Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sindrom Kompartemen

2.1.1 Definisi

Sindrom kompartemen adalah peningkatan tekanan dari suatu edema

progresif di dalam kompartemen osteofasial yang kaku dan secara anatomis

mengganggu sirkulasi otot-otot dan saraf-saraf intrakompartemen sehingga dapat

menyebabkan kerusakan jaringan intrakompartemen.1 Peningkatan tekanan di

dalam ruang anatomi yang terbatas menyebabkan iskemik dan nekrosis jaringan,

yang mengancam fungsi otot, saraf, bahkan kegagalan multiorgan.2

Sindrom kompartemen dapat terjadi di area mana saja di tubuh dengan

kompartemen yang tertutup.5 Secara anatomi, kompartemen yang sering dikaitkan

dengan sindrom kompartemen yang ada di dalam tubuh manusia terbagi menjadi

kompartemen lengan bawah dan tungkai bawah.7 Tiap kompartemen berisi otot-

otot. Kompartemen lengan bawah memiliki 4 bagian, yakni:1

 Kompartemen volar superficial (m.flexor carpi ulnaris, m.flexor digitorum

superficialis, m.flexor carpi radialis, dan m.pronator teres)

 Kompartemen volar profunda (m.flexor digitorum profundus, m.flexor pollicis

longus, m.flexor pollicis brevis, dan m.pronator quadratus)

 Kompartemen dorsal (m.extensor carpi ulnaris, m.extensor digiti quinti,

m.extensor digitorum communis, dan m.supinator)

2
 Kompartemen lateral atau mobile wad of Henry (m.brachioradialis,

m.extensor carpi radialis brevis, dan m.extensor carpi radialis longus)

Kompartemen tungkai bawah memiliki 4 bagian, yakni:1

 Kompartemen anterior (m.tibialis anterior, m.extensor hallucis longus,

m.extensor digitorum longus, dan m.fibularis tertius atau m.peroneus tertius)

 Kompartemen lateral (m.fibularis longus dan m.fibularis brevis)

 Kompartemen posterior (m.popliteus, m.flexor hallucis longus, m.flexor

digitorum longus, dan m.tibialis posterior)

 Kompartemen posterior superficialis (m.gastrocnemius, m.soleus, dan

m.plantaris)

Gambar 2.1 Kompartemen pada tungkai bawah 8

Studi lain menyebutkan bahwa sindrom kompartemen juga dapat terjadi

pada bagian abdomen, bokong, tangan, kaki, paraspinal, dan mediastinum.4,5

3
2.1.2 Klasifikasi

Sindrom kompartemen diklasifikasikan menjadi dua, berupa akut dan

kronis. Sindrom kompartemen akut merupakan kegawatdaruratan mendis.6 Tanpa

penatalaksanaan, hal ini dapat berakhir dengan kelumpuhan, hilangnya organ

distal, bahkan kematian. Sindroma kompartemen kronis bukan merupakan

kegawatdaruratan medis.1,9

A. Sindrom kompartemen akut

Sindrom kompartemen akut atau acute compartment syndrome (ACS)

adalah suatu kondisi tekanan kompartemen osseofascial yang meningkat

dengan cepat melebihi tekanan perfusi kapiler dalam ruang anatomi yang

terbatas yang menyebabkan berkurangnya perfusi jaringan otot dan saraf.6,7

Kondisi ini berkaitan dengan mekanisme trauma energi tinggi maupun rendah,

sengatan listrik, cedera vaskuler yang diikuti iskemia atau reperfusi vaskuler.7

Sindrom kompartemen akut merupakan komplikasi cedera ekstremitas

mengancam jiwa yang sulit didiagnosis.

Gambar 2.2 Sindrom kompartemen akut pada kompartemen anterior 8

4
Sindrom kompartemen akut sering terjadi pada fraktur tulang panjang,

kecelakaan lalu lintas, dan cedera vaskuler ekstremitas. Reperfusi setelah

terjadi cedera vaskular dapat menyebabkan pembengkakan pada ekstremitas

terkait, dan dapat menjurus ke arah sindrom kompartemen akut.3

Sindrom kompartemen akut terjadi dalam waktu beberapa jam.

Tungkai bawah merupakan area yang paling sering mengalami sindrom

kompartemen akut, diikuti oleh area lengan bawah, paha, dan lengan atas.

Lokasi cedera yang lebih spesifik penting untuk memperkirakan

perkembangan sindrom kompartemen.5 Saraf perifer dapat bertahan dalam

kompartemen hingga 4 jam setelah iskemia tanpa terjadi kerusakan permanen,

tetapi bila iskemia pada saraf terjadi lebih dari 4 jam, akan terjadikan

kerusakan saraf permanen.1,11 Otot dapat bertahan sampai 6 jam setelah

iskemia terjadi, sebelum tidak mendapat regenerasi lagi. Selanjutnya otot-otot

yang nekrosis akan digantikan oleh jaringan fibrosa padat yang secara

bertahap terbentuk dan menghasilkan kontraktur iskemia Volkmann.1,10 Jika

tekanan tidak segera dihilangkan dengan cepat dapat menyebabkan kecacatan

permanen atau kematian.1

b. Sindrom kompartemen kronik

Sindrom kompartemen kronik merupakan kondisi yang jarang terjadi,

biasa terjadi pada atlit, terutama pada atlit pelari jarak jauh ataupun atlit pelari

