Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

(COMPARTMEN SYNDROM)

Disusun oleh:

 Elisa Fuji Astuti


 Fitriyani Widia
 Hamzah Abdul Hendra
 Sani Marwiyah
 Suhenda
 Tiara Marsanda

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

BUDI LUHUR CIMAHI

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan anugrah dari-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah “Laporan Pendahuluan” ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada junjungan besar kita, Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan
kepada kita semua jalan yang lurus berupa ajaran agama islam yang sempurna dan menjadi
anugrah terbesar bagi seluruh alam semesta.
Kelompok kami sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah yang menjadi
tugas Keperawatan Gawat Darurat. Disamping itu, kami mengucapkan banyak terimakasih
kepada semua pihak yang telah membantu kamu selama pembuatan makalan ini berlangsung
sehingga dapat terealisasikanlah makalah ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca. Kami mengharapkan kritik dan saran terhadap makalah ini agar kedepannya dapat
kami perbaiki. Karena kami sadar, makalah yang kami buat ini masih banyak terdapat
kekurangannya. 
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sindrom kompartemen adalah sebuah kondisi yang mengancam anggota tubuh
dan jiwa yang dapat diamati ketika tekanan perfusi dibawah jaringan yang tertutup
mengalami penurunan. Saat sindrom kompartemen tidak teratasi maka tubuh akan
mengalami nekrosis jaringan dan gangguan fungsi yang permanen, dan jika semakin
berat dapat terjadi gagal ginjal dan kematian.
Lokasi yang dapat mengalami sindrom kompartemen telah ditemukan di tangan,
lengan bawah, lengan atas, perut, pantat, dan seluruh ekstremitas bawah. Hampir semua
cedera dapat menyebabkan sindrom ini, termasuk cedera akibat olahraga berat. Hal yang
paling penting bagi seorang dokter adalah untuk selalu waspada ketika berhadapan
dengan keluhan nyeri pada ekstremitas. Konsekuensi dari terlewatnya pemeriksaan dapat
meningkatkan tekanan intra-kompartemen.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dari comparment syndrome?
2. Apa penyebab sehingga terjadi compartment syndrome?
3. Apa patofisiologis dari compartment syndrome?
4. Apa pathways dari compartment syndrome?
5. Apa manifestasi dari compartment syndrome?
6. Apa saja pemeriksaan pennjang dalam compartment syndrome?
7. Apa saja penatalaksanaan klinis pada compartment syndrome?
8. Apa saja komplikasi dari compartment syndrome?
9. Bagaimana pengkajian asuhan keperawatan dari compartment syndrome?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian dari comparment syndrome
2. Untuk mengetahui penyebab sehingga terjadi compartment syndrome
3. Untuk mengetahui patofisiologis dari compartment syndrome
4. Untuk mengetahui pathways dari compartment syndrome
5. Untuk mengetahui dari compartment syndrome
6. Untuk mengetahui pemeriksaan pennjang dalam compartment syndrome
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan klinis pada compartment syndrome
8. Untuk mengetahui komplikasi dari compartment syndrome
9. Untuk mengetahui pengkajian asuhan keperawatan dari compartment syndrome
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. DEFINISI
Sindrom kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi
peningkatan tekanan interstitial dalam sebuah ruangan terbatas yakni
kompartemen osteofasial yang tertutup. Hal ini dapat mengawali terjadinya
kekurangan oksigen akibat penekanan pembuluh darah, sehingga mengakibatkan
berkurangnya perfusi jaringan dan diikuti dengan kematian jaringan.
Ruangan tersebut (Kompartemen osteofasial) berisi otot, saraf dan
pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot individual
yang dibungkus oleh epimisium. Ditandai dengan nyeri yang hebat, parestesi,
paresis, pucat, disertai denyut nadi yang hilang. Secara anatomi sebagian besar
kompartemen terletak di anggota gerak. Paling sering disebabkan oleh trauma,
terutama mengenai daerah tungkai bawah dan tungkai atas.

Gambar 1. Gambar Kompartemen Tungkai Bawah

Berdasarkan etiologinya, Sindroma Kompartemen dapat di klasifikasikan


menjadi penurunan volume kompartemen dan peningkatan tekanan struktur
kompartemen, sdangkan berdasarkan lamanya gejala, dapat dibedakan menjadi
akut dan kronik. Penyebab umum terjadinya sindroma kompartemen akut adalah
fraktur, trauma jaringan lunak, kerusakan pada arteri dan luka bakar. Sedangkan
sindroma kompartemen kronik biasa terjadi akibat melakukan aktivitas yang
berulang-ulang, misalnya pelari jarak jauh, pemain basket, pemain sepak bola dan
militer.

