
(beyond nature), yang berada di luar pengalaman manusia (immediate experience). Menurut
Achmadi, metafisika mengkaji sesuatu yang berada di luar hal-hal yang biasa yang berlaku
pada umumnya (keluarbiasaan), atau hal-hal yang tidak alami, serta hal-hal yang berada d luar
kebiasaan atau di luar pengalaman manusia.

E. Objek Kajian Metafisika


Metafisika adalah cabang tertua dari filsafat, umurnya sama tuanya dengan filsafat itu
sendiri. Kelahirannya diawali oleh suatu ketertarikan untuk mengungkap misteri dibalik realitas
ini,sama dengan maksud istilahnya yaitu :meta berarti dibalik,dan fisika yang berarti alam fisik .
Yang dalam bahasa arab dimengerti sebagai (apa yang ada dibalik fisik ) .Maka metafisika
adalah pengetahuan spekulatif filosofis tentang realitas,dimana pengetahuan spekulatif filosofis
itu dimaksudkan sebagai menjangkau sesuatu dibalik yang fisik.

Persoalannya apakah pengetahuan spekulatif filosofis itu merupakan gambaran yang


benar dari sesuatu yang ada dibalik yang fisik?. Terhadap pertanyaan ini setidaknya ditemukan
2 pandangan : Pandangan pertama melihat bahwa berbagai peristiwa yang terjadi pada alam
nyata ini adalah wujud belaka dari apa yang terjadi dialam yang lebih hakiki yang tempatnya
berada jauh disana. Dalam sejarah filsafat Plato disebut sebagai filsuf pertama yang
berpandangan demikian. Dalam skema pemikiran Plato ditemukan bahwa ia membagi dunia
menjadi 2 yaitu: Dunia intelegible sebagai dunia hakiki, dan dunia sensible sebagai dunia yang
nyata yang sifatnya sementara dan tidak hakiki. Pandangan kedua menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan sesuatu dibalik yang fisik tidak lain merupakan alam pikiran manusia tentang
suatu alam yang dianggapnya sebagai alam lain itu. Alam pikiran yang demikian inilah yang
disebut Metafisika. Kedua pandangan diatas memang sulit didamaikan dan akan tetap bertahan
pada pendiriannya masing-masing. Hanya saja dalam kajian filsafat pandangan yang pertama
biasa disebut metafisika in the old fashion (metafisika klasik), sedangkan pandangan yang
kedua disebut metafisika in the new fashion yakni metafisika dalam maknanya yang baru.

Namun harus diakui sejak abad 16 kajian metafisika tidak lagi menarik para ilmuan
untuk membahasnya, bagi mereka kajian adalah kuno dan merupakan tindakan kemunduran ke
abad pertengahan. Pemukul genderang pemikiran ini adalah filsuf August comte dengan
teorinya positivisme. Dalam teorinya itu August comte membagi sejarah pemikiran manusia ke
dalam 3 tahap : yaitu mitologi, metafisik dan positif. Karenanya filsafat Comte disebut
positivisme. Sampai saat ini kematian metafisika telah mencapai angka 500 tahun,sebuah
waktu yang tidak bisa dikatakan pendek untuk sebuah ilmu dan baru sekitar 1 dasawarsa
terakhir ini kajian metafisika mulai diminati kembali bahkan menunjukkan perkembangan yang
cukup signiifikan.Bisa dikatakan bahwa dewasa ini metafisika telah tampil dengan objek kajian
yang lebih spesifik ,meski tetap pada sifat dasarnya yaitu hanya melihat apa yang ada dibalik
yang fisik.

Metafisika mengandung klasifikasi yang meliputi, pertama Metaphysica Generalis


(ontology); ilmu tentang yang ada atau pengada. Metafisika umum membahas mengenai yang
ada sebagai yang ada artinya prinsip-prinsip umum yang menata realitas. Metafisika umum
untuk seterusnya digunakan istilah ontologi mengakaji realitas sejauh dapat diserap oleh indra.
Cabang utama metafisika adalah ontology, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam
dan hubungan antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-
pemikiran manusia mengenai dunia termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu,
hubungan sebab akibat dan kemungkinan.

Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari
Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat kongkrit. Tokoh Yunani
yang memiliki pandangan yang bersifat ontologism ialah seperti Thales, Plato, dan Aristoteles.
Pada masanya kebanyakan orang belum membedakan antara penampakan dengan kenyataan.