lainnya pada usia 30-40 tahun. Sindrom ini dikenal pula sebagai chronic

exertional compartment syndrome atau CECS. Sindrom ini ditandai dengan

nyeri tungkai yang hilang timbul pada sisi anterior, posterior dan lateral

5
tungkai dan tekanan yang meningkat pada satu atau banyak kompartemen otot

akibat aktivitas fisik yang berulang-ulang. Nyeri dirasakan penuh, seperti

diikat dengan kuat, kesemutan, atau rasa tertekan. Nyeri biasanya akan

berkurang jika aktivitas dihentikan. Sindrom kompartemen kronik ini bukan

termasuk dalam kegawatdaruratan ortopedi.9

2.1.3 Epidemiologi

Secara keseluruhan, prevalensi sindrom kompartemen meningkat pada

kasus yang berhubungan dengan kerusakan vaskuler.1 Insiden ACS dilaporkan

terjadi pada 3,1 per 100.000 jiwa.2 Sebanyak 2,8% pasien yang mengalami trauma

pada ekstremitas memerlukan tindakan fasiotomi.5

Insidensi sindrom kompartemen dipengaruhi oleh jenis traumanya,

penyebabnya, dan bagaimana proses penyakitnya berlangsung.5 Hampir 2/3

seluruh kasus ACS disebabkan oleh fraktur.7 Kejadian yang disebabkan oleh

trauma jaringan lunak tanpa adanya fraktur terjadi pada 23% seluruh kasus ACS.2

Dalam ortopedi, fraktur os tibia dan fraktur os radialis distal sering

berkembang menjadi ACS.7 Trauma yang melibatkan ekstremitas bawah lebih

sering terjadi.3 Sekitar 2-12% sindrom kompartemen terjadi pada fraktur tibia.1

Kompartemen anterior dan posterior dalam pada tungkai bawah berdekatan

dengan os tibia, sehingga trauma os tibia dapat menyebabkan trauma jaringan

lunak dan edema pada ruang tersebut.7 Bagian yang paling sering terjadi fraktur

pada os tibia ialah pada diafisis tibia yakni sebesar 40% kasus, kemudian fraktur

tibial plateau.2,3 Pada fraktur tibia yang terbuka, risiko kasus berkembang menjadi

sindrom kompartemen lebih besar dibandingkan fraktur tibia tertutup.

6
Pada fraktur humerus atau fraktur lengan bawah, insiden sindrom

kompartemen yang dilaporkan berkisar antara 0,6-2%.1 Kompartemen volar pada

lengan bawah adalah lokasi tersering terjadi ACS pada lengan, yang sering

diakibatkan fraktur os radialis distal.7 Pasien dengan kombinasi ipsilateral fraktur

humerus dan lengan bawah memiliki insiden sebesar 30%.1

2.1.4 Etiologi

Penyebab sindrom kompartemen dapat bervariasi, seperti fraktur, trauma

jaringan lunak, bahkan kejadian non-traumatik yang meningkatkan tekanan

kompartemen.1,2,3 Kasus traumatik disebabkan oleh fraktur, trauma tumpul, luka

tusuk, luka bakar, dan gigitan ular.7,13,14 Kasus non-traumatik disebabkan

ekstravasasi atau infiltrasi, cedera reperfusi-iskemik, trombosis, pseudoaneurisma,

dan perdarahan.2,12,15 Secara garis besar, etiologi sindrom kompartemen dibagi

dalam tiga kelompok besar, yakni pada kasus bertambahnya isi kompartemen,

kasus berkurangnya ukuran ruang kompartemen, dan penyakit komorbid.2

Isi kompartemen yang bertambah dapat disebabkan oleh revaskularisasi,

infiltrasi cairan infus, kebocoran pembuluh arteri, trombosis, perdarahan akibat

obat-obatan antikoagulan, gangguan koagulasi, luka tembak, gigitan ular, sindrom

nefrotik, osteomielitis hematogen, dan berolahraga (sindrom kompartemen

kronik).2,7,9,13,16 Sedangkan pada kasus ruang kompartemen yang menyempit

disebabkan oleh luka bakar (sirkumferensial), repair otot hernia, pemasangan

gips, balutan melingkar yang terlalu ketat, dan posisi litotomi.2,13,14 Penyakit

komorbid terkait dengan sindrom kompartemen ialah diabetes dan koagulopati.2

Das et al juga melaporkan kasus yang sangat jarang terjadi, yakni

7
pseudoaneurisma yang berkembang menjadi sindrom kompartemen. Kasus

tersebut terjadi pada ekstremitas atas dengan pseudoaneurisma pada arteri

brakialis, terjadi akibat fraktur os humerus dan menyebabkan disartikulasi bahu.