B. ETIOLOGI
Terdapat berbagai penyebab dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal yang kemudian
memicu timbulnya sindrom kompartemen, yaitu antara lain:
1. Penurunan volume kompartemen
Kondisi ini disebabkan oleh:
a. Penutupan defek fascia
b. Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas
2. Peningkatan tekanan eksternal
a. Balutan yang terlalu ketat
b. Berbaring di atas lengan
c. Gips
3. Peningkatan tekanan pada struktur kompartemen
Beberapa hal yang bisa menyebabkan kondisi ini antara lain:
a. Pendarahan atau Trauma vaskuler
b. Peningkatan permeabilitas kapiler
c. Penggunaan otot yang berlebihan
d. Luka bakar
e. Operasi
f. Gigitan ular
g. Obstruksi vena

Sejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah


cedera, dimana 45 % kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di
anggota gerak bawah.
C. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal
normal yang menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah
kapiler, dan nekrosis jaringan lokal yang disebabkan hipoksia.
Tanpa memperhatikan penyebabnya, peningkatan tekanan jaringan menyebabkan
obstruksi vena dalam ruang yang tertutup. Peningkatan tekanan secara terus menerus
menyebabkan tekanan arteriolar intramuskuler bawah meninggi. Pada titik ini, tidak
ada lagi darah yang akan masuk ke kapiler sehingga menyebabkan kebocoran ke
dalam kompartemen, yang diikuti oleh meningkatnya  tekanan dalam kompartemen.
Penekanan terhadap saraf perifer disekitarnya akan menimbulkan nyeri hebat.
Metsen mempelihatkan bahwa bila terjadi peningkatan intrakompartemen, tekanan
vena meningkat. Setelah itu, aliran darah melalui kapiler akan berhenti. Dalam
keadaan ini penghantaran oksigen juga akan terhenti, Sehingga terjadi hipoksia
jaringan (pale). Jika hal ini terus berlanjut, maka terjadi iskemia otot dan nervus, yang
akan menyebabkan kerusakan ireversibel komponen tersebut.
Terdapat tiga teori yang menyebabkan hipoksia pada kompartemen sindrom yaitu,
antara lain:
Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen
a. Theory Of Critical Closing Pressure.
Hal ini disebabkam oleh diameter pembuluh darah yang kecil dan tekanan mural
arteriol yang tinggi. Tekanan transmural secara signifikan berbeda (tekanan
arteriol-tekanan jaringan), ini dibutuhkan untuk memelihara patensi aliran darah.
Bila tekanan tekanan jaringan meningkat atau tekanan arteriol menurun maka
tidak ada lagi perbedaan tekanan. Kondisi seperti ini dinamakan dengan
tercapainya critical closing pressure. Akibat selanjutnya adalah arteriol akan
menutup
b. Tipisnya dinding vena
Karena dinding vena itu tipis, maka ketika tekanan jaringan melebihi tekanan
vena maka ia akan kolaps. Akan tetapi bila kemudian darah mengalir secara
kontinyu dari kapiler maka, tekanan vena akan meningkat lagi melebihi tekanan
jaringan sehingga drainase vena terbentuk kembali.
McQueen dan Court-Brown berpendapat bahwa perbedaan tekanan diastolik dan
tekanan kompartemen yang kurang dari 30 mmHg mempunyai korelasi klinis
dengan sindrom kompartemen.
Patogenesis dari sindroma kompartemen) kronik telah digambarkan oleh
Reneman. Otot dapat membesar sekitar 20% selama latihan dan akan menambah
peningkatan sementara dalam tekanan intra kompartemen. Kontraksi otot berulang
dapat meningkatkan tekanan intamuskular pada batas dimana dapat terjadi
iskemia berulang.
Sindroma kompartemen kronik terjadi ketika tekanan antara kontraksi
yang terus – menerus tetap tinggi dan mengganggu aliran darah. Sebagaimana
terjadinya kenaikan tekanan, aliran arteri selama relaksasi otot semakin menurun,
dan pasien akan mengalami kram otot. Kompartemen anterior dan lateral dari
tungkai bagian bawah biasanya yang kena.