Kedua, Metaphysica Specialis atau metafisika khusus yaitu membahas penerapan


prinsip-prinsip kedalam bidang-bidang khusus teologi, kosmologi, dan antropologi. Metafisika
khusus mengkaji realitas yang tidak dapat diserap oleh indra. Adapun metafisika khusus terdiri
atas :

1. Teologi
Teologi adalah cabang filsafat yang merupakan bagian dari kajian metafisika. Teologi
merupakan pemikiran filosifis tentang persoalan ketuhanan. Hal ini sesuai dengan makna
dasarnya yang berasal dari dua kata, yaitu Theo yang berarti tuhan dan logy yang berarti
ilmu .Jadi theology adalah ilmu yang mempelajari hal-hal yang dikaitkan dengan ketuhanan.
Maka dalam perjalanannya kajian teologi membahas secara filosofis pokok-pokok agama
sebagai hal-hal yang dikaitkan dengan tuhan.
2. Cosmologi
Cosmologi merupakan bagian dari kajian metefisika, terkait dengan pokok yang
dibicarakan cosmologi biasa disebut fisafat alam. Dilihat dari kata dasarnya cosmology bersal
dari kata cosmos yang berarti aturan atau keseluruhan yang teratur,sebagai lawan kata dari
chaos yang berarti kekacau-balauan. Maka sebenarnya cosmologi adalah pengetahuan
filosofis tentang keteraturan alam.

3. Antropologi
Antropologi merupakan salah satu bagian dari kajian metafisika. Berasal dari kata
yunani yaitu Anthropos yang berarti manusia. Antropologi merupakan bagian dari kajian
metafisika yang membicarakan soal hakikat manusia. Sepanjang sejarah filsafat persoalan
manusia terus menerus dicoba untuk diungkapkan. Telah banyak karya mengenai apa
sebenarnya yang disebut manusia itu, semakin digali dan diperdalam persoalan manusia
semakin menarik perhatian.Namun masih banyak teka-teki mengenai manusia yang belum bisa
terjawab juga bahkan sampai hari ini.

Jadi, Metafisika umum membahas mengenai yang ada sebagai yang ada, artinya
prinsip-prinsip umum yang menata realitas. Sedangkan metafisika khusus membahas
penerapan prinsip-prinsip umum ke dalam bidang-bidang khusus : teologi, kosmologi dan
antropologi. Pemilahan tersebut didasarkan pada ada dapat tidaknya diserap melalui perangkat
indrawi suatu objek filsafat pertama. Metafisika umum mengkaji realitas sejauh dapat diserap
melalui indra sedang metafisika khusus (metafisika) mengkaji realitas yang tidak dapat diserap
indra, apakah itu realitas ketuhanan (teologi), semesta sebagai keseluruhan (kosmologi)
maupun hakekat manusia (antropologi).

Dengan membincangkan metafisika member pemahaman bahwa filsafat mencakup


“segalanya”. Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan. Disebut “sebelum”
karena semua ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai bagian dari filsafat dan disebut
“sesudah” karena ilmu pengetahuan khusus pasti menghadapi pertanyaan tentan batas-batas
dari kekhususannya. Maka metafisika memiliki ruang lingkup pokok bahasan yang mencakup :

1) Pertama tentang kajian ikuiri keapa yang ada (exist), atau apa yang betul-betul ada,
2) Kedua tentang, ilmu pengetahuan tentang realitas, sebagai lawan dari yang tampak
(appearance),
3) Ketiga, studi tentang dunia secara menyeluruh dengan segala teori tentang asas pertama
(first principle); prima causa yang wujud di alam (kosmos).
F. Pengaruh Tentang Kajian Metafisika Dalam Kehidupan dan Dalam Pengembangan Ilmu
Pengetahuan
Pengaruh tentang kajian metafisika dalam kehidupan dan dalam pengembangan ilmu
pengetahuan adalah sebagai berikut :

1) Metafisika dan Pengalaman Hidup


Filsafat termasuk metafisika, merupakan ilmu yang menentang arus, dalam arti
cara kerjanya lumayan berbeda dari cara kerja ilmu pengetahuan yang lainnya. Dengan
filsafat (metafisika) orang dapat menunjukkan bahwa manusia tidak hanya sekedar
makhluk yang bisa makan, menikmati kenakan dunia dan alam semesta. Filsafat
bertugas tidak lain menggemakan kenyataan. Dengan berfilsafat, manusia
menggemakan lagi nada metafisik kenyataanya yang sudah pudar oleh hingar-
bingarnya perjuangan memenuhi kebutuhan fisik belaka. Filsafat terus dan tidak bosan-
bosannya menggemakan suara kebenaran dan kebaikan, yang hamper sirna oleh
pertarungan kepentingan sesaat manusia dan usaha menipulasi yang sering tidak
terkendali.