Manajemennya bergantung pada ukuran, lokasi, dan kondisi umum pasien.15

Trauma merupakan faktor pencetus sindrom kompartemen yang paling

sering, dengan angka kejadian tertinggi pada fraktur ekstremitas.1 Komplikasi

lokal awal yang sering terjadi pada kasus trauma dengan fraktur salah satunya

ialah sindrom kompartemen.10 Fraktur menjadi penyebab paling sering pada 69%

seluruh kasus kasus sindrom kompartemen, dan sebesar 76% sebagai etiologi

dalam kasus anak.2 Kompartemen otot lengan dan tungkai dilaporkan sebagai

lokasi yang paling sering terkena sindrom kompartemen.10

Kasus luka tembak, diikuti oleh kasus luka tusuk, kecelakaan sepeda

motor, dan pejalan kaki yang ditabrak mobil merupakan mekanisme trauma yang

paling sering menyebabkan sindrom kompartemen. Pasien yang mengalami

cedera arteri dan vena sekaligus, memiliki kemungkinan sebesar 41,8% untuk

mengalami sindrom kompartemen, sedangkan pada kasus fraktur terbuka

memiliki kemungkinan sebesar 5,9%, serta fraktur tertutup sebesar 2,2%. Latihan

beban yang terlalu berlebihan serta kasus overdosis obat yang dapat menyebabkan

tekanan yang berkepanjangan pada ekstremitas juga dilaporkan dapat

menyebabkan sindrom kompartemen.5

Sindrom kompartemen dapat terjadi pula pada ekstremitas yang tidak

mengalami cedera, yakni melalui respons inflamasi sistemik yang hebat dan

kebocoran kapiler. Meskipun jarang, infeksi Streptococcus grup A yang

8
berhubungan dengan pelepasan eksotoksin yang memicu pembengkakan jaringan,

dapat pula menyebabkan terjadinya sindrom kompartemen.3 Penyebab lain seperti

cedera arteri, oklusi pembuluh darah, atau kontusio dalam pengobatan

antikoagulasi telah dilaporkan dapat pula menyebabkan sindrom kompartemen.6,15

Pada kasus non-trauma lainnya, yakni pada atlit yang berlatih berlebihan,

merupakan kasus yang sangat jarang terjadi. Kasus ini disebut dengan acute

exertional compartment syndrome (AECS). Beberapa laporan kasus memaparkan

AECS yang muncul tanpa riwayat trauma maupun hematoma intrakompartemen.

Perbedaannya dengan CECS adalah bila pada CECS, nyeri akan berkurang dengan

istirahat atau menghentikan aktivitas yang mencetuskan nyeri, sementara pada

AECS, gejala serupa dengan sindrom kompartemen akut dan dapat berujung pada

kerusakan otot, saraf, dan vaskuler secara permanen. Oleh karena itu, AECS

termasuk kegawatdaruratan ortopedi dengan terapi definitifnya berupa bedah

dekompresi, sementara bedah dekompresi pada CECS sebagai terapi elektif saja.17

2.1.5 Faktor Risiko

Jenis kelamin laki-laki memiliki risiko 10 kali lebih besar dibandingkan

perempuan untuk mengalami sindrom kompartemen.2 Diperkirakan insiden rata-

rata kejadian sebanyak 0,7 per 100.000 jiwa pada perempuan dan lebih besar pada

laki-laki yakni 7,3 per 100.000 jiwa.3

Rata-rata usia penderita yang mengalami ACS ialah pada usia 32 tahun.

Pada pasien dengan usia <35 tahun dengan fraktur diafisis tibia tiga kali lebih

berisiko mengalami ACS dibandingkan pada pasien usia >35 tahun. Sindrom

kompartemen lebih sering terjadi pada usia muda, hal ini dikarenakan kondisi

9
fascia yang lebih kuat, volume otot yang lebih besar, dan frekuensi mengalami

trauma hebat yang lebih tinggi daripada usia yang lebih tua.2

Faktor risiko lain ialah trauma energi tinggi dan trauma multipel. Tidak

ada perbedaan antara kasus ACS dengan fraktur terbuka maupun tertutup.

Prosedur pembedahan tungkai, traksi, atau intramedullary pinning juga dapat

menyebabkan sindrom kompartemen iatrogenik.2

Gangguan koagulopati seperti defisiensi faktor pembekuan darah dapat

pula meningkatkan risiko ACS. McQuerry et al mengungkapkan laporan kasusnya

mengenai sindrom kompartemen setelah mengalami trauma tumpul pada remaja

16 tahun yang sebelumnya tidak terdiagnosis mengalami koagulopati. Remaja

tersebut mengalami defisiensi faktor VII, penyakit koagulopati yang cukup

langka.13 Obat-obatan seperti antikoagulan juga dilaporkan berisiko terjadi ACS

akibat perdarahan.7 Pada penelitian Bodansky et al, penggunaan antikoagulan oleh

populasi tua meningkatkan faktor risiko secara signifikan. Warfarin berimplikasi

pada 1 kasus kematian dan 1 kasus amputasi dalam serial kasus mereka.16

Penelitian Park et al mengemukakan bahwa pasien dalam pengonatan

antikoagulan ataupun antiplatelet memiliki risiko lebih tinggi mengalami sindrom

kompartemen dibandingkan dengan yang tidak.18

2.1.6 Gambaran Klinis

Pada sindrom kompartemen didapatkan 6P, yakni pain atau nyeri,

parestesia, palor, paralyze, pulselessness, dan puffiness.5,7 Literatur lain

menyebutkan bahwa dapat juga ditemukan 7P dengan tambahan poikilotermia

(dingin).1 Pasien dengan dua indikator positif memiliki kemungkinan ACS sebesar

10
25%, sementara tiga indikator positif berkemungkinan sebesar 93%.2 Dari semua

tanda tersebut, nyeri sering terjadi pada tahap awal sindrom kompartemen.1

Nyeri dilaporkan hampir selalu dirasakan pada penderita sindrom

kompartemen.1 Nyeri yang muncul dirasakan sebagai nyeri yang berat, dalam,

terus-menerus, dan tidak terlokalisir, serta kadang dikeluhkan oleh penderita lebih