D. PATHWAYS
E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis yang terjadi pada syndrome kompartemen dikenal dengan 5 P yaitu:
1. Pain (nyeri) : nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang
terkena, ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling
penting. Terutama jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik
(pada anak-anak tampak semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih
banyak dari biasanya). Otot yang tegang pada kompartemen merupakan gejala
yang spesifik dan sering.

2. Pallor (pucat), diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daereah tersebut.

3. Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi )

4. Parestesia (rasa kesemutan)

5. Paralysis : Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang


berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom.

Sedangkan pada kompartemen syndrome akan timbul beberapa gejala khas, antara
lain:

1. Nyeri yang timbul saat aktivitas, terutama saat olehraga. Biasanya setelah
berlari atau beraktivitas selama 20 menit.

2. Nyeri bersifat sementara dan akan sembuh setelah beristirahat 15-30 menit.

3. Terjadi kelemahan atau atrofi otot.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Laboratorium :

1. Comprehensive metabolic panel (CMP)

Sekelompok tes darah yang memberikan gambaran keseluruhan


keseimbangan kimia tubuh dan metabolisme. Metabolisme mengacu pada semua
proses fisik dan kimia dalam tubuh yang menggunakan energi.
2. Complete blood cell count (CBC)

Pemeriksaan komponen darah secara lengkap yakni kadar : Hemoglobin,


Hematokrit, Leukosit (White Blood Cell / WBC), Trombosit (platelet), Eritrosit
(Red Blood Cell / RBC), Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC), Laju Endap
Darah atau Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR), Hitung Jenis Leukosit (Diff
Count), Platelet Disribution Width (PDW), Red Cell Distribution Width (RDW).

3. Amylase and lipase assessment


4. Prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT) bila pasien
diberi heparin
5. Cardiac marker test (tes penanda jantung)
6. Urinalisis and urine drug screen
7. Pengukuran level serum laktat
8. Arterial blood gas (ABG): cara cepat untuk mengukur deficit pH, laktat dan basa.
9. Kreatinin fosfokinase dan urin myoglobin
10. Serum myoglobin
11. Toksikologi urin : dapat membantu menentukan penyebab, tetapi tidak
membantu dalam menentukan terapi pasiennya.
12. Urin awal : bila ditemukan myoglobin pada urin, hal ini dapat mengarah ke
diagnosis rhabdomyolisis.

b. Imaging :

1. Rontgen : pada ekstremitas yang terkena.


2. USG: USG membantu untuk mengevaluasi aliran arteri dalam memvisualisasi
Deep Vein Thrombosis  (DVT)

G. PENATALAKSANAAN KLINIS

Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi


neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, melalui bedah
dekompresi. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun
beberapa hal, seperti timing, masih diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju bahwa
adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan fasciotomi.

a. Terapi

1. Terapi Medikal/non bedah

Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosa kompartemen masih dalam bentuk
dugaan sementara. Berbagai bentuk terapi ini meliputi:

a. Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan


ketinggian kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat
menurunkan aliran darah dan akan lebih memperberat iskemi.
b. Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan
pembalut kontriksi dilepas.
c. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat
menghambat perkembangan sindroma kompartemen
d. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah
e. Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan manitol
dapat mengurangi tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema
seluler, dengan memproduksi kembali energi seluler yang normal dan
mereduksi sel otot yang nekrosis melalui kemampuan dari radikal
bebas.

2. Terapi Bedah

Fasciotomi dilakukan jika tekanan intrakompartemen mencapai > 30


mmHg. Tujuan dilakukan tindakan ini adalah  menurunkan tekanan dengan
memperbaiki perfusi otot.

Jika tekanannya < 30 mm Hg maka tungkai cukup diobservasi dengan


cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya. Kalau keadaan tungkai
membaik, evaluasi terus dilakukan hingga fase berbahaya terlewati. Akan
tetapi jika memburuk maka segera lakukan fasciotomi. Keberhasilan
dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam.
Terdapat dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi
ganda.Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering digunakan karena lebih
aman dan lebih efektif, sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang
lebih luas dan resiko kerusakan arteri dan vena peroneal. Pada tungkai bawah
fasciotomi dapat berarti membuka keempat kompartemen, kalau perlu
dengan mengeksisi satu segmen fibula. Luka harus dibiarkan terbuka, kalau
terdapat nekrosis otot dapat dilakukan debridemen jika jaringan sehat luka
dapat dijahit ( tanpa regangan ) atau dilakukan pencangkokan kulit.