Sebagai manusia yang dari kodratnya berakal budi kita semua mempunyai
kemampuan filosofis. Dengan akalnya, manusia mencari rumusan baru tentang
kenyataan fisik dan metafisik. Dalam perumusan sudah tersirat tanda bahwa manusia
tidak terikat oleh apa yang kini dipegangnya, karena perumusan merupakan kegiatan
abstraksi dari kenyataan. Filsafat dalam kedudukannya sebagai salah satu ilmu,
bertugas mengeksplisitkan prinsip hidup yang sedikit banyak masih implisit adanya
dalam diri setiap orang. Filsafat ingin mengangkat ke permukaan kebijaksanaan hidup
yang lebih sering didominasi oleh keputusan kepentingan tertentu. Metafisika akan
menemukan jawaban dari ketidakpastian hidup, yang mungkin ada.

Filsafat (metafisika) tidak pernah berangkat dari dunia awang-awang atau


khayalan. Titik tolaknya selalu pengalaman nyata inderawi. Pengalaman itu
disistematisasi. Kemudian berdasarkan pengalaman itu, dibangun refleksi yang spesifik.
Filsafat mengangkat pengalaman hidup untuk mencari prinsip-prinsip dasar. Dengan
demikian diharapkan bahwa kita sampai pada Sang Illahi yang disbut Allah oleh orang
yang beragama. Selain itu, dengan mendasari keterbatasan daya piker manusia,
metafisika mengajarkan pada kita kebijaksanaan hidup. Hidup perlu ditangkap dalam
keseluruhannya, tetapi tidak berarti kita memahami kehidupan itu secara tuntas.

2) Metafisika dalam Pengembangan Ilmu


Manusia mempunyai beberapa pendapat mengenai tafsiran metafisika. Tafsiran
yang pertama yang dikemukakan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat
hal-hal gaib (supranatural) dan hal-hal tersebut bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa
dibandingkan dengan alam yang nyata.Pemikiran seperti ini disebut pemikiran
supernaturalisme.Dari sini lahir tafsiran-tafsiran cabang misalnya animisme.Selain faham
diatas, ada juga paham yang disebut paham naturalisme.Paham ini amat bertentangan
dengan paham supernaturalisme.Paham naturalisme menganggap bahwa gejala-gejala
alam tidak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat gaib, melainkan karena kekuatan yang
terdapat dalam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan diketahui.Orang orang yang
menganut paham naturalisme ini beranggapan seperti itu karena standar kebenaran
yang mereka gunakan hanyalah logika akal semata, sehingga mereka menolak
keberadaan hal-hal yang bersifat gaib itu.Dari paham naturalism ini juga muncul paham
materialisme yang menganggap bahwa alam semesta dan manusia berasal dari materi.

Salah satu yang menggap bahwa alam semesta dan manusia berasal dari
materi.Salah satu pencetusnya ialah Democritus (460 – 370 SM). Adapun bagi mereka
yang mencoba mempelajari mengenai makhluk hidup.Timbul dua tafsiran yang masih
saling bertentangan yakni paham mekanistik dan paham vitalistik.Kaum mekanistik
melihat gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia-fisika
semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda
secara substansif dengan hanya sekedar gejala kimia-fisika semata berbeda halnya
dengan telah mengenai akal dan pikiran, dalam hal ini ada dua tafsiran tang juga saling
berbeda satu sama lain. Yakni faham monoistik dan dualistic. Sudah merupakan aksioma
bahwa proses berfikir manusia menghasilkan pengetahuan tentang zat (objek) yang
ditelaahnya. Dari sini aliran monoistik mempunyai pendapat yang tidak membedakan
antara pikiran dan zat. Keduanya (pikiran dan zat) hanya berbeda dalam gejala
disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai substansi yang sama. Perndapat
ini ditolak oleh kaum yang menganut paham dualistic.Dalam metafisika, penafsiran
dualistic membedakan antara zat dan kesadaran (pikiran) yang bagi mereka berbeda
secara subtsansif.Aliran ini berpendapat bahwa yang ditangkap oleh fikiran adalah
bersifat mental.Maka yang bersifat nyata adalah fikiran, sebab dengan berfikirlah maka
sesuatu itu lantas ada.