parah dari cedera yang terlihat.10 Walaupun begitu, nyeri merupakan keluhan

subjektif, sehingga jika seseorang tidak mengeluhkan nyeri yang sangat hebat

belum tentu menggugurkan diagnosis ini.5 Nyeri diperberat dengan meregangkan

otot di dalam kompartemen dan tidak menghilang dengan pemberian analgesik

bahkan morfin.1,10 Namun, nyeri dapat tersamarkan oleh adanya cedera saraf,

fraktur, atau penggunaan anestesi lokal atau epidural. Penggunaan analgesik kuat

yang tidak beralasan juga dapat menyebabkan bias diagnostik pada kondisi

iskemia kompartemen.2

Paralisis, pulselessness, dan parestese merupakan indikator cedera

vaskuler dan baru muncul pada fase lanjut, segera setelah terjadi kerusakan saraf

dan otot.7 Paralisis organ distal seperti lengan atau tungkai bawah, akan

ditemukan pada fase lanjut. Pulselessness merupakan hilangnya pulsasi, yang

agak jarang terjadi pada pasien, karena tekanan pada sindrom kompartemen jarang

melebihi tekanan arteri.1 Puffiness ditandai oleh kulit yang tegang, bengkak, dan

mengkilat, atau melepuh, juga dapat menandakan sindrom kompartemen yang

sedang berlangsung.14 Poikilotermia dapat terjadi pada organ daerah distal yang

terkena sindrom kompartemen.1

11
Gambar 2.3 Skin blister atau kulit yang melepuh 14

2.1.7 Patofisiologi

Kompartemen ekstremitas merupakan ruang anatomi terbatas yang

dibentuk oleh fascia, epimisium, dan kulit.2 Sindrom kompartemen terjadi ketika

tekanan dalam ruang kompartemen tersebut meningkat melewati ambang tekanan

kritis, sehingga menurunkan tekanan perfusi ke kompartemen itu.5 Terdapat dua

mekanisme yang terjadi pada sindrom kompartemen. Kedua mekanisme tersebut

sering terjadi bersamaan sehingga menyulitkan untuk mencari mekanisme awal

atau etiologi yang sebenarnya. Dua mekanisme tersebut yakni:1

1. Bertambahnya isi kompartemen.

2. Berkurangnya ukuran kompartemen.

Tekanan kompartemen otot dapat meningkat akibat bertambahnya ukuran

kompartemen yang menurunkan sirkulasi pada mikrovaskuler, menyebabkan saraf

dan otot mengalami anoksia dan nekrosis.10

Edema jaringan yang hebat atau hematom yang menumpuk dapat

menyebabkan bertambahnya isi kompartemen.1 Perdarahan intrakompartemen

menyebabkan peningkatan tekanan intrakompartemen. Seiring dengan itu,

tekanan kapiler vena meningkat dan tekanan perfusi pada otot dan saraf menurun,

tetapi masih dapat terkompensasi dengan mekanisme autoregulasi. Tekanan

12
kompartemen yang terus menerus tinggi dan melampaui tekanan perfusi kapiler

menyebabkan mekanisme kompensasi gagal, sehingga terjadi kerusakan endotel

kapiler.11 Jika kondisi ini dibiarkan, akan terjadi iskemia seluler dan nekrosis

jaringan. Kemudian, nekrosis jaringan memicu edema interstitial yang menekan

lumen vaskuler, sehingga memperberat kondisi sindrom kompartemen.2

TRAUMA

Edema atau
hematom lokal

Peningkatan
Iskemia jaringan dan
tekanan
kematian sel
intrakompartemen

Gangguan aliran
pembuluh darah
Gambar 2.4 Skema patofisiologi sindrom kompartemen 1