Indikasi untuk melakukan operasi dekompresi, antara lain :

a) Adanya tanda - tanda sindrom kompartemen seperti nyeri hebat.


b) Gambaran klinik yang meragukan dengan resiko tinggi ( pasien koma,
pasien dengan
c) masalah psikiatrik dan dibawah pengaruh narkoba ), dengan tekanan
jaringan > 30 mmHg pada pasien yang diharapkan memiliki tekanan
jaringan yang normal.

Bila ada indikasi operasi dekompresi harus segera dilakukan


karena penundaan akan meningkatkan kemungkinan kerusakan jaringan
intrakompartemen sebagaimana terjadinya komplikasi. Waktu adalah inti
dari diagnosis dan terapi sindrom kompartemen. Kerusakan nervus
permanen mulai setelah 6 jam terjadinya hipertensi intrakompartemen. Jika
dicurigai adanya sindrom kompartemen, pengukuran dan konsultasi yang
diperlukan harus segera dilakukan secepatnya.

Beberapa teknik telah diterapkan untuk operasi dekompresi untuk

semua sindrom kompartemen akut. Prosedur ini dilakukan tanpa torniket


untuk mencegah terjadinya periode iskemia yang berkepanjangan dan
operator juga dapat memperkirakan derajat dari sirkulasi lokal yang akan
didekompresi. Setiap yang berpotensi mambatasi ruang termasuk kulit
dibuka di sepanjang daerah kompartemen, semua kelompok otot harus
lunak pada palpasi setelah prosedur selesai. Debridemen otot harus
seminimal mungkin selama operasi dekompresi kecuali terdapat otot yang
telah nekrosis.

b. Fasciotomi untuk sindrom kompartemen akut :

Teknik Tarlow

Incisi lateral dibuat mulai dari distal garis intertrocanterik sampai ke epikondilus
lateral. Dieksisi subkutaneus digunakan untuk mengekspos daerah iliotibial dan
dibuat insisi lurus sejajar dengan insisi kulit sepanjang fascia iliotibial. Perlahan -
lahan dibuka sampai vastus lateralis dan septum intermuskular terlihat, perdarahan
ditangani bila ada. Insisi 1 - 5 cm dibuat pada septum intermuskular lateral
perpanjangan ke proksimal dan distal. Setelah kompartemen anterior dan
posterior terbuka, tekanan kompartemen medial diukur. Jika meningkat dibuat
insisi setengah medial untuk membebaskan kompartemen adductor .

1) Facsiotomi kompartemen tungkai bawah :

a) Fibulektomi :

Prosedur radikal dan jarang dilakukan dan jika ada, termasuk indikasi

pada sindrom kompartemen akut. Insisi tunggal dapat digunakan untuk


jaringan lunak pada ekstremitas. Teknik insisi ganda lebih aman dan
efektif.

b) Fasciotomi insisi tunggal ( darvey, Rorabeck dan Fowler ) :

Dibuat insisi lateral, longitudinal pada garis fibula, sepanjang mulai

dari distal caput fibula sampai 3 - 4 cm proksimal malleolus lateralis.

Kulit dibuka pada bagian anterior dan jangan sampai melukai nervus
peroneal superficial. Dibuat fasciotomi longitudinal pada
kompartemen anterior dan lateral. Berikutnya kulit dibuka ke bagian
posterior dan dilakukan fasciotomi kompartemen posterior superficial.
Batas antara kompartemen superficial dan lateral dan interval ini
diperluas ke atas dengan memotong soleus dari fibula. Otot dan
pembuluh darah peroneal ditarik ke belakang, kemudian diidentifikasi
fascia otot tibialis posterior ke fibula dan dilakukan insisi secara
longitudinal. Insisi sepanjang 20 - 25 cm dibuat pada kompartemen
anterior, setengah antara fibula dan caput tibia. Diseksi subkutaneus
digunakan untuk mengekspos fascia kompartemen. Insisi transversal
dibuat pada septum intermuskular lateral dan identifikasi nervus
peroneal superficial pada bagian posterior septum. Buka
kompartemen anterior kearah proksimal dan distal pada garis tibialis
anterior. Kemudian dilakukan fasciotomi pada kompartemen lateral ke
arah proksimal dan distal pada garis tubulus fibula. Insisi kedua dibuat
secara longitudinal 1 cm dibelakang garis posterior tibia. Digunakan
diseksi subkutaneus yang luas untuk mengidentifikasi fascia. Dibuat
insisi transversal untuk mengidentifikasi septum antara kompartemen
posterior profunda dan superficial. Kemudian dibuka fascia
gastrocsoleus sepanjang kompartemen. Dibuat insisi lain pada otot
fleksor digitorum longus dan dibebaskan seluruh kompartemen otot
tibialis posterior. Jika terjadi peningkatan tekanan pada
kompartemen ini segera dibuka.