Metafisika ternyata dapat penentangan dari beberapa ilmuan, antara lain adalah
yang menganut paham positivism dari paham positivism logis dengan menyatakan
bahwa metafisika tidak bermakna, Alfred, J. Ayer menyatakan bahwa sebagian besar
perbincangan yang dilakukan oleh para filosof sejak dahulu sesungguhnya tidak dapat
dipertanggungjawabkan dan juga tidak ada gunanya, problem yang diajukan dalam
bidang metafisika adalah problem semu, artinya permasalahan yang tidak
memungkinkan untuk dijawab, berkaitan dengan pendapat ayer tersebut, Katsoff
menyatakan bahwa agaknya ayer berupaya untuk menunjukan bahwa naturalism,
materialism, dan lainnya merupakan pandangan yang sesat, ayer menunjang
argumentasinya dengan membuat criterion of verifiability atau keadaan dapat diverifikasi,
penentang lain Luwig Winttgenstien menyatakan bahwa metafisika bersifat the mystically,
hal-hal yang tak dapat diungkapkan ke dalam bahasa yang bersifat logis. Wittgenstien
menyatakan terdapat tiga perosalaan dalam metafisika :

1) Subjek, dikatakanya bukan merupakan dunia atau bagian dari dunia, melainkan lebih
dapat dikatakan sebagaibatas dari dunia
2) Kematian,kematinan bukanlah sebuah peristiwa dalam kehidupan, manusia tidak
hidup untuk mengalami pengalaman kematian
3) Tuhan, ia tidak menampakkan diri-Nya di dunia dengan demikian Wittgenstein
menyimpulkan, bahwa sesuatu yang tidak dapat diungkapkan secara logis sebaikna
didiamkan saja.

Namun pada kenyataanya banyak ilmuan besar, terutama albert Einstein yang
merasakan perlunya membuat formula konsepsi metafisika sebagai keonsekuensi dari
penemuan ilmiahnya, manfaat metafisika bagi pengembangan ilmu dikatakan oleh
Thomas Kuhn terletak pada awal terbetnuknya paradigm ilmiah, yakni ketika kumpulan
kepercayaan belum lengkap faktanya, maka ia mesti dipasok dari luar, antara lain adalah
ilmu pengetahuan lain, peristiwa sejarah, pengalaman personal, dan metafisika. misalnya
adalah upaya-upaya untuk memecahkan masalah yang tak dapat dipecahkan oleh
paradigm keilmuan yang lama dan selama ini dianggap mampu memecahkan masalah
dan membutuhkan paradigm baru, pemecahan masalah baru, hal ini hanya dapat
dipenuhi dari hasil perenungan metafisika yang dalam banyak hal memang bersifat
spekulatif dan intuitif, hingga dengan kedalaman kontemplasi serta imajinasi akan dapat
membuka kemungkinan-kemungkinan atau peluang-peluang konsepsi teoritis, asumsi,
postulat, tesis dan paradigma baru untuk memecahkan masalah yang ada.

Sumbangan metafisika terhadapilmu pengetahuan tidak dapat disangkal lagi


adalah pada fundamental ontologisnya, sumbangan metafisika pada ilmu pengetahuan
adalah persinggunggan antara metafisika dan ontology dengan epistimologi. Dalam
metafisika yang mempertanyakan apakah hakikat terdalam dari kenyataan yang
diantaranya dijawab bahwa hakikat terdalam dari kenyataan adalah materi, maka
munculah paham materialism, sedangkan dalam epistimologi yang dimulai dari
pertanyaan bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan? yang dijawab salah
satunya oleh Descartes, bahwa kita memperoleh pengetahuan melalui akal, maka
munculah rasionalisme, John Locke yang menjawab pertanyaan tersebut bahwa
pengetahuan diperoleh dari pengalaman, maka ia telah melahirkan aliran empirisme dan
lainya berbagai perdebatan dalam metafisika mengenai realitas, ada tidak dan lainya
sebagaimana telah dikemukan di dalamyang telah melahirkan berbagai pandangan yang
berbeda satu sama lain secara otomatis juga melahirkan berbagai aliran pemahaman
yang lazim dinyatakan sebagai aliran-aliran filsafat awal, ketika pemahaman-pemahaman
aliran-aliran filsafat tersebut dipertemukan dengan ranah epistimologi atau dihadapkan
pada fenomena dinamika perkembangan illmu pengetahuan.
Beberapa ahli kemudian merumuskan beberapa manfaat filsafat ilmu dan
metafisika dalam pengembangan ilmu :