Fascia merupakan jaringan yang kaku yang membungkus dan memisahkan

kelompok otot dan neurovaskulernya masing-masing. Otot-otot melekat pada

fascia, dan menyokong secara mekanik selama otot berkontraksi dengan

mengelompokkan otot-otot dengan fungsi serupa.2 Kompartemen memiliki ukuran

yang tetap, sehingga jika terjadi pertambahan volume pada sebuah kompartemen

akan meningkatkan tekanan di dalam kompartemen melebihi tekanan darah di

13
kapiler, sehingga pembuluh kapiler akan kolaps. Tekanan hidrostatik yang

terbentuk menghambat aliran darah ke jaringan. Akibatnya, perfusi jaringan tidak

memadai, suplai oksigen dan nutrisi berkurang, sehingga sel saraf dan otot

mengalami iskemia dan kemudian dapat menyebabkan edema jaringan.1

Edema jaringan di dalam kompartemen menyebabkan tekanan

intrakompartemen semakin meningkat dan mengganggu aliran balik vena dan

limfatik pada daerah yang cedera. Jika tekanan terus meningkat maka perfusi

arteri dapat terganggu sehingga menyebabkan iskemia jaringan yang lebih parah

dan mengganggu fungsi saraf dan otot.1 Fungsi tersebut akan hilang secara

permanen jika situasi iskemik tersebut berlangsung hingga lebih dari 6 jam.10

Secara fisiologis, metabolisme seluler membutuhkan tekanan oksigen 5-7

mmHg, dicapai oleh tekanan perfusi kapiler sebesar 25 mmHg dan tekanan

interstitial 4-6 mmHg. Contoh klasiknya adalah sindrom kompartemen

ekstremitas yang mengikuti trauma pada pembuluh inflow atau outflow utama

pada ekstremitas bawah, atau sebagai akibat dari patologi primer di dalam

kompartemen itu sendiri. Ruang anatomi terbatas lainnya yang sebagian besar

disertai dengan sindrom kompartemen adalah rongga kranial (hematoma epidural

atau subdural), bola mata orbital (glaukoma), dan kapsul ginjal (postiguremic

oliguria).4

2.1.8 Diagnosis

Sindrom kompartemen merupakan salah satu kegawatdaruratan di bidang

ortopedi, dan waktu penegakkan diagnosis merupakan hal yang krusial.13

Keterlambatan serta kesalahan diagnosis pada kasus sindrom kompartemen

14
menyebabkan morbiditas secara langsung terhadap pasien dan sangat berisiko

terjadi malpraktik.5 Diagnosis yang efektif memerlukan pemahaman yang baik

terhadap perjalanan penyakit ini dan dapat mengurangi morbiditas pasien.2

a. Anamnesis

Anamnesis dilakukan dengan menanyakan keluhan serta mekanisme

kejadian yang berkaitan dengan penyakit pasien.1 Kebanyakan sindrom

kompartemen didiagnosis secara klinis, dengan satu atau lebih gejala, yakni

perubahan kulit, pembengkakan, nyeri, defisit neurologis.3

Gejala yang paling sering dikeluhkan dan menonjol pada penderita dengan

kesadaran baik dan koheren adalah nyeri yang sangat hebat yang tidak sesuai

dengan berat traumanya.1 Nyeri saat regangan otot pasif juga mengarah pada

sindrom kompartemen. Tanda lainnya ialah teraba edema kompartemen pada

ekstremitas yang mengalami cedera.3 Parestesi dapat terjadi pada fase lanjut

sindrom kompartemen, terkait adanya saraf-saraf yang berjalan melintang pada

kompartemen yang bermasalah.1 Gangguan perfusi yang terjadi berada pada

tingkat kapiler, sehingga tanda dan gejala iskemia seperti nadi yang teraba lemah,

ujung-ujung ekstremitas yang pucat dan parestesi tidak ditemukan pada tahap

awal.3

b. Pemeriksaan fisik

Pada pasien yang berisiko ACS, pemeriksaan fisik terfokus pada

pemeriksaan kompartemen harus dilakukan dalam 24 hingga 36 jam pertama

setelah pasien mengalami cedera atau pembedahan.7 Penggunaan anestesi

neuraksial sebagai manajemen nyeri dapat mengganggu penegakkan diagnosis

15
sehingga pemeriksaan fisik yang cermat dan atau monitoring tekanan harus

dilakukan.12

Pemeriksaan lokalis dilakukan dengan melakukan look, feel, dan move.

Pada pemeriksaan look, akan terlihat pucat (palor) dan edema. Pada pemeriksaan

feel akan menunjukkan ekstremitas yang teraba tegang dan keras.1 Perlu juga

dilakukan pemeriksaan sensai terhadap nervus tibialis, peroneal superficialis, dan

peroneal profunda.7 Pada pemeriksaan move, dapat ditemukan paralisis atau

kelemahan motorik pada fase yang lebih lanjut.1 Fungsi motorik ekstensor hallucis

longus, fleksor hallucis longus, tibialis anterior, dan gastroknemius harus

diperiksa.7

c. Pemeriksaan Penunjang

Pengukuran tekanan secara invasif direkomendasikan sebagai tambahan

untuk pemeriksaan klinis dan menjadi gold standard untuk menegakkan

diagnosis.7 Alternatif non-invasif seperti near-field spectroscopy, microvascular