2) Fasciotomi pada lengan bawah :


a. Pendekatan Volar ( Henry )
Dekompresi kompartemen fleksor volar profunda dan superficial
dapat dilakukan dengan insisi tunggal. Insisi kulit dimulai dari
proksimal ke fossa antecubiti sampai ke palmar pada daerah tunnel
carpal. Tekanan kompartemen dapat diukur selama operasi untuk
mengkonfirmasi dekompresi, tidak ada penggunaan torniket. Insisi
kulit mulai dari medial ke tendon bicep bersebelahan dengan siku
kemudian ke sisi radial tangan dan diperpanjangan ke arah distal
sepanjang brachioradialis dilanjutkan ke palmar. Kemudian
kompartemen fleksor superficial di insisi mulai titik 1 atau 2 cm diatas
siku ke arah bawah sampai pergelangan tangan . Kemudian nervus
radialis diidentifikasi dibawah brachioradialis, keduanya kemudian
ditarik ke arah radial. Kemudian fleksor carpi radialis dan arteri
radialis ditarik ke sisi ulnar yang akan mengekspos fleksor digitorum
profundus, fleksor pollicis longus, pronatus quadratus dan pronator
teres. Karena sindrom kompartemen biasanya melibatkan
kompartemen fleksor profunda harus dilakukan dekompresi fascia
disekitar otot tersebut untuk memastikan bahwa dekompresi yang
adekuat telah dilakukan.

b. Pendekatan Volar Ulnar


Pendekatan volar ulnar dilakukan dengan cara yang sama dengan
pendekatan Henry. Lengan disupinasikan dan insisi mulai dari medial
bagian atas tendon bicep melewati lipatan siku terus ke bawah
melewati garis ulnar lengan bawah dan sampai ke carpal tunnel
sepanjang lipatan thenar. Fascia superficial pada fleksor carpi ulnaris
di insisi ke atas sampai ke aponeurosis siku dan ke carpal tunnel ke
arah distal. Kemudian dicari batas antara fleksor carpi ulnaris dan
fleksor digitorum sublimis. Pada dasar fleksor digitorum sublimis
terdapat arteri dan nervus ulnaris yang harus dicari dan dilindungi.
Fascia pada kompartemen fleksor profunda kemudian di insisi.

c. Pendekatan Dorsal

Setelah kompartemen superficial dan fleksor profunda lengan bawah


didekompresi, harus diputuskan apakah perlu dilakukan fasciotomi
dorsal ( ekstensor ). Hal ini lebih baik ditentukan dengan pengukuran
tekanan kompartemen intraoperatif setelah dilakukan fasciotomi
kompartemen fleksor. Jika terjadi peningkatan tekanan pada
kompartemen dorsal yang terus meningkat, fasciotomi harus
dilakukan dengan posisi lengan bawah pronasi. Insisi lurus dari
epikondilus lateral sampai garis tengah pergelangan tangan, batas
antara ekstensor carpi radialis brevis dan ekstensor digitorum
komunis di identifikasi kemudian dilakukan fasciotomi.

H. KOMPLIKASI

Sindrom kompartemen jika tidak mendapatkan penanganan dengan segera akan


menimbulkan berbagai komplikasi antara lain :