a) Kontribusi metafisika terletak pada awal terbentuknya paradigma ilmiah, ketika


kumpulan kepercayaan belum lengkap pengumpulan faktanya, maka ia harus
dipasok dari luar, antara lain : metafisika, sains yang lain, kejadian personal dan
historis. (Kuhn)
b) Metafisika mengajarkan cara berfikir yang serius, terutama dalam menjawab
promlem yang bersifat enigmatif (teka-teki), sehingga melahirkan sikap dan rasa
ingin tahu yang mendalam.(Kennick)
c) Metafisika mengajarkan sikap open-ended, sehingga hasil sebuah ilmu selalu
terbuka untuk temuan dan kreativitas baru.(Kuhn)
d) Perdebatan dalam metafisika melahirkan berbagai aliran, mainstream seperti :
Monisme, Dualisme, Pluralisme, sehingga memicu proses ramifikasi, berupa lahirnya
percabangan ilmu (Kennick)
e) Metafisika menuntut orisinalitas berfikir, karena setiap metafisikus menyodorkan cara
berfikir yang cenderung subjektif dan menciptakan terminology filsafat yang khas.
Situasi semacam ini diperlukan untuk pengembangan ilmu dalamrangka
menerapkan heuristika.(Van Peursen)
f) Metafisika mengajarkan pada peminat filsafat untuk mencari prinsip pertama (First
Principle) sebagai kebenaran yang paling akhir. Kepastian ilmiah dalam metode
skeptic Descartes hanya dapat diperoleh jika kita menggunakan metode deduksi
yang bertitik tolak dari premis yang paling kuat (Cogito ergo sum) Skeptis-Metodis
Rene Descartes
g) Manusia yang bebas sebagai kunci bagi akhir pengada, artinya manusia memiliki
kebebasan untuk merealisasikan dirinya sekaligus bertanggungjawab bagi diri,
sesame, dan dunia. Penghayatan atas kebebasan di satu pihak dan tanggungjawab
di pihak lain merupakan sebuah kontribusi penting bagi pengembangan ilmu yang
sarat dengan nilai (not value-free). (Bakker)
h) Metafisika mengandung potensi untuk menjalin komunikasi antara pengada yang
satu dengan pengada yang lain. Aplikasi dalam ilmu berupa komunikasi antar
ilmuwan mutlak dibutuhkan, tidak hanya antar ilmuwan sejenis, tetepi juga antar
disiplin ilmu, sehingga memperkaya pemahaman atas realitas keilmuwan.

G. Beberapa Tafsiran Metafisika


Beberapa tafsiran metafisika dlam menafsirkan hal ini, manusia mempunyai beberapa
pendapaat mengenai tafsiran metafisika, tafsiran yang pertama yang dikemukakan oleh
manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat hal-hal dan hal-hal tersebut bersifat lebih
tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata, pemikiran seperti ini disebut
pemikiran supernaturalisme. Dari sini lahir tafsiran-tafsiran fabang misalnya animisme. Tidak
diragukan, para pembesar agama-agama dalam hal ini para nabi alaihi salam dengan
perbedaan tingkatan yang mereka miliki, mempunyai hubungan dengan alam metafisika, (alam
gaib) dan memiliki informasi dan pengetahuan tentang perkara-perkara batin, namun
masalahnya adalah apakah maqam dan kedudukan rohani ini hanya terkhusus bagi mereka?
dengan kata lain, apakah informasi dan pengetahuan terhadap perkara-perkara batin dan
rahasia-rahasia gaib terbatas hanya bagi para nabi semata, dan orang-orang lain yang berada
di alam materi ini tidak mampu mendapatkan jalan tersebut kecuali setelah mereka mati,
ataukah maqam tersebut merupakan iktisabi dan orang-orang lain juga berpeluang meraihnya?
tentunya jawaban kita dalam hal ini adalah bahwa orang-orang lain juga mampu mendapatkan
jalan kepada rahasia-rahasia alam salah satu argumennya adalah hubungan alam materi
dengan alam metafisika, hubungan sebab dan akibat serta sempurna dan kurang dan kita
menamakan hubungan ini dengan hubungan lahir dan batin.