blood flow, oksigenasi dan pH otot, laser flowmetri Doppler, quantitative

hardness measurements atau compression sonography dapat dilakukan, tetapi

tidak sebagai diagnosis rutin pada sindrom kompartemen.6

Pada artikel tahun 1975, diperkenalkan konsep mengenai pengukuran

tekanan kompartemen atau monitoring intra-compartment pressure (ICP) sebagai

pemeriksaan penunjang.5 Pemeriksaan ini dilakukan dengan tujuan mengukur

tekanan di dalam kompartemen.12 Pengukuran tekanan kompartemen dapat

membantu untuk konfirmasi dalam kasus yang tidak jelas dan juga berperan pada

pasien yang tidak sadar atau memiliki cedera neurologis lainnya.3

16
Pengukuran ICP dapat menggunakan monitor Stryker yang dihubungkan

dengan jarum 18G atau jarum spinal 18G untuk mengukur kompartemen yang

dalam. Posisi kompartemen yang akan diukur harus sejajar dengan jantung dan

jarum ditusukkan tegak lurus ke kompartemen yang akan dinilai.1 Sebanyak 0,3

mL cairan salin steril diinjeksi melalui jarum ke dalam kompartemen. Ekuilibrium

dicapai dalam beberapa detik, dan tekanan kompartemen akan terbaca pada layar

digital.5

Gambar 2.5 Slide-port needle, diaphragm chamber, dan prefilled syringe yang
disiapkan dan ditempatkan pada monitor Stryker.

Nilai pada monitor ≥30 mmHg dianggap sudah menandakan sindrom

kompartemen sehingga memerlukan penanganan segera.1 Nilai minimun ICP

untuk mendiagnosis sindrom kompartemen berkisar antara 30 mmHg hingga 45

mmHg. Gejala akan muncul jika ICP mencapai 20-30 mmHg.2 Jika monitor

Stryker tidak tersedia, sistem transduksi tekanan, seperti penggunaan di atas

melalui jalur arteri dapat digunakan.5

Pengukuran tekanan kompartemen merupakan pemeriksaan gold standard

jika diagnosis belum dapat disimpulkan dari gejala klinis, pada pasien politrauma,

17
dan pasien dengan cedera kepala. Tekanan jaringan rata-rata normal adalah

mendekati 0 mmHg pada keadaan tanpa kontraksi otot. Jika tekanan menjadi lebih

dari 30 mmHg, pembuluh darah kecil akan tertekan menyebabkan menurunnya

aliran nutrisi.1 Pada anak-anak, tekanan kompartemen normal berkisar antara 13,3

hingga 16,6 mmHg.17 Selain dengan mengukur tekanan intrakompartemen, dapat

pula dengan menghitung tekanan perfusi jaringan atau tekanan delta, dengan cara

menghitung selisih tekanan darah diastolik dengan tekanan intrakompartemen.13

Jika hasilnya kurang dari 30 mmHg maka dianggap gawat darurat karena daerah

tersebut sudah terjadi sindrom kompartemen dan menjadi kriteria dilakukannya

bedah dekompresi.12

Diagnosis sindrom kompartemen kronis ditegakkan setelah menyingkirkan

kondisi lain yang dapat menyebabkan nyeri di tungkai bawah, yaitu stres fraktur

pada tibia dan tendonitis. Selain itu, perlu dilakukan pengukuran tekanan

intramuskular sebelum olahraga, 1 menit setelah olahraga, dan 5 menit setelah

olahraga. Jika tekanan tetap tinggi maka diagnosis sindrom kompartemen kronis

dapat ditegakkan.1

Spektroskopi Near-InfraRed (NIR) merupakan pemeriksaan imaging,

dengan prinsip yang serupa pulse oxymetry, dilakukan untuk memeriksa

oksigenasi otot pada sindrom kompartemen. Penelitian dengan skala yang lebih

besar masih dibutuhkan untuk menilai efikasi spektroskopi NIR. Modalitas

pemeriksaan seperti MRI dan skintigrafi tidak memiliki nilai diagnostik yang

berarti.2 Biomarker seperti kreatinin, fosfokinase, LED, leukosit, serum troponin,

dan mioglobin dapat ditemukan meningkat pada sindrom kompartemen, tetapi

18
tidak spesifik.2,12 Konsentrasi laktat vena femoralis yang disambil selama

pembedahan embolektomi mungkin dapat membantu penegakan diagnosis ACS.12

Beberapa penilaian imaging, serum biomarker, maupun modalitas lainnya tidak

dilaporkan sebagai pemeriksaan yang sangat efektif dan merupakan penilaian

yang tidak dianjurkan untuk menegakkan diagnosis sindrom kompartemen.2

Pemeriksaan ultrasound (USG) merupakan pemeriksaan non-invasif yang

mudah dilakukan, tidak menimbulkan nyeri, dan sebagai alternatif pemeriksaan

tekanan kompartemen lain yang invasif.6

Gambar 2.6 Skema ilustrasi peningkatan tekanan kompartemen dan pengukuran sudut
tibia-fascia (TFA).6
Garis X menandakan korteks anterolateral tibia. Garis Y menandakan
tangensial terhadap lekukan fascia kompartemen anterior yang berasal
dari penampang tibia. Tibia-fascia angle dihitung pada sudut yang
terbentuk di antara garis X ke Y yang saling berpotongan.
(a) Pengukuran pada kondisi normal.
(b) Sudut yang membesar pada kompartemen anterior.

Muhlbacher et al dalam penelitiannya menggunakan USG untuk

memperkirakan tekanan di kompartemen anterior pada ekstremitas bawah

berdasarkan perubahan sudut antara tibia dan fascia atau tibia-fascia angle) pada

19
kadaver manusia. Peningkatan tekanan pada kompartemen diikuti oleh ekspansi

jaringan akan mendorong fascia dari korteks anterolateral di dalam kompartemen.

