Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Compartment syndrome masih merupakan masalah yang dihadapi oleh tenaga


kesehatan khususnya dalam menegakkan diagnosa dan melakukan tatalaksana secara cepat
dan tepat. (1)
Pengetahuan akan compartment syndrome sebagai kegawat daruratan di bidang
orthopaedi secara khusus penting untuk dikuasai oleh para dokter bedah muda yang masih
membutuhkan pengalaman dalam mengenali compartment syndrome serta melakukan
tatalaksana segera secara tepat. (2)
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh compartment syndrome baik secara khusus
pada lokasi yang terkena hingga mengancam nyawa penderita membuat compartment
syndrome penting untuk dibahas secara mendalam dimulai dari penegakkan diagnosa hingga
tatalaksana. (3)
Tujuan dari penulisan referat ini adalah agar para tenaga kesehatan khususnya para
dokter bedah dapat melakukan penegakkan diagnosa dan tatalaksana secara cepat dan tepat.
1.1 Insiden
Insiden compartment syndrome secara global belum diketahui karena kesulitan dalam
penegakan diagnosis

terutama pada

pasien dengan penurunan

kesadaran yang

membutuhkan penanganan gawat darurat segera. Insiden kasus compartment syndrome yang
sesungguhnya mungkin tidak akan diketahui karena banyak ahli bedah melakukan tindakan
pencegahan fasciotomy ketika melakukan tindakan pembedahan pada pasien risiko tinggi.(4)

Berdasarkan penelitian McQueen, 1999, Compartement syndrome lebih sering


didiagnosa pada pria daripada wanita, angka insiden nya berada pada 7,3 per 100.000 pada
pria dan 0,7 per 100.000 pada wanita(5).
Berdasarkan lokasi, Compartment syndrome paling sering melibatkan kompartemen
volar dari lengan bawah dan kompartemen deep posterior dari tungkai bawah. McQueen
memeriksa 164 pasien yang didiagnosis compartment syndrome, 69% berhubungan dengan
fraktur dan sebagian besar terjadi pada compartement deep posterior dari tungkai bawah
(39%) dan pada urutan kedua yaitu compartement volar dari lengan bawah(9,8%). Pada
fraktur lengan bawah, insiden dari acute compartment syndrome dilaporkan berkisar antara
0,6-2%. Pasien dengan kombinasi fraktur lengan atas dan lengan bawah memiliki insiden
lebih besar sebesar 30% untuk terjadi compartment syndrome dibandingkan fraktur yang
terjadi pada lengan bawah saja. (6).
Penyebab terjadinya compartment syndrome yang paling sering adalah fraktur.
Menurut Qvarfordt, sebanyak 225 pasien dengan nyeri pada tungkai bawah akibat fraktur,
14% pasien ditemukan memiliki tanda dengan compartment syndrome, pada total kasus
Compartment syndrome, ditemukan 70% terdapat fraktur(6). DeLee dan Stiehl menemukan
bahwa 6% dari pasien dengan open fraktur tibia berkembang menjadi compartment syndrome
sedangkan pada closed fraktur tibia hanya 1,2%(7)..
Secara umum, insiden compartment syndrome meningkat pada kasus yang
berhubungan dengan kerusakan vascular. Abouezzi et al melaporkan fasiotomi dilakukan
pada 29,5% kasus arterial injuries, 15,2% kasus venous injuries, dan 31,6% pada kasus
dengan kombinasi keduanya. Feliciano et al melaporkan secara keseluruhan, 19% pasien
dengan kerusakan vaskuler memerlukan fasciotomy.(8).