1. Nekrosis pada syaraf dan otot dalam kompartemen


2. Kontraktur volkam, merupakan kerusakan otot yang disebabkan oleh terlambatnya
penanganan sindrom kompartemen sehingga timbul deformitas pada tanga, jari dan
pergelangan tangan karena adanya trauma pada lengan bawah
3. Trauma vascular
4. Gagal ginjal akut
5. Sepsis
6. Acture respiratory distress syndrome (ARDS)
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan
1. Primary Survey
Pengkajian primer mempunyai tujuan untuk mengetahui dengan segera kondisi yang
mengancam nyawa paisen dilakukan dalam tempo waktu yang singkat (kurang dari
10 detik) difokuskan pada airway, Breathing, Circulation (ABC).
a. (Airway) Jalan nafas adalah sumbatan jalan atas (larynx, pharinx) akibat cedera
inhalasi yang ditandai kesulitan bernafas atau suara nafas yang berbunyi  stridor
hoarness. Tindakan dengan membersihkan jalan napas, memberikan oksigen,
trakeostomi, pemberian kortikosteroid dosis tertinggi dan antibiotika.
b. (Breathing) Kemampuan bernafas, ekspansi rongga dada dapat terhambat karena
nyeri atau eschar melingkar di dada. Tindakan yang dilakuakan kaji dan monitor
kemampuan bernafas, memberikan oksigen, melakukan tindakan kedaruratan
jalan napas agresif.
c. (Circulation) Status volume pembuluh darah. Keluarnya cairan dari pembuluh
darah terjadikarena meningkatnya permeabilitas pembuluh darah (jarak antara sel
endoteldinding pembuluh darah).
d. (Disability) Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala
AVPU :
 A - alert , yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi  perintah
yang diberikan
 V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
 P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika
ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
 U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.
e. Ekspose, Examine dan Evaluate Dalam situasi yang diduga telah terjadi
mekanisme trauma yang mengancam terjadinya gagal napas, maka Rapid Trauma
Assessment  harus segera dilakukan:
 Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dada dan ekstremitas pada pasien
 Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa  pasien luka
dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang  berpotensi tidak stabil
atau kritis.
2. Secondary Survey
Secondary Assessment survey  sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang
dilakukan dengan teknik Body Sistem.
a. Pernapasan, Bagaimana pernafasannya, reguler/tidak, bagaimana kesimetrisannya,
bagaimana suaranya apakah terdapat suara tambahan. Apakah terdapat  pergerakan
otot antar rusuk, bagaimana gerakan dada, bagaimana suaranya apakah ada
pembesaran dada.
b. Darah, Pada luka bakar yang berat, perubahan permiabilitas kapiler yang hampir
menyeluruh, terjadi penimbunan cairan massif di jaringan interstisial menyababkan
kondisi hipovolemik. Volume cairan intravascular mengalami defisit, timbul ketidak
mampuan menyelenggarakan proses transportasi oksigen ke jaringan 3.  Brain (B3 )
Manifestasi sistem saraf pusat karena keracunan karbon monoksida dapat berkisar
dari sakit kepala, sampai koma, hingga kematian
c. Urinaria, Pengeluaran urin menurun disebabkan karena hipotensi dan penurunan
aliran darah ke ginjal dan sekresi hormone antideuretik serta ldosterone
d. Ekstremitas, pasien dapat berjalan atau tidak, bengkak, merah, nyeri pada kaki.
2. Analisa Data

No Data Etiologi Masalah


1. Ds: Perdarahan, fraktur, guft, penekanan lengan terlalu Nyeri akut
Mengeluh nyeri
Do : Sindrom kompartemen
1. Tampak merinis
2. Bersikap protektif (mis. Pergeseran frakmen tulang

Waspada, posisi menghindari


nyeri) Nyeri akut

3. Gelisah
4. Frekuensi nadi meningkat
5. Sulit tidur
6. Tekanan darah meningkat
7. Pola napas berubah
8. Proses berfikir terganggu
9. Menarik diri
10. Berfokus pada diri sendiri

2. Ds: Perdarahan, fraktur, guft, penekanan lengan terlalu Perfusi perifer tidak
1. Parastesia efektif
2. Nyeri ekstremitas Sindrom kompartemen
Do:
1. Pengisian kapiler >3 detik Diskontunitas tulang
2. Nadi perifer menurun atau
tidak teraba Perubahan jaringan sekitar

3. Akral teraba dingin


4. Warna kulit pucat Spasme otot

5. Turgor kulit menurun


Peningkatan tekanan kapiler
6. Edema
7. Penyembuhan luka lambat
Pelepasan histamin
8. Bruit femoral

Protein plasma hilang

Edema

Penekanan pembuluh darah

Perfusi perifer tidak efektif


3. Ds: Perdarahan, fraktur, guft, penekanan lengan terlalu Gangguan mobilitas
1. Mengeluh sulit menggerakkan fisik
ekstremtas Sindrom kompartemen
2. Nyeri saat bergerak
3. Enggan melakukan pergerakan Diskontunitas tulang
4. Merasa cemas saat bergerak
Do: Perubahan jaringan sekitar
1. Kekuatan otot menurun
2. Rentang gerak (rom) menurun Pergeseran frakmen tulang