Lebar kompartemen inilah yang akan dievaluasi menggunakan USG untuk

mendeteksi perubahan. Perubahan sudut antara tibia dan otot fascia dapat terlihat

dan dihitung menggunakan USG dua dimensi.6

Gambar 2.7 Hasil pemeriksaan USG pada kadaver laki-laki yang diberikan tekanan
sebesar 40 mmHg pada kompartemen anterior tibia.6

d. Diagnosis Banding

Diagnosis banding pada sindrom kompartemen ialah selulitis, trombosis

vena dalam, gas gangren, fasciitis nekrosis, rabdomiolisis akibat cedera vaskuler

perifer.2

2.1.9 Penatalaksanaan

Sindrom kompartemen terjadi ketika tekanan interstitial melebihi tekanan

perfusi kapiler dalam volume yang relatif tetap pada kompartemen otot yang

tertutup, tekanan kompartemen yang meningkat mengakibatkan perfusi jaringan

menurun yang kemudian menyebabkan hipoksia seluler dan kematian sel.3

20
Nekrosis jaringan, lesi saraf, kontraktur otot, amputasi, atau bahkan sepsis dapat

terjadi jika bedah dekompresi segera tidak dilakukan.6 Jika tidak dilakukan bedah

dekompresi, serabut otot akan diganti oleh jaringan fibrosis (kontraktur

Volkmann).1,10 Penatalaksanaan utama ialah bedah emergensi dengan melakukan

fasciotomi dekompresi.2

Jika terdapat kecurigaan sindrom kompartemen akut maka tindakan yang

harus dilakukan dimulai dari menyingkirkan semua pembalut atau bebat yang ada

pada ekstremitas yang cedera agar sirkulasi kompartemen lebih lancar.2 Stabilisasi

fraktur yang sebaiknya digunakan ialah dengan teknik fiksasi eksterna atau

pembalutan yang tidak memberatkan kompartemen.12 Ekstremitas yang cedera

dielevasikan setinggi jantung tetapi tidak lebih dari itu untuk memaksimalkan

perfusi jaringan.2 Apabila diagnosis sindrom kompartemen telah ditegakkan,

harus segera dilakukan fasciotomi, walaupun batasan pasti tekanan untuk

dilakukannya fasciotomi berbeda-beda di antara banyak klinisi.1

Pada CECS, terapi konservatif merupakan terapi awal yang diberikan

dengan cara menghentikan aktivitas yang menyebabkan gejala muncul, pada

individu yang aktif berolahraga harus menghentikan kebiasaannya tersebut secara

permanen. Sedangkan terapi gold standard pada CECS ialah dengan fasciotomi

dekompresi dengan teknik open atau endoskopi.9 Tam et al meneliti pasien dengan

CECS posterior sebelum dan sesudah dilakukan fasciotomi. Skor analog visual

antara sebelum dan sesudah dilakukan fasciotomi memiliki nilai bermakna. Pasien

memiliki VAS yang lebih rendah setelah dioperasi dibandingkan sebelum

dilakukan fasciotomi.19

21
Fasciotomi harus segera dilakukan ketika tekanan intrakompartemen lebih

dari 30 mmHg atau selisih tekanan darah diastolik dengan tekanan

intrakompartemen kurang dari 30 mmHg.1 Fasciotomi dikontraindikasikan jika

sindrom kompartemen yang terjadi sudah lebih dari 8 jam dan jika pasien tidak

menunjukkan fungsi otot pada segmen manapun pada ekstremitas yang terkena

atau telah mengalami kerusakan otot, saraf, dan vaskuler.2,12

Gambar 2.8 Prosedur fasciotomi pada ACS 8

Gambar 2.9 Fasciotomi 4 kompartemen pada tungkai kanan dengan 2 insisi.5


Insisi lateral mendekompresi kompartemen anterior dan lateral.
Insisi medial mendekompresi kompartemen posterior superficial dan
profunda.

22
Dekompresi kompartemen dapat dilakukan dengan melakukan fasciotomi

komplit sepanjang kompartemen.1 Selama dilakukan fasciotomi, bagian yang

cedera diletakkan di bawah vacuum assisted wound device untuk normalisasi

tekanan intrakompartemen.2 Teknik tersebut dapat meningkatkan keberhasilan

dan hasil yang diharapkan, karena menurunkan risiko infeksi dan nonunion pada

fraktur.20 Fascia dan kulit lokasi sindrom kompartemen dibiarkan terbuka minimal

tujuh hari (terapi tekanan negatif dengan mengurangi penutupan luka dan

kebutuhan skin grafting), setelah itu dapat dilakukan penutupan.1,12 Penutupan

luka akan sempurna jika edema telah berkurang dan mungkin membutuhkan

cangkok kulit yang agak tebal.2 Stabilisasi fraktur lengan atau tungkai bawah

dengan fiksasi internal merupakan bagian terpenting dari manajemen sindrom

kompartemen di daerah tersebut. Penggunaan obat dapat diberikan untuk

mengurangi reaksi inflamasi jaringan.1

Terapi lain yang dapat diiberikan ialah manajemen tekanan darah dan

hidrasi untuk meningkatkan tekanan perfusi jaringan. Pemberian oksigen juga

direkomendasikan untuk memaksimalkan saturasi dan suplai oksigen ke jaringan

iskemik.2

2.1.10 Komplikasi

Sindrom kompartemen yang tak tertangani akan menyebabkan nekrosis

otot, fibrosis, serta kontraktur.2 Selain itu, dapat terjadi kerusakan saraf permanen