Di Amerika dan di Indonesia angka insiden sesungguhnya dari compartment


syndrome belum diketahui secara pasti. Sedangkan di RSUD Dr. Soetomo belum ada
penelitian secara khusus untuk menegakkan angka insiden compartment syndrome.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Menurut Salter, Compartment syndrome adalah peningkatan tekanan dari suatu edema
progresif di dalam kompartemen yang secara anatomis mengganggu sirkulasi peredaran darah
dan

saraf

intrakompartemen

sehingga

dapat

menyebabkan

kerusakkan

jaringan

intrakompartemen. (9)
Menurut Michael S. Bednar et al, compartment syndrome adalah kondisi yang terjadi
karena peningkatan tekanan di dalam ruang yang sempit, yang secara akut menggangu
sirkulasi dan yang kemudian dapat menggangu fungsi jaringan di dalam ruang tersebut.(10)
Menurut Andrew L. chen, diagnosis compartment syndrome dapat ditegakkan jika
pada pemeriksaan ditemukan tekanan intrakompartemen yang meningkat di atas 45 mmHg
atau selisihnya dengan tekanan diastolik kurang dari 30 mmHg.(11)
Dapat disimpulkan bahwa compartment syndrome adalah sekumpulan gejala yang
disebabkan oleh peningkatan tekanan dari suatu edema progresif di dalam kompartemen baik
dari dalam maupun dari luar kompartemen yang secara anatomis mengganggu sirkulasi otototot dan saraf intrakompartemen sehingga dapat menyebabkan kerusakan jaringan di
dalamnya.
Compartment syndrome dapat diklasifikasikan menjadi akut dan kronik, berdasarkan
penyebab peningkatan tekanan kompartemen dan

lamanya gejala. Penyebab umum

terjadinya compartment syndrome akut adalah fraktur, trauma jaringan lunak, kerusakan
arteri, dan luka bakar. Sedangkan compartment syndrome kronik dapat disebabkan oleh
aktivitas yang berulang, sebagai contoh pada pelari marathon.(5)

2.2 Anatomi

Kompartemen merupakan sebuah ruang daerah tertutup dibatasi oleh fascia yang
terdapat jaringan otot, saraf dan pembuluh darah di dalamnya. (6)
Compartment syndrome pada umumnya terjadi pada extrimitas atas dan extrimitas bawah

2.2.1 Pada regio lengan atas, kompartemen dibagi menjadi 2 bagian yaitu :

(9,10)

1. Kompartemen anterior :

Otot: brachialis, biceps brachii, cocarobrachialis.


Neurovaskular: nervus musculucutaneus, nervus median, nervus radial,
arteri brachialis

2. Kompartemen posterior :

Otot:triceps brachii
Neurovaskular: nervus radialis, nervus ulnaris, arteri radialis rekuren.
(Gambar 1)

Gambar 1. Kompartemen lengan atas potongan melintang

2.2.2

Pada regio lengan bawah, kompartemen dibagi menjadi 3 bagian yaitu(9,10):


1.Kompartemen anterior :
5

Otot: pronator teres, flexor carpi radialis, flexor carpi ulnaris, palmaris
longus, flexor digitorum superficialis, flexor digitorum profundus, flexor

pollicis longus, pronator quadratus.


Neurovaskular: nervus ulnaris, nervus medianus, arteri ulnaris, arteri
radialis.

2. Kompartemen posterior:

Otot: brachioradialis, extensor carpi radialis longus, extensor carpi


radialis brevis, extensor digitorum, extensor digiti minimi, extensor
carpi ulnaris, supinator, extensor pollicis longus, extensor pollicis brevis,

abductor pollicis longus, extensor indicis.


Neurovaskular: arteri interosseous posterior anterior dan posterior,
nervus radialis.

3. Mobile wad :

Otot: brachioradialis, extensor carpi radialis longus (ECRL), extensor carpi


radialis brevis (ECRB). (Gambar 2)

Gambar 2. Kompartemen lengan bawah potongan melintang(26)

2.2.3 Pada regio tungkai bawah, kompartemen dibagi menjadi 4 bagian yaitu : (9,10)
1. Kompartemen anterior : (Gambar 3)

Otot: tibialis anterior, extensor hallucis longus , extensor digitorum

longus ,peroneus tertius


Neurovaskular: nervus peroneus profundus, arteri tibialis anterior

2. Kompartemen lateral:

Otot: peroneus longus, peroneus brevis


Neurovaskular: nervus peroneus superficial

3. Kompartemen posterior superfisial :

Otot: gastrocnemius dan soleus


Neurovaskular: nervus suralis

4. Kompartemen posterior profundus :

Otot: tibialis posterior, flexor hallucis longus , flexor digitorum longus ,

popliteus

Neurovaskular: tibial nerve, arteri dan vena tibialis posterior (Gambar 4)