3. Sendi kaku
4. Gerakan tidak terkoordinasi Deformitas

5. Gerakan terbatas
Gangguan fungsi
6. Fisik lemah

Gangguan mobilitas fisik


4. Ds: Perdarahan, fraktur, guft, penekanan lengan terlalu Gangguan integritas
- kulit
Do: Sindrom kompartemen
1. Kerusakan lapisan kulit
2. Nyeri Diskontunitas tulang

3. Perdarahan
4. Kemerahan Perubahan jaringan sekitar

5. Hematoma/memar
Laserasi kulit

Gangguan integritas kulit


3. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d pergesean frakmen tulang
2. Perfusi perifer tidak efektif b.d penekanan tekanan kapiler
3. Gangguan mobilitas fisik b.d pergeseran frakmen tulang
4. Gangguan integritas kulit b.d laserasi kulit

4. Perencanaan Keperawatan

Dx Tujuan Intervensi Rasional


1 Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen nyeri Observasi
Selama 1x6 Jam ,maka tingkat nyeri menurun, Observasi 1. Untuk mengetahui dan bisa
dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi lokasi, karekteristik, durasi, melakukan tindakan keperawatan
1. Keluhan nyeri menurun frekuensi, kualitas, intensitas nyeri yang tepat dengan adanya identifikasi
2. Meringis menurun 2. Identifikasi skala nyeri nyeri tersebut
3. Sikap protektif menurun 3. Identifikasi respon nyeri non verbal 2. Untuk mengetahui nyeri yang
4. Gelisah menurun 4. Identifikasi faktor yang memperberat dan dirasakan klien agar dilakukan
5. Kesulitan tidur menurun memperingan nyeri tindakan yang dapat mengurangi rasa
6. Frekuensi nadi membaik 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan nyeri tersebut
tentang nyeri 3. Untuk mengetahui timbal balik
6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap (respon) nyeri yang dirasakan klien
respon nyeri secara nonverbal
7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas 4. Untuk mengetahui faktor penyebab
hidup yang dapat memperberat dan
8. Monitor keberhasilan dalam terapi memperingan nyeri agar bisa
komplementer yang sudah diberikan dilakukan tindakan keperawatan yang
9. Monitor efek samping penggunaan tepat
analgetik 5. Untuk mengetahui sampai mana
pemahaman klien tentang nyeri
Terapeutik 6. Untuk mengetahui penyebab nyeri
1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk yang dirasakan klien pada kualitas
mengurangi rasa nyeri (mis. Tens, hidup klien
hipnosis, akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, Terapeutik
teknik imajinasi terbimbing, kompres 1. Untuk mengurangi rasa nyeri pada
hangat/dingin, terapi bermain) klien dengan dilakukannya teknik
2. Kontrol lingkungan yang memperberat tersebut
rasa nyeri (mis. Suhu ruangan, 2. Untuk mengetahui kondisi
pencahayaan, kebisingan) lingkungan yang dapat memperberat
3. Fasilitas istirahat dan tidur atau berpengaruh pada rasa nyeri
4. Pertimbangan jenis dan sumber nyeri klien
dalam pemilihan strategi meredakan nyeri 3. Untuk memberikan kenyamanan pada
klien
Edukasi 4. Untuk mengetahui trik dan strategi
1. Jelaskan penyebab, kronologi, periode, dalam membantu meredakan nyeri
dan pemicu nyeri pada klien
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri Edukasi
4. Anjurkan menggunakan analgetik secara 1. Untuk memberikan pemahaman
tepat kepada klien tentang nyeri
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk 2. Untuk memberikan pengetahuan
mengurangi rasa nyeri tentang strategi meredakan nyeri
3. Untuk memandirikan klien dalam
Kolaborasi merawat diri dengan memonitor rasa
Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu nyeri yang dirasakan klien
4. Untuk memberikan pengetahuan
tentang analgetik secara tepatkepada
klien
5. Untuk memberikan pembelajaran
kepada klien tentang eknik
nonfarmakologis untuk mengurangi
rasa nyeri
2 Setelah dilakukan tindakan intervensi Perawatan sirkulasi Perawatan Sirkulasi
keperawatan selama 1x 6 jam maka perfusi Observasi Observasi
perifer meningkat dengan kriteria hasil: 1. Periksa sirkulasi perifer  Nadi perifer memberikan
1. Parastesia menurun 2. Identifikasi faktor risiko gangguan indikasi adanya sirkulasi
2. Nyeri ekstremitas menurun sirkulasi sistemik ,bila nadi perifer tidak
3. Denyut nadi perifer meningkat 3. Monitor panas, kemerahan, nyeri, teraba menunjukan aliran darah
4. Warna kulit pucat menurun atau bengkak pada ekstremitas perifer menurun ,demikian
5. Pengisian kapiler cukup membaik Terapeutik kenaikan /penurunan suhu kulit
6. Akral cukup membaik 1. Hindari pemasangan infus atau sebagai indikasi sirkulasi perifer
7. Turgor kulit cukup membaik pengambilan darah di area tidak adekuat
8. Edema perifer menurun keterbatasan perfusi  Tindakan untuk mencegah
2. Hindari pengukuran tekanan darah terjadi dampak sirkulasi tidak
pada ekstremitas dengan lancer seperti penyembuhan luka
keterbatasan perfusi lambat
3. Hindari penekanan dan pemasangan
tourniquet pada area yang cedera

3 Setelah dilakukan Tindakan intervensi Dukungan Ambulasi Dukungan Ambulasi


keperawatan selama 1x6 jam maka mobilitas Observasi Observasi
fisik meningkat dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi adanya nyeri atau 1. Mengidentivikasi kekuatan atau
1. Pergerakan ekstremitas meningkat keluhan fisik lainnya kelemahan yang menyebabkan
2. Kekuatan otot meningkat 2. Monitor frekuensi jantung dan gangguan mobilitas fisik
3. Rentang gerak (rom) meningkat tekanan darah sebelum memulai 2. Memperkecil resiko jatuh pada
4. Rasa Nyeri menurun ambulasi pasien pada saat ambulasi
5. Kecemasan menurun Terapeutik Terapeutik
6. Kaku sensi menurun 1. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan 1. Membantu mempertahankan
7. Gerakan tidak terkoordinasi menurun alat bantu kekuatan tonus otot pasien
8. Gerakan terbatas menurun Edukasi Edukasi
1. Anjurkan mobilisasi sederhana yang 1. Menurunkan komplikasi
dilakukan tirah baring dan
2. Anjurkan melakukan mobilisasi dini meningkatkan
penyembuhan dan
normalisasi fungsi organ
2. Meminimalkan atrofi otot
meningkatkan
sirkulasi ,mencegah
terjadinya kontraktur
4 Setelah dilakukan Tindakan Intervensi Perawatan integritas kulit Perawatan Integritas kulit
keperawatan Selama 1x 6 jam maka integritas Observasi Observasi
kulit meningkat, dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi penyebab gangguan 1. Mengetahu penyebab
1. Kerusakan lapisan kulit menurun integritas kulit (mis. Perubahan terjadinya adanya
2. Nyeri menurun sirkulasi, perubahan status nutrisi, gangguan integritas kulit
3. Perdarahan menurun penurunan kelembaban, suhu Terapeutik
4. Kemerahan menurun lingkungan ekstrem, penurunan 1. Menghidari terjadinya
5. Hematoma menurun mobilitas) infeksi
Terapeutik
1. Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah
baring
2. Lakukan pemijatan pada area
penonjolan tulang, jika perlu
3. Gunakan produk berbahan petroleum
atau minyak pada kulit kering
Edukasi
1. Anjurkan menggunakan pelembab
2. Anjurkan minum air yang cukup
3. Anjurkan meningkatkan asupan buah
dan sayur
KESIMPULAN

Sindrom kompartemen dapat terjadi pada kasus trauma yang disertai fraktur, paling sering di tungkai
bawah. Sindrom kompartemen tidak memiliki tanda dan gejala khusus, tanda dan gejalanya sering diduga
berasal dari trauma primer. Tanda dan gejala serta mekanisme terjadinya sindrom kompartemen sangat
perlu dipahami agar dapat didiagnosis dalam periode emasnya. Tindakan definitif terbaik dekompresi
kompartemen tungkai bawah adalah fasiotomi dengan teknik insisi
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, VNL & Sunarsih, T. 2011. Asuhan Kehamilan untuk Kebidanan, Jakarta: Salemba Medika

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikatis Diagnostik,
Edisi 1. Jakarta: DPD PPN

Anda mungkin juga menyukai