dan hilangnya fungsi otot.1 Iskemik jaringan jika dibiarkan satu jam saja akan

menyebabkan neuropraksia reversibel, dan jika dibiarkan selama 4 jam akan

23
menyebabkan aksonotmesis ireversibel. Iskemik yang berlangsung selama 6 jam

atau lebih akan menyebabkan nekrosis ireversibel dan gangguan fungsional.5

Untuk mencegah komplikasi neurovaskuler, fasciotomi emergensi dibutuhkan

untuk meredakan tekanan.21

Kegagalan dalam mengurangi tekanan dapat menyebabkan nekrosis

jaringan di dalam kompartemen, karena perfusi kapiler akan menurun dan

menyebabkan hipoksia jaringan. Jika tidak tertangani, sindrom kompartemen akut

dapat mengarah pada keadaan yang lebih parah, termasuk rabdomiolisis dan gagal

ginjal.1 Nekrosis otot atau rabdomiolisis akan melepaskan produk-produk

kerusakan otot, seperti mioglobin, protein-protein, dan kalium ke sirkulasi darah.

Protein-protein yang berukuran besar dapat menjadi racun dan berbahaya, yang

dapat menyebabkan kerusakan multiorgan, gagal ginjal atau aritmia jantung.8

Kegagalan multiorgan dan kematian adalah komplikasi yang sangat mungkin

terjadi.2

Selain itu, kematian sel-sel otot dapat menyebabkan terjadinya kontraktur

Volkmann, yaitu kontraktur yang disebabkan oleh sel-sel otot yang mati secara

bertahap digantikan oleh sel-sel fibrosa yang padat sehingga anggota gerak

tersebut memendek.1 Sekuel dari sindrom kompartemen yang tidak tertangani

pertama kali diperkenalkan oleh Volkmann pada tahun 1881. Volkmann

menuliskan dalam artikelnya bahwa iskemia pada anggota gerak yang tidak

tertangani selama beberapa jam akan menimbulkan kontraktur paralitik.5

Volkmann menggambarkan kelumpuhan akibat kondisi iskemik pada ekstremitas

disebabkan perban yang terlalu ketat pada pasien fraktur ekstremitas.6 Komplikasi

24
ini menyebabkan kecacatan permanen, seperti deformitas pada anggota tubuh

yang terkena.10 Skar dan deformitas merupakan komplikasi yang paling sering

dikeluhkan pasien yakni sekitar 72% dan 56%, sedangkan kontraktur kulit dan

fascia dilaporkan secara signifikan mengganggu gerak bebas sendi pada 20%

pasien.2

Fasciotomy yang terlambat pun juga meningkatkan risiko terjadinya

infeksi, sepsis, nyeri kronis, amputasi, rabdomiolisis, hiperkalemia,

mioglobinuria, gagal ginjal, serta kematian.21 Pencegahan dilakukan dengan

penegakan diagnosis yang cepat diikuti oleh splinting tungkai dan bedah

dekompresi kompartemen segera.10

Pasien yang mendapatkan tatalaksana fasciotomi pun masih dapat

mengalami beberapa kejadian post-operatif seperti infeksi dan penyembuhan yang

jelek secara kosmetik. Pada fraktur tibial plateu yang diterapi menggunakan

fiksasi eksternal, angka kejadian infeksi tinggi yakni sebesar 80%.20 Hanya sekitar

68% pasien yang di-fasciotomi mengalami pennyembuhan fungsi otot yang

sempurna.2

2.1.11 Pencegahan

Splint digunakan untuk imobilisasi fraktur sementara selama di perjalanan

atau sebagai tatalaksana definitif. Splint yang sering digunakan ialah Thomas

splint untuk fraktur femur, crammer-wire splint untuk imobilisasi darurat,

Volkmann’s splint untuk kontraktur iskemik Volkmann, aluminium splint untuk

imobilisasi jari-jari, Boston brace untuk skoliosis, lumbar corset untuk nyeri

punggung. Splinting pada bagian yang fraktur dapat menjadi salah satu

25
tatalaksana awal untuk mencegah terjadinya sindrom kompartemen.10 Penggunaan

vacuum-assisted wound devices dan antibiotik profilaksis setelah fasciotomy juga

mampu menurunkan angka kejadian komplikasi post-operatif.2

2.1.12 Prognosis

Prognosis ditentukan dari seberapa parah cedera yang menyebabkan

sindrom kompartemen. Pada umumnya, sindrom kompartemen dan kondisi

iskemik yang dibiarkan terlalu lama berkorelasi dengan prognosis yang buruk

pula.1 Bila diagnosis sindrom kompartemen ditegakkan secara cepat dan tindakan

operasi telah dilakukan maka prognosis dari pemulihan otot dan saraf di dalam

kompartemen sangat baik.5

26

Anda mungkin juga menyukai