Gambar 3. Letak kompartemen tungkai bawah potongan melintang (8)

Gambar 4. Anatomi kompartemen tungkai bawah (25)

BAB III
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA

3.1 Diagnosis
Diagnosis dan tatalaksana dini Compartment syndrome penting untuk ditegakkan
karena berkaitan dengan kerusakan pada jaringan yang terkena. Compartment syndrome
dapat didiagnosis berdasarkan pengetahuan tentang faktor resiko, keluhan subyektif dan
adanya suatu tanda-tanda fisik dan gejala klinis. Adapun faktor resiko pada compartment
syndrome meliputi fraktur yang berat dan trauma pada jaringan lunak, penggunaan bebat.
(15,16)
Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis maupun secara objektif
menggunakan alat.
Gejala klinis yang umum ditemukan pada compartment syndrome meliputi 5 P, yaitu :

1. Pain (nyeri) : nyeri pada jari tangan atau jari kaki pada saat peregangan pasif pada otototot yang terkena.
2. Pallor (pucat) : kulit teraba dingin pada palpasi, kulit pucat
3. Parestesia : adanya sensasi rasa seperti terbakar atau kesemutan pada daerah yang terkena.
4. Paralysis : diawali dengan ketidakmampuan untuk menggerakkan sendi, merupakan tanda
yang lambat untuk diketahui.
5. Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi) : akibat gangguan perfusi

10

Secara obyektif penegakan diagnosa compartment syndrome dapat dilakukan dengan


pengukuran. Pengukuran tekanan kompartemen adalah salah satu cara menegakkan diagnosis
dan dapat dilakukan pada pasien dengan penurunan kesadaran yang dari pemeriksaan fisik
tidak memberi hasil yang memuaskan. Pengukuran tekanan kompartemen dapat dilakukan
dengan menggunakan teknik injeksi atau wick kateter.(5)
Prosedur pengukuran tekanan kompartemen, antara lain(19):
a. Teknik injeksi whiteside.
Pada metode Whiteside, tindakan yang dilakukan adalah memasukkan jarum yang
telah dihubungkan dengan alat pengukur tekanan ke dalam kompartemen otot. Alat pengukur
tekanan yang digunakan adalah modifikasi dari manometer merkuri yang dihubungkan
dengan pipa (selang) dan threeway. (gambar 5)
Jarum ukuran 18 dihubungkan dengan spoit 20 cc melalui saluran salin dan udara.
Saluran ini kemudian dihubungkan dengan manometer air raksa standar. Setelah jarum
disuntikkan ke dalam kompartemen, tekanan udara dalam spuit akan meningkat sehingga
meniskus salin-udara tampak bergerak. Kemudian tekanan dalam kompartemen dapat dibaca
pada manometer air raksa. (gambar 5)
Jika tekanan lebih dari 45 mmHg atau selisih kurang dari 30 mmHg dari diastole,
maka diagnosis dapat ditegakkan. Pada kecurigaan chronic compartment syndrome tes ini
dilakukan setelah aktivitas yang menyebabkan nyeri.

11

Gambar 5. Pengukuran menggunakan teknik injeksi Whiteside

b. Teknik Wick kateter.


Wick kateter dihubungkan ke transducer dan recorder. Kateter dan tabungnya diisi
oleh three-way yang dihubungkan dengan transducer. Sangat perlu untuk memastikan bahwa
tidak ada gelembung udara dalam sistem tersebut karena memberi hasil yang rendah atau
mengaburkan pengukuran. Ujung kateter harus besar hingga dapat dipastikan dan diketahui
bahwa dalam jaringan tersebut dilewati aliran besar, kemudian jarum ditarik dan kateter
dibalut ke kulit. Tes dilakukan dengan tujuan mengukur tekanan di dalam kompartemen yang
dituju.(Gambar 6)

Gambar 6. Metode pengukuran dengan wick kateter

12

c. Teknik kateter Stic.