Dengan kata lain alam materi ini adalah akibat dari alam mitsal yakni jika kita ingin
dalam bentuk suatu tangga naik ke atas maka kita dari alam materi akan naik kealam mitsal.
Dan alam mitsal ini, sekarang juga bersama kita, ia berwujud secara actual. Oleh karena itu,
hubungan alam lahir dengan alam batin adalah hubungan akibat degnan sebab. seperti
konsepsi yang ada di akal manusia dengan tulisannya. manusia, ketika sedang menulis secara
beruntun dia mengkonsepsi dan menuliskannya, dan jika sedetik dia berhenti mengkonsepsi
sesuatu maka dia juga akan berhenti menuliskan sesuatu.Selain paham diatas, ada juga paham
yang disebut paham naturalisme, paham ini amat bertentangan dengan paham
supernatulaisme, paham naturalisme mengannggap bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan
oleh hal-hal yang bersifat gaib, melainkan karena kekuatan yang terdapat dalam itu sendiri,yang
dapat dipelajari dan dapat diketahui, orang-orang yang menganut paham naturalisme ini
beranggapan seperti karena standar kebenaran yang mereka gunakan hanyalah logika akal
semata, sehingga mereka menolak keberadaan halhal yang bersifat gaib itu dari paham
naturalism ini juga menucul paham materialisme yang menganggap bahwa alam semesta dan
manusia berasal dari materi. Salah satunya pencetusnya adalah Democritus (460-370 S.M) .

Adapun bagi mereka yang mencoba mempelajari mengenai makhluk hidup, timbul dua
tafsiran yang masing-masing saling bertentangan yakni paham mekanistik dan paham vitalistik,
kaum mekanistik melihat gejala alam hanya merupakan gejala kimia fisika semata. sedangkan
bagi kaum vitalistik hduup adalah sesuatu yang unik yang berada secara substansif dengan
hanya sekedar gejala kimia fisika semata. Berbeda halnya dengan telaah mengenai akal dan
pikiran, dalam hal ini ada duatafsiran yang juda saling berbeda satu sama lain, yakni paham
monoistik dan dualistik, sudah merupakan aksioma bahwa proses berpikir manusia
menghasilkan pengetahuan tentang objek yang di telaahnya, dari sini aliran monoistik
mempunyai pendapat yang tidak membedakan antara pikiran dan zat keduanya hanya berbeda
dalam gejala disebabkan proses yang berlalinan namun mempunyai subtansi yang sama.