Metode Whiteside dan system kateter Stic adalah metode terbaik untuk mengukur
tekanan intrakompartemen. Kateter Stic adalah alat portable yang memungkinkan untuk
mengukur tekanan kompartemen secara terus menerus. Semua kompartemen pada
ekstremitas yang terlibat harus diukur tekanannya.
Pada kateter Stic, tindakan yang dilakukan adalah memasukkan kateter melalui celah
kecil pada kulit ke dalam kompartemen otot. Sebelumnya kateter dihubungkan dengan
transduser tekanan dan akhirnya tekanan intra kompartemen dapat diukur. (Gambar 7)

Gambar 7. Metode pengukuran dengan kateter Stic


3.2 Tatalaksana
Penanganan compartment syndrome meliputi:
3.2.1. Tatalaksana non bedah. (11)

Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian kompartemen


yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih
memperberat iskemia.
13

Pada kasus penurunan volume kompartemen, gips harus dibuka dan pembalut dilepas.
Mengoreksi hipoperfusi dengan cara kristaloid dan produk darah.
Pemberian mannitol, vasodilator atau obat golongan penghambat simpatetik.

3.2.2. Tatalaksana pembedahan / operatif.


Fasciotomi adalah pengobatan operatif pada compartment syndrome dengan
stabilisasi fraktur dan perbaikan pembuluh darah. Batas keberhasilan dekompresi untuk
perbaikan perfusi adalah 6 jam. (5)
Terapi untuk compartment syndrome akut maupun kronik adalah operasi. Insisi
panjang dibuat pada fascia untuk menghilangkan tekanan yang meningkat di dalamnya. Luka
tersebut dibiarkan terbuka (ditutup dengan pembalut steril) dan ditutup pada operasi kedua,
biasanya 5 hari setelahtindakan jika terdapat nekrosis otot dapat dilakukan debridemen, jika
jaringan sehat, luka dapat di jahit (tanpa regangan ), atau tindakan skin graft dilakukan jika
diperlukan untuk menutup luka(8,20)
Adapun indikasi untuk melakukan fasciotomi adalah : (21)
1. Ada tanda-tanda klinis dari compartment syndrome.
2. Tekanan intrakompartemen melebihi 30 mmHg.

3.2.2.1 Fasciotomi pada regio tungkai bawah(17)


Ada 3 pendekatan fasciotomi untuk kompartemen regio tungkai bawah : fibulektomy,
fasciotomi insisi tunggal perifibular, dan fasciotomi insisi ganda.
Fibulektomi adalah prosedur radikal dan jarang dilakukan pada acute compartment
syndrome. Insisi tunggal dapat digunakan untuk jaringan lunak pada ektremitas, sedangkan
teknik insisi ganda lebih aman dan efektif.

Fasciotomi insisi tunggal (davey, Rorabeck, dan Fowler) :


Dilakukan insisi pada lateral, longitudinal pada garis fibula, sepanjang mulai dari

distal caput fibula sampai 3-4 cm proksimal malleolus lateralis. Kulit dibuka pada bagian
14

anterior dan jangan sampai melukai nervus peroneal superficial. Dibuat fasciotomy
longitudinal pada kompartemen anterior dan lateral. Berikutnya kulit dibuka ke bagian
posterior dan dilakukan fasciotomi kompartemen posterior superfisial. Batas antara
kompartemen superfisial dan lateral diperluas ke atas dengan memotong soleus dari fibula.
Otot dan pembuluh darah dipisahkan di belakang, kemudian dilakukan identifikasi fascia
otot tibialis posterior hingga fibula dan dilakukan inisisi secara longitudinal(1,19). (Gambar 8)

Gambar 8. Teknik insisi tunggal(1,19)

Fasciotomi insisi ganda (Mubarak dan Hargens) :

Dilakukan insisi sepanjang 20-25 cm pada kompartemen anterior, di tengah antara fibula
dan kaput tibia. Diseksi subkutaneus digunakan untuk mengekspos fascia kompartemen.
Dilakukan insisi tranversal pada septum intermuskular lateralis dan dilakukan identifikasi
nervus peroneal superfisial pada bagian posterior septum. Selanjutnya kompartemen anterior
dibuka kearah proksimal dan distal pada garis dari anterior tibia. Kemudian dilakukan
fasciotomi pada kompartemen lateral ke arah proksimal dan distal pada garis tubulus fibula.
Insisi kedua dibuat secara longiotudinal 1 cm dibelakang garis dari posterior tibia.
Digunakan diseksi subkutaneus yang luas untuk mengidentifikasi fascia. Vena dan nervus
saphenus ditarik ke anterior kemudian dibuat insisi tranversal untuk mengidentifikasi septum
15

antara kompartemen posterior profundus dan superfisial. Selanjutnya fascia dipisahkan


sepanjang kompartemen. Dibuat insisi lain pada otot fleksor digitorum longus kemudian
dilakukan pembebaskan seluruh kompartemen posterior profundus. Setelah kompartemen
posterior terbuka,dilakukan identifikasi kompartemen posterior. Jika terjadi peningkatan
tekanan pada kompartemen ini, fsacia segera dibuka. (17) (Gambar 9)

Gambar 9. Teknik insisi ganda(1,19)

3.2.2.2 Fasciotomi pada lengan bawah

Pendekatan volar (Henry)

pembebasan kompartemen anterior dan posterior dapat dilakukan dengan insisi tunggal.
Insisi kulit dimulai dari proksimal ke fossa antecubiti sampai ke palmar pada daerah carpal
tunnel. Tekanan kompartemen dapat diukur selama operasi untuk mengkonfirmasi tindakan
fasciotomy. Insisi kulit dimulai dari medial ke tendon bicep, kemudian ke sisi radial tangan
dan diperpanjang kearah distal sepenjang brachioradialis, dilanjutkan ke palmar. Kemudian
kompartemen anterior diinsisi, mulai pada 1 atau 2 cm di atas siku kearah bawah sampai di
pergelangan. (17)
16

Nervus radialis kemudian diidentifikasi dibawah brachioradialis, keduanya kemudian


ditarik ke arah radial, kemudian fleksor carpi radialis dan arteri radialis ditarik ke sisi ulnar
yang akan mengekspos fleksor digitorum profundus, fleksor pollicis longus, pronatus
quadratus, dan pronatus teres. Karena sindrom kompartemen biasanya melibatkan
kompartemen anterior, harus dilakukan dekompresi fascia disekitar otot tersebut untuk
memastikan bahwa dekompresi yang adekuat telah dilakukan.( (25) (Gambar 10)

Gambar 10. Insisi pada volkmans kontraktur; A) insisi pada sisi posterior dari
lengan bawah; B) insisi pada anterior lengan bawah. (25)

Pendekatan Volar Ulnar

Pendekatan volar ulnar dilakukan dengan cara yang sama dengan pendekatan Henry.
Lengan disupinasikan dan insisi mulai dari medial bagian atas tendon bisep, melewati lipatan
siku, diteruskan ke bawah melewati garis ulnar lengan bawah, dan sampai ke carpal tunnel
sepanjang lipatan

thenar. Fascia superfisialis pada fleksor carpi ulnaris diinsisi ke atas

sampai ke aponeurosis siku dan ke carpal tunnel ke arah distal. Kemudian dicari batas antara
fleksor carpi ulnaris dan fleksor digitorum superficialis. Pada dasar fleksor digitorum
susuperficialis terdapat arteri dan nervus ulnaris, yang harus dicari dan dilindungi. Fascia
pada kompartemen fleksor profundus kemudian diinsisi dan dibebaskan(1,19)
17

Pendekatan Dorsal

Setelah kompartemen anterior superficial dan profundus lengan bawah didekompresi,


harus diputuskan apakah perlu dilakukan fasciotomi dorsal (ekstensor). Hal ini lebih baik
ditentukan dengan pengukuran tekanan kompartemen intraoperatif setelah dilakukan
fasciotomi kompartemen fleksor. Jika terjadi peningktan tekanan pada kompartemen dorsal
yang terus meningkat, fasciotomi harus dilakukan dengan posisi lengan bawah pronasi. Insisi
lurus dilakukan dari epikondilus lateral sampai garis tengah pergelangan. Batas antara
ekstensor carpi radialis brevis dan ekstensor digitorum komunis diidentifikasi kemudian
dilakukanfasciotomi.(1,19)

3.3 Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari compartment syndrome meliputi tendinitis, fatigue fractute dan
shin splints. Keadaan ini dihubungkan berdasarkan nyeri pada tungkai bawah akibat latihan.
Namun

memberikan

gejala

yang

sama

dengan

compartment

syndrome.

(22,23)

Gejala pada tendinitis biasanya muncul setelah latihan, nyeri sering diakibatkan oleh
regangan pada tendo. Pada fatigue fracture, daerah tulang yang diserang meluas dari satu sisi
tulang ke tulang yang lain. Pada shin splints, nyeri biasanya hanya pada puncak belakang
tibia medial, sering pada pertemuan setengah dan sepertiga distal tibia. (22,23)

3.4 Etiologi
Penyebab terjadinya compartment syndrome adalah tekanan di dalam kompartemen yang
terlalu tinggi, lebih dari 30 mmHg. Adapun penyebab terjadinya peningkatan tekanan
intrakompartemen adalah peningkatan volume cairan dalam kompartemen atau penurunan
volume kompartemen. (9)

18

Peningkatan volume cairan dalam kompartemen dapat disebabkan oleh : (9)


Peningkatan permeabilitas kapiler, akibat syok, luka bakar, trauma langsung.

Peningkatan tekanan kapiler, akibat latihan atau adanya obstruksi vena.


Hipertrofi otot.
Pendarahan.
Infus yang infiltrasi.

Penurunan volume kompartemen dapat disebabkan oleh : (9)

Balutan yang terlalu ketat.


Tekanandari factor external

BAB IV
19

DISKUSI

4.1 Patogenesis
Terjadinya

compartment

syndrome

tidak

seluruhnya

dipengaruhi

tekanan

intrakompartemen tetapi juga tekanan sistemik darah. Patofisiologi compartment syndrome


melibatkan hemostasis jaringan lokal normal yang menyebabkan peningkatan tekanan
jaringan, penurunan aliran darah kapiler dan nekrosis jaringan lokal akibat hipoksia. (1)
Saat tekanan dalam kompartemen melebihi tekanan darah dalam kapiler dan
menyebabkan kapiler kolaps, nutrisi tidak dapat mengalir menuju sel dan hasil metabolisme
tidak dapat dikeluarkan. Kemudian tanda dari 5P akan muncul, hanya dalam beberapa jam,
sel-sel yang tidak memperoleh makanan akan mengalami kerusakan. Pertama sel akan
mengalami pembengkakan, kemudian sel akan berhenti melepaskan zat-zat kimia sehingga
menyebabkan terjadi pembengkakan lebih lanjut. Hal ini akan menimbulkan nyeri(Pain) dan
dilanjutkan oleh timbulnya gejala seperti rasa kesemutan atau terbakar akibat penjepitan dari
saraf yang terkena (Parestesia).
Pembengkakan yang terus bertambah menyebabkan tekanan meningkat.

(12,13)

Aliran darah yang melewati kapiler akan berhenti perlahan menyebabkan perfusi mengalami
penurunan dan berwarna pucat (Palor). Dalam keadaan ini penghantaran oksigen juga akan
terhenti. Terjadinya hipoksia menyebabkan sel-sel akan melepaskan substansi vasoaktif
(misal : histamin, serotonin) yang meningkatkan permeabilitas endotel. Dalam kapiler-kapiler
terjadi kehilangan cairan sehingga terjadi peningkatan tekanan jaringan dan memperberat
kerusakan disekitar jaringan hingga mengganggu fungsi jaringa (Paralysis) dan jaringan otot
mengalami nekrosis akibat berhentinya aliran darah (pulseless). (5) (Gambar 11)

20

Gambar 11. Skema pathogenesis sindrom kompartemen (25)

21

4.2 Patofisiologi
Patofisiologi dari compartment syndrome terdiri dari dua kemungkinan
mekanisme, yaitu: berkurangnya ukuran kompartemen dan/atau bertambahnya isi dari
kompartemen tersebut. Kedua mekanisme tersebut sering terjadi bersamaan, ini adalah suatu
keadaan yang menyulitkan untuk mencari mekanisme awal atau etiologi yang sebenanya.
Edema jaringan yang parah atau hematom yang berkembang dapat menyebabkan
bertambahnya isi kompartemen yang dapat menyebabkan atau memberi kontribusi pada
compartment syndrome.(Gambar 12)
TRAUMA/EXCERCISE

Edema/
hematom lokal
(semakin
bertambah)

Iskemia jaringan
(dapat terjadi
kematian sel)

Peningkatan
tekanan
intrakompartemen

Ganguan aliran
pembuluh darah
(pembuluh darah
kolaps)

Gambar 12. Patofisiologi Compartment syndrome (8)

22

Fascia tidak dapat

mengembang, sehingga pembengkakan pada sebuah

kompartemen akan meningkatkan tekanan dalam kompartemen tersebut. Pada chronic


compartment syndrome, ketika tekanan di dalam kompartemen melebihi tekanan darah di
kapiler, pembuluh kapiler akan kolaps. Hal ini menghambat aliran darah ke otot dan sel saraf.
Tanpa suplai oksigen dan nutrisi, sel-sel saraf dan otot akan mengalami iskemia dan mulai
mati dalam waktu beberapa jam. Iskemia jaringan akan menyebabkan edema jaringan. Edema
jaringan di dalam kompertemen semakin meningkatkan tekanan intrakompartemen yang
menggangu aliran balik vena dan limfatik pada daerah yang cedera. Jika tekanan terus
meningkat dalam suatu lingkaran setan yang semakin menguat maka perfusi arteriol dapat
terganggu sehingga menyebabkan iskemia jaringan yang lebih parah.(Gambar 13)

Gambar 13. Patofisiologi Chronic Compartment syndrome(10)

23

4.3 Komplikasi (21,24)

Kegagalan dalam mengurangi tekanan intrakompartemen dapat menyebabkan


nekrosis jaringan, selama perfusi kapiler masih kurang dan menyebabkan hipoksia

pada jaringan tersebut.


Kontraktur volkmann yang merupakan deformitas pada tungkai dan lengan
merupakan kelanjutan dari compartment syndrome akut yang tidak mendapat terapi

selama lebih dari beberapa minggu atau bulan.


Infeksi.
Hipestesia dan nyeri.
Komplikasi sistemik yang dapat timbul dari compartment syndrome meliputi gagal
ginjal akut, sepsis, dan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) yang fatal jika
terjadi sepsis kegagalan organ secara multisistem.

4.4 Prognosis(12,21)
Compartment syndrome akut cenderung memiliki hasil akhir yang baik jika ditangani
dalam 4 jam saat gejala klinis muncul. Kerusakan irreversibel terjadi bila lebih dari 8 jam.
Jika diagnosa terlambat, dapat menyebabkan trauma saraf dan hilangnya fungsi otot.
Walaupun fasciotomi dilakukan dengan cepat dan awal, hampir 20% pasien mengalami
defisit motorik dan sensorik yang persisten.

DAFTAR PUSTAKA

24

1. Salter B. Robert, Textbook of disorders and injuries of the musculoskeletal system. Third
edition. Lipincot William and Wilkins. Maryland. 1999.
2. DeLee C Jesse, Drez David. Compartment syndrome in DeLee & Drez`s orthopaedic
sports medicine. Ed 2nd. Vol 1. Saunders. USA. 2003. p : 13-4
3. Argenta C Louis. Compartment syndromes in Basic sciense for surgeons. Saunders.
Philadelphia. 2004. p : 143-4
4. Paula Richard. Compartment syndrome, extremity. Available at http://www.emedicine.com.
Accessed on July 20th 2007.
5. Louis Solomon et al. Apleys system of orthopaedic and fractures. 9th edition. Hoddor
Arnold. UK. 2010
6. Cameron Peter, Jelinek George. Compartment syndrome in Textbook of adult emergency
medicine. Ed 2nd. Churchill Livingstone. New York. 2004. p : 84-5
7. Anonym. Compartment syndrome. Available at http://www.AAOS.com. Accessed on July
20th 2015.
8. Andrew L, Chen. Compartment syndrome. Available at http://www.medlineplus.com.
Accessed on July 20th 2015.
9. Marc F Swiontkowski. Compartmental syndromes in Manual of orthopaedics. Ed 5th.
Lippincott Williams & Wilkins. USA. 2001. p : 20-8
10. Preston R Miller, John M Kane. Compartment syndrome and rhabdomyolysis in The
trauma manual. Ed 2nd. Lippincott Williams & Wilkins. USA. 2002. p : 335-7
11. Wallace Stephen. Compartment syndrome, lower extremity. Available at
http://www.emedicine.com. Accessed on June 4th 2007.
12. Anglen J, Banovetz. Pathophysiology of compartment syndrome in The well leg resulting
from fracture table positioning. Clinical Orthopaedics & Related Research. 1994. p : 239-42
13. Kearns, Daly, Sheehan, Murray. Oral vitamin C reduces the injury to skeletal muscle

25

caused by compartment syndrome. Journal of Bone and Joint Surgery. Aug 2004.
14. Solomon Louis, Warwick David. Compartment syndrome in Appley`s system of
orthopaedics and fractures. Ed 8th. Oxford University Press. New York. 2001. p : 563-4
15. Townsend M Courtney, Beau Champ. Acute compartment syndrome in Textbook of
surgery. Ed 17th. Elsevier Saunders. USA. 2004. p : 554-7
16. Pink P Mitchell, Abraham Edward. Compartment syndrome in Textbook of critical care.
Ed 5th. Elsevier Saunders. USA. 2005. p : 2099
17. McRae Ronald, Esser Max. Compartment syndromes in Practical fracture treatment.
Churchill Livingstone. New York. 2002. p : 99
18. Flandry Fred. Compartment syndrome : swelling out of control. Available at
http://www.hughston.com. Accessed on 20 Juli 2015.
19. Amendola, Bruce Twaddle. Compartment syndromes in Skeletal trauma basic science,
management, and reconstruction. Vol 1. Ed 3rd. Saunders. 2003. p : 268-92
20. Brian J Awbrey, Shingo Tanabe. Chronic exercise-induced compartment syndrome of the
leg. Harvard Orthopaedic Journal.
21. Kalb L Robert. Compartment syndrome evaluation in Procedures for primary care.
Mosby. USA. 2003. p : 1419-29
22. Frederick A. Compartmental syndromes. Available at http://www.wikipedia.org. diakses
20 juli 20015.
23. Braver Richard. Surgical pearls : How to test and treat exertional compartment syndrome.
American College of Foot and Ankle Surgeons. May 2002.p:22-4
24. Anonym. Compartment syndrome. Available at http://www.wikipedia.org. diakses 20 juli
2015
25. Green DP, Hotchkiss RN, Pederson, WC, Wolfe, SW. Greens Operative Hand Surgery. 6th
ed. USA. 2011. Churchill Livingstone

26

26. Jon C. Thompson. Netters Concise Orthopaedic Anatomy. 2nd ed. Philadelphia. Elsevier.
2010

27

Anda mungkin juga menyukai