H. Hubungan Metafisika dengan Epistimologi, Aksiologi dan Logika


Hubungan metafisika dengan epistemologi terletak pada kebenaran sebagai titik omega
bagi pencapaian pengetahuan. Hubungan metafisika dengan Aksiologi terletak pada nilai
sebagai kualitas yang inheren pada suatu objek. Objeknya mungkin dapat diindera, namun
kualitasnya itu bersifat metafisik. Hubungan metafisika dengan logika bersifat simbiosis
mutualistik. Di pihak metafisika memerlukan logika untuk satu membangun argumentasi yang
meyakinkan, di pihak lain symbol dan prinsip-prinsip logika itu sendiri merupakan wajah
metafisika, karena sifatnya yang abstrak.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Metafisika adalah merupakan cabang filsafat yang bertugas mencari jawaban tentang
yang ‘ada’ yaitu filsafat yang memburu hakikat sesuatu yang ada atau menyelidiki
prinsip-prinsip utama.
2. Hubungan antara filsafat ilmu dan metafisika adalah bahwa kedudukan metafisika dalam
dunia filsafat sangat kuat. Pertama, metafisika merupakan sebuah cabang ilmu
tersendiri dalam pergulatan filosofis. Kedua, telaah filosofis terdapat unsur metafisik
merupakan hal yang signifikan dalam kajian filsafat. Ini tentu sejajar dengan
signifikannya yang menyebut bahwa filsafat adalah induk dari segala ilmu.
3. Yang menjadi objek kajian dalam metafisika adalah metafisika umum membahas
mengenai yang ada sebagai yang ada, artinya prinsip-prinsip umum yang menata
realitas. Sedangkan metafisika khusus membahas penerapan prinsip-prinsip umum ke
dalam bidang-bidang khusus : teologi, kosmologi dan psikologi. Pemilahan tersebut
didasarkan pada ada dapat tidaknya diserap melalui perangkat indrawi suatu objek
filsafat pertama. Metafisika umum mengkaji realitas sejauh dapat diserap melalui indra
sedang metafisika khusus (metafisika) mengkaji realitas yang tidak dapat diserap indra,
apakah itu realitas ketuhanan (teologi), semesta sebagai keseluruhan (kosmologi)
maupun kejiawan (psikologi).
4. Pengaruh tentang kajian metafisika yaitu :
a. Dalam kehidupan, dengan kedudukannya sebagai salah satu ilmu , filsafat
(metafisika) bertugas mengeksplisitkan prinsip hidup yang sedikit banyak masih
implisit adanya dalam diri seseorang. Filsafat ingin mengangkat ke permukaan
kebijaksanaan hidup yang lebih sering didominasi oleh kepentingan tertentu.
Metafisika akan menemukan jawaban dari ketidakpastian hidup, yang mungkin
ada.
b. Sumbangan metafisika terhadap ilmu pengetahuan tidak dapat disangkal lagi
adalah pada fundamental ontologisnya, sumbangan metafisika pada ilmu
pengetahuan adalah persinggunggan antara metafisika dan ontology dengan
epistimologi.

5. Perdebatan dalam metafisika melahirkan berbagai aliran


6. Manusia yang bebas sebagai kunci bagi akhir pengada, artinya manusia memiliki
kebebasan untuk merealisasikan dirinya sekaligus bertanggungjawab bagi diri, sesame,
dan dunia.
7. Hubungan metafisika dengan epistemologi terletak pada kebenaran sebagai titik omega
bagi pencapaian pengetahuan. Hubungan metafisika dengan Aksiologi terletak pada
nilai sebagai kualitas yang inheren pada suatu objek. Objeknya mungkin dapat diindera,
namun kualitasnya itu bersifat metafisik. Hubungan metafisika dengan logika bersifat
simbiosis mutualisti

B. Saran

Filsafat merupakan induk dari segala ilmu yang diharapkan dapat menjadikan pedoman
bagi manusia untuk mencari sebuah kebenaran yang hakiki, dengan demikian diharapkan
manusia dapat lebih bisa berpikir kritis yang positif serta dapat menjadi manusia yang bijaksana
dalam menghadapi segala permasalahan kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA

Hatta, Mohammad. 1980. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: PT. Tintamas Indonesia

Rudianto, R. Bambang, dkk. 1993. (Tim Redaksi Driyarkara). Hakikat Pengetahuan dan Cara
Kerja Ilmu-Ilmu. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Bagus, Lorens. 1991. Metafisika. Jakarta : Gramedia.

Bekker, Anton. 1994. Antropologi Metafisik. Yogyakarta: Penerbit Kansius

Siswanto, Joko. 2004. Metafisika Sistematik. Yogyakarta: Penerbit Taman Pustaka Kristen.

Suriasumantri, Jujun. 2008. Filsafat Ilmu sebuah pengantar popular. Jakarta : Sinar Harapan.

Susanto. A. 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta : PT. Bumi Aksara.

Delfgaauw,B, 1988. Ontologi dan Metafisika dalam Soejono Soemargono (Ed) Berpikir Secara
Kefilsafatan Yogyakarta : Nur Cahaya.

Edi Subkhan. 2008. Metafisika dan Ilmu Pengetahuan. Universitas negeri Jakarta.

Fakhry, Majid,1987,A History of Islamic Philsopy alih bahasa R. Mulyadi Kartanegara. Sejarah
Filsafat Islam. Jakarta : Pustaka Jaya,.

Mustofa, A. 2007. filsafat islam. Bandung : Pustaka Setia.

Endraswara, Suwardi, 2013. Filsafat Ilmu. Yogyakarta : FBS Universitas Negeri